Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

POLA DAN BENTUK PERSEBARAN PERMUKAAN

DOSEN PENGAMPU : Dra. ROSNI, M.Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

Afiaty Zata Dini (3193131034)


Dafa Rizky Prayoga (3192431006)
Hera Irama (3192431007)
Martha Friska Sinaga (3193131021)
Putra Wijaya Sinaga (3153331018)

KELAS D GEOGRAFI 2019

PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga Makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Dra.Rosni,
M.Pd., selaku Dosen yang telah mengajarkan mata kuliah Geografi Sosial, serta tak lupa kami
ucapkan terimakasih kepada orang tua kami yang telah menyediakan fasilitas. Tanpa jasa kedua
orang tua kami, tugas ini tidak dapat terselesaikan.

Untuk kedepannya, semoga tugas ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan untuk
kepentingan belajar. Tentu kami menyadari bahwa tugas yang kami buat ini memiliki banyak
kesalahan, karena itu dengan penuh kerendahan hati kami mohon maaf. Saran disertai kritik
yang membangun dengan kerendahan hati kami menerima demi kesempurnaan makalah yang
kami buat ini.

Medan, April 2020

Penulis

KELOMPOK 4
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses terbentuknya suatu pemukiman?
2. Apa saja kategori permukiman yang tumbuh secara terencana dan tidak terencana?
3. Apa itu pola permukiman?
4. Apa saja macam-macam pola permukiman?

1.3. Tujuan Makalah


BAB II

PEMBAHASAN

Permukiman merupakan tempat dimana masyarakat terintegrasi dalam satu kesatuan dan
terjadi hubungan kerja sama demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.

2.1. Terbentuknya Suatu Permukiman

Permukiman merupakan suatu proses dimana awalnya manusia berkumpul dan tinggal
bersama pada tempat-tempat tertentu (Marpaung dan Alip, 2009). Kemudian manusia tersebut
hidup secara berkelompok yang didasari oleh hubungan kekerabatan, status kemasyarakatan
ataupun pekerjaan yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, maka terbentuklah suatu area
hunian dengan latar belakang masyarakat yang beragam. Proses terbentuknya suatu area hunian
manusia terjadi melalui proses yang panjang. Proses inilah yang dinamakan sejarah atau asal usul
terjadinya suatu permukiman.
Sejarah mempunyai peran penting dalam menjelaskan suatu kronologis peristiwa yang
terjadi, dimana selalu ada kesinambungan antara kejadian sebelumnya dengan kejadian
selanjutnya. Menurut Kevin Lynch, bentuk permukiman terjadi sangat didukung oleh fungsi
utamanya. Fungsi utama tersebut dipengaruhi oleh ide-ide masyarakat yang menghuni suatu
permukiman. Ide-ide tersebut selalu dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa yang menjadi basis
terciptanya suatu bentuk (Kostof, 1991). Terbentuknya suatu permukiman tidak terlepas dari
tokoh dibalik pendirinya. Pendiri atau pencipta suatu permukiman bisa berasal dari kalangan
apapun. Militer, pejabat pemerintahan, pengusaha, peneliti, penjajah maupun tokoh agama bisa
dikategorikan pendiri suatu permukiman (Kostof, 1991 : 12). Seperti yang dilakukan Olmsted
pada tahun 1869 dalam merancang kawasan desa Riverside di Kota Illinois, Amerika Serikat
(Gambar 2.1).
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Olmsted merancang suatu tapak yang tadinya
terlihat rata menjadi sesuatu yang berkarakter. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari pola
sirkulasi jalannya yang berliku dan penyusunan blok-blok yang memiliki ciri khas dari kawasan
tersebut. Penyusunan blok-blok dan pola sirkulasi jalan yang berliku memberikan kesan romantis
sehingga membuat kawasan tersebut memiliki keunikan. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwa
seorang arsitek dalam merancang suatu kawasan harus memiliki dasar pemikiran. Begitu juga
halnya dengan masyarakat yang menciptakan suatu area hunian yang menjadi tempat tinggal
mereka. Suatu bentuk kawasan ataupun permukiman yang diciptakan oleh seseorang haruslah
memiliki dasar pemikiran yang dapat membuat kawasan tersebut memiliki ciri khas.

Gambar 2.1. Rancangan tapak permukiman


desa Riverside, Illinois

(Sumber:

http://www.fredericklawolmsted.com/riverside.html)

2.2. Permukiman yang Tumbuh secara Terencana dan Tidak Terencana

Pada dasarnya bentuk permukiman terdiri dari dua jenis, yaitu permukiman terencana dan
permukiman tidak terencana. Permukiman terencana merupakan suatu area hunian yang
dirancang oleh seseorang tokoh. Permukiman ini biasanya berbentuk grid, lingkaran atau poligon
dengan sirkulasi jalan berbentuk radial dan berasal dari pusat permukiman. Permukiman tidak
terencana berkembang sesuai dengan berjalannya waktu. Permukiman ini biasanya memiliki
beberapa keunikan antara lain bentuknya yang tidak beraturan, sirkulasi jalan yang berliku, dan
munculnya lorong-lorong di sekitar bangunan (Kostof, 1991:43). Sedangkan terbentuknya
permukiman tidak terencana dapat dijelaskan melalui proses dimana awalnya individu
mendatangi suatu kawasan tertentu dan kemudian bermukim di kawasan tersebut yang
disebutkan oleh F. Castagnoli dalam bukunya yang berjudul Orthogonal Town – Planning in
Antiquity, 1971 (Kostof, 1991: 43). Kemudian individu tersebut akan menghasilkan keturunan
sehingga pada permukiman tidak terencana mayoritas penduduknya memiliki hubungan saudara.

Permukiman yang terbentuk tidak terencana tidak selalu sudah jelas, karena adanya unsur
campuran antara sifat yang statis dan dinamis (Krier, 1997). Bangunan dan aspek fisik yang
mempengaruhi keberadaan suatu massa bangunan dianggap sebagai elemen statis. Jalan sebagai
ruang penghubung merupakan elemen dinamis (Mc Clusky, 1979). Jalan merupakan ruang luar
utama dan komponen dasar dari permukiman (Oktay, 1998). Secara umum, bentuk dari
permukiman tidak terencana menurut Fernandez (2011) adalah bentuk grid teratur, bentuk grid
tidak teratur, bentuk dengan koridor sentral dan bentuk dengan koridor pusat. Bentuk
permukiman tidak terencana dengan grid teratur memliki bentuk grid urban dengan jalan yang
paralel dan melintang dengan dimensi yang hampir seragam. Hal ini biasa terjadi pada lahan
yang relatif datar. Bentuk yang teratur ini mengikuti kondisi lahan dan sangat memungkinkan
untuk menemukan kekacauan konfisgurasi pada lahan yang datar.

2.3. Pola Permukiman

Bentuk kota atau kawasan merupakan hasil proses budaya manusia dalam menciptakan
ruan kehidupannya, sesuai kondisi site, geografis, dan terus berkembang menurut proses sejarah
yang mengikutinya. Menurut Kostof (1991), peran dan perkembangan masyarakat sangat
berpengaruh dalam suatu proses pembentukan suatu kawasan. Sehingga terbentuknya pola suatu
kawasan akan terus berkembang sebagai proses yang dinamis dan berkesinambungan tanpa suatu
awal dan akhir yang jelas.

Kota lahir dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat masyarakat secara
umum yang dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai dengan kondisi alamiah,
sehingga lahir suatu pola kota organik yang berorientasi pada alam, dan mempunyai sosial yang
kuat. Berkembangnya masyarakat baik kuantitas maupun kualitas menuntut terbentuknya suatu
kota yang lebih teratur, agar lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya melalui pola grid.
Sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kedua faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat
tersebut saling dikombinasikan untuk menghasilkan suatu pola yang harmonis antara kehidupan
manusia dan lingkungan alamnya.

Pola permukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik
daerahnya. Kondisi fisik yang dimaksud antara lain meliputi iklim, kesuburan tanah, dan
topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut. Pengaruh
kondisi fisik ini sangat terlihat pada pola permukiman di daerah pedesaan, sedangkan di daerah
perkotaan kurang begitu jelas, mengingat penduduk kota sangat padat, kecuali yang bertempat
tinggal sepanjang aliran sungai, biasanya membentuk pola linear mengikuti aliran sungai.

2.4. Macam – Macam Pola Permukiman

Menurut Bintarto, ada tiga pola permukiman penduduk dalam hubungannya dengan
bentang alamnya, yaitu sebagai pola persebaran pemukiman penduduk dipengaruhi oleh keadaan
iklim, keadaan tanah, tata air, topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di
wilayah tersebut. Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang
alamnya, yaitu sebagai berikut:

1) Pola Pemukiman Memanjang (Linear).


Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang
karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.

Pemukiman penduduk memanjang


a) Mengikuti Jalan
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola
pemukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga
memudahkan pembangunan jalan-jalan di pemukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk
secara alami untuk mendekati sarana transportasi.

Pola pemukiman mengikuti jalan

b) Mengikuti rel kereta api


Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola
pemukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di DKI Jakarta dan atau
daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.

Pola pemukiman mengikuti jalan atau rel kereta api

c) Mengikuti Alur Sungai


Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola
pemukiman ini terdapat di daerah pedal
aman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat
penting bagi kehidupan penduduk.

Pola pemukiman mengikuti alur sungai

d) Mengikuti Garis Pantai


Daerah pantai pada umumnya merupakan pemukiman penduduk yang bermata
pencaharian nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai.
Hal itu untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke
laut.

Pola pemukiman mengikuti garis pantai

1) Pola Pemukiman Terpusat


Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar,
umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan
terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman memusat mengitari mata
air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman memusat
mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya masih
memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola pemukiman ini sengaja
dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.

Pemukiman terpusat di daerah pegunungan

2) Pola Pemukiman Tersebar


Pola pemukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan
daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api penduduk
akan mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal,
morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur pemukiman penduduk akan
tersebar mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata pencaharian penduduk pada
pola pemukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan

Pola pemukiman tersebar


Pola penyebaran penduduk atau population distribusi pattern terutama dipengaruhi oleh :

1. Iklim : curah hujan,suhu,kelembapan udara, musim tumbuh dan taufan dapat


mempengaruhi penyebaran penduduk. Iklim tropic dan iklim gurun merupakan
penghalang bagi akumulasi penduduk, sedang daerah-daerah antara 30 o-35oLS atau LU
merupakan tempat yang disukai.
2. Lokasi : daerah-daerah yang merupakan pusat penduduk ialah tempat-tempat yang dekat
pada travel routes, water waya,trade centres dan raw materials.
3. Topografi : daerah-daerah yang padat biasanya ada di plains, terutama alluvial planis
sebaiknya dengan mountain regions atau plateau.
4. Sumber-sumber alam : kesuburan tanah,tata air yang baik dan mineral yang cukup
menjadi daerah sasaran penduduk.
5. Manusia : dalam dunia yang maju ini manusia bebas dan mampu menentukan pola
persebaran penduduk.

Beberapa pola persebaran penduduk dengan lokasi dan iklim yang berbeda akan dikemukan
dibawah ini :
1. Fenyebaren Penduduk di daerah iklim hujan tropik
2. Di daerah-daerah tropis yang banyak hujannya menyebabkan adanya daerahdaerah
kosong yang luas, misalnya Amazone dan Kongo. Di daerah ini selain faktor hujan yang
menjadi penphalarg bagi perkembangan penduduk, juga serangga yang berbisa atau
penyaldt tropis. Di daerah daerah ini kebanyakan penduduk tinggal di sepanjang sungai
yang merupakan sumber ais baçi kehidupannya dan peruniannya dan menjadi medium
hubungan melalui sungai dengan dunia luar. Apak lain alah di Jawa, Nigeria Selatun,
Sailan dan beberapa tempat di kepulauan Filipina, periduduknya padat, kanna adanya
pengaruh vukanisme dan hujan yang cukup menyuburkan tanahnya.
3. Penyebaran Penduduk Gurun tropis
4. Gurun tropis pada umumnya berpenduduk sangat jarang. Persediaan aimya kurang sekali.
Kerapatan penduduk di daerah Waha dan Oase sangat berbeda-teda, Karakteristik ialah
Mesir Penduduk di luar Delta Ni dan lembah Nil berjumlah sekiter so ribu. sedang
jumlah penduduk Mesir ada 22 juta. Di Australia, daeråh gurun merupakan tanah-tanah
yang kosong. karena curah hujan yang sedikit dan tanah yarg tidak subur. Seluruh
Australia di sebelah barat daya hampir tidak mempunyai nilai lagi bagi orang-orang yang
sudah beradap. Pantai Peru tidak didiami orang kecuali di darah-daerah hujan yang
sempit memanjang dimana terdapat aliran-aliran sungai yang mengalir dari Andes ke
Pasifik. Gurun Atacama di Chili adalah kosong. Demikian juga Gurun Colorado Sanora
hampir tidak berpenduduk, kecuali lembah Imperial.
5. Penyebaran renduduk di dacrh iklim Subtropik-Laut-Tengah.
6. Pada lintang yang sama, ternyata iklim laut tengah lebi jarang penduduknya dari pada
iklim subtropics. Hal ini disebabkan adanya perbedaan waktu musim jatulunya hujan.
Daerah batas sebelah timur jatuhnya hujan pada musim panas, yakni pada waktu mereki
memerlukan air untuk menanam sedang di dacrah balas sebelah barat, hujan jatuh pada
waktu yang tidak diperlukan.
7. Penyebaran penduduk di daerah iklim Sub Polar
8. Penduduk di daerah sedikit, karena :
a. Vegetasi dan hewan yang jarang
b. Perhubungan yang sangat sulit.
c. Banyaknya kematian karena kelaparan
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. 1997. Geografi Sosial. Jakarta: Ghalia.

Bale, Jhon. 1991. Geografi Sosial. Jakarta: U.P. Gajah Mada. BPS. 1996.

Anda mungkin juga menyukai