Anda di halaman 1dari 26

TUGAS REKLAMASI

TOPIK :
POTENSI DAN PROSPEK LAHAN RAWA
UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Disusun oleh :
SOLIKIN

Program Studi Magister Teknik Pengairan


Manajemen Sumber Daya Air
Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya Malang
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia dan kasih-NYA
yang besar maka tugas mata kuliah Reklamasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Judul
makalah ini adalah Potensi dan Prospek Lahan Rawa Untuk Menunjang Ketahanan
Pangan Nasional.
Menyadari kekurangan dan kelemahan yang terkandung di dalam makalah ini,
maka sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
masukan bagi studi, khususnya pada mata kuliah Reklamasi.
Atas segala bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih.

Malang,

Maret 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..............................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................1
1.1.

Masalah Ketahanan Pangan........................................................................................1

BAB II PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BERAS.....................................................................5


2.1.

Intensifikasi Pertanian................................................................................................5

2.2.

Ekstensifikasi Pertanian..............................................................................................8

BAB III KONDISI DAN POTENSI RAWA DI INDONESIA..........................................................9


3.1.

Lahan rawa pasang surut...........................................................................................11

3.2.

Lahan rawa lebak......................................................................................................12

3.3.

Sejarah pengembangan rawa sebagai lahan persawahan...........................................13

BAB IV SURVEI, INVESTIGASI DAN DESAIN DALAM PENGEMBANGAN RAWA...........14


4.1.

Kegiatan Survei dan Investigasi...............................................................................14

4.2.

Kegiatan Desain.......................................................................................................15

BAB V PENUTUP..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................20

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan beras..............................................1
Gambar 1. 2. Peta penyebaran sawah di Indonesia................................................................3
Gambar 1.3. Potensi lahan pertanian di Indonesia.................................................................4
Gambar 3.1. Peta sebaran lahan rawa di Indonesia................................................................9
Gambar 3. 2 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) bagian
bawah dan tengah.................................................................................................................10
Gambar 3.3. Kategori hidro-topografi rawa pasang surut....................................................11
Gambar 3.4. Kategori hidro-topografi rawa lebak (tidak pasang surut)..............................12
Gambar 4.1. Tahapan Perencanaan Jaringan Irigasi............................................................15
Gambar 4.2. Bagan Alir Perencanaan Proyek Reklamasi Rawa.........................................16
Gambar 4.3. Sanitasi............................................................................................................18

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Areal panen, produktifitas, dan produksi padi di Indonesia 2007-2010................
Tabel 1.2. Data perpadian Indonesia......................................................................................
Tabel 4.1. Kelasifikasi kedalaman pirit...............................................................................
Tabel 4.2. Klasifikasi posisi lapisan gambut........................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Masalah Ketahanan Pangan


Menurut Bulog pengertian ketahanan pangan sesuai UU nomor 18 tahun 2012, tentang
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produtif secara berkelanjutan.
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Pemerintah Indonesia
menaruh perhatian besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang cenderung
meningkat. Pemerintah terus dituntut untuk berupaya memenuhi kebutuhan beras yang
merupakan makanan pokok di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah
237.641.326 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen/tahun (BPS, 2010).
Menurut Suswono (2012), Tahun 1900 penduduk Indonesia adalah 40 juta jiwa dan tahun 2000
telah menjadi 200 juta jiwa. Jumlah penduduk naik 5 kali lipat dalam 100 tahun. Pada tahun
2035 diproyeksikan penduduk Indonesia sebanyak 400 juta jiwa.

Gambar 1. 1. Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan beras


(sumber: Jakarta food security summit, 2012)
1

Konsumsi beras penduduk indonesia adalah 139 kg per-kapita pertahun (IRRI, 2010).
Indonesia membutuhkan sekurang-kurangnya 33 juta ton beras pertahun untuk makanan pokok.
Laju pertumbuhan penduduk harus seimbang dengan pertumbuhan produksi pangan.
Ketidakseimbangan pertumbuhan produksi pangan dapat menyebabkan ketahanan pangan
nasional rendah. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk telah memunculkan
kerisauan akan terjadinya keadaan rawan pangan di masa yang akan datang.
Kekuatan ketahanan pangan nasional adalah penguatan fungsi dan peran bidang sektor
pertanian. Sektor pertanian memiliki peran strategis dan utama sebagai lokomotif pembangunan
ekonomi nasional. Menurut Manan-Hilman (2006) menyatakan ada lima pertimbangan
fundamental sektor pertanian sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional:
1. Penyedia pangan untuk ketahanan nasional;
2. Penyedia lapangan kerja sebesar 44 persen dari 94 juta tenaga kerja nasional;
3. Penghasil devisa sebesar 2,55 milyar US $ dan penyumbang produk demestik bruto
sebesar 15,23 persen;
4. Penyedia bahan baku sektor industri dan pengembangan teknologi lintas sektor;
5. Pendistribusi dan penyeimbang pembangunan antar sektor.
Peran yang besar belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari sektorsektor yang lain. Kurangnya infrastruktur pertanian, pasokan air yang menurun, alih fungsi
lahan pertanian serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tidak hanya itu, anomali iklim
baik lokal, regional dan global secara langsung dan tidak memberi mempengaruhi ketahanan
pangan nasional. Laju penyusutan lahan pertanian dirasakan sangat mengganggu kelestarian
pangan. Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan yang bersumber
dari peningkatan produksi dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan
ketersediaan pangan dalam jumlah yang mencukupi dan tersebar.

Tabel 1.1. Areal panen, produktifitas, dan produksi padi di Indonesia 2007-2010
(sumber: BPS, 2010. * Data tahun 2010 adalah angka ramalan III dalam IRRI, 2010)
2

Data perpadian Indonesia dalam International Rice Research Institute tahun 2010:

Tabel 1.2. Data perpadian Indonesia


(sumber: FAOSTAT, Bank Dunia, dan BPS dalam IRRI, 2010)
Ketersediaan lahan persawahan yang ada sudah tidak memungkin untuk menjaga stabilitas
ketahanan pangan nasional.

Gambar 1. 2. Peta penyebaran sawah di Indonesia


(sumber: Jakarta food security summit, 2012)

Luas sawah di Indonesia saat ini adalah sebesar 8.183.886 ha. Tingkat laju konversi
lahan persawahan sebesar 110.000 ha/tahun. Potensi lahan pertanian Indonesia adalah sebagai
berikut:

Gambar 1.3. Potensi lahan pertanian di Indonesia


(sumber: Jakarta food security summit, 2012)
Untuk menghadapi permasalahan pangan dan produksi pangan nasional, salah satu alternatif
yang perlu mendapat prioritas adalah pemanfaatan lahan rawa. Menurut Sudana-Wayan (2005)
dengan pengelolaan yang tepat, lahan rawa dapat dijadikan sumber pertumbuhan pertanian yang
produktif.

BAB II
PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BERAS

Untuk meningkatkan produktifitas beras dalam sistem ketahanan pangan nasional


berbagai strategi dilakukan Pemerintah Indonesia. Salah satu program kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk peningkatan beras adalah usaha intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian.
2.1. Intensifikasi Pertanian
Menurut Suswono (2012) intensifikasi pertanian dapat dilakukan untuk pertanaman
yang sudah ada. Menerapkan inovasi teknologi yang tepat, menekan kehilangan pasca panen,
perlindungan, dan pengamanan produksi beras. Sedangkan menurut Panjaitan (2010)
intensifikasi pertanian adalah pengolahan lahan pertanian yang ada dengan sebaik-baiknya.
Guna meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan berbagai sarana. Intensifikasi
pertanian banyak dilakukan di Pulau Jawa dan memperluas Bali yang memiliki lahan pertanian
sempit.
Awal intensifikasi pertanian dilakukan dengan program panca usaha tani yang kemudian
dilanjutkan dengan program sapta usaha tani. Adapun menurut Nuri (2011) sapta usaha tani
dalam bidang pertanian meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Penggunaan bibit unggul
Bibit unggul adalah jenis bibit yang memiliki sifat-sifat menguntungkan bagi peningkatan
produksi pangan. Beberapa jenis bibit padi yang unggul dan berkualitas: IR, dan IR 64,
PB 5, dan PB 8, bramo, rajalele, dan cisadane. Pemilihan bibit unggul sangat menunjang
akan hasil padi yang dihasilkan. Ciri-ciri benih padi yang baik adalah sebagai berikut:
berlabel, bermutu tinggi, VUTW (varietas unggul tahan wereng), dan kemampuan
berproduksi tinggi.
2. Teknik pengolahan lahan pertanian

Mengolah tanah bertujuan agar tanah dapat menumbuhkan tanaman yang baik dan hasil
yang berlimpah. Bangsa indonesia telah mengenal cara-cara mengolah tanah agar
mendapatkan hasil yang baik. Beberapa alat sederhana yang digunakan diantaranya:
cangkul, garu, garu tangan bajak, landak, dan lain sebagainya.
Makin maju peradaban, makin modern dan canggih alat-alat dan teknik yang digunakan
untuk mengolah lahan pertanian. Pemakaian alat-alat sederhana telah mulai tersisihkan
dengan berkembangnya peralatan baru. Penggunakan alat seperti cangkul telah
tergantikan dengan pemakaian traktor. Dengan demikian bercocok tanam di sawah lebih
ringan, cepat, mudah, dan hasilnya lebih sempurna.
Syarat-syarat tanah yang baik adalah:
a. Memiliki cukup rongga udara, gembur, dan tidak padat;
b. Mengandung banyak unsur organik;
c. Banyak mengandung mineral dan unsur hara;
d. Mampu menahan air;
e. Memiliki kadar asam dan basa tertentu.
3. Pengaturan irigasi
Untuk meningkatkan produksi perlu diatur sistem irigasi yang baik. Air merupakan
kebutuhan vital bagi tanaman. Pengaturan air yang baik dapat juga membantu
mengurangi dan menambah keasaman tanah. Air membantu pelarutan garam-garam
mineral yang sangat diperlukan oleh tanaman. Akar tanaman menyerap garam-garam
mineral dari dalam tanah. Pemberian air irigasi untuk tanaman harus sesuai dengan kadar
kebutuhan tanaman.
4. Pemupukan
Pemberian pupuk adalah memberikan zat-zat makanan yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan tanaman. Secara alamiah, didalam tanah terkandung unsur hara yang
diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Tetapi masih perlu ditambah untuk mendapatkan
jumlah unsur hara yang sesuai. Pemupukan harus dilakukan secara tepat, baik dalam
jumlah, masa pemupukan, dan jenis pupuk. Jenis pupuk dibedakan dalam dua macam
yaitu:
a. Pupuk alami
Adalah pupuk yang terbentuk secara alamiah. Terbuat dari proses pembusukan
yang dilakukan mikroorganisme atau makhluk pengurai. Menguraikan bangkai,
sampah, atau kotoran hewan, atau manusia menjadi tanah. Dimana didalamnya
6

terkandung unsur-unsur hara yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.


Contoh pupuk alami: pupuk kompos, pupuk guano (kotoran burung), pupuk
kandang, dan lain-lain.
b. Pupuk buatan
Adalah pupuk yang sengaja dibuat dipabrik-pabrik di Indonesia. Beberapa jenis
pupuk buatan: NPK (nitrogen pospor kalum), ZA (zwafel zuur pospor), TSP
(triple super pospor), DSP (double super pospor), dan lain-lain.
Cara pemberian pupuk harus tepat untuk menghasilkan peningkatan produksi
padi: tepat dosis, tepat jenis, tepat waktu, dan tepat tempatnya.
5. Pemberantasan hama dan penyakit tanaman
Pemberantasan terhadap hama, gulma, dan penyakit perlu untuk dilakukan. Serangan
hama, gulma, dan penyakit tanaman menurunkan tingkat produktifitas tanaman. Penyakit
pada tanaman merupakan gangguan oleh virus, jamur, dan jasad renik lainnya. Serangan
gulma adalah organisme pengganggu yang berupa tumbuhan yang berkembangbiak cepat.
Sedangkan gangguan hama adalah organisme pengganggu berupa hewan seperti wereng,
belalang, dan tikus. Pengendalian terhadap serangan hama, gulma, dan penyakit perlu
untuk segera ditangani untuk peningkatan produksi beras.
6. Penanganan panen dan pasca panen
Pasca panen adalah kegiatan yang dilakukan para petani setelah melakukan panen.
Melakukan kegiatan menanam jenis tanaman yang berbeda (selain tanaman pokok) yang
umurnya pendek. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembalikan kesuburan tanah
dan untuk menambah penghasilan petani serta menambah produktifitas ketahanan
pangan.
7. Pemasaran
Kebijakan dan harga beras perlu untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari
pemerintah. Kebijakan yang lebih memberikan nilai tambah bagi para petani. Mendukung
harapan untuk mata pencaharian sebagai petani mempunyai hasil yang bisa untuk
dijadikan sandaran hidup. Sehingga bisa memberikan perlindungan dan menekan laju
konversi lahan persawahan.

2.2. Ekstensifikasi Pertanian


Pengadaan produksi beras sangat penting untuk keberlanjutan ketahanan pangan
nasional dengan sasaran tercapainya swasembada pangan (beras) (Suryatna A. 2007). Menurut
Suswono (2012) ekstensifikasi pertanian adalah perluasan areal persawahan. Pemilihan areal
yang memprioritaskan daerah produksi yang masih memungkinkan untuk percetakan sawah
baru. Dimana kegiatan ekstensifikasi pertanian tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Menurut Haryono (2012) peningkatan produktivitas dan perluasan areal pertanian baru
dapat memanfaatkan lahan sub optimal (rawa) yang potensial. Dimana pemilihan lahan yang
potensial berdasarkan dengan skala prioritas tertentu. Pengembangan lahan sub optimal harus
diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi. Teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan
lokal sesuai dengan tipologi lahan.

BAB III
KONDISI DAN POTENSI RAWA DI INDONESIA

Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam
setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Rawa
merupakan salah satu sumber daya alam potensial yang tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia. Luas lahan rawa 33,4 juta ha yang terdiri dari rawa pasang surut 20 juta ha dan
sisanya rawa lebak. Menurut PPPSDA (1998) data areal sebaran rawa di Indonesia tersebar di
beberapa pulau:
1.
2.
3.
4.

Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Papua

= 10,87 juta ha
= 10,56 juta ha
= 1,45 juta ha
= 10,52 juta ha

Gambar 3.1. Peta sebaran lahan rawa di Indonesia


Lahan rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan non pasang surut yang
disebut juga lahan rawa lebak. Lahan rawa pasang surut lebih sensitif terhadap proses degradasi
dibandingkan dengan lahan rawa lebak. Pada lahan tersebut dijumpai tanah-tanah bermasalah,
yaitu tanah sulfat masam dan tanah gambut. Kemasaman, keracunan, penurunan permukaan
tanah, gambut kering tak balik, kualitas air yang buruk merupakan masalah-masalah utama
yang akan muncul jika salah dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Sedangkan pada lahan
rawa lebak hampir tidak dijumpai proses degradasi tersebut.
Rawa dijadikan sebagai alternatif untuk lahan pertanian, dikarenakan pada daerah rawa
ketersediaan air melimpah, topografi datar, dekat sungai yang dapat sebagai sarana transportasi,
pemilihan lahan luas, dapat mekanisasi, budi daya (perikanan, perkebunan).
Klasifikasi wilayah rawa berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu
pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down
stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah
diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:
a. Zona I
b. Zona II
c. Zona III

: wilayah rawa pasang surut air asin/payau


: wilayah rawa pasang surut air tawar
: wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Gambar 3.2. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) bagian
bawah dan tengah
Dari ketiga zona wilayah rawa kegunaannya untuk pertanian, didasarkan atas urutan
potensial lahan adalah sebagai berikut:
1. Lahan rawa lebak, dan kemudian:
2. Lahan rawa pasang surut air tawar, dan;
3. Terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau.
Lahan pasang surut memiliki potensi dan prospek besar dijadikan pilihan strategis
pengembangan areal produksi pertanian ke depan. Mendukung dan mengamankan ketahahan
pangan nasional.
3.1.

Lahan rawa pasang surut


Potensi pengelolaan air dan kesesuaian pertanian di lahan pasang surut sangat

ditentukan oleh kondisi hidrotopografi (Suharjono, 2010).

10

Gambar 3.3. Kategori hidro-topografi rawa pasang surut


Kategori A: Daerah rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi dari variasi pasang
surut sungai. Lahan yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lahan
persawahan.
Kategori B: Daerah rawa yang tidak selalu terluapi oleh air pasang tertinggi dari variasi
pasang surut sungai. Lahan yang dapat dikembangkan menjadi lahan
persawahan. Tanaman padi sekali setahun di musim penghujan dan tanaman
palawija di musim kemarau.
Kategori C: Daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi dari variasi
pasang surut sungai. Air pasang masih mempengaruhi muka air tanah. Lahan
dapat dikembangkan menjadi lahan persawahan. Tanaman padi sekali setahun di
musim penghujan dan tanaman palawija di musim kemarau.
Kategori D: Daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tinggi dari variasi pasang
surut sungai. Memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dibawah muka air tanah. Air
pasang masih mempengaruhi muka air tanah. Lahan dapat dikembangkan
budidaya tanaman palawija dan perkebunan.

11

3.2.

Lahan rawa lebak


Rawa lebak merupakan lahan dengan topografi rendah dan berbentuk cekungan. Akibat

air hujan, daerah tersebut tergenang. Di musim kemarau berangsur-angsur air rawa menjadi
kering dan kering sama sekali

Gambar 3.4. Kategori hidro-topografi rawa lebak (tidak pasang surut)


Zona I:

Zona lebak pematang, lahan dengan genangan relatif dangkal dengan periode
waktu pendek

Zona II:

Zona lebak tengahan, lahan dengan genangan relatif agak dalam dengan periode
waktu agak lama

Zona III:

Zona lebak dalam, lahan dengan genangan relatif dalam dengan periode waktu
lama dan terus menerus.

Umumnya pola pemanfaatan dari rawa lebak selama ini diprioritaskan pada zona lebak
pematang dan zona tengahan sedangkan zona lebak dalam tetap dipertahankan seperti keadaan
alaminya.
3.3.

Sejarah pengembangan rawa sebagai lahan persawahan


Menurut Noor, M. (2012) dalam seminar pengelolaan lahan gambut berkelanjutan,

sejarah pengembangan rawa berdasarkan waktu dan cara serta luas wilayah tebagi dalam 3
(tiga) era, yaitu: Periode 1945-1960, Periode 1969-1995, dan periode 1995-2000.
Lahan rawa sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian.

12

BAB IV
SURVEI, INVESTIGASI DAN DESAIN DALAM
PENGEMBANGAN RAWA

4.1. Kegiatan Survei dan Investigasi


Menurut Suhardjono (2010) daerah rawa pasang surut memiliki karakteristik yang
spesifik dengan hamparan yang sangat luas dengan kondisi topografi yang relatif sangat datar.
Oleh karena itu dalam merencanakan pengembangan daerah rawa diperlukan data-data survei
yang lengkap dan akurat. Beberapa aspek yang diperlukan untuk disurvei antara lain adalah
sebagai berikut :

Topografi daerah rawa


13

Hidrologi dan hidrometri


Kondisi kesuburan lahan
Kondisi sifat fisik lahan
Kondisi masyarakat sekitar
Keadaan sosial ekonomi masyarakat
Serta budaya setempat dan lain sebagainya.

Lingkup pekerjaan survei dan investigasi pada kegiatan pengembangan rawa untuk
budidaya pertanian pada umumnya sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Survei pemetaan situasi detail (pemetaan topografi)


Survei hidrologi dan hidrometri dan jaringan reklamasi
Survei tanah
Survei mekanika tanah
Survei sosio-agro ekonomi dan lingkungan

4.2. Kegiatan Desain


Berdasarkan literatur bahan ajar Bapak Suhardjono (2010) untuk merancang jaringan
irigasi, baik untuk irigasi rawa pasang surut, rawa lebak maupun jaringan irigasi yang lain,
harus mengikuti pedoman dan aturan yang telah ditetapkan.

Gambar 4.1. Tahapan Perencanaan Jaringan Irigasi


(Sumber: Bahan ajar Teknik Reklamasi Bapak Suhardjono, 2014)
Dalam perencanaan reklamasi rawa dikenal sistem planning sebagai proses perencanaan
tata guna lahan dan kebutuhan infrastruktur di dalamnya. Yang meliputi aspek hidrotopografi,

14

hidrologi, tanah (pertanian), agronomi, lingkungan, dan sosial budaya yang dirangkum dalam
rencana pengembangan rawa.

Gambar 4.2. Bagan Alir Perencanaan Proyek Reklamasi Rawa (Suhardjono et al, 2010)
Dalam perencanaan juga disusun kebutuhan petani, beserta segenap sarana tata air,
jaringan transportasi, berikut tata cara pengelolaan, dan pemeliharaannya mencakup kegiatan
survei, investigasi, desain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.
Faktor yang mempengaruhi dalam perencanaan reklamasi rawa adalah:
1. Curah hujan
Jumlah curah hujan mencukupi untuk satu atau dua kali penanaman (padi) per tahun.
2. Kualitas air
Kandungan pH, keasinan, unsur racun pada air di daerah rawa sesuai batas toleransi.
3. Kualitas Tanah

15

Diantaranya mengenai struktur, tekstur, subsiden, pematangan, permeabilitas, kesuburan


dan penyebarannya agar sesuai untuk budidaya pertanian dan struktur bangunan/saluran
yang akan dibangun.

4. Kondisi hidro-topografi
Hidrotopografi merupakan perbandingan antara ketinggian permukaan lahan terhadap
permukaan air pasang di sungai/atau saluran di titik yang terdekat. Berdasarkan
hidrotopografinya, lahan di daerah pasang-surut dapat dibedakan menjadi empat kategori.
Apabila yang diketahui hanya ketinggian air pasang di sungai utama atau di saluran
primer, maka perlu terlebih dahulu dilakukan analisis hidrolika untuk mengetahui sebaran
ketinggian muka air di saluran terdekat untuk lokasi tertentu pada suatu unit
pengembangan lahan rawa tertentu. Salah satu metoda untuk menganalisis kondisi
hidrotopografi lahan rawa adalah dengan mempergunakan kombinasi antara perhitungan
hidrolika dan analisis dengan sistem informasi geografis (Suryadi, 1996).
5. Tinggi muka air dilahan
Tinggi air yang dapat dikendalikan untuk drainasi maupun potensi irigasi.
6. Drainabilitas
Untuk analisis kesesuain lahan yang berkaitan dengan pengembangan budu daya
pertanian, drainabilitas lahan rawa pasang surut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Suryadi, 1996) :
-

Kelas 1 : basis drainase di atas permukaan lahan;

Kelas 2 : basis drainase antara 0,00 - 0,20 m di bawah muka lahan;

Kelas 3 : basis drainase antara 0,20 - 0,40 m di bawah muka lahan;

Kelas 4 : basis drainase antara 0,40 - 0,60 m di bawah muka lahan;

Kelas 5 : basis drainase lebih dari 0,60 m di bawah muka lahan.

7. Jenis tanah berkaitan dengan budi daya pertanian


16

Jenis tanah di lahan rawa pasang surut secara umum dapat dibedakan menjadi jenis
gambut dan jenis mineral dengan kandungan pirit.

8. Kedalaman pirit
Tabel 4. 1 Kelasifikasi kedalaman pirit (Suryadi, 1996)

9. Ketebalan tanah gambut


Tabel 4. 2 Klasifikasi posisi lapisan gambut (Suryadi, 1996)

10. Salinitas
Kadar salinitas pada sistem tata air lahan rawa pasang surut dipengaruhi oleh
hidrodinamika muara di mana terjadi pertemuan antara air sungai yang tawar dengan air
laut yang asin.

17

Gambar 4.3. Sanitasi

BAB V
PENUTUP

Dari pembahasan di atas maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :


1. Kurangnya infrastruktur pertanian, pasokan air yang menurun, alih fungsi lahan pertanian
serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi serta anomali iklim baik lokal, regional, dan
global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ketahanan pangan nasional.
2. Laju pertumbuhan produksi beras tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk.
Jumlah penduduk yang terus meningkat berbanding terbalik dengan trend tingkat
produksi beras nasional yang cenderung menurun. Sehingga mengakibatkan kemandirian
dan ketahanan pangan susah terwujud.
3. Upaya peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan eksentifikasi (perluasan
areal tanaman pangan), intensifikasi, diversifikasi dan optimasi lahan.
4. Lahan rawa memiliki potensi dan prospek besar dijadikan pilihan strategis pengembangan
areal produksi pertanian ke depan untuk mendukung dan mengamankan ketahahan
pangan nasional.
5. Dalam SID reklamasi rawa maka faktor yang harus diperhatikan adalah: curah hujan,
kualitas air, kualitas tanah, kondisi hidro-topografi, tinggi muka air dilahan, drainabilitas,
jenis tanah, kedalaman pirit, ketebalan tanah gambut, salinitas.
18

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2015. Jumlah dan distribusi penduduk, Jakarta. http://www.bps.go.id.
Maret, 12, 2015.
Haryono, 2013. Strategi kebijakan kementerian pertanian dalam optimalisasi lahan sub optimal
mendukung ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal
Intensifikasi dalam rangka mendukung kemandirian pangan nasional, Palembang.
International Rice Research Institute (IRRI), 2010. Padi untuk ketahanan pangan. Hasil
penelitian Badan Litbang Pertanian bersama IRRI, Desember, 2010, Bogor. h. 2.
Manan, H. 2006. Teknologi pengelolaan lahan dan air mendukung ketahanan pangan, Jurnal
disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Jakarta. H. 88.
Noor, M. 2012. Seminar nasional pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Nuri,

I.

2011.

Panca

usaha

tani-sapta

usaha

tani,

Kotabumi.

http://www.laporanpraktikumdantugas.blogspot.com/2011/12/panca-usaha-tani-saptausaha-tani.html. Maret, 17, 2015.


Panjaitan,

A.

Y.

2010.

Program

intensifikasi

dan

ekstensifikasi

tanaman,

http://www.anandayopantry.blogspot.com/2010/11/program-intensifikasi-dan.html. Maret,
17, 2015.
19

Perum Bulog, 2015. Ketahanan pangan, Jakarta. http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php.


Maret, 12, 2015.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 1998. Tinjauan umum pengembangan
rawa dan pantai di Indonesia, Jakarta.
Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian, Balai
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor, Bogor.
Suhardjono, dkk (2010). Reklamasi Daerah Rawa, CV. Citra Malang.
Suryatna, A. 2007. Menelisik ketahanan pangan, kebijakan pangan dan swasembada beras.
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Suryadi, F. X. 1996. Survey dan investigations short course on lowland Development. Bandung.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan
rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam
(penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

20

21

Anda mungkin juga menyukai