Anda di halaman 1dari 47

1

KONSTRUKSI TEORI DALAM ILMU ALAM, ILMU SOSIAL DAN


ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
A. Pendahuluan
Salah satu wujud dalam upaya memahami ilmu pengetahuan dari
segi

elemen

epistemologis

dalam

filsafat

ilmu

adalah

mencoba

mengetahui bagaimana teori dikonstruksi. Secara esensial elemen


epistemologis berarti suatu upaya ilmu pengetahuan dalam memahami
cara-cara ilmiahnya dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah melalui
riset terhadap obyek formanya.
Positivisme adalah salah satu doktrin dalam filsafat ilmu yang
meyakini bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat dibangun melalui
observasi terhadap kenyataan-kenyataan empiris. Pengetahuan demikian
semua didasarkan pada data empiris yang dihasilkan melalui metode
saintifik (metode ilmiah).
Model epistemologi yang digagas oleh Auguste Comte tersebut
mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai
dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

Paper ini mencoba menguraikan secara singkat tentang positivisme


ilmu alam dan positivisme ilmu sosial dan menyakut perbedaan diantara
keduannya dan bagaimana filosofi positivisme telah mempengaruhi
praktek ilmu sosial. Serta mencoba untuk menarik beberapa perbedaan

yang tajam antara ketepatan dan kesempurnaan dari ilmu fisika dan
ketidakjelasan dan ketidaktepatan dari ilmu sosial.

Ilmu sosial yang mencoba memahami tindak tanduk manusia akan


mengalami kesulitan ketika hendak membuat ukuran yang pasti dan tetap.
Manusia selalu berubah, tindakannya tidak bisa diprediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak pasti. Dengan pengetahuan mengenai aspek
dimaksud diharapkan bisa menjadi salah satu cara yang dapat
mengurangi ketidakidealan dalam proses pelaksanaan riset.

Untuk dapat membuat perbandingan antara positivisme dalam ilmu


alam dan positivisme dalam ilmu sosial dengan baik, maka perlu dilakukan
uraian terhadap cara pandang keduanya. Cara pandang keduanya perlu
diungkap sebab cara pandang inilah yang menuntun bagaimana sebuah
fenomena alam dan fenomena sosial seharusnya dipandang. Cara
pandang ini oleh Thomas S. Kuhn disebut sebagai paradigma (Kuhn,
2002).
Dengan memahami dasar pandangan yang dilontarkan kaum
positivisme sebagaimana dikemukakan di atas, maka pertanyaan
pentingnya adalah apakah positivisme dalam ilmu alam memang sama
dengan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial?

Bagaimana nasib penelitian ilmu sosial yang corak epistimologis


dan metodelogisnya terhegemoni cara pandang positivistik? Pertanyaan
tragis, ketika sesuatu yang bersifat konteks dan heterogen harus direduksi

dengan data kuantitatif, diisolasi dengan konteks historis dan struktural,


sehingga lahir kebenaran ilmiah. Padahal positivistik muncul dari metode
ilmu alam yang bersandar pada prinsip verifikasi dan observasi. Ironisnya,
metode ini menjadi model untuk hampir ilmu pengetahuan, termasuk ilmu
sosial.

B. Positivisme Ilmu Alam


Dalam ilmu alam terdapat hukum-hukum yang pasti dan umum
serta sifat hukum tersebut berlaku dimanapun dan kapanpun. Maksud dari
definisi tersebut menyatakan bahwa hukum-hukum ilmu alam untuk
mendapatkan kebenaran bisa digunakan oleh bidang lain tanpa tertolak
oleh bidang-bidang yang khusus, karena bersifat umum. Jadi ilmu sosial
bisa mnggunakan hukum-hukum ilmu alam dalam mencari kebenaran
tentang suatu penelitian. Contoh: ilmu geografi selain mempelajari
manusia geografi juga mempelajari tentang peta pembagian daerah bumi
serta keadaan alam di sekitarnya melalui hukum-hukum alam, yaitu
daerah yang dilintangi garis khatulistiwa memiliki iklim tropis, keberadaan
khatulistiwa adalah hukum geografi cabang ilmu sosial sedangkan sebabsebab iklim dikatakan tropis adalah ilmu biologi cabang ilmu alam.
Positivisme yang merupakan salah satu akar dari filsafat modern,
merupakan suatu paham yang hanya menerima ilmu kealaman sebagai
satu-satunya ilmu yang benar. Paham ini menuntut adanya logika, bukti,
dan ukuran yang jelas pada setiap hal yang ada untuk dinyatakan sebagai

suatu ilmu. Positivisme itu sendiri, melahirkan pendekatan positivisik yang


merupakan pendekatan keilmuan dengan penalaran induktif yang terbagi
atas dua metode. Metode itu adalah Metode Siklus Empiri (LHV/LogisHipotesis-Verifikasi) dan Metode Linier.
Premis utama dalam mahzab positivisme adalah bahwa realitas itu
pada dasarnya bersifat objektif, tidak ada dikotomi tampilan (fakta)/
realitas, dan bahwa dunia adalah wujud yang real dalam artian tidak
dikontruksikan secara sosial (Marsh 2010; 26). Dengan kata lain, realitas
yang ada itu eksis bukan karena hasil dari kontruksi sosial, akan tetapi
dibentuk oleh hukum sebab-akibat sehingga memposisikan peneliti dan
objek yang diteliti pada kondisi objektivisme dalam artian terdapat jarak di
antara hubungan keduanya.
Menurut Alan Bullock and Stephen Trombley, (1999) Positivisme
didefinisikan sebagai "pandangan bahwa semua pengetahuan sejati
adalah ilmiah, dan bahwa segala sesuatu pada akhirnya terukur.
Positivisme berkaitan erat dengan reduksionisme, bahwa positivisme
melibatkan pandangan bahwa "entitas dari satu jenis dapat direduksi
menjadi entitas lain, seperti masyarakat terhadap konfigurasi individu, atau
peristiwa mental fenomena saraf. Hal ini juga melibatkan anggapan bahwa
"proses dapat direduksi menjadi peristiwa fisiologis, fisik atau kimia," dan
bahkan bahwa "proses sosial dapat direduksi menjadi hubungan antara
individu dan tindakan atau bahwa "organisme biologis dapat direduksi
menjadi-sistem-fisik.

Positivisme menempatkan metode ilmiah eksperimental sebagai satusatunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala
pengetahuan yang tidak dapat diferivikasi oleh metode itu dianggap tidak
bermakna apa-apa (Heryanto, 2003).
Positivisme adalah anak kandung paradigma Cartesian-Newtonian
yang merupakan master fisika klasik. Dalam pandangan Newtonian,
semua fenomena fisis dapat direduksi menjadi gerak partikel benda, yang
disebabkan oleh kekuatan gaya gravitasi. Pengaruh gaya ini pada partikel
atau benda lain digambarkan secara matematis oleh persamaan gerak
Newton F= m.a, yang kemudian menjadi dasar bagi seluruh mekanika
klasik. Salah satu ciri khas mekanika Newtonian adalah reduksionis.
Newtonian memberikan inspirasi bagi positivis untuk melihat segala
sesuatu

yang

statis.

Positivisme

Newtonian

mengajarkan

bahwa

kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. Misalnya,
tentang panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100
derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran meter,
kilogram, dan seterusnya. Ukuranukuran tersebut adalah operasional,
kuantitatif, terukur dan objektif.
Ilmu alam menyelidiki realitas alam yang berbasis pada eksperimen
di laboratorium sebagai sarana bantu dalam pengamatan dengan objek
yang serba terukur, reduksionis, objektif, kuantitatif dan menolak nilai
(value free). Praktek eksperimen diartikan sebagai suatu situasi artifisial
yang dibangun untuk tujuan menjajagi atau menguji suatu teori.

Ilmu pengetahuan yang diteorikan oleh seorang ilmuwan kadangkadang mempunyai kaitan yang erat dengan pengetahuan yang
ditemukan oleh orang lain. Bisa jadi teori-teori yang sudah ada tersebut
merupakan konstruksi dari dari sebuah pengetahuan yang lebih kompleks
hingga tanpa disadari keberadaan teori-teori tersebut bisa saling
mendukung satu sama lain. Kaitan-kaitan ini tidak hanya yang bersifat
positif saja, kadang-kadang kaitan yang terjadi adalah kaitan yang saling
mematahkan satu sama lain. Dalam dua kasus ini, saling kaitan terjadi
secara objektif diantara bagian-bagian struktur itu, terlepas dari kesadaran
individu terhadap saling kaitan tersebut.
Ilmu alam memiliki objek kajian yang amat luas, mulai dari atom
termasuk benda-benda anorganik hingga skala jagad raya, tempat bagi
tata surya, bintang dan galaksi bertebaran. Dengan demikian memiliki
objek yang statis. Keberadaannya tidak ada hubungannya dengan sikap,
keyakinan atau keadaan subjektif lainnya. Dengan demikian berarti
objektif.
Titik berat objektivitas adalah

pada sifat suatu pernyataan-

pernyataan sederhana yang didalamnya mempunyai sifat tertentu, tidak


perduli apakah individu tersebut menyadari atau tidak, meyakini atau
tidak.
Untuk mempelajari hubungan sebab akibat di alam semesta ini,
tentu amatlah sukar bagi ilmuwan alam ketika harus berhadapan langsung
dengan sistem fisis yang sedemikian besar. Maka diambillah satu jalan

keluar yaitu sistem fisis itu hanya merupakan suatu cuplikan kecil saja dari
keseluruhan. Bahwa cuplikan itu tidak akan sedikitpun mempengaruhi
sistem yang lain. Perubahan satu sistem tidak akan memberi dampak
pada sistem yang lain. Paham ini dikenal sebagai reduksionisme yaitu
prosedur menyederhanakan gejala, data, dsb yang kompleks sehingga
menjadi tidak kompleks.
Reduksionisme adalah suatu kebiasaan untuk memandang sebuah
bagian utuh dari sebuah objek dengan meneliti bagian-bagiannya.
Sebagai contohnya kita meneliti sebuah mesin, kita akan meneliti bagian
bagiannya seperti roda, mesin, generator dan lain sebagainya.
Kita menemukan praktek reduksionisme dalam pengetahuan,
seperti di dalam teori determinisme. Determinisme menganggap bahwa
selalu ada penjelasan atas fenomena dan gejala alam.
Teori-teori ilmu alam dibangun melalui ekperimentasi laboratorim.
Jika kondisi laboratoriumnya sama dan dapat dikontrol secara ketat maka
teori yang tercipta dapat berlaku secara universal.
C. Positivisme Ilmu Sosial
Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari
aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan
sosialnya. Sedangkan ilmu alam adalah ilmu yang objek penelitiannya
adalah tentang benda-benda alam, dengan hukum-hukum yang pasti dan
umum, yang dimana sifat hukum itu berlaku dimanapun dan kapanpun.

Positivisme dalam ilmu sosial dapat dirunut asalnya ke pemikiran


Auguste Comte pada abad ke-19. Comte adalah orang pertama yang
menggunakan istilah sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru
model ilmu-ilmu alam seperti fisika. Auguste Comte berpendapat,
positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan
berdasarkan sains.
Filsafat positivisme semakin kuat mendapat pondasi positivismenya
dalam ilmu sosial melalui Aguste comte (1798-1857), yang sebagian
kalangan menobatkannya sebagai bapak sosiologi karena temuannya
dalam ilmu sosiologi. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu
yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas.
Semangat ini menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal
ruang

dan

waktu. Positivisme

merupakan

usaha

membersihkan

pengetahuan dari kepentingan dan awal dari usaha pencapaian cita-cita


memperoleh pengetahuan, yaitu terpisahnya teori dari praksis. Dengan
terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan menjadi suci dan
universal. Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu social,
mengadopsi saintisme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur
metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subjektifitas. Kaum posotivis
percaya bahwa masyarakat bagian dari alam dan metode-metode empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya.
Kelompok positivis pun kebanyakan dari kalangan orang-orang
yang progresif yang bertekad mencampakan tradisi-tradisi irasional dan

memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih


rasional. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik
yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang
saling tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini maka metode
penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat
merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Sistem
pengetahuan mitologis irasional sudah tewas jauh sebelum abad ke-20,
dan dengan perkembangan ilmu filsafat yang bersifat ilmiah, comte
melihat kemajuan intelektual yang logis yang melewati ilmu-ilmu
sesudahnya, yaitu teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya
sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang bersifat positif.
Positivisme diawali oleh A. Comte: 3 tahap pemikiran manusia:
teologis, metafisik dan positif. Positivisme berdasarkan ontologi realisme:
realitas ada dalam kenyataan yang berjalan sesuai dg hukum alam.
Obyek dan pernyataan ilmu hrs memenuhi syarat: observable, repeatable,
measurable, testable, predictable.
Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial Sejalan dengan perspektif organiknya,
Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara
bagian-bagian masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya
stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki
sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali.

10

Analisa comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua


fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris
dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan
keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normative dengan
menggunakan

metode-metode

yang

bukan

tidak

sesuai

dengan

postivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek.


Comte lebih tertarik untuk menjelaskan perkembangan evolusi
daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial. konsensus terhadap
kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu
merupakan dasar utama solidaritas dalam masyarakat. Karena dalam
sejarah manusia dominan dipengaruhi oleh cara berpikir teologis
sehingga tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama
solidaritas sosial. Selain itu agama mendorong individu untuk disiplin
dalam mencapai tujuan serta mengatasi kepentingan individu dan
mempersatukan emosional individu dalam keteraturan sosial. Ikatan
emosional ini didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi
bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan.
Singkatnya secara tradisional Agama sudah merupakan institusi
pokok yang mementingkat altruisme lebih daripada egoisme. Pengaruh
masa lampau dalam membentuk opini merangsang individu untuk
bertindak spontan menurut cara-cara yang perlu untuk mempertahankan
keteraturan social. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian

11

pekerjaan dan kerjasama ekonomi. Individu-individu menjalankan kegiatan


ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya.
Partisipasi

individu

dalam

kegiaan

ekonomi

menghasilkan

kerjasama, kesadaran saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan


social baru yang kemudian meningkat bersama industrialisasi, dan
bertambahnya

spesialisasi

yang

kemudian

mendorong

individualisme. Dilain pihak ada bahaya individualisme karena meningkat


pembagian kerja yang tinggi, akan sangat ditekan dengan merugikan
solidaritas sosial. untuk mencegah timbulnya disintegrasi pembagian
kerja, pemerintah harus mengatur pelbagai bagian dalam masyarakat itu.
Pemerintah itu sendiri, dengan pembagian antara pemimpin dan pengikut,
merupakan satu manifestasi pembagian kerja. Comte mengemukakan
bahwa pemerintah merupakan suatu gejala social alamiah yang dapat
diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitif.
Tetapi kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi
lebih kompleks karena pembagian kerja.
Meluasnya
individualisme

pemerintahan

yang

semakin

ini

perlu

bertambah

untuk
yang

mengimbangi

muncul

karena

meningkatkan pembagian kerja. Dalam analisa mengenai pembagian


kerja dan dalam analisanya mengenai fungsi agama yang bersifat
interogatif,
Durkheim.

Comte

mendahului

beberapa

sumbangan

utama

dari

12

Positivisme sering juga disamakan dengan raw empiricism,


khususnya dengan penggunaan hard methods dan analisis data
kuantitatif. Bagi Comte, jika benar bahwa setiap teori harus berdasarkan
fakta yang telah diobservasi, maka benar pula bahwa fakta tidak dapat
diobservasi tanpa petunjuk beberapa teori.
Dalam pengumpulan data, ada empat cara yang diperkenalkan
Comte, yakni observasi, eksperimen, perbandingan, dan analisis historis.
Positivisme Comte selalu berisi garis dasar advokasi, science superior dari
sistem pemikiran lain dalam memperbaiki struktur dan dinamika
masyarakat. Hukum dari dinamika ini bisa menyediakan alat-alat untuk
merekonstruksi masayarakat.
Herbert Spencer sepakat dengan Comte yang menyatakan ilmu
pengetahuan berasal dari observasi fakta. Positivisme Spencer dapat
diaplikasikan ke dalam dua komponen: metodologi dan substantif.
Menurut Spencer, fakta-fakta sosial yang diinduksikan dari data yang
tersedia di beragam populasi dan analisis superorganiknya komparatif
menunjukkan tipe masyarakat yang berbeda. Spencer memang terkenal
dengan analogi organismik dan fungsionalismenya. Dia berargumen
bahwa data yang dikumpulkan dalam ilmu seharusnya secara langsung
relevan

dengan

realitas

sosial.

Pengumpulan

dan

analisis

data

semestinya tidak dibiaskan oleh komitmen ideologi dan hipotesis yang


menjaga peneliti dari subyektifitas.

13

Positivisme Comte dan Spencer ekuivalen dengan teori umum


melalui induksi dari generalisasi empiris. Comte melihat positivism
mendukung tujuan humanistik dan jika perlu menentang status quo. Ini
ditentang oleh Ernst Mach (1893) yang berargumen science seharusnya
tidak berspekulasi dengan yang tidak bisa diamati, menolak jenis-jenis
natural laws yang dikemukakan positivists.
Dalam kerangka postmodern, positivisme dipandang sebagai
epistemologi yang gagal. Bagi penggagas critical theory, positivisme
dilihat tidak hanya sebagai inhumane, tetapi juga sebagai instrumen
dominasi dimana science digunakan untuk melegitimasi status quo dan
sistem kekuasaan yang ada.
Positivism berupaya menjadikan social science sebagai ilmu yang
memiliki tingkat saintifik tinggi. Jalan yang ditempuh adalah dengan
penelitian sosial secara kuantitatif dan menggunakan eksperimen, survei,
serta data-data statistik dalam pengumpulan data. Di sini kaum positivist
memisahkan science dan common sense dengan tegas. Science dengan
teknik dan metodologi ilmiahnya dapat menghasilkan pengetahuan valid
yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Sementara, common sense
tidak akan bisa menghasilkan pengetahuan ilmiah. Sejalan dengan itu,
positivisme juga mengharuskan peneliti atau ilmuwan obyektif dan bebas
nilai; tidak dibayangi ideologi yang dianutnya.

14

Tetapi kalau dilihat dari perspektif ilmiah (positif)

Melihat sebuah

problematika yang dihadapi, menuai sebuah tanda tanya yang cukup


rumit, yaitu bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam
masyarakat positif di masa yang akan datang, dengan satu dasar tradisi
pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme. Dengan
agak sederhana Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi
masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan agama
baru agama humanitas dan mengangkat dirinya sebagai imam agung.
Hal tersebut reaksi dari sebuah aspek yang meliputi suatu analisa
objektifnya mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat; fase
kedua ini meliputi usaha meningkatnya keteraturan sosial dengan agama
humanitas

sebagai

cita-cita

normatifnya,

ini

merupakan

pokok

permasalahan utama dalam bukunya yang berjudul System of Positive


Politics.. Walau demikian ada banyak ahli yang mengkritik gagasannya ini,
salah satunya mengatakan bahwa Comte sudah gila ketika dia memulai
karyanya ini.
Mungkin karena disebabkan perubahan sikap dalam emosi Comte
yang dianggap sangat merugikan mutu karya intelektualnya.

Dalam

menggambarkan System of Positive Politics, cooser menulis: pada


halaman-halamannya, Comte sekarang mengagungkan emosi lebih
daripada

intelek,

perasaan

melebihi

akal

budi;

terus

menerus

mengemukakan kekuasaan yang menyembuhkan dari kehangatan wanita


untuk humanitas yang terlalu lama didominasi oleh kekerasan intelek pria.

15

Disamping itu, Samuel dengan terang-terangan mempertentangkan


kedua bukunya dengan mengatakan : antara Course dan System de
politique positive, Comte keluar dari kesengsaraan yang mendalam
kesuatu cinta yang mistik yang demikian menguasainya sehingga muridmuridnya

sendiri

cemas

dan

orang

luar

mencemoohnya. Agama

Humanitas Comte merupakan suatu gagasan utopis untuk mereorganisasi


masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan jadi ratu ilmu pengetahuan
(seperti teologi diabad-abad pertengahan).; hal itu memungkinkan suatu
penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif
dan mengenai hokum-hukum keteraturan dan kemajuan sosial.
Gagasan Comte mengenai suatu masyarakat positivis dibawah
bimbingan moralitas Agama humanitas

semakin terperinci. Ditandai

dengan bentuk sebuah kalender baru yang dia susun dengan hari-hari
tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain-lain yang
sudah berjasa dan bekerja demi kemanusiaan. Disamping itu akan ada
ritus dan doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan
memasukkannya ke dalam the gret being of humanity. Ada juga kultus
terhadap kewanitaan dengan dirayakannya perasaan altruistik wanita.
Comte sendiri sebagai imam agungnya berlutut didepan altarnya sendiri
(sebuah kursi mewah) sambil memegang seikat rambut kepala Clothide
de vaux, dan dia mengusulkan supaya kuburnya merupakan tempat
ziarah.

16

Apapun kekurangan dan ekses gagasan Comte yang terperinci itu


untuk mereorganisasi masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah
yang dia hadapi sungguh penting, baik menurut titik pandang intelektual
maupun moral. Masalah inipun merupakan dilemma bertahun-tahun
lamanya antara akal budi lawan emosi, pemahaman intelektual lawan
tanggung jawab moral, keteraturan lawan kemajuan. Walaupun banyak
pertanyaan yang menyertainya, tidak mungkin kita dapat meninjaunya dari
satu perspektif ilmuah (positif) saja, masalah-masalah itu tentunya dapat
dibicarakan menurut perspektif humanistik. Ahli ilmu social sekarang yang
berpegang pada cita-cita suatu imu social yang bersifat objektif, analitis,
didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami oleh nilai-nilai moral
humanistic, setia pada impian bapak sosiologi itu.
Positivisme dalam ilmu sosial banyak dipengaruhi oleh filsafat
Newtonian dan Cartesian yang bersandar pada prinsip verifikasi dan
observasi. Ironisnya, metode ini menjadi model untuk hampir semua ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu sosial. Proses-proses sosial tidak lagi
dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai
suatu peristiwa alam dimana untuk menemukan hukum-hukum sosial
kemasyarakatan

dapat

mempergunakan.metode-metode

penelitian

empiris sebagaimana metode ilmu alam.

Semangat Positivisme tidak hanya berkutat di ilmu pengetahuan


alam semata, namun juga pada ilmu tentang masyarakat, atau ilmu sosial.

17

Jadi bisa dikatakan bahwa melalui perkembangan teknologi dan


positivisme pengetahuan, manusia bertekad agar masyarakat dapat
dikontrol sebagaimana dalil-dalil ilmu alam.

Asumsi inti positivisme menyertakan: bahwa ilmu sosial identik


dalam logika untuk ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan yang
melibatkan pencarian hukum umum tentang fenomena empiris, dan
bahwa penemuan dan penjelasan tergantung pada suatu diuji dulu secara
empiris dari fenomena dipertanyakan.

Ilmu alam menjadi model bagi orientasi ilmu tentang masyarakat


yang sebelum Comte disebut sebagai fisika sosial, atau ilmu
pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak lagi
dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai
suatu peristiwa alam (L. Laeyendecker, 1983:137).

Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit


perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat
dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga
alam. Maka dari itu karena adanya sedikit perbedaan, dan itupun
perbedaan tersebut masih diragukan, membuat paham positivisme
menyatukan ilmu-ilmu dalam aturan-aturan yang sama. Aturan-aturan
tersebut dikembangkan oleh ilmu alam, karena ilmu alam mengikuti alur
hukum alam tanpa ada alur pemikiran manusia. Sehingga illmu sosial

18

mengikuti aturan-aturan ilmu alam yang dijadikan sebagai aturan-aturan


umum dari kedua ilmu.

Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis.


Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat
langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian
dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu
alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan
pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai
(Anthony Giddens, 1975: 3-4).

Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha


menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan
pemihakan,

atau

memahami

realitas

(verstehen)

kemudian

memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini.


Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga,
dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi
kemungkinan perubahan ke masa depan (F. Budi Hardiman, 1990:58).

Dasar-dasar

positivisme

itu

pun

kemudian

terbukti

rapuh.

Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian


metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah.
Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis,
tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu
muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak

19

pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai


tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual.
Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik
Barat maupun Timur, terhadap positivisme.
Pemikiran

positivisme

pada

awalnya,

khususnya

ketika

ia

mempengaruhi studi ilmu sosial saat ini, diketemukan dalam karya David
Hume Treatise of Human Nature, ia mengatakan bahwa pengetahuan
yang

didasarkan

pada

pengalaman

adalah

bersifat

objektif

dan

pernyataan-pernyataan secara faktual akan mempunyai makna manakala


diverifikasi melalui pengamatan empiris. Gagasan ini kemudian menjadi
terkait dengan positivisme logis. Dan akhirnya memberikan landasan
epistimologis bagi ilmu prilaku kontemporer (Chilcote 2010; 89). Kemudian
positivisme mendapatkan posisi puncaknya pada positivisme Aguste
Comte, yang bersama-sama dengan Saint Simon, terlibat dalam
pembentukan satu ilmu baru tentang masyarakat. Comte membangun
suatu sistem yang didasarkan pada tiga tahapan pemikiran filosofis,
teologis, metafisis, dan positivis. Dalam tahap ketiga orang dapat
mengamati dan memahami fakta-fakta dengan kepastian empiris (Chilcote
2010; 89). Lebih lanjut menurut Jonathan Turner, positivisme Comte
menekankan bahwa semesta sosial menerima perkembangan hukumhukum abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati,
dan hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan

20

umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan relasi naturalnya


(Ritzer 2005; 20).
Lebih lanjut mahzab positivisme dengan mengkuantifikasi data dan
mencapai perumusan deduktif-nomologis, ingin menjadikan ilmu-ilmu
sosial yang tidak sekadar sebagai ilmu yang murni untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, akan tetapi ilmu yang bisa meramalkan dan mengendalikan
proses-proses sosial, sebagaimana semboyan Comte, savoir pour prevoir
(mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini, ilmu pengetahuan
diharapkan dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang
rasional (Hardiman 2003; 23).
Logika Ilmu sosial sangat berbeda dengan ilmu alam. Obyek ilmu
sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap.
Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di
luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu
Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel
di luarnya.
1. Positivisme (Durkheim-Newtonian)
Comte mempunyai pengaruh besar tehadap Durkheim. mile
Durkheim walaupun tidak setuju dengan detail-detail dari filsafat Comte
namun

dia

mempertahankan

metodenya

dan

memperbaikinya,

mempertahankan ilmu sosial sebagai lanjutan dari ilmu alam dalam


kegiatan manusia

21

Hubungan Durkheim dengan positivism bersifat mendua. Pada


awalnya Durkheim dianggap sebagai pewaris positivism yang mempelajari
apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial yang tercermin dalam
karyanya yang berjudul suicide. Akan tetapi kemudian Durkheim
dipandang

telah

meninggalkan

positivism

dan

mengembangkan

pandangan sosiologi tersendiri ketika ia mulai tertarik terhadap penyebab


yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri dikalangan
kelompok, dan dikalangan golongan individu yang berbeda-beda.
Durkheim ingin menunjukkan kegunaan pandangannya tersebut dalam
studi ilmiah tentang bunuh diri (Ritzer, George dan Douglas J. Goodman
(2005).
Penganut paham positivisme (Durkheimian) meyakini bahwa hanya
ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan,
demikian juga alam.

Emile Durkheim sosiolog Perancis menguraikan satu versi positivisme


daam karyanya Rules of the Sociological Methods (1895) yang kemudian
menjadi rujukan bagi periset ilmu sosial yang beraliran Positivisme.

Keyakinan dasar aliran positivisme berakar pada paham ontologi


realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan
dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Penelitian
berupaya mengungkap kebenaran realitas yang ada dan bagaimana

22

realitas tersebut senyatanya berjalan. Kaum positivis percaya bahwa


masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan.

Menurut Durkheim, sekalipun Fakta sosial berasal dari luar


kesadaran individu, akan tetapi oleh periset dalam penelitian positivisme,
informasi kebenaran itu dinyatakan kepada individu yang dijadikan
responden penelitian. Periset harus menjaga hakikat realitass seperti apa
adanya dan menjaga objektivitas temuan, sehingga secara epistemologis
menempatkan periset dibelakang layar. Tetapi secara metodologis,
seorang periset dituntut untukn menggunakan metodologi eksperimen
empirik atau metode lain yang setara. Hal itu dimaksudkan untuk
menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam
menggambarkan keadaan yang sebenarnya, mencari derajat pesisi yang
tinggi, melakukan pengukuran yang akurat, dan juga menguji hipotesis
melalui analisa atas angka-angka yang berasal dari pengukuran.

Durkheim menganjurkan kepada ilmuwan sosial untuk mencari


fakta-fakta atau gejala-gejala sosial dan memandangnya sebagai barang
sesuatu (thing) yang memberikan pengaruh eksternal terhadap tingkah
laku manusia.

Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial yakni adanya


anggapan bahwa:

23

1. gejala sosial merupakan bagian dari gejala alami,


2. ilmu sosial juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau
generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
3. berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada
dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu
diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Akibatnya, ilmu sosial menjadi
bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan
ilmu alam dan ilmu pasti. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
dijelaskan secara matematis dan fisis.

Kajian ilmu sosial seharusnya tidak berhenti pada prinsip linier


dalam mengungkap fenomena, tetapi harus diletakan pada wilayah sosial
yang lebih luas sebagai bagian dari dialektika. Artinya seorang peneliti
ilmu sosial tidak boleh berhenti pada fakta, namun harus menjelaskan
makna di balik fakta. Jika dikaitkan dengan teks sebagai representasi
fakta, maka haruslah diungkap konteks historis teks sehingga melahirkan
pemahaman yang menyeluruh.

Positivisme dalam ilmu alam jelas berbeda dengan positivisme ilmu


sosial. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga
pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah
tidak tepat arah.
Teori-teori dalam ilmu sosial dibangun sangat terkait dengan
dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Teori yang tercipta

24

dengan demikian tidak universal sebagaimana klaim positivis Demikian


pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu
melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu.
Ilmu sosial dibangun dan dikembangkan dalam ranah sosial yang
memiliki pola dan keteraturan tertentu yang cenderung inkonsisten jika
diterapkan pada latar sosial yang berbeda, ilmu sosial tidak memiliki alat
ukur yang bersifat universal, dengan demikian lebih bersifat subyektif dan
tidak bebas nilai karena tumbuh di dalam setting sosial tertentu.
Berdasarkan dua analisis perbandingan di atas dapat dikenali
dengan mudah bahwa positivisme dalam ilmu sosial memiliki ciri yang
tidak sama dengan positivisme dalam ilmu alam.

2. Post-positivisme
Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical
realism memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila manusia dapat
melihat realitas tersebut secara benar.

Oleh karena itu, secara

metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup,


tetapi harus menggunakan triangulasi yaitu penggunaan bermacammacam metode, sumber data, peneliti, dan teori (Denzin dan Guba,
2001:40).
Postpositivisme berdasarkan filsafat realisme kritis (critical realism):
realitas memang ada sesuai dengan hukum alam, tetapi realitas tidak

25

dapat dilihat secara benar oleh manusia. Metode eksperimen dan


observasi belum cukup, perlu triangulasi (penggunaann berbagai metode,
sumber data, peneliti dan teori). Hubungan subyek dan obyek bersifat
interaktif, subyek harus senetral mungkin.
Pada dasarnya aliran post-positivisme hadir untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang dilakukan positivism terdahulu dalam ilmu
sosial. Di antara usaha kaum post-positivis adalah mendudukkan
pembentukan atau pembaharuan dalam metodologi penelitian yang
digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu bermunculanlah paradigma-paradigma berpikir baru
dalam ilmu pengetahuan, misalnya paradigma interpretativism (Weber),
Ethnography, critical theories, dan lain sebagainya.
Salah satu tokoh penting dalam aliran post-positivisme adalah Max
Weber. Weber tampil dengan menawarkan

pendekatan

terhadap

kehidupan sosial yang lebih bervariasi. Max Weber memasukkan problem


pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya. Ia menyebut perspektifnya
sebagai sosiologi interpretative. Weber menolak asumsi segala macam
makna obyektif yang menjadi ciri khas posistivisme Durkheimian. Weber
hanya membatasi pemahaman dan penafsiran makna pada niat subyektif
aktor.

Fenomenologi asal usulnya dari Max Weber. Kaum fenomenologi


berkepentingan memahami tingkahlaku manusia menurut kerangka

26

acauan dari sang pelaku perbuatan itu sendiri. Kaum fenomenologi


meneliti bagaimana dunia ini dihayati. Bagi mereka, realitas yang
terpenting adalah bagaimana manusia melukiskannya atau menghayati
dunianya.

Karena kaum positivis dan fenomenologi mendekati persoalan-persoalan


dengan cara yang berbeda dan mencari pemecahan persoalan yang
berbeda pula, maka jenis riset mereka secara metodologi juga berbeda.
Kaum positivis meneliti fakta-fakta dan sebab-sebab melalui metodologi
seperti kuisioner, pencatatan barang-barang, dan analisis demografi yang
menghasilkan

data

kuantitatif

(jumlah,

angka-angka)

yang

memungkinkannya untuk membuktikan hubungan anatara variabel secara


statistik. Sehingga Kaum positivis dalam risetnya, harus melakukan
pengukuran yang akurat, dan juga menguji hipotesis melalui analisa atas
angka-angka yang berasal dari pengukuran.

Seiring perekembangan ilmu-ilmu sosial pendekatan positivistik-kuantitatif


mengalami

pergeseran.

Faktor

utamanya

adalah

tuduhan

bahwa

penelitian kuantitatif selain tidak tuntas memotret persoalan sosial yang


berkembang juga karena postulat obyektifitas dan distansi periset obyek
studi yang menjadi nafas penelitian kuantitatif telah menghalangi sekian
banyak sarjana untuk terlibat aktif dalam proses perubahan sosial yang
membuat periset tidak berdaya mengunyah data-data sosial lantaran tidak
memiliki legalitas keilmuan yang memadai.

27

Deddy Mulyana (2003) faktor yang mendorong pergeseran pandangan


tersebut karena :

1. Gugatan para ilmuwan perihal daya eksplanatori pendekatan


kauantitatif-positivistik terhadap objek kajian.
2. Laju perubahan sosial yang begitu cepat memerlukan pendekatan
dan model studi yang lebih kontekstual dan handal.
3. Kajian kuantitatif juga dianggap menghassilkan misrepresentasi
terhadap subjek-subjek kajiannya.

Namun pergeseran minat tidak serta merta menempatkan pendekatan


kualitatif keposisi yang semula diduduki positivisme-kuantitatif, tetapi
sebaliknya paradigma kualitatif juga masih dipandang tidak valid. Dan
temuan dan kesimpulan studi yang dihasilkan paradigma kualitatif lebih
disebut kritik ketimbang teori.

Penedakatan

kualitatif

secara

generik

dimaknai

sebagai

pendekatan dalam penelitian yang menggunakan interpretasi sebagai


cara memahami dunia (Denzin & Lincoln, 2005). Pendekatan ini berbeda
dengan pendekatan positivisme secara paradigmatik.

Dalam literatur metodologi penelitian sosial, pendekatan kualitatif sering


disebutkan

dengan

istilah

yang

beragam,

seperti

constructivist,

naturalistic, interpretive, postpositive, dan postmodern (Brower; Abolafia; &


Carr, 2000, Creswell, 1994). Pendekatan ini berkembang pada mulanya

28

sebagai kritik terhadap pedekatan positivisme dalam ilmu sosial pada


akhir abad 19 dan awal abad 20, serta sebagai reaksi dari behavioralisme
abad ke-20.

3. Mix Methode
Setiap metode penelitian memiliki keunggulan dan kelemahan.
Oleh karena itu metode kualitatif dan metode kuantitatif keberadaannya
tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi.
Metode kuantitatif dikenal juga dengan nama metode positivistik
sedangkan metode kualitatif

dikenal dengan nama metode post-

positivistik.
Ditengah maraknya positivism dan post-positivisme tersebut
muncullah

sosok

Mix

Methode

yang

seperti

penengah,

tidak

membenarkan namun juga tidak menyalahkan baik posistivisme maupun


post-positivisme.
Karena paradigma metode positivis dan post-positivis berbeda
maka sangat sulit menggabungkan metode kedua metode tersebut
digunakan dalam satu proses penelitian yang bersamaan. Tetapi dalam
penelitian

kuantitatif

dapat

menggabungkan

penggunaan

teknik

pengumpulan data (bukan metodenya), sepertinya penggunaan triangulasi


dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif misalnya, teknik

29

pengumpulan data yang utama misalnya menggunakan kuesioner, data


yang diperoleh adalah data kuantitatif. Selanjutnya untuk memperkuat dan
mengecek validitas data hasil kuesioner tersebut, maka dapat dilengkapi
dengan observasi atau wawancara kepada responden yang telah
memberikan angket tersebut, atau orang lain yang memahami terhadap
masalah yang diteliti. Bila data antara kuesioner dan wawancara tidak
sama, maka dilacak terus sampai ditemukan kebenarannya data tersebut.
Bila sudah demikian maka proses pengumpulan data seperti triangulasi
dalam penelitian kualitatif..
4. Administrasi Negara (post-positivis)
Studi administrasi negara pada dasarnya menguak tindakantindakan yang dilakukan pemerintah, yang dilakukan melalui keteraturan
(regularitas) dan pola (Pattern) yang secara khusus didesain dan hanya
berlaku untuk suatu lingkungan pemerintah atau publik.
Dasar pemikiran untuk administrasi negara hampir senantiasa
berupa manajemen yang lebih baikdengan menambahkan keadilan sosial
pada sasaran dan pemikiran klasik. Keadilan sosial menekankan suatu
pendekatan terhadap studi mengenai administrasi negara dan pendidikan
administrasi

negara

yang

bersifat

interdisipiliner,

terapan,

dan

memecahkan masalah, serta secara teoritis sehat.


Salah satu perhatian pokok administrasi negara baru adalah
perlakuannya yang adil terhadap warga negara. Keadilang sosial
berangkat dari patokan-patokan ini. Keadilan sosial mencakup kegiatan-

30

kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan politik dan


kesejahteraan ekonomi minoritas-minoritas ini. Suatu keterikatan asasi
pada keadilan sosial akan berarti bahwa administrasi negara baru
berusaha untuk mematahkan anggapan Dwight Waldo bahwa lapangan
tidak pernah secara memuaskan menampung implikasi keterlibatannya
dalam politik maupun penentuan kebijakan. Dikotomi administrasi
kebijakan tidak pernah mempunya hak empiris karena amat jelas bahwa
sebenarnyalah para administrator justru melaksanakan dan menentukan
kebijakan.
Administrasi negara baru berusaha menjawab pertanyaan teoritis
dengan cara ini: para administrator tidaklah netral. Mereka harus terikat
sepenuhnya pada manajemen baik maupun keadilan sosial sebagai nilainilai, sasaran-sasaran yang ingin dicapai, atau pun dasar-dasar pemikiran.
Administrasi negara baru berusaha untuk mengubah kebijakankebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi
keadilan sosial tapi tidak berarti menuntut perubahan, dan tidak berarti
menganjurkan perubahan dalam peranan relatif para administrator,
eksekutif, legislator, atau pengadilan dalam bentuk dasar konstitusional.
Birokrasi tradisional terbuka mempunyai kemampuan stabilitas, bahkan
ultrastabilitas. Untuk memperoleh stuktur yang dapat diubah, administrasi
negara baru cenderung untuk mencoba dan menganjurkan perubahan
bentuk organisasi birokratis. Pada pokoknya pengertian tandingan
terhadap birokrasi menjadi ciri khas administrasi negara baru.

31

Perangkat organisasi yang lain seperti sistem pemograman


perencanaan-penganggaran (PBBS= programming planning-budgeting
system), dan analisa kebijakan yang disajikan dari segi manajemen
sebagai strategi dasar dipandang meningkatkan perubahan menuju
keadilan sosial. Dan sebaliknya para ahli ekonomi dan ilmu politik
memandang

PPBS

mengancam

konsepsi

mereka

mengenai

pemerintahan demokratis. Perubahan adalah hal yang mendasar bagi


administrasi negara baru.
Setiap pemikiran tentang administrasi negara harus bermula
dengan ilmu politik. Karena ilmu politik adalah disiplin induk dan hampir
semua perintis teori administrasi negara adalah ahli ilmu politik. Ilmu politik
khususnya teori politik telah menjadi fokus pertimbangan yang paling
lengkap dari pemikiran filosofis dan normatif yang sekarang nampaknya
sentral dalam administrasi negara. Namun administrasi negara telah
senantiasa lebih sekaligus kurang daripada ilmu politik.
Pergeseran administrasi dari ilmu politik terlihat dalam didirikannya
sekolah-sekolah masalah masyarakat dan kebijakan negara. Sarjanasarjana administrasi negara bahkan nyata-nyata menandai arti pentingnya
pergeseran administrasi negara menjauh dari ilmu politik. Dalam instansi
pemerintahan, administrasi negara telah lebih dari ilmu politik karena
pejabat-pejabat biasanya para spesialis dari disiplin-disiplin lain dan
mempunyai latar belakang pendidikan administrasi negara. Kebanyakan
ahli-ahli ilmu politik mengakui kebesaran dan kekuatan birokrasi. Logis

32

bagi mereka bahwa birokrasi merupakan subyek penting bagi mereka


yang mempelajari pemerintahan.

Untuk memahami administrasi negara moderen orang harus berkelana di


luar ilmu politik, atau dengan menyatakan bahwa administrasi negara
bukanlah suatu ilmu sosial pada masalah-masalah kemasyarakatan,
melainkan sebuah mata pelajaran, profesi, dan lapangan. Administrasi
negara menjembatani disiplin-disiplin dan mengambil bagian yang relevan
dari disiplin itu serta menerapkannya pada masalah-masalah publik yang
berfungsi

sebagai

memberikan

serangan

intelektual

yang

paling

menggairajkan pada administrasi negara.


Penerbitan The Structure of Scientific Revolutions karya Thomas
Kuhn menyebabkan ketergesaan untuk mendapatkan paradigma dalam
setiap lapangan ilmu sosial. Para ahli politik berpandangan bahwa
lapangan administrasi negara secara teoritis gersang. Kekayaan teori
administrasi negara kelihatannya lebih besar dari kekayaan kebanyakan
bidang ilmu politik yang lain terutama karena ilmu administrasi negara
adalah suatu lapangan yang suka meminjam seperti: sosiologi, psikologi
sosial, ekonomi, dan disiplin lain. Ada lima model dalam ilmu administrasi
negara

moderen

yang

digunakan

untuk

mengorganisir

dan

mengkategorikan administrasi negara yang diuraikan dari sudut teori


dalam pengetahuan yang positiv dan mempunyai dasar empiris. Lima

33

model dasar dalam administrasi negara ontemporer disebut model


birokrasi klasik.
Administrasi Publik dan kaitannya dengan Studi Analisis Kebijakan
bisa dijejak sejak tahun 1930-an. Doktrin klasiknya berawal dari dikotomi
administrasi dengan politik. Jika ditelusuri, gagasan itu bersumber dari
Essai

Woodrow

Wilson

yang

berjudul

Introduction

To

Study

Administration (1887). Dalam essai tersebut, Wilson sebenarnya ingin


memfokuskan kajian Ilmu Politik ketimbang memaksimasi keyakinan
politis yang berkembang pada saat itu. Wilson berargumen Its getting
harder to run a constitution than to frameone. Keinginan Wilson adalah
memfokuskan

tidak

hanya

masalah

personal

tapi

juga

masalah

organisasional dan manajemen secara umum.


Gagasan Wilson berkembang dan mendapat apresiasi dari Frank J.
Goodnow yang menulis buku berjudul Politics and Administration (1900).
Argumen dikotomi ditawarkan dan menjadi satu suara paling signifikan
bagi gerakan perubahan progresif munculnya Ilmu Administrasi. Goodnow
berargumen the expression of the will of the state and the execution of
that will. Goodnow juga menambah, bahkan partai politik pun harus
memiliki administrasi. Meski ide Goodnow tidak gamblang dan jelas jika
dikaitkan tindakan pemerintah, tapi ide itu menjadi sumbangan berharga.
(Goodnow (1900) dalam Shafritz & Hyde, 1991:25-32). Lebih lanjut,
sarjana awal lain, di tahun-tahun itu, adalah Willoughby. Willoughby
berpendapat bahwa administrasi publik memiliki aspek universal yang bisa

34

diaplikasikan di seluruh cabang pemerintahan. Karyanya berkaitan


perubahan sistem keuangan mengawali kreasi sistem keuangan dalam
pemerintahan negara. (Shafritz, 1991; Islamy, 2003; Henry, 1995)
Suara Wilson, Goodnow, Willoughby, dan Taylor (lebih dikenal di Ilmu
Manajemen) memberi sumbangan besar dan menjadi demam di
perkembangan Ilmu Administrasi Publik. Mereka mengidentifikasi tema
kritis yang menjadi bagian permanen dari kajian administrasi publik
modern. Tema Utamanya, bahwa Administrasi Publik harus jadi premis
dari Ilmu Manajemen dan Administrasi Publik harus memisahkan diri dari
Politik tradisional.
Tema sentral yang menjadi objek amatan administrasi publik
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kalau pada awalnya
administrasi publik hanya berkaitan dengan fiuigsi tradisional administrasi
seperti menjaga keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat,
objek amatan itu belakangan bergeser dan berkembang ke persoalanpersoalan yang lebih luas seperti pcrsoalan pelayanan publik dan
persoalan publik lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Hal ini nampak misalnya pada gerakan Administrasi Negara Baru
yang dipelopori oleh Waldo dkk., yang memasukkan nilainilai keadilan
sosial atau persamaan dan pelayanan publik sebagai tema sentralnya,
sua-tu nilai yang belum pemah diperhatikan oleh siapapun sebelum
gerakan ini lahir. Lahirnya gerakan ini, dan gerakan lain serupa, yang
melahirkan fenomena semakin merebaknya dan meluasnya intervensi

35

negara, merupakan salah satu manifestasi dari diterimanya konsep


negara kesejahteraan. Variasi dari intervensi negara dalam kehidupan
masyarakat
pelayanan

akan

memberikan

publik

yang

bentukan

yang

dilakukan

beragam
oleh

terhadap

pemerintah.

Intervensi negara atau lebih tepatnya intervensi birokrasi publik, d^igan


beragam variasinya, sangat diperlukan dalam pelayanan publik sebagian
disebabkan oleh ketidak-sempumaan berlakunya teori pasar. Markel
failures ridak dapat bekerja secara sempuma jika terjadi economic of
scaie, monopoli dan ketimpangan informasi mengenai harga. Alasan lain
kenapa birokrasi publik diperlukan dalam pelayanan publik, karena
mekanisme pasar tidak dapat memben pelayanan dengan baik dan efisien
manakala jenis pelayanannya termasuk kedalam kategori public goods
and services, yaitu barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh setiap
orang pada saat yang bersamaan (non rivalry) tanpa melihat peran
sertanya dalam penyediaan barang tersebut (non excludabi-lity). Adanya
externalitas yaitu manfaat dan kerugian dari suatu kegiatan produksi tak
diperhitungkan dalam penetapan harga, juga menjadi penyebab kenapa
mekanisme pasar tak dapat berjalan secara efisien. Jika mekanisme pasar
tak dapat beijalan dengan baik, dimana suatu pelayanan dapat dinikrnati
oleh semua orang tanpa kecuali, tentu jarang atau bahkan tak ada pelaku
bisnis / ekonomi yang tertarik untuk menyelenggarakan pelayanan publik.
Dalam kondisi seperti ini ma-ka kehadiran birokrasi publik sangat
diperlukan untuk membetulkan mekanisme pasar dan menghalangi

36

mekanisme pasar yang merugikan publik. Pertimbangan lain yang sering


dipakai sebagai justifikasi keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan
publik adalah pertimbangan politik. Pertimbangan ini dipakai untuk
menghindari kemungkinan masyarakat dirugikan oleh penyelenggaraan
pelayanan di pasar bebas yang acapkali kepentingannya berbenturan
dengan kepentingan publik.

Pada sektor publik, terminologi pelayanan pemerintah (government


service) diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah
melalui pegawainya (the de-livery of a service by a government agency
using its own employees (Savas, 1987 : 62).

Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan


warga negara dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya, maka
peningkatan kualitas pelayanan (quality of service) akan semakin penting.
Sebab manajemen publik sejak tahun 1980-an tclah berubah oleh
fenomena intemasional, yang antara lain lahimya kompedsi tingkat global
(global competitiveness) dalam sektor pelayanan (Silalahi, 1975 : 5).
Davidow (dalam Lovelock, 1988 : 18) menyebutkan bahwa pelayanan
adalah halhal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan
menmgkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing
which when added to a product,increase its utility or value to the
customer). Lebih lanjut Lovelock {1988 : 19) menyebutkan bahwa
pelayanan yang baik membutuhkan instruktur pelayanan yang sangat baik

37

pula. Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam
organisasi pada kualitas.

Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988 : 217)


mendefinisikan

kualitas

pelayanan

sebagai

berikut:

Penyesuaian terhadap perincian-perincian (conformance io specification}


dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin
dicapai, dilakukannya kontrol tenis menerus dalam mencapai keunggulan
tersebut

dalam

rangka

memenuhi

kebutuhan

pengguna

jasa.

Pelayanan merupakan respons terhadap kebutuhan manajerial yang


hanya akan terpenuhi kalau penggunajasa itu mendapatkan produk yang
mereka inginkan (Lovciock, 1988 : 5). Jika demikian halnya maka apa
yang menjadi perumpamaan bahwa pembeli

Lonsdale dan Enyedi mengartikan service sebagai:


Assisting or benefitting individuals through making useful things
available to them. Sedangkan public service diberi makna sebagai
something made available to the whole of population, and it involves
things which people can not normally provide for themselves i. e people
must act collectively (Lonsdale and Enyedi : 1991, 3).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelayanan publik
merupakan suatu upaya membantu atau memberi manfaat kepada publik
melalui penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh mereka.

38

Suasana perubahan dalam masyarakat dengan sekalian problemanya


tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang berangkat dari metode
observasi terhadap kenyataan.
" Traditional public administration has been discredited heoritically
and practically, and the adoption of new public management eans
the Emergence of a new paradigm in the public sector (Hughes,
1994). "

Dalam ranah studi administrasi publik pada sejarahnya melewati


berbagai gugus pemikiran dari positivism dan kini sampai pada masa post
positivism.
Pendekatan post-positivis dalam penelitian bidang administrasi
negara semakin popular, Penerimaan bidang administrasi negara
terhadap pendekatan ini disebabkan karena keunggulan dari pendekatan
ini yang mampu menampilkan realitas persoalan administrasi negara
secara mendalam, keragaman pilihan instrument, dan keterkaitannya
dengan nilai-nilai yang menjadi fokus perhatian administrasi negara
kontemporer.
Model penelitian administrasi publik adalah dengan menggunakan
metode post positivistik tanpa mengesampingkan pendekatan positivistik.
Tidak semua penelitian administrasi publik bisa dikuantifikasi. Demikian
pula sebaliknya, tidak semua penelitian administrasi Negara bersifat
kualitatif.
Pendekatan post-positivis memandang realitas tergantung pada
persepsi masing-masing partisipan, sehingga relitas bersifat ganda.

39

Sedangkan positivis menilai realitas bersifat obyektif dan merupakan


abstaksi dari kehidupan nyata.
Kedua pendekatan tersebut dapat dijumpai dalam berbagai
penelitian dalam bidang administrasi negara. Hal ini tidak berarti hilangnya
perdebatan diantara pendukung kedua pendekatan tersebut. Namun
demikian, perkembangan terakhir menunjukan fokus perdebatan telah
bergeser, tidak lagi pada persoalan pendekatan mana yang lebih baik,
tetapi lebih pada kapan dan bagaimana menggunakan kedua pendekatan
tersebut agar dapat menghasilkan penelitian yang baik.
Waldo menggunakan metode alternative pasangan. Dia melihat
birokrasi

dan

demokrasi

sebagai

alternative

pasangan.

Waldo

menerbitkan kumpulan esai yang berjudul publik administration in a Time


of Turbulence (1971) yang paling lngkap berisikan tentang metode
alternative

pasangan.

Dalam

satu

alternative

pasangan,

waldo

membandingkan perbedaan antara sub budaya administrative dan sub


budaya literary.

Menurut Harvey C. Mansfield (Ulbert Silalahi,2008.), ada tiga kegunaan


yang dapat diperoleh dari pelajaran atau analisis sejarah administrasi
(Dwight Waldo, 1971), yaitu:

1. Observasi filosofis, yaitu menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang


umum sifatnya atau tidak menunjukkan perhatian yang khusus terhadap
masalah-masalah yang kongkret.

40

2. Dalam teknik analisis atau teknik pemecahan masalah; diperlihatkan


bagaimana proses administrasi itu bergerak dalam proses kerja sama
masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, hokum pada masa yang
lampau dan apakah proses administrasisemacam itu dapat atau tidak
digunakan dalam bidang yang sama pada masa kini.

3. Dalam teknik administrasi; hanya mencakup soal teknis belaka, artinya


jika kita ingin mencapai suatu hasil seperti hasil yang dicapai orang pada
masa lalu, pakailah cara yang telah mereka gunakan atau setidaktidaknya mengadakan penyesuaian dengannya.

Berbeda dengan sejarah kelahiran pendekatan kualitatif dalam ilmu sosial,


penerapan pendekatan kaulitatif dalam penelitian bidang administrasi
negara bukan sebagai reaksi terhadap penggunaan pendekatan kuantitatif
pada bidang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif sudah dikenal
sejak masa-masa awal perkembangan administrasi negara, meskipun
pada saat itu pengaruh positivisme sangat kuat dalam bidang tersebut.

Dalam perkembangan kemudian, terutama setelah case study menjadi


populer dalam penelitian bidang administrasi negara di tahun 1950-an,
pendekatan kualitatif semakin banyak digunakan baik untuk penelitian
praktis maupun akademis. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1992 jumlah
penelitian administrasi negara yang menggunakan pendekatan kualitatif
masih lebih sedikit dibandingkan pendekatan kuantitatif (Adams dan
White, 1994). Namun kemudian jumlah penelitian kualitatif berkembang

41

pesat. Zhiyong Lan dan Kathleen K. Anders (2000), dalam jarak waktu
penelitian yang relatif dekat dengan penelitian Adams dan White,
menemukan fakta bahwa penelitian bidang administrasi negara yang
menggunakan pendekatan kualitatif relatif lebih banyak dibandingkan
pendekatan kuantitatif (Adams dan White, 1992).

Pertama, Pendekatan kualitatif mampu menampilkan realitas secara


menyeluruh dan mendalam. Sementara, kedalaman pemahaman (in-depth
understanding) terhadap realitas, diperlukan administrasi negara terutama
untuk mengevaluasi kinerja kebijakan atau implementasi suatu program.
Pada suatu kebijakan yang memiliki cakupan nasional, pendekatan
kauntitatif untuk menilai kinerja kebijakan seringkali memerlukan biaya
yang sangat besar dan hasil evaluasi justru menjadi misleading jika
digeneralisasikan. Kasus evaluasi kebijakan pendidikan dasar dan
menengah yang digulirkan pemerintah Amerika Serikat tahun 1965,
menunjukan kekuatan pendekatan kualitatif dalam bidang administrasi
negara (House, 2005). Pada mulanya evaluasi terhadap kebijakan
tersebut menggunakan pendekatan kuantitatif, namun hasil dari evaluasi
tersebut cukup mengecewakan.

Diterimanya pendekatan kualitatif dalam bidang administrasi


negara, tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor (Denhardt, 1999).
Selain iklim akademik dalam bidang administrasi negara yang kian
cenderung tidak mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif,

42

juga tentu saja karena faktor karakter dari pendekatan kualitatif itu
sendiri. Karakter tersebut merupakan keunggulan pendekatan kualitatif,
sehingga mudah diterapkan pada penelitian bidang administrasi negara;
yang antara lain meliputi:

Norma Riccucci mencakup keragaman metode penelitian daripada


menunjukkan bahwa ada satu cara terbaik untuk melakukan penelitian
dalam administrasi publik. "Public Administration" meneliti asal-usul dan
identitas intelektual dari disiplin administrasi publik, tradisi-tradisi penelitian
yang beragam.

Di masa mendatang, bidang administrasi negara dihadapkan pada dunia


yang semakin kompleks dan lingkungan yang sangat berbeda. Perhatian
administrasi negara akan semakin terfokus pada masyarakat dan
kemasyarakatan.

Untuk itu, peran pendekatan kualitatif dalam bidang

administrasi negara tampaknya akan semakin besar, bukan hanya untuk


menjawab

persoalan

etika

dan

integritas,

tetapi

juga

kualitas

penyelenggaraan administrasi negara secara keseluruhan.

Menarik untuk merenungkan pernyataan Capra (1997), bahwa


dalam menghadapi krisis paradigma positivisme: kita memerlukan sebuah
paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar
pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini. Paradigma
baru yang ditawarkan itu tidak lain adalah paradigma holistik. Paradigma
holistik telah menjadi arus besar yang telah melanda dunia keilmuan saat

43

ini. Agar ilmu administrasi publik bisa tampil sebagai ilmu administrasi
publik sejati maka ilmu administrasi publik harus dibangun dengan tertib
berpikir yang dibangun di atas paradigma holistik.
Paradigma holistik

merupakan paradigma yang memandang

keutuhan lebih esensial dibanding sejumlah bagian-bagiannya, bercorak


sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistik, dan nonlinear.
Satu fenomena dengan fenomena lain ada saling keterhubungan

dan

kesadaran ikut berpartisipasi (Berman, 1984).


Dengan demikian perkembangan pemikiran paradigma baru untuk
melakukan kontemplasi atas interaksi dalam masyarakat diawali manakala
hal-hal yang selama ini dianggap sebagai hal-hal yang memang sudah
seharusnya demikian, benar dan nyata (menghadapi threats to the taken
for granted world) yang menjadi pegangan mengalami krisis maka
mulailah orang melakukan renungan. Renungan inilah sebagai titik tolak
lonjakan paradigmatik untuk membuat social theory. Renungan tersebut
berupaya untuk melihat segala permasalahan yang begitu kompleks
manakala melihat jaringan-jaringan yang mempengaruhi bekerjanya
seperti yang disebut oleh Robert B.Seidmann sebagai Field of social
forces.

Penutup
Positivisme dalam ilmu alam jelas berbeda dengan positivisme ilmu
sosial. Teori-teori ilmu alam dibangun melalui ekperimentasi laboratorim.

44

Jika kondisi laboratoriumnya sama dan dapat dikontrol secara ketat maka
teori yang tercipta dapat berlaku secara universal. Teori-teori dalam ilmu
sosial dibangun sangat terkait dengan dimensi lokasi dan waktu di mana
teori itu muncul. Teori yang tercipta

dengan demikian tidak universal

sebagaimana klaim positivis. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu


sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan
terhadap nilai-nilai tertentu.
Pendekatan post-positivisme hadir untuk memperbaiki kekeliruankeliruan yang dilakukan positivism dalam ilmu sosial.
Penggunaan pendekatan post-positivis dalam bidang administrasi
negara semakin menguat.

45

DAFTAR PUSTAKA

Alan Bullock and Stephen Trombley, [Eds] 1999. The Fontana Dictionary
of Modern Thought, London: Harper-Collins.
Anthony Giddens (Ed.), 1975. Positivism and Sociology, London:
Heinemann.
Bogdan,Robert and Steven J. Taylor.1993. KUALITATIF (Dasar-dasar
Penelitian).Surabaya:Usaha Nasional
Caiden, Gerald E. 1982. Public Administration. Pasific Palisades
California: Palisades Publishers.
Caiden, Gerald. 1996. The Future of Pulic Administration in Public
Administration Under Scrutiny. Canberra: Centre For
Research in
Public Sector Management University of
Canberra. Australia: Institute of Public Administration.
F. Budi Hardiman, 1990. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius.
F. Budi Hardiman, (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas
Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem
Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Fox, Charles J. & Hugh T. Miller. 1995. Post Modern Public Administration.
London: Sage Publications. Hughes, Owen E. 1994. Public
Management and Administration. New York: St. Martin Press.

Henry, Nicholas. 2004. Public Administration And Public Affairs. (9th ed.).
New Jersey: Prentice Hall International Inc. Englewoods Cliffs
Henry, Nicholas. 1995. Administrasi Negara Dan Masalah-Masalah Publik.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Islamy, M. Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
P.T. Bumi Aksara.
Norma Riccucci. (2010), Public Administration; Traditions of Inquiry and
Philosophies of Knowledge,.

46

Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C. (eds). 1992. Classics Of Public


Administration (3rd Ed). California: Brooks/Cole Publishing
Company Pacific Grove.
Wilson, Woodrow. 1887. Introduction To Study Administration. dalam
Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C. (eds). 1992. Classics Of
Public Administration (3rd Ed). California: Brooks/Cole
Publishing Company Pacific Grove. (hal 11-24)
Frederickson, George. 1970. Toward New Public Administration. dalam
Shafritz, Jay M. & Hyde, Albert C. (eds). 1992. Classics Of
Public Administration (3rd Ed). California: Brooks/Cole
Publishing Company Pacific Grove. (368-381)
Chilcote, Ronald H. (2010), Teori Perbandingan Politik Penelusuran
Paradigma. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri, 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,
Kingsley, Gordon. 1997. Reflecting on Reform and the Scope of Public
Administration. Public Administration Review. Vol. 57 No. 2
March/ April.
L. Laeyendecker, 1983. Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde, Verandering, Ogelijkheid:
Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih
bahasa Sumekto, Jakarta: Gramedia.
Landau, Martin. 1962. The Concept of Decision-Making in the 'Field of
Public Administration. in S. Mailick and EH Van Ness (eds.).
Concepts
Marsh, David& Gerry Stoker (2010) Teori dan metode Dalam Ilmu Politik.
Bandung: Nusa Media
Marsh, David& Gerry Stoker (2010) Teori dan metode Dalam Ilmu Politik.
Bandung: Nusa Media Ri
Ritzer, George (2009), Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2005), Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prenada Media

47

Salim,Agus.2006.Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.Yogyakarta:Tiara


Wacana
Slamet, Yulius. 2008. Pengantar Penelitian Kuantitatif.Surakarta: LPP
UNS dan UNS Press
Ulbert Silalahi.2008. Studi Tentang Ilmu Administrasi. Bandung: Sinar
Baru Algesindo

Anda mungkin juga menyukai