- Masih banyak typo. Dialog dalam tanda petik diakhiri dengan tanda baca, entah koma
atau titik.
Contoh:
“Pergi kau dari sini,” kata Rahmi.
atau
“Dia memang seperti itu orangnya.” Lalu Diman beranjak pergi.
- Paragraf satu sampai empat tampaknya bisa dimampatkan. Pengenalan terhadap karakter
Suratno dipadatkan menjadi satu paragraf. Kalimat ‘ibarat lukisan bla bla bla’ itu
mestinya dapat mewakili seluruh detil yang ada sebelumnya.
- Secara garis besar, cerita agak bertele-tele dan berlebihan dan tak ke mana-mana.
Karakter Suratno yang (tampaknya) egois, ambisius, sombong, merasa apa yang dia
lakukan adalah satu-satunya kebenaran yang ada, tak tergambarkan secara runtut di
sepanjang cerita. Oleh karenanya, ketika di akhir, ketika dia dikagetkan kenyataan Diman
jadi komisaris, lantas mempertanyakan Tuhan, adegan itu enggak ‘meledak’ dengan
sempurna. Cerita akhirnya jadi membingungkan, apakah cerita ingin bilang ke pembaca
bahwa Suratno terlalu picik dan sombong sampai Tuhan menunjukkan kepadanya
kenyataan yang tak dia duga-duga, atau pembaca ingin diajak berempati kepada Suratno
yang sudah ‘bekerja keras secara benar’ lalu tiba-tiba diserobot oleh ‘nepotisme’ Diman.
Nah, itu. Tampak juga kesan bahwa cerita ingin mengisahkan nepotisme yang merusak
‘sempurnanya lukisan’ hidup Suratno. Namun, porsi penggambaran situasi yang mungkin
menyebabkan nepotisme minim, atau malah tak ada. Entah kebobrokan sistem
perusahaan itu, entah direksi yang korup kekuasaan, misal. Tak ada. Cerita terlalu
terpusat pada ‘hidup’ Suratno. Kalau memang premis nepotisme ini yang ingin
dikembangkan dalam cerita ini, boleh dibilang ini cerita gagal. Dalam bangun logika
yang ini, karakter Suratno sepanjang cerita malah terlihat seperti bocah manja yang
‘merengek-rengek’ karena permen yang dia pikir haknya diberikan kepada orang lain.
Sama ambisius, sama egois, tapi lebih kekanak-kanakan dari bangun logika yang
sebelumnya.
- Saran secara keseluruhan, coba buatlah cerita yang sederhana dulu. Seperti yang kapan
hari pernah aku contohkan, dimulai dari seorang karakter yang mengalami suatu
kejadian. Lalu dilanjutkan, bagaimana dia bereaksi atas kejadian itu. Lalu dia mendapati
dirinya masuk dalam kejadian lain. Lalu, sama, bagaimana dia bereaksi atas kejadian
yang selanjutnya itu. Ini namanya teknik membangun narasi. Sebuah cerita pada dasarnya
adalah rajutan kejadian-kejadian yang dialami tokoh utama yang mengantarkannya dari
satu titik ke titik lain. Dan coba fokuskan narasi pada perjalanan dari titik berangkat
tersebut hingga titik akhirnya, detil-detil yang sekiranya tak membawa peran apa-apa
dihapuskan (teknik agar cerita tak bertele-tele).
- Saran secara personal untuk kamu. Coba mulai dari sudut pandang orang pertama. ‘Aku’.
Itu kupikir lebih pas kamu lakukan sekarang. Teknik sudut pandang orang ketiga butuh
terlalu banyak pertimbangan (ada pemisahan suara narator, ada pembangunan karakter
yang lebih detil ketimbang ‘aku’, ada penjarakan suara satu dan lainnya), memakai sudut
orang ketiga besar kemungkinan malah bikin rumit proses belajarmu kalo menurutku.