"
Kedua mata gue mendelik ngeri setelah mendengar empat kata yang terucap dari
mulut Sadim. Tapi bentar dulu, siapa tau gue salah denger, kan?
"Lo bilang apa?" gue Gue mendesiskan tanya. M, masih berusaha menjaga jarak
dari bocah cupu yang beberapa menit tadi menyeret gue ke mari.
the sake of my handsome face, gue jijik liatnya. Pantaskah seorang cowok
memasang tampang begitu? Kayak cewek aja. Atau jangan-jangan si Sadim ini
bencong? Bisa jadi kan ternyata....
"Aku suka kamu, Bram...."
Gue tersentak. Yakin 100% kali ini gue nggak salah dengar. And... What what the
fuck? He said he likes me? Mimpi buruk! Mendingan gue diputusin sama Ana
ketimbang harus mendapati kenyataan ini.
Gue maju satu langkah ke depan, setelah itukemudian mendorong badan Sadim
dengan kasar saking nggak terimanya. Bikin Gue bikin dia terjengkang di ke atas
tanah. "Apa maksud lo, anjingAnjing? Lo bilang lo suka gue? Lo kira gue homo?"
sembur gue memarahinya. "Najis! Lo bikin waktu gue terbuang sia-sia," !" gue Gue
meludah ke atas sepatunya. "Awas aja kalo lo berani ngajak gue bicara lebih dari ini.
Dasar bencong sialan!" dan Dan, gue langsung berlalu, meninggalkan si bencong
cupu dengan raut terpukulnya.
Cuih. Like I give a damn about it!
Apa ada yang lebih buruk bakalan terjadi?
...
"Apa, bebBeb?"
"Aku mau kita putus, Abram. Aku... aku nggak kuat ngeliat sikap kamu yang--"
Gue meninju tembok di sisi kepala Ana. Membuat cewek gue ini berjengit kaget.
Wajahnya nampak tampak ketakutan. "Kamu becanda, kan?" tanya gue menahan
emosi.
Ana meneguk ludah, menggeleng. Yang tandanya, dDia memang nggak lagi
becanda. Tapi kenapa?
"Kenapa?!" jerit gue marah. "Apa ada cowok lain? Apa kamu nggak sayang lagi ke
sama aku? Apa--"
"Abram! Aku cuma mau kita putus!" bentak Ana yang seketika bikin gue bungkam.
Ini pertama kalinya dia ngebentak gue. "Kita selesai, Bram. Anggap aja kita nggak
pernah kenal. Aku nggak kuat ngeliat sikap kamu. Jangan temuin aku lagi." sesudah
Sesudah itu, cewek yang paling gue sayang ini mendorong badan gue yang lemas
sampe menabrak pilar beton.
Dia pergi meninggalkan gue yang ngerasa... sakit hati. Malu. Gue meremas dada
gue yang sesak. Gue nggak boleh nangis. Gue bukan bencong. Gue baru mau
melangkah saat melihat sosok Sadim dari kejauhan, tengah memandang ke tempat
gue berada.
...Mendingan gue diputusin sama Ana...
Sialan! Karma memang selalu berlaku.
Review:
Overall, penulisannya sudah baik. Penulis memperhatikan ejaan, meski ada
beberapa yang perlu diperbaiki, tapi secara keseluruhan nggak krusial.
Ceritanya simpel dan mudah dipahami. Pesan yang dimaksud juga tersampaikan
dengan baik. Mungkin karena ini cerita pendek, jadinya semua tampak mudah dan
terjadi begitu saja. Kalau naskah ini dikembangkan lebih lanjut, jangan lupa untuk
menjaga agar kebetulan nggak menghantui. Ketika Ana pergi dan Sadim ternyata
ada di situ, itu kan termasuk kebetulan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Hanya karena ini flash fiction, jadinya dimaklumi.
Next time, jika ingin menantang diri lebih jauh lagi, coba buat satu adegan saya.
Nggak terdiri dari dua scene yang berbeda latar dan waktu seperti ini.