Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN PULAU BUNGIN TERHADAP

KARAKTERISTIK PERMUKIMAN NELAYAN


(ARSITEKUR BANGUNAN HUNIA, ORIENTASI PERMUKIMAN, DAN POLA
PERMUKIMAN)
Lokasi Studi: Desa Bungin, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa
*Qudri Saufi (41113A0025)*
Pembahasan tentang pengaruh pembangunan jalan Pulau Bungin terhadap karakteristik
permukiman nelayan (arsitektur bangunan hunian, orientasi permukiman, dan pola
permukiman) di desa bungin kecamatan alas, bertujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai bagaimana perubahan karakteristik permukiman nelayan Pulau Bungin di lihat dari
hasil identifikasi sebelum adanya pembangunan jalan dan setelah adanya pembangunan jalan.
Metode pengumpulan data yang di gunakan dengan menggunakan teori slovin dalam
menentukan jumlah sampel yang akan di wawancarai di berbagai perbedaan jenis pola
pergerakan pertumbuhan bangunan hunian, setelah itu di analisa dengan teknik analisa
perbandingan dua suku variabel tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa setelah adanya pembangunan jalan ternyata
mempengaruhi beberapa pola pikir masyarakat dalam membangun rumah tiggal, dimana
dengan adanya jalan beberapa masyarakat merubah arah mata pencaharian mereka dan
memilih untuk tinggal menyusuri jalan dengan tujuan lebih mudah dalam mengakses jalan
atau along the streets dengan pola permukiman yang face to face dan juga mempengaruhi pola
permukiman yang dulunya clustered menjadi kombinasi.
Kata kunci : Pengaruh, Jalan, Karakterisik Permukiman Nelayan

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim
yang besar dimana memiliki kekuatan
dalam potensi pulau-pulau kecil dengan
topografi yang memiliki potensi akan
kekayaan pulau-pulau yang indah dengan
berbagai suku dan tradisi yang dapat
menjadikan Indonesia tetap satu.
Sebagian besar di Provinsi NTB yang
memiliki 280 pulau yakni pulau di pulau
Lombok terkenal akan gili-gili yang
menarik seperti Gili terawang, gili meno,
dan gili air, masih banyak juga pulau-pulau
kecil yang sangat menarik. Namun di Pulau
Sumbawa juga tidak kalah menariknya,
dimana Sumbawa juga memiliki pulau
kecil yang di kenal sebagai pulau terpadat
di

di Indonesia.
Pulau Bungin merupakan pulau yang
dibangun diatas tumpukan batu karang yang
sudah mati yang diambil di laut. Pada tahun
1942 pulau yang pada awalnya yang hanya
seluas kurang lebih 3 hektar menjadi lebih
dari 6 hektar pada tahun 1995.
Daratan pulau ini bertambah sekitar 2030 are setiap tahunnya, karena setiap yang
ingin berkeluarga diharuskan membuat
tempat mendirikan rumah terlebih dahulu
dari timbunan karang dan pasir. Pulau
Bungin dengan karakter pemukiman
berkepadatan tinggi dengan jarak 1 meter
antara rumah yang satu dengan rumah yang
lainnya.
Permukiman padat serta masih minim
sarana dan prasarana merupakan lingkungan
hunian yang tidak sehat dan tidak layak huni
apabila di kaitkan dengan kebijakankebijakan tentang penataan permukiman.
1
Permukiman yang tidak layak

apabila di kaitkan dengan kebijakankebijakan tentang penataan permukiman.


Permukiman yang tidak layak huni
biasanya banyak dijumpai di berbagai
pinggiran-pinggiran Kota. Namun untuk
pulau bungin dengan pemukiman yang di
kenal sangat padat ini di sebabkan karena
tingginya angka jumlah penduduk yang
semakin meningkat di karenakan oleh
faktor sistem biologis yang membuat
pertumbuhan jumlah penduduk yang
semakin meningkat sedangkan kebutuhan
akan lahan yang semakin sempit ini dapat
menimbulkan berbagai masalah seperti
sirkulasi
jalan
yang
tidak
baik,
persampahan dan banjir air laut sehingga
membentuk pola permukiman yang sangat
padat dan tidak memiliki ruang terbuka.
1.2. Tujuan Penelitian
a. Dapat mengetahui karakteristik
permukiman nelayan sebelum
pembangunan jalan ke Pulau
Bungin.
b. Dapat mengetahui karakteristik
permukiman
nelayan
setelah
pembangunan jalan ke Pulau
Bungin.
c. Dapat mengetahui perubahan
karakteristik permukiman nelayan
setelah adanya pembangunan jalan
ke Pulau Bungin.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Arsitektur Bangunan Hunian
a. Funfsi
Jan Mukarowsky mengatakan
bahwa fungsi bangunan ditentukan
oleh: Tujuan langsung dalam konteks
penggunaannya. Tujuan historis,
dimana fungsionalitas tidak hanya
ditentukan oleh suatu anggapan
praktis secara langsung tetapi juga
oleh peraturan- peraturan yang tidak
berubah (seperangkat norma-norma)
untuk struktur semacam ini dan

perkembangan
sebelumnya.
(Mukarowsky, 1972:242)
b. Ruang
Secara umum, ruang dibentuk
oleh tiga elemen pembentuk ruang
yaitu: 1) Bidang alas/lantai (the base
plane). 2) Bidang dinding/pembatas
(the vertical space devider). 3) Bidang
langit-langit/atap
(the
overhead
plane).
c. Bentuk
Menurut (Drs. R. Irawan
Surasetja, MT. 2007) Bentuk dalam
arsitektur meliputi permukaan luar
dan ruang dalam. Pada saat yang
sama,
bentuk
maupun
ruang
mengakomodasi fungsi-fungsi (baik
fungsi fisik maupun non fisik).
2.2. Orientasi Permukiman
Karakter permukiman dapat dilihat
dari organisasi ruang permukiman
(Rapoport,1977):
1. Orientasi Permukiman Mengelilingi
Central Space

Gambar 2.1 Orientasi Central Space


2. Orientasi permukiman menyusuri
jalan/along the streets
Terdapat dua macam organisasi
dalam orientasi ini, yaitu rumah
berada di sepanjang jalan dan
berseberangan dengan rumah lain
atau rumah berada di sepanjang jalan
dan berseberangan dengan unsur air
(waterfront).

3. Pola Memanjang.

Gambar 2.2 Orientasi Along The


Streets
3. Orientasi ke arah dalam (Iside-outcity)

Gambar 2.3 Orientasi Inside Out


City
2.3. Pola Permukiman
Pada dasarnya pola permukiman yang
berada diperairan laut darat adalah samasama untuk kepentingan masyarakatnya.
Sehingga untuk melihat secara spesifik
kajian-kajian yang ingin diteliti dalam
penelitian, yaitu dengan melihat lebih lanjut
pola dan tata letak permukiman nelayan
terbagi menjadi pola-pola yang ada seperti
yang disebutkan dibawah ini: (sumbe :
DPUCipta Karya, 1989)
1. Pola Mengelompok.
Pola mengelompok ini, pada
daerah permukimannya cendrung
tumbuh secara mengelompok pada
pusat kegiatan. Perumahan tumbuh
secara
tidak
terencana
dan
menyebabkan keseimbangan alam
terganggu. Apabila pertumbuhannya
tidak terkendali, maka daerah dekat
pusat kegiatan menjadi padat dan
kemungkinan terdapat daerah slum
atau kumuh.
2. Pola Menyebar.
Dimana daerah permukimannya
tumbuh tersebar, sehingga jangkauan
pelayanan fasilitas umumnya sulit,
tidak merata. Dan biasanya berada
didaerah-daerah seperti sungai,
pantai dan danau.

Daerah permukiman tumbuh


cendrung mengikuti tepian- tepian
pantai, sungai, dan danau sehingga
terbentuk
permukiman
linier
disepanjang tepian. Pertumbuhan
permukiman ini tidak terkendalu
maka kelestarian sumberdaya yang
ada di daerah tepian ini akan
terancam dan dapat mengakibatkan
abrasi dan lain-lain.
Pola permukiman suatu kawasan itu
sendiri merupakan bagian dari pola
penggunaan tanah yang akan dapat
menggambarkan struktur masyarakat serta
faktor yang mempengaruhinya. Secara
garis besar, adapun konsep atau ciri-ciri
perumahan
dan
permukiman
di
permukiman nelayan yang tumbuh di
Indonesia ini yang berupa linier, clustered,
dan sebagainya seperti yang akan dibahas
pada sub- bab berikutnya dengan pola
permukiman nelayan seperti terlihat pada
table berikut ini (Lee Taylor, Urbanized
Society, 1980):
Tabel. 2.1
Pola Permukiman Nelayan (Lee, Taylor,
Urbanized Society, 1980)
Pola Permukiman

Gambar

A. Pola
Permukiman
Nelayan
1. Face to face

2. SubKelompok
Komunitas

B. Struktur
ruang
Permukiman
Nelayan

digunakan untuk menentukan jumlah


sampel adalah menggunakan rumus Slovin
(Sevilla et. al., 1960:182), sebagai berikut:

1. Linier

2. Clustered

3. Kombinasi

3. METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan dengan
menggunakan metode kualitatif. Data digali
melalui observasi langsung ke lapangan.
Hasil observasi selanjutnya dikaji dengan
menggunakan 3 jenis analisa dilihat dari
arsiteltur bangunan hunian (Yuswadi
Saliya, 1999), Orientasi Permukiman
(Rapoport, 1977), dan Pola Permukiman
Lee Taylor, 1980).
3.1. Teknik Pengumpulan Data

A
D
B
A
B

Teknik penentuan sampel dalam sesi


tanya jawab dengan menggunakan metode
slovin dimana salah satu metode yang

Dimana:
n: jumlah sampel
N: jumlah populasi
e: batas toleransi kesalahan (error
tolerance)
Untuk menggunakan rumus ini,
pertama ditentukan berapa batas toleransi
kesalahan. Batas toleransi kesalahan ini
dinyatakan dengan persentase. Semakin
kecil toleransi kesalahan, semakin akurat
sampel
menggambarkan
populasi.
Misalnya, penelitian dengan batas
kesalahan 15% berarti memiliki tingkat
akurasi 85%. Penelitian dengan batas
kesalahan 10% memiliki tingkat akurasi
90%. Dengan jumlah populasi yang sama,
semakin kecil toleransi kesalahan, semakin
besar jumlah sampel yang dibutuhkan.
A. Jumlah Sampel Pada Pergerakan
Bangunan Hunian Arsir A
Jumlah Populasi
: 657
Batas Toleransi
: 15%
Maka jumlah sampel : 41 rumah
B. Jumlah Sampel Pada Pergerakan
Bangunan Hunian Arsir B
Jumlah sampel
: 98
Batas Toleransi
: 15%
Maka Jumlah Sampel : 30 rumah
C. Jumlah Sampel Pada Pergerakan
Bangunan Hunian Arsir C
Jumlah sampel
: 41
Batas Toleransi
: 15%
Maka jumlah sampel : 21 rumah
3.2. Teknik Analisis Data
Teknik
analisis
data
yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik analisis deskriptif

kualitatif. Analisis ini diarahkan pada


uraian deskriptif mengenai bagaimana
kondisi dan mekanisme perkembangan
permukiman di Pulau bungin serta faktorfaktor yang mempengaruhinya.
Dengan
menggunakan
analisa
kualitatif maka untuk mengetahui besar
pengaruh dalam pergerakan permukiman
maka analisis yang di gunakan yaitu
analisis deskriptif overlay. Overlay yaitu
membandingkan
kondisi
persebaran
permukiman setelah pembangunan jalan
terhadap persebaran sebelum pembangunan
jalan, dari hasil perbandingan tersebut maka
akan terlihat arah pergerakan sebaran
bangunan hunian yang ada di Pulau Bungin.
4. PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Pembangunan Jalan
Pembangunan jalan dilakukan pada
tahun 2002 dari daratan pulau Sumbawa ke
pulau bungin dengan panjang jalan 564
meter, dan juga sebagian renovasi bagi
rumah tidak layak huni.
A. Klasifikasi Jalan
Kelas jalan di Pulau Bungin
terdapat 2 jenis klasifikasi jalan
menurut fungsinya yaitu jalan lokal
sekunder dan jalan lingkungan.
1) Jalan Lokal Sekunder
Terdapat jalan lokal sekunder
yang ruas jalan yang menghubungkan
kawasan sekunder kesatu maksudnya
kawasan permukiman Desa Gontar
Baru dengan kawasan permukiman di
Pulau Bungin.
Kondisi jalan pada tahun 2002
hingga tahun 2015 struktur jalan masih
menggunakan jalan dengan lapisan
tanah dan perkerasan batu. Panjang
jalan lokal sekunder ini yakni 564
meter.
Berikut klasifikasi jalan lokal
sekunder di Pulau Bungin berdasarkan
peranan jalannya:

2)

Kecepatan rencana > 10 km/jam.


Lebar jalan 6,5 m.
Jalan Lingkungan
Jalan Lingkungan di Pulau
Bungin merupakan jalan umum yang
berfungsi
melayani
angkutan
lingkungan dengan ciri-ciri angkutan
seperti motor sepeda, cidomo, dan
mobil pribadi. Tiga jenis kendaraan
tersebut merupakan kendaraan yang
beraktifitas di Pulau Bungin. Tetapi,
aktivitas yang paling banyak terjadi di
jalan lingkungan yakni aktifitas
pejalan kaki.
B. Dimensi Jalan
1) Dimensi Jalan Lokal Sekunder
Tipe A
Tipe A pada jalan lokal
sekunder
hanya
memiliki
dimensi jalan sebagai rung milik
jalan, dan ruang manfaat jalan.
Tipe B
Sedangkan pada tipe B jalan
lokal
sekunder
memiliki
dimensi jalan sebagai ruang
milik jalan, ruang manfaat jalan,
dan ruang pengawasan jalan.
2) Dimensi Jalan Lingkungan
Tipe A
Dimensi pada tipe A jalan
lingkungan memiliki ruang
pengawasan jalan dan ruang
milik jalan. Namun yang
membedakan dengan tipe yakni
bagian pada pengawasan jalan
yaitu
bangunan
rumah
menghadap jalan.
Tipe B
Sedangkan pada tipe B dimensi
jalannya sama dengan tipe A
namun yang membedakan pada
ruang pengawasan jalan dimana
pada tipe yakni menyampingi
jalan.

4.2. Karakteristik Permukiman


Sebelum Pembangunan Jalan
A. Arsitektur Bangunan Hunian
Sebelum pambangunan jalan pada
tahun 2000 jumlah bangunan hunian
yang ada di Pulau Bungin yakni 593
unit bangunan yang di huni oleh 2.668
jiwa. Bentuk bangunan hunian pada
saat itu masih sangat tradisional yaitu
dengan gaya arsitektur vernakular
atau rumah panggung dengan struktur
bangunan yang terbuat dari kayu dan
bambu. Fungsi ruang pada bangunan
rumah panggung terbagi secara
vertikal dan horizontal.
Gambar 4.1 Fungsi Ruang
Rumah Panggung Secara Vertikal

Kepala

Suci

Badan

Kehidupan

Kaki

Alam

Gambar 4.2 Fungsi Ruang Rumah


Panggung Secara Horizontal

masjid yang berada di tenga-tengah


Pulau Bungin.
Masyarakat berorientasi ke masjid
karena pada saat itu masjid
merupakan bangunan pertama yang
ada di Pulau Bungin sehingga
halaman atau Yar masjid dijadikan
sebagai pusat aktifitas masyarakat
dalam berbagai acara kegiatan
islamih.
Sehingga dapat di ketahui bahwa
orientasi permukiman di Pulau
Bungin pada tahun 2000 memilki
orientasi Central Space.
C. Pola Permukiman
Pola permukiman yang ada di
Pulau Bungin dapat di lihat dari
orientasi permukiman dan tingkat
kepadatan permukimannya.
Jumlah sub-kelompok yang ada di
Pulau Bungin yakni sebanyak 5 subkelompok dan 2 jenis bentuk sifat/ciri
pola permukiman yang berbeda.
Dimana 5 sub kelompok (1,2,3,4,5)
denga pola memusat atau mengarah
terhadp 1 titik. Sehingga dari berbagai
5 sub kelompok tersebut terbentuklah
suatu karakteristik dengan pola
permukiman mengelompok yang
disusun oleh beberapa sub-kelompok
permukiman tersebut. Dari berbagai
identifikas
tersebut
dapat
di
simpulkan bahwa pola permukiman di
Pulau Bungin yakni pola Clustered
seperti di terangkan pada gambar di
bawah ini:

B. Orientasi Permukiman
Orientasi permukiman dilihat dari
arah masa bangunan yang ada di
Pulau Bungin. Dimana masa
bangunan yang ada di Pulau Bungin
semua mengarah ke satu tempat yaitu

Gambar 4.3 Pola Permukiman


Clustered pada tahun 2000

4.3. Karakteristik Permukiman Setelah


Pembangunan Jalan
A. Arsitektur Bangunan Hunian
Jumlah bangunan yang ada di
Pulau Bungin pada tahun 2015
sebanyak 796 unit bangunan hunian
dengan bentuk arsitktur bangunan
rumah panggung berjumlah 714 unit
bangunan dan rumah batu terdapat 82
unit bangunan. Struktur bangunan
rumah batu yang terdiri dari struktur
beton bertulang. Fungsi ruang rumah
batu secara vertikal hanya terdapat
atap atau kepala bangunan dan badan
pada bangunan. Kaki sebagai fungsi
alam pada rumah panggung sebagian
masyarakat sudah tidak begitu di
perhatikan
karena
sebagian
masyarakat ada yang melakukan
pekerjaan darat dan itu merupakan
sebagian dari pemudaran dari
karakteristik permukiman nelayan di
Pulau Bungin.
B. Orientasi Permukiman
Orientasi permukiman setelah
adanya pembangunan yaitu terdapat
orientasi massa bangunan yang
menyusuri sepanjang jalan dan ini
merupakan bangunan-bangunan yang
terbangunan
setelah
adanya
pembangunan jalan. Jadi untuk saat

ini orientasi permukiman di Pulau


Bungin terbagi menjadi yaitu
orientasi permukiman Central Space
dan orinetasi Along The Streets.
C. Pola Permukiman
Pola permukiman seperti di
jelaskan pada pembahsan sebelumnya
bahwa pola permukiman dapat dilihat
dari orientasi masa bangunan dan
tingkat kepadatannya. Jadi pola
permukiman di Pulau Bungin saat ini
terdiri dari pola permukiman
Clustered, Kombinasi, Face to Face.
4.4. Pengaruh Pembangunan Jalan
Terhadap Karakteristik
Permukiman
A. Perubahan Pada Arsitektur
Bangunan Hunian
Terdapat beberapa bangunan
rumah batu di Pulau Bungin ini
disebabkan
karena
adanya
pembangunan jalan ke Pulau Bungin
dan kondisi fisiknya memberikan
kemudahan
dalam
mengakses
material-material bangunan batu yang
dapat di akses melalui jalan tersebut.
Setelah adanya jalan juga
memberi dampak terhadap mata
pencaharian masayarakat nelayan
pada saat ini memiliki mata
pencaharian mengojek baik itu ojek
motor ataupun ojek cidomo dan juga
terdapat masyarakat yang memilki
tingkat ekonomi di atas menengah
membuka usaha sbegai jasa angkutan
material bangunan menggunakan dum
truck. Hal itu ternyata mempengaruhi
fungsi ruang pada bangunan baik
secara vertikal maupun horizontal.
Karena bagian dari fungsi ruang pada
kaki bangunan yang di fungsikan
sebagai tempat peletakan alat dan
moda kendaraan nelayannya sekarang
menjadi
fungsi
ruang
secara

horizontal pada rumah batu yaitu


garasi dan gudang atau tempat parker
dan tempat penyimpanan barangbarang bagi masyarakat tersebut.
Perubahan fungsi tersebut dapat di
lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.4.
Perubahan Fungsi Ruang Secara
Vertikal maupun Horizontal

Ulu
Watang

Garasi
&
Gudang

Aje

B. Perubahan Orientasi Permukiman


Peruabahan orientasi permukiman
terjadi karena adanya pembangunan
jalan tersebut. Dengan adanya jalan
tersebut seperti yang sudah di jelaskan
pada perubahan arsitektur bangunan
hunian bahwa sebagian masyarakat
memilih untuk tinggal menyusuri
jalan sepanjang jalan lokal sekunder
yang ada di Pulau Bungin.
Selain dari pada itu juga terdapat
perubahan pada orientasi bangunan
yang ada pada bagian orientasi
bangunan yang central space, dimana
sebagaian
bangunan
setelah
terbentuknya jalan lingkungan harus
menghadap ke jalan lingkungan
tersebut namun tidak merubah
orientasi persepsi masyarakat yang
tetap berorientasi ke masjid tersebut.
Gambar 4.5. Perubahan Orientasi
Permukiaman

Ket Gambar:
Terbentuk orientasi
along the streets
Perubahan arah
sebagian masa bangunan
C. Perubahan Pola Permukiman
Perubahan pola permukiman
terjadi ketika adanya faktor internal
dan faktor eksternal:
Faktor Internal
Faktor internal yang dimaksud
dalam pembahasan ini adalah
bagian dari diri masyarakat dalam
perubahan orientasi permukiman
(figure ground warna kuning).
Meskipun arah bangunan menuju
ke jalan tetapi pandangan
masyrakat dalam membangun
selalu berharap ke masjid sebagai
tanda
dalam
menghargai
bangunan suci tersebut.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal dilihat dari
pengaruh jalan tersebut bahwa
masyarakat berorientasi ke jalan
sebagai
alasan
untuk
memudahkan dalam mengakses
jalan.
Karena
sebagian
masyarakat desa bungin memiliki
mata pencaharian selain nelayan
seperti jasa angkutan material,
ojek motor, ojek ikan, dll.
Dari kedua faktor tersebut
sehingga pola permukiman yang
terjadi di Pulau Bungin yakni pola

permukiman face to face dan pola


permukiman
kombinasi
yang
disebabkan oleh perubahan arah masa
banguan pada orientasi permukiman.
Gambar 4.6. Perubahan Pola
Permukiman

Ket Gambar:
Terbentuk pola
permukiman face to face
Perubahan pola
permukiman menjadi
pola permukiman
kombinasi
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Jadi sebelum pembangunan jalan
semua bangunan hunian di pulau bungin
yakni rumah panggung yang dibuat dari
kayu atau bambu dengan berorientasi ke
tengah pulau bungin atau orientasi Central
Space dengan pola permukiman yakni
clustered.
Setelah adanya pembangunan jalan
jumlah perkembangan bangunan rumah
panggung tidak 100% karena terdapat
jumlah bangunan rumah batu yakni 82 unit
bangunan dan juga terdpat bangunan baru
yang berorientasi menyusuri jalan atau
Along the streets dengan pola permukiman
Face to Face, Clustered, dan Kombinasi.
5.2. Saran dan Rekomendasi
A. Saran-saran
Dari beberapa perubahan pada
arsitektur
bangunan,
orientasi
permukiman, dan pola permukiman

maka dapat di berikan sedikit arahan


untuk tetap menjaga Desa Bungin
untuk menjadi Desa Tradisional
seperti
arahan
pada
RTRW
Kabupaten Sumbawa. Berikut arahanarahan terkait perubahan karakteristik
permukiman tersebut:
1. Mempertahankan hukum-hukum
adat dalam membangun rumah
panggung di Pulau Bungin.
2. Melestarikan
bangunanbangunan tradisional dalam
upaya pengembangan Desa
Tradisional Bungin.
3. Membuat suatu kebijakan desa
terkait tentang kawasan rumah
batu dan kawasan rumah
panggung.
- Kawasan rumah batu di
daerah sekitar jalan lokal
sekunder dan membangun
menyusuri jalan.
- Sedangkan untuk membangun
rumah panggung hendak
mengikuti orientasi dan awikawik yang berorientasi ke
dalam atau mengelilingi.
B. Rekomendasi
Pengaruh pembangunan jalan ke
Pulau Bungin terhadap karakteristik
permukiman nelayan di Desa Bungin,
tentunya belum mencakup semua
aspek. Hal ini patut dimaklumi karena
dengan segala keterbatasan tentunya
sangat sulit untuk membuat studi/
kajian secara menyeluruh tanpa ada
pembatasan studi dan justru ini
memberikan
peluang
untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut
dengan aspek yang berbeda. Berikut
rekomendasi yang dapat di jadikan
sebagai penelitian lanjutan yakni:

1. Perubahan
karakteristik
permukiman berdasarkan aspek
sosial-budaya.
2. Penataan
Desa
Bungin
Berdasarkan
Karakteristik
Permukikman Nelayan.

Taylor, Lee. 1980. Urbanized Society.


Goodyear Publishing Company.
Inc. Santa Monica. California.

DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M. 2011. Populasi dan
sampel penelitian 4: Ukuran
sampel
rumus
Slovin
Tatangmanguny.wordpress.com.)
Ching. Francis. D.K, 2007, Arsitektur:
Bentuk, Ruang, dan Tatanan,
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Departemen PU. Dirjen Cipta Karya
Direktorat Perumahan (1989).
Pedoman
Pelaksanaan P3D Nelayan. Buku
1, Jakarta.
Dirjen Cipta Karya Departemen PU dan
IAP, 1997 , Kamus Tata Ruang,
IAP:Jakarta
Djanen, Bale, 1994. Analisa pola
permukiman
di
lingkungan
perairan Indonesia, Depdikbud,
Direktorat sejarah dan Nilai
tradisional, Jakarta.
Inayatullah, 1967, Toward a Non-Western
Model of Development, In Lerner,
D., and Schramm, W. (eds):
Communication and Change in the
Developing Countries, Honolulu:
East-West Center Press.
Rapoport, Amos. 1977. Human Aspects of
Urban Form. Pergamon Press, New
York.
Saliya,
Yuswadi.
1999.
Arsitektur
Tradisional Indonesia: Beberapa
Catatan
pendahuluan.
s.l.:
Monumen dan Situs Indonesia.
(ICOMOS). 1999.
Siagian, Sondang P. Teori dan Praktek
Kepemimpinan, Rineka Cipta,
Jakarta 1994

10

Anda mungkin juga menyukai