Anda di halaman 1dari 4

Hanya tiga orang yang tidak kenal Suratno di seluruh kabupaten Duri.

Pertama, memang tidak


bergaul di lingkungannya atau memang mereka yang tidak tau karena sedang merantau. Ketika
masih SD Suratno juara deklamasi tingkat kecamatan. Kemudian, ia juga memenangi cerdas
cermat empat kali berturut-turut tingkat kabupaten. Demikian pula saat sekolah menengah
pertama. Nilai ijazah Suratno menjadi juara umum tingkat kabupaten. Sebuah prestasi yang luar
biasa, karena ada murid plosok desa yang memiliki nilai nyaris sempurna. Biasanya nilai
sempurna diraih oleh sekolah daerah perkotaan. Tidak hanya itu, Suratno juga terpilih menjadi
anggota paskibraka tingkat nasional mewakili daerahnya ke Ibu Kota Jakarta.
Di saat semua temannya bingung mencari perguruan tinggi. Suratno tinggal milih. Tiga
perguruan tinggi terkenal menyurati Suratno untuk bergabung tanpa tes. Maka dipilihlah oleh
Suratno perguruan tinggi yang paling banyak alumninya menjadi mentri.
Usai kuliah dengan nilai nyaris sempurna. Sebuah perusahaan milik negara menawari kerja
sebelum lulus kuliah. Lulusan terbaik harus diambil dahulu sebelum perusahaan menggiurkan
lainnya mengambil mahasiswa teladan. Mobil, rumah dan segala fasilitas sudah ditangan Suratno
hanya dalam waktu tiga bulan saja.
Ibarat sebuah lukisan, jalan hidup Suratno begitu indah di kanvas. Seperti yang dituturkan
kepada anak-anak orang rajin berujung sukses. Jabatan dan kedudukan tinggal menunggu waktu
untuk mendapatkannya.
Namun, ada bagian perjalanan hidup Suratno yang tidak diketahui orang-orang. Ia menyukai
seorang gadis di desanya. Gadis itu bernama Rahmi. Tapi Suratno tak habis pikir Rahmi memilih
Diman seorang pemuda berkulit gelap, kumal, dan tidak rajin mengkaji seperti Suratno.
"Entah dukun apa yang dipakai Diman hingga Rahmi cinta buta" itu ungkapan tepat ketika
Suratno mengingatnya. Ia kemudian mengirimkan sepucuk Surat untuk Rahmi yang bertuliskan
"Masa ngga tertarik dengan pemuda rajin penuh harapan masa depan ini". Dia berharap penuh
jawaban sepucuk surat itu yang dititipkan oleh seorang kawan Rahmi.
"Aku sudah memiliki pacar ya, maaf banget", itulah balasan sepucuk surat dari Rahmi. Tidak
basa basi tapi jelas dan tegas. Dibaca berulang-ulang dan dilihatnya surat itu. Pahit! Pemuda
bermasa depan penuh harapan kalah saingan dengan Diman, seorang pemuda berkulit gelap,
kumal, dan tidak rajin mengaji. Tak lantas menyerah, Suratno datang ke rumah Rahmi untuk
melamarnya. Sekarang siapa yang berani menolak lamaran seorang pejabat perusahaan negara?.
Dan benar, Rahmi sulit menolak lamaran itu, ia memilih meninggalkan Diman yang tidak jelas
maunya.
Setelah bertahun-tahun menikah dan hidup bersama. Suratno memiliki kebiasaan khusus setiap
sarapan pagi. Ia selalu memberikan tips dan trik menjadi orang sukses kepada anaknya. "Jadi
anak jangan pemalas seperti teman Ibu mu dulu" alih-alih diharapkan agar anaknya mengikuti
jejak Suratno. Jika sudah demikian Rahmi hanya diam saja, toh juga sebagai motivasi anaknya.
Selesai sarapan Suratno langsung siap-siap menuju mobil untuk berangkat ke kantor. Sesampai
di depan gerbang kantor yang megah dengan beendera-bendera yang berkibar. Suratno disambut
oleh beberapa pegawainya, mereka semua menunduk memberi hormat. Kemudian ia menuju
ruangannya dan memanggil ketua panitia penyambutan komisaris baru di perusahaan yang ia
pimpin.
"Semua sudah siap? Jangan bikin malu, Kita akan menyambut komisaris baru dengan meriah.
Jika ada kesalahan berujung pecat."
Ketua panitia itu memgangguk tegas, karena sudah ada beberapa pegawai yang dipecat karena
terlambat atau melawan perintah.
"Siapa nama komisaris yang baru?", tanya Suratno
"Diman Sujatmiko, Pak" jawab sang ketua panitia
Kemudian Suratno terdiam sejenak karena ada yang terlintas dipikiranya "Diman...." Kata itu
terlintas lagi dikepalanya setelah ketua panitia mengucapkan. Namun, hal itu tak diambil pusing.
Ia dan ketua panitia itu segera melihat lokasi yang akan digunakan untuk menyambut komisaris
baru. Lalu Suratno melihat sisi samping hiburan.
"Ko ada kendang?", tanyanya pada ketua panitia
"Iya, Pak. Komisaris yang baru suka dangdutan", tegas ketua panitia
"Ngga apa, bahkan musik campursari juga boleh", balasnya
"Hadirin di mohon berdiri untuk menyambut komisaris baru kita", pemandu acara memberikan
intruksi kepada seluruh orang yang ada diruangan tersebut. Suratno dengan semangat dan
sumringah memasang wajah untuk menyambut komisaris baru.
Tiba-tiba wajahnya berubah merah tanpa ekspresi ketika melihat komisaris barunya itu. Bahkan
ketika salaman dan pelukan pun Suratno nyaris tanpa ekspresi. Untuk memecah suasana tegang
menjadi cair ia berkata, "silahkan duduk Pak Diman". Diman pun membalas, "baik, gimana
kabarnya Pak?". Kemudian Suratno menjawab dengan singkat "baik". Hadirin bertepuk tangan
dengan riuh namu Suratno justru terlihat kaku.
Ketika acara istirahat tiba, pukulan kendang dimulai. Diman mengajak Suratno untuk maju dan
menikmati lagu bersama tapi Suratno menepisnya pelan. Dia ingin segara acara ini selesai.
Benar, dia tak habis pikir bahwa Diman yang duduk disampingnya adalah seorang Diman yang
Ia ceritakan setiap pagi pada anaknya. Setelah acara selesai ia segera kembali keruanganya.
Sesampainya ia berfikir, kenapa Tuhan memberikan seorang yang tidak prospek komisari di
perusahaan yang sedang aku pimpin. Apa yang bisa diharapkan dari seorang Diman yang
berlatar belakang tidak jelas. Menjadi komisaris butuh jalan panjang yang tak semua orang
dapatkan dengan mudah. Tak satu pun cerita semacam ini diceritakan oleh para kiai. Pelajaran
yang tak pernah Suratno dapatkan ketika mengaji di tempatnya dulu.
Catatan-catatanku soal cerita ini:

- Masih banyak typo. Dialog dalam tanda petik diakhiri dengan tanda baca, entah koma
atau titik.
Contoh:
“Pergi kau dari sini,” kata Rahmi.
atau
“Dia memang seperti itu orangnya.” Lalu Diman beranjak pergi.

- Paragraf satu sampai empat tampaknya bisa dimampatkan. Pengenalan terhadap karakter
Suratno dipadatkan menjadi satu paragraf. Kalimat ‘ibarat lukisan bla bla bla’ itu
mestinya dapat mewakili seluruh detil yang ada sebelumnya.

- Secara garis besar, cerita agak bertele-tele dan berlebihan dan tak ke mana-mana.
Karakter Suratno yang (tampaknya) egois, ambisius, sombong, merasa apa yang dia
lakukan adalah satu-satunya kebenaran yang ada, tak tergambarkan secara runtut di
sepanjang cerita. Oleh karenanya, ketika di akhir, ketika dia dikagetkan kenyataan Diman
jadi komisaris, lantas mempertanyakan Tuhan, adegan itu enggak ‘meledak’ dengan
sempurna. Cerita akhirnya jadi membingungkan, apakah cerita ingin bilang ke pembaca
bahwa Suratno terlalu picik dan sombong sampai Tuhan menunjukkan kepadanya
kenyataan yang tak dia duga-duga, atau pembaca ingin diajak berempati kepada Suratno
yang sudah ‘bekerja keras secara benar’ lalu tiba-tiba diserobot oleh ‘nepotisme’ Diman.

Nah, itu. Tampak juga kesan bahwa cerita ingin mengisahkan nepotisme yang merusak
‘sempurnanya lukisan’ hidup Suratno. Namun, porsi penggambaran situasi yang mungkin
menyebabkan nepotisme minim, atau malah tak ada. Entah kebobrokan sistem
perusahaan itu, entah direksi yang korup kekuasaan, misal. Tak ada. Cerita terlalu
terpusat pada ‘hidup’ Suratno. Kalau memang premis nepotisme ini yang ingin
dikembangkan dalam cerita ini, boleh dibilang ini cerita gagal. Dalam bangun logika
yang ini, karakter Suratno sepanjang cerita malah terlihat seperti bocah manja yang
‘merengek-rengek’ karena permen yang dia pikir haknya diberikan kepada orang lain.
Sama ambisius, sama egois, tapi lebih kekanak-kanakan dari bangun logika yang
sebelumnya.
- Saran secara keseluruhan, coba buatlah cerita yang sederhana dulu. Seperti yang kapan
hari pernah aku contohkan, dimulai dari seorang karakter yang mengalami suatu
kejadian. Lalu dilanjutkan, bagaimana dia bereaksi atas kejadian itu. Lalu dia mendapati
dirinya masuk dalam kejadian lain. Lalu, sama, bagaimana dia bereaksi atas kejadian
yang selanjutnya itu. Ini namanya teknik membangun narasi. Sebuah cerita pada dasarnya
adalah rajutan kejadian-kejadian yang dialami tokoh utama yang mengantarkannya dari
satu titik ke titik lain. Dan coba fokuskan narasi pada perjalanan dari titik berangkat
tersebut hingga titik akhirnya, detil-detil yang sekiranya tak membawa peran apa-apa
dihapuskan (teknik agar cerita tak bertele-tele).
- Saran secara personal untuk kamu. Coba mulai dari sudut pandang orang pertama. ‘Aku’.
Itu kupikir lebih pas kamu lakukan sekarang. Teknik sudut pandang orang ketiga butuh
terlalu banyak pertimbangan (ada pemisahan suara narator, ada pembangunan karakter
yang lebih detil ketimbang ‘aku’, ada penjarakan suara satu dan lainnya), memakai sudut
orang ketiga besar kemungkinan malah bikin rumit proses belajarmu kalo menurutku.

Anda mungkin juga menyukai