Daftar Isi
Abstraksi....................................................................................................................................i
Kata Pengantar ....................................................................................................................... iii
Daftar Singkatan ..................................................................................................................... iv
1
Pendahuluan ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2 Permasalahan ............................................................................................................... 14
1.3 Ruang Lingkup ............................................................................................................. 15
1.4 Tujuan dan Manfaat ..................................................................................................... 15
1.4.1
Tujuan ................................................................................................................. 15
1.4.2
Manfaat ............................................................................................................... 15
2.1.7.
4.1 Arah Kebijakan Jangka Panjang Pembangunan Regulasi di Indonesia ................... 119
4.2 Arah Kebijakan Jangka Menengah (2015-2019) Pembangunan Regulasi di Indonesia
.................................................................................................................................... 125
5.
Abstraksi
Dinamika penyelenggaraan negara dalam kurun waktu RPJMN 2010-2014,
berpengaruh sangat signifikan terhadap perencanaan pembangunan periode selanjutnya
(RPJMN 2015-2019). Dinamika ini juga mempengaruhi pembangunan regulasi di
Indonesia. Fungsi regulasi sebagai a tool of social engineering yang seharusnya menjadi
fokus dalam perencanaan pembangunan di bidang regulasi seakan terlupakan. Bahkan
terdapat kecenderungan regulasi menjadi alat bagi masing-masing sektor untuk
memperjuangkan kepentingannya. Akibatnya, peraturan perundang-undangan yang
terbentuk, khususnya undang undang seolah-olah hanya menjadi undang undang bagi
sektor tertentu, bukan lagi undang undang bagi seluruh masyarakat Indonesia. Padahal,
regulasi seharusnya justru dapat menjadi faktor integrasi, yang bukan hanya
mengintegrasikan wilayah, namun juga mampu mengintegrasikan berbagai kebijakan
dalam penyelenggaraan negara.
Sektoralisme regulasi,
berpengaruh langsung terhadap kualitas maupun
kuantitas-undang undang. Kuantitas undang undang berlebihan (overregulated) karena
tidak adanya otoritas pengendali regulasi nasional secara keseluruhan. Selain itu, jumlah
undang undang juga tidak proporsional, karena institusi pembentuk undang undang tidak
mengetahui proporsi regulasi yang dibutuhkan untuk mengoperasionalkan tugas dan
fungsinya. Secara kualitas, kondisi undang undang juga sangat tidak kondusif. Banyaknya
undang undang yang saling konflik, inkonsisten, multitafsir, duplikasi, tidak operasional,
bermasalah secara sosiologis, dan tidak ramah urusan sudah menjadi pembicaraan umum
di semua sektor dan lintassektor. Kondisi perundang-undangan yang seperti ini seringkali
menyulitkan pemerintah maupun masyarakat pada tataran pelaksanaan. Berbagai
permasalahan yang diakibatkan oleh tidak kondusifnya kondisi perundang-undangan
menimbulkan tingginya tingkat ketidakpastian hukum di Indonesia.
Pemilihan, penentuan, dan perumusan kebijakan memiliki kontribusi yang sangat
besar terhadap terjadinya ketidakpastian hukum di Indonesia. Peraturan perundangundangan atau regulasi hanyalah merupakan salah satu alat untuk mengoperasionalkan
kebijakan, terutama yang bersifat strategis. Isi regulasi itu sendiri adalah kebijakankebijakan yang hendak dioperasionalkan dengan regulasi. Dengan demikian, kesalahan
pemilihan atau penuangan kebijakan dalam suatu regulasi akan berakibat timbulnya
regulasi-regulasi bermasalah yang pada akhirnya akan menyulitkan pelaksanaannya.
Selama ini, ditengarai banyak terjadi kesalahan dalam perumusan kebijakan yang
dituangkan dalam regulasi, atau kebijakan yang sudah berkualitas namun dirumuskan
secara salah dalam suatu regulasi, yang ternyata memang memunculkan banyak masalah
dalam pelaksanaannya.
Mengingat hubungan kausal antara kebijakan dan regulasi tersebut, maka untuk
terciptanya regulasi yang berkualitas, kebijakan-kebijakan yang dimuat dalam regulasi
harus berkualitas pula. Kebijakan yang tidak berkualitas akan berimplikasi pada
terbentuknya regulasi yang tidak berkualitas. Selain itu, pemilihan kebijakan yang kurang
tepat untuk dituangkan dalam bentuk regulasi juga dapat mengarah pada jumlah regulasi
yang tidak proporsional karena banyaknya kebijakan yang dioperasionalkan dengan
regulasi, meskipun sesungguhnya kebijakan tersebut tidak diperlukan, atau cukup
dilaksanakan dengan political will pemerintah tanpa harus diikuti dengan pembentukan
regulasi . Konsekuensi lanjutan dari regulasi yang tidak berkualitas dan proporsional
mencakup dimensi yang luas mengingat regulasi menjadi dasar bagi setiap tindakan. Dari
perspektif finansial, kerugian yang terjadi meliputi biaya pembentukan regulasi, biaya
i
operasionalisasi atau implementasi regulasi serta biaya penegakan hukum. Sedangkan dari
perspektif sosial, sistem regulasi yang tidak proporsional dan tidak berkualitas
mengakibatkan terhambatnya kesempatan bagi anggota masyarakat untuk
mengembangkan diri dalam berbagai hal.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka kualitas kebijakan dan sinergitas antara
kebijakan (policy) dengan regulasi menjadi sangat penting guna tercapainya tujuan
pembangunan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk itu,
dibutuhkan perencanaan regulasi yang sinergis dengan kebijakan yang telah dirumuskan,
holistik, futuristik sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan berbagai bidang
pembangunan secara harmonis, dan disertai indikasi anggaran baik untuk pembentukan
maupun pelaksanaannya. Perencanaan regulasi seperti ini dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan
nasional.
Sehubungan dengan itu, maka bertepatan dengan akan disusunnya RPJMN
Tahap Ketiga (RPJMN 2015-2019), maka dilakukan upaya pengintegrasian kerangka
regulasi dalam RPJMN 2015-2019 untuk mensinergikan kebijakan yang akan dirumuskan
dengan regulasi yang akan disusun oleh berbagai sektor dan bidang pembangunan dalam 5
(lima) tahun ke depan dalam rangka pencapaian visi dan misi Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Sesuai pentahapan RPJPN, RPJM ke-3 ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan
menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan sumber daya
alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang
terus meningkat. Berdasarkan pentahapan RPJPN tersebut, maka kerangka regulasi yang
diintegrasikan dalam RPJMN 2015-2019 meliputi kerangka regulasi di bidang Sumber
Daya Manusia, Sumber Daya Alam, dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta berbagai
regulasi terkait. Pembangunan perundang-undangan ke depan harus dilakukan tanpa
meninggalkan landasan idiil Pancasila sebagai sumber filosofi pembangunan, landasan
konstitusional UUD NRI Tahun 1945 khususnya Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 yang memuat tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yakni melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dan Batang
Tubuh UUD NRI Tahun 1945 pasal 27 ayat (1) yang menjamin persamaan kedudukan
segala warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Pembangunan perundangundangan yang tetap berdasarkan pada landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UUD NRI Tahun 1945 akan melahirkan peraturan perundang-undangan
yang bertanggung jawab, serta mendudukkan kepentingan negara dan kepentingan publik
di atas kepentingan pribadi maupun golongan/kelompok tertentu.
Kata Kunci: Perencanaan, Pembangunan, Kebijakan, Regulasi, Perundang-undangan,
Sinergis
ii
Kata Pengantar
Background Study Pengintegrasian Kerangka regulasi dalam Draft RPJMN 20152019ini bertujuan untuk mengetahui apakah kerangka regulasi yang selama ini dibentuk
telah sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pembangunan di segala bidang; mengidentifikasi kerangka, regulasi apa
saja yang masih diperlukan/disempurnakan untuk mendukung pembangunan bidang
hukum dalam 5 (lima) tahun ke depan; memberi arah dan landasan kegiatan
penyelenggaraan negara dan pembangunan, berupa indikasi dan arah kerangka regulasi
yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun ke depan; dan menyusun konsep
kerangka regulasi dalam perencanaan pembangunan sebagai bagian dari upaya
pencapaian Visi dan Misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Dalam penyusunan Kajian Background Study ini, Tim telah berupaya untuk
bekerja secara maksimal sesuai dengan tujuan penelitian. Namun demikian, dalam hasil
penelitian dan penulisan ini tentu masih banyak terdapat kekurangan, baik karena
berbagai keterbatasan pengetahuan anggota Tim Peneliti, maupun keterbatasan referensireferensi atau sumber-sumber yang digunakan. Untuk itu, saran dan kritik dari para
pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan Background Study
ini.
Atas terselesaikannya penulisan Background Study Pengintegrasian Kerangka
regulasi dalam RPJMN 2015-2019 ini, Bappenas, khususnya Direktorat Analisa Peraturan
Perundang-undangan, mengucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti dan berbagai pihak
yang turut membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
Mudah-mudah hasil Kajian Background Study ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019.
Jakarta,
Desember 2013
Tim Penyusun,
iii
Daftar Singkatan
UUD NRI
MPR
DPR
DPD
DPRD
UU
PAD
GBHN
NKRI
SPPN
RPJPN
RPJMN
RKP
PROLEGNAS
RUU
PDB
HAM
MK
PUU
GCR
WGI
FDI
OECD
IPR
RRRI
SDM
PP
RPJPD
RKA-KL
RPJMD
RKPD
SDA
K/L
LSM
APBN
RAPBN
MA
SETDA
SKPD
UUPA
CBA
CEA
BPHN
NA
BPK
Perda
HGU
PNS
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
JDIHN
Permen
USAID
JICA
PT
KIB
IPTEK
UKE
MTEF
ASEAN
LPNK
BUMN
WPP
RPP
MoU
IUU
KPS
KPH
PB
IKLH
PI
RAN/RADGRK
RAN-API
LH
PROPER
SIAK
KB
DAK
PKH
PNPM
SPM
NSPK
PPP
JKN
LPTK
LAM
CSR
PTPPO
RAN-PHRP
PPRG
KHA
AUD HI
ADD
ABH
EPZ
FTZ
NPD
SNI
IKCEPA
RT
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
RW
UMKM
PK
RPP
KSP
UNCAC
KUHP
KUHAP
SPPA
RTRWN
RZWP3K
BKPRN
BKPRD
PPNS
RTR KSN
BPHTB
P4T
SPP
TOD
PKG
SPD
KAPET
BP KEK
BCA
BTA
PLB
CIQS
GBC
HLC
JIP
Otsus
OAP
SOTK
USO
TIK
ICT
IPP
BBM
LPG
KLHS
PLTA
TAPERA
MBR
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Rukun Warga
Usaha Mikro Kecil Menengah
Penanggulangan Kemiskinan
Rancangan Peraturan Pemerintah
Koperasi Simpan Pinjam
United Nation Convention Against Corruption
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata
Sistem Peradilan Pidana Anak
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah
Standar Pelayanan Perkotaan
Transit Oriented Development
Pusat kegiatan Global
Standar Pelayanan Perdesaan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Badan Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus
Border Crossing Agreement
Border Trade Agreement
Pas Lintas Batas
Custom, Immigration, Quarantine, and Security
General Border Committee
High Level Committee
Jalur Inspeksi Perbatasan
Otonomi Khusus
Orang Asli Papua
Struktur Organisasi Tatakerja Perangkat Daerah
Universal Service Obligation
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Information and Communication Technology
Independent Power Producers
Bahan Bakar Minyak
Liquid Petroleum Gas
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pusat Listrik Tenaga Air
Tabungan Perumahan Rakyat
Masyarakat Berpenghasilan Rendah
vi
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
2013
Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, pada intinya berisi pembentukan
Pemerintahan Negara Indonesia, sebagaimana di dalam kalimat: ... membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia... dan penetapan tujuan bernegara, yang meliputi: (a)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan (b) untuk
memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Kata keadilan sosial pada bagian akhir alinea keempat mengulang kembali
pernyataan keadilan sosial di dalam penyataan mengenai dasar negara, yaitu ... dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula di
dalam Penjelasan UUD NRI 1945 dalam pokok pikiran pertama menyatakan "Negara"
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kata keadilan sosial baik di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 maupun di
dalam penjelasannya serta penempatan dan penjabarannya di dalam Pokok Pikiran
Pertama, menunjukkan menunjukkan pentingnya mewujudkan keadilan sosial di dalam
penyelenggaraan negara. Adalah kewajiban negara untuk mewujudkan tujuan bernegara,
termasuk di dalamnya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sampai
dengan saat ini, Pencapaian keadilan sosial sejak Indonesia merdeka masih menjadi
tantangan, walaupun sudah sangat banyak keberhasilan yang telah dicapai terutama sejak
era reformasi pada pertengahan tahun 1998.
Dalam rangka mewujudkan Tujuan Bernegara tersebut, khususnya keadilan sosial,
negara memainkan dua peran utama, yaitu: (1) sebagai regulator, dan (2) sebagai operator.
Sebagai regulator negara menyusun kebijakan dan membentuk regulasi dalam rangka
memberikan landasan hukum, mengatur dan mengendalikan dinamika sosial termasuk
penyelenggaraan negara agar berlangsung dengan tertib. Dalam konteks pembangunan,
peran sebagai regulator dilakukan melalui perumusan kebijakan dan pembentukan
regulasi. Dalam melaksanakan peran ini, Negara mempunyai tugas untuk mengarahkan
dan memobilisasi segala sumber daya dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara.
Dalam menjalankan peran sebagai regulator, negara memiliki otoritas penuh untuk
membentuk regulasi pada tingkatan manapun, artinya kewenangan mengatur merupakan
monopoli Negara sehingga tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Sedangkan sebagai
operator, negara melakukan berbagai tindakan dalam rangka melaksanakan regulasi,
terutama berbagai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik di berbagai
bidang, antara lain pendidikan, kesehatan, transportasi, membangun infrastruktur, dan
sebagainya. Dibandingkan dengan peran sebagai regulator, hampir semua peran Negara
sebagai operator ini dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali peran tertentu misalnya
peran Negara dalam menjatuhkan hukuman dan peran lain yang bersifat rahasia, misalnya
dalam rangka penegakan hukum.
Sebagai regulator, peran Negara ditujukan untuk menghasilkan regulasi yang
berkualitas, sederhana dan tertib dalam rangka memfasilitasi, mendorong maupun
mengatur perilaku masyarakat dan penyelenggara negara. Sebagai operator, peran Negara
ditujukan untuk menjamin penyelenggaraan negara secara lebih optimal. Dengan regulasi
yang berkualitas, sederhana dan tertib, dinamika sosial dan ekonomi masyarakat dapat
terselenggara secara optimal. Sinergi antara dua peran Negara tersebut akan mempercepat
1|Page
2013
2013
2013
antara RPJMN 2010-2014 dan Prolegnas 2010-2014 adalah sejumlah 20 RUU. Kondisi
demikian memperlihatkan tidak sinerginya antara perencanaan kebijakan pembangunan
regulasi dengan perencanaan pembentukan regulasi yang seharusnya memperlihatkan
sinergi antara peran Negara sebagai regulator dan peran Negara sebagai operator.
Dibandingkan dengan kerangka pendanaan Negara yang terbatas karena hanya
sekitar 15-20 persen dari PDB, maka peran Negara sebagai regulator seharusnya lebih
besar, atau mencakup 100 persen untuk memfasilitasi, mendorong maupun mengatur
perilaku masyarakat dan penyelenggara negara. Artinya peran Negara untuk memastikan
sinergi antara kebijakan pembangunan prioritas dengan kerangka regulasi yang
berkualitas, sederhana, tertib dan proses yang transparan akan dapat meminimalisir
inefisiensi pelaksanaan pembangunan, nasional, menciptakan good governance serta
mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk mewujudkan regulasi yang berkualitas, sederhana, tertib dan transparan
pada dasarnya harus memperhatikan tiga kondisi yaitu masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang, sebagaimana tertuang dalam gambar berikut:
Bagan 2 Kondisi yang Perlu Diperhatikan dalam Pembentukan Regulasi
PEMBENTUKAN REGULASI
MASA LALU
Terkait dengan sejarah
perjuangan bangsa dan
cita hukum bangsa
PANCASILA; dan
UUD NRI 1945.
MASA KINI
Berkaitan dengan
kondisi obyektif dan
permasalahan yang
terjadi saat ini
MASA DATANG
Berkaitan dengan
keadaan kedepan yang
diinginkan
2013
TAHUN
UU
PERPU
PP
PERPRES
2005 - 2009
2005
14
80
83
2006
23
55
112
2007
47
82
100
2008
56
89
67
2009
52
77
47
192
16
383
409
TOTAL
2010 - 2014
2010
13
94
84
2011
24
79
90
2012
24
116
126
2013
16
21
70
305
321
TOTAL
2013
2013
7|Page
2013
Tahun 2011
No
Negara
Governance Score
(-2.5 sampai +2.5)
Hong Kong
99.1
+ 1.88
Australia
96.7
+ 1.79
2013
peraturan investasi yang tidak jelas dan tidak konsisten di Indonesia merupakan
faktor yang3menjadi
kelemahan iklim investasi
Indonesia dibandingkan negara
Taiwan
84.4
+ 1.17 lain.3
Kondisi
serta perubahan paradigma
di Indonesia yang+ diakibatkan
oleh
4 regulasi
Korea Selatan
79.1
0.95
dinamika politik, ekonomi, maupun sosial dalam penyelenggaraan negara tersebut
Jepang
78.2 (regulatory reform) + guna
0.90 perbaikan
menuntut 5dilakukannya
reformasi regulasi
menyeluruh6 baikMalaysia
terhadap regulasi-regulasi yang
maupun
74.4 telah ada (existing regulations)
+ 0.66
regulasi-regulasi yang baru akan dibentuk (future regulations), termasuk di dalamnya
7
Thailand
56.4 dan proses pembentukan
+ 0.24
adalah perbaikan
kelembagaan (struktur)
regulasi
(rekonseptualisasi
tata
cara
pembentukan
regulasi).
Himbauan
mengenai
hal ini
8
China
45.5
- 0.20
sesungguhnya juga pernah dilakukan oleh Presiden, yang menginstruksikan Kementerian
Filipina
- 0.26
Energi dan9 Sumber
Daya Mineral (ESDM) 43.6
untuk melakukan reformasi
(perampingan)
4.
perizinan Migas
10 Indonesia
41.7
- 0.33
Catatan: The Worldwide Governance Indicators (WGI) merupakan kumpulan dari data penelitian yang merangkum
kualitas pemerintahan yang diberikan oleh sejumlah perusahaan besar, masyarakat, dan responden yang ahli
dalam hal survei di negara-negara industri dan negara berkembang. Data ini dikumpulkan dari sejumlah lembaga
survei, think tanks, organisasi non pemerintah, organisasi internasional, dan perusahaan swasta.
Sumber: kaufmann D., A.Kray and M. Mastruzzi (2010)
Sumber: Surat resmi dari Pusat Komunikasi Kementerian Luar Negeri Nomor Agenda 40099, tahun 2013
http://finance.detik.com/read/2013/05/15/111512/2246322/1034/sby-saya-instruksikan-kementerian-esdmreformasi-perizinan-migas
4
9|Page
2013
2013
2013
Dari gambar di atas, terlihat jelas hubungan antara kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat mutual. Setiap anggaran yang dikeluarkan oleh negara harus
memiliki payung hukum (regulasi) sebagai bentuk legalitas. Sementara di sisi lain,
pembentukan dan pelaksanaan suatu regulasi hanya dapat dilakukan dengan dukungan
pendanaan. Karena hubungan mutual antara regulasi dan pendanaan tersebut, maka
sinergi antara pendanaan dan regulasi menjadi sangat penting. Salah satu upaya awal
untuk mendorong sinergi antara pendanaan dan regulasi ini adalah dengan integrasi
kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan, yang memuat pagu
12 | P a g e
2013
untuk
keperluan
b.
13 | P a g e
c.
d.
e.
f.
g.
h.
2013
Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka sinergi arah kebijakan regulasi ke
depan dengan arah pembangunan nasional menjadi sangat penting.
Selain alasan-alasan politis dan yuridis terkait pentingnya integrasi kerangka
regulasi dalam rencana pembangunan, alasan-alasan empiris sosiologis juga menjadi
faktor urgensi integrasi kerangka regulasi dalam perencanaan pembangunan. Kurangnya
perencanaan arah kebijakan regulasi ini berkontribusi terhadap terjadinya ketidakpastian
hukum dalam masyarakat akibat regulasi yang tidak proporsional dan tidak berkualitas.
Padahal negara, dengan perannya sebagai regulator seharusnya dapat memberikan
kepastian hukum dari berbagai pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional sekaligus
alokasi pendanaan yang dibutuhkan. Jumlah regulasi yang berlebih-lebihan
(overregulated) ternyata belum mampu mengatur dinamika sosial dan penyelenggaraan
negara secara efektif dan efisien, apalagi ditambah dengan kualitas regulasi yang masih
belum baik. Berbagai permasalahan yang timbul sebagai akibat dari ketidakpastian hukum
menimbulkan berbagai konsekuensi, antara lain: inefisiensi anggaran negara, hilangnya
rasa aman dalam bekerja, kinerja penyelenggaraan negara rendah, daya saing rendah,
penurunan minat investasi terutama foreign direct investment, hilangnya berbagai
lapangan kerja, serta bertambahnya beban masyarakat (masyarakat harus membayar lebih
daripada yang seharusnya).
Karena berbagai permasalahan dan konsekuensi yang ditimbulkan akibat kondisi
regulasi yang tidak proporsional dan tidak berkualitas tersebut, maka Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai
dengan perannya sebagai perumus kebijakan pembangunan nasional ke depan, berupaya
menyusun suatu studi yang dapat memberikan justifikasi pentingnya integrasi kerangka
regulasi dalam perencanaan kebijakan pembangunan nasional agar terwujud regulasi yang
berkualitas, proporsional, dan mendukung pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Regulasi yang berkualitas dan proporsional ini akan memberikan kepastian hukum, dan
berujung pada terwujudnya sistem regulasi nasional yang tertib. Studi ini juga dilakukan
guna mendukung penyusunan dan pelaksanaan RPJMN tahap ketiga (2015-2019),
sehubungan dengan akan berakhirnya masa RPJMN 2010-2014. Dengan demikian, studi
ini akan membahas pentingnya integrasi kerangka regulasi dalam RPJMN 2015-2019
dalam rangka efisiensi anggaran negara, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
terwujudnya kepastian hukum, dan terwujudnya sistem regulasi nasional yang tertib. Hasil
Background Study ini akan dikonsultasikan dengan para pemangku kepentingan dan
masyarakat luas untuk diuji coba apakah rumusan kebijakan dan fokus yang disusun
benar-benar sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, khususnya untuk
mendukung terwujudnya visi dan misi RPJPN 2005-2025.
1.2
Permasalahan
1.
2013
Ruang Lingkup
Tujuan
1.5.
2013
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
16 | P a g e
2013
dilakukan pertemuan dengan Biro/Bagian Hukum pada K/L dan daerah, perguruan
tinggi, LSM dan mitra pembangunan.
1.5.4 Metode Analisis Data
Analisis data dalam pelaksanaan Background Study ini adalah analisis kualitatif
dengan menggunakan teori-teori, data-data, dan dokumen. Selain itu, untuk memperkuat
pengujian hasil analisis akan diupayakan untuk mengamati secara empiris perkembangan
situasi dan kondisi yang terjadi di dunia usaha dan masyarakat, agar dapat diperoleh
rekomendasi yang komprehensif.
1.6.
Pelaksana Kegiatan
Sifat Pelaksanaan
Pelaksanaan Background Study ditujukan untuk lebih memberikan gambaran
tentang urgensi dan pentingnya sinergi antara kebijakan dan regulasi dalam berbagai
bidang pembangunan nasional, khususnya dalam rangka pemenuhan Tahap ketiga RPJPN
2005-2025, yakni pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA
yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek. Dukungan dari pihak-pihak
terkait lebih ditujukan untuk memperkaya dan mempertajam analisis yang dilakukan
dalam kegiatan studi ini. Untuk itu, tenaga konsultan berikut tenaga pendukung akan
dipilih sesuai dengan keahliannya.
Untuk lebih mendapatkan input yang lebih komprehensif, akan dilakukan seminar
dengan mengundang para pemangku kepentingan dan Tim Analisa Kebijakan Bappenas.
Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan studi yang dibutuhkan adalah selama 12 (dua belas) bulan yang
sejak Bulan Januari - Bulan Desember tahun 2013.
1.7.
Sistematika Penulisan
Dengan latar belakang dan hakikat permasalahan serta tujuan dan manfaat
sebagaimana diuraikan di atas, maka kajian ini disusun dengan sistimatika penulisan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
menguraikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, ruang lingkup,
tujuan dan manfaat, metode penelitian, sistematika penulisan
Bab II Kerangka Teoritis , Kerangka Konseptual dan Definisi Operasional
Membahas mengenai kerangka teori yang relevan dengan upaya sinergi kebijakan dan
regulasi, dengan menguraikan konsepsi Negara Hukum, Teori Kesejahteraan (Welfare
Theory), Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme), Teori Kewenangan dan Teori Keadilan,
Teori Keputusan, Teori Pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori
pembuatan kebijakan (policy making) dengan mengemukakan pendapat dari A.V. Dicey ,
Satjipto rahardjo, Aristoteles, Plato, John Rawls, Paul Scholten, Friedman, Frans magnis
Suseno, Richard Snyner, David Easton, Harry C. Bredemeier. Sedangkan Definisi
operasional dimaksudkan untuk memperjelas pembahasan dari penelitian.
Bab ini menguraikan dan menganalisis permasalahan tidak sinerginya antara kerangka
kebijakan dan kerangka regulasi dalam RPJMN 2010-2014, sehingga berimplikasi pada
inefisiensi penggunaan anggaran, over regulations dan tidak sejalan dengan pelaksanaan
17 | P a g e
2013
kebijakan, dan kualitas regulasi yang tidak terjaga sehingga menghambat pelaksanaan
daya dukung perekonomian kompetitif
Bab IV Arah Kebijakan Kerangka Regulasi dalam RPJMN 2015-2019
Bab ini menguraikan arah kebijakan kerangka regulasi berdasarkan hasil background
study masing-masing sektor. Arah kebijakan kerangka regulasi yang telah dipetakan inilah
yang nantinya akan diintegrasikan ke dalam RPJMN 2015-2019.
Bab V Konsep Pengintegrasian Kerangka Regulasi
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
Dalam
Rencana
18 | P a g e
2013
2.1.
Kerangka Teori
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.1-2
19 | P a g e
2013
yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan
hukum positif, lembaga hukum dan proses hukum. Namun, Satjipto Rahardjo
mengingatkan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, hukum itu
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraandan kemuliaan manusia. 9Artinya bahwa
dalam membuat dan melaksanakan hukum harus benar-benar mempertimbangkanbahwa
dibuatnya hukum adalah untuk kebahagiaan dan kesejahteraan, tidak hanya
mengandalkan pada landasan pemikiran dari perilaku manusia yang rasional-formal
belaka. Jika hlm. tersebut terjadi, maka tujuan hukum itu sendiri menjadi tereliminasidan
yang muncul adalah kekuatan otoritas dari pemegang kekuasaan.
Secara embrionik, gagasan Negara hukum dikemukakan oleh Plato dalam karya
tulisnya yang ketiga Nomoi. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan Negara yang
baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Aristoteles murid Plato,
dalam bukunya Politica, mengemukakan bahwa Negara yang baik ialah Negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles mengatakan bahwa
ada 3 (tiga) unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum; pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan
pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang
yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi.10. Pemerintahan yang berkonstitusi
berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaantekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Selanjutnya ia juga mengemukakan
bahwa Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu Negara dan menentukan
apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat.
Selain itu, Konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur Negara
menurut aturan-aturan tersebut.
Pada abad-19 muncul konsep rechstaat dari Friedrich Julius Stahl yang diilhami
oleh Immanuel Kant mengatakan bahwa unsur-unsur Negara hukum (rechstaat) adalah:
perlindungan hak-hak asasi manusia; pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak; pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
peradilan administrasi dalam perselisihan.11
Dalam perkembangannya, A.V. Dicey yang hidup dalam pengaruh anglo-saxon,
mengemukakan unsur-unsur Negara hukum (rule of law) sebagai berikut12:
a. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak ada kekuasaan
sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya
boleh dihukum kalau melanggar hukum
b. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini
berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat
c. terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undangundang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
9
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan:, edisi Perdana Majalah Hukum Progresif, Program Doktor
Ilmu Hukum, UNDIP, 2005, hlm.4
10
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.1-2, yang mengutip
dari Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 63dan Tahir Azhary,Negara Hukum Indonesia,
Jakarta: UI-Press, 1995, hlm. 20-21.
11
Ridwan HR, ibid. hlm.3, yang mengutip dari Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982,
hlm. 57-58dan Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm. 76 82.
12
Ridwan HR, Ibid, yang mengutip dari Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik; Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 58
20 | P a g e
2013
Sebagai sebuah konsep yang dinamis, maka konsepsi Negara hukum berkembang
menjadi sebagai berikut13:
a.
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan;
c.
f.
Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk
turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber
daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.
Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan sebagai Negara hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa untuk membangun suatu Negara hukum
tidaklah instan, namun harus dibangun. Ditambahkan oleh beliau bahwa Negara hukum
merupakan konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri,
namun merupakan barang impor dari sejarah sosial-politik Bangsa Indonesia di masa lalu,
sebagaimana terjadi di Eropa. Satjipto mengemukakan bahwa Negara hukum yang
ditetapkan di Indonesia adalah bangunan yang dipaksakan dari luar (imposed from
outside), oleh karenanya membangun Negara hukum di Indonesia adalah membangun
perilaku berNegara hukum, membangun suatu peradaban baru, yang oleh beliau disebut
sebagai proyek raksasa. Artinya bahwa untuk membangun Negara hukum merupakan
suatu proses panjang, karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial dan kultur.
Beliau juga mengingatkan, bahwa hukum dan Negara hukum modern membutuhkan suatu
predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk dapat berhasil dengan baik. Berdasarkan
sejarah Eropa, untuk membangun Negara hukum membutuhkan waktu sekitar seribu
tahun.14 Sehingga dapat dibayangkan Indonesia yang baru merdeka selama kurang lebih
enam puluh empat tahun, maka membutuhkan waktu yang panjang untuk mewujudkan
suatu Negara hukum yang sesuai dengan konteks Indonesia. Dikatakan dalam konteks
yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, karena selama ini pemikiran tentang
Negara hukum (modern) masih dipengaruhi oleh pemikiran Negara hukum dalam arti
liberal. Artinya bahwa karakteristik hukum modern sifatnya rasional (dan formal) hukum
modern. Rasionalitas bahkan dapat berkembang sedemikian rupa sehingga sampai pada
tingkat rasionalitas di atas segala-galanya. Kondisi seperti itulah oleh Satjipto Rahardjo,
diterapkan oleh para penyelenggara Negara baik legislator, penegak hukum dan lainnya,
yaitu sikap rasional. Sebagai akibatnya keadilan yang ingin diciptakan tidak tercapai,
karena mereka cukup menjalankan dan menerapkannya secara rasionaldan diyakini,
13Ridwan HR, Ibid, hlm. 4-5, unsur-unsur diambil dan dipadukan dari buku Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum
Tata Negara Indonesia, Bandung; Alumni, 1992, hlm. 29-30; dan buku Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum
Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988, hlm.12-14, serta Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah
Filosofis, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm.58-59.
14
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B.Wiranata, Joni Emirzon, Firman Muntaqo, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta Maret 2007, hlm. 48-50.
21 | P a g e
2013
bahwa hukum sudah dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas
itu.15 Apabila konsepsi liberal selama ini diartikan hanya memperhatikan kemerdekaan
dan kebebasan individu namun dalam perkembangannya terjadi perubahan peran dimana
Negara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat atau Negara kesejahteraan (welvaartstaat). Hukum ikut campur tangan untuk
mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti kesehatan,
pendidikandan kebutuhan publik lainnya. Namun apakah kemudian secara serta merta
terjadi sikap perubahan penyelenggara Negara yang selama ini dipengaruhi oleh
pemikiran liberal dalam melaksanakan tugasnya. Penerapan Negara hukum yang lebih
mengutamakan formal-rasional, perlu dipertanyakan apakah telah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang selama ini tertuang dalam kebijakan dan peraturan
perundang-undangan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa menjalankan hukum tidak
sama dengan menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan
menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Paul Scholten, mengatakan bahwa
hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Mencari
hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam
peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar begitu saja. Hukum bukan buku
telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang sarat dengan
makna dan nilai. Membaca peraturan secara datar adalah memecahkan masalah yang
hanya dengan kecerdasan rasional sematadan kurang mengakomodasi untuk
menggunakan kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan berpikir secara rasional yang berpikir
secara perasaan dan spiritual.16
Beberapa perkembangan konsepsi Negara hukum di atas dapat dikatakan sejalan
dengan Landasan Konstitusi Indonesia yaitu UUD NRI 1945, namun tetap mendasarkan
pada nilai-nilai luhur yang berkembang di Indonesia yaitu Pancasila yang merupakan cita
hukum (Rechtsidee) dari Bangsa Indonesia. Cita hukum mengandung arti bahwa pada
hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa,
karsa, ciptadan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, cita hukum adalah
gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna
hukum, yang dalam intinya terdiri tiga unsur: keadilan, kehasilan-gunaan dan kepastian
hukum. Cita hukum terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk
perpaduan pandangan hidup, keyakinan keagamaandan kenyataan kemasyarakatan yang
diproyeksikan pada proses tiga unsur tersebut. 17 Selanjutnya ditambahkan bahwa cita
hukum terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk perpaduan
pandangan hidup, keyakinan keagamaandan kenyataan kemasyarakatan yang
diproyeksikan pada proses tiga unsur tersebut.
Sebagai sesuatu yang sangat ideal, maka tugas Negara untuk merumuskan cita
hukum agar lebih mudah dipahami dan dijabarkan ke dalam berbagai perangkat aturan
kewenangan dan aturan perilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam
penyelenggaraan hukum18. Di era globalisasi19dimana batas wilayah kedaulatan Negara
15
Ibid.hlm.10
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B.Wiranata, Joni Emirzon, Firman Muntaqo, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta Maret 2007, hlm.16, berpikir secara rasional, disebut logis, linier, serialdan tidak ada rasa keterlibatan
(dispassionate); berpikir secara perasaan, mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata-mata menggunakan
logika. Berpikir menjadi tidak sederhana lagi sesedarhana seperti berpikir logis, tetapi menjadi lebih kompleks karena
mempertimbangkan faktor kompleks; dan berpikir secara spiritual, model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari
makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang sedang ditelaah. Baca Danah Zohar dan Iam Masrhlm.l Spiritual IntelligenceThe Ultimate Intelligence, 2000).
17
Moch. Koesnoe dalam Artidjo Alkostar, edt. Identitas Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997, hlm.33-34.
18
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan
Ilmu Hukum sebagai landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.181
16
22 | P a g e
2013
Friedman mengatakan bahwa dunia sudah semakin menyatu, melampaui batas-batas politik masing-masing Negara,
mengusung eksistensi dan peran wargaNegara (individu) secara demikian optimal menerobos batas-batas aturan formal
NegaradanThomas L, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: Pustaka ITB,2002, dikutip oleh Idrus Marham
dalam, Nasionalisme Negara-Bangsa dalam Pusaran Arus Globalisasi,majalah Tempo, 16 Februari tahun 2003. Juga lihat Rosabeth
Moss Kanter mengambarkan globalisasi sebagai dunia yang telah menjadi pusat perbelanjaan global, yang dalam gagasan dan
produksinya tersedia di setiap tempat pada saat yang sama. Lihat pula Emanuel Richter yang menyatakan bahwa globalisasi adalah
jaringan kerja global yang secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi dalam planet
bumi ke dalam ketergantungan yang saling menguntungkan dan persatuan duniadan Rosabeth Moss Kanter, dalam
Suhanadji&Waspodo TS, Modernisasi dan Globalisasi Studi Pembangunan dalam Perspektif Global, Insan Cendikia, Malang, 2004,
hlm.93.dalam disertasi Johny Emirzon berjudul Hukum Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di ditinjau dari perspektif
Harmonisasi Hukumdi Indonesia
20
Satjipto Rahardjo dalam makalah Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Untuk Menghadapi Korupsi Dalam Proses
Peradilan. Disampaikan pada Workshop Inisiatif Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi di Peradilan, Semarang 20 Februari
2005, menjelaskan bahwa bangsa jepang untuk menawar sistem hukum modern agar tidak merusak tradisi kehidupan jepang, harus
melakukan banyak manipulasi agar penggunaan hukum modern tersebut tidak mengganggu kelangsungan kehidupan jepang.
manipulasi- manipulasi tersebut dikenal sebagaijapanese twist. Intinya Hlm. ini terlihat saat struktur kehidupan Jepang yang terdiri
dari Omote (bagian muka) dan ura (bagian belakang) atau latemae (luar) dan honne (dalam) ditarik juga ke bidang hukum.Di luar
mereka menerima hukum modern yang ditata formal-rasional, namun di dalam hatinya sebenarnya tidak.
21
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial dalam konteks Pembangunan
dan Globalisasi,Makalah Seminar NasionalSosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, tanggal 12-13
Nopember 1996, di Semarang, hlm. 7. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B.Wiranata,
Joni Emirzon, Firman Muntaqo, Penerbit Buku Kompas, Jakarta Maret 2007, hlm.102
23 | P a g e
2013
unsur sistem pada tahun 1960-an, yang berarti terkait erat dengan perilaku dari orangorang yang menjalankan hukum. Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa pola
pembangunan hukum sampai sekarang ini boleh disebut sebagai pembenahan atau
penataan ke dalam untuk memenuhi cita hukum dalam UUD NRI 1945Namun dalam
konteks perkembangan globalisasi dewasa ini, maka perlu melakukan peninjauan
terhadap strategi yang lebih melihat ke dalam tersebut, sekalipun itu tidak berarti
melepaskan orientasi kepada cita hukum UUD NRI 1945.22
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa untuk membentuk kebijakan dan
aturan hukum suatu Negarapada era globalisasi saat ini, mau tidak mau tidak hanya
berlandaskan pada cita hukum Negara, tetapi juga wajibmempertimbangkan nilai-nilai
global yang terus berkembang. Walaupun demikian, sangat penting pendapat yang
dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan
kepada rakyat dan untuk dapat bergaul dalam komunitas internasional, kita perlu
menggunakan hukum modern yang umum dipakai di dunia. Namun apapun pilihan yang
dilakukan oleh Bangsa Indonesia, tidak ada yang dapat melarang Bangsa ini menjadi
bahagia.23 Benturan kepentingan memang akan seringkali dialami, bahkan terkadang sulit
untuk menolak intervensi Negara lain yang lebih kuat, terutama di bidang ekonomi.
Demikian pula asas-asas hukum yang berkembang secara global baik secara langsung
maupun tidaklangsung akan mempengaruhi prinsip-prinsip dasar hukum nasional suatu
Negara. Kondisi tersebut tentunya merupakan tantangan bagi Negara untuk
menyeimbangkan antara kebutuhan Bangsa Indonesia dengan kebutuhan global.
Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori Kesejahteraan
(Welfare Theory), teori Kewenangan dan teori Keadilan, yang akan diperkuat dengan teori
pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori pembuatan kebijakan (policy
making). Teori-teori tersebut sangat terkait erat satu dengan lainnya sebagai pisau analisis
untuk menjawab rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas.
Frans Magnis Suseno24 mengemukakan teorinya tentang kesejahteraan umum
sebagai jumlah syarat dan kondisi yang memungkinkan atau mempermudah manusia
untuk mengembangkan semua nilainya atau sebagai jumlah semua kondisi kehidupan
sosial yang diperlukan agar masing-masing individu, keluarga-keluarga dan kelompokkelompok masyarakat dapat mencapai keutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih
utuh dan cepat. Seseorang dikatakan sejahtera baik secara negatif maupun positif telah
sejahtera. Secara negatif seseorang dikatakan sejahtera apabila ia telah bebas dari
perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan dari hari esok, bebas dari perasaan
takut, dari penindasan, apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Secara
positif, manusia dapat dikatakan sejahtera apabila ia merasa aman, tentram, selamat,
apabila ia dan masih dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila
ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan
aspirasi-aspirasi serta dengan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Lebih
lanjut, Frans Magnis mengatakan bahwa seseorang dikatakan sejahtera, apabila
kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, dapat dikembangkan, apabila ia
merasa tenang dan bebas. Kesejahteraan seseorang atau kelompok orang terwujud dalam
perasaan mereka masing-masing, Negara hanya mengusahakan atau menyiapkan kondisi22
Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks situasi Global, dalam Khudzaifah Minyati & Kelik
Wardiono, edt., Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Surakarta, Universitas Muhamadiyah,
2001, hlm.:13.
23
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B.Wiranata, Joni Emirzon, Firman Muntaqo, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta Maret 2007, hlm. 15.
24
Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar KeNegaraan Modern, Gramedia Jakarta, hlm.314-315,
dalam Muhammad Bakri, dalam Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, hlm. 35-37
24 | P a g e
2013
25
Lihat Edi Suharto, Makalah Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos di
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf
26
Lihat dalam Edi Suharto, Makalah Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos di
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf
27
Paul Spicker, Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, Spicker, Paul, 2002, Poverty and the Welfare State:
Dispelling the Myths, London: Catalyst, hlm. 6 dan 37 dalam Makalah Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reinventing
Depsos di http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf.
28
Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hlm.l, 1995, dalam Makalah Edi Suharto, Negara
Kesejahteraan dan Reinventing Depsos di http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf
25 | P a g e
2013
Edi
Suharto,
Negara
Kesejahteraan
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf
30
26 | P a g e
dan
Reinventing
Depsos
di
2013
27 | P a g e
2013
Sedangkan tokoh lain yakni R.H. Soltau, berpendapat bahwa negara adalah alat
atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama rakyat.
Apabila dicermati pendapat beberapa tokoh tersebut, dapat ditarik inti dari apa
yang disebut negara itu sendiri, yakni kewenangan mengatur yang bersifat memaksa, dan
sebuah organisasi kekuasaan. Dalam perkembangan sejarah negara kemudian,
sesungguhnya teori-teori tersebut saling melengkapi. Dari berbagai pemikiran tokohtokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran negara yang utama adalah mengatur
perilaku individu-individu yang ada dalam organisasi negara dengan kewenangannya yang
bersifat memaksa untuk terciptanya keamanan, ketertiban, dan kesempurnaan diri
manusia (kebahagiaan manusia). Dengan demikian, pada tahap yg sangat awalpun,
berdasarkan berbagai pemikiran para tokoh pada masa itu, fungsi dan peran negara
adalah sebagai regulator. Namun dalam perkembangannya kemudian, karena semakin
kompleksnya kehidupan masyarakat dalam bernegara serta semakin kompleksnya
kehidupan antarnegara, menuntut negara juga berperan sebagai operator (operating role).
Negara Indonesia dideklarasikan dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah deklarasi kemerdekaan, pembentukan
negara dan tujuan bernegara ditetapkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan Negara dan tujuan bernegara ini kemudian
diikuti dengan pengaturan struktur negara serta hal-hal lain yang bersifat mendasar dalam
batang tubuh UUD NRI 1945. Batang tubuh UUD NRI 1945 ini mengatur hak dan
kewajiban negara dan warga negara yang paling mendasar. Dengan telah diaturnya hak
dan kewajiban negara ini, maka selanjutnya adalah tugas negara untuk mengelola dan
menggerakkan segala sumber daya dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut. Untuk itu
negara melaksanakan peran pengaturan (regulating role) dan peran pelaksanaan
(operating role).
Negara berperan sebagai regulator (regulating role) ketika Negara melakukan
berbagai pengaturan dalam rangka memberikan landasan hukum bagi setiap institusi dan
individu untuk melakukan kegiatan serta memberikan pedoman mengenai bagaimana
suatu kegiatan harus dilakukan. Dalam konteks ini, negara mempunyai otoritas penuh
untuk membentuk regulasi pada tingkatan manapun, artinya kewenangan mengatur ini
tidak dapat dipihakketigakan.
Negara berperan sebagai operator (operating role) ketika melakukan berbagai
tindakan dalam rangka menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka
menyelenggarakan pelayanan publik, misalnya menyelenggarakan pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan sebagainya. Berbeda dengan regulator, peran negara sebagai operator ini
hampir semuanya bisa dipihakketigakan. Meskipun demikian, ada juga peran negara
sebagai operator yang tidak dapat dipihakketigakan, antara lain peran menjatuhkan
hukuman dan peran lain yang biasanya bersifat rahasia, misalnya dalam rangka
penegakan hukum. Dalam menjalankan peran sebagai operator, negara menggunakan
mekanisme APBN atau yang didalam sistem perencanaan disebut sebagai kerangka
pendanaan. Negara melalui APBN, membiayai kegiatan-kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pembangunan agar tujuan-tujuan pembangunan dapat tercapai secara
optimal.
Ratio APBN terhadap PDB setiap tahun berkisar antara 15% - 18%. Ini
menggambarkan bahwa kontrol negara melalui peran operator hanya sebesar 15% - 18%.
Apabila diasumsikan bahwa Pendapatan Domestik Bruto adalah keluaran (output) kinerja
negara dalam periode satu tahun, maka peran negara sebagai operator adalah setara
dengan APBN, atau rata-rata sekitar 15% sampai dengan 20%. Keluaran negara setara
APBN inilah yang digerakkan melalui mekanisme kerangka pendanaan. Dengan demikian,
28 | P a g e
2013
keluaran negara yang dapat dihasilkan melalui mekanisme kerangka regulasi adalah
sekitar 80% sampai dengan 85%. Dari ilustrasi ini, dapat disimpulkan bahwa peran
kerangka regulasi sangat penting untuk mengelola sebagian besar potensi keluaran negara.
Rumusan PP Nomor 40 Tahun 2006 menggambarkan seolah-olah peran negara sebagai
regulator hanya sebesar 80% - 85%. Sejatinya kontrol negara melalui peran regulator
adalah 100%. Jadi mengapa kita tidak memfokuskan diri pada PERAN SEBAGAI
REGULATOR?
2.1.3. Teori Kewenangan
Teori Kewenangan sangat erat untuk mendukung tercapainya kesejahteraan rakyat.
Hanc van Maarseveen, mengatakan bahwa wewenang diartikan sebagai kekuasaan hukum
(rechtmaacht) dan dalam hukum publik diartikan dengan kekuasaan. Hanc
mengemukakan dalam teorinya bahwa terdapat 3 (tiga) unsur wewenang sebagai konsep
hukum publik, yaitu: (1) pengaruh: penggunaan wewenang, dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum; (2) dasar hukum:wewenang itu selalu dapat
ditunjukkan dasar hukumnya; dan (3) konformitas: mengandung makna adanya standar
wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis
wewenang tertentu).40 Frans Magnis Suseno mengemukakan wewenang sebagai kata lain
dari otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yaitukekuasaan yang tidak hanya de
facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah kekuasaan
yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberi perintah. Frans Magnis
Suseno, dengan mengutip dari pendapat Max Weber bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri
sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini.41
Inti dari pendapat Hanc van Maarseveen, Frans Magnis Suseno dan Max Weber
bahwa wewenang adalah kekuasaan yang berdasar atas hukum, atau jika kekuasaan
dilaksanakan tidak berdasar hukum, maka kekuasaan tersebut
melampaui batas
kewenangan. Selain itu, wewenang terkait erat dengan kompeten yang dikenal dalam
hukum perdata, yaitu kecakapan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lebih
dikenal dengan istilah bekwaan dan bevoegd.42
Pada intinya kedua teori tersebut menjelaskan bagaimana organisasi kekuasaan
Negara harus melaksanakan perannya untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat
berdasarkan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh Konstitusi.
2.1.4. Teori Keadilan
Untuk membuat dan melaksanakan kebijakan dan aturan hukum dengan baik,
Negara wajib mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dalam pembuatan kebijakan
dan pengambilan keputusan.Satjipto Rahardjo mendefinisikan keadilan sebagai kemauan
yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique
tribuendi-Ulpianus).43Secara implisit, Satjipto Rahardjo mensyaratkan konsistensi Negara
untuk menjalankan tugas penyelenggaraan Negara sebagaimana diamanatkan oleh
40
Dikutip oleh PM Hadjon, tentang Wewenang, dalam Majalah Yuridika, No.5 dan 6 Tahun XII, 1997,hlm.2: lihat juga
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian TeoritisTeoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.30, dalam Muhammad Bakri, dalam Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru
untuk Reformasi Agraria, hlm.51
41
Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar KeNegaraan Modern, Gramedia Jakarta, hlm.53, dalam
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, hlm.5
42
Sri Hayati, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya dengan Investasi, Disertasi, Universitas Airlangga, hlm. 50,
dalam dalam Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, hlm.52
43
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Cetakan ke V, Tahun 2000, hlm.163
29 | P a g e
2013
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor I Gede A.B.Wiranata, Joni Emirzon, Firman Muntaqo, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta Maret 2007, hlm.18.
45
Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat 3 macam berpikir atau kecerdasan, yaitu: rasional, perasaan dan spiritual. Berpikir secara
rasional, disebut logis, linier, serialdan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate); Berpikir secara perasaan, mempertimbangkan
lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata-mata menggunakan logika, sehingga berpikir menjadi tidak sederhana lagi seperti
berpikir logis, tetapi menjadi lebih kompleks karena mempertimbangkan faktor kompleks; dan Kecerdasan spiritual, model berpikir
yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang sedang ditelaah. Lihat pula
Danah Zohar dan Iam Masrhlm.l Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence, 2000.
46
Aristoteles, Nicomachean Ethics, yang dkutip oleh Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum, hlm. 24.
30 | P a g e
2013
adat. Berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapatmenjadi
sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu,sedangkan
keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentukperundang-undangan,
tetapmerupakan hukum alamjika dapat didapatkan darifitrah umum manusia. Suatu
kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan Negara dan aturanaturan tersebut merupakan ukuran tentang apa yang hak.
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial
sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the
difference principledisini adalah bahwa perbedaan sosial danekonomis harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagimereka yang paling kurang beruntung. Istilah
perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menujupada ketidaksamaan dalam
prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokokkesejahteraan, pendapatandan otoritas.
Sementara itu, the principle of fairequality of opportunity menunjukkan pada mereka
yang paling kurangmempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat
danotoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.Rawls mengerjakan
teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutamasebagai alternatif bagi teori utilitarisme
sebagaimana dikemukakan Hume,Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam
masyarakat yang diaturmenurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan
harga diri, lagipula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls
jugaberpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggapnormal
oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demikepentingan umum,
tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan inipertama-tama diminta dari orangorang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian
rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yangpaling lemah. Hal ini
terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum
minimorum bagi golongan orang yangpaling lemah. Artinya, situasi masyarakat harus
sedemikian rupa sehinggadihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan
bagi golonganorang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan
yangterbuka bagi semua orang. Tujuannya agar semua orang diberikanpeluang yang sama
besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini, semuaperbedaan antara orang berdasarkan
ras, kulit, agama dan perbedaan lainyang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut, John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yangterjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik
(reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompokberuntung
maupun tidak beruntung. Adanya perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama dan
kesejahteraan, pendapatan, serta otoritas diperuntukkan bagi keuntunganorang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harusdiperjuangkan untuk dua
hlm.: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikanterhadap kondisi ketimpangan yang
dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomidan politik
yang memberdayakan. Kedua,setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu
untuk mengembangkankebijakan-kebijakan dan melakukan koreksi terjadinya
ketidakadilan yang dialami kaum lemah.
31 | P a g e
2013
John Rawls, Theory of Justice, Cambridge,Mass: Harvard University Press, 1972, hlm. 10, dalam Satjipto Rahardjo,Ilmu
Hukum, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, bandung, 2000, Cetakan ke V, Tahun 2000, hlm.163
48
M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm., 23
49
Richard C.Snyder (et.al) Foreign Policy Decision-Making: An Approach to Study International Politics, New York, The Free
Press, hlm. 90, lihat dalam Disertasi Ietje Komalasari Andries, Kebijakan International Bank for Reconstruction and Development
(Bak Dunia) dan International Monetary Fund (IMF), Khususnya Mengenai Persyaratan dalam Pemberian Bantuan/Pinjaman
kepada Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Ekonomi, Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2004, hlm. 62
50
Tyrone Ferguson, The Third World and Decision-Making in International Monetary Fund;The Quest for Full and Effective
Participation, London Printer, 1999, hlm. 90, dalam Disertasi Ietje Komalasari Andries, Kebijakan International Bank for
Reconstruction and Development (Bak Dunia) dan International Monetary Fund (IMF), Khususnya Mengenai Persyaratan dalam
Pemberian Bantuan/Pinjaman kepada Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Ekonomi,
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2004, hlm. 62
51
Christoper HAM-Michel Hill, The Policy Process in the Modern Capitalist State, The Harvester Press Publishing Group,
London, Hlm. 13. dalam Disertasi Ietje Komalasari Andries, judul Kebijakan International Bank for Reconstruction and
Development (Bak Dunia) dan International Monetary Fund (IMF), Khususnya Mengenai Persyaratan dalam Pemberian
Bantuan/Pinjaman kepada Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Ekonomi. Program
Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang,Tahun 2004, hlm. 62
32 | P a g e
2013
proses untuk mengubah input menjadi output disebut sebagai withinputs, conversion
process dan the black box.52
Dalam kaitan ini Harry C. Bredemeier dengan teorinya yang dinamakan Law as an
Integrative Meschanism, mengkaji konsep in put-out put yang sebagian pakar menilai
merupakan perkembangan dari Sibernetika Talcott Parsons. Breidmeier mengemukakan
empat proses fungsional yang besar sebagai bagian dalam proses sosial, yaitu meliputi
adaptasi, pencapaian tujuan, mempertahankan pola dan integrasi (integration):53
(1) proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(2) proses penetapan tujuan atau pengambilan keputusan (Goal Pursuance) yang
meliputi sistem politik;
(3) proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi sosialisasi;
(4) proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.
Pola hubungan antara hukum dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat dapat
terlihat lebih jelas dalam bagan berikut ini:
Bagan 11 Pola Hubungan antara Hukum dengan Bidang-bidang lain dalam
Masyarakat
Sumber: Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 1996,
hlm.aman143.
Dari bagan di atas terlihat, bahwa sistem hukum yang berfungsi untuk melakukan
integrasi mendapat masukan dari subsistem ekonomi dengan output berupa penataan
kembali proses produksi dalam masyarakat; dan masukan dari subsistem politik
menghasilkan keluaran legitimasi dan konkritisasi tujuan-tujuan; serta masukan dari
subsistem budaya menghasilkan keluaran berupa keadilan.54
52
Lihat Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Editor Korolus Kopong Medan dan Mahmutarom HR,
PT Suryandaru Utama, Semarang, tahun 2005, hlm. 48.
53
Bandingkan Harry C. Breidemeier dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis),
Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hlm.12-15.
54
Harry C. Bredemeier, Law as an Integrative Mechanism, dalam Vilhelm Aubert (ed), Sociology of Law,
Middlesex:Penguin Books, 1973, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Editor Korolus Kopong
Medan dan Mahmutarom HR, PT Suryandaru Utama, Semarang, tahun 2005, hlm. 50.
33 | P a g e
2013
55
Nonet & Selznick, Law and Society in Transsition; Toward Responsive Law, New York:New York and Row, 1978, dalam
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Editor Korolus Kopong Medan dan Mahmutarom HR, PT Suryandaru
Utama, Semarang, tahun 2005, hlm. 50
56
Richard Snyner, loc.cit. dalam Disertasi Ietje Komalasari Andries, judulKebijakan International Bank for Reconstruction
and Development (Bak Dunia) dan International Monetary Fund (IMF), Khususnya Mengenai Persyaratan dalam Pemberian
Bantuan/Pinjaman kepada Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Ekonomi, Program
Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2004,, hlm. 62
57
Christopher Ham-Michel Hill,op.cit,hlm.11, dalam Disertasi Ietje Komalasari Andries, judul Kebijakan International Bank
for Reconstruction and Development (Bak Dunia) dan International Monetary Fund (IMF), Khususnya Mengenai Persyaratan dalam
Pemberian Bantuan/Pinjaman kepada Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bidang Ekonomi
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2004, hlm. 63
58
Ibid.
59
Felix A.Nigro and Llyold G.Nigro, Modern Public Administration,New York: Harper & Row,Publishers, 1980, hlm. 39
34 | P a g e
2013
35 | P a g e
2013
beberapa alternatif yg harus dan dipilih salah satu yg terbaik; dan 3) ada tujuan yg ingin
dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Sedangkan menurut
Prof.Dr. Pramudji Atmosudirjo, SH., Keputusan adalah suatu pengakhiran daripada
proses pemikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa
yg harus diperbuat guna mengatasi masalah tsb dengan menjatuhkan pilihan pada suatu
alternatif. Dengan kata lain, keputusan merupakan suatu pe-mecahan masalah sebagai
suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa
alternatif.62
2.1.7. Teori Kebijakan
Kebijakan diterjemahkan dari kata dalam Bahasa Inggris policy. Secara etimologis,
kata policy berasal dari kata polis dalam Bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota.
Dalam Bahasa Latin, kata ini menjadi politeia yang berarti negara. Masuk ke dalam Bahasa
Inggris Lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya
berkaitan dengan urusan pemerintah atau administrasi pemerintah (Dunn, 1981:7).
Thomas Dye (1978) mendeskripsikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang
dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
(whatever governments choose to do or not to do). Selanjutnya, Dye menyatakan bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka kebijakan harus meliputi
semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata mengedepankan kepentingan
pemerintahan saja. Di sisi lain, sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk tidak
dilakukan juga termasuk kebijakan negara, karena mempunyai dampak yang sama
besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah . Keduanya memerlukan
alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.
Ada dua makna yang bisa diambil dari definisi Thomas Dye tersebut. Pertama, Dye
berargumen bahwa kebijakan publik itu hanya bisa dibuat oleh pemerintah, bukan
organisasi swasta. Kedua, Dye menegaskan kembali bahwa kebijakan publik tersebut
menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. William
Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah keputusan dari berbagai aktor
yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal yang perlu digarisbawahi
yaitu William lebih menekankan kebijakan publik pada sebuah proses pembuatan
kebijakan. Kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan
aparat pemerintah, meskipun kebijakan tersebut dapat dipengaruhi oleh para aktor dan
faktor dari luar.87
Pengertian yang senada dengan Dye juga diberikan oleh George C. Edwards III dan
Ira Sharkansky, yakni bahwa kebijakan adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. . Merujuk pada pengertian tersebut, kebijakan publik
tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program. Dengan demikian, kebijakan publik
dapat diterapkan secara jelas dalam bentuk regulasi, dalam bentuk pidato pejabat
pemerintah, atau berupa program dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
David Easton, menyatakan Public policy is The authoritative allocation of value for
the whole society, but it turns out that only the government can authoritatively act on the
whole (kebijakan sebagai suatu pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh
anggota masyarakat, dan bahwa hanya pemerintahlah yang secara sah dapat berbuat
62
Ralp C. Davis, A.F. Stoner, dan Prof.Dr. Pramudji Atmosudirjo, SH., diakses melalui www.mdp.ac.id materi ... SI348052103-699-1.ppt
87
Widyatama,
Bastian,
Konsep
dan
Teori
Kebijakan
Publik,
diakses
http://politik.kompasiana.com/2013/04/07/konsep-dan-teori-kebijakan-publik-543743.html
36 | P a g e
melalui
website
2013
sesuatu kepada masyarakatnya, dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu tersebut dirupakan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada
masyarakat) .
Sedangkan menyatakan Kebijakan publik menurut Chief J.O. Udoji (1981)
dinyatakan sebagai A sanctioned course of action addressed to a particular problem or
group of related problems that affect sosiety at large (suatu tindakan bersanksi yang
mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau
sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar
warga masyarakat.
Sedangkan Chandler dan Plano (1988) merumuskan pengertian kebijakan publik
sebagai pemanfaatan hal strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah publik atau masalah pemerintah. Bentuk intervensi yang dilakukan secara terusmenerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara
luas.
Woll (1966) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas
pemerintah untuk memecahkan masalah dalam masyarakat, baik secara langsung maupun
melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya
terdapat tiga tingkat pengaruh, yakni:
a.
adanya pilihan kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai
pemerintah, atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik;
b. adanya output kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut
pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil, dan
membuat regulasi dalam bentuk program;
c.
Kebijakan (policy) adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak
efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan
sebagai obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau
penyakitnya keliru (Dunn, 2003). Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn
yaitu:
1.
Penyusunan Agenda;
2.
Formulasi Kebijakan;
3.
4.
Kebijakan yang dipelajari dalam ilmu kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang
berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta
dirancang untuk menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul
ketika warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan
perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-tujuan
demokrasi (Lasswell, HD dalam Kartodiharjo, 2009).
Ilmu kebijakan (Policy Sience) dirancang untuk menyoroti masalah fundamental
yang sering diabaikan, yang muncul ketika warga negara dan penentu kebijakan
menyesuaikan keputusannya dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik
untuk melayani tujuan-tujuan publik. Ia menyangkut tidak hanya produksi fakta,
melainkan juga nilai-nilai dan tindakan yang dipilih. Ilmu kebijakan berorientasi kepada
37 | P a g e
2013
masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif (benar-salah, baik buruk,
penting-tidak penting).88
2.1.7. Teori Sinergi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Sinergi sebagai: 1. kegiatan atau
operasi gabungan; 2. Sinergisme. Kata sinergi sendiri berasal kata dari syn-ergo, suatu
kata Yunani yang berarti bekerjasama (Hampden-Turner, 1990). Menurut Walton (1999),
definisi yang paling sederhana dari sinergi adalah hasil upaya kerjasama atau co-operative
effort, karena itu inti dari proses untuk menghasilkan kualitas sinergi adalah kerjasama.
Covey (1989) menyatakan bahwa bersinergi lebih dari sekedar bekerjasama. Bersinergi
adalah menciptakan solusi atau gagasan yang lebih baik dan inovatif dari sebuah
kerjasama, oleh karena itu dinyatakan oleh Covey sebagai suatu creative yycreative
cooperation.creative cooperation.
creative cooperation.
Hartanto (1996) menyatakan sinergi adalah suatu gagasan baru, yang terbentuk
dari berbagai macam gagasan yang diajukan oleh banyak pihak hingga menghasilkan
suatu gagasan baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang baru. Dalam setiap
kelompok kerja dalam organisasi, kualitas sinergi yang merupakan sinergi efektif pada
hakekatnya adalah hasil dari suatu proses perpaduan dari cara-cara bagaimana mengatasi
masalah dan perpaduan gagasan yang dijalankan oleh pihak-pihak yang saling percaya dan
bersikap saling mendukung menghasilkan suatu gagasan baru yang benar-benar
memberikan kepuasan secara intrinsik bagi semua belah pihak. Timbulnya gagasan baru
dan kepuasan yang mengikutinya tidak akan dapat diperoleh tanpa kerjasama efektif dari
semua pihak.
Konsep sinergi diambil dari teori sintalitas kelompok (Group Syntality Theory)
yang dikemukakan oleh Cattell (dalam Shaw dan Costanzo 1970) yang menyatakan bahwa
sinergi itu dapat berwujud sebagai maintenance synergy, bila sinergi itu dilihat dari
kohesi kelompok yang muncul sebagai konsekuensi dari hubungan interpersonal
harmonik yang terjadi di dalam kelompok itu. Sinergi ini menjadi dasar bagi perwujudan
kualitas produktif dalam bentuk pencapaian suatu tujuan bersama. Kualitas ini juga
disebut effective synergy (sinergi efektif).
2.1.8. Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme)
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1831).
Teori ini dikembangkan guna menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik,
ekonomi, dan legal secara moral. Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif
untuk menilai suatu kebijakan publik adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau
tindakan tertentu membaa manfaat atau hasil guna, atau sebaliknya justru membawa
kerugian bagi pihak-pihak terkait89.
Suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah pasti akan membawa
dampak bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu, kebijakan yang ditetapkan hendaknya
membawa kemanfaatan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Baik buruknya suatu
kebijakan publik harus diukur dari baik buruknya akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan
tersebut. Sebuah kebijakan publik dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari
penerapannya adalah kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan
berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya, suatu kebijakan publik dinilai buruk apabila
88
89
38 | P a g e
2013
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 79-
91
http://rumahdiskusi.wordpress.com/2011/12/19/konsep-negarara-integralistik-mr-soepomo/
80.
39 | P a g e
2013
Indonesia dan konsep tersebut mampu mengatasi aspirasi masyarakat yang beragam
tanpa memihak minoritas, mayoritas ataupun kelompok manapun, disamping mampu
mewujudkan kesejahteraan masayarakat Indonesia secara seimbang92.
Pada saat itu terdapat lima hal yang dibawa oleh soepomo untuk menciptakan suatu
dasar Negara yang disebutnya dengan Negara Integralistik yang dinilai lebih sesuai dengan
semangat kekeluargaan. Sehingga melahirkan lima pokok pikiran terdiri atas berikut :
1. Paham Negara Persatuan yang mana Negara Indonesia merupakan Negara
2. dengan banyak golongan maka diharpakan dengan totalitas dan
3. intergralitas mampu menyatukan semua golongan yang ada
4. Warga Negara hendaknya tunduk kepada Tuhan supaya ingat kepada
5. Tuhan sesuai dengan kepercayaan setiap golongannya.
6. Sistem Badan Permusyawaratan
7. Ekonomi Negara bersifat Kekeluargaan
8. Hubungan antar bangsa bersifat Asia Timur Raya
Sebelumnya Soepomo menjabarkan adanya tiga permasalahan yang harus
diselesaikan sebelumnya. Yang mana harus adanya pemilihan akan persatuan negara,
negara serikat, persekutan Negara. Berkaitan dengan hubungan antara Negara dan agama
serta pemilihan bentuk Negara yang tepat untuk Indonesia republic atau kerajaan. Untuk
menemukan jawaban dari permasalahan diatas maka kembali pada pandangan negaa
integralistik yang mana adanya persamaan antara para golongan tanpa pembedaan suku,
ras dan agama. Hal ini yang mampu di tonjolkan dalam pemikiran Soepomo yaitu ada hak
asasi manusia tanpa adanya diskriminasi. Ini lah yang menjadi keunggulan dari konsep
Negara integralistik. Namun di balik segala kelebihan yang dimiki oleh konsep Negara
integralistik ini ada kekurangan yang mengikutinya karena ternyata pemikiran atas konsep
Negara integralistik ini mengacu pada suatu Negara yang berideologikan fasisme.
Sehingga menimbulkan ada pendapat bahwa apa yang dibawa oleh Soepomo akan
konsepsi Negara integralistik sesuai dengan nilai-nilai dasar serta masyarakat Indonesia.
Namun dikarenakan adanya implikasi atas ideology yang sebelumnya merujuk fasisme
maka akan melahirkan suatu kewenangan yang otoriter didalam suatu pemerintahan. Ini
lah yang kemudian menjadi banyak perdebatan didalamnya baik perdebatan antara
Soepomo degan Soekarnmo, Moh.Yamin dan Hatta akan ideology yang dibawa oleh
Indonesia.
Hal ini membuat suatu pengaruh pada orde pemerintahan di Indonesia sehingga
membuat para akademisi mengungkapkan bahwa konsep negara integralistik memang
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada negara, khususnya kepala negara dalam
kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.
Ternyata apa yang dibawa oleh Soepomo ini jauh menjadi lebih dominan dalam
pembahasan ideologi yang dibawakan oleh setiap tokoh yang akan menyampaikan
rumusan dasar Negara. Pemikiran Soepomo ini ternyata sejalan dengan apa yang
dibawakan oleh Soekarno pada saat itu yang ternyata mengacu pada nilai nilai gotong
royong dan kekeluargaan. Dikarenkannya dominansi yang kuat atas ideology yang
dibawakan oleh Soepomo ini berimplikasi pada system pemerintahan selanjutnya. Dalam
melakukan penilaian terhadap konsepsi Negara integralis perlu diperhatikan bahwa saat
92
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18476/7/Cover.pdf
40 | P a g e
2013
itu Soepomo memberikan masukan ini dikarenakan adanya suatu kecintaan terhadap
Negara agar tidak dijajah oleh Negara lain sesuai dengan
Pemikiran Hegel dan Spinoza.93 Soepomo menyatakan bahwa negara Indonesia
harus didasarkan pada aliran pikiran negara integralistik/totaliter, yang bisa dilihat dari
berbagai tulisan Benedict de Spinoza serta Georg Wilhelm Friedrich Hegelmeski Spinoza
dan Hegel memiliki konsep yang sebenarnya berbeda. Negara integralistik/totaliter,
menurut Soepomo, akan bersatu dengan seluruh rakyatnya dari golongan apapun.
Aliran ini menuntut kepala negara menjadi pemimpin yang sejati, penunjuk jalan
ke arah cita-cita luhur, dan diidam-idamkan oleh rakyat. Tak berhenti sampai di sana,
Soepomo menegaskan bahwa negara dengan konsepsi integralistik/totaliter akan
mengatasi segala golongan dan menghormati keistimewaan semua golongan, baik besar
maupun kecil.94
2.2.
Kerangka Konseptual
Selain kerangka teori, background study ini juga dilengkapi dengan kerangkakerangka konseptual, yakni berbagai konsepsi mengenai Sistem Hukum Nasional serta
Konsep, Arah, dan Strategi Pembangunan Hukum Nasional yang di dalamnya meliputi
berbagai usulan konsep, seperti: Konsep Sistem Regulasi Nasional, Konsep Reformasi
Regulasi, Konsep Kerangka Regulasi, dan Konsep Sinergi Kebijakan dan Regulasi.
2.2.1. Konsepsi Sistem Hukum Nasional
Menurut Friedman sistem hukum mempunyai 3 (tiga) unsur yaitu: (1) legal
structure (struktur hukum); (2) legal substance (substansi hukum); dan (3) legal culture
(budaya hukum).
Struktur berarti suatu kerangka, bagian yang tahan lama dari sistem hukum,
misalnya lembaga Mahkamah Agung yang organisasinya akan tetap berdiri dari masa ke
masa. Dengan struktur juga diartikan bagaimana lembaga legislatif sebagai pembentuk
Undang-undang diorganisir. Substansi berarti peraturan perundang-undangan yang
konkret, norma-norma dan pengaturan tentang pola tingkah laku masyarakat dalam suatu
sistem hukum, sedangkan budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, keyakinan, ide, dan
harapan-harapan masyarakat terhadap sistem hukum. Atau dengan kata lain merupakan
budaya masyarakat yang memperhatikan (concern) terhadap sistem hukum.
Sistem hukum merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembenahan di
berbagai bidang seperti, perkonomian, politik, sosial budaya, Teknologi dan Informasi,
dan HAM di negara Indonesia, karena ketiga unsur sistem hukum tersebut (struktur,
substansi, dan kultur hukum) merupakan suatu kesatuan yang dinamis dan sebagai faktor
penentu dalam mekanisme pembaharuan maupun harmonisasi hukum. Demikian juga
unsur-unsur tersebut akan menjadi tolok ukur dalam perubahan-perubahan pada: nilainilai, persepsi, dan pengharapan masyarakat.
Lebih lanjut, Friedman, menjelaskan, jika sistem hukum diumpamakan sebagai
suatu pabrik, maka substances sebagai produk yang dihasilkan, structure adalah mesin
yang menghasilkan, sedangkan legal culture adalah orang-orang yang mengoperasikan
mesin, yang mengetahui kapan mesin perlu dihidupkan atau dimatikan dan memproduksi
apa. Legal culture memegang peranan penting untuk dapat mengarahkan
93
94
http://www.academia.edu/3600553/Soepomo_dan_negara_integralistik
http://pirhot-nababan.blogspot.com/2012/02/negara-integralistik-soepomo-kegagalan.html
41 | P a g e
2013
berkembangnya sistem hukum, karena berkenaan dengan persepsi, nilai-nilai, ide, dan
pengharapan masyarakat terhadap hukum.
Suatu sistem hukum tanpa legal culture sama dengan seekor ikan yang tergeletak di
dalam keranjang, bukan sebagaimana ikan yang hidup leluasa berenang di dalam air. Di
Indonesia dikenal ada beberapa sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem hukum adat,
sistem hukum Islam, dan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional dan sistem
hukum Indonesia adalah dua hal yang berbeda. Sistem hukum nasional berarti sistem
hukum yang diberlakukan oleh negara (state law), sedangkan sistem hukum Indonesia
merefleksikan keanekaragaman hukum yang hidup dalam masyarakat. Sistem hukum
nasional berasal dari dua istilah yaitu sistem dan hukum nasional. Sistem merupakan
suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi.95 Masing-masing bagian atau unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan
bagian-bagian atau unsur-unsur lain dan dengan keseluruhannya seperti mozaik atau
legpuzzle.96 Sistem merupakan pengorganisasian dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling menggantungkan diri satu dari yang lain dan membentuk satu
kesatuan. Suatu sistem adalah suatu perangkat komponen yang berkaitan secara terpadu
dan dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan..
Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang
didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD
1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita
rasa dan rekayasa bangsa sendiri.
Hukum nasional tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai
budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Sistem hukum nasional
adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang
dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945 dan dapat juga bersumber
pada hukum lain asal tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945, serta
berlaku di seluruh Indonesia.
Sistem hukum nasional seperti yang diutarakan di atas tersebut masih belum dapat
terwujud sepenuhnya di Indonesia. Masih begitu banyak regulasi yang saling tumpang
tindih dan bertentangan satu sama lain. Hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki
adanya peraturan yang saling tumpah tindih atau bertentangan. Di Indonesia masih
banyak regulasi yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila maupun UUD 1945
sehingga dalam penerapannya tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat dan tidak
adanya kepastian hukum.97
Konsep pembangunan hukum dalam RPJPN 2005-2025 ditemukan dalam Arah
Pembangunan Nasional (Bab IV Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang RPJPN 2005-2025), yaitu dalam rangka melaksanakan misi mewujudkan bangsa
yang berdaya saing dan masyarakat demokratis berlandaskan hukum. Bangsa yang
berdaya saing dan masyarakat yang demokratis berlandaskan hukum ini merupakan
bagian dari 8 (delapan) misi pembangunan nasional dalam rangka menggapai visi
pembangunan nasional dalam kurun waktu 2005-2025, yaitu terwujudnya Indonesia
Yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur (Bab III Lampiran Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).
95
42 | P a g e
2013
2013
Pilihan Paradigma
Perlu pilihan tentang paradigma bagi pembangunan hukum yang lebih jelas yang
mengarah pada proses penguatan hak-hak masyarakat sipil dan upaya untuk
mendukung/memperkuat proses demokrasi. Hal ini menjadi lebih mungkin untuk
dilakukan mengingat kondisi bangsa ini yang sedang berada dalam masa transisi menuju
demokrasi.
B.
Pembangunan Sistem
Badan Perencanaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional 2015-2019, Desember 2012
Erman Radjagukguk, Pembaharuan Hukum Memasuki PJPT Kedua Dalam Era Globalisasi, Majalah Hukum
dan Pembangunan, No. 6. Jakarta, 1993, hal. 516.
100
Atmasasmita, Romli, Pembangunan Hukum Nasional diakses melalui
repository.binus.ac.id/content/J0044/J004424873.doc pada tanggal 9 Juni 2013
101
Arah Pembangunan Hukum dan Program Legislasi Nasional, Usulan KRHN pada RDPU dengan Baleg DPR
tanggal 25 Nopember 2004 diakses melalui www.parlemen.net pada tanggal 9 Juni 2013
99
44 | P a g e
2013
kajian yuridis-formal dan sosiologis yang berdimensi parsial. Untuk itu wacana
perlunya perumusan paradigma pembangunan hukum ini harus mulai dilakukan
melalui forum-forum ilmiah, yang kemudian bermuara kepada suatu "kesadaran"
bersama di antara para pengemban pembangunan hukum di Tanah Air;
2. Penelitian tentang hukum yang hidup (living law) dan tingkat kesiapan masyarakat
dalam menyikapi pembaruan hukum, dilakukan secara sistematis dan terfokus. Buah
dari penelitian tersebut juga digunakan untuk mengubah pendekatan pendidikan
hukum yang selama ini cenderung bersifat monolitik. Perubahan pendekatan
pendidikan tinggi hukum tersebut pada gilirannya akan mendukung dasar-dasar
fundamental paradigma pembangunan hukum di Indonesia itu karena diasumsikan
telah bertolak dari dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, termasuk konteks keindonesiaannya;
3. Untuk ke depan, perlu dilakukan upaya yang lebih mendalam untuk melakukan
pemetaan reformasi hukum dengan memperluas partisipasi lembaga lain baik
lembaga pemerintah maupun kalangan masyarakat;
4. Dalam hal masalah ratifikasi perjanjian internasional, maka perlu ada perubahan pola
pikir yang dituangkan dalam rencana dan kajian peraturan perundang-undangannya
agar lebih berorientasi pada kepentingan publik dengan tetap memperhatikan kondisi
global;
5. Perlu melakukan reformasi tujuan dan kurikulum pendidikan tinggi hukum mulai dari
jenjang S3-S2 = S1 sebagai satu paket yang utuh. Selain itu perlu mengembangkan
fakultas hukum masa depan yang mirip dengan pola pendidikan kedokteran, agar siap
pakai;
6. Semua Fakultas Hukum diharapkan memiliki laboratorium hukum sehingga dapat
dijadikan media bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan
berpraktik. Perlu memisahkan pendidikan profesi dari program magister hukum (S2),
Pendidikan profesi diberikan selepas S1, tetapi tidak setara dengan S2. Perlu
membentuk kembali Konsorsium Ilmu Hukum (KIH) atau sejenisnya. 102
Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005-2025 yaitu Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur. Kategori Maju dapat diukur dari kualitas SDM,
tingkat kemakmuran, dan kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum.
Adapun misi ketiga dari RPJPN yaitu Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan
hukum. Pada arah Pembangunan Politik dan Hukum disebutkan bahwa Pembangunan
hukum diarahkan untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap bersumber
pada Pancasila, UUD 45 yang disertai dengan pembangunan materi hukum, pembangunan
struktur hukum, penerapan dan penegakan hukum dan HAM, peningkatan kesadaran
hukum dalam masyarakat, dan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan aparatur
Negara. 103
2.2.2.1.
Siklus Regulasi
Siklus regulasi pada kondisi ideal meliputi tahapan policy making (penyusunan
kebijakan), law making (pembentukan regulasi), implementation (pelaksanaan regulasi),
dan tercapainya goal (tujuan). Namun dalam kehidupan sosial, pelaksanaan regulasi tidak
102
Komisi Hukum Nasional, Menuju Paradigma Baru Pembangunan Hukum Nasional, diakses melalui website
http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129%3Amenuju-paradigma-barupembangunan-hukum-nasional&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in pada tanggal 9 Juni 2013
103
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Indonesia 2005-2025
45 | P a g e
2013
lepas dari adanya perilaku-perilaku masyarakat yang tidak selalu sejalan dengan regulasiregulasi yang ada. Penyimpangan perilaku masyarakat dari tatanan regulasi ini pada
tingkatan tertentu masih dapat ditoleransi sehingga tidak perlu tindakan apa pun untuk
mengatasinya. Namun pada tingkat penyimpangan yang terlalu besar, maka diperlukan
tindakan penegakan (enforcement), yang saat ini lazim disebut dengan penegakan hukum
(law enforcement). Penegakan ini bertujuan untuk mengembalikan perilaku masyarakat
yang menyimpang dari tataran regulasi ini agar kembali sejalan dengan regulasi yang ada.
Upaya penegakan hukum ini ada yang berhasil mengembalikan perilaku masyarakat agar
sejalan dengan regulasi, namun seringkali juga menemui kegagalan. Dalam hal terjadi
kegagalan dalam upaya penegakan hukum, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap
regulasi-regulasi yang telah ada untuk melihat apakah regulasi-regulasi tersebut masih
sesuai dengan dinamika sosial masyarakat atau tidak. Jika regulasi-regulasi yang ada
masih sesuai dengan dinamika sosial masyarakat, maka tidak perlu dilakukan tindakan
apa pun terhadap regulasi yang ada, implementasi regulasi dapat terus dilanjutkan hingga
tujuan regulasi tercapai. Namun, apabila hasil evaluasi menunjukkan bahwa regulasi yang
ada tidak lagi sesuai dengan dinamika masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan atau
pencabutan regulasi atau pembentukan regulasi baru yang sejalan dengan perkembangan
zaman, agar tujuan-tujuan pembentukan regulasi dapat tercapai. Gambaran siklus regulasi
adalah sebagaimana bagan berikut:
Bagan 12 Siklus Regulasi
2.2.2.2.
Hingga saat ini, konsep Sistem Regulasi Nasional masih belum banyak
dikembangkan di Indonesia. Sistem Regulasi Nasional masih dianggap sebagai bagian atau
bahkan dianggap sama dengan Sistem Hukum Nasional. Dengan dinamika masyarakat,
pemerintahan, dan pembangunan, pengembangan konsep Sistem regulasi Nasional
dipandang sangat penting, khususnya dalam hubungannya dengan siklus dan tahapan
perencanaan kebijakan dan regulasi nasional. Sebagaimana kita ketahui, dalam siklus
perencanaan pembangunan nasional, kebijakan nasional baik kerangka regulasi maupun
kerangka pendanaan berasal dari berbagai kebijakan sektoral yang saling berkaitan.
Berbagai kebijakan sektoral ini perlu diharmoniskan dalam suatu Sistem Regulasi
Nasional, yang merupakan suatu mekanisme bertahap untuk mewujudkan harmonisasi
antara kebijakan yang dirumuskan ke dalam bentuk regulasi melalui upaya pengelolaan
yang terarah (perencanaan, koordinasi, monitoring, dan evaluasi) terutama dalam
meningkatkan kualitas regulasi dan kinerja penyelenggara Negara demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Dengan adanya Sistem Regulasi Nasional ini, regulasi yang
dihasilkan telah merupakan hasil pengharmonisasian berbagai kebijakan sektoral untuk
46 | P a g e
2013
dilaksanakan secara nasional, sehingga hasil implementasi regulasi ini diharapkan mampu
mencapai sasaran RPJMN, dan pada akhirnya tujuan bernegara juga akan tercapai.
Selain itu, wacana ini juga mengemuka sebagai akibat kondisi regulasi di Indonesia
yang semakin lama semakin sektoral, baik antarsektor maupun antara regulasi pusat
dengan regulasi daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah. Munculnya
regulasi-regulasi yang sektoral ini pada tataran pelaksanaan ternyata menimbulkan
berbagai permasalahan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
Berrefleksi pada kondisi tersebut, maka wacana pentingnya Sistem Regulasi
Nasional ini perlu ditindaklanjuti. Karena dengan era otonomi daerah yang telah berlaku
sejak tahun 1999, sudah tidak mungkin lagi bagi pemerintah untuk menarik kembali
sistem yang telah diberlakukan tersebut (resentralisasi). Kontrol terhadap regulasi baik
pada tingkat pusat maupun daerah agar tetap berada dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu cara untuk mengendalikan pelaksanaan
otonomi daerah dan mengendalikan egosektoral kementerian/lembaga, sehingga dengan
demikian regulasi mampu menjadi faktor integrasi baik antarsektor maupun antara pusat
dan daerah dalam kerangka NKRI.
Bagan 13 Sistem Regulasi Nasional
2.2.2.3.
Reformasi Regulasi
2013
Kerangka Regulasi
2013
Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dalam Pasal 12
ayat (2) mengatur bahwa: Penyusunan Rancangan APBN berpedoman kepada
rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara104. Dari ketentuan pasal ini jelas bahwa RKP menjadi pedoman dalam
menentukan alokasi anggaran negara dalam RAPBN. Di sisi lain, Pasal 4 ayat (3) UU
Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan
bahwa:
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif105.
Dari kedua pasal tersebut, jelas bahwa RKP memuat juga kerangka regulasi di
samping kerangka pendanaan. Dengan demikian, kerangka regulasi juga turut
menentukan alokasi anggaran negara dalam RAPBN.
RKP yang merupakan dokumen perencanaan nasional dalam periode 1 (satu) tahun
merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, yang merupakan dokumen perencanaan
nasional dalam periode 5 (lima) tahun. Dengan demikian, RPJMN tentunya juga memuat
kerangka regulasi lima tahunan, yang kemudian akan dijabarkan menjadi kerangka
regulasi tahunan dalam RKP. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU SPPN
sebagai berikut:
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi
pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah
kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif106.
Pada tingkat daerah, integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan
pembangunan daerah juga disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) UU SPPN yang mengatur
bahwa:
RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah
yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM
Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah,
kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangka Daerah, lintas Satuan Kerja
Perangka Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Selain itu, istilah kerangka regulasi juga disebutkan dalam PP Nomor 20 Tahun
2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah pada Pasal 3 ayat (3) yang mengatur bahwa:
Program sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari kegiatan yang
berupa:
104
49 | P a g e
2013
b. Kebijakan tidak cukup hanya dinyatakan, melainkan harus dilaksanakan dalam bentuk
yang nyata;
c.
Kebijakan, baik untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu harus
dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu;
50 | P a g e
2013
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
diakses
melalui
http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=bijak&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&sub
mit=tabel
124
Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta:
Kanisius. hlm. 12.
51 | P a g e
2013
dalam norma adalah tahap akhir dari suatu proses panjang penyusunan Peraturan
Perundang-undangan. Proses ini dapat disebut sebagai proses transformasi.
Dalam rangka membentuk regulasi yang baik diperlukan beberapa langkah awal
yaitu: pertama, pembentukan visi bersama tentang bentuk ideal kondisi yang akan
dituju. Kedua, skala prioritas pengaturan mana yang akan didahulukan sebagai batu
penjuru dan memayungi pengaturan lainnya. Ketiga, proses harmonisasi vertikal dan
horisontal agar dapat dilakukan pengaturan secara utuh dan lengkap serta selaras dan
serasi dengan peraturan lain yang sederajat maupun yang mempunyai kedudukan lebih
tinggi serta sejalan dengan asas-asas hukum. Keempat, pengaturan tersebut harus
mampu mengarah pada pencapaian sasaran pembangunan dalam RPJP/RPJPD dan
RPJM/RPJMD. Kelima, pengaturan tersebut harus mampu menyelesaikan masalah yang
ada. Keenam, pengaturan harus dilakukan dalam batas kewenangan.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, maka proses reformasi regulasi secara
sistematik harus mampu menjangkau kepada unsur-unsur dalam sistem hukum itu sendiri
yang meliputi: 126
1.
substansi hukum
Fakrulloh, Zudan Arif, Simplifikasi dan Reformasi Regulasi di Era Otonomi Daerah, Paparan disampaikan
pada Seminar Reformasi Regulasi di Bappenas pada hari Kamis, 30 Juli 2009
127
http://www.businessdictionary.com/definition/regulation.html
128
http://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=3295
52 | P a g e
2013
regulasi oleh OECD ini hanya fokus pada bidang ekonomi, sesuai dengan sektor yang
menjadi concern negara-negara anggota OECD. Namun demikian, apabila digarisbawahi
dengan mengabaikan pembatasan regulasi hanya pada bidang ekonomi saja, maka
pengertian regulasi oleh OECD ini sudah dekat dengan pengertian regulasi yang kita anut
saat ini, di mana di dalamnya terdapat unsur penerapan peraturan pemerintah dan adanya
sanksi apabila tidak ditaati.
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
tidak menggunakan istilah regulasi, namun peraturan perundang-undangan. Namun
demikian, kedua istilah ini dianggap merujuk kepada hal yang sama. Pengertian Peraturan
Perundang-undangan sendiri menurut Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. Dari pengertian tersebut, unsur-unsur yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan meliputi: peraturan tertulis, mengikat secara umum,
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dari berbagai pengertian kebijakan dan regulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa
antara kebijakan dan regulasi sesungguhnya berada pada tataran yang berbeda. Kebijakan
merupakan pilihan tindakan pemerintah yang dirancang untuk mempengaruhi aktivitas
tertentu dalam rangka mencapai atau mewujudkan satu atau lebih tujuan tertentu.
Sedangkan regulasi merupakan sarana atau instrumen untuk mengoperasionalkan
pilihan-pilihan tindakan pemerintah yang telah ditetapkan tersebut. Atau dengan kata
lain, regulasi merupakan sarana untuk mengoperasionalkan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, regulasi memuat kebijakan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
pembangunan. Meskipun tidak semua kebijakan harus dituangkan dalam bentuk regulasi,
namun hingga saat ini, khususnya di negara hukum seperti Indonesia, regulasi masih
menjadi sarana utama bagi pemerintah untuk mengoperasionalkan kebijakankebijakannya, terutama yang bersifat strategis. Dengan demikian, agar tercipta regulasi
yang berkualitas maka kebijakan yang dimuat dalam regulasi juga harus berkualitas.
Kebijakan yang tidak berkualitas akan berimplikasi pada terbentuknya regulasi yang tidak
berkualitas. Selain itu, juga dapat mengarah pada jumlah regulasi yang tidak proporsional
karena banyaknya kebijakan yang dioperasionalkan dengan regulasi, meskipun
sesungguhnya kebijakan tersebut tidak diperlukan, atau cukup dilaksanakan dengan
political will pemerintah tanpa harus diikuti dengan pembentukan suatu regulasi.
Konsekuensi lanjutan dari regulasi yang tidak proporsional dan tidak berkualitas
mencakup dimensi yang luas mengingat regulasi menjadi dasar bagi setiap tindakan. Dari
perspektif finansial, kerugian yang terjadi meliputi biaya pembentukan regulasi, biaya
operasionalisasi atau implementasi regulasi serta biaya penegakannya. Sedangkan dari
perspektif sosial, regulasi yang tidak proporsional dan tidak berkualitas mengakibatkan
terhambatnya kesempatan bagi setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan diri
dalam berbagai hal.
Di sisi lain, ada pula kebijakan yang sesungguhnya berkualitas namun tidak
dituangkan dalam regulasi secara tepat sehingga tidak dapat dioperasionalkan dengan
baik dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kualitas kebijakan dan sinergi antara kebijakan
(policy) dengan regulasi menjadi sangat penting untuk keberhasilan pembangunan guna
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
53 | P a g e
2013
Definisi Operasional
Konflik adalah apabila terdapat pasal atau ketentuan yang bertentangan dengan
pasal atau ketentuan lain, baik dalam satu peraturan atau dengan peraturan lainnya,
baik peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang sederajat.
54 | P a g e
2013
Perumusan norma regulasi yang berbeda antara satu norma regulasi yang satu dengan
norma regulasi yang lain untuk satu tujuan pengaturan yang sama.
Inkonsisten adalah apabila terdapat ketentuan atau pengaturan yang tidak konsisten
dalam satu peraturan perundang-undangan beserta turunannya.
Tidak Operasional adalah peraturan yang tidak memiliki daya guna, namun
peraturan tersebut masih berlaku atau peraturan tersebut belum memiliki peraturan
pelaksana.
Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian suatu peraturan perundangundangan atau rancangan peraturan perundang-undangan
Regulasi :
- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di Indonesia
diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan
yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis,
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum;
- Peraturan Perundang-undangan adalah: Peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secra umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 Angka 2 UU No. 12 tahun 2011);
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
Sinergi:
- Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Sinergi sebagai: 1) kegiatan atau
operasi gabungan; 2) sinergisme;
- Walton (1999), definisi yang paling sederhana dari sinergi adalah hasil upaya
kerjasama atau co-operative effort, karena itu inti dari proses untuk menghasilkan
kualitas sinergi adalah kerjasama;
- Hartanto (1996) menyatakan sinergi adalah suatu gagasan baru, yang terbentuk
dari berbagai macam gagasan yang diajukan oleh banyak pihak hingga
menghasilkan suatu gagasan baru, yang dilandasi oleh pola pikir atau konsep yang
baru;
55 | P a g e
3.
2013
Secara umum, dalam Bab ini akan diuraikan mengenai permasalahan dalam
pembentukan dan kondisi regulasi (perundang-undangan) di Indonesia yang meliputi
beberapa hal, yakni: kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadap kebijakan dan
regulasi, termasuk terhadap proses pemilihan dan perumusan kebijakan serta proses
pembentukan regulasi; kuantitas regulasi yang tidak terkontrol (overregulated); kualitas
regulasi yang buruk; tidak adanya otoritas tunggal pengelola regulasi; dan belum
tersedianya suatu sistem database regulasi yang komprehensif dan terintegrasi. Penjelasan
yang lebih terperinci atas masing-masing permasalahan tersebut akan dijabarkan dalam
bagian-bagian berikutnya dalam penulisan ini. Sedangkan secara khusus, dalam Bab ini
akan diuraikan permasalahan sinergi kerangka kebijakan dan kerangka regulasi dalam
pelaksanaan RPJMN 2010-2014, dalam hal ini sinergi kerangka kebijakan yang harus
dilaksanakan dengan kerangka regulasi dalam RPJMN 2010-2014 dengan kerangka
regulasi dalam Prolegnas 2010-2014 .
3.1.
Permasalahan Umum
134
DR Wicipto Setiadi, SH, MH, dalam paparannya pada Acara Konsultasi Publik Reformasi Regulasi, 5 Juni 2013,
Hotel Gran Melia, Jakarta
56 | P a g e
2013
Policy/Kebijakan
Pilihan tindakan
alternatif tindakan;
di
antara
Regulasi
sejumlah Instrumen operasional untuk tindakan yang
terpilih;
Belum dipahaminya perbedaan dan hubungan antara kebijakan dan regulasi ini
terlihat dari tingginya tingkat dependensi lembaga-lembaga maupun unit-unit sektor
terhadap biro atau bagian hukum dalam hal pembentukan regulasi. Bahkan pada tingkat
daerah, dari berbagai kunjungan kerja yang dilakukan oleh Direktorat Analisa Peraturan
Perundang-undangan, Bappenas selama ini, beberapa biro/bagian hukum SETDA
provinsi/kabupaten mengeluhkan rendahnya kemauan SKPD-SKPD untuk berkontribusi
dalam substansi peraturan daerah yang akan dibentuk terkait sektornya. SKPD-SKPD
teknis seringkali lebih membebankan pengisian substansi perda tersebut kepada
biro/bagian hukum dengan anggapan bahwa persoalan regulasi adalah semata-mata
merupakan urusan dan tusi biro/bagian hukum, tanpa menyadari bahwa regulasi
bersubstansikan kebijakan yang tentu substansinya lebih dikuasai oleh SKPD-SKPD teknis
terkait. Hal ini merupakan salah satu indikasi kurangnya pemahaman penyelenggara
57 | P a g e
2013
pemerintahan terhadap perbedaan dan hubungan antara kebijakan dan regulasi. Inisiasi
pembentukan suatu regulasi (dalam hal ini peraturan daerah) seharusnya justru dimulai
dari SKPD-SKPD, karena SKPD lah yang paling mengetahui kebijakan-kebijakan yang ada
di sektor yang berada di bawah kewenangannya, serta kebijakan-kebijakan yang masih
diperlukan atau disempurnakan guna mencapai tujuan pembangunan di sektor masingmasing.
Pada tingkat pusat pun kurangnya pemahaman atas kebijakan dan regulasi ini juga
terjadi. Dalam proses pembentukan undang undang, kewenangan untuk melakukan
harmonisasi ada pada Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Padahal proses harmonisasi seharusnya bukan hanya dilakukan
dengan mengharmonisasikan pasal-pasal dalam rancangan undang undang yang sedang
diharmonisasi (baik antarpasal dalam rancangan undang undang itu sendiri maupun
dengan pasal-pasal dalam berbagai undang undang lain yang terkait), melainkan yang
terpenting adalah harmonisasi kebijakan-kebijakan dalam rancangan undang undang
dimaksud dengan kebijakan-kebijakan lain yang mungkin telah ada sebelumnya. Hal ini
sangat penting, mengingat kebijakanlah yang selalu menjadi substansi regulasi. Untuk
menganalisis sekaligus mengharmonisasikan kebijakan ini tentu diperlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai kebijakan-kebijakan yang dituangkan dan akan
dioperasionalkan dengan undang undang tersebut. Sedangkan sampai dengan saat ini,
Kementerian Hukum dan HAM bukanlah institusi dengan tugas fungsi yang sektoral serta
belum memiliki sumber daya yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai berbagai
kebijakan sektoral.
Oleh karena itu, akan lebih tepat apabila harmonisasi kebijakan sekaligus ketentuan
pasal-pasal dalam suatu rancangan undang undang dilakukan oleh kementerian pengusul
regulasi berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam proses kajian dan
penelitian, yakni tahap pembentukan undang undang yang sangat awal. Sehingga dengan
demikian, ketika rancangan undang undang telah selesai disusun, tidak lagi memerlukan
proses harmonisasi.
Selain itu, dalam proses pembentukan regulasi, kapasitas para legal drafter dalam
memahami kebijakan-kebijakan yang akan menjadi substansi inti regulasi akan sangat
menentukan kualitas regulasi yang dihasilkan. Yang terjadi saat ini, sebagaimana
dipaparkan sebelumnya, para legal drafter belum memiliki kapasitas yang memadai dalam
memahami kebijakan-kebijakan yang menjadi inti substansi regulasi, sehingga dalam
menganalisis draft regulasi yang akan dibentuk, biasanya hanya dengan melihat dari sisi
teknis legal draftingnya saja. Hal ini tentu saja akan sangat berpotensi memunculkan
regulasi-regulasi yang bermasalah, karena pembentukan regulasi dilakukan tanpa melalui
assessment yang memadai apakah kebijakan yang dioperasionalkan dengan regulasi
tersebut memang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan dinamika sosial masyarakat
serta tidak menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaannya
Kurangnya pemahaman atas kebijakan dan regulasi ini, meskipun tampak tidak
terlalu penting, namun sesungguhnya memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
proses dan penetapan proses pengambilan keputusan, yang tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap kualitas substansi keputusan itu sendiri.
Ilustrasi berikut merupakan contoh identifikasi permasalahan policy (kebijakan)
dan regulasi dalam suatu undang undang:
58 | P a g e
2013
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa permasalahan dalam suatu regulasi tidak
semata-mata merupakan kesalahan regulasi itu sendiri. Dalam banyak kasus, regulasi
bermasalah sejatinya disebabkan karena muatan kebijakan (policy) yang dioperasionalkan
dengan regulasi itulah yang bermasalah. Seperti tampak pada kasus antara UU Nomor 25
tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dengan PP Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah Daerah Tertentu. Pasal 1 Angka 1 UU Tentang Penanaman Modal menyatakan
bahwa: Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Sedangkan PP Nomor 1 Tahun 2007, yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan
UU Tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa: Penanaman modal adalah investasi
59 | P a g e
2013
berupa aktiva tetap berwujud tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik
untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. Dalam kasus
ini, terjadi inkonsistensi kebijakan, di mana Penanaman Modal pada kedua peraturan
tersebut memiliki pengertian yang sangat berbeda, di mana UU Tentang Penanaman
Modal mendefinisikan Penanaman Modal sebagai suatu kegiatan, sedangkan PP Nomor 1
Tahun 2007 mendefinisikan Penanaman Modal sebagai investasi berupa aktiva tetap
berwujud tanah. Inkonsistensi pengertian Penanaman Modal ini tentu akan menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaan undang undang dan PP tersebut. Sementara dari sisi regulasi
sendiri sesungguhnya tidak bermasalah, dalam arti pengaturan mengenai fasilitas pajak
penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu memang seharusnya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah
sebagai pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Kasus lain terjadi antara UU Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Pasal 22 ayat 1 huruf a dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan
Agraria (UUPA) Pasal 29 di atas. Dalam Pasal 22 ayat 1 huruf a UU Penanaman Modal
dinyatakan bahwa Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh
lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60
(enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun, sedangkan
Pasal; 29 UUPA mengatur bahwa : (1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling
lama 25 tahun; (2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun; (3) Atas permintaan
pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu yang dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.
Dalam kasus ini, justru regulasinya yang bermasalah. Pengaturan jangka waktu pemberian
Hak Guna Usaha yang lebih panjang (paling lama 95 tahun) daripada pengaturan dalam
UUPA (paling lama 60 tahun) dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di
bidang investasi. Namun demikian, kebijakan yang seharusnya cukup tepat ini dituangkan
dalam bentuk regulasi secara tidak tepat, karena diatur dalam regulasi yang sederajat
(sesama undang undang), namun dengan tidak mencabut ketentuan dalam undang
undang sebelumnya yang mengatur mengenai hal yang samam (UUPA). Hal inilah yang
kemudian menimbulkan disharmoni regulasi dan pasti akan memicu permasalahan dalam
pelaksanaannya.
Ilustrasi-ilustrasi permasalahan yang lain dapat dilihat dalam bagan di atas.
Rendahnya kualitas regulasi di Indonesia juga disebabkan rendahnya apresiasi
terhadap proses (prosedur) perumusan kebijakan. Kebijakan yang merupakan substansi
inti regulasi, sesungguhnya memerlukan analisis dan identifikasi yang mendalam sebelum
dipilih dan dirumuskan. Rendahnya apresiasi terhadap proses pemilihan dan perumusan
kebijakan ini terlihat dari belum dilakukannya Cost Benefit Analysis (CBA) dan Cost
Effectiveness Analysis (CEA) sebelum suatu kebijakan diputuskan. CBA/CEA terhadap
kebijakan ini sangat penting dilakukan, sehingga ketika dioperasionalkan dalam bentuk
regulasi akan benar-benar mendatangkan lebih banyak manfaat daripada biaya, baik bagi
negara maupun masyarakat pada umumnya (tahapan dan langkah analisis biaya dan
manfaat dapat dilihat pada Lampiran II).
Selain itu, rendahnya apresiasi terhadap proses (prosedur) pembentukan regulasi
juga merupakan penyebab rendahnya kualitas regulasi di Indonesia. Hal ini nampak
dalam
pelaksanaan
pertemuan-pertemuan
yang
bersifat
koordinatif
antarkementerian/lembaga, khususnya yang berfungsi
sebagai wadah koordinasi
antarsektor guna mensinergikan kebijakan-kebijakan antarsektor (interdept). Rendahnya
apresiasi ini nampak dari kurangnya kemauan sektor pengusul rancanganregulasi, untuk
60 | P a g e
2013
135
61 | P a g e
2013
Pasal 7 ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 8 ayat (1), UU Nomor 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
62 | P a g e
2013
tidak perlu juga sangat sering terjadi. Selain itu, juga terdapat berbagai undang undang
yang digunakan untuk mengatur substansi yang sesungguhnya bukan materi muatan
undang undang, melainkan cukup diatur dengan regulasi di bawah undang undang,
bahkan sesungguhnya cukup dengan kebijakan saja. Misalnya berbagai undang undang
yang mengatur mengenai profesi tertentu, undang undang mengenai pendidikan tertentu,
undang undang mengenai kepramukaan, dan lain-lain.
Kuantitas regulasi, khususnya undang undang yang tidak terkontrol ini antara lain
disebabkan karena institusi-institusi pemerintah tidak mengetahui proporsi regulasi yang
dibutuhkan untuk mengoperasionalkan tugas dan fungsinya. Sehingga pembentukan
undang undang banyak yang hanya bersifat reaktif, untuk mengatasi masalah yangbersifat
sesaat. Selain itu, pembentukan regulasi juga belum didasarkan pada evaluasi terhadap
regulasi yang sudah ada (existing laws) maupun pada analisis biaya dan manfaat (cost
and benefit analysis) dari prioritas kebijakan pembangunan yang terpilih agar inefisiensi
anggaran negara berkurang.
Di sisi lain, juga tidak ada otoritas pengendali regulasi secara nasional untuk
mengontrol kuantitas dan kualitas regulasi. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memegang otoritas untuk menentukan
usulan rancangan undang undang untuk masuk ke dalam Prolegnas, seakan tidak berdaya
untuk mengontrol usulan pembentukan undang undang yang berasal dari berbagai
institusi, baik eksekutif maupun legislatif. Persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan
oleh BPHN agar suatu rancangan undang undang bisa masuk ke Prolegnas, seringkali
tidak ditepati. Bahkan UU Nomor 12 tahun 2011 sendiri juga turut berperan terhadap
timbulnya kondisi over regulations ini, yakni dengan adanya ketentuan Pasal 23 ayat (2),
yang menyatakan bahwa:
Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan
Undang Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; dan
b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum".
Ketentuan pasal ini ditengarai justru menjadi pemicu semakin liarnya pengajuan RUU
baik oleh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif tanpa mengindahkan daftar RUU
Prioritas yang telah ada dalam Prolegnas.
Selama ini, daftar rancangan undang undang yang masuk ke dalam Prolegnas
selalu jauh lebih banyak daripada yang berhasil dibentuk dalam kurun waktu yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kemampuan dan kebutuhan akan
pembentukan regulasi dalam kurun waktu tertentu (tahunan maupun lima tahunan)
tidaklah sebanyak daftar kebutuhan RUU dalam Prolegnas, atau dengan kata lain jumlah
kebutuhan RUU dalam Prolegnas sebenarnya tidak realistis baik ditinjau dari segi
kemampuan maupun kebutuhan pembentukan regulasi. Hal ini tentunya memicu
inefisiensi anggaran negara, karena untuk setiap RUU yang diusulkan, dapat diasumsikan
akan diikuti dengan pengalokasian anggaran, dan karenanya seringkali dipaksakan untuk
dibentuk guna menghabiskan anggaran yang telah terlanjur dialokasikan agar kinerja
lembaga juga terjaga. Padahal sesungguhnya, apabila perencanaan regulasi dilaksanakan
secara matang, anggaran untuk pembentukan regulasi yang tidak perlu tersebut
seharusnya dapat dialokasikan untuk membiayai bidang-bidang pembangunan lainnya.
63 | P a g e
2013
2013
dominasi birokrat dan parlemen. Meskipun partisipasi masyarakat ini terlalu ideal dan
bukan jaminan bahwa suatu undang-undang yang dihasilkannya akan dapat berlaku
efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah partisipatif yang ditempuh oleh
lembaga legislatif dalam setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat lebih
mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya suatu undang-undang. Keberadaan
partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU sangat penting dalam mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan melalui perangkat UU. Demikian juga Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kewenangan legislasi, dituntut untuk
membuka pintu yang seluas-luasnya dalam persoalan partisipasi, apabila disepakati
bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk menuju demokratisasi.
Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang harus peka
kepada aspirasi publik yang telah memilihnya. Pasca reformasi 1998 tuntutan proses
pembentukan perundang-undangan yang partisipatif dan transparan terasa meningkat
seiring dengan terjadinya dinamika proses politik yang semakin demokratis. Perbaikan
proses pembentukan perundang-undangan di masa yang akan datang akan terus
meningkat sejalan dengan tingkat kesadaran berdemokrasi dan kompleksitas kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Berbagai hal tersebut di atas memicu timbulnya regulasi-regulasi bermasalah, yang
dalam tataran implementasi ternyata menyulitkan banyak pihak. Adapun yang dimaksud
dengan regulasi bermasalah adalah sebagai berikut:
a.
Konflik, yakni terdapat pasal atau ketentuan yang nyata-nyata bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Contoh pasal-pasal yang konflik dalam suatu
regulasi adalah sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Regulasi Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengatur bahwa HGU dapat
diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf
a Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang
mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun,
dan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan
untuk jangka waktu paling lama 50 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang
Undang Penanaman Modal yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan untuk
jangka waktu paling lama 80 tahun;
2. Undang-undang nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2004: RPJM Daerah ditetapkan
dengan Regulasi Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah
dilantik. Sedangkan Pasal 150 ayat (3e) UU Nomor 32 Tahun 2004 RPJP daerah
dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan
Perda berpedoman pada Regulasi Pemerintah.
2013
Multitafsir, adalah perumusan norma yang tidak jelas di dalam suatu regulasi, baik
berupa ketidakjelasan obyek maupun subyek yang diatur sehingga berpotensi
mengakibatkan kesalahan pemahaman. Rumusan norma yang tidak jelas tersebut
menimbulkan ketidakpastian baik bagi pihak pelaksana maupun pihak yang terkena
aturan tersebut. Contoh regulasi yang multitafsir adalah sebagai berikut:
1. Pasal 54 UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial menyatakan bahwa
Kegiatan penyelenggaraan Informasi Geospasial oleh Instansi Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Perumusan pasal 54
UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tersebut
sesungguhnya
hanya mengatur subyek yang boleh bertindak sebagai penyelenggarakegiatan, akan
tetapi perumusan di dalam pasal dilakukan dengan cara yang membingungkan
sehingga tidak mudah untuk memahami dan menemukan siapa atau institusi apa
yang sesungguhnya berwenang melakukan
kegiatan tersebut.
2. Pasal 14 UU 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menyatakan :
Setiap penanam modal berhak mendapat: a. kepastian hak, hukum, dan
perlindungan; b. dst .... Penjelasan psl. 14 huruf (a) menyatakan bahwa Yang
dimaksud dengan kepastian hak adalah jaminan Pemerintah bagi penanam
modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan
kewajiban yang ditentukan. Perumusan pasal dan penjelasannya tidak
menjawab
hak apa saja sehingga potensi terjadinya multi tafsir sangat besar
d. Duplikasi, adalah pengulangan suatu pernyataan satu pasal pada regulasi tertentu
pada satu atau lebih regulasi yang lain. Beberapa duplikasi pengaturan tetap
diperlukan misalnya ketentuan mengenai aturan peralihan tetapi ada duplikasi
pengaturan yang tidak diperlukan. Duplikasi pengaturan yang tidak diperlukan hanya
berakibat inefisiensi regulasi.
e.
f.
g. Tidak ramah, artinya regulasi tersebut tidak mudah dipahami dan dipatuhi serta
memberikan beban yang berlebihan (berupa biaya, waktu dan proses) kepada pihak66 | P a g e
2013
pihak yang terkena dampak langsung regulasi atau dengan kata lain tujuan regulasi
tidak dapat dicapai karena memberikan beban yang tidak perlu bagi kelompok yang
terkena dampak pengaturan oleh regulasi, misalnya: regulasi mengatur secara
proporsional mengenai biaya, waktu dan proses bagi pihak-pihak yang akan
mengajukan suatu izin tertentu.
3.1.4. Tidak adanya otoritas tunggal untuk mengelola dan menjaga sistem regulasi
nasional
Pentingnya kelembagaan dalam upaya melaksanakan reformasi regulasi ini juga
disadari oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). OECD countries dalam pelaksanaan reformasi
regulasi Regulasi mempunyai Kelembagaan yang terdiri dari: Regulatory Oversight
Body; Advisory Body; dan Regulatory Reform Promotional Body:
1. Regulatory Oversight Body: Fungsinya antara lain: konsultasi dalam proses
pengembangan regulasi baru; menyusun laporan atas kemajuan yang dicapai dalam
proses Reformasi regulasi oleh masing-masing Kementerian; berwenang untuk
mereview dan memantau dampak dari regulasi yang dibuat oleh masing-masing
Kementerian; melakukan analisis sendiri atas dampak regulasi; melakukan fungsi
advokasi untuk melakukan reformasi dan meningkatkan kualitas regulasi.
2. Advisory Body: berfungsi untuk menerima referensi dari Pemerintah untuk
melakukan review atas regulasi dalam cakupan yang luas serta menggali pandangan
masyarakat dan dunia usaha atas regulasi tertentu.
3. Regulatory Reform Promotional Body: adalah Kementerian yang bertanggung
jawab untuk mempromosikan kemajuan dalam melakukan reformasi regulasi.
Dalam kelembagaan pembentuk regulasi di Indonesia, tidak ada satu lembaga yang
secara khusus memiliki tugas dan fungsi baik untuk melakukan review atau memantau
dampak dari existing regulations maupun potensi dampak dari regulasi yang akan
dibentuk. Kewenangan mengusulkan regulasi, khususnya undang undang tersebar pada
banyak institusi baik dari pihak eksekutif maupun legislatif. Setiap kementerian memiliki
kewenangan untuk mengajukan RUU. Demikian pula Dewan Perwakilan Rakyat, memiliki
hak inisiatif untuk mengajukan RUU. Kondisi ini mungkin tidak akan menimbulkan
permasalahan seandainya tiap-tiap sektor benar-benar memiliki integritas semata-mata
demi kepentingan nasional. Namun, kondisi yang terjadi saat ini tidak demikian halnya.
Egosektoral di masing-masing kementerian/lembaga serta berbagai kepentingan yang
mewarnai proses pembentukan undang undang baik di kalangan eksekutif maupun
legislatif sudah menjadi rahasia umum. Di sisi lain, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang sampai dengan saat ini dipandang sebagai institusi yang paling berperan
dalam pembentukan undang undang tidak memiliki kapasitas untuk menilai kebijakankebijakan yang hendak dioperasionalkan dengan berbagai RUU yang diusulkan. Tidak
dimilikinya kapasitas untuk menilai kebijakan tersebut, menyebabkan Kementerian
Hukum dan HAM juga kurang memiliki kemampuan untuk menentukan perlu atau
tidaknya suatu kebijakan diatur dengan undang undang. Dengan demikian,praktis tidak
ada institusi yang sepenuhnya berwenang mengendalikan kualitas dan kuantitas regulasi,
karena dalam menjalankan kewenangannya pun, Kementerian Hukum dan hak Asasi
Manusia juga masih menghadapi banyak kendala, terutama kuatnya arus kepentingan di
kalangan legislatif, sehingga seringkali terjadi suatu Rancangan Undang Undang di luar
Prolegnas lima tahunan, namun tiba-tiba masuk dalam Prolegnas tahunan hingga
pembahasan. Mekanisme penyusunan Prolegnas Pemerintah yang bottom up (oleh
kementerian/lembaga dan DPR) mendorong membengkaknya jumlah regulasi dan ego
sektoralisme regulasi. Ironisnya, kondisi ini juga dimungkinkan oleh UU Nomor 12 tahun
67 | P a g e
2013
2011 itu sendiri yang memang memungkinkan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau
Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang Undang di luar Prolegnas (Pasal 23 ayat
(2) dengan alasan-alasan:
a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional atas suatu Rancangan
Undang Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum140.
Faktor-faktor inilah yang banyak menimbulkan pembentukan undang undang di
luar perencanaan.
Dari sisi regulasi sendiri, UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan lebih bersifat regulation-oriented. Undang undang ini
masih belum menyentuh sisi policy yang justru merupakan inti muatan regulasi,
melainkan lebih kepada mekanisme regulatory makingnya saja. Sementara, sisi policy
making dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (sejak proses kajian,
penelitian, hingga pemilihan alternative policy) tidak mendapat perhatian dalam undang
undang ini. Dalam UU Nomor 12 tahun 2011, tidak diatur bagaimana tahapan kajian dan
penelitian harus dilakukan, meskipun undang undang tersebut telah sedikit menyinggung
mengenai isi kajian untuk pembentukan undang undang, yakni pada beberapa Pasal dan
Bagian Lampiran sebagai berikut:
a.
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (3), yang menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan
pengkajian dan penyelarasan adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi
yang akan diatur dengan Peraturan perundang-undangan lainnya yang vertikal atau
horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan;
c.
Bab III Lampiran UU Nomor 12 tahun 2011, yang menyatakan bahwa: Kajian
terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi
hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau
materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari undang undang
atau peraturan daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat
sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari
Undang Undang dan Peraturan daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan
landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang Undang, Peraturan Daerah
Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Pasal 23 ayat (2), UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
68 | P a g e
2013
yang akan dioperasionalkan dengan undang undang itu dianalisis. Oleh karena itu,
seharusnya kedua tahapan ini mendapatkan porsi yang memadai dalam undang undang
ini, karena kedua tahapan inilah yang akan menentukan landasan filosofis, landasan
sosiologis, dan landasan yuridis dari pembentukan suatu regulasi, khususnya undang
undang.
Kondisi peraturan perundang-undangan yang overregulated, yang saling konflik,
inkonsisten, multitafsir, duplikasi, tidak operasional, bermasalah secara sosiologis, dan
tidak ramah urusan ini pada tataran pelaksanaan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi
sebagai berikut:
a.
b.
Inefisiensi anggaran,
penegakannya, dll;
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
biaya
pembentukan,
biaya
pelaksanaan,
biaya
69 | P a g e
70 | P a g e
2013
2013
2013
maupun daerah. Upaya ini sudah sangat baik, namun demikian hingga saat ini
pengembangan JDIHN masih mengalami berbagai kendala sehingga tujuan untuk
menciptakan sistem database regulasi nasional yang komprehensif belum sepenuhnya
tercapai.
Kesadaran akan pentingnya database regulasi sesungguhnya telah dimiliki oleh
berbagai institusi. Beberapa institusi pemerintah telah mengembangkan database regulasi,
khususnya mencakup regulasi-regulasi terkait sektor yang menjadi kewenangan masingmasing institusi. Berdasarkan studi kelayakan mengenai database peraturan perundangundangan yang dilaksanakan oleh Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan,
Bappenas, gambaran database regulasi secara umum di masing-masing institusi tersebut
adalah sebagaimana tabel di bawah:
Bagan 19 Database regulasi di berbagai institusi pemerintah di Indonesia 142
Kriteria
Kronol Kata
ogis
log
N
o
Pengelola / Alamat
Web
Sistem
atis
Tem
atis
Sekretariat Negara
tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
ya
Terinte
grasi
up-todate
Ya +
Nask
ah
tidak
Ya
Tidak
Ya +
Nask
ah
tidak
ya
tidak
Ya +
naska
h
tidak
tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya +
naska
h
tidak
Ya
ya
ya
ya
Ya +
naska
h
ya
Tidak
tidak
tidak
ya
Ya +
naska
h
tidak
Ya
tidak
tidak
Ya
Ya +
naska
h
tidak
ya
www.indonesia.go.id
2
Badan Pemeriksa
Keuangan
www.jdih.bpk.go.id
Bank Indonesia
www.bi.go.id
Kementerian
Perindustrian
www.depperin.go.id
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
www.bappenas.go.id
Kementerian Keuangan
www.sjdih.depkeu.go.id
142
Laporan Akhir Koordinasi Strategis Pengembangan Studi Kelayakan Database Peraturan Perundang-undangan
Perundang-undangan Tahun 2010, Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas, 2010
72 | P a g e
Kriteria
Kronol Kata
ogis
log
N
o
Pengelola / Alamat
Web
Sistem
atis
Tem
atis
Mahkamah Konstitusi
tidak
tidak
ya
ya
ya
tidak
tidak
Terinte
grasi
up-todate
Ya +
naska
h
ya
Tidak
Tidak
Ya +
naska
h
ya
ya
tidak
ya
Ya +
naska
h
tidak
Tidak
tidak
Ya
Ya +
naska
h
tidak
ya
http://portal.mahkamahk
onstitusi.go.id
9
10
Ditjen Peraturan
Perundang-undangan,
Depkumham.
2013
www.legalitas.org
11
Kementerian Dalam
Negeri, Pusdatinkomtel
www.depdagri.go.id
Sistematis. Dalam sistem database pengertian sistematis adalah kondisi dimana satu
peraturan dapat menjadi bagian dari beberapa bidang, tergantung kebutuhannya.
Dengan demikian, suatu database peraturan perundang-undangan dapat dikatakan
sistematis apabila menggunakan pola tematis, dimana satu peraturan apabila relevan
dapat dimasukkan pada beberapa tema yang telah ditetapkan.
Kronologis. Kronologis adalah penyusunan database peraturan perundangundangan sesuai klasifikasinya berdasarkan no/tanggal/tahun terbitnya yang disusun
secara berurutan. Dari peraturan yang diterbitkan terbaru sampai dengan peraturan
yang diterbitkan terlama (atau sebaliknya berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004).
Kriteria ini dapat memudahkan pengguna dalam memperoleh data yang dibutuhkan
karena proses pencarian telah dipersempit.
2013
informasi awal tentang status regulasi yang ditampilkan apakah masih berlaku, diubah
atau telah dicabut.
e.
Katalog, yakni database memuat informasi awal tentang peraturan perundangundangan, yaitu dengan hanya menampilkan nomor/tahun/ judul
f.
Selain berbagai sistem database regulasi nasional yang dikembangkan oleh berbagai
institusi pemerintah, juga terdapat database regulasi nasional yang dikembangkan oleh
negara lain, database yang dikelola oleh NGO dalam negeri, maupun database yang
regulasi yang dikembangkan oleh NGO asing:
a.
2)
74 | P a g e
b.
2)
c.
2013
Pusat
Kajian
Regulasi
www.indoregulation.com,
(Center
for
Regulatory
Research),
- Situs ini dikelola oleh Pusat Kajian Regulasi (Center for Regulatory
Research).
- Database peraturan ada pada menu Content Overview.
- Database yang disajikan cukup lengkap dengan pengklasifikasian tema yang
mencapai 62 bidang.
- Penyajian peraturan bersifat hierarkis (UU s.d Keppres) secara kronologis
dan tematis.
- Dari hasil penelusuran, database yang disajikan dalam situs ini sudah
disusun berdasarkan tema, sehingga menjadi sistematis dan terintegrasi.
- Dari setiap tema yang disajikan juga memperhatikan aspek kronologis dan
hierarkis. Sebelum naskah ditampilkan, ada katalog sebagai informasi awal.
- Untuk dapat mengakses/membuka data peraturan perundang-undangan
yang diinginkan user harus menjadi member terlebih dahulu.
- Up-date peraturan yang bersifat sektoral hanya sampai dengan tahun 2003.
- Akses cukup cepat.
- Kadang sulit untuk dibuka.
- Tidak ada Peraturan Daerah yang disajikan..
PT. Justika Siar Publika, www.hukumonline.com,
75 | P a g e
2013
Pada KIB I, jumlah RUU yang tertuang dalam Prolegnas 2005-2009 sejumlah 284
RUU, yang pada akhir periode KIB I telah di sahkan sebanyak 194 UU, dan hanya 76
UU (26,7 persen) yang sesuai dengan RUU Prolegnas 2005-2009.
Pada KIB II, jumlah RUU yang tertuang dalam Prolegnas 2010-2014 sejumlah 258
RUU. Pada periode yang sama DPR telah mensahkan sebanyak 83 UU. Dari 83 UU
pada KIB I di dalam RPJMN 2005-2009, terdapat 56 usulan RUU dan 35 RUU
diantaranya terdapat di dalam Prolegnas 2005-2009 (62,5 persen). Dari 56 usulan
RUU dalam RPJMN 2005-2009, 30 RUU berhasil dibentuk menjadi UU (53,6 persen).
Dari sisi sinerjitas antara Prolegnas dengan RPJMN
pada KIB I di dalam RPJMN 2005-2009 terdapat 56 usulan RUU dan 35 RUU
diantaranya terdapat di dalam Prolegnas 2005-2009 (62,5 persen). Dari 56 usulan
RUU dalam RPJMN 2005-2009, 30 RUU berhasil dibentuk menjadi UU (53,6 persen).
Pada KIB II di dalam RPJMN 2010-2014 terdapat 31 usulan RUU dan 20 RUU
diantaranya terdapat di dalam Prolegnas 2010-2014 (64,5 persen). Dari 31 usulan
RUU dalam RPJMN 2010-2014, sampai dengan tahun 2013, sebanyak 9 RUU berhasil
dibentuk menjadi UU (29 persen).
Laporan Akhir Koordinasi Strategis Pengembangan Studi Kelayakan Database Peraturan Perundang-undangan
Perundang-undangan Tahun 2010, Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas, 2010
76 | P a g e
2013
konsistensi
antara
perencanaan,
penganggaran,
Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi bangsa
Indonesia ke depan, modal dasar yang dimiliki serta amanat pembangunan yang
tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Visi Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan
Makmur.
Visi pembangunan nasional tahun 20052025 tersebut mengarah pada pencapaian
tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur
untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang
ingin dicapai.
Menurut RPJPN, kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya
dicerminkan oleh perkembangan ekonomi semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas.
Kemandirian dan kemajuan juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam
kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan
sosial.
Pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya sebagai bangsa yang mandiri dan
maju, melainkan juga bangsa yang adil dan makmur. Sebagai pelaksana dan penggerak
pembangunan sekaligus objek pembangunan, rakyat mempunyai hak, baik dalam
merencanakan, melaksanakan, maupun menikmati hasil pembangunan. Pembangunan
77 | P a g e
2013
haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, masalah
keadilan merupakan ciri yang menonjol pula dalam pembangunan nasional.
Keadilan dan kemakmuran harus tercermin pada semua aspek kehidupan. Semua
rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan;
memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan
kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan
mempertahankan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan
hukum. Dengan demikian, bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk
apapun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa
yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna
dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8
(delapan) misi pembangunan nasional, yaitu:
1.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional.
RPJMN II
RPJMN III
RPJMN IV
a.
2013
b.
c.
Agenda II
Agenda III
Agenda IV
Agenda V
2. Bidang Ekonomi
3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4. Bidang Sarana dan Prasarana
5. Bidang Politik
6. Bidang Pertahanan dan Keamanan
7.
2013
terkait regulasi. Selain itu, perlu ditingkatkan koordinasi dengan K/L K/L teknis sebagai
pihak yang paling mengetahui kebijakan dalam sektor masing-masing. Koordinasi dengan
K/L teknis ini sangat penting, mengingat kebijakan merupakan substansi inti regulasi.
Perlunya koordinasi antarinstitusi antarsektor guna memperkuat sinergi antara
perencanaan regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional dengan
perencanaan regulasi dalam Prolegnas ini diperkuat dengan adanya Pasal 18 UU Nomor 12
Tahun 2012, yang menyatakan bahwa dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar
Rancangan Undang Undang didasarkan antara lain atas: sistem perencanaan
pembangunan nasional, rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana
pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja pemerintah.
Hingga saat ini, antara perencanaan regulasi dalam RPJMN dan perencanaan
regulasi dalam Prolegnas masih belum sinergis. Hal ini terlihat dari tidak sinkronnya
jumlah dan substansi regulasi, khususnya undang undang (RUU) yang diusulkan dalam
RPJMN dan usulan RUU dalam Prolegnas, apalagi jika dibandingkan dengan RUU yang
berhasil dibentuk menjadi undang undang pada periode yang sama. Hal ini juga terjadi
dalam periode RPJMN 2010-2014 dan Prolegnas 2010-2014. RPJMN 2010-2014 memuat
29 (dua puluh sembilan) kerangka regulasi undang undang, sedangkan Prolegnas 20102014 memuat 258 (dua ratus lima puluh delapan) RUU Prioritas. Sebuah kesenjangan
yang terlalu besar dalam dua sistem perencanaan pembangunan yang seharusnya sejalan
dan saling mendukung.
Berikut adalah daftar RUU yang akan dibentuk dalam periode lima tahun
berdasarkan RPJMN 2010-2014:
Bagan 20 Kebutuhan Regulasi (Undang Undang) dalam RPJMN 2010-2014
No.
1.
JUDUL RUU
Prioritas
80 | P a g e
POSISI
K/L Pengusul
No.
2.
JUDUL RUU
Prioritas
POSISI
2013
K/L Pengusul
Prioritas
Negara
Lainnya
:
Perekonomian
3.
RUU
Multimedia
(Konvergensi
Telematika)
sebagai
pengganti
UU
No. 36 Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi
Bidang
Pembangunan
: Sarana dan
Prasarana
4.
RUU
Penanganan
Konflik
Sub
Bidang
Pembangunan:
Politik Dalam
Negeri
dan
81 | P a g e
Kemenkominfo
No.
JUDUL RUU
Prioritas
Komunikasi
POSISI
2013
K/L Pengusul
Demokrasi,
II.
Peningkatan
Iklim
Kondusif
Bagi
Berkembangnya
Kebebasan Sipil dan Hakhak Politik Rakyat, 2.5
Fasilitasi
Penanganan
Konflik
5.
RUU
tentang PN 1 Reformasi
PEMILU Kepala Birokasi
dan
Daerah
dan Tata Kelola
Wakil
Kepala
Daerah
6.
RUU
tentang PN 1 Reformasi Matriks Buku I No. VII Kemen PAN dan
Pensiun PNS
Birokasi
dan Program Pendayagunaan RB
Tata Kelola
Aparatur
Negara
dan
Reformasi Birokrasi VII.3
Pengembangan kebijakan
kesejahteraan
SDM
aparatur
7.
8.
Revisi UU no. 13
tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan
82 | P a g e
No.
9.
JUDUL RUU
RUU Koperasi
Prioritas
Bidang
Ekonomi
POSISI
2013
K/L Pengusul
10.
RUU
Badan Bidang
Penyelenggara
Ekonomi
Jaminan Sosial
11.
RUU
Keantariksaan
Nasional
Bidang
Pembangunan
: Ilmu
Pengetahuan
dan Tekmologi
Prioritas
Bidang: Sistem
Inovasi
Nasional
Bidang
Pembangunan
83 | P a g e
No.
JUDUL RUU
Prioritas
POSISI
Ilmu
Pengetahuan
dan Teknologi
2013
K/L Pengusul
12.
Rancangan
Revisi Terbatas
UU
Partai
Politik: UU No.
2 Tahun 2008
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
13.
Rancangan
revisi
terbatas
UU
No.
10
Tahun
2008
tentang Pemilu
Anggota
DPR,
DPD, dan DPRD
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
14.
Rancangan
revisi
terbatas
UU
No.
42
Tahun
2008
tentang Pemilu
Presiden
dan
Wakil Presiden
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
15.
Rancangan
revisi
terbatas
UU
No.
27
Tahun
2009
tentang
MPR,
DPR, DPD, dan
DPRD
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
16.
Rancangan
revisi UU No. 22
tahun
2007
tentang
Penyelenggara
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
84 | P a g e
No.
JUDUL RUU
Prioritas
Pemilihan
Umum
POSISI
2013
K/L Pengusul
Iklim
Kondusif
Bagi
Berkembangnya
Kebebasan Sipil dan Hakhak Sipil 2.8 Fasilitasi
lembaga perwakilan dan
partisipasi politik
17.
Revisi terbatas
UU
No.
32
Tahun
2004
terkait dengan
efisiensi
pelaksanaan
Pilkada
Bidang Politik
Dalam Negeri
dan
Komunikasi
18.
RUU
Tata
Laksana
Pemerintah yang
Baik
Program
Pemberdayaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi
Birokrasi
RUU
Laksana
Pemerintah
Baik
Tata
yang
3. Program pemberdayaan
aparatur Negara dana
Reformasi Birokrasi
19.
3.
Program
pemberdayaan
aparatur Negara
dana Reformasi
Birokrasi
Kementerian
Pemberdayaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi
Birokrasi
3.Program
pemberdayaan
aparatur Negara
dana
Reformasi
Birokrasi
3. Program Pemberdayaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi Birokrasi
20.
RUU
Administrasi
Pemerintahan
Program
Pemberdayaan
Aparatur
Negara
dan
Reformasi
Birokrasi
85 | P a g e
No.
JUDUL RUU
Prioritas
POSISI
2013
K/L Pengusul
perekonomian
21.
RUU
Etika Program
Penyelenggara
Pemberdayaan
Negara
Aparatur
Negara
dan
Reformasi
Birokrasi
Kementerian
Pemberdayaan
Aparatur Negara
dan
Reformasi
Birokrasi
No. 15 Pengembangan
kebijakan, koordinasi dan
evaluasi tata laksana
korporatisasi
22.
Kementerian
Komunikasi dan
Informatika
1. Program Pengelolaan
Sumber Daya dan
Perangkat Pos dan
Informatika
1.3 Fasilitasi penerapan
dan pengembangan sistem
keamanan
informasi
elektronik
23.
RUU
Tindak
Pidana
Teknologi
Informasi
(Cyber Crime)
Program
Pengelolaan
Sumber Daya
dan Perangkat
Pos
dan
Informatika
Kementerian
Komunikasi dan
Informatika
III. Program
Pengembangan Aplikasi
Informatika
3.3 Fasilitasi penerapan
dan pengembangan sistem
keamanan
informasi
elektronik
24.
RUU
Standardisasi
dan
Penilaian
Kesesuaian
Program
Pengembangan
Standardisasi
Nasional
86 | P a g e
Pengembangan
Badan
Standardisasi
Nasional
No.
JUDUL RUU
Prioritas
POSISI
2013
K/L Pengusul
Standardisasi Nasional 1.
Pengembangan
Sistem
Standardisasi
dan
Kesesuaian Nasional
25.
RUU
Tentang Bidang Hukum
Sistem
dan Aparatur
Pengawasan
Nasional
26.
RUU
Tentang Bidang Hukum Bab VIII Hukum dan Kemen PAN dan
SDM Aparatur dan Aparatur
Aparatur
Tabel
2.2 RB
Negara
Prioritas
Bidang
:
Penyelenggaraan
Tata
Kelola Pemerintah yang
Baik Fokus Prioritas 6:
Peningkatan
Kapabilitas
dan Akuntabilitas Kinerja
Birokrasi
No.
10
Pengembangan Kebijakan
Pemantapan
pengembangan
SDM
Aparatur
27.
RUU
Tentang Bidang Hukum
Akuntabilitas
dan Aparatur
Penyelenggara
Negara
28.
RUU
Bab
87 | P a g e
Tentang Bidang
III
Perekonomian, Kementerian
No.
29.
JUDUL RUU
Prioritas
Lembaga
Keuangan Mikro
Pembangunan
Perekonomian
RUU
Tentang Bidang
Perkotaan
Pembangunan
Wilayah
dan
Tata Ruang
POSISI
2013
K/L Pengusul
Tabel
2.2
Fokus: Koperasi
Peningkatan Iklim Usaha UKM
yang
kondusif
bagi
koperasi dan UMKM a.
Penataan
peraturan
perundang-undangan
terkait
perkoperasian,
lembaga keuangan mikro
(LKM), pendaftaran dan
perijinan usaha, lokasi
usaha,
penggunaan
produksi dalam negeri,
dan
penyebarluasan
teknologi
tepat
guna,
beserta
ketentuan
pelaksanaannya.
dan
No.
1.
RUU dalam
RPJMN 20102014
Rancangan
Revisi
Terbatas
UU
Nomor
2
Tahun
2008
Tentang
Partai
RUU
88 | P a g e
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
UU Nomor 4
Tahun
2010
Tentang
Pengesahan
Perjanjian Antara
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Politik
2.
3.
Republik
Indonesia
dan
Rancangan Revisi Rancangan revisi UU UU No. 15 Tahun
Republik
UU Nomor 22 Nomor 22 Tahun 2007 2011
tentang
Singapura
Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pengelenggara
Tentang
Tentang
Pemilihan Umum
Pemilihan Umum
Penetapan Garis
Penyelenggara
Batas
Laut
Pemilihan Umum
Wilayah
Kedua
Negara di Bagian
Barat
Selat
Singapura, 2009
(Treaty Between
The Republic of
Indonesia
and
The Republic of
Singapore
Relating To The
Delimitation
of
The
Territorial
Seas of The Two
Countries in The
Western Part of
The Starit
of
Singapore, 2009)
RUU
Badan RUU
Badan UU No. 24 Tahun
Penyelenggaran
Penyelenggaran Jaminan 2011 tentang BPJS
Jaminan
Sosial Sosial Nasional
Nasional Nasional
89 | P a g e
UU Nomor 6
tahun
2010
Tentang
Pengesahan
Memorandum
Saling Pengertian
Antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dan
Kerajaan
Kebawah
Duli
Yang Maha Mulia
Paduka
Seri
Baginda
Sultan
dan
Yang
Dipertuan Negara
Brunei
Darussalam
Tentang
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Kerjasama
di
Bidang
Pertahanan
(Memorandum of
Understanding
Between
The
Government
of
The Republic of
Indonesia
and
The Government
of His Majesty
The Sultan
and
Yang
Dipertuan
of
Brunei
Darussalam on
Defence
Cooperation)
4.
XXX
5.
6.
XXX
UU Nomor 9
Tahun
2011
Tentang
Pengesahan
Convention
on
The Rights of
Persons
With
Disabilities
(Konvensi
Mengenai HakHak Penyandang
Disabilitas)
XXX
UU No. 1 Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
Traktat
Pelarangan
Menyeluruh Uji
Coba Nuklir (
Comprehensive
Nuclear-TestBan-Treaty)
XXX
UU No. 3 Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
Revisi terbatas UU
No. 32 Tahun 2004
terkait
dengan
efisiensi
pelaksanaan Pilkada
RUU
Tindak RUU Tindak Pidana
Pidana Teknologi Teknologi
Informasi
Informasi (Cyber (Cyber Crime)
Crime)
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Persetujuan
Antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dan
Pemerintah
Daerah
Administrasi
Khusus
Hongkong
Republik Rakyat
China
Tentang
Bantuan Hukum
Timbal
Balik
dalam
Masalah
Pidana
(Agreement
Between
The
Government
of
The Republic of
Indonesia
and
The Government
of The Hongkong
Special
Administrative
Region of The
Peoples Republic
of
China
Concerning
Mutual
Legal
Assistance
in
Criminal
Matters)
7.
RUU Multimedia
(Konvergensi
Telematika)
sebagai pengganti
UU No. 36 Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi
91 | P a g e
RUU
Multimedia
(Konvergensi
Telematika)
sebagai
pengganti UU No. 36
Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
XXX
UU No. 5 Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
ASEAN
Convention
on
Counter
Terrorrism
(Konvensi ASEAN
Mengenai
Pemberantasan
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Terorisme)
8.
9.
10.
RUU
Pemilihan RUU Pemilihan Kepala
Kepala
Daerah Daerah
dan Wakil Kepala
Daerah
RUU
Tentang
Perubahan
atas
UU No.39 Tahun
2004
tentang
Penempatan dan
Perlindungan
Tenaga
Kerja
Indonesia di Luar
Negeri
RUU Koperasi
92 | P a g e
XXX
UU No. 9 Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
Optional Protocol
To
The
Convention
on
The Rights of The
Child on The
Involvement
of
Chidren in Armed
Conflict (Protokol
Opsional
Konvensi
HakHak
Anak
Mengenai
Keterlibatan Anak
dalam
Konflik
Bersenjata)
XXX
UU Nomor 10
Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
Optional Protocol
To
The
Convention
on
The Rights of
Thye Child on The
Sale of Children,
Child Prostitution
and
Child
Pornography
(Protokol
Opsional
Konvensi
HakHak
Anak
Mengenai
Penjualan Anak,
Prostitusi Anak,
dan
Pornigrafi
Anak)
RUU Koperasi
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
11.
RUU
Tentang
Perubahan
atas
UU No. 10 Tahun
2008
tentang
Pemilu
Anggota
DPR, DPD, dan
DPRD
12.
Rancangan revisi
terbatas UU No.
27 Tahun 2009
tentang
MPR,
DPR, DPD, dan
DPRD
Rancangan
revisi
terbatas UU No. 27
Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
13.
RUU
Ratifikasi
Convention
of
Cyber Crime
14.
RUU
Keantariksaan
Nasional
15.
RUU
Ratifikasi
konvensi
buruh
migran
dan
keluarganya
XXX
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Perkoperasian
Pendidikan
Tinggi
UU Nomor 8 tahun
2012
Tentang
Pemilihan
Umum
Anggota DPR, DPD,
dan DPRD.
UU No. 20 tahun
2012
Tentang
Pembentukan
Provinsi
Kalimantan Utara
XXX
UU No. 21 Tahun
2012
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Pangandaran di
Provinsi
Jawa
Barat
XXX
UU No. 22 Tahun
2012
Tentang
Pembentukan
Kabupaten Pesisir
barat di Provinsi
Lampung
RUU
Keantariksaan UU Nomor 21 Tahun UU No. 23 Tahun
Nasional
2013
tentang 2012
Tentang
Keantariksaan
Pembentukan
Kabupaten
Manokwari
Selatan
di
Provinsi
Papua
Barat
XXX
93 | P a g e
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
UU Nomor 6 Tahun
2012
Tentang
Pengesahan
International
Convention on The
Protection of The
Rights of All Migran
Workers
and
Members of Their
Families (Konvensi
Internasional
Mengenai
UU No. 24 tahun
2012
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Pegunungan
Arfak di Provinsi
Papua Barat
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
RUU Perubahan
atas UU No. 42
Tahun
2008
tentang
Pemilu
Presiden
dan
Wakil Presiden
XXX
UU No. 2 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Mahakam Ulu di
Provinsi
Kalimantan
Timur
17.
UU No. 3 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Malaka
di
Provinsi
Nusa
Tenggara Timur
18.
RUU
Etika RUU
Etika
Penyelenggara
Penyelenggara Negara
Negara
XXX
UU No. 4 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Mamuju Tentang
di
Provinsi
Sulawesi Barat
XXX
UU No. 5 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Banggai Laut di
Provinsi Sulawesi
Tengah
RUU
Tentang RUU
Tentang
Akuntabilitas
Akuntabilitas
Penyelenggara
Penyelenggaraan Negara
Negara
XXX
UU No. 6 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten Pulau
Taliabu
di
Provinsi Maluku
Utara
RUU
XXX
UU No. 7 Tahun
19.
RUU
RUU Standardisasi dan
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
Penilaian
Kesesuaian
20.
21.
94 | P a g e
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Undang-Undang
Perubahan
atas atas
Nomor
13
Tahun 2003
UU no. 13 tahun
2003
tentang tentang Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Penukal
Abab
Lematang Ilir di
Provinsi
Sumatera Selatan
22.
RUU
Tentang RUU Tentang Lembaga UU Nomor 1 Tahun
Lembaga
Keuangan Mikro
2013 Tentang
Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan
Mikro
UU No. 8 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Kolaka Timur di
Provinsi Sulawesi
Tenggara
23.
RUU
tentang RUU tentang Perubahan
Pensiun PNS
atas
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun
XXX
UU No. 10 Tahun
2013
Tentang
Pengesahan
Konvensi
Rotterdam
Tentang Prosedur
Persetujuan Atas
Dasar Informasi
Awal
untuk
Bahan Kimia dan
Pestisida
Berbahaya
Tertentu
dalam
Perdagangan
Internasional
XXX
UU No. 11 Tahun
2013
Tentang
Pengesahan
Protokol Nagoya
Tentang
Akses
pada
Sumber
Daya Genetik dan
Pembagian
Keuntungan yang
Adil
dan
Seimbang
yang
Timbul
dari
Pemanfaatannya
atas
Konvensi
24.
RUU
Laksana
Pemerintah
Baik
Tata
yang
XXX
95 | P a g e
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
Keanekaragaman
Hayati
25.
26.
27.
RUU
Akuntabilitas
Kinerja Aparatur
Negara
XXX
UU No. 12 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Morowali Utara
di
Provinsi
Sulawesi Tengah
XXX
UU No. 13 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Konawe
Kepulauan
di
Provinsi Sulawesi
Tenggara
XXX
UU No. 14 Tahun
2013
Tentang
Perubahan Atas
UU Nomor 56
Tahun
2008
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Tambrauw
di
Provinsi
Papua
Barat
XXX
XXX
UU No. 16 Tahun
2013
Tentang
Pembentukan
Kabupaten Musi
Rawas Utara di
Provinsi
Sumatera Selatan
UU No. 18 Tahun
2013
Tentang
Pencegahan dan
Pemberantasan
Kerusakan Hutan
XXX
RUU
Tentang
Sistem
Pengawasan
Nasional
RUU
SDM
Negara
XXX
Tentang
Aparatur
XXX
28.
RUU
Tentang
Perkotaan
29.
XXX
30.
96 | P a g e
XXX
RUU
Tindak
Pidana UU
No.
Tahun
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
2010
Tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Pencucian Uang
Pencucian Uang
31.
XXX
XXX
32.
33.
XXX
34.
RUU tentang
Pramuka
Gerakan UU
No. 12 Tahun
2010
tentang
Gerakan Pramuka
UU No. 13 Tahun
2010
tentang
Holtikultura
XXX
35.
XXX
36.
37.
38.
XXX
RUU
Dana
XXX
RUU tentang
Geospasial
97 | P a g e
tentang
tentang
Dana
Transfer
Informasi UU
4 tahun 2011
tentang
Informasi
Geospasial
XXX
XXX
39.
40.
Realisasi Tahun
2010-2013
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
41.
XXX
42.
XXX
43.
XXX
44.
XXX
45.
XXX
46.
XXX
47.
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
UU No. 12 Tahun
2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
13 Tahun
tentang
Penanganan
Fakir
Miskin
RUU tentang
Hukum
Bantuan UU
UU No. 17 Tahun
2011 tentang Intelijen
Negara
UU No. 18 Tahun
2011
tentang
Perubahan Atas UU
No. 22 Tahun 2004
tentang
Komisi
Yudisial
XXX
48.
XXX
49.
98 | P a g e
XXX
No. 16 Tahun
2011 tentang Bantuan
Hukum
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
50.
XXX
Jasa Keuangan
51.
XXX
52.
XXX
53.
XXX
54.
XXX
55.
XXX
Tembakau
Kesehatan
Terhadap
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
56.
57.
XXX
XXX
Milik Negara
58.
XXX
XXX
60.
XXX
RUU Desa
61.
XXX
RUU
Tata
Kewenangan
59.
99 | P a g e
XXX
UU no. 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi
Kemasyarakatan
XXX
Hubungan
Pemerintah
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
62.
63.
XXX
XXX
XXX
XXX
64.
XXX
XXX
65.
XXX
RUU
Badan
Umum
Layanan
XXX
66.
XXX
RUU tentang
Produk Halal
Jaminan
XXX
RUU
tentang
Pengaman
Keuangan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU
Keistimewaan
Daerah
Yogyakarta
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
100 | P a g e
Jaring
Sistem
XXX
XXX
UU Nomor 11 tahun
2012 Tentang Sistem
Peradilan
Pidana
Anak (SPPA)
tentang
UU No. 13 Tahun
Provinsi
2012 Tentang
Istimewa Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta
XXX
RUU
tentang
Undang-Undang
Acara Pidana
Kitab
Hukum
XXX
XXX
RUU
tentang
Undang-Undang
Pidana
Kitab
Hukum
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
XXX
XXX
XXX
RUU
Pemberantasan
Pidana Korupsi
75.
76.
77.
XXX
78.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU
XXX
80.
81.
82.
83.
84.
86.
101 | P a g e
XXX
79.
85.
tentang
Tindak
tentang
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Perekonomian Nasional
87.
88.
XXX
RUU
tentang
Hukum
Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
XXX
98.
102 | P a g e
XXX
RUU
tentang
Perlakuan
UU Nomor 20 Tahun
2013 Tentang
Pendidikan
Kedokteran
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
99.
XXX
100.
103.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Negara
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Pengembangan
dan
Pemanfaatan
Industri
Strategis untuk Pertahanan
UU No. 16 Tahun
2012 Tentang
Industri Pertahanan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
104.
105.
106.
107.
108.
109.
103 | P a g e
UU Nomor 19 Tahun
2013 Tentang
Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani
101.
102.
Rahasia
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Umat Beragama
110.
XXX
RUU
tentang
Perbatasan
111.
XXX
RUU
tentang
Sistem
Perbukuan Nasional
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU tentang
Palang Merah
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Kesehatan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
UU No. 18 tahun
2012 Tentang Pangan
XXX
XXX
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
122.
104 | P a g e
Daerah
Lambang
Tenaga
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
123.
XXX
124.
RUU
tentang
Veteran UU No. 15 Tahun
Republik Indonesia
2012 Tentang
Veteran Republik
Indonesia
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
126.
127.
128.
129.
130.
131.
105 | P a g e
Realisasi Tahun
2010-2013
125.
132.
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
133.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
138.
XXX
XXX
139.
XXX
RUU tentang
Syariah
XXX
XXX
XXX
141.
XXX
XXX
142.
XXX
XXX
XXX
XXX
134.
135.
136.
137.
140.
143.
106 | P a g e
Asuransi
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Keuangan/Administratif
Pimpinan Dan Anggota
Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara
Serta
Bekas
Pimpinan
Lembaga
Tertinggi/Tinggi
Negara
dan
Bekas
Anggota
Lembaga Tinggi Negara)
144.
XXX
XXX
145.
XXX
RUU
tentang
Konsultansi
XXX
146.
XXX
RUU
tentang
Keanekaragaman Hayati
XXX
XXX
XXX
148.
XXX
XXX
149.
XXX
RUU
Jiwa
XXX
150.
XXX
XXX
151.
XXX
XXX
152.
XXX
XXX
153.
XXX
RUU
tentang
Ventura
XXX
154.
XXX
RUU tentang
Khusus Bali
155.
XXX
RUU
tentang
Pemberdayaan Masyarakat
XXX
XXX
RUU
tentang
Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan
Lahan
XXX
XXX
XXX
147.
156.
157.
107 | P a g e
tentang
Jasa
Kesehatan
Modal
Otonomi
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
XXX
XXX
159.
XXX
XXX
160.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Pemberantasan
Perdagangan Anak
XXX
164.
XXX
XXX
165.
XXX
RUU tentang
Kredit
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
No.
158.
161.
162.
163.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
108 | P a g e
Perjanjian
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
tentang Kepariwisataan
172.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
109 | P a g e
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Pekerja/Serikat Buruh
181.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
110 | P a g e
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
190.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
198.
XXX
XXX
199.
XXX
RUU
XXX
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
111 | P a g e
tentang
Hukum
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Disiplin Militer
200.
XXX
RUU tentang
Pemegang Polis
Jaminan
201.
XXX
RUU tentang
Kesehatan
Karantina
XXX
RUU
tentang
Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana
Militer/RUU
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 39
Tahun
1947
tentang
Hukum Pidana Militer
XXX
203.
XXX
XXX
204.
XXX
RUU tentang
Pembiayaan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
202.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
112 | P a g e
Lembaga
XXX
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
213.
XXX
XXX
214.
XXX
RUU
tentang
Kefarmasian
XXX
215.
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Sistem
Pengkajian dan Audit
Teknologi
XXX
217.
XXX
RUU
tentang
Sistem
Pengupahan Nasional
XXX
218.
XXX
RUU
tentang
Sistem
Transportasi Nasional
XXX
XXX
XXX
220.
XXX
RUU
tentang
Tindak
Pidana Kekerasan Seksual
XXX
221.
XXX
RUU
tentang
Berbahaya
XXX
222.
XXX
XXX
223.
XXX
XXX
224.
XXX
XXX
225.
XXX
XXX
226.
XXX
XXX
227.
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Undang-Undang
Dagang
Kitab
Hukum
XXX
XXX
RUU
tentang
Undang-Undang
Kitab
Hukum
216.
219.
228.
229.
113 | P a g e
Praktik
Bahan
XXX
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
Perdata
230.
231.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
232.
233.
XXX
234.
235.
238.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
239.
240.
114 | P a g e
UU Nomor 9 Tahun
2013 Tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
Pendanaan
Terorisme
236.
237.
RUU
tentang
Pemberantasan Pendanaan
Terorisme
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
241.
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
242.
243.
244.
245.
246.
247.
248.
249.
115 | P a g e
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Realisasi Tahun
2010-2013
250.
XXX
RUU
Wajib
251.
XXX
XXX
252.
XXX
RUU tentang
Luar Ruang
XXX
253.
254.
tentang
Prajurit
Publikasi
XXX
XXX
XXX
RUU
tentang
Ketenagakerjaan
Sektor
Pertanian,
Perkebunan,
dan Kelautan
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
258.
XXX
XXX
259.
XXX
XXX
260.
XXX
XXX
261.
XXX
XXX
262.
XXX
XXX
263.
XXX
255.
256.
257.
116 | P a g e
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
No.
RUU dalam
RPJMN 20102014
RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014
Kependudukan
Realisasi Tahun
2010-2013
2013
Realisasi UU di
luar RPJMN
2010-2014 dan
Prolegnas
2010-2014 s/d
2013
264.
XXX
XXX
265.
XXX
XXX
266.
XXX
XXX
267.
UU atau PP
tentang
Remunerasi dan
Tunjangan Kinerja
Pegawai Negeri
XXX
XXX
2013
RPJMN 2010-2014 adalah sebesar 31% hingga tahun 2013 dari sejumlah 29 RUU yang
direncanakan. Sedangkan undang undang yang berasal dari Daftar RUU Prioritas
Prolegnas 2010-2014 yakni sebanyak 44 undang undang, atau dengan kata lain
pencapaian perencanaan pembentukan undang undang dalam Prolegnas 2010-2014
hingga tahun 2013 adalah sebesar 17,1% dari sejumlah 258 RUU yang akan dibentuk.
Di samping itu, hingga tahun 2013 juga terdapat sejumlah 28 undang undang yang
dibentuk di luar RUU Prioritas Prolegnas 2010-2014 maupun RPJMN 2010-2014. Dari 28
undang undang tersebut, sejumlah 16 undang undang (51,6%) merupakan undang undang
pemekaran wilayah, dan sejumlah 10 undang undang (35,7%) merupakan ratifikasi
perjanjian internasional. Sedangkan sisanya adalah undang undang tentang pendidikan
tinggi dan undang undang tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.
Dari jumlah undang undang yang berhasil dibentuk sejak tahun 2010 hingga tahun
2013 (sejumlah 45 undang undang), dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kemampuan
Pemerintah maupun DPR dalam membentuk undang undang antara tahun 2010 hingga
2013 hanya sekitar 11-12 undang undang pertahun. Hal ini dapat diasumsikan juga bahwa
kemungkinan kebutuhan realistis undang undang dalam satu tahun sesungguhnya hanya
berkisar antara 11-12 undang undang. Oleh karena itu, perencanaan pembentukan 258
undang undang dalam waktu lima tahun perlu , baik dari segi kemampuan Pemerintah
dan DPR dalam membentuk undang undang, maupun dari segi kebutuhan masyarakat dan
pembangunan akan pembentukan undang undang baru.
118 | P a g e
2013
4.
4.1
2013
merupakan serangkaian tindakan terhadap regulasi yang ada (existing regulation) dan
regulasi yang akan dibentuk (future regulation).
Untuk melaksanakan reformasi regulasi tersebut, maka perlu ditetapkan sasaran
dan strategi kebijakan pembangunan regulasi baik dalam jangka panjang maupun jangka
menengah. Secara umum, sasaran yang ingin dicapai dengan pembangunan regulasi
adalah terwujudnya regulasi yang efektif dan efisien. Untuk mencapai sasaran ini, maka
perlu ditetapkan berbagai strategi guna mewujudkan regulasi yang efektif dan efisien.
Strategi ini meliputi dua arah, yakni pembenahan existing regulations dan
pengembangan konsep whole government approach dalam perumusan
kebijakan dan pembentukan regulasi. Reformasi regulasi di Indonesia harus
dilakukan dalam dua arah, mengingat permasalahan regulasi terdapat baik dalam
regulasi-regulasi yang sudah ada dan berlaku (hukum positif), maupun dalam proses
pembentukan regulasi-regulasi baru maupun perubahan regulasi. Selain itu, juga harus
ada pendekatan menyeluruh dalam pembentukan regulasi, yang di dalamnya meliputi juga
perumusan kebijakan. Perumusan kebijakan merupakan hulunya pembentukan regulasi,
karena regulasi hanyalah merupakan sarana untuk mengoperasionalkan kebijakankebijakan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan merupakan substansi inti suatu
regulasi.
Guna melaksanakan dua strategi pembangunan regulasi tersebut, maka pemerintah
perlu menetapkan kebijakan-kebijakan. Strategi Pembenahan Existing Regulations
dilakukan melalui kebijakan:
1. Simplifikasi Regulasi, (penyederhanaan regulasi), merupakan cara cepat untuk
menyederhanakan regulasi dengan cara melihat kembali (reviu) dan menata
kembali (rekonstruksi) regulasi yang ada. Reviu yang dilakukan dengan
menggunakan kriteria legalitas dan kebutuhan. Dan pada akhirnya memberikan
rekomendasi alternatif tindakan regulasi untuk dipertahankan (terhadap regulasi
yang berkualitas baik dan diperlukan), direvisi (terhadap regulasi yang diperlukan
namun berkualitas buruk), atau dicabut (untuk regulasi yang tidak diperlukan).
Simplifikasi Regulasi dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan, yakni: i)
inventarisasi regulasi; ii) identifikasi regulasi bermasalah; iii) analisis regulasi
bermasalah; dan iv) pencabutan/revisi regulasi bermasalah.
Sedangkan Strategi Pengembangan Konsep whole government approach dalam
Perumusan Kebijakan dan Pembentukan Regulasi dilakukan melalui 3 (tiga) kebijakan,
yakni:
2. Rekonseptualisasi tata cara perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi
(termasuk mekanisme konsultasi publik), rekonseptualisasi tata cara pembentukan
regulasi dilakukan dengan cara melihat kembali (reviu) dan menata kembali
(rekonstruksi) tata cara pembentukan regulasi agar proses pembentukan regulasi
menjadi lebih tertib.
3. Integrasi kewenangan perumus kebijakan dan pembentuk regulasi
(whole government approach)
4. Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) perumusan kebijakan dan
pembentukan regulasi, penguatan SDM di bidang perancangan regulasi dan
perencana yang telah dipayungi dengan jabatan fungsional merupakan potensi yang
sangat menjadi penting untuk menjaga kualitas regulasi tidak hanya dari sisi
prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan, namun juga dari kualitas substansi
regulasi yang akan yang dibentuk agar sejalan dengan pemenuhan Tujuan
Bernegara dalam UUD NRI Tahun 1945.
120 | P a g e
2013
FOKUS
PRIORITAS
2015-2019
2020-2024
2025
4,94
5,52
6,06
6,19
Tersimplifikasinya
100% regulasi
Penetapan
baseline 100%
regulasi bidang
SDA, SDM, dan
IPTEK
yang
perlu
disimplifikasi
Penetapan
Kenaikan
5%
baseline 100% dari baseline
regulasi
yang
perlu
disimplifikasi di
segala bidang
dengan struktur
perekonomian
yang
kokoh
berlandaskan
keunggulan
kompetitif
Pelaksanaan
harmonisasi
Penetapan
baseline
Penetapan
baseline
Indeks
Keramahan
Regulasi
145
147
2013
(Baseline)
Kenaikan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q: Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, 2013
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q: Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, 2013
121 | P a g e
5%
FOKUS
PRIORITAS
kebijakan
regulasi
2013
2015-2019
dan
pelaksanaan
harmonisasi
kebijakan dan
regulasi
di
bidang
SDA,
SDM,
dan
IPTEK
pelaksanaan
dari baseline
harmonisasi
kebijakan dan
regulasi 100%
di segala bidang
dengan struktur
perekonomian
yang
kokoh
berlandaskan
keunggulan
kompetitif
Restrukturisasi
kelembagaan
pembentuk
regulasi segala
bidang (100%)
(Pelaksanaan
Whole
Government
Approach
dalam
pembentukan
regulasi
di
seluruh bidang)
Restrukturisasi
kelembagaan
pembentuk
regulasi bidang
SDA, SDM, dan
IPTEK (100%)
(Pelaksanaan
Whole
Government
Approach
dalam
pembentukan
regulasi bidang
SDA, SDM, dan
IPTEK)
Terlaksananya
pelatihan
bagi
perumus
kebijakan
dan
pembentuk
regulasi
5000 orang
Terlaksananya
monitoring
dan
evaluasi
serta
pelaporan (indeks
kepuasan
stakeholder)
122 | P a g e
2025
(Baseline)
Restrukturisasi
kelembagaan
pembentuk
regulasi (integrasi
kewenangan
perumus
kebijakan
dan
pembentuk
regulasi/whole
government
approach)
Partisipasi
masyarakat
2020-2024
2013
Terintegrasinya
kewenangan
perumus
kebijakan dan
pembentuk
regulasi (Whole
Government
Approach)
Penetapan
baseline
Semakin
meningkatnya
partisipasi
masyarakat
(Pelaksanaan
partisipasi
masyarakat
yang
Semakin
meningkatnya
partisipasi
masyarakat
(Pelaksanaan
partisipasi
masyarakat
yang
Semakin
meningkatnya
partisipasi
masyarakat
FOKUS
PRIORITAS
2013
2015-2019
2020-2024
berkualitas
dalam
pembentukan
semua
peraturan
perundangundangan.
berkualitas
dalam
pembentukan
semua
peraturan
perundangundangan.
100%
100%
2013
2025
(Baseline)
Keterangan Tabel:
*) Indeks Keramahan Regulasi adalah indeks yang dikembangkan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q: Direktorat Analisa Peraturan
Perundang-undangan. Indeks Keramahan Regulasi (Friendly Regulation
Index) ini merupakan rata-rata gabungan antara Indeks Kesetaraan Burden
of Government Regulation dengan Indeks Kesetaraan Regulatory Quality.
Penggunaan kedua indeks tersebut sebagai komponen Indeks Keramahan
Regulasi adalah karena persoalan beban regulasi pemerintah dan kualitas
regulasi merupakan isu regulasi yang menimbulkan banyak permasalahan di
Indonesia. Regulasi yang berkualitas sekaligus tidak membebani masyarakat
dipandang sebagai regulasi yang ramah. Oleh karena itu, kedua indeks ini
dipandang relevan sebagai komponen Indeks KeramahanRegulasi.
Berikut adalah target kenaikan capaian Burden of Government Regulation Index
dan Worldwide Governance Indicators (WGI) on Regulatory Quality/ Kualitas Regulasi
untuk jangka panjang sampai dengan 2025 beserta proyeksi Friendly Regulation Index
sampai dengan 2025.
Bagan 24 Target Kenaikan Capaian Burden of Government Regulation Index, Worldwide
Governance Indicators (WGI) on Regulatory Quality, dan proyeksi Friendly Regulation Index
sampai dengan 2025
FOKUS PRIORITAS
Burden of Government
Regulation Index Tahun
2012-13
Worldwide Governance
Indicators (WGI) on
Regulatory Quality/ Kualitas
Regulasi
123 | P a g e
2013
(Baseline)
2015-2019
3,9
4,5
43,1
Kenaikan
Indeks 7%
= 46,117
20202024
5,0
2025
5,1
Kenaika Kenaika
n Indeks n Indeks
2%
8%
=
= 50.8
2013
49,806
Friendly Regulation Index
((Burden Of Regulation +
Regulatory Quality)/2)
4,94
5,53
6,06
6,19
Formula Perhitungan
Bagan ...... Indeks Keramahan Regulasi (Friendly Regulation Index )
Indeks Keramahan Regulasi
Indeks Kesetaraan Burden Of
Government Regulation
Indeks
Kesetaraan
Burden Of
Government
Regulation
Indeks
Keramahan
Regulasi
Indeks
Kesetaraan
Regulatory
Quality
Burden Of
Government
Regulation
Indeks Kesetaraan
Burden Of
Government
Regulation
1,4
2,9
4,3
5,7
7,1
8,6
10
Indeks Kesetaraan
Regulatory Quality
Regulatory
Quality
Indeks Kesetaraan
Regulatory Quality
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
10
149
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q: Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, 2013
124 | P a g e
149
2013
Melakukan reformasi regulasi secara terkonsolidasi, dan sistematis terhadap regulasiregulasi, khususnya bidang SDA, SDM, dan IPTEK;
2013
B.
126 | P a g e
2013
sangat menjadi penting untuk menjaga kualitas regulasi tidak hanya dari sisi
prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan, namun juga dari kualitas substansi
regulasi yang akan yang dibentuk agar sejalan dengan pemenuhan Tujuan
Bernegara dalam UUD NRI 1945.
Untuk melaksanakan strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan pembangunan
regulasi jangka menengah (lima tahunan) tersebut, maka diperlukan peta jalan
pembangunan regulasi yang menggambarkan indikator-indikator capaian tahunan sampai
dengan tahun 2019 yang merupakan tahun berakhirnya periode RPJMN Tahap III.
Berikut adalah Peta Jalan Pembangunan Regulasi Jangka Menengah 2015-2019:
Bagan 25 Peta Jalan Pembangunan Regulasi Jangka Menengah 2015-2019177
2016
2017
2018
2019
Tersimpli Penetap
fikasinya an
100%
Baseline
regulasi
di Bidang
SDA,
SDM, dan
IPTEK
Tersimplifi
kasinya
25%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Tersimplifi
kasinya
25%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Tersimplifi
kasinya
25%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Tersimplifi
kasinya
25%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
100%
Penetap
pelaksana an
an
Baseline
harmonis
asi
kebijakan
dan
regulasi
Bidang
SDA,
SDM dan
IPTEK
Terharmon
isasikanny
a
25%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Terharmon
isasikanny
a
50%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Terharmon
isasikanny
a
75%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Terharmon
isasikanny
a
100%
regulasi
dari
baseline
yang telah
ditetapkan
Terlaksan 500
anya
orang
pelatihan
bagi 4000
orang
perumus
kebijakan
dan
perancan
g regulasi
OUTCOME
177
2015
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q: Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, 2013
127 | P a g e
2013
5.
KONSEP
PENGINTEGRASIAN
KERANGKA
REGULASI DALAM RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH NASIONAL 2015-2019
5.1.
Konsep Pengintegrasian
2013
atau Pencabutan Undang Undang dan (2) Pembentukan atau Perubahan atau Pencabutan
Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya.
Apabila rekomendasi yang dihasilkan berupa pembentukan atau perubahan atau
pencabutan undang undang, maka langsung masuk pada tahapan pembentukan regulasi,
yakni penyusunan Naskah Akademik, draft RUU dan proses pembahasan hingga menjadi
UU. Tahapan Naskah Akademik sampai dengan UU merupakan tahapan pembentukan
regulasi, yang seyogyanya mendasarkan pada hasil pengkajian dan penelitian atas
kebijakan yang telah dipilih dalam proses perumusan kebijakan.
Dengan demikian, RPJMN 2015-2019 mendatang akan memuat tidak hanya arah
dan strategi kebijakan pembangunan nasional namun juga arah kerangka regulasi yang
diperlukan, sehingga sinergi antara kebijakan dan regulasi diharapkan dapat tercapai.
Secara teknis, untuk mensinergikan antara kerangka kebijakan yang tertuang dalam
RPJMN III (2015 2019) dengan kerangka regulasi dalam kurun waktu 2015-2019, maka
kerangka regulasi harus diintegrasikan ke dalam RPJMN III (2015 2019). Langkah awal
pengintegrasian kerangka regulasi ke dalam RPJMN III (2015 2019) dilakukan dengan
menjadikan kerangka regulasi sebagai bagian dari Sistematika RPJMN III (2015 2019).
Pengintegrasian kerangka regulasi ke dalam Sistematika RPJMN III (2015 -2019) ini
kemudian perlu didukung dengan penyusunan mekanisme koordinatif guna menciptakan
sinergi antara penyusunan kerangka kebijakan dengan kerangka regulasi.
Hingga saat ini, pengintegrasian Bagian Kerangka Regulasi ke dalam sistematika
RPJMN 2015-2019 masih dalam proses pembahasan, khususnya mengenai penempatan
Bagian Kerangka Regulasi tersebut secara tepat di antara bagian-bagian lainnya seperti
Kerangka Ekonomi Makro yang telah ada secara rutin dalam RPJMN-RPJMN periode
sebelumnya. Perkembangan pembahasan yang terjadi sampai dengan saat ini
menempatkan Kerangka Regulasi dalam Sistematika RPJMN pada Buku I dan Buku II
dengan posisi sebagai berikut:
BUKU I KERANGKA REGULASI
I.
129 | P a g e
PENDAHULUAN
1.
Kondisi Kerangka Regulasi
Substansi: Permasalahan umum, objective
setting
2.
Arah Kerangka Regulasi 2015-2019
Substansi:
Tujuan bernegara (UUD)
RPJPN
Evaluasi RPJMN 2010-2014
Memujudkan sinergitas antara kebijakan
dan regulasi agar tercipta sistem regulasi
nasional yang sederhana dan tertib dalam
rangka
mendukung
pembangunan
keunggulan komparatif perekonomian
yang berbasis sumber daya alam yang
tersedia, sumber daya manusia yang
berkualitas, serta kemampuan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
untuk
memujudkan tujuan bernegara
3.
Sasaran
Substansi:
Merupakan indikator utama untuk
menuju arah kerangka regulasi 20152019
Peningkatan simplifikasi regulasi di
bidang SDM, SDA, IPTEK
Peningkatan harmonisasi kebijakan
dan regulasi di bidang SDM, SDA,
IPTEK
Peningkatan kualitas SDM perancang
regulasi dan perumus kebijakan
II. STRATEGI
Substansi:
Arah kerangka regulasi harus bisa
diturunkan ke dalam level implementasi,
PETA JALAN
Substansi:
Target
masing-masing
indikator
keberhasilan
(per
tahun).
2013
Pencantuman kerangka regulasi sebagai bagian dari Sistematika RPJMN 2015 2019
perlu diikuti dengan mekanisme koordinatif penyusunan kerangka regulasi yang
melibatkan K/L maupun UKE II sektor di Bappenas yang disesuaikan dengan time frame
penyusunan kerangka pendanaan yang memang telah dijalankan secara rutin dalam
periode-periode RPJMN sebelumnya. Proses penyusunan kerangka regulasi tidak dapat
dilepaskan dari proses perencanaan dan penganggaran , oleh karena itu proses
penyusunannya pun perlu disesuaikan dengan proses perencanaan dan penganggaran
dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang dalam penjelasannya
menyatakan bahwa Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan
membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran
tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
(Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan
negara maju. Oleh karena itu, pengintegrasian antara kerangka kebijakan dengan
kerangka regulasi pada RPJMN III (2015-2019) pun dilakukan melalui proses
perencanaan regulasi berdasarkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium
Term Expenditure Framework/MTEF). Perlunya penyusunan kerangka regulasi
dilaksanakan dalam kerangka MTEF ini juga disesuaikan dengan siklus pembentukan
regulasi, yang secara garis besar tahapannya terdiri atas: 1) kajian dan penelitian; 2)
Naskah akademik; dan 3) rancangan peraturan perundang-undangan. Alur penyusunan
kerangka regulasi dalam konsep MTEF tergambar dalam bagan berikut:
Bagan 27 Perencanaan Kerangka Regulasi Berdasarkan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah dan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
130 | P a g e
2013
2013
sinergi dengan kebijakan pembangunan terfokus pada beberapa hal: Kualitas, perlu
menghilangkan ego sektoral lembaga dan ego kedaerahan agar tercipta regulasi yang
harmonis, tidak tumpang tindih, konflik, duplikasi, dan sinergis antara yang satu dengan
yang lain, serta mengurangi over regulation; memantapkan proses serta mekanisme
harmonisasi berbagai regulasi; menciptakan mekanisme yang lebih transparan dalam
penetapan prioritas Prolegnas sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional;
memperbaiki kualitas Naskah Akademik sebagai dasar penyusunan RUU; menghilangkan;
serta membangun mekanisme partisipasi publik dalam pembentukan regulasi.
Kuantitas, perlu menyempurnakan mekanisme perencanaan dan penyusunan
Prolegnas yang mendasarkan pada evaluasi terhadap regulasi yang sudah ada (existing
laws) dan merupakan hasil dari analisis biaya dan manfaat dari prioritas kebijakan
pembangunan yang terpilih agar inefisiensi anggaran negara berkurang.
Prosedur, perlu memperbaiki mekanisme antara Pemerintah dan DPR dalam
menetapkan Prolegnas tidak atas dasar keinginan namun pada kebutuhan sejalan dengan
kebijakan pembangunan nasional; mengurangi kecenderungan keinginan baik Pemerintah
maupun DPR, untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas dengan menetapkan persyaratan
transparan dan akuntabel; serta memantapkan pemahaman urgensi nasional pada Pasal
23 ayat (2) huruf b UU No. 12/2011; mempercepat penetapan rancangan Perpres
pelaksanaan UU No.12/2011 yang mengatur sinergi penyusunan Prolegnas Jangka
Menengah dengan RPJMN untuk memenuhi Tujuan Bernegara, dengan perubahan
mekanisme
penyusunan Prolegnas
Pemerintah
dari
bottom
up
(oleh
kementerian/lembaga) menjadi top down oleh 5 Kementerian inti (Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas;
Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Keuangan dan Sekretariat Negara) .
Agar dapat dilaksanakan, proses perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi
dengan konsep MTEF tersebut perlu diintegrasikan dalam proses penyusunan RPJMN dan
RKP dengan melibatkan institusi-institusi pemerintah yang berwenang dalam proses
perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi. Dalam rancangan peraturan presiden
pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, disebutkan bahwa institusi-institusi tersebut, disebut dengan Komite
Regulasi, meliputi: 1) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagai
perumus kebijakan; 2) Kementerian Hukum dan HAM, sebagai kementerian yang
memiliki kewenangan dalam pembentukan regulasi; 3) Kementerian Dalam Negeri,
sebagai kementerian yang memiliki kewenangan dalam pembentukan regulasi daerah; 4)
Kementerian Keuangan, sebagai kementerian yang memiliki kewenangan terhadap
pengelolaan anggaran negara; dan 5) Kementerian Sekretariat Negara, sebagai
kementerian yang memiliki kewenangan dalam pemuatan suatu regulasi, khususnya
undang undang ke dalam lembaran negara. Meskipun demikian, dalam proses tersebut
Komite Regulasi ini tetap harus berkoordinasi dan melibatkan kementerian-kementerian
sektor sebagai pemilik kewenangan atas kebijakan sektornya masing-masing. Kelima
kementerian tersebut, dengan melibatkan K/L sektor, sejak awal proses perumusan
kebijakan seyogyanya telah melakukan analisis awal atas berbagai alternatif kebijakan
yang akan dipilih, termasuk di antaranya melakukan cost benefit analysis (CBA) atas
berbagai alternatif kebijakan tersebut, serta pemilihan kebijakan yang perlu
dioperasionalkan dengan regulasi berdasarkan hasil assessment CBA tersebut. Setelah itu,
Komite Regulasi bersama-sama melakukan koordinasi dan pembahasan untuk
menentukan arah regulasi dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Rangkaian proses
koordinasi dan pembahasan ini akan menghasilkan arahan/daftar kerangka regulasi
dalam RPJMN. Proses ini tergambar dalam bagan berikut:
132 | P a g e
2013
2013
6. Tindak lanjut multilateral meeting: Deputi sektor c.q: UKE II sektor Bappenas
mengintegrasikan kerangka regulasi hasil pembahasan ke dalam RKP; Deputi
Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan c.q: Direktorat Analisa
Peraturan Perundang-undangan melakukan monitoring dan evaluasi kerangka
regulasi; dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan c.q: Direktorat Alokasi
Pendanaan Pembangunan melakukan alokasi budget baik untuk keperluan
pembentukan maupun pelaksanaan regulasi.
Bagan 29 Standard Operating Procedure (SOP) Penanganan Proposal Kerangka Regulasi
(UU) di Internal Bappenas
2013
ISU
STRATEGIS
Penyediaan
Bahan Pangan
yang Cukup
dengan
Mengutamakan
Peningkatan
Kapasitas
Produksi
Pangan di
Dalam Negeri :
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Peningkatan produksi
padi, jagung dan
kedelai masyarakat
Penetapan lahan
irigasi teknis menjadi
lahan pangan
berkelanjutan
Mou
dengan
BUMN
Mentan
Menteri
Penunjukkan
Menteri
terhadap
Pangan
BUMN
BUMN
Aturan keharusan
pemenuhan
kebutuhan beras
domestik terhadap
perusahaan swasta
yang ikut dalam
program
food
estate
Peningkatan produksi
daging dari 498,96
ribu ton tahun 2015
menjadi 678,83 ribu
ton tahun 2019, dan
populasi sapi induk
nasional dari 15,13
juta ekor tahun 2015
menjadi 17,07 juta
ekor tahun 2019
135 | P a g e
Perda
Larangan
Pungutan/Retribu
si
untuk
KomoditasKomoditas Pangan
Pokok (sapi)
Perluasan
implementasi
Asuransi Ternak
Sapi
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Peningkatan produksi
perikanan tangkap
dari 6,2 juta ton
menjadi 6,5 juta ton
(tumbuh 1,7 persen
per tahun)
Penetapan
usaha
perikanan di
WPP (RPP)
Penyederhana
an surat ijin
usaha
penangkapan
untuk
kapal
perikanan
>
30 GT
Peningkatan produksi
perikanan budidaya
(ikan/di luar rumput
laut) dari 7,3 juta ton
menjadi 18,9 juta ton
(tumbuh 27,0 persen
per tahun)
a. Penetapan
lahan
irigasi
teknis untuk
tambak
b. Sinkronisasi
Tata
Ruang
Lintas Sektor
untuk
pengembanga
n
perikanan
budidaya
c. Tata
Ruang
Pesisir untuk
mariculture
d. Penurunan
tarif
bahan
pakan
Peningkatan
Kualitas
Distribusi dan
Aksesibilitas
Masyarakat
136 | P a g e
impor
baku
Inpres
Stabilisasi
Harga Pangan
dan Penugasan
Perum Bulog
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Peningkatan
ketersediaan pangan
non-beras
a. Inpres
diversifikasi
konsumsi
pangan
Terhadap
Pangan :
Perbaikan
Kualitas
Konsumsi
Pangan dan
Gizi
Masyarakat :
b. Kepmentan
tentang
pengembanga
n pangan lokal
Peningkatan
konsumsi ikan dan
ketersediaan ikan
Nota Kerjasama
untuk mendukung
program
peningkatan
konsumsi ikan
dengan K/L
terkait
Pengaturan tata
ruang laut dan
pesisir
Peraturan
tentang
perijinan/invest
asi
137 | P a g e
Peningkatan
pemanfaatan
sumber
daya
mineral, energi
dan gas di laut
Peningkatan
pemanfaatan
ALKI
Pengaturan tata
kelola mineral
dasar laut
Pengaturan
prasarana
di
laut (kabel dan
pipa dasar laut)
Pengaturan
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pemanfaatan
ALKI
Pengelolaan sumber
daya perikanan
Meningkatkan
Perundingan
Terkait
Wilayah Laut
Dengan Negara
Tetangga,
Pengelolaan
Aset Dan
Pertahanan
Keamanan
Laut
Penyempurnaan
sistem perijinan dan
pengelolaan SD
perikanan
berdasarkan potensi
masing WPP
(kosong)
Menyelesaikan
perundingan batas
laut dengan negara
tetangga
Meningkatkan
pengawasan
dan
pengamanan wilayah
dari
pemanfaatan
sumber
daya
kelautan
yang
merusak
Pengendalian
fishing
MOU kerjasama
pengawasan antara
instansi yang terkait
Pengaturan dalam
pengawasan
pemanfaatan SD
kelautan non-hayati
IUU
Peningkatan
Pengelolaan PulauPulau
Kecil,
termasuk
PulauPulau Kecil Terluar
Harmonisasi
Peningkatan
Luas
Kawasan peraturan turunan
Konservasi Perairan dari UU No.27/2007
dari 16 juta Ha dan UU No. 41/1999
dengan
menjadi 20 juta Ha (terkait
otoritas
kawasan
(2020)
konservasi laut dan
Meningkatkan
jenis)
koordinasi dan kerja
sama
pengelolaan
laut
di
tingkat
138 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
regional
internasional
Peningkatan
Sarana dan
Prasarana
Penghubung
Antar Pulau
ARAH
KERANGKA
REGULASI
dan
Peningkatan
konektivitas
pulau-pulau di
wilayah timur
(kosong)
Pengurangan
Dampak
Bencana
Pesisir dan
Pencemaran
Laut
Penanganan bencana
laut dan pencemaran
laut
Pengaturan tentang
pengawasan dan
penanggulangan
pencemaran laut
Peningkatan
Kualitas SDM
dan Iptek yang
Mendukung
kemampuan
iptek
terkait
dengan
pengelolaan sumber
daya kelautan
Peningkatan jumlah
teknologi kelautan
yang tepat guna
Peningkatan
139 | P a g e
Peningkatan
(kosong)
Deregulasi dan
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
daya saing
sektor
kehutanan
melalui:
o
Deregulasi
dan
debottleneckin
g peraturan
perundangundangan
yang
birokratis
dan
tidak
pro investasi
pemanfaatan
sumber
daya
hutan
untuk
sebesarbesarnya
kemakmuran
rakyat
tanpa
mengorbankan
pemenuhan
kebutuhan
generasi yang
akan datang
ARAH
KERANGKA
REGULASI
reregulasi
(khususnya
untuk
meningkatkan
KPS
dalam
pengelolaan
KPH)
Peningkatan
produktivitas
kawasan hutan
serta
meningkatkan
efisiensi
pengelolaan
kawasan hutan
Pengembangan
Indeks
Pembangunan
Berkelanjutan
Pengembangan
Indikator PB
Penetapan indeks PB
Penguatan IKLH
Penetapan IKLH
sebagai indeks
pemantauan kualitas
lingkungan hidup
pusat dan daerah
Perubahan
Iklim
Mitigasi perubahan
iklim melalui: (1)
standardisasi kegiatan
RAN/RAD-GRK dan
review baseline dan
proyeksi penurunan
emisi beserta
metodologinya; (2)
meningkatkan
kontribusi swasta
serta pengembangan
140 | P a g e
a. Penetapan
Standard
Kegiatan,
Metodologi dan
PEP mitigasi
b. Penetapan sistem
informasi
dan cuaca
c. Penetapan
kerangka
iklim
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
dan penerapan
insentif fiskal; (3)
penguatan sistem
informasi iklim dan
cuaca; dan (4) PEP
pelaksanaan
RAN/RAD-GRK
kerjasama
PI
dengan swasta
Menurunkan laju
deforestasi, kerusakan
hutan, dan
meningkatkan jumlah
tegakan pohon
melalui REDD+
Adaptasi Perubahan
Iklim, melalui: (1)
kajian kerentanan
khususnya daerah
rentan;
(2)pengembangan
strategi adaptasi; (3)
pengembangan
indikator adaptasi
untuk monev; (4)
pilot di 5 wilayah
Pengendalian
Pencemaran
dan Kerusakan
LH
Penguatan database
pencemaran dan
kerusakan lingkungan
hidup, Sistem
Informasi Lingkungan
Hidup dan Sistem
Neraca Lingkungan
Hidup
Pelestarian kualitas
LH melalui perluasan
Program PROPER,
kriteria ADIPURA,
penanganan limbah
dan bahan B3, dan
penegakan hukum
141 | P a g e
Penetapan
mekanisme REDD+
a. Penetapan
RAN-API dan
daerah pilot
b. Penetapan
indikator
adaptasi
Penetapan Sistem
Informasi
Lingkungan dan
Sistem Neraca
Lingkungan Hidup
a. Penetapan
PROPER wajib
untuk industri
b. Penetapan
kriteria peringkat
LH Daerah
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
c. Penetapan
pengelolaan
limbah
dan
bahan B3 spesifik
d. Penetapan
kerjasama
penegakan
hukum
lingkungan
Pengelolaan
dan
Pemanfaatan
Keekonomian
Kehati
Pengembangan
industri biodiversitas
melalui: (1)
pengembangan "paket
manfaat
biodiversitas"; (2)
kemudahan paten; (3)
pengembangan
produk biodiversitas;
(4) pengembangan
kebun biodiversitas
Kebijakan
Perlindungan
pengetahuan
tradisional
Kesepakatan
pembagian
keuntungan
kepada
masyarakat
Kerjasama
pengembangan
kebuh
biodiversitas
dengan daerah
Kerangka
kerjasama
riset
dengan industrial
untuk
pengembangan
produk komersial
Penerapan prinsip
kehati-hatian
dalam introduksi
jenis asing invasif
pengembangan
biodiversitas
berkelanjutan melalui
pengarusutamaan
dalam pembangunan,
142 | P a g e
Kerjasama
pengembangan
kebun
Kehati
dengan
daerah
beserta
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
mobilisasi pendanaan,
pengembangan
ekowisata, pembuatan
clearing house dan
pemeliharaan koleksi
dan kebun kehati
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pemeliharaannya
Kesepakatan
kerangka
mobilisasi
pendanaan Kehati
Kerjasama
pemanfaatan data
kehati
Meningkatkan
diversifikasi
pemanfaatan
energi dan
mempertahank
an produksi
minyak dan gas
bumi yang
didukung
dengan sarana
dan prasarana
memadai serta
teknologi yang
lebih efisien
dan ramah
lingkungan
1. Peningkatan
pasokan energi
primer
Penataan
kelembagaan industri
hulu dan hilir,
pembentukan
petroleum fund, serta
harmonisasi regulasi
dan peran pemda
2. Penyediaan sarana
dan prasarana
energi
Insentif untuk
menarik minat
partisipasi swasta
berinvestasi
membangun sarana
dan prasarana energi
3. Pemanfaatan bahan
bakar nabati
4. Penggunaan energi
yang lebih efisien
Insentif bagi
industri/bangunan
untuk alih teknologi
penggunaan energi
yang lebih efisien
143 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
2013
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Kependudukan
dan registrasi
vital
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Penuntasan PP terkait
UU 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan
Kependudukan dan
Pembangunan
Keluarga
Pengembangan
regulasi registrasi
penduduk mencakup
penyebab kematian,
yang terintegrasi
dengan sistem SIAK
Keluarga
Berencana
Penyelesaian
penyusunan RPP
sebagai amanat UU No.
52/2009 Tentang
Perkembangan
Kependudukan dan
Pembangunan
Keluarga
Harmonisasi peraturan
perundangan agar
lebih mendukung
program KB
UU berkaitan
dengan
desentralisasi dan
otonomi daerah (UU
No. 32/2004, PP
No. 38/2007 PP No.
144 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
41/2007) dengan
UU No. 52/2009
PP 55/2005
Tentang Dana
Peraimbangan (DAK
hanya untuk fisik)
DAK dapat
menampung
kegiatan yang
bersifat
operasional/
nonfisik
Penyusunan regulasi
yang mendukung
integrasi program
KB ke dalam
program-program
penanggulangan
kemiskinan (misal:
PKH, PNPM, dll)
Revisi SPM bidang KB
sesuai dengan amanat
UU No. 52/2009
(memasukkan aspek
kependudukan)
Regulasi penguatan
implementasi NSPK
di daerah (kab/kota)
Penyusunan regulasi
yang mendukung
pencapaian sasaran
program KB di
daerah
145 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Penyaluran
anggaran
mekanisme
operasional dan
penggerakan KB
Distribusi alokon
dari kab/kota ke
fasyankes
Insentif bagi
tenaga lapangan
KB
Peningkatan
Ketersediaan,
Keterjangkaua
n, Pemerataan,
Keamanan,
Mutu dan
Penggunaan
Kefarmasian
dan Alat
Kesehatan
serta
Pengawasan
Obat dan
Makanan
Kesehatan dan
Gizi
Masyarakat
Meningkatkan
kemandirian
produksi dan
distribusi obat dan
alat kesehatan
Peningkatan efisiensi
biaya dengan
regulasi yang
mendorong produksi
obat dan alat
kesehatan dalam
negeri
146 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Pengaturan
mekanisme PPP
bidang kesehatan
Regulasi Penguatan
implementasi NSPK
di daerah
Penegakan aturan
pusat dan daerah
terkait kesehatan
Penyusunan regulasi
jasa medis JKN dan
pembiayaan
pelayanan kesehatan
lintas wilayah
(provinsi dan
kab/kota)
Penyusunan regulasi
tenaga kesehatan:
mandatory
deployment lulusan
nakes, pendidikan
nakes baru: promosi
kesehatan spesialis
kesehatan primer
Penuntasan PP terkait
UU 36/2009 tentang
kesehatan
Peningkatan
Manajemen
Guru,
Pendidikan
Keguruan, dan
Reformasi
147 | P a g e
Peningkatan
pengelolaan dan
penempatan tenaga
pengajar
Review dan
perumusan
peraturan
perundangan
tentang kewenangan
pengelolaan guru
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
LPTK
Peningkatan
investasi untuk
memperoleh Guru
yang Berkualitas
Penyusunan
peraturan
perundangan untuk
pengetatan
penyelenggaraan
LPTK untuk menjaga
kualitas dan jumlah
lulusan sesuai
kebutuhan
Peningkatan
Efisiensi
Pembiayaan
Pendidikan
Penguatan
perencanaan
program-program
pendidikan serta
pembiayaannya,
dengan memperbaiki
sistem perencanaan
dan penganggaran di
daerah, dan
menjamin
keselarasan
perencanaan dan
penganggaran di
pusat dan di daerah
Perumusan
peraturan
perundangan
tentang PrivatePublic Partnership
dalam pembangunan
pendidikan
Peningkatan
Akses,
Kualitas,
Relevansi dan
Daya Saing
Pendidikan
Tinggi
Peningkatan kualitas
pendidikan tinggi
Perumusan
peraturan
perundangan
tentang
pembentukan
lembaga akreditasi
mandiri (LAM)
untuk melaksanakan
penjaminan kualitas
Pendidikan Tinggi
Peningkatan
Tata Kelola
Pendidikan
Penyusunan
kesepakatan
kerjasama tingkat
nasional di bidang
Penyiapan rencana
strategis terpadu
pendidikan 2015
2019 (seluruh K/L
148 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
pendidikan
antarinstansi Pusat
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pelaksana fungsi
pendidikan)
Penyiapan peraturan
perundangan untuk
institusionalisasi
Komite Pendidikan
Nasional yang
dipimpin oleh Wakil
Presiden
149 | P a g e
Memperkuat
otonomi daerah dan
desentralisasi
melalui pendekatan
dekonsentrasi
Penyiapan peraturan
perundangan untuk
pembentukan dewan
pendidikan di
tingkat provinsi
Memperkuat
manajemen berbasis
sekolah
Memantapkan peran
serta masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pendidikan melalui
penguatan komite
sekolah dan dewan
pendidikan di semua
jenjang
pemerintahan
Menerapkan
pendanaan dan
pembiayaan berbasis
kinerja untuk
pembangunan
pendidikan di semua
jenjang
pemerintahan
Perumusan
peraturan
perundangan untuk
meningkatkan
compliance
pemerintah daerah
dalam menggunakan
dana alokasi khusus
(DAK)
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Review dan
perumusan
perundangan untuk
memungkinkan
penyediaan bantuan
secara
berkesinambungan
kepada satuan
pendidikan baik
negeri maupun
swasta melalui
mekanisme block
grant
Menyusun peraturan
perundangan dalam
meningkatkan peran
daerah untuk
pembiayaan
pendidikan di satuan
pendidikan dibawah
pembinaan
Kementerian Agama
Penyusunan
peraturan
perundangan terkait
dengan upaya
peningkatan efisiensi
pemanfaatan
anggaran pendidikan
terkait dengan
penyediaan guru
Peningkatan
Akses,
Kualitas,
150 | P a g e
Peningkatan tata
kelola kelembagaan
dengan
Menyiapkan sistem
penganggaran
perguruan tinggi
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
ISU
STRATEGIS
Relevansi dan
Daya Saing
Pendidikan
Tinggi
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
memantapkan
otonomi perguruan
tinggi
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Peningkatan
minat dan
budaya gemar
membaca
masyarakat
Penuntasan
penyusunan Peraturan
Pemerintah terkait UU
No. 43/2007 tentang
Perpustakaan (antara
lain peraturan tentang:
naskah kuno, standar
nasional perpustakaan,
dan Dewan
Perpustakaan)
Peningkatan
Partisipasi dan
Peran Aktif
Pemuda dalam
Berbagai
Bidang
Pembangunan
Meningkatkan
pelayanan
kepemudaan yang
berkualitas untuk
mendukung
partisipasi dan peran
aktif pemuda di
berbagai bidang
pembangunan
Penguatan peraturan
perundangundangan tentang
koordinasi strategis
lintas sektor dalam
pelaksanaan
pelayanan
kepemudaan
Peningkatan
Budaya dan
Prestasi
Meningkatkan
partisipasi
masyarakat dalam
Penguatan peraturan
perundangundangan di tingkat
151 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Olahraga
kegiatan olahraga
pemerintah pusat
dan pemerintah
daerah tentang
pembudayaan
kegiatan olahraga
serta kerjasama
dengan dunia usaha
dalam
pengembangan
prasarana dan
sarana keolahragaan
(KPS-Kerjasama
Pemerintah dan
Swasta)
Peningkatan
Kerukunan
Umat
Beragama
Harmonisasi
peraturan
perundangundangan
Penguatan
Perundangundangan tentang
perlindungan dan
kebebasan beragama
Kualitas
Penyelenggara
an Ibadah Haji
Meningkatkan
Optimalisasi dana
haji
Pemantapan
landasan Peraturan
perundangundangan tentang
pengelolaan dana
haji
Penguatan
Karakter dan
Jati Diri
Bangsa
Memperkuat
karakter dan jati diri
bangsa yang berbasis
pada keragaman
budaya
Menuntaskan
penyusunan RUU
Kebudayaan dan
peraturan
pelaksanaannya
Pelestarian
Warisan
Budaya
Meningkatkan
kualitas
perlindungan,
penyelamatan,
pengembangan dan
pemanfaatan
Menuntaskan
penyusunan PP sebagai
tindak lanjut UU No.
11/2010 tentang Cagar
Budaya dan UU No.
33/2009 tentang
152 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
warisan budaya
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Perfilman, antara lain:
RPP tentang
Pelestarian Cagar
Budaya,
RPP tentang
Museum,
RPP tentang
Lembaga Sensor
Film, dan
RPP tentang Tata
Cara Pengenaan
Sanksi Administratif
dan Besaran Denda
Administratif terkait
Perfilman
Peningkatan
Sumber Daya
Kebudayaan
Kesejahteraan
Sosial
153 | P a g e
Mengembangkan
Sumber Daya
Kebudayaan
Menyusun regulasi
tentang mekanisme
pembiayaan
pembangunan
kebudayaan melalui
Kerjasama
Pemerintah-Swasta
(KPS), Corporate
Social Responsibility
(CSR), dan insentif
pajak
Penataan regulasi
yang mendukung
Pengembangan
Sistem Perlindungan
Sosial yang
Komprehensif,
beberapa regulasi
terkait:
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
UU No. 4/1979
Kesejahteraan
anak
UU No. 3/1997
Peradilan untuk
Anak
UU No. 4/1997
Kesejahteraan
Penyandang Cacat
UU No. 13/1998
Kesejahteraan
Lansia
UU No. 23/2002
Perlindungan
Anak
UU No. 32/2004
Pemerintahan
Daerah
UU No. 40/2004
Sistem Jaminan
Sosial Nasional
UU No. 21/2007
Penghapusan
perdagangan
manusia
UU No. 11/2009
Kesejahteraan
Sosial
UU No. 13/2011
Penanganan Fakir
Miskin
UU No. 19/2011
Ratifikasi
Konvensi
Penyandang
154 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
Disabilitas
UU No. 24/2011
Badan
Penyelenggara
Jaminan Sosial
Regulasi mekanisme
insentif yang tepat
untuk layanan
inklusif baik oleh
pemerintah pusat
dan daerah, swasta,
dan masyarakat
(2015-2019)
Kesetaraan
Gender dan
Pemberdayaan
Perempuan
Penguatan regulasi
terkait pelayanan
korban kekerasan,
yaitu : SPM Bidang
Layanan Terpadu
bagi Perempuan dan
Anak Korban
Kekerasan (yang
ditetapkan melalui
Permeneg PP dan PA
No.1 tahun 2010)
Penguatan regulasi
terkait tindak pidana
perdagangan orang
(Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007
tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO)
Perlu peraturan
turunnanya sampai
yang operasional
155 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
penangannannya
Penyusunan regulasi
perlindungan
perempuan di
tempat kerja,
termasuk regulasi
pengawasan terpadu
terhadap
pelanggaran hak dan
perlakuan
diskriminatif
terhadap pekerja
perempuan
Penyusunan regulasi
terkait pemenuhan
hak reproduksi
perempuan
(Rencana Aksi
Nasional
Pemenuhan Hak
Reproduksi
Perempuan (RANPHRP) hanya
disusun untuk
periode 20082013)
Penyusunan regulasi
dalam pembentukan
peraturan
perundangundangan serta
kebijakan teknis
operasional/turunan
nya yang responsif
gender
Penyusunan
Regulasi/kebijakan/
156 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
pedoman
Perencanaan dan
Penganggaran yang
Responsif Gender
(PPRG) di berbagai
bidang
pembangunan
(dapat ditetapkan
melaui Permen K/L)
Perlindungan
Anak
Integrasi Prinsip
KHA di dalam
Peraturan
perundangundangan terkait
anak (definisi anak,
usia boleh bekerja,
usia pernikahan, dll)
amandemen UU
adminduk terkait
dengan biaya
pembuatan akta
kelahiran
Peningkatan status
ratifikasi KHA dari
Perpres ke UU
Penyusunan regulasi
yang mengatur
koordinasi antar
lembaga tingkat prov
dan kab/kota dalam
pelaksanaan
Pengembangan AUD
HI
Penyusunan regulasi
yang menjamin
157 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pemenuhan hak
pendidikan yang
berkualitas bagi anak
dalam kondisi
khusus (ADD, ABH,
Anak dalam
komunitas terpencil,
anak di panti, anak
dengan penyakit
kronis, dll)
Penyusunan regulasi
yang menjamin
pemenuhan hak
kesehatan dasar
yang berkualitas bagi
anak dalam kondisi
khusus (ADD, ABH,
Anak dalam
komunitas terpencil,
anak di panti, anak
dengan penyakit
kronis, dll)
Menyusun regulasi
terkait dengan
kerjasama dengan
masyarakat dan
lembaga non
pemerintah dalam
memberikan layanan
bagi anak dengan
kondisi khusus
158 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBEN
TUK)
2013
3. BIDANG EKONOMI
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Kebijakan Fiskal
Mengevaluasi
seluruh tax treaty
Meminimalkan
dan merumuskan
konsekuensi
kebijakan
anti
anggaran
dari
penghindaran
ditetapkannya
pajak
peraturan
perundangan pada Regulasi
setiap sektor.
perpajakan
yang
baik
sehingga
dapat menurunkan
cost of taxation
(baik
dalam
formulasi maupun
implementasi)
Regulasi
perpajakan
yang
menyelaraskan
antara Ease of
Administration,
Equality, Netrality
dan
Revenue
Productivity
Harmonisasi
Regulasi
Perpajakan dengan
Kebijakan
atau
Regulasi lain yang
terkait
terbentuknya
payung
hukum
yang
menjamin
dana
yang
terkumpul
dari
BTP untuk surat
berharga
yang
diterbitkan
Pemerintah
159 | P a g e
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
ISU
STRATEGIS
Industri
Pengolahan
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
Pengembangan
Harmonisasi
pusat-pusat
perpajakan dan bea
pertumbuhan:
cukai serta regulasi
Khusunya di luar
sektoral yang tidak
Pulau Jawa: (1)
ramah
terhadap
Koridor ekonomi;
industri domestik
(2)
Kawasan
Ekonomi Khusus;
(3)
Kawasan
Industri;
(4)
Kawasan Berikat /
Export Processing
Zone (EPZ); (5)
Kawasan
Perdagangan
Bebas (FTZ).
Penumbuhan
populasi
industri:
Investasi
untuk
menambah
populasi industri
paling tidak sekitar
12 ribu usaha
industri berskala
besar dan sedang.
Peningkatan
Produktivitas
(Nilai Tambah Per
Tenaga Kerja): (1)
Meningkatkan
efisiensi teknis; (2)
Mengem-bangkan
industri
dengan
kandungan
teknologi
yang
lebih tinggi; dan
(3) Meningkatkan
kemampuan
industri
mengembangkan
160 | P a g e
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
PP Mandatori
161 | P a g e
1.
Jaminan
Ketersediaan
dan
Penyaluran Sumber
Daya Alam untuk
Industri
Dalam
Negeri.
2.
Penjaminan Risiko.
3.
SNI,
Spesifikasi
Teknis, dan Pedoman
Tata
Cara
dan
Pelaksanaan
Pengawasan.
4.
Perwilayahan
Industri.
5.
Kawasan Industri.
6.
Penggunaan Sistem
Informasi
Industri
Nasional
Serta
Bentuk, Isi, dan Tata
Cara
Penyampaian
Data Industri dan
Data
Kawasan
Industri.
7.
Kepemilikan.
8.
Kewajiban
Penggunaan Produk
Dalam Negeri dan
Pemberian Preferensi
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
Harga
Kemudahan
Administrasi.
9.
Serta
Kerja
Sama
Internasional Bidang
Industri.
10. Tindakan
Penyelamatan.
11. Tata Cara Pengenaan
Tindakan
Pengamanan.
12. Pemberian
Izin
Usaha Industri dan
Izin Perluasan.
13. Pemberian
Izin
Usaha
Kawasan
Industri dan Izin
Perluasan Kawasan
Industri.
14. Rencana
Induk
Pembangunan
Industri Nasional.
15. Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif
Dan Besaran Denda
Administratif.
Undang-Undang:
Pembentukan
Lembaga Pembiayaan
Pembangunan
Industri
PP yang ada atau PP
baru:
1. Pemanfaatan sumber
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
berkelanjutan diatur
dengan atau
berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
2. Bentuk fasilitas dan
pemerintahan di
bidang industri
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam
dan/atau dengan
Peraturan Pemerintah.
Pembangunan
Iptek
DUKUNGAN
IPTEK BAGI
PEMBANGUNA
N MASIH
TERBATAS;
Kelembagaan
IPTEK
Output:
Terbangunnya
tatakelola litbang
yang efisien dan
efektif dan yang
mampu mendorong
Kemampuan
profesionalisme
memberikan
masyarakat iptek,
layanan
teknologi dan serta terbangunnya
kesadaran iptek di
menghasilkan
inovasi masih masyarakat
terbatas
Kesadaran
menggunakan
hasil
IPTEK
163 | P a g e
Peningkatan Tata
Kelola Litbang:
Paket regulasi
peningkatan
efisiensi dan
efektifitas kegiatan
litbang
Paket regulasi
sinkronisasi
kegiatan litabng
dengan sistem
pengelolaan
keuangan negara,
dll
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ISU
STRATEGIS
ARAH
KERANGKA
REGULASI
domestik
terbatas
Jaringan IPTEK
Outcomes:
Terbangunnya pola
hubungan
kerjasama antar
lembaga litbang,
antar lemlit dengan
perguruan tinggi,
dan antara lemlit
dengan industri /
masyarakat
pengguna
Parekraf
Rendah
kuantitas dan
kualitas
lembaga
pendidikan
Rendahnya
perlindungan
HKI
Kelangkaan dan
ketidakstabilan
harga
bahan
baku
Konsentrasi
pelaku hanya di
kota
Kebijakan pajak
kurang
mendukung
usaha start-up
Backward
forward
Linkage
164 | P a g e
&
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
Sulitnya
mendapat
dukungan
pembiayaan
Rendahnya
kuantitas dan
kualtas
SDM
ekonomi kreatif
Rendahnya
kualitas
infrastruktur
teknologi
Rendahnya
apresiasi
masyarakat
terhadap
produk kreatif
Bidang
Kerjasama
Ekonomi
Internasional
Perkembangan
Kesepakatan
Kerjasama
Ekonomi Antar
Negara
Yang
Semakin
Meningkat
ASEAN
ECONOMIC
COMMUNITY
2015,
yang
pelaksanaannya
akan
dimulai
akhir
tahun
2015
Beberapa
hasil
kesepakatan
belum
165 | P a g e
Untuk
Mendukung
Pertumbuhan
yang
Berkelanjutan:
Perdagangan
Mengurangi
Impor
Minyak,
terutama Minyak
Olahan
Meningkatkan
neraca
perdagangan jasa
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ISU
STRATEGIS
ARAH
KERANGKA
REGULASI
dimanfaatkan
secara optimal,
dan beberapa
proses
perundingan
mengalami
hambatan
(seperti:
IKCEPA
dan
IEFTA)
Perdagangan Dalam
Negeri:
Transparansi
Meningkatkan
Daya
saing
Produk Ekspor
Nonmigas
Manufaktur
Mengurangi
defisit
neraca
perdagangan jasa
Investasi
166 | P a g e
Peningkatan
Infrastruktur dan
Ketersediaan
Listrik
untuk
Mendorong
Investasi di Luar
Jawa
Peningkatan
Transparansi dan
Penyederhanaan
Prosedur
Investasi/Usaha
Revisi Regulasi
Pendukung Iklim
Investasi
Peningkatan
Kebijakan
ketenagakerjaan
yang
kondusif
terhadap investasi
Penyelesaian
RTRW
Provinsi/Kab/ dan
kota
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI (BENTUK,
JUDUL DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENTU
K)
Efisiensi Sistem
Logistik Nasional
4. BIDANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN
ISU
STRATEGIS
1. Mengurangi
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
1. Penanggulangan 1. Re-Definisi
kemiskinan
Kemiskinan Perlu
diarahkan pada
Dilakukan Untuk
penghormatan,
Mengakomodasikan
perlindungan,
Dua Fungsi Utama
dan pemenuhan
Data Kemiskinan
hak-hak dasar
2. Landasan hukum
rakyat secara
yang dapat
bertahap dengan
memberikan
mengutamakan
kekuatan dan
prinsip
dukungan dalam
kesetaraan dan
melaksanakan
nondiskriminasi.
2. Menanggula
kebijakan PK
ngi
2. Pengembangan
kemiskinan
sistem
dan
perlindungan
penganggura
dan jaminan
n secara
sosial untuk
signifikan
memastikan dan
memantapkan
3. Menyediakan
pemenuhan hakakses
hak rakyat akan
pelayanan
pelayanan sosial
sosial serta
dasar, terutama
sarana dan
kelompok
prasarana
masyarakat yang
ekonomi
kesenjangan
sosial,
ditujukan
keberpihaka
n kepada
masyarakat,
kelompok
dan
wilayah/daer
ah yang
masih lemah
167 | P a g e
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
1. UU Nomor 17 Tahun
2007 Tentang RPJP
2005-2025
2. UU Nomor 11 Tahun
2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial
3. UU Nomor 13 Tahun
2011 tentang
Penanganan Fakir
Miskin
4. UU No. 20/2008
tentang UMKM
5. UU No. 17/2012
tentang
perkoperasian
6. UU No. 32/2004
tentang Pemerintah
Daerah
7. UU No. 33/2004
tentang
Perimbangan
Keuangan antara
Pemerintah Pusat
dan Daerah
ISU
STRATEGIS
yang sama
bagi
masyarakat
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
kurang
beruntung
3. Meningkatkan
peran koperasi
dan
pemberdayaan
usaha mikro dan
kecil
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
8. PP No. 17/2013
tentang Pelaksanaan
UU No. 20/2008
tentang UMKM
9. Perpres RPJMN dan
RKP
4. Peningkatan
kesempatan kerja
penduduk miskin
Dari sejumlah
peraturan-peraturan
ketenagakerjaan yang
berlaku, terdapat
beberapa peraturan di
tempat kerja yang
perlu menjadi
perhatian:
1. Undang
Undang
No. 21 tahun 2000
tentang
Serikat
Pekerja / Buruh
2. Undang
Undang
No. 13 tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan
3. Undang
Undang
No. 2 tahun 2004
tentang
penyelesaian
Perselisihan
Hubungan
Industrial
Peraturan-peraturan
ini perlu
disempurnakan,
karena menjadi
168 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
hambatan dalam
pencapaian pasar
kerja di tahun 2025
Landasan Hukum
Peningkatan Daya
Saing UMKM &
Koperasi
Penyusunan aturan
pelaksanaan UU No.
17/2012 tentang
Perkoperasian (5 RPP
tentang Perkoperasian
yang sedang dibahas:
RPP Penyelenggaraan
Koperasi, RPP KSP,
RPP Lembaga
Pengawas KSP, RPP
Koperasi Syariah, dan
RPP Lembaga Penjamin
Simpanan Koperasi)
Penguatan lembaga
jaminan sosial yang
didukung oleh
peraturan perUUan,
pendanaan, & NIK
5. BIDANG POLITIK
ISU
STRATEGIS
1. Peningkatan
Kapasitas
169 | P a g e
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
Terjaganya
Stabilitas Sosial dan
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Intervensi
kebijakan/regulasi
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
Pertahanan
Politik
Dan Stabilitas
Keamanan
Nasional
Meningkatnya
2. Sistem Politik Akses Masyarakat
yang
terhadap Informasi
Demokratis
Publik
3. Peran
Indonesia
dalam
Tatanan
Internasional
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Intervensi
kebijakan/regulasi
meningkatkan akses
masyarakat terhadap
informasi publik
Intervensi kebijakan
untuk penciptaan
iklim kondusif bagi
penanganan
terorisme
Meningkatnya
Promosi dan
Pemajuan
Demokrasi dan
5. Penegakan
Hukum yang HAM
berkualitas
Menguatnya
Diplomasi Ekonomi
6. Reformasi
Birokrasi dan Indonesia
Pelayanan
Publik
yang
Berkualitas
7. Regulasi yang Harmonisasi
Efektif
dan Peraturan Di Bidang
Efisien
Korupsi
Ratifikasi konvensi
internasional HAM
yang telah disepakati
dan
Pemberantasa
n Korupsi
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
untuk penciptaan
iklim kondusif bagi
demokrasi
Terjaganya
Stabilitas Sosial dan
Politik: Terorisme
4. Pencegahan
2013
Penerapan
norma/rezim
internasional yang
mengatur energy and
food security sebagai
public goods
Harmonisasi
peraturan
perundang-undangan
dengan UNCAC
1. Percepatan
Revisi
KUHP dan KUHAP
2. Percepatan
Revisi
UU No. 31/1999
tentang
Tindak
Pidana Korupsi
3. Percepatan
Revisi
UU
No.
1/2006
tentang
Bantuan
Timbal Balik dalam
Tindak Pidana
4. Percepatan
UU
170 | P a g e
No.
Revisi
1/1979
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
tentang Ekstradisi
5. Percepatan
Revisi
UU No. 13/2006
tentang
Perlindungan Saksi
& Korban
6. Percepatan
pembentukan RUU
Perampasan Aset
171 | P a g e
Optimalisasi
Penegakan Hukum
Bidang Tipikor
Penyempurnaan
mekanisme
perlindungan saksi,
whistle blower, dan
justice collaborator
Terpadunya Sistem
Peradilan Pidana
Penyempurnaan
dasar hukum Sistem
Peradilan Pidana
Percepatan
pembahasan RUU
Revisi KUHAP
Terlaksananya
Percepatan
Sistem Peradilan
penyusunan
Pidana Anak (SPPA) peraturan
pelaksanaan UU No.
11/2012 tentang
SPPA
Percepatan penyusunan
Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan
peraturan pelaksanaan
lainnya sebagai upaya
mengoperasionalkan
ketentuan UU No.
11/2012 tentang SPPA
Terciptanya Hukum
Perdata yang
Pembahasan KUH
Perdata yang
1. Penyempurnaan
hukum kontrak
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Menunjang Daya
Saing
2. Pembentukan
Terwujudnya SDM
Aparat Penegak
Hukum Berkualitas
Penyempurnaan
mekanisme promosi
dan mutasi aparat
penegak hukum
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
memperhitungkan
dasar
hukum kebutuhan perubahan
mengenai
pengaturan terkait
pelaksanaan small hukum kontrak
claim
court
melalui
RUU
Hukum
Acara
Perdata ataupun
Peraturan
Mahkamah
Agung;
1. Pembentukan
instrumen penilaian
dan peraturan teknis
tentang promosi dan
mutasi di Kepolisian
2. Pembentukan
Instruksi
Jaksa
Agung tentang Pola
Jenjang Karir, Tata
Cara,
dan
Mekanisme Mutasi
bagi
Pegawai
Kejaksaan
3. Penyusunan
profil
profil
serta
kompetensi,
integritas,
reformulasi
standarisasi
penilaian kinerja dan
prestasi Hakim
eksternal
dalam
proses promosi dan
mutasi
aparat
penegak hukum
Meningkatnya
Birokrasi yang
172 | P a g e
Menetapkan PP
kelembagaan perangkat
daerah disertai
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 20152019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
penataan kelembagaan
/ organisasi perangkat
daerah.
Pembenahan
Regulasi yang Telah
Ditetapkan
(Existing
Regulation)
Pengembangan
Konsep Whole
Government
Approach dalam
Perumusan
Kebijakan dan
Pembentukan
Regulasi
6. BIDANG KEWILAYAHAN DAN TATA RUANG
ISU
STRATEGIS
1. Belum
efektifnya
pemanfaatan
173 | P a g e
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
Meningkatkan
ketersediaan dan
efektifitas regulasi TR
Peninjauan Kembali
RTRWN
Peninjauan PP 26/2008
tentang RTRWN
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
dan
melalui
pengendalian pengembangan dan
penataan
harmonisasi regulasi
ruang
2. Belum
dijadikannya
RTRW
sebagai
acuan
pembanguna
n
berbagai
sektor
3. Belum
efektifnya
kelembagaan
penyelenggar
aan penataan
ruang
Peningkatan
kapasitas SDM dan
kelembagaan
penataan ruang
ARAH
KERANGKA
REGULASI
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
Penyusunan
Roadmap
Implementasi UU
Bidang Penataan
Ruang dengan
Harmonisasi UU
Sektoral terkait
dengan Penataan
Ruang
Penyusunan
pedoman
penyusunan
RZWP3K
Harmonisasi
pelaksanaan UU No. 26/
2007 dengan UU No 27/
2007
Penyusunan
pedoman rencana
tata ruang udara dan
bawah tanah
Optimalisasi Kinerja
BKPRD
Implementasi Keppres
4/2009 tentang BKPRN
dan Permendagri
50/2009
Penyelenggaraan
Rakernas BKPRN
dan Raker Regional
BKPRD
Pembentukan PPNS
dan penyusunan
pedoman tugas PPNS
Penyusunan dan
revisi berkala SPM
bidang penataan
ruang
Penyusunan sistem
informasi penataan
174 | P a g e
2013
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ruang yang
mendukung
monitoring dan
evaluasi
Mengembangkan
produk rencana tata
ruang yang
berkualitas dan tepat
waktu
Percepatan
penyelesaian Perpres
RTR KSN, Perda
RTRW
Prov/Kab/Kota dan
Perda Rencana Rinci
Tata Ruang
Penyusunan
mekanisme/tata cara
proses pemberian
tanggapan RZWP3K
dalam forum BKPRN
Harmonisasi
pelaksanaan UU
26/2007 dengan UU
27/2007
Percepatan
penyelesaian Perda
RZWP3K dan
implementasinya
Meningkatkan
kualitas pelaksanaan
pembangunan
melalui internalisasi
RTR dalam rencana
pembangunan
sektoral
Penyediaan peta
dasar skala 1:5000
dan peta tematik
lainnya
PP 8/2013 tentang
Tingkat Ketelitian Peta
untuk Rencana Tata
Ruang
Penyusunan materi
teknis peraturan
integrasi rencana tata
ruang dengan
rencana
pembangunan
UU 26/2007 dan UU
25/2004
Penyusunan
mekanisme dan
implementasi
integrasi rencana tata
ruang dengan
rencana pembangun
Penguatan kerjasama
175 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
pembiayaan program
pembangunan sesuai
rencana tata ruang
Meningkatkan
kerjasama
pemerintah-swastamasyarakat dalam
pelaksanaan rencana
tata ruang
Menegakkan aturan
zonasi, insentif,
disinsentif dan
pemberian sanksi
secara konsisten
Penyusunan
UU No. 26 Tahun 2007
pedoman mekanisme tentang Penataan Ruang
insentif, disinsentif
dan regulasi turunannya
dan pemberian sanksi
dalam
penyelenggaraan
penataan ruang
Penyusunan
peraturan zonasi
yang lengkap untuk
menjamin
implementasi
rencana tata ruang
Penguatan peran
kelembagaan
(BKPRN/D) dalam
rangka advice
planning terkait
peraturan zonasi
Penyusunan sistem
informasi publik
dalam rangka
perizinan
pemanfaatan ruang
Penguatan
mekanisme audit tata
ruang
176 | P a g e
Penyusunan sistem
evaluasi tingkat
pencapaian
implementasi
rencana tata ruang
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
dalam kerangka
penyelenggaraan
penataan ruang
nasional
Penyusunan sistem
informasi penataan
ruang yang mampu
mendukung
monitoring dan
evaluasi
1. Kepastian
Kebijakan
Hukum Hak Pengembangan
Atas Tanah
Sistem Pendaftaran
Tanah Publikasi
2. Ketimpangan
Positif
Pemilikan,
Penguasaan,
Penggunaan,
dan
Pemanfaatan
Tanah (P4T)
serta
Kesejahteraan
Masyarakat
3. Peningkatan
Pelayanan
Pertanahan
4. Penyediaan
Lahan Untuk
Pembangunan
177 | P a g e
Percepatan
Pembuatan Peta
Dasar Pertanahan
Percepatan
Sertipikasi Tanah
Revisi UU 28/2009
untuk membebas
BPHTB bagi
pendaftaran tanah
pertama kali sebagai
upaya mempercepat
pendaftaran tanah
Publikasi
Deliniasi
Garis Batas Kawasan
Hutan
dengan
Penyusunan
grand
design publikasi tata
batas kawasan hutan.
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
Bagi
Kepentingan
Umum
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Identifikasi
dan
pemetaan
batas
wilayah masyarakat
hukum adat dengan :
Revisi UUPA untuk
menambah
hak untuk
adat
jenis
tanah
Penyusun pedoman
penetapan
adat/ulayat
178 | P a g e
tanah
Kebijakan Percepatan
Penyelesaian Kasus
Pertanahan
Penyusunan
kebijakan dan
peraturan
perundang-undangan
untuk mempercepat
penyelesaian kasus
pertanahan
Kebijakan
Pencadangan Tanah
Untuk Pembangunan
Kepentingan Umum
Penyusunan
kebijakan dan
peraturan
perundang-undangan
untuk pembentukan
bank tanah
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
Kebijakan Reforma
Agraria (Pemberian
Asset dan Access)
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
Pelaksanaan
Revisi PP No. 11/2010
Redistribusi
Tanah
untuk
memperkuat
melalui
pemberian
bidang tanah dan
penetapan
tanah
sertipikasi tanah
terlantar. Selain itu
dalam PP penertiban
tanah terlantar perlu
dilengkapi
dengan
pedoman
pelaksanaan
redistribusi tanah
Menyusun pedoman
pelaksanaan access
reform (Access
Reform dilakukan
melalui pemberian
bantuan
pemberdayaan
masyarakat untuk
meningkatkan
kemampuan
masyarakat dalam
mengolah dan
memanfaatkan
bidang tanah yang
diberikan)
PERKOTAAN
:
1. Tingkat
Urbanisasi
yang tinggi
179 | P a g e
Penyusunan dan
penetapan UndangUndang tentang
Perkotaan
Regulasi mengenai
Standar Pelayanan
ISU
STRATEGIS
2. Besarnya
Kesenjangan
antar kota
3. Rendahnya
daya
saing
kota-kota di
Indonesia
4. Rendahnya
pelayanan
sarana
prasarana
perkotaan
5. Kemiskinan
penduduk
yang tinggi
6. Rendahnya
modal sosial
penduduk
perkotaan
7. Belum
optimalnya
tata
kelola
kota di era
desentralisas
i
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Perkotaan (SPP)
yang mampu
menunjukkan kinerja
pelayanan
pemerintah kota
Regulasi mengenai
Skema
Pembiayaan
Pembangunan
yang menyediakan
sumber-sumber
pembiayaan yang
dibutuhkan dalam
pembangunan
infrastruktur dan non
infrastruktur di
daerah
Regulasi mengenai
Pengembangan
Ekonomi Lokal
yang mampu
mengoptimalkan
pemanfaatan sumber
daya setempat
Regulasi mengenai
Sistem Angkutan
Massal,
Transportasi
Antar Moda dan
Transit Oriented
Development
(TOD) dalam kota
dan antar kota yang
terintegrasi dan
meningkatkan
efisiensi pergerakan
orang dan barang
Regulasi mengenai
Upaya
180 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Peningkatan
Ketahanan Kota
dalam mengantisipasi
bencana alam dan
dampak perubahan
iklim
Regulasi mengenai
Kebijakan dan
Strategi
Pembinaan dan
Pengembangan
Perkotaan
Regulasi mengenai
mekanisme
insentifdisintensif yang
mampu
menumbuhkan
kinerja dan inovasi
pembangunan
perkotaan
Regulasi mengenai
Percepatan
Penyediaan
Perumahan bagi
masyarakat
menengah kebawah
di perkotaan
Regulasi mengenai
peran dan
mekanisme
Pemerintah Pusat
dalam
memberikan
bantuan
infrastruktur di
daerah
Regulasi mengenai
peran kota-kota
181 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
yang disiapkan
untuk menjadi
Pusat Kegiatan
Global (PKG)
1. Masih
tingginya
keterisolasia
n daerah
perdesaan.
2. Keterbatasan
ketersediaan
pelayanan
umum dan
pelayanan
dasar
minimum di
perdesaan.
3. Masih
rendahnya
ketersediaan
infrastruktur
pendukung
produktivitas
perdesaan.
4. Kemiskinan,
penganggura
n, dan
kerentanan
ekonomi
masyarakat
desa.
5. Berkurangny
a lahan
usaha untuk
kemandirian
desa
6. Kerentanan
sumberdaya
182 | P a g e
Penyusunan
Peraturan
Pemerintah dan
Peraturan lainnya
untuk
pelaksanaan
Undang-Undang
tentang Desa
Regulasi mengenai
Standar Pelayanan
Perdesaan (SPD)
yang mampu
menunjukkan kinerja
pelayanan kepada
masyarakat
perdesaan yang
sesuai dengan kondisi
geografis (kontur)
perdesaan
Regulasi mengenai
Pedoman Fasilitasi
Pemerintah,
Pemerintah Provinsi,
Pemerintah
Kab/Kota kepada
pemerintahan desa
Regulasi mengenai
Pengembangan
Ekonomi Lokal
yang mampu
mengoptimalkan
pemanfaatan sumber
daya setempat
Regulasi mengenai
fasilitasi untuk
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
alam dan
lingkungan
hidup
perdesaan.
7. Belum
optimalnya
peran
kelembagaan
desa dalam
perencanaan
dan
pembanguna
n desa.
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
meningkatkan
keberdayaan
masyarakat
perdesaan dan
kesetaraan jender
Regulasi mengenai
optimalisasi tata
ruang perdesaan yang
memperhitungkan
kearifan lokal,
mitigasi bencana dan
dampak perubahan
iklim
Sistem
transportasi
Barang dan Orang
yang
menghubungkan desa
dengan pasar dan
pusat kegiatan yang
yang terintegrasi
dan meningkatkan
efisiensi
pergerakan orang
dan barang dan
sistem logistik
yang menjamin
kelancaran arus
barang dan hasil
pertanian ke
pusat-pusat
pemasaran
Regulasi mengenai
Upaya
Peningkatan
Ketahanan
Pangan perdesaan
yang berbasis
masyarakat, mitigasi
183 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
bencana, pengelolaan
dampak perubahan
iklim yang
berpengaruh
terhadap pola tanam
Pedoman tentang
pengembangan
infrastruktur dan
energi perdesaan
a. Pengembangan
Ekonomi kreatif
perdesaan
yang
khas berbasiskan
sumberdaya alam
dan sosial-budaya
lokal
b. Kelembagaan
jaminan
sosial
bagi warga miskin
di perdesaan
c. Mekanisme
subsidi
bagi
kegiatan produktif
Keterkaitan
Pembangunan
Perkotaan dan
Perdesaan
Terintegrasinya
peraturan/perund
angan yg berbasis
spasial
dimana
masing-masing
sektor
berkontribusi
secara
terpadu
dlm
pengembangan
kawasan
Perlu
regulasi
ISU
STRATEGIS :
- Masih
terbatasnya
persebaran
pusat-pusat
pertumbuha
n bauk yang
ada maupun
184 | P a g e
adanya
yg
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
yang
baru
dalam
menyediakan
pelayanan
bagi
desadesa
di
daerah
tertinggal,
perba- tasan
dan
pulau
terluar
- Masih
terbatasnya
keterkaitan
kegiatan
antar sektor
hulu-hilir,
yang dapat
menciptakan
percepatan
pembanguna
n
ekonomi
perdesaan
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
memberikan
insentif
dan
hukuman dalam
kaitannya
kepemilikan lahan
termasuk sistem
peradilannya.
Perlu regulasi yg
mengatur
mekanisme kerja
koordinasi antar
stakeholder baik
di pusat maupun
di daerah
- Masih
terbatasnya
keterkaitan
fungsional
antara kotadesa.
1. Pengembangan
KAPET:
wilayah
Regulasi terkait
diselenggarakan
dengan mekanisme
dengan
pembiayaan
memperhatikan
pengembangan
potensi dan peluang
KAPET dan
keunggulan sumber
mekanisme
daya darat dan/atau
pembagian
laut di setiap
wewenang
wilayah, serta
pembiayaan
memperhatikan
185 | P a g e
Revisi Keppres
150/2000 terkait
dengan kejelasan
pembagian urusan,
tanggung jawab dan
kewenangan pusat
propinsi.
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
prinsip
pembangunan
berkelanjutan dan
daya dukung
lingkungan
2. Percepatan
pembangunan dan
pertumbuhan
wilayah-wilayah
strategis dan cepat
tumbuh didorong
sehingga dapat
mengembangkan
wilayah-wilayah
tertinggal di
sekitarnya dalam
suatu sistem
wilayah
pengembangan
ekonomi yang
sinergis, tanpa
mempertimbangka
n batas wilayah
administrasi, tetapi
lebih ditekankan
pada pertimbangan
keterkaitan matarantai proses
industri dan
distribusi.
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
KAPET.
Regulasi
mekanisme
perizinan usaha di
kawasan KAPET
Tambahan regulasi
terkait
dengan
pelimpahan
kewenangan
Bintan, Karimun,
Tanjung
Pinang
sehingga tidak ada
tumpang
tindih
kewenangan
dan
penerbitan
perijinan usaha.
Perlu
regulasi
dengan
terkait
pelimpahan
kewenangan
perizinan
K/L
terkait kepada BP
KEK
Harmonisasi peraturan
antar bidang dalam
mendukung percepatan
pembangunan daerah
tertinggal antara lain
sebagai berikut :
Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun
2007
Tentang
Pembagian
Urusan
186 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
Pemerintahan Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Provinsi,
Dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Undang-undang
Undang-undang
Nomor 38 Tahun
2004 Tentang Jalan
Undang-undang
Nomor 24 Tahun
2007
Tentang
Penanggulangan
Bencana
Undang-undang
Nomor 33 Tahun
2004
Tentang
Perimbangan
Keuangan
Undang-undang
Nomor 36 Tahun
2009
Tentang
Kesehatan
Pengembangan PKSN
dan pintu ke negara
tetanggal dengan
arah :
- Penjabaran PP 26/
2008
RTRWN
tentang
- Peninjauan regulasi
terkait
Border
Crossing
Agreement (BCA)
187 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
hasil
tindak lanjut hasil
kesepakatan
General
Border
188 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
proses
regulasi
untuk
membangun Jalur
Inspeksi Perbatasan
(JIP)
Pelibatan
fungsi
masyarakat
perbatasan dalam
mengamankan
kedaulatan
Penegasan Batas
Wilayah Negara
Darat dan Laut
dengan Peninjauan
Regulasi terkait
kelembagaan
diplomasi (saat ini
darat dilead oleh
Kemendagri dan laut
oleh Kementerian
Luar Negeri.
Mengembangkan
ekonomi masyarakat
asli Papua dengan
mempertimbangkan
kearifan sosialbudaya lokal
Meningkatkan
kualitas pelayanan
pendidikan dan
kesehatan yang
sesuai dengan
standar pelayanan
minimum di
189 | P a g e
Mengefektifkan
pelaksanaan
UU
Otsus tidak hanya
oleh Pemda Papua
dan Papua Barat,
namun juga oleh
Pemerintah Pusat,
Kegagalan
Otsus
disebabkan karena
belum
adanya
Perdasi/Perdasus
sebagai
acuan
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
kampung-kampung
terisolir
Mengembangkan
infrastruktur dasar
transportasi, energi,
dan air bersih di 21
kabupaten terisolir
khususnya di wilayah
pegunungan untuk
menurunkan tingkat
kemahalan dan
meningkatkan
pemenuhan
kebutuhan dasar.
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
implementasi
perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian, dan
evaluasi
pembiaran korupsi
di Papua,
Diperlukan
penegakan hukum
yang
konsisten
dalam pengelolaan
anggaran Otsus dan
dana
transfer
lainnya.
Pemihakan kepada
OAP (afirmative
action) dalam
pendidikan
tinggi/kedinasan,
pemerintahan, dan
ekonomi.
Revisi atas :
1. UU
No. 32 Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah;
berikut turunannya :
PP No. 38 Tahun
2007
tentang
Pembagian Urusan
PP No.
41 Tahun
2007 tentang SOTK
Daerah
PP No. 23 Tahun
2011
tentang
Penguatan
Peran
Gubernur
PP No. 65
190 | P a g e
Tahun
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
2005 tentang SPM
PP No. 50 Tahun
PP
No.58
tahun
tentang
2005
Pengelolaan
Keuangan Daerah,
dll.
2.
UU No 33 Tahun
2004
tentang
Perimbangan
Keuangan
dan
turunannya :
PP No. 55 Tahun
3. UU
No 25 Tahun
2004 tentang Sistem
Perencanaan
dan
Pembangunan
Nasional
4. UU No 21 Tahun 2001
tentang
Otonomi
Khusus bagi Provinsi
Papua
5. UU
No 28 Tahun
2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi
Daerah.
191 | P a g e
2013
ISU
STRATEGIS
Penguatan
Konektivitas
Nasional untuk
mencapai
Keseimbangan
Pembangunan
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
Peningkatan
pelayanan multimoda
sebagai bentuk
transportasi yang
terintegrasi
Peningkatan Peran
Pemerintah dalam
mengelola
transportasi
multimoda
Peningkatan program
infrastruktur daerah
Penyelenggaraan
pembangunan daerah
yang memilihi
priotitas oleh
Perintah Pusat
Pengadaan sarana
transportasi yang
mendukung
pertumbuhan
ekonomi, daerah
terpencil dan
perbatasan
Peninjauan kembali
aspek legal dalam
rangka pengadaan
sarana transportasi
di pusat
pertumbuhan
ekonomi, daerah
terpencil dan
perbatasan
Peningkatan kualitas
transportasi
perkotaan
Peningkatan peran
pemerintah pusat
dalam menunjang
sarana utama
transportasi yang
berdampak terhadap
publik
Peningkatan Daya
Saing Infrastruktur
Komunikasi dan
Informatika
192 | P a g e
ARAH
KERANGKA
REGULASI
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
Penyelesaian
pembahasan RUU
Telekomunikasi
pengganti UU No. 36
tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan
RUU Penyiaran
pengganti UU No. 32
Tahun 2002 tentang
Penyiaran
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
(Bidang
Infrastruktur)
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Reformasi
pengelolaan
Dana USO
untuk
mengakomod
asi
pembangunan
ekosistem
broadband
Menyelesaika
n migrasi
sistem
penyiaran TV
ke digital agar
digital
dividend
dapat segera
digunakan
Penataan
spektrum
frekuensi
radio untuk
mengalokasik
an frekuensi
seefisien dan
seoptimal
mungkin
dengan
memperhatika
n prinsip
netralitas
teknologi
Harmonisasi
kebijakan,
regulasi, serta
program dan
anggaran
pembangunan
193 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
Kementerian/
Lembaga
terkait
infrastruktur
TIK untuk
menghindari
terjadinya
duplikasi
Koordinasi
untuk
mengoptimalk
an
penggunaan
right of way
infrastruktur
lain seperti
tiang listrik
dan jalan
Pembentukan
ICT Fund
jangka
panjang
Restrukturisas
i sektor
penyiaran
Menjamin
Ketahanan Air,
Pangan, dan
Energi untuk
mendukung
Ketahanan
Nasional
Menunjang
ketahanan energi
Restrukturisasi
industri energi
terutama dalam
rangka
implementasi open
access terhadap
jaringan transmisi
tenaga listrik dan
gas bumi.
Sinkronisasi dalam
penyediaan lahan
bagi pembangunan
infrastruktur
194 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
energi.
Koordinasi
Regulasi penerapan
insentif bagi
konservasi energi.
Koordinasi
sinkronisasi
regulasi terkait
peningkatan
penggunaan bahan
bakar non-BBM
untuk sektor
transportasi dan
industri.
Pengembangan
mekanisme sistem
pengadaan IPP
(independent
power producers).
Rasionalisasi tarif
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pelayanan.
Menunjang
Ketahanan Air
Pengarusutamaan
ketahanan air
dalam
penyelenggaraan
air minum dan
sanitasi
Penyediaan air
Memperjelas
peranan
pembangunan
sanitasi sebagai
upaya pelestarian
dan pengamanan
sumber air
Menunjang
Ketahanan Pangan
Pengembangan
mekanisme
intervensi
peningkatan/
rehabilitasi
jaringan irigasi
pada DI
kewenangan
daerah, PP tentang
Hak Guna Air & PP
tentang Danau.
Perpres tentang
percepatan
pembangunan
PLTA
Peraturan untuk
integrasi
peningkatan
ketahanan air,
196 | P a g e
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pemanfaatan
kawasan hutan
Insentif untuk
percepatan
pembangunan
PLTA
Pemenuhan
Ketersediaan
Infrastruktur
Dasar dan
Standar
Layanan
Minimum
197 | P a g e
Menunjang
Pelayanan Dasar Air
Minum dan Sanitasi
Pengembangan
land banking untuk
penyelenggaraan
infrastruktur
a.
Penyediaan
Pemantapan
infrastruktur
regulasi
bagi
produktif melalui
kelembagaan
penerapan
pembangunan
manajemen
sanitasi di daerah
aset baik di
perencanaan,
penganggaran,
dan
investasi
termasuk untuk
pemeliharaan
dan
pembaharuan
infrastruktur
terbangun
b.
Penyelenggaraan
sinergi
air
minum
dan
sanitasi
di
tingkat nasional,
kabupaten/kota,
dan masyarakat
c.
Peningkatan
efektifitas dan
efisiensi
pendanaan
infrastruktur air
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
minum dan
sanitasi melalui
sinergi dan
koordinasi antar
pelaku program
dan kegiatan
mulai tahap
perencanaan
sampai
implementasi
baik secara
vertikal maupun
horizontal
d.
Mengembangkan
mekanisme
pendanaan
alternatif
dengan
memantapkan
fasilitas
pendanaan di
luar mekanisme
anggaran
pemerintah
untuk
mendukung
percepatan
penyediaan
layanan air
minum dan
sanitasi
Menunjang
Pelayanan Dasar
Perumahan
Permukiman
Peningkatan peran
fasilitasi Pemda
198 | P a g e
Memperjelas tugas
dan
fungsi
Kemenpera
Memperkuat peran
PT.
dalam
Perumnas
penyediaan
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
dalam menyediakan
perumahan
rumah baru
Penyusunan
layak huni
Peraturan
Peningkatan peran
Pemerintah tentang
fasilitasi Pemda
Housing Fund
dalam
Undang-Undang
meningkatkan
Tabungan
kualitas hunian
Perumahan Rakyat
MBR yang
(TAPERA)
berbasis
Peraturan
komunitas
Pemerintah terkait
Penguatan
subsidi uang muka
kapasitas
untuk MBR
Pemerintah dalam
memberdayakan
pasar
perumahan
Peningkatan
efektifitas dan
efisinsi
manajemen
lahan dan
hunian untuk
MBR
Pemanfaatan
teknologi dan
bahan bangunan
yang aman dan
murah serta
pengembangan
implementasi
konsep rumah
tumbuh
Menunjang
Pelayanan Dasar
Energi dan
Ketenagalistrikan
1. Memprioritaskan
199 | P a g e
- Penyempurnaan
mekanisme
dan
petunjuk
pelaksanaan
pembangunan
listrik
perdesaan
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
200 | P a g e
ARAH
KERANGKA
REGULASI
pada penggunaan
(DAK).
energi terbarukan - Rasionalisasi tarif
setempat
serta
energi (BBM, LPG,
daerah-daerah
dan listrik) untuk
yang
memiliki
mendorong energi
rasio
akses
baru
terbarukan
terhadap
energi
dan
peningkatan
(rasio elektrifikasi)
kesehatan
terendah, dengan
keuangan
badan
strategi:
usaha
termasuk
memperluas
penyempurnaan
jangkauan
rencana
induk
pelayanan.
pengembangan
- Formulasi
tarif
infrastruktur
energi yang lebih
energi
dan
transparan.
ketenagalitrikan
terutama
yang
menggunakan
energi terbarukan
setempat.
Melakukan studistudi
detail
persiapan
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan.
Menyempurnaan
aspek
kelembagaan
pengelola kegiatan
pembangunan
secara terintegrasi
dari sampai ke
tingkat daerah.
Mengintegrasikan
berbagai kegiatan
pembangunan
pembangunan
pembangkit listrik
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
jangkauan akses
penyediaan bahan
bakar
gas
(LPG/gas
alam)
dan
energi
terbarukan
setempat
untuk
kegiatan ekonomi
masyarakat,
melalui strategi:
201 | P a g e
Perumusan
rencana
peningkatan
pemanfaatan
LPG/gas alam di
lokasi yang minim
akses penggunaan
LPG/gas alam.
Perluasan
jangkauan
penyedian tabung
gas secara lebih
luas ke daerahdaerah terpencil
dan
perdesaan
yang
didukung
oleh
perluasan
infrastruktur
jaringan distribusi
bahan bakar gas
Meningkatkan
produksi
dan
pemanfaatan
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
sumber
energi
terbarukan
setempat
khususnya untuk
kebutuhan rumah
tangga
Peningkatan
Kontribusi
KPS dalam
Pembanguna
n
Infrastruktur
Harmonisasi Regulasi
Kebijakan KPS
menyeimbangkan
kedudukan
secara
hukum dengan skema
pendanaan
infrastruktur
yang
bersumber
dari
keuangan negara.
Sumber
pendanaan
pembangunan
infrastruktur dengan
APBN maupun APBD
sangat
terbatas,
sedangkan pendanaan
dengan skema KPS
dapat bersumber dari
berbagai pihak.
dalam UU 17/2003
dapat menjadi dasar
manajemen
dan
202 | P a g e
ISU
STRATEGIS
ARAH
KEBIJAKAN
RPJMN 2015-2019
ARAH
KERANGKA
REGULASI
2013
KEBUTUHAN
REGULASI
(BENTUK, JUDUL
DAN/ATAU
KETENTUAN
(PASAL) REGULASI
YANG PERLU
DIREVIEW/DIBENT
UK)
pengelolaan
pendanaan
untuk
proyek KPS terutama
kaitannya
dengan
kontribusi
Pemerintah.
Integrasi skema KPS
ke dalam UU 25/2004
tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
berfungsi
untuk mensinkronkan
proses KPS ke dalam
sistem
dan
mekanisme
perencanaan.
203 | P a g e
6.
6.1.
Kesimpulan
1.
2013
204 | P a g e
25)
26)
27)
28)
29)
30)
31)
32)
33)
34)
35)
36)
37)
38)
39)
40)
41)
42)
43)
44)
45)
46)
47)
48)
49)
50)
51)
52)
53)
54)
55)
56)
57)
205 | P a g e
2013
58)
59)
60)
61)
62)
63)
64)
65)
66)
67)
68)
69)
70)
71)
72)
73)
74)
75)
76)
77)
78)
79)
80)
81)
82)
83)
84)
85)
206 | P a g e
2013
86)
87)
88)
89)
90)
91)
92)
93)
94)
95)
96)
97)
98)
99)
100)
101)
102)
103)
104)
105)
106)
107)
108)
207 | P a g e
2013
Revisi UUPA 5/1960 dan PP 24/1997 terkait pendaftaran tanah menjadi stelsel
positif
Revisi UU 28/2009 untuk membebas BPHTB bagi pendaftaran tanah pertama
kali sebagai upaya mempercepat pendaftaran tanah
Publikasi Deliniasi Garis Batas Kawasan Hutan dengan Penyusunan grand
design publikasi tata batas kawasan hutan.
Identifikasi dan pemetaan batas wilayah masyarakat hukum adat dengan :
Revisi UUPA untuk menambah jenis hak untuk tanah adat
Penyusun pedoman penetapan tanah adat/ulayat
Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk
mempercepat penyelesaian kasus pertanahan
Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk
pembentukan bank tanah
Revisi PP No. 11/2010 untuk memperkuat penetapan tanah terlantar. Selain
itu dalam PP penertiban tanah terlantar perlu dilengkapi dengan bussiness
plan yang rinci; Menyusun pedoman pelaksanaan redistribusi tanah
Menyusun pedoman pelaksanaan access reform (Access Reform dilakukan
melalui pemberian bantuan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengolah dan memanfaatkan bidang tanah
yang diberikan)
Penyusunan dan penetapan Undang-Undang tentang Perkotaan
Regulasi mengenai Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) yang mampu
menunjukkan kinerja pelayanan pemerintah kota
Regulasi mengenai Skema Pembiayaan Pembangunan yang
menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang dibutuhkan dalam
pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur di daerah
Regulasi mengenai Pengembangan Ekonomi Lokal yang mampu
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya setempat
Regulasi mengenai Sistem Angkutan Massal, Transportasi Antar
Moda dan Transit Oriented Development (TOD) dalam kota dan antar
kota yang terintegrasi dan meningkatkan efisiensi pergerakan orang dan
barang
Regulasi mengenai Upaya Peningkatan Ketahanan Kota dalam mengantisipasi
bencana alam dan dampak perubahan iklim
Regulasi mengenai Kebijakan dan Strategi Pembinaan dan
Pengembangan Perkotaan
Regulasi mengenai mekanisme insentif-disintensif yang mampu
menumbuhkan kinerja dan inovasi pembangunan perkotaan
Regulasi mengenai Percepatan Penyediaan Perumahan bagi masyarakat
menengah kebawah di perkotaan
Regulasi mengenai peran dan mekanisme Pemerintah Pusat dalam
memberikan bantuan infrastruktur di daerah
Regulasi mengenai peran kota-kota yang disiapkan untuk menjadi Pusat
Kegiatan Global (PKG)
Penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan lainnya untuk pelaksanaan
Undang-Undang tentang Desa
Regulasi mengenai Standar Pelayanan Perdesaan (SPD) yang mampu
menunjukkan kinerja pelayanan kepada masyarakat perdesaan yang sesuai
dengan kondisi geografis (Regulasi mengenai Pengembangan Ekonomi Lokal
yang mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya setempat kontur)
perdesaan
2013
2013
123)
Penegasan Batas Wilayah Negara Darat dan Laut dengan Peninjauan Regulasi
terkait kelembagaan diplomasi (saat ini darat dilead oleh Kemendagri dan laut
oleh Kementerian Luar Negeri; Mengefektifkan pelaksanaan UU Otsus tidak
hanya oleh Pemda Papua dan Papua Barat, namun juga oleh Pemerintah
Pusat; Kegagalan Otsus disebabkan karena belum adanya Perdasi/Perdasus
sebagai acuan implementasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan
evaluasi pembiaran korupsi di Papua; Diperlukan penegakan hukum yang
konsisten dalam pengelolaan anggaran Otsus dan dana transfer lainnya.
124) Revisi atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berikut
peraturan-peraturan pelaksanaannya;
125) Revisi PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan;
126) Revisi PP No. 41 Tahun 2007 tentang SOTK Daerah;
127) Revisi PP No. 23 Tahun 2011 tentang Penguatan Peran Gubernur ;
128) Revisi PP No. 65 Tahun 2005 tentang SPM ;
129) Revisi PP No. 50 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Antar Daerah;
130) Revisi PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dll.
131) Revisi UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuanganbeserta
peraturan-peraturan turunannya;
132) Revisi PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
133) Revisi UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan
Nasional;
134) Revisi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
135) Revisi UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
136) Peningkatan Peran Pemerintah dalam mengelola transportasi multimoda;
137) Penyelenggaraan pembangunan daerah yang memilihi priotitas oleh Perintah
Pusat;
138) Peninjauan kembali aspek legal dalam rangka pengadaan sarana transportasi
di pusat pertumbuhan ekonomi, daerah terpencil dan perbatasan;
139) Peningkatan peran pemerintah pusat dalam menunjang sarana utama
transportasi yang berdampak terhadap publik;
140) Penyelesaian pembahasan RUU Telekomunikasi pengganti UU No. 36 tahun
1999 tentang Telekomunikasi dan RUU Penyiaran pengganti UU No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran;
141) Reformasi pengelolaan Dana USO untuk mengakomodasi pembangunan
142)
143)
144)
145)
146)
209 | P a g e
147)
2013
2013
193)
194)
195)
196)
215)
216)
217)
218)
219)
220)
221)
222)
223)
224)
225)
226)
227)
228)
229)
230)
231)
232)
233)
234)
235)
236)
237)
238)
239)
240)
241)
242)
243)
244)
245)
212 | P a g e
2013
2013
213 | P a g e
2013
214 | P a g e
2013
Sinergi antara kebijakan dan regulasi agar tercipta sistem hukum nasional yang
sederhana dan tertib dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan
nasional hanya dapat tercapai dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik
di antara para perumus kebijakan sendiri, maupun komunikasi dan koordinasi
antara perumus kebijakan, pembentuk regulasi, dan pemangku kewenangan
kebijakan tiap sektor pembangunan. Oleh karena itu, pengintegrasian kerangka
regulasi ke dalam Sistematika RPJMN III (2015 -2019) masih perlu didukung dengan
penyusunan mekanisme koordinatif guna menciptakan sinergi antara penyusunan
kerangka kebijakan dengan kerangka regulasi. Proses penyusunan kerangka regulasi
tidak dapat dilepaskan dari proses perencanaan dan penganggaran , oleh karena itu
proses penyusunannya pun perlu disesuaikan dengan proses perencanaan dan
penganggaran dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang
dalam penjelasannya menyatakan bahwa Perkembangan dinamis dalam
penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri
dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework)
sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju. Oleh karena itu,
pengintegrasian antara kerangka kebijakan dengan kerangka regulasi pada RPJMN
III (2015-2019) pun dilakukan melalui proses perencanaan regulasi berdasarkan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework/MTEF). Perlunya penyusunan kerangka regulasi dilaksanakan dalam
kerangka MTEF ini juga disesuaikan dengan siklus pembentukan regulasi, yang
secara garis besar tahapannya terdiri atas: 1) kajian dan penelitian; 2) Naskah
akademik; dan 3) rancangan peraturan perundang-undangan. Dengan
mengoperasionalkan konsep MTEF, maka pengkajian dan penelitian dilakukan pada
tahun pertama. Pada tahun kedua, rekomendasi hasil pengkajian dan penelitian yang
bersifat pengaturan ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah akademik dan
rancangan undang-undang. Pada tahun ketiga, seluruh proses ini diakhiri dengan
pembahasan RUU yang selanjutnya ditetapkan menjadi undang-undang. Dengan
mengintegrasikan proses perumusan kebijakan dan regulasi dengan konsep MTEF
maka keseluruhan proses pembentukan regulasi dapat dilakukan secara lebih
terencana dan menghasilkan kebijakan dan regulasi yang lebih berkualitas. Pada
tataran pelaksanaan, mekanisme koordinatif penyusunan kerangka regulasi dalam
MTEF tersebut harus melibatkan K/L yang terhimpun dalam Komite Regulasi
(Komite Regulasi yang terdiri atas: Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian
Sekretariat Negara), K/L teknis, maupun UKE II sektor di Bappenas, dan disesuaikan
215 | P a g e
2013
dengan time frame penyusunan kerangka pendanaan yang memang telah dijalankan
secara rutin dalam periode-periode RPJMN sebelumnya.
6.2.
1.
Rekomendasi
Guna menindaklanjuti wacana yang semakin berkembang mengenai pentingnya
integrasi kerangka regulasi ke dalam RPJMN 2015-2019 mendatang, maka bagian
Kerangka Regulasi perlu menjadi bagian tersendiri, khususnya dalam Buku I dan
Buku II RPJMN 2015 -2019. Kerangka Regulasi dalam Buku I menggambarkan
kebijakan umum pembangunan regulasi di Indonesia yang sekaligus memberikan
gambaran pentingnya integrasi dan sinergi antara kerangka kebijakan, kerangka
regulasi, dan kerangka pendanaan. Sedangkan Kerangka Regulasi dalam Buku II
berisi gambaran arah kerangka regulasi dan kebutuhan kerangka regulasi berbagai
bidang dalam RPJMN 2015 -2019. Arah kerangka regulasi dan kebutuhan kerangka
regulasi dalam Bab II ini tidak selalu harus berupa usulan rancangan peraturan
perundang-undangan, namun dapat pula berupa tahapan-tahapan sebelum masuk ke
rancangan peraturan perundang-undangan, seperti pelaksanaan kajian dan
penelitian dan penyusunan Naskah Akademik. Sistematika kerangka regulasi dalam
RPJMN 2015 -2019 sebagaimana yang diusulkan oleh Direktorat Analisa Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
SISTEMATIKA BUKU I RPJMN 2015 - 2019
KERANGKA PEMBANGUNAN NASIONAL
BAB
VI
BAB
VII
KERANGKA PEMBIAYAAN
BAB
VIII
KERANGKA EVALUASI
BAB
IX
KERANGKA KELEMBAGAAN
BAB X
PENUTUP
216 | P a g e
2013
BIDANG PEMBANGUNAN 1
3.1
3.2
3.3
3.4
BAB II
BIDANG PEMBANGUNAN 2
BAB III
...dan seterusnya...
BAB ....
PENGARUSUTAMAAN
1.1
1.2
Pengarusutamaan 1
1.3
1.
2.
Sasaran (impact)
3.
Pengarusutamaan 2
...dan seterusnya...
BAB ....
2.1
2.2
2.2.2
Sasaran (impact)
2.2.3
...dan seterusnya...
Lampiran Buku II:
1. Matriks Prioritas Bidang
2. Matriks Pengarusutamaan
3. Matriks Lintas Bidang
4. Matriks Pembangunan Jangka Menengah perK/L
2.
217 | P a g e
2013
2013
Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Bappenas beserta K/L sektor terkait. Hasil
multilateral meeting ini kemudian dituangkan dalam suatu Berita Acara
Multilateral Meeting;
vi. Tindak lanjut multilateral meeting: Deputi sektor c.q: UKE II sektor Bappenas
mengintegrasikan kerangka regulasi hasil pembahasan ke dalam RKP; Deputi
Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan c.q: Direktorat Analisa
Peraturan Perundang-undangan melakukan monitoring dan evaluasi kerangka
regulasi; dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan c.q: Direktorat Alokasi
Pendanaan Pembangunan melakukan alokasi budget baik untuk keperluan
pembentukan maupun pelaksanaan regulasi.
Karena mekanisme whole government approach dalam rangka sinergi kerangka
kebijakan dan kerangka regulasi tersebut melibatkan berbagai K/L, maka perlu
disepakati dan disetujui oleh semua K/L yang terlibat dalam proses tersebut. Oleh
karena itu, mekanisme tersebut perlu diwadahi dalam bentuk peraturan resmi, yang
dapat mengikat setiap K/L yang terlibat untuk melaksanakan mekanisme tersebut.
Idealnya, mekanisme ini sangat tepat apabila dicantumkan dalam peraturan presiden
untuk pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang hingga saat ini masih dalam proses penyusunan.
3.
219 | P a g e
2013
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
Undang Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014
Buku
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Penerbit Preneda Media, Jakarta
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Penerbit UI Press, Jakarta,
1986
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006
Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan, edisi Perdana
Majalah Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum, UNDIP, 2005
Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maret 2007
Alkostar, Artidjo, edt. Identitas Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997
Sidharta, B. Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum sebuah Penelitian tentang
Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000
Minyati, Khudzaifah & Wardiono, Kelik, Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi
Hukum, Ekonomi dan Agama, Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta, 2001
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1993
Laski, H.J., Pengantar Ilmu Politika, PT Pembangunan Jakarta, Cetakan kelima
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Jakarta
220 | P a g e
2013
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
Cetakan ke V, Tahun 2000
Joachim, Carl, Filsafat Hukum, Nusa Media, 2010
Rawls, John, Theory of Justice, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1972
Islamy, M. Irfan, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, 2007
Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Editor Korolus Kopong
Medan dan Mahmutarom HR, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis),
Chandra Pratama, Jakarta, 1996
Nigro, Felix A., and Nigro, Llyold G., Modern Public Administration, Harper &
Row,Publishers, New York, 1980
Keraf, Sonny, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998
Rasjidi, Lili, dan Putra, I.B Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993
Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Salatiga, FH UKSW, 2005
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Penerbit UAJY, 2010
Indrati, S., Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Yogyakarta: Kanisius 2007
Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaksara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
2013
Setiadi, Wicipto, DR, SH, MH, paparan Reformasi Regulasi untuk Mendukung
Prolegnas yang Berkualitas, pada Acara Konsultasi Publik Reformasi Regulasi, 5
Juni 2013, Hotel Gran Melia, Jakarta
Laporan Akhir Koordinasi Strategis Pengembangan Studi Kelayakan Database
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan Tahun 2010, Direktorat
Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas, 2010
Konsep Reformasi Regulasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, c.q:
Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, 2013
Marham,
Idrus,
Nasionalisme
Negara-Bangsa
Globalisasi,Majalah Tempo, 16 Februari, 2003
dalam
Pusaran
Arus
Emirzon, Johny, Disertasi, Hukum Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di
ditinjau dari perspektif Harmonisasi Hukum di Indonesia
Hayati, Sri, Disertasi, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya dengan
Investasi, Universitas Airlangga
Bakri, Muhammad, Disertasi, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru
untuk Reformasi Agraria
Sumber Internet
Mahkamah
Konstitusi,
Rekapitulasi
Perkara
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU
PUU,
Detik.com, http://finance.detik.com/read/2013/05/15/111512/2246322/1034/sbysaya-instruksikan-kementerian-esdm-reformasi-perizinan-migas
Suharto, Edi, makalah Negara Kesejahteraan dan Reinventing
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ReinventingDepsos.pdf
Depsos,
Davis, Ralp C., Stoner, A.F., dan Atmosudirjo, Pramudji, SH. Prof.Dr., diakses melalui
www.mdp.ac.id/materi/.../SI348-052103-699-1.ppt
Widyatama, Bastian, Konsep dan Teori Kebijakan Publik, diakses melalui website
http://politik.kompasiana.com/2013/04/07/konsep-dan-teori-kebijakan-publik543743.html
Ilmu
Kebijakan
(Policy
Science),
diakses
melalui
website
http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=284 pada tanggal 17 Juni 2013
Sistem
Hukum
Nasional,
diakses
melalui
website
http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/09/23/sekilas-mengenai-sistemhukum-di-indonesia/#_ftnref2 pada tanggal 17 Juni 2013
Atmasasmita, Romli, Pembangunan Hukum Nasional diakses melalui
repository.binus.ac.id/content/J0044/J004424873.doc pada tanggal 9 Juni 2013
Arah Pembangunan Hukum dan Program Legislasi Nasional, Usulan KRHN pada
RDPU dengan Baleg DPR tanggal 25 Nopember 2004, diakses melalui
www.parlemen.net pada tanggal 9 Juni 2013
222 | P a g e
2013
melalui
Pengertian
regulasi,
http://stats.oecd.org/glossary/detail.asp?ID=3295
melalui
diakses
223 | P a g e
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
CONTOH TABEL IDENTIFIKASI KERANGKA REGULASI RPJMN 2015-2019
Isu
Strategis
Arah
Kebijakan
RPJMN
2015-2019
Peningkatan
Daya Saing
UMKM dan
Koperasi
(UMKMK)
Peningkatan
daya saing
UMKM dan
koperasi untuk
memperkuat
ketahanan
perekonomian
domestik dan
membangun
keunggulan
global
Evaluasi
terhadap
Direktorat
Kebutuhan Regulasi
Existing
Penanggung
Regulation
Jawab
Terkait
KEDEPUTIAN BIDANG KEMISKINAN, KETENAGAKERJAAN DAN UKM
Arah
Kerangka
Regulasi
Landasan
hukum untuk
mendukung
peningkatan
daya saing
UMKM dan
koperasi
Urgensi
Pembentukan/
Revisi UU
Penyusunan aturan
pelaksanaan UU No. 17
tahun 2012 tentang
Perkoperasian (5 RPP
tentang Perkoperasian
yang sedang dibahas: RPP
Penyelenggaraan
Koperasi, RPP KSP, RPP
Lembaga Pengawas KSP,
RPP Koperasi Syariah dan
RPP Lembaga Penjamin
Simpanan Koperasi)
Direktorat
Pemberdayaan
Koperasi dan UKM
Amanat UU No.17/2012
tentang Perkoperasian
Belum ada
landasan hukum
yang menaungi
pelaksanaan
program nasional
yang terkait
dengan
peningkatan daya
saing UMKM dan
melibatkan
sinergi berbagai
K/L
Direktorat
Pemberdayaan
Koperasi dan UKM
Direktorat
Terkait
Direktorat Jasa
Keuangan dan
BUMN; Direktorat
Penanggulangan
Kemiskinan
Direktorat Pangan
dan Pertanian;
Direktorat Kelautan
dan Perikanan;
Direktorat
Kehutanan;
Direktorat
Perdagangan,
Investasi dan KEI;
Direktorat Industri,
IPTEK dan Parekraf;
Direktorat Jasa
Keuangan dan BUMN
Isu
Strategis
Arah
Kebijakan
RPJMN
2015-2019
Arah
Kerangka
Regulasi
Kebutuhan Regulasi
Urgensi
Pembentukan/
Revisi UU
Percepatan
Jenjang karier SDM
yang tidak
pertanahan
penyelesaian kasus
hakim dan
jelas
pertanahan dapat
meningkatkan
Pelatihan khusus bagi
kepastian hukum hak
aparat terkait seperti:
atas tanah yang
hakim, panitera,
berdampak pada
jaksa, dan kepolisian.
pembentukan kondisi
yang kondusif bidang
ekonomi, sosialbudaya, politik, juga
dapat mengurangi dan
mencegah timbulnya
konflik
Evaluasi
terhadap
Existing
Regulation
Terkait
Direktorat
Penanggung
Jawab
Direktorat
Terkait
Belum ada
peraturan
perundangan
yang mengatur
pembentukan
kamar khusus
pertanahan di
pengadilan negeri
dan juga
perangkat
peradilannya
sehingga belum
dapat dilakukan
evaluasi
Direktorat Hukum
dan HAM
LAMPIRAN II
TAHAPAN DAN LANGKAH ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT (COST AND BENEFIT ANALYSIS (CBA)
DALAM RANGKA SINERGITAS KERANGKA KEBIJAKAN DENGAN KERANGKA REGULASI
TAHAP
I.
Identifikasi
siapa saja
yang terkena
dampak dan
pengaruh
dari isu
strategis
II. Identifikasi
biaya dan
manfaat apa
yang akan
diperoleh
oleh masingmasing
pihak terkait
LANGKAH
KETERANGAN
1.
Pemerintah,
2.
Sektor privat/swasta/bisnis
3.
4.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
terhadap
kesempatan
mendapatkan
TAHAP
LANGKAH
k.
l.
KETERANGAN
III. Kuantifikasi
atas dampak
kebijakan
IV. Valuasi
terbatas
V. Kuantifikasi
Sepenuhnya
Pada langkah kelima semua manfaat dan biaya sudah terhitung Cukup jelas
sepenuhnya dalam satuan mata uang. Jadi, pada tahapan itu, pembuat
kebijakan telah dapat menentukan pilihan yang paling baik dari
kebijakan yang akan diambil.