Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman teh (Camellia sinensis L.Kuntze) merupakan tanaman yang
tumbuh di kawasan Asia Tenggara,

termasuk dalam genus Camellia yang

memiliki sekitar 82 species tanaman teh. Tanaman teh tumbuh subur di daerah
pegunungan dengan ketinggian 200-2000 meter diatas permukaan air laut pada
suhu berkisar antara 14-255 C. Tanaman teh masuk ke Indonesia pertama kali pada
tahun 1684 yang berupa biji teh dari Jepang dan dibawa oleh seorang berasal dari
Jerman bernama Andreas Cleyer dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta.
Dalam perkembangan budidaya teh di Indonesia, teh diolah menjadi minuman
penyegar dan merupakan salah satu minuman yang telah umum dikonsumsi
diseluruh wilayah Indonesia.
Di Indonesia tanaman teh tumbuh subur sebagai tanaman perkebunan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi dan dapat dikembangkan lebih luas. Teh
merupakan salah satu sumber daya alam yang dihasilkan dari pengolahan pucuk
(daun muda) tanaman teh yang dipakai sebagai minuman. Teh yang baik
dihasilkan dari bagian pucuk (pecco) ditambah 2-3 helai daun muda, karena pada
daun muda tersebut kaya akan senyawa polifenol, kafein serta asam amino.
Senyawa-senyawa inilah yang akan mempengaruhi kualitas warna, aroma dan
rasa dari teh.
Penilaian kualitas mutu teh sangat dipengaruhi oleh kondisi pucuk teh dan
cara pengolahannya. Teh dapat dibuat dari bahan baku (pucuk teh) yang bermutu

tinggi dengan teknologi pengolahan yang benar. Pucuk teh yang bermutu tinggi
diperoleh dari kebun yang dipelihara dengan baik, terdiri dari kuncup berikut 2-3
daun muda dengan tingkat kerusakan yang rendah. Agar tingkat kerusakan pucuk
sampai dipabrik rendah maka penanganan pucuk sejak dari pemetikan,
pengumpulan, pengangkutan sampai penerimaan pucuk di pabrik harus dilakukan
dengan baik.
Kualitas mutu teh juga dilihat dari keamanan mengkonsumsi minuman teh
yang dianggap sebagai minuman yang menyehatkan. Dalam proses pengolahan
teh diperlukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kegiatan yang dapat
mempengaruhi mutu produk teh. PT. Sinar Sosro merupakan market leader atau
pemimpin untuk produk minuman berbasis pengolahan teh di Indonesia yang
melakukan pengawasan sebelum, selama dan setelah proses produksi demi
menjaga mutu dan keamanan produk.
PT. Sinar Sosro merupakan perusahaan pelopor minuman teh dalam
kemasan pertama di Indonesia dengan produknya yaitu teh botol Sosro. Pada
tahun 2003 PT. Sinar Sosro meraih sertifikat ISO 9001:2000 dan sertifikat
HACCP, yaitu sertifikat system management keamanan makanan untuk menjamin
produk yang aman bagi konsumen. Penerapan HACCP di perusahaan pengolahan
produk pangan sangat dituntut untuk meningkatkan daya saing dalam
perdagangan internasional.
HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengukur dan
mengendalikan bahaya yang mungkin timbul dalam operasi pengolahan untuk
menjamin keamanan produk pangan (Notermans dkk, 2002). Bahaya (hazard)
yang dimaksud adalah kontaminasi biologi, kimiawi dan fisik yang potensial

menyebabkan pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan (CAC, Committee on


Food Hygiene, 1997).
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan
guna memenuhi tututan konsumen. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem
HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu
produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat berfungsi sebagai promosi
perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing kompetitif.
Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko
tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang
signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam
penetapan critical control point (CCP).

1.2 Tujuan Praktek Lapang


Secara umum, tujuan pelaksanaan Praktek Lapangan adalah untuk
meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai hubungan antara teori dengan
penerapannya

di

dunia

kerja

(lapangan)

serta

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya sehingga dapat memberikan bekal bagi mahasiswa setelah


terjun di masyarakat. Meningkatkan keterampilan dan pengalaman kerja di bidang
industri pengolahan hasil pertanian dan dapat secara langsung mengetahui proses
pengolahan produk teh di PT. Sinar Sosro Cabang Deli Serdang.

Adapun tujuan khusus dari kegiatan Praktek Lapang ini adalah untuk
mengetahui bagaimana penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP) pada pengolahan minuman teh botol di PT. Sinar Sosro Cabang Deli
Serdang.

1.3 Ruang Lingkup Praktek Lapang


Kegiatan Praktek Lapang yang dilaksanakan di PT. Sinar Sosro Cabang Deli
Serdang Sumatera Utara meliputi beberapa aspek yaitu : mengenal perusahaan
yang menjadi lingkungan kerja secara umum, mempelajari bagaimana proses
pengolahan teh dan penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP) di PT. Sinar Sosro Cabang Deli Serdang Sumatera Utara hingga
menghasilkan produk yang siap di pasarkan, serta kegiatan - kegiatan lainnya
sesuai dengan yang ditawarkan oleh PT. Sinar Sosro Cabang Deli Serdang
Sumatera Utara.
1.4 Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Metode pengambilan data dan informasi selama Praktek Lapangan
meliputi pengambilan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
yang didapat dari hasil pengamatan, wawancara selama proses Praktek Lapang
berlangsung. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat dari studi
kepustakaan yang berhubungan dengan HACCP dan instansi terkait yang dapat
mendukung penulisan laporan.

1.5 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Lapang

Praktek Lapangan akan dilaksanakan selama 25 hari kerja yaitu pada


tanggal 20 Januari 20 Februari 2016. Tempat pelaksanaan Praktek Lapang yaitu
di PT. Sinar Sosro Cabang Deli Serdang Sumatera Utara yang beralamat di
Tanjong Morawa Kec. Deli Serdang Sumatera Utara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teh
Teh (Camellia sinensis L.Kuntze) merupakan salah satu tanaman industri
yang sangat penting, bagian tanaman ini yang dapat diolah yaitu daunnya yang
masih muda dan dapat diolah menjadi bahan minuman lezat. (Sadjad, 1995).
Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah pegunungan Himalaya dan
pegunungan yang berbatasan dengan RRC, India dan Burma. Tanaman ini dapat
subur di daerah tropik dan subtropik dengan menuntut cukup sinar matahari dan
curah hujan sepanjang tahun (Siswoputranto, 1978).
Menurut Siswoputranto (1978), cara pemetikan daun teh dibedakan cara
pemetikan halus (fine clucking) dan cara pemetikan kasar (coarse plucking). Teh
dihasilkan dari pucuk-pucuk tanaman teh yang dipetik dengan siklus 7 sampai 14
hari sekali. Cara pemetikan daun selain mempengaruhi jumlah hasil teh, juga
sangat menentukan mutu yang dihasilkan. Penilaian kualitas mutu teh sangat
dipengaruhi oleh kondisi pucuk teh dan cara pengolahannya. Teh dapat dibuat dari
bahan baku (pucuk teh) yang bermutu tinggi dengan teknologi pengolahan yang
benar.

2.2 Pengolahan Teh


Pengolahan teh adalah metode yang diterapkan pada pucuk daun teh yang
melibatkan beberapa tahapan, termasuk di antaranya pengeringan hingga
penyeduhan teh. Dalam pengolahan teh hal yang harus diperhatikan yaitu pucuk

daun teh harus dalam keadaan baik sebelum proses pengolahan dilaksanakan.
Artinya keadaan pucuk teh dari pemetikan sampai ke lokasi pengolahan belum
terjadi perubahan (Nazarudin dan Paimin ,1993).
Daun-daun teh yang dipetik dari kebun segera dibawa ke pabrik,
ditimbang dan kemudian dimulai pelayuan (withering). Proses pelayuan,
umumnya dilakukan dengan menempatkan daun dirak-rak dalam gedung. Udara
dingin disemprotkan melalui rak-raknya, proses pelayuan dilakukan selama 16-24
jam (Siswoputranto, 1978).
Selanjutnya teh akan mengalami proses pengilingan yang merupakan
proses awal terjadinya oksimatis yaitu bertemunya polifenol dan enzim polifenol
oksidase dengan bantuan oksigen. Proses ini merupakan dasar terbentuknya mutu
teh. Menurut Loo (1983), penggilingan daun teh bertujuan untuk memecahkan
sel-sel daun segar agar cairan sel dapat dibebaskan sehingga terjadi reaksi antara
cairan sel dengan O2 yang ada diudara. Peristiwa ini dikenal dengan nama
oksidasi enzimatis (Fermentasi). Pemecahan daun perlu dilakukan dengan intensif
agar fermentasi dapat berjalan dengan baik.
Selama proses fermentasi terjadilah oksidasi cairan sel yang dikeluarkan
selama penggilingan dengan oksigen dengan adanya enzim yang berfungsi
sebagai katalisator. Senyawa penting yang terdapat dalam cairan adalah catechin
dan turunannya. Fermentasi mengubah senyawa tersebut menjadi tea-flavin dan
selanjutnya berubah menjadi tea-rubigin. Semakin lama semakin banyak teaflavin terkondensasi menjadi tea-rubigin sehingga cairan sel berwarna lebih gelap
(Werkhoven, 1974). Hal ini sangat penting untuk mendapatkan produk teh yang
bermutu.

Untuk menghentikan proses oksidasi, daun teh dilewatkan melalui


pengering udara panas. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air
sehingga diperoleh teh kering dan proses fermentasi berhenti, dengan demikian
sifat-sifat teh tidak berubah, karena proses fermentasi berhenti (Loo,1983). Dan
daun teh yang sudah kering akan disortir berdasarkan penggolongan kelasnya
untuk dilakukan pengolahan selanjutnya.
Pengolahan teh menjadi minuman teh botol merupakan salah satu inovasi
sebagai minuman teh yang praktis dan siap dikonsumsi langsung. Dalam
pengolahan teh menjadi teh botol terjadi proses ekstraksi teh cair pahit/TPC,
pelarutan gula (sugar disolving) dan pencampuran teh cair pahit/TPC dengan
sirup gula (mixing). Ekstraksi teh dilakukan dengan cara memasukan teh kering
dan mengalirkan air dari tangki penyangga kedalam tangki ekstraksi. Lamanya
waktu penyeduhan teh adalah sekitar 30 menit dan dilanjutkan dengan proses
sirkulasi selama kurang lebih 30 menit (Sinar Sosro, 1996).
Selanjutnya dilakukan penyaringan teh cair pahit/TCP sebanyak tiga kali
yaitu penyaringan dalam tangki ekstraksi teh, penyaringan kasar dengan Niagara
filter dan penyaringan halus dengan Filtrox dan Filter Aid. Tahap selanjutnya
dilakukan pelarutan gula (sugar dissolving) dengan mencampurkan gula yang
dimasukkan melalui hopper dengan air dari tangki pelunakan air yang terdapat
pada tangki pelarutan (dissolving tank) yang telah dipanaskan di PHE. Gula terus
menerus disirkulasi sekitar lima menit agar merata (Sinar Sosro, 1996).
Tahap terakhir yaitu proses pencampuran teh (mixing) dilakukan dengan
memasukkan larutan gula dari tangki penyangga larutan gula dan teh cair
pahit/TCP dari tangki ekstraksi kedalam tangki pencampuran yang menggunakan

jet mixer agar proses pencampuran berlangsung merata. Proses pencampuran


selesai jika telah dihasilkan teh cair manis dengan kadar tannin, tingkat
kemanisan/kadar gula sesuai standar yang ditetapkan. Setelah proses pencampuran
selesai, teh cair manis kemudian siap dialirkan ke unit pembotolan (Sinar Sosro,
1996).

2.3 Keamanan Pangan dan Pengendalian Mutu


Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan
Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan).
Sedangkan Departemen Perdagangan Republik Indonesia (1992) mendefinisikan
mutu suatu produk sebagai gabungan sifatsifat khas yang dapat membedakan
masing-masing satuan dari suatu produk dan memberikan pengaruh yang nyata
dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen atau pembeli terhadap produk
tersebut.
Mutu teh merupakan kumpulan sifat yang dimiliki oleh teh, baik fisik
maupun kimia. Keduanya telah dimiliki sejak berupa pucuk teh ataupun diperoleh
sebagai akibat teknik pengolahan dan penanganan yang dilakukan. Proses
pengendalian mutu teh dilakukan sejak teh ditanam, dipetik, diangkut, selama
diolah dan setelah pengolahan. Uji mutu teh dalam rangka pengendalian mutu dan
pengendalian proses pengolahan dapat dilakukan secara fisik, kimia maupun
inderawi (Soekarto, 1990).
Tiap industri pengolahan pangan mempunyai citra mutu produk pangan
yang dilekatkan pada produk yang dihasilkannya. Citra mutu produk itu

ditegakkan dengan usaha pengendalian mutu, yaitu semua usaha dan kegiatan
untuk mencapai tingkat dan konsistensi mutu sesuai dengan citra mutu yang telah
ditetapkan oleh perusahaan (Soekarto, 1990).

2.4 Hazard Analysis and Critical Control Points (Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis)
Tuntutan jaminan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan
persyaratan konsumen yang terus meningkat. Hal ini menyebabkan masalah
keamanan pangan menjadi sangat vital bagi industri dan bisnis pangan. CAC
(Codec Almentarius Commision) sebagai organisasi standarisasi pangan FAO
(Food Agriculture Organization) WHO (World Health Organization) telah
mengambil langkah untuk memberikan pedoman dan mengadopsi sistem HACCP
sebagai satu-satunya sistem jaminan mutu dengan basis keamanan pangan, yang
menjadi acuan bagi industri pangan di seluruh dunia. Trend industri pangan dunia
mewajibkan bisnis pangan perlu dan menerapkan HACCP (Winarno, 2004).
Penerapan HACCP dalam industri pangan memerlukan komitmen yang
tinggi dari pihak manajemen perusahaan yang bersangkutan. Dari beberapa ahli
dan pelaku bisnis pangan, terdapat beberapa alasan mengapa HACCP diperlukan
dalam bisnis pangan, antara lain:
1. Tujuan manajemen industri pangan dalam menjamin keamanan pangan.
2. Keamanan pangan adalah persyaratan wajib bagi konsumen.
3. Banyaknya kasus keracunan pangan.
4. Terbatasnya jaminan sistem inspeksi produk akhir melalui pengujian untuk
menjamin keamanan pangan.
5. HACCP berkembang menjadi standar internasional dan persyaratan wajib
pemerintah.
6. HACCP sebagai sistem yang menjamin keamanan pangan.

10

The Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) merupakan


metode yang rasional dan ilmiah untuk penjaminan mutu makanan. Sistem ini
terdiri atas identifikasi serta pengkajian yang sistematis terhadap bahaya (hazard)
dan penentuan upaya pengendalian yang efektif (WHO, 2005). Menurut Fardiaz
dan Srikandi (1993) HACCP adalah sistem pencegahan yang dikendalikan pada
titik kendali kritis bahan atau tahapan proses untuk menetapkan komponen,
kondisi atau tahap proses yang harus mendapat perlakuan yang tepat untuk
menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
Berdasarkan SNI HACCP (1998) HACCP adalah suatu piranti untuk
menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada
pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir.
Setiap sistem HACCP mampu mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam
rancangan peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi.
Penerapan HACCP sesuai dengan pelaksanaan sistem manajemen mutu seperti
ISO seri 9000 dan merupakan sistem yang dipilih untuk manajemen keamanan
pangan.

2.4.1

Tahapan Penerapan HACCP


Codex Alimentarius Commision telah memberikan pedoman penerapan

HACCP yang sistematis kedalam 12 langkah, yang terdiri dari 5 langkah awal
persiapan dan diikuti 7 langkah berikutnya yang merupakan prinsip HACCP.
Adapun tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

11

1. Pembentukan Tim HACCP


Tim HACCP harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik
produk tertentu tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif.
Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dari berbagai disiplin ilmu. Apabila
beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar (SNI
HACCP, 1998).
2. Deskripsi Produk
Penjelasan yang lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi
mengenai komposisi, struktur fisika/kimia, perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis
(pemanasan, penggaraman dan lain-lain), pengemasan, kondisi penyimpanan dan
daya tahan serta metoda pendistribusiannya (SNI HACCP, 1998).
3. Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk
Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi apakah
produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua populasi atau hanya populasi
khusus yang sensitif (balita, manula, orang sakit dan lain-lain), serta cara
menangani, mengkonsumsi produk dan beberapa informasi lainnya yang penting
untuk diketahui oleh konsumen.
4. Penyusunan Diagram Alir
Bagan alir harus disusun oleh tim HACCP yang memuat seluruh proses
kegiatan dalam operasional produksi. Penerapan HACCP pada suatu kegiatan
tertentu harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah tahapan kegiatan
tersebut. Diagram alir proses harus mencakup data seperti: rincian semua bahan
mentah dan kemasan, semua kegiatan proses, profil suhu dan waktu, transfer
dalam dan antar area produksi serta gambaran desain/ perlengkapan.

12

5. Verifikasi Diagram Alir Dari Unit Produksi


Diagram alir harus diverifikasi kembali melalui pengamatan aliran proses,
kegiatan pengambilan contoh, wawancara dan pengamatan operasi rutin/ non rutin
serta jam operasi. Verifikasi dilakukan untuk memastikan penyusunan diagram
alir yang telah dibuat serta bila diperlukan adanya perubahan pada penyusunan
diagram alir (Badan Standarisasi Nasional, 1998).
6. Identifikasi Bahaya (Hazard) (Prinsip 1)
Berdasarkan Codex (1997) hazard didefinisikan sebagai suatu agen atau
kondisi biologis, kimiawi ataupun fisik dalam makanan yang berpotensi
menimbulkan dampak merugikan kesehatan (Maltimore dan Wallace, 2004).
Sehingga dalam pembagiannya hazard dalam penyelenggaraan makanan, dibagi
menjadi beberapa jenis bahaya yang dapat mempengaruhi secara negatif atau
membahayakan konsumen yaitu bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.

Adapun beberapa contoh dari bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya
fisik yang berpotensi menimbulkan dampak merugikan kesehatan, yaitu:
Jenis
Bahaya

Biologi

Contoh
Sel Vegetatif
Kapang
Virus
Parasit
Spora Bakteri

: Salmonella sp, Escherichia coli


: Aspergillus, Penicillium, Fusarium
: Hepatitis A
: Crytosporodium sp
: Clostridium botolinum, Bacillus cereus

13

Kimia

Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diizinkan,


residu pestisida, logam berat, bahan allergen

Fisik

Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau


kerikil, rambut, kuku, perhiasan

7. Tentukan CCP (Critical Control Point) (Prinsip 2)


CCP atau titik kendali kritis pengawasan didefinisikan sebagai setiap tahap
didalam proses dimana apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat
menimbulkan tidak amannya pangan, kerusakan dan kerugian ekonomi. Menurut
Winarno (2004) suatu lokasi, tingkat atau proses yang bila tidak dikendalikan
dengan baik dapat memberikan ancaman bagi konsumen. Contohnya bahan
mentah/segar merupakan critical control point bila tidak ada tahap yang dilakukan
untuk membebaskan makanan dari mikroba patogen yang terdapat dalam bahan
mentah tersebut.
8. Menentukan Batas Kritis Untuk Setiap CCP (Prinsip 3)
Penentuan batas kritis terhadap CCP yang ditetapkan berdasarkan referensi
dan standar teknis serta observasi unit produksi. Batas kritis tidak boleh
terlampaui, karena sudah merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya
dapat dikontrol. Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman
dan tidak aman sehingga produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman.
Menurut Winarno (2004) terdapat beberapa contoh batas-batas kritis pada proses
produksi pangan, yaitu:
Bahaya

CCP

Batas Kritis

Bakteri pathogen

Penyimpanan
sementara bahan
baku

Suhu chilling 0 - 4 C

Bakteri pathogen

Pengeringan dengan
oven

Aw < 0,85 untuk


mengendalikan pertumbuhan
bakteri pada produk kering

14

Kelebihan nitrat

Penggaraman

Sodium nitrat 200 ppm

Histamin

Penerimaan bahan
baku

< 25 ppm

9. Tetapkan Sistem Monitoring Untuk Setiap CCP (Prinsip 4)


Merupakan tahap dimana tindakan dari pengujian atau observasi yang
dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP, dan merupakan kegiatan
untuk menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui. Monitoring batas kritis
ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur pengolahan atau penangan pada CCP
terkendali, efektifdan terencana untuk mempertahankan keamanan produk.
Terdapat lima cara monitoring CCP, yaitu : observasi visual, evaluasi sensori,
pengujian fisik, pengujian kimia dan pengujian mikrobiologi.
10.

Tetapkan Tindakan Koreksi Penyimpangan Yang Mungkin


Terjadi (Prinsip 5)

Tindakan koreksi adalah prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan


ketika kesalahan serius atau kritis ditemukan atau batas kritis terlampaui. Apabila
terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP, maka tindakan koreksi harus
segera dilaksanakan. Setiap tindakan koreksi yang dilaksanakan harus
didokumentasi untuk tujuan modifiikasi suatu proses atau pengembangan lainnya.
11. Tetapkan Prosedur Verifikasi (Prinsip 6)
Verifikasi merupakan cara-cara/prosedur dan pengujian-pengujian untuk
mengidentifikasi semua pelaksanaan program HACCP, apakah dilaksanakan
sesuai rencana HACCP. Dalam pelaksanaan HACCP ada dua macam verifikasi
yaitu verifikasi internal dan verifikasi eksternal. Secara umun verifikasi internal

15

dan eksternal mempunyai empat jenis kegiatan, diantaranya : validasi HACCP,


peninjauan kembali hasil pemantauan, pengujian produk dan auditing.
12.

Tetapkan

Penyimpanan

Catatan

Dan

Dokumentasi

(Prinsip 7)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari langkah-langkah penerapan HACCP.
Pencatatan yang tepat dan efisien adalah penting untuk penerapan suatu sistem
HACCP. Prosedur dokumentasi HACCP pada semua tahapan harus tercakup dan
tersusun dalam suatu program. Penyimpanan catatan dan dokumentasi bertujuan
untuk memberikan bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses
yang ada, jaminan pemenuhan peraturan, kemudahan pelacakan produk dan
peninjauan catatan, rekaman pada pengukuran- pengukuran serta merupakan
sumber tinjauan data yang diperlukan bila ada audit.

DAFTAR PUSTAKA

CAC, Committee on Food Hygiene, 1997. 27p.


Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Sistem Analisa Bahaya Dan
Pengendalian Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya. Badan
Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.
Departemen Perdagangan. 1992. Pedoman Peningkatan Mutu Komoditi Ekspor
Indonesia. PT. Dharma Niaga. Jakarta.

16

Fardiaz dan Srikandi. 1993. Prinsip Dan Penerapan HACCP Dalam Industri
Pangan. Diktat Mata Kuliah Jurusan Teknologi Pangan Dan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Loo, T.G. 1983. Penuntun Praktis Mengelola Teh dan Kopi. PT. Kinta. Jakarta.
Nazarudin dan Paimin. 1993. Pembudidayaan Dan Pengolahan Teh. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Notermans, S., A.W. Barendsz, Zeist dan F. Rombouts. 2002. The Evolution Of
Microbiological Risk Assessment, p. 5-43. Dalam brown, M dan M.
Stringer (Eds.) Microbiological Risk Assessment In Food Processing. CRC
Press. Boca Raton, Boston, New York, Washington, DC.
PT. Sinar Sosro. 1996. Standard Operational Procedure Bagian Quality Control
Analis. PT. Sinar Sosro, Jakarta.
Siswoputranto, P.S. 1978. Perkembangan Teh, Kopi, Coklat Internasional.
Gramedia. Jakarta.
Soekarto, S. T. 1990. Dasar Dasar Pengawasan Mutu Dan Standarisasi Mutu
Pangan. IPB Press. Bogor.
Standar
Nasional Indonesia 01-4852-1998 tentang Analisa Bahaya Dan
Pengendalian Titik Kritis (Haccp) Serta Pedoman Penerapannya.
Werkhoven. 1974. Tea Processing. Food and Agriculture Organization of The
United Nation. Rome.
WHO (World Health Organization). 2005. Penyakit Bawaan Makanan : Fokus
Untuk Pendidikan Kesehatan (Apriningsih dan Widyastuti, penerjemah).
EGC, Jakarta.
Winarno, F.G dan Surono. 2004. Haccp Dan Penerapannya Dalam Industry
Pangan. M-BRIO Press Cetakan ke 2, Bogor.

17

Anda mungkin juga menyukai