Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN KOPI, TEH, DAN KAKAO

Pelayuan Teh Hitam

Kelompok 2 :
Dinda Priskila

240210120052

Sarah Kaltsum

240210120054

Prudence Andrew

240210120056

Desrizal A.A

240210120064

Fania Evelyn R.

240210120065

Nisrina Putri R. 240210110071

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teh merupakan jenis minuman yang sangat terkenal bukan hanya di Indonesia
tapi di seluruh dunia. Teh dapat digunakan sebagai jamuan tamu baik di acara
formal atau tidak. Di Inggris terdapat tradisi minum teh di sore hari yang
dahulunya dilakukan oleh para bangsawan. Teh juga berperan sebagai obat di Asia
Timur seperti China dan Jepang. Jenis teh hijau sangat populer sebagai minuman
awet muda dan memperbaiki sistem pencernaan. Teh di Indonesia juga sangat
populer dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat sebagai pendamping
makanan.
Teh adalah minuman yang mengandung kafein dan dibuat dengan cara
menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dengan air
panas. Kandungan kafein pada teh masih lebih rendah dari kandungan kafein kopi.
Satu cangkir teh mengandung 45 mg kafein, sedangkan kopi mengandung 90 mg
kafein. Istilah "teh" juga digunakan untuk minuman yang dibuat dari buah,
rempah-rempah atau tanaman obat lain yang diseduh, misalnya, teh rosehip,
camomile, krisan dan Jiaogulan. Teh yang tidak mengandung daun teh disebut teh
herbal. Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan
kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Teh bila diminum
terasa sedikit pahit yang merupakan kenikmatan tersendiri dari teh.
Tanaman teh merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan,
oleh karena itu menghendaki daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi dan
merata. Di Indonesia secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi letak
kebun teh dari permukaan laut maka makin tinggi pula kualitas teh yang
dihasilkan. Di daerah-daerah dengan ketinggian tempat antara 700-1000 M dpl,
kebun selalu menghasilkan hasil yang baik sekali kualitasnya. Selain itu Tanaman
teh dapat tumbuh sampai ketinggian sekitar 6-9 M. Di perkebunan-perkebunan
tanaman teh dipertahankan hanya sampai sekitar 1 m tingginya dengan
pemangkasan secara berkala.
Berdasarkan cara pengolahannya, teh dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu teh fermentasi (teh hitam), teh semi fermentasi (teh oolong dan teh
pouchong) serta teh tanpa fermentasi (teh hijau). Baik teh hitam, teh hijau maupun
teh oolong dan teh pouchong dapat diolah dari bahan baku yang sama yaitu daun
teh atau Camellia sinensis. Berdasarkan varietasnya, Camellia sinensis dibagi
menjadi dua yaitu Camellia sinensis varietas Assamica dan Camellia sinensis

varietas sinensis. Di Indonesia, sebagian besar tanamannya berupa Camellia


sinensis varietas Assamica. Salah satu kelebihan dari varietas Assamica ini adalah
kandungan polifenolnya yang tinggi sehingga teh Indonesia lebih berpotensi dalah
hal kesehatan dibandingkan teh Jepang maupun teh China yang mengandalkan
varietas Sinensis sebagai bahan bakunya.
Pengolahan teh melibatkan beberapa tahapan, salah satunya adalah pelayuan
teh. Pelayuan ini dilakukan untuk menghilangkan terbuangnya air dari daun dan
meminimalisir terjadinya oksidasi. Daun teh dapat dijemur atau ditiriskan di
ruangan berangin lembut untuk mengurangi kelembaban. Tujuan pelayuan ini
adalah untuk mengurangi kadar air daun teh hingga 70% (persentase ini bervariasi
dari satu wilayah dengan yang lain) dan membuat daun teh lebih lentur dan
mudah digulung serta memudahkan cairan sel keluar dari jaringan pada saat
digulung.
Proses pelayuan akan berpengaruh terhadap kualitas dari teh kering yang
dihasilkan. Jika daun terlalu cepat layu, teh kering yang dihasilkan akan memiliki
karakteristik aroma yang kurang harum. Sebaliknya jika daun terlalu lama layu,
teh kering akan memiliki karakteristik rasa yang kurang sedap. Daun teh layu
yang baik memiliki ciri kering namun tidak putus dan tidak ada suara retak jika
digenggam. Pelayuan daun teh biasanya dilakukan pada ruangan bersuhu 30
40C selama 16 20 jam untuk mengurangi kadar air dari 70 85% menjadi 55
-65%. Pelayuan terjadi karena air-air dalam daun secara perlahan akan menguap
dan lambat laun daun akan menjadi layu. Maka dari itu, sangat penting bagi kita
untuk memperlajari proses pelayuan pada teh hitam.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut.
- Mendeskripsikan proses pelayuan pada teh hitam
- Menjelaskan tujuan pelayuan teh hitam
- Mengetahui syarat pelaksanaan pelayuan
- Menjelaskan metode pelayuan teh hitam
- Mengetahui indikator pelayuan teh hitam
- Mengetahui beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelayuan teh hitam

BAB II
ISI
2.1 Tujuan dan Prinsip Pelayuan Teh Hitam
Pucuk teh yang telah dipetik akan mengalami perubahan-perubahan
senyawa polisakarida dan protein. Perubahan-perubahan kimiawi ini akan
terganggu apabila pucuk terkena udara panas secara berlebihan atau pucuk
mengalami kerusakan mekanis. Agar pucuk dapat digiling dengan baik pada
proses penggilingan maka pucuk harus lentur. Oleh sebab itu kandungan air pucuk
harus dikurangi dengan cara menghembuskan angin dengan RH rendah melalui
pucuk. Pelayuan fisik ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan udara panas
dengan waktu kurang dari 6 jam.
Salah satu tahapan pengolahan teh adalah pelayuan. Tujuan dari pelayuan
antara lain adalah untuk mengurangi kadar air daun teh dari 75%-80% sampai
55%-65% atau sampai tingkat layu tertentu, melemaskan daun sehingga pada saat
penggilingan daun tidak pecah,

merupakan awal dari proses fermentasi,

mengurangi beban pengeringan, dan merubah senyawa kimia agar rasa dan
aromanya dapat tercapai yang baik.
Faktor yang harus diperhatikan dalam proses pelayuan antara lain suhu,
kelembaban atau RH, dan laju udara. RH yang diperlukan adalah sekitar 60-68%
dengan suhu sekitar 23-26C. Prinsip pelayuan adalah melewatkan udara hangat
pada daun teh secara merata sampai mencapai derajat layu tertentu. Derajat layu
adalah perbandingan antara berat daun layu dengan berat daun segar dalam satuan
persen. Layuan ringan memiliki kadar air 57-60%, layuan sedang memiliki kadar
air 54-56%, dan layuan berat memiliki kadar air 50-53%.
Pelayuan bertujuan untuk melemaskan daun agar mudah tergulung. Setelah
daun layu kemudian daun digulung untuk membuka sel-sel daun sehingga tercipta
kondisi yang baik bagi pertemuan enzim oksidase dan polifenolnya. Proses
pelayuan, terjadi peningkatan enzim, penguraian protein, dan peningkatan
kandungan kafein, sehingga menghasilkan bau yang sedap. Pada proses
penggulungan, terjadi oksidasi yang memungkinkan terjadinya warna cokelat dan
bau spesifik.
Menurut Syarif dan Iskandar (1986) pelayuan selain untuk menurunkan
kadar air daun, juga untuk meningkatkan konsentrasi zat-zat yang terkandung
dalam getahnya serta memberikan struktur kenyal. Kadar air yang tinggi akan
menyebabkan keluarnya getah dari mesin giling dan terbuang, menyulitkan

pengayakan karena lubangnya cepat tersumbat, serta melambatkan pengeringan.


Tabel 1. Angka-Angka Kandungan Air Dengan Tipe Layunya
Perbandingan

Persentase teh

Kandungan air

layu Kering

kering dari teh layu

dalam daun layu

(%)

(%)

(%)

2,50

40

60

2,38

42

58

2,22
2,08

45
48

55
52

2,00

50

50

Tipe layu
Sangat kurang
layu
Sedikit kurang
layu
Sedang
Terlalu layu
Sangat terlalu
layu

(Sumber : Radiana,1985)
Pengolahan teh hitam di Indonesia dapat dikategorikan dalam dua sistem,
yaitu sistem Orthodox dan sistem baru seperti CTC (Crushing-Tearing-Curling).
Meski sistem yang digunakan berbeda, secara prinsip proses pengolahannya
tidaklah jauh berbeda. Berikut ini merupakan perbedaan pelayuan dengan sistem
orthodox dan CTC:
Tabel 2. Perbedaan pelayuan cara orthodox dan CTC
Perbedaan
Target MC layu
Penggunaan udara panas

Orthodox
51-58%
Maksimal 4jam

(pelayuan)
Lama pelayuan
14-28 jam
Ketebalan hamparan
20-30 cm
Proses pengolahan
Batch
(sumber: Rahadian, 2012)

CTC
68-76%
Tidak memakai, jika
terpaksa maksimal 2 jam
12-28 cm
25-45 cm
Kontinyu

2.2 Alat dan Mesin Pelayuan Teh


Alat dan mesin yang digunakan dalam proses pelayuan yaitu:
a) Heater Exchanger
Heater Exchanger merupakan alat untuk menghasilkan udara panas yang akan
digunakan untuk menurunkan kadar air pada pucuk segar. Bahan bakar yang
digunakan adalah IDO (Internasional Diesel Oil). HE berfungsi sebagai sumber
udara panas yang diperlukan untuk proses pelayuan dan pengeringan. Bagianbagian Heater Exchanger menurut Fatkurahman, 2010 antara lain:
a. Main fan berfungsi untuk mendorong udara panas ke WT.
b. Brander pemanas merupakan sumber panas yang digunakan pada proses
pelayuan dan pengeringan.
c. Exhaust fan berfungsi untuk menghisap asap ke pembuangan.

Prinsip kerja alat ini adalah pembakaran bahan bakar (IDO) dengan burner yang
akan menghasilkan panas yang akan mengenai plat-plat di ruang pembakaran.
Kemudian energi panas akan memanaskan udara di dalamnya. Udara panas ini
dihisap oleh kipas dan dialirkan menuju palung pelayuan.

Gambar 2. Heater Exchanger


(Sumber : Putratama, 2009)
b) Withering Trough
Palung pelayuan (Withering Trough) adalah bak penampung pucuk segar yang
akan dilayukan. Palung pelayuan dilengkapi dengan beberapa komponen, yaitu :

Leaf bed, untuk menghamparkan pucuk segar yang akan dilayukan terbuat
dari wold net dan nilon net agar udara dari bawah palung dapat menembus

ke pucuk yang dihamparkan di atasnya dan daun teh tidak jatuh ke bawah.
Pipa pengirim (Transmission Duct), merupakan penghubung palung

dengan kipas unit angin.


Unit kipas angin, terdiri dari elmot, kipas dan rumah kipas yang berbentuk
bundar. Fan ini berfungsi sebagai penarik udara yang kemudian

dihembuskan ke palung. Fan ini mempunyai kecepatan 1500 rpm.


Tempat thermometer, merupakan tempat untuk meletakkan thermometer
ditengah-tengah palung pelayuan.

Prinsip kerja alat ini adalah menurunkan kadar air pucuk segar sampai kadar
air yang ditentukan. Udara panas bercampur dengan udara segar di sekitar WT.
Udara campuran ini dihembuskan ke dalam WT dengan penghembus udara yang
digerakkan oleh electromotor. Pada proses pelayuan pucuk CTC hanya
menggunakan udara segar saja. (Putratama, 2009).

Gambar 1. Serangkaian alat Wethering Trough


(Sumber : Putratama, 2009)

Gambar 2. Palung Pelayuan


(Sumber : Putratama, 2009)
2.3 Tahapan Pelayuan Teh
Metode pelayuan teh hitam dibagi menjadi 2 berdasarkan sistem yang
digunakan (Setyamidjaja, 2000) :
1.

Sistem Orthodox
Teh orthodox adalah teh yang diolah melalui proses pelayuan sekitar 16

jam, penggulungan, fermentasi, pengeringan, sortasi, hingga terbentuk teh jadi.


Proses pelayuan daun menggunakan kotak (Whitering Trough). Di dalam kotak
tersebut, terdapat kipas untuk menghembuskan angin ke daun-daun teh. Proses ini
mengurangi kadar air dalam daun teh sampai 70%. Pembalikan pucuk dilakukan
2-3 kali untuk meratakan proses pelayuan.

Gambar. Diagram alir bahan pengolahan teh hitam ortodhox


(Setyamidjaja, 2000)
Pelayuan dalam pengolahan teh hitam orthodox-rotorvane menggunakan
palung pelayuan (withering trough). Lama pelayuan untuk setiap pabrik berbedabeda, berkisar 14-18 jam. Lama pelayuan kurang dari 14 jam hanya dapat
dilakukan pada musim kemarau. Pelayuan yang berlangsung selama lebih dari 48
jam mengakibatkan teh kehilangan berat keringnya sebesar ekuivalen 1% dari
berat bahan kering teh jadinya. Tahapan pelayuan meliputi :
a. Pembeberan pucuk. Pembeberan pucuk dalam withering trough segera
dilakukan setelah pucuk tiba di pabrik agar panas dan air yang terdapat
pada permukaan pucuk segera hilang sehingga kerusakan pucuk akibat
terperam dapat dihindari. Pembeberan dilakukan satu arah dimulai dari
ujung through menuju ke sumber aliran udara (fan), dilakukan oleh dua
orang yang berhadapan dari kedua sisi trough. Pucuk diurai, disebar
merata sampai trough penuh dengan ketebalan 30 cm (30 kg pucuk/m 2).
Sementara itu udara segar segera dialirkan untuk menghilangkan panas
dan air pada pucuk dengan pintu trough dibuka. Setiap selesai membeber
pucuk dalam satu trough, pintu trough ditutup dan udara terus dialirkan.
Hasil pembeberan harus rata, pucuk satu sama lain tidak saling menempel,
agar udara pelayuan mengalir ke setiap bagian permukaan pucuk.
b. Pengaturan udara. Udara yang baik dipakai dalam proses pelayuan
adalah udara yang bersih (tanpa debu, bau dan lain-lain), mempunyai
tingkat kelembaban yang rendah (60-75%), volume yang cukup sesuai
kapasitas trough. Kemampuan udara menguapkan air ditentukan oleh
besarnya perbedaan higrometrik, yaitu perbedaan suhu bola basah dan bola

kering pada alat higrometer, bukan oleh tingginya suhu udara. Perbedaan
higrometrik udara untuk pelayuan berkisar 4-10oF, dimana perbedaan yang
paling besar terjadi di awal proses pelayuan. Pengukuran perbedaan
higrometrik dapat digunakan termo-higrometrik atau wirling higrometer.
yaitu suhu tidak lebih 280C, kelembaban sekitar 60%-75%.
Volume udara yang dibutuhkan untuk proses pelayuan dihitung
dengan dasar 18,333-21 cfm (cubic feet per minute) atau 0,5-0,6
m3/menit/kg pucuk segar, atau kapasitas kipas diharapkan dapat
menghasilkan udara 377-538 cfm/m2 permukaan hamparan pucuk. Untuk
mengukur volume udara tersebut digunakan alat anemometer.
c. Pemakaian udara dingin dan panas selama pelayuan. Proses pelayuan
diharapkan berjalan secara berkesinambungan dan tidak dipaksa terlalu
cepat layu. Pemakaian udara panas selama pelayuan sebaiknya dilakukan
apabila kelembaban relatiif lebih tinggi dari 75%. Laju penguapan air
selama pelayuan pada jam pertama sampai ke6 sangat tinggi meskipun
tanpa pengaliran udara panas. Oleh karena itu pemakaian udara panas
dapat disarankan 5 atau 6 jam setelah pucuk dibeberkan di trough.
Pengaliran udara panas disesuaikan dengan kondisi pucuk, cuaca dan
waktu turun layu ke penggilingan.
d. Suhu udara pelayuan. Suhu udara yang digunakan pada pelayuan
dianjurkan tidak melebihi 28oC, optimum 26,7oC (80oF) karena pada suhu
diatas 28oC enzim mulai terjadi denaturasi. Untuk menentukan suhu udara
yang harus dihasilkan oleh heat exchanger agar mampu menaikkan suhu
udara pelayuan (28oC), dapat dihitung berdasarkan jumlah cfm dari
withering trough kali suhu ruangan ditambah cfm heat exchanger kali X
dibagi oleh jumlah cfm withering trough dan heat exchanger.
Contoh :
= 28
= 28
= 28
= 28 X = 108oC
Keterangan :
X = 108oC = suhu udara yang dihasilkan dari heat exchanger

cfm withering trough = 10 x 30.000 = 300.000


cfm heat exchanger = 30.000
suhu ruangan = 20oC
e. Kapasitas withering trough. Kapasitas withering trough dihitung
berdasarkan pada luas hamparan pucuk (leaf bed) dari alat tersebut dengan
perhitungan setiap m2 leaf bed 20-35 kg pucuk segar. Jadi apabila
withering trough berukuran panjang 9 bagian berarti kapasitasnya 9 x 2,44
x 1,8 x (20-35 kg) = 1200-1400 kg pucuk segar. Disamping itu kapasitas
tersebut harus diperhitungkan dengan volume udara yang dihasilkan oleh
kipas yang digunakan agar tidak terjadi kekurangan udara pelayuan. Untuk
kapasitas 1200-1400 kg pucuk segar berarti diperlukan volume udara
18,333 cfm x (1200-1400 kg) = 21999-25666 cfm.
f. Penghitungan tingkat pucuk layu. Tingkat pucuk layu dinyatakan dalam
bentuk persentase layu dan derajat layu. Persentase layu adalah angka
persentase berat pucuk layu terhadap pucuk segar.
Persentase layu =
Derajat layu adalah angka persentase berat the kering asal mesing
pengering terhadap pucuk layu. Derajat layu dapat mencerminkan
kandungan air dalam pucuk layu.
Derajat layu =
Persentase layu menggambarkan penurunan berat pucuk akibat hilangnya
air pada permukaan dan di dalam pucuk, sehingga persentase layu sangat
dipengaruhi adanya air pada permukaan pucuk yang jumlahnya sulit
diketahui. Oleh karena itu persentase layu tidak mencerminkan kandungan
air yang ada dalam pucuk layu. Tingkat layu pucuk yang baik adalah 44%
- 46%, dengan toleransi perbedaan dari hari ke hari tidak lebih dari 2% 3%, disertai dengan hasil layuan yang merata
2.

Sistem CTC (Cutting, Tearing, dan Curling)


Teh CTC (Cutting, Tearing, dan Curling) yakni teh yang diolah melalui

perajangan, penyobekan, dan penggulungan daun basah menjadi bubuk kemudian


dilanjutkan dengan fermentasi, pengeringan, sortasi, hingga terbentuk teh jadi.
CTC ini terjadi secara serempak dalam satu kali putaran dari sepasang roll, dalam
proses penggilingan daun. Dengan pengolahan sistem CTC ini hampir semua sel
daun (pucuk) teh menjadi hancur sehingga proses fermentasi dapat berjalan

dengan merata.

Gambar. Diagram alir bahan pengolahan teh hitam ortodhox


(Setyamidjaja, 2000)
Cara pelayuan pucuk untuk pengolahan teh CTC hampir sama dengan
pelayuan pada pengolahan teh orthodox. Perbedaannya terletak pada tingkat layu
pucuk yang relatif sangat ringan dengan derajat layu 32%-35% dan kadar air
65%-68%. Proses pelayuan membutuhkan waktu 4-6 jam, dan masih memerlukan
pelayuan kimia (chemical withering) sehingga pelayuan diperpanjang menjadi 1216 jam. Pemakaian hembuasan udara panas hanya dilakukan apabila pucuk dalam
keadaan basah, pembalikan, dan pengurapan tetap dilakukan agar diperoleh hasil
layuan yang merata. Pucuk tersebut dihamparkan di atas palung layuan (withering
trough) yang berkapasitas 25 kg-30 kg per m2.
Tabel . Perbedaan antara teh hitam orthodox dan teh CTC
No.
1.
2.
3.
4.

Uraian
Bentuk
Citarasa
Penyajian
Kebutuhan

Teh Orthodox
Agak pipih
Kuat
Lambat
400-500 cangkir per

Teh CTC
Butiran
Kurang
Cepat
800-1000 cangkir per

penyeduhan
(Sumber: Setyamidjaja, 2000)

kg teh

kg teh

Tabel. Derajat layu pada berbagai sistem penggilingan teh


Sistem Penggilingan
Orthodox
Orthodox-rotorvane
CTC
(Sumber: Setyamidjaja, 2000)

Derajat layu
44-46
45-47
30-35

2.4 Perubahan yang Tejadi Saat Pelayuan

Tingkat layu
sedang
sedang berat
sangat ringan

Dalam proses pelayuan, pucuk teh akan mengalami dua perubahan, yatu
pertama perubahan senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam pucuk, dan
kedua menurunnya kandungan air sehingga pucuk menjadi lemas (flacid) (Lase,
2010). Perubahan pertama lazim disebut proses pelayuan kimia dan yang kedua
disebut pelayuan fisik.
1.

Pelayuan Kimia
Proses pelayuan kimia disebut juga sebagai perubahan kimia berlangsung

setelah pucuk dipetik di kebun sampai dalam proses pelayuan. Proses pernapasan
(respirasi) terus berlangsung selama sel-selnya masih utuh. Selama proses
pelayuan terjadi perombakan senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam
pucuk, antara lain kandungan asam amino, naiknya kandungan senyawa penentu
rasa dan aroma, serta meningkatnya permeabilitas dinding sel.
Pada proses pelayuan, terjadi peningkatan enzim, penguraian protein,
berkurangnya kandungan zat padat, berkurangnya pati dan gum, naiknya kadar
gula, dan peningkatan kandungan kafein, sehingga menghasilkan bau yang sedap.
Senyawa katekin tidak mengalami perubahan salama pelayuan, tetapi karena
kandungan air turun maka kadar katekin menjadi tinggi. (Radiana, 1985;
Kustamiyati, 1982 dalam Putratama, 2009). Selama proses ini berlangsung,
katekin akan diubah menjadi theaflavin dan thearubigin yang merupakan
komponen penting baik terhadap warna dan rasa teh (Andrianis, 2009).
Menurut Arifin (1994) dalam Putratama (2009), daun teh, mengandung
protein yang dirasakan sangat besar peranannya dalam pembentukan aroma pada
teh hitam. Diketahui bahwa perubahan utama selama pelayuan adalah
pembongkaran protein menjadi asam-asam amino. Asam amino bersama
karbohidrat dan tanin akan membentuk senyawa aromatis. Asam amino yang
banyak berpengaruh dalam hal ini adalah alanin, fenil alanin, valin, leusin dan
isoleusin.
Jika dilakukan analisis pada daun teh antara daun teh yang diberi
perlakuan pelayuan (A) daun yang dikeringkan (B) dan daun yang segar (C),
maka akan diperoleh:
1. Kadar Air
Kadar air yang didapat adalah pada perlakuan C (daun yang segar) lebih besar
dibandingkan pada daun teh dengan perlakuan A (daun yang dilayukan) dan
daun teh yang dikeringkan (perlakuan B) memiliki kadar air yang lebih
sedikit. Angka-angka memperlihatkan perbedaan yang nyata karena
perlakuan proses pendahuluan yang dilakukan menyebabkan penurunan kadar
air.

2. Kadar Abu
Kadar abu tertinggi terdapat pada daun teh segar dan yang terendah terdapat
pada daun teh yang dilayukan. Hal ini menunjukkan bahwa

perlakuan

pendahuluan pada daun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap


kadar abu daun teh yang dihasilkan.
3. Kadar Tanin
Kadar tanin tertinggi didapatkan pada perlakuan daun yang dilayukan (A) dan
terendah didapatkan pada perlakuan daun yang dikeringkan (B). Tingginya
kadar tannin daun yang dilayukan (perlakuan A) daripada daun teh segar
(perlakuan C) disebabkan karena pada saat pelayuan kegiatan metabolisme
daun terhenti atau kalaupun ada, berjalan dengan sangat lambat dan juga
terjadi penurunan kadar air sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi
bahan yang terdapat dalam daun, sehingga tannin yang terkandung didalam
daun yang layu konsentrasinya lebih tinggi daripada konsentrasi kadar tanin
daun teh segar. Pada daun yang dikeringkan (perlakuan B) kadar tanninya
menjadi lebih rendah daripada daun teh yang dilayukan saja (perlakuan A)
hal ini disebabkan

karena

pada

saat pengeringan

tannin

teroksidasi

menjadi teaflavin dan tearubigin, sehingga kadar tannin pada daun teh yang
dikeringkan (perlakuan B) lebih sedikit daripada daun teh segar dan daun teh
yang dilayukan saja.
4. Kadar Theaflavin
Kadar theaflavin tertinggi terdapat pada perlakuan daun yang dikeringkan
(B) dan kadar theaflavin terendah didapat pada daun segar (C). Teaflavin
adalah hasil oksidasi enzimatis dari senyawa polifenol. Kadar teaflavin pada
daun yang dilayukan (A) lebih tinggi daripada kadar tannin daun teh segar
(C) disebabkan karena setelah daun dilayukan dilanjutkan dengan proses
penggulungan

dan

pengecilan

ukuran,

dimana

pada

saat

proses

penggulungan proses fermentasi sudah dimulai sehingga pada saat


tersebut

sudah

mulai terbentuk

senyawa

teaflavin,

seperti

yang

dinyatakan oleh Nasution dan Wachyudin (1975). Pada perlakuan daun


teh yang dikeringkan (perlakuan B) kadar teaflavin yang didapat lebih
tinggi daripada kadar teaflavin perlakuan A disebabkan karena pada saat
proses pengeringan daun terjadi proses fermentasi oleh enzim oksidase.
5. Kadar Serat Kasar
Pengujian serat kasar menunjukkan

bahwa perlakuan pendahuluan tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar serat kasar daun teh. Kadar
serat kasar daun terbesar yaitu pada daun teh yang diberikan perlakuan

pelayuan dibandingkan dengan daun teh yang diberikan perlakuan


pengeringan atau daun teh yang segar. Perbedaan ini disebabkan karena
bahan-bahan berselulosa dan serat kasar tidak mengalami perubahan
selama pengolahan pucuk teh segar menjadi teh kering karena tidak ada
penambahan zat kimia berupa asam, karena serat kasar terhidrolisa oleh
asam.

(Winarno,

1997). Penurunan kadar serat kasar pucuk teh yang

dikeringkan juga diduga disebabkan karena tingkat kematangan daun yang


berbeda, dimana daun yang muda kandungan seratnya lebih rendah dari pada
daun yang tua.
Mahanta dan Baruah (1989) menyatakan bahwa semakin layu pucuk teh,
maka komponen volatil pembentuk flavor, kafein, dan total padatan terlarut akan
meningkat baik pada metode orthodox maupun CTC, kecuali serat kasar. Proses
pelayuan pada pengolahan teh hitam dapat mengendalikan pembentukan senyawa
terpen yang akan mempengaruhi kualitas citarasa dari seduhan teh hitam.
Pelayuan menyebabkan degradasi protein dan lipid pucuk teh yang berkontribusi
terhadap pembentukan senyawa aroma pada teh. Pucuk teh dengan tingkat
kelayuan normal memberikan kualitas seduhan terbaik dibandingkan dengan
pucuk yang sangat layu.
Tabel. Total komponen volatil golongan terpenoid dan non-terpenoid pada
tingkat pelayuan the yang berbeda

(Sumber: Mahanta dan Baruah, 1989)


2.

Pelayuan Fisik
Pelayuan fisik atau perubahan fisik pucuk teh disebabkan oleh

menurunnya kandungan air dalam pucuk the akibat proses penguapan baik oleh
aliran udara maupun panas yang dihembuskan. Penguapan air sebagian besar
terjadi melalui mulut-mulut daun (stomata), sehingga daun relatif lebih cepat layu
dibandingkan bagian internodia (tangkai). Proses pelayuan ini diusahakan agar
berjalan dengan berkesinambungan dan tidak dipaksa terlalu cepat layu.
Pelayuan dihentikan atau dianggap cukup apabila baik kondisi kandungan

air maupun perubahan senyawa-senyawa kimia dalam pucuk layu telah mencapai
optimal sesuai dengan harapan mutu the jadi yang dihasilkan.
Hasil pelayuan yang baik ditandai dengan pucuk layu yang berwarna hijau
kekuningan, tidak mengering, internodia (tangkai) muda menjadi lentur, kalau
digenggam terasa lembut dan bila dilemparkan tidak akan buyar serta timbul
aroma yang khas seperti buah masak.
2.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pelayuan Teh
Faktor-faktor yang memengaruhi pelayuan teh bisa bersumber dari faktor
bahan dan faktor lingkungan, diantaranya :
1. Kadar Air
Kadar air bahan sangat berpengaruh terhadap proses pelayuan pucuk teh.
Kadar air yang cukup tinggi akan mengakibatkan proses pelayuan relatif berat
karena jumlah air yang harus diuapkan besar. Kadar air pucuk teh dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain : ketinggian kebun dari permukaan laut, jenis
klon, keadaan lingkungan, cara dan waktu pemetikan pucuk teh, keadaan cuaca,
dan lain-lain, sehingga kadar air pucuk teh dari tiap-tiap daerah berbeda-beda
(Sukarjaputra, 1974).
2. Tebal Tumpukan
Menurut Nazzarudin (1993), tebal tumpukan pucuk teh memengaruhi suhu
udara yang dihembuskan. Dalam proses pelayuan, udara merupakan pengangkut
massa air dan panas. Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya jumlah udara
pelayu yang dialirkan pada tumpukan bahan yang dilayukan maka kapasitas udara
pelayu dan laju penurunan kadar airnya semakin besar.
3. Derajat Layu
Derajat layu didefinisikan sebagai presentase berat teh kering dari mesin
pengering terhadap pucuk layu (berat layuan), sedangkan presentase layu adalah
angka presentase berat pucuk terhadap pucuk segar (Nasution dan Wachyudin,
1985). Derajat layu sangat dibutuhkan untuk melihat kadar air pucuk layunya.
Semakin kecil kadar airnya, maka semakin baik pucuk itu diproses lebih lanjut.
4. Lama Pelayuan
Lama proses pelayuan tiap pabrik berbeda-beda, umumnya antara 14 18
jam. Waktu pelayuan yang terlalu singkat akan menghasilkan pucuk yang kurang
layu, dengan sifat-sifat kimia pucuk daun teh tidak dalam keadaan optimum.
Misalnya daun teh tidak mudah digulung sehingga proses oksidasi enzimatis tidak
sempurna dikarenakan sedikitnya cairan sel yang keluar dan partikel teh kering
mempunyai kenampakan yang terbuka.

Waktu pelayuan yang panjang memberikan warna yang lebih baik pada
produk akhir berupa air seduhan berwarna gelap akan tetapi flavour dan kualitas
produk akhir rendah.
5. Suhu dan Laju Udara Pelayu
Proses pengolahan teh hitam memerlukan enzim sebagai biokatalisator,
sehingga udara pelayu sebaiknya tidak lebih dari 28oC, karena jika suhu udara
pelayu lebih besar dari nilai itu akan mengakibatkan pucuk layu menjadi merah
dan akan memengaruhi kualitas teh yang dihasilkan dan juga mengganggu
tahapan proses selanjutnya.
2.6 Indikator Pelayuan Teh
Indikator-indikator bahwa pelayuan telah dilakukan dengan optimal antara
lain :

Mencapai kadar air optimal


Warna pucuk teh hijau tua kekuning-kuningan
Apabila dikepal menjadi bola
Jika diraba seperti meraba sapu tangan sutera
Apabila diremas tidak menimbulkan bunyi patah
Apabila tangan ditekankan pada tumpukan pucuk akan meninggalkan

bekas
Aromanya tercium sedap berbeda dengan pucuk segar.

BAB III
KESIMPULAN
1. Pelayuan teh adalah proses menghilangkan air dari daun teh sehingga daun
menjadi lebih lentur dan meminimalisir terjadinya oksidasi.

2. Tujuan pelayuan ini adalah untuk mengurangi kadar air daun teh hingga 70%,
membuat daun teh lebih lentur dan mudah digulung, serta memudahkan
cairan sel keluar dari jaringan pada saat digulung.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayuan teh antara lain kadar air, suhu,
pembalikan daun, dan waktu.
4. Alat dan mesin yang digunakan dalam proses pelayuan yaitu palung pelayuan
(Withering Trough) dan Heater Exchanger.
5. Pelayuan fisik ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan udara panas
dengan waktu kurang dari 6 jam.
6. Pada proses pelayuan, terjadi peningkatan enzim, penguraian protein,
peningkatan kandungan kafein, sehingga menghasilkan bau yang sedap.
Selain itu, katekin akan diubah menjadi theaflavin dan thearubigin yang
merupakan komponen penting baik terhadap warna dan rasa teh.

DAFTAR PUSTAKA
Andrianis, Y. 2009. Pengolahan Teh. Available online at http://y-andria.com
(Diakses pada 16 September 2014).
Fatkurahman, Rifa. 2010. Laporan Magang di PTPN IX (Persero) Kebun Semigih
Moga Pemalang (Proses Produksi Teh Hitam). Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.

Kusuma, S.A.F. 2009. Jenis Teh dan Pengolahannya.Fakultas Farmasi Universitas


Padjadjaran, Bandung.
Lase, V. A. 2010. Laporan Praktek Kerja Lapangan Pada Pengolahan Teh Hitam
(Orthodox) Di PTPN IV Sidamanik. Departemen Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Mahanta, P. Kr. dan S. Baruah. 1989. Relationship between Process of Withering
and Aroma Characteristics of Black Tea. Journal Science Food Agriculture
(46): 461-468.
Nasution, M.Z dan Wachyuddin. 1975. Pengolahan Teh. Depertemen Teknologi
Hasil Pertanian. Fatemeta-IPB, Bogor.
Putratama, Muhammad S.W. 2009. Pengolahan Teh Hitam Secara CTC di PT.
Perkebunan Nusantara VIII, Kebun Kertamanah Pangalengan- Bandung.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Radiana, S. 1985. Petunjuk Pengolahan Teh Hitam. PT. Wiga Guna, Jakarta.
Setyamidjaja, D. 2000. Teh Budi Daya dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius,
Yogyakarta.
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sukarjaputra. 1974. Pengolahan Teh Hitam. PTP XIII. Bandung
Nasution dan Wachyudin. 1985. Pengolahan Teh. Agroindustry Press. Jurusan
Teknologi Industri, Fateta, IPB, Bogor.
Nazzarudin dan Farry B. Paimin. 1993. Pembudidayaan dan Pengolahan Teh.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Syarif dan Iskandar, 1986. Teknologi Pengolahan Teh Hitam (Ortodoks). PT. Wiga
Guna, Jakarta.
Putratama, Muhammad S.W. 2009. Pengolahan Teh Hitam Secara CTC di PT.
Perkebunan Nusantara VIII, Kebun Kertamanah Pangalengan- Bandung.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai