Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH RESEPTIR

HERBAL MEDICINE FOR VETERINARY

Disusun Oleh :
1. Arlita Sariningrum
2. Hayatullah Frio Marten
3. Nur Hasreena Nadia Ahlun

B94154107
B94154123
B94154135

PROGAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh
masyarakat

dalam

kesehatan/dokter

usaha

umumnya

pengobatan
masih

sendiri

enggan

(self-medication),

untuk

meresepkan

profesi
ataupun

menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga


seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan
tradisional di dalam system pelayan kesehatan formal. Alasan utama keengganan
profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena
bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional masih kurang. Obat
tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali,
diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat
(Pringgoutomo 2007).
Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tanaman, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang
lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yag
berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang,
daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman (Pringgoutomo 2007).
Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang
khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin
keseragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya. Penggunaan obat
tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum
obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pada lukisan
di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991
sampai 1016 pada daun lontar di Bali (Pringgoutomo 2007).
DI dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies
berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9600 di antaranya terbukti
memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 400 spesies dimanfaatkan sebagai
obat tradisional. Data WHO tahun 2005 menyebutkan, sebanyak 75-80 persen

penduduk dunia pernah menggunakan herbal. Di Indonesia, penggunaan herbal


untuk pengobatan dan obat tradisional sudah dilakukan sejak lama. Ini diturunkan
secara lisan dari satu generasi ke generasi dan juga tertulis pada daun lontar dan
kepustkaan keratin (Soestisna A 2013).
Kebiasaan meminum obat tradisional tersebut merupakan upaya preventif,
promotif dan rehabilitative. Obat tradisional jika dibandingkan dengan obat
sintesis memiliki beberapa kekurangan yang menuntut perhatian pemerintah.
Pertma, efek farmakologisnya yang lemah. Kedua, bahan baku belum terstandar.
Ketiga, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis
mikroorganisme (Katno & Pramono 2006). Oleh karena itu, harus dilakukan
eksplorasi dan pengembangan hingga kekurangan-kekurangan tersebut dapat
diminimalisasi. Upaya pemerintah Indonesia untuk mengembangkan obat
tradisional yaitu dengan mengupayakan agar dapat menjadi fitofarmaka.
Tanaman obat mempunyai

banyak kelebihan sebagai alternative

pengobatan pada berbagai penyakit baik pada hewan ataupun manusia, baik
penyakit yang diakibatkan oleh bakteri, virus dan protozoa ataupun bahan kimia.
Hal ini dikarenakan tanaman obat tidak berbahaya bagi kesehatan manusia dan
masih melimpah di alam (Hariana 2006). Hampir semua bagian tanaman obat
seperti : akar, batang dan daun dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan obat tradisional maupun modern (Muwarni 2003). Contoh tanaman
obat yang digunakan sambiloto, beluntas, ekstrak tempe, dan purwoceng.
Berbeda dengan obat modern yang mengandung satu atau beberapa zat
aktif yang jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/ obat herbal mengandung
banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat
dipastikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi atau
meninmbulkan efek samping. Selain itu, kandungan kimia obat herbal ditentukan
oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme hidup
sehingga letak geografis/ tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan,
cara dan waktu panen, cara perlakuan pasca-panen (pengeringan, penyimpanan)
dapat mempengaruhi kandungan kimia obat herbal. Kandungan kimia tanaman
obat ditentukan tidak saja oleh jenis (spesies) tanaman obat, tetapi juga oleh anak
jenis dan varietasnya.

Penggunaan obat tradisional pada dunia kedokteran hewan masih sangat


langka, namun pada dasarnya obat tradisional dapat membantu pengobatan pada
hewan. Makalah ini akan membahas beberapa kasus pada hewan dengan
menggunakan obat tradisional sebagai terapinya.
Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui jenis obat herbal pada
hewan dan contoh aplikasinya.
Manfaat
Memberikan informasi tentang macam-macam obat herbal pada hewan serta
contoh kasus dan terapi menggunakan obat herbal.
.
TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Obat
Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat dan digunakan
sebagai obat dalam penyembuhan maupun pencegahan penyakit.Pengertian
berkhasiat obat adalah mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit
tertentu atau jika tidak mengandung zat aktif tertentu tapi mengandung efek
resultan/ sinergi dari berbagai zat yang berfungsi mengobati (Flora, 2008).
Menurut Zuhud (2004), tanaman obat adalah seluruh jenis tanaman obat yang
diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat yang dikelompokkan menjadi
tanaman obat tradisional, tanaman obat modern, dan tanaman obat potensial.
Tanaman obat tradisional adalah jenis tanaman obat yang diketahui atau
dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai
bahan baku obat tradisional. Tanaman obat modern merupakan jenis tanaman
yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif
yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara
medis. Tanaman obat potensial yaitu jenis tanaman obat yang diduga mengandung

senyawa atau bahan aktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara
ilmiah atau penggunaannya sebagai obat tradisional sulit ditelusuri (Zuhud 2004).
Tanaman obat atau biofarmaka didefinisikan sebagai jenis tanaman yang
sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai
obat, bahan atau ramuan obat-obatan. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari
selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya
yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya (Herdiani 2012).
Tanaman obat yang tergolong rempah-rempah atau bumbu dapur, tanaman
pagar, tanaman buah, tanaman sayur atau bahkan tanaman liar juga dapat
digunakan sebagai tanaman yang di manfaatkan untuk mengobati berbagai macam
penyakit. Banyak obatobatan modern yang terbuat dari tanaman obat, hanya saja
peracikannya dilakukan secara klinis laboratories sehingga terkesan modern.
Penemuan kedokteran modern juga mendukung penggunaan obat-obatan
tradisional (Hariana 2006).
Departemen Kesehatan RI mendefinisikan tanaman obat Indonesia seperti
yang tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu:
1. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu.
2. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat
(precursor).
3. Bagian tanaman yang diekstraksi digunakan sebagai obat (Kartikawati
2004).
.Keungulan dari pengunaan tanaman alami sebagai obat terletak pada
bahan dasarnya yang bersifat alami sehingga efek sampingnya dapat di tekan
seminimal mungkin, meskipun dalam beberapa kasus dijumpai orang-orang yang
alergi terhadap tanaman herbal. Namun alergi tersebut juga dapat terjadi pada
obat-obatan kimia. Tidak dapat dipungkiri bahwa obat obatan medik sering
menimbulkan efek samping yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit lain
(Utami 2008).

Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Depkes RI 1994). Obat tradisional telah digunakan oleh
berbagai aspek masyarakat mulai dari tingkat ekonomi atas sampai tingkat bawah,
karena obat tradisional mudah didapat, harganya yang cukup terjangkau dan
berkhasiat untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM,
1994).
Penggunaan ramuan tradisonal tidak hanya untuk menyembuhkan suatu
penyakit, tetapi juga untuk menjaga dan memulihkan kesehatan (Stepanus 2011).
Obat obatan tradisional selain menggunakan bahan ramuan dari berbagai tumbuhtumbuhan tertentu yang mudah didapat di sekitar perkarangan rumah kita sendiri,
juga tidak mengandung resiko yang membahayakan bagi pasien dan mudah
dikerjakan oleh siapa saja baik dalam keadaan mendesak sekalipun (Thomas
1992).
Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
pembuktian khasiat, Harmanto (2008) mengelompokkan obat bahan alam
Indonesia menjadi tiga jenis yaitu:
1. Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang.
2. Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti
ilmiah dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku.
3. Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi
bahan baku dan sudah bisa diresepkan dokter.
Obat tradisional telah berada dalam masyarakat dan digunakan secara
empiris dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan kesehatan tubuh dan
pengobatan berbagai penyakit. Departemen Kesehatan mengklasifikasikan obat
tradisional sebagai jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka Obat tradisional
adalah ramuan dari berbagai macam jenis dari bagian tanaman yang mempunyai
khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Obat tradisional di
Indonesia dikenal dengan nama jamu. Obat tradisional sendiri masih mempunyai
berupa senyawa. Sehingga khasiat obat tradisional mungkin terjadi dengan adanya

interaksi antar senyawa yang mempunyai pengaruh yang lebih kuat (Nurhayati
2008).
Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan,
bahan hewan, sediaan sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta
khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan
sebagai simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
berupa bahan yang dikeringkan (Dirjen POM, 1999).
Menurut Material Medika Indonesia (1995), simplisia dapat digolongkan
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,
bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia.
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian
hewan zatzat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat
kimia murni.
3. Simplisia pelikan (mineral)
Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan
pelican (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum atau
ditempelkan pada permukaan pada permukaan kulit. Tetapi tidak tersedia dalam
bentuk suntikan atau aerosol. Dalam bentuk sediaan obat- obat tradisional ini
dapat berbentuk serbuk yang menyerupai bentuk sediaan obat modren, kapsul,
tablet, larutan, ataupun pil (BPHN 1993).
Obat tradisional mempunyai banyak keunggulan dibandingkan obat
berbahan dasar kimia. Keunggulan obat tradisional menurut Suharmiati dan
Handayani (2006), antara lain mempunyai efek samping yang relatif lebih kecil
bila digunakan secara benar dan tepat, baik tepat takaran, waktu penggunaan,cara
penggunaan, ketepatan pemilihan bahan, dan ketepatan pemilihan obat tradisional
atau ramuan tumbuhan obat untuk indikasi tertentu.

Obat tradisional mempunyai efek komplementer dan atau sinergisme dalam


ramuan obat/ komponen bioaktif tumbuhan obat. Dalam suatu ramuan obat
tradisional umumnya terdiri dari beberapa jenis tumbuhan obat yang memiliki
efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan.
Pada satu tumbuhan bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Obat
tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik seperti penyakit
diabetes (kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi) dan penyakit
degeneratif antara lain rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser
(tukak lambung), haemorrhoid (ambein/wasir), dan pikun (lost of memory).
Menurut Zein (2005), Obat tradisional mempunyai beberapa kelemahan,
yaitu sulitnya mengenali jenis tumbuhan dan bedanya nama tumbuhan
berdasarkan daerah tempatnya tumbuh, kurangnya sosialisasi tentang manfaat
tumbuhan obat terutama dikalangan dokter, penampilan tumbuhan obat yang
berkhasiat berupa fitofarmaka kurang menarik dibandingkan obat-obatan paten,
kurangnya penelitian komprehensif dan terintergrasi dari tumbuhan obat, dan
belum ada upaya pengenalan dini terhadap tumbuhan obat.
PEMBAHASAN

Masyarakat telah mengenal dan menggunakan obat tradisional sejak dahulu


sebagai warisan nenek moyang, yang pemanfaatannya dapat berupa jamu maupun
bumbu masakan. Banyaknya jenis tanaman obat yang ada di Indonesia merupakan
modal utama yang dapat dimanfaatkan untuk mencari alternative pengobatan
kasus-kasus yang terjadi pada dunia veteriner.
Tanaman obat sambiloto dan beluntas merupakan dua jenis tanaman yang
dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai penyakit. Beberapa khasiatnya telah
dikaji secara ilmiah, tetapi masih belum banyak yang diketahui, terutama tentang
efektivitasnya sebagai immunomodulator. Masalah utama dalam menggunakan
tanaman obat adalah kurang atau tidak stabilnya kandungan aktif dalam ekstrak.
Kandungan biokimia dalam tanaman sangat dipengaruhi oleh lokasi penanaman,
waktu pemanenan, varietas yang berbeda, dan metode ekstraksi yang
digunakannya (Wijayakusuma 1994).

Pemanfaatan tanaman obat sebaiknya melalui konsultasi dengan orang


yang mendalami permasalahan tanaman obat, karena seperti obat sintetik, terdapat
banyak pertimbangan dalam pemberian obat tradisional yang kemungkinan besar
tidak diketahui orang awam.
Berbagai jenis tanaman obat yang dianggap memiliki potensi sebagai
antiviral telah diteliti. Bahan-bahan fitokimia yang telah diidentifikasi memiliki
aktivitas antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin,
saponin, senyawa furil, alfakloid, polin, tiopen, protein dan peptide. Beberapa
bahan essensial minyak atsiri dari herbal, bumbu, dan the herbal juga ada yang
memiliki kemampuan antiviral yang tinggi. Kekurangannya, campuran dan
komposisi yang tepat secara ilmiah belum banyak diketahui. Beberapa bahan
fitokimia ini memiliki mekanisme yang saling melengkapi, termasuk efek
antiviral yang menghambat pembentukan DNA atau RNA virus atau menghambat
aktivitas reproduksi virus (Jassim & Naji 2003).
Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh Indonesia dan dikenal
dengan beberapa nama daerah, seperti ki-oray atau ki peurat (Jawa Barat), bidara,
takilo, sambiloto (Jawa Tengah dan Jawa Timur), perpaitan atau ampadu
(Sumatera) (Manoi 2006). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sambiloto tergolong
tanaman herbal yang tumbuh di berbagai habitat seperti pinggiran sawah, kebun
atau hutan. Dapat digunakan sebagai bahan jamu dan dipercaya berkhasiat untuk
anti diare dan anti bakteri (Heyne 1987). Paten yang berkaitan dengan sambiloto
di luar negeri yang didaftarkan di berbagai negara (USA dan Jepang) yang
mengklaim bahwa sambiloto dapat digunakan untuk pengobatan seperti
hepatoprotective (hepatitis B dan E), anti virus, pengobatan HIV, anti infeksi,
antipiretik dan analgesic (Spelman et al. 2006, Sukardirman et al. 2007).
Fitofarmako sambiloto (chuang xin lian) telah banyak digunakan untuk
pengobatan infeksi lambung, gangguan pernafasan dan ginjal (Matsuda et al.
1994).
Andrographolide adalah komponen utama dari tanaman sambiloto yang
memiliki multiefek farmakalogis. Zat aktif ini terasa pahit sehingga mampu
meningkatkan nafsu makan karena dapat merangsang sekresi kelenjar saliva dan
meningkatkan produksi antibody sehingga kekebalan tubuh meningkat, selain

andrographolide yaitu 2.5 4.6 % dari bobot kering tanaman obat sambiloto
(Mamun et al. 2004). Ekstrak sambiloto terbukti mampu meningkatkan
pertahanan tubuh terhadap infeksi Staphylococcus aureus, mampu menekan
jumlah ookista (Eimeria tenella ) pada sekum ayam serta memiliki daya hambat
terhadap pertumbuhan Aspergillu flavus dan dapat sebagai obat diabetes
(Cahyaningsih 2005).

Gambar 1. Daun Sambiloto (Andrographis paniculata)


Penelitian Taha pada tahun 2009 tentang kajian potensi ekstrak sambiloto
(Andrographis paniciulata) dan Beluntas (Pluchea indica) sebagai alternative
bahan obat flu burung menyatakan secara in vitro sambiloto memiliki potensi
yang cukup kuat untuk dijadikan obat alternative flu burung. Hal ini dibuktikan
dengan adanya penghambatan infeksi ke sel oleh zat-zat aktif yang terkandung
dalam ekstrak sambiloto. Kultur sel tersebut mengandung ekstrak sambiloto
dengan konsentrasi 10 % , 20 % dan 30%. Penghambatan virus terjadi sehingga
hari ketiga penelitian, pada hari keempat seluruh sel terinfeksi oleh virus. Hal ini
menunjukkan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto tidak
mampu untuk menghambat infeksi virus ke dalam sel. Walaupun demikian, tidak
terjadinya infeksi sejak hari pertama seperti pada control positif yang digunakan
dalam penelitian ini, hal ini menunjukkan adanya penundaaan atau perlambatan
terjadinya infeksi. Artinya, terdapat zat aktif dalam ekstrak sambiloto yang dapat
menghambat perlekatan (attachment) virus ke sel. Penghambatan infeksi virus
diduga karena ekstrak sambiloto memiliki aktivitas antioksidan maupun
immunomodulator sehingga mampu meningkatkan ketahanan sel terhadap infeksi

virus. Kadar senyawa tersebut dalam ekstrak sambiloto mempengaruhi kekuatan


aktivitasnya dalam menghambat infeksi virus (Kaniappan et al. 1991).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) termasuk dalam family Oxadilaceae
merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi dimanfaatkan untuk obat
antihipertensi. Telah dibuktikan oleh Bipat et al., 2008 bahwa daun belimbing
wuluh dapat menurunkan tekanan darah melalui stimulasi diuretic pada hwan
babi, dan tidak mengamati langsung penurunan tekanan darah setelah diberi
larutan uji. Dari penelitian Pushparaj et. al, 2001 diketahui bahwa ekstrak etanol
buah dan daun belimbing wuluh dapat menurunkan glukosa darah ketika
diberikan kepada tikus yang dibuat diabetes. Di Filipina, daun belimbing wuluh
digunakan sebagai obat gatal, bengkak, rematik, sakit kulit, digigit serangga
berbisa, obat batuk, tonikum sehabis melahirkan dan mengurangi sakit radang
(Morton, 1987).
Secara farmakologi, telah terbukti bahwa rebusan daun belimbing wuluh
dengan pemberian secara oral pada dosis 500mg/kg tidak memberikan efek
hipotermia tetapi memberikan efek antipiretik dan dapat mengurangi efek
inflamasi (Morton, 1987). Ekstrak klorofom daun belimbing daun wulud
mengandung senyawa flavonoid tipe luteoin dan apigenin sangat efektif
membunuh pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan
Corney bacterium diphtheria (Zakaria et al., 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh
memiliki efek hipotensi atau efek menurunkan tekanan darah pada kucing
hipertensi. Perlakuan dosis ekstrak yang diuji ternyata secara statistic berbeda
nyata. Adanya peningkatan dosis ekstrak yang disuntikkan ternyata akan terjadi
juga peningkatan efek hipotensif (Hernani et al. 2009).
Ada tiga factor yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain
kapasitas kerja jantung, elastisitas pembuluh darah dan factor darah itu sendiri,
missal viskositas dan volume darah (Djatmiko et al. 2001). Ekstrak daun
belimbing wuluh mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi salah satu dari
ketiga factor tersebut. Dengan demikian, ekstrak daun belimbing wuluh bias
dikembangkan sebagai obat antihipertensi.

Kunyit ( Curcuma domestica) merupakan tanaman tradisional yang sudah


dikenal luas dan sudah lama digunakan oleh masyarakat. Kurkumin dilaporkan
mempunyai aktivitas multiseluler karena dapat menangkal dan mengurangi risiko
beragam penyakit antara lain antiproliferasi dan antioksidan dengan menghambat
97.3 % aktivitas peroxidase lipid seluler (Tuba et al. 2008), mengikat berbagai
jenis protein sel dan menghambat aktivitas enzim kinase, pengaturan aktivitas
factor transkripsi seluler, ekspresi enzim inflamasi, sitokin, adesi molekul,
penurunan siklin D1, siklin E dan mekanisme peningkatan ekspresi gen p21, p27
dan p53 dalam proses karsinogenesis (Goel et al. 2008). Senyawa aktif kurkumin
dari hasil ekstraksi rimpang kunyit dapat menurunkan aktivitas sekresi Tumor
Necrosis Factor- pada penderita osteoatritis, sedangkan minyak atsiri hasil
destilasi uap rimpang kunyit dilaporkan mempunyai senyawa aktif bergugus
molekul serupa kurkumin yang berkhasiat anti radang pada edema sendi tarsal
tikus ( Solfaine et al. 2001).
Penelitian menemukan bahwa minyak atsiri kunyit ( C. domestica val)
mempunyai komponen senyawa aktif. Empat fraksi relative yang dominan adalah
1-Phellandrene, 1,8 Cineole, AR-Turmeron dan Bicyclo. Pemberian minyak atsiri
kunyit dosis 25 mg/kg BB selama satu minggu pada penderita gout atritis
ditemukan dapat menurunkan kadar urea darah secara signifikan dan secara
parsial menurunkan konsentrasi TNF- pada kelompok perlakuan. Namun,
penelitian lebih lanjut pada penderita gout harus dilakukan untuk melihat
pengaruh minyak atsiri kunyit terhadap factor proinflamasi lainnya (Muniroh et
al. 2010).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Saran

Penggunaan obat herbal pada dunia kedokteran hewan perlu ditingkatkan


untuk mengurangi resiko-resiko yang ditimbulkan oleh obat kimia, namun perlu
dilakukan pengujian dan penelitian terlebih dahulu pada obat-obat tradisional
yang akan digunakan pada hewan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 1994. Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.
Depkes RI. 1978. Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 149/SK/Menkes/IV/1978.
Dirjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional
Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Penerbit Departemen Kesehatan RI.
Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional.
Jakarta : DEPKES RI
Flora E. 2008. Tanaman Obat Indonesia Untuk Pengobatan.
Hariana, Arief Drs. H.. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3. Penebar
Swadaya. Jakarta : 86-87.
Harmanto, N. (2008). Herbal Jamu Pengaruh dan Efek Sampingnya. Jakarta : Elex
Media Komputindo. Hal. 95.
Herdiani E. 2012. Potensi Tanaman Obat.
Kartikawati, S.M., 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan oleh Masyarakat
Dayak Meratus di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Muwarni R. 2003. Laporan khusus obat tradisional dalam kancah industry
peternakan. Poultry Indonesia. 284 : 34 35.
Nurhayati, T. 2008. Uji Efek Sediaan Serbuk Instan Rimpang Kencur Sebagai
Tonikum Terhadap Mencit Jantan Galur. Universitas Muhamadyah
Surakarta.
Pringgoutomo S. 2007 Riwayat perkembangan pengobatan dengan tanaman obat
di dunia timur dan barat. Buku ajar Kursus Herbal Dasar untuk Dokter.
Jakarta (ID): Balai Penerbit FKUI.

Stepanus. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Tanaman


Obat Keluarga di Desa pulau Sapi Kecamatan Mentarang kabupaten
Malinau
Suharmiati dan Handayani L. 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional.
Jakarta: Agromedia Pustaka
Thomas A N S. 1992. Tanaman Obat tradisional. Kanisius. Yogyakarta. Utami, P.
2008. Buku Pintar Tanaman Obat. PT Agromedia Pustaka. Jakarta Selatan.
Zein U.. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dalam Upaya Pemeliharaan
Kesehatan. http://e-usureporsitory.com.
Zuhud E A M. 2004. Hutan Tropika Indonesia Sebagai Sumber keanekaragaman
Plasma Nutfah Tumbuhan Obat, pp. 1-15 dalam Zuhud E.A.M dan
Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat
Hutan Tropika Indonesia. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Lembaga Alam Tropika Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai