Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Diabetes

mellitus

(DM)

didefinisikan

sebagai

suatu

penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi


etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi
insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap
insulin (WHO, 1999).
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di
dunia mengidap diabetes mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian
besar peningkatan itu akan terjadi di negara negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di
Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali
di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa,
berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita
diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di
Indonesia mencapai 5 juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan
akan mencapai 12 juta penderita (Promosi Kesehatan Online, Juli
2005).
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik
yang tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat
fatal bila

pengelolaannya

tidak

tepat.

Pengelolaan

DM

memerlukan

penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat


dan terapi obat.

BAB II
ISI
II.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan
perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan
berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang
muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile diabetes,
sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas
45 tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini
sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasuskasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang
menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association)
mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi
glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected
Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes
untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)
mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes,
Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan
Clinical Diabetes.

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi


diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa
istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood
Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics.
Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes
melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group
pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes
melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)
disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus
Tipe 2.
Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan
tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun
tetap

mempertahankan

istilah

"Insulin-Dependent

Diabetes

Mellitus" (IDDM) dan


"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun
ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe
1 dan 2 tetap muncul.

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada


klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3
kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi
Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan
Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus
(GDM).

Pada

revisi

klasifikasi

tahun

1985

WHO

juga

mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes


Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes
Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang
tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (NonInsulin-Dependent

Diabetes

Mellitus)

yang

ternyata

juga

memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk

melakukan
Klasifikasi

pengklasifikasian
Diabetes

Melitus

lebih

berdasarkan

berdasarkan

eyiologinya.

etiologinya

sebagai

berikut ;

Diabetes Melitus Tipe 1 :


Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin
absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama
resistensi insulin
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel :
kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3),
kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)
DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:

Pankreatitis
Trauma/Pankreatektomi
Neoplasma
Cistic Fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus

D. Endokrinopati:
1.
2.
3.
4.

Akromegali
Sindroma Cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme

E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon


tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,
Huntington,
Chorea, Prader Willi

Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,
umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa
Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)

II.2 Farmakoterapi Diabetes Melitus

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita


DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-sel Langerhans kelenjar
pankreas

penderita

rusak,

sehingga

tidak

lagi

dapat

memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM


Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar
metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan
normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak
memerlukan

terapi

insulin,

namun

hampir

30%

ternyata

memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral

A. PENGENDALIAN SEKRESI INSULIN

Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh


untuk menstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di
dalam darah tinggi,
sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula
darah rendah, maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam
keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan
menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah.
Stimulasi sekresi insulin oleh peningkatan kadar glukosa
darah
berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan mencapai puncak
setelah 2-4 menit dan masa kerja pendek, sedangkan mula kerja

(onset) fase 2 berlangsung lebih lambat, namun dengan lama


kerja (durasi) yang lebih lama pula.

Gambar di atas menunjukkan pengaruh pemberian infus glukosa


terhadap kadar insulin darah. Infus glukosa diberikan untuk
mempertahankan kadar gula darah tetap tinggi (lebih kurang 2
sampai 3 kali kadar gula puasa selama 1 jam). Segera setelah
infus diberikan kadar insulin darah mulai meningkat secara
dramatis dan mencapai puncak setelah 2-4 menit. Peningkatan
kadar insulin fase 1 ini berasal dari sekresi insulin yang sudah
tersedia di dalam granula sekretori. Peningkatan kadar insulin
fase 2 berlangsung lebih lambat namun mampu bertahan lama.
Peningkatan fase 2 ini merefleksikan sekresi insulin yang baru
disintesis dan segera disekresikan oleh sel-sel b kelenjar
pankreas.

Jadi

jelas

bahwa

stimulus

glukosa

tidak

hanya

menstimulasi sekresi insulin tetapi juga menstimulasi ekspresi


gen insulin.
Disamping kadar gula darah dan hormon-hormon saluran
cerna, ada beberapa faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu
sekresi insulin, antara lain kadar asam lemak, benda keton dan
asam amino di dalam darah, kadar hormon-hormon kelenjar

pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom. Kadar asam


lemak, benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam darah
akan meningkatkan sekresi insulin.
Dalam

keadaan

stres,

yaitu

keadaan

dimana

terjadi

perangsangan syaraf simpatoadrenal, hormon epinefrin bukan


hanya meninggikan kadar glukosa darah dengan memacu
glikogenolisis, melainkan juga menghambat penggunaan glukosa
di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan
glukosanya dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah
akan lebih banyak tersedia untuk metabolisme otak, yang
penyerapan glukosanya tidak bergantung pada insulin. Dalam
keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan asam lemak
sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan
mobilisasi asam lemak dari jaringan.
B. MEKANISME KERJA INSULIN
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas
dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh
sel-sel pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang
sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari
darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa
darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel.
Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel
tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat
memproduksi energi sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk
ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas
terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid,
maupun

metabolisme

protein

dan

mineral.insulin

akan

meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan


transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan
replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat
menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas
pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
Indikasi
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen
karena produksi insulin endogen oleh sel-sel kelenjar pankreas
tidak ada atau hampir tidak ada
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan
terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan,
infark miokard akut atau stroke
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan
terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma
hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang
memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama
periode

resistensi

kebutuhan insulin.

insulin

atau

ketika

terjadi

peningkatan

8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat


9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
Cara Pemberian
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik
yang umumnya dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan
lain,
penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit).
Lokasi penyuntikan yang
disarankan ditunjukan pada
gambar 4 disamping ini.
Penyerapan insulin
dipengaruhi oleh beberapa
hal. Penyerapan paling cepat
terjadi di daerah abdomen,
diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila
disuntikkan
secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih
cepat, dan
masa`kerjanya

menjadi

lebih

singkat.

Kegiatan

fisik

yang

dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja
(onset) dan juga
mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin
dalam
bentuk pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang
akan

menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin


untuk
disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga
tersedia untuk
penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru
sediaan insulin
yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan.
Diharapkan
suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau
per nasal.
D. PENGGOLONGAN SEDIAAN INSULIN
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia,
yang
terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa
kerjanya (duration).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga
insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
Keterangan dan contoh sediaan untuk masing-masing kelompok
disajikan
dalam tabel 6 (IONI, 2000 dan Soegondo, 1995b).

Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh


sebab itu
jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang
penderita dan
berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual,
bahkan
seringkali

memerlukan

penyesuaian

dosis

terlebih

dahulu.

Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan


kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan kerja
singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin
kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja
sedang umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam
bentuk suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi
penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan
campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin
kerja sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi
memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi
terhadap
insulin. Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot.
Gangguan fungsi
ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam
darah (IONI,
2000).
E. TERAPI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk


membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral
yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung
pada tingkat
keparahan

penyakit

dan

kondisi

pasien,

farmakoterapi

hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu


jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan
penentuan

rejimen

mempertimbangkan

hipoglikemik
tingkat

yang

keparahan

digunakan
diabetes

harus
(tingkat

glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk


penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
1. PENGGOLONGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral
dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat
hipoglikemik

oral

golongan

sulfonilurea

dan

glinida

(meglitinida dan turunan fenilalanin).


b)

Sensitiser

insulin

(obat-obat

yang

dapat

meningkatkan

sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan
biguanida dan
tiazolidindion,

yang

dapat

membantu

tubuh

untuk

memanfaatkan insulin
secara lebih efektif.
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk

mengendalikan

hiperglikemia

hyperglycemia).
Disebut juga starch-blocker.

post-prandial

(post-meal

Golongan Sulfonilurea
Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.
Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir
semua obat
hipoglikemik

oral

merupakan

golongan

sulfonilurea.

Obat

hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice)
untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan
normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis
sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak
diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obatobat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar
pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila

sel-sel

Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar


glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa
(atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin,
senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi
insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang
kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi
karena

sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan


kerusakan sel-sel Langerhans kelenjar pancreas, pemberian
obat-obat

hipoglikemik

oral

golongan

sulfonilurea

tidak

bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonilurea


menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik,
sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke
seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma
terutama albumin (70-90%).
Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
umumnya
ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran
cerna dan
gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa
mual, diare,
sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia
dan lain sebagainya. Gejala
hematologik

termasuk

leukopenia,

trombositopenia,

agranulosistosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida
dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat
terjadi apabila
dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan
fungsi hati atau

ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh


obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Interaksi Obat (Handoko dan Suharto, 1995; IONI, 2000)
Banyak

obat

yang

dapat

berinteraksi

dengan

obat-obat

sulfonilurea,
sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat
atau senyawasenyawa
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian
obat-obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin,
fenformin,
sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezida,
dikumarol,

kloramfenikol,

penghambat

MAO

(Mono

Amin

Oksigenase),
guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
Peringatan dan Kontraindikasi (IONI, 2000 dan )
Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
harus hatihati
pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan
fungsi
hati, dan atau gangguan fungsi ginjal. Klorpropamida dan
glibenklamida
tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi
ginjal.
Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat
digunakan
glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat.

Wanita

hamil

merupakan kontra

dan

menyusui,

porfiria,

dan

ketoasidosis

indikasi bagi sulfonilurea.


Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita
diabetes
yuvenil, penderita yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan
diabetes
melitus berat.
Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan
berat badan.
Ada

beberapa

senyawa

obat

hipoglikemik

oral

golongan

sulfonilurea
yang saat ini beredar (Tabel 9). Obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea
generasi pertama yang dipasarkan sebelum 1984 dan sekarang
sudah

hampir

tidak

dipergunakan

lagi

antara

lain

asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida


dan tolbutamida. Yang saat ini beredar adalah obat hipoglikemik
oral golongan
sulfonilurea generasi kedua yang dipasarkan setelah 1984,
antara lain
gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida, glimepirida, dan
glikuidon.
Senyawa-senyawa

ini

umumnya

tidak

terlalu

berbeda

efektivitasnya, namun
berbeda dalam farmakokinetikanya, yang harus dipertimbangkan
dengan
cermat dalam pemilihan obat yang cocok untuk masing-masing
pasien
dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan terapi lain yang tengah
dijalani pasien.
Obat Hipoglikemik Oral

Keterangan

Gliburida
(Glibenklamida)
Contoh Sediaan:
Glibenclamide (generik)
Abenon (Heroic)
Clamega
Condiabet (Armoxindo)
Daonil (Aventis)
Diacella (Rocella)
Euglucon
Fimediab (First Medipharma)
Glidanil (Mersi)
Gluconic (Nicholas)
Glimel (Merck)
Hisacha (Yekatria Farma)
Latibet (Ifars)

Glipizida
Contoh Sediaan:
Aldiab (Merck)
Glucotrol (Pfizer)
Glyzid (Sunthi Sepuri)
Minidiab (Kalbe Farma)
Glucotrol

Memiliki efek hipoglikemik yang


poten
sehingga pasien perlu diingatkan
untuk melakukan jadwal makan
yang ketat. Gliburida
dimetabolisme dalam hati,
hanya 25% metabolit diekskresi
melalui ginjal,
sebagian besar diekskresi
melalui empedu
dan dikeluarkan bersama tinja.
Gliburida
efektif dengan pemberian dosis
tunggal. Bila
pemberian dihentikan, obat akan
bersih
keluar dari serum setelah 36
jam.
Diperkirakan mempunyai efek
terhadap
agregasi trombosit. Dalam batasbatas
tertentu masih dapat diberikan
pada
beberapa pasien dengan
kelainan fungsi hati
dan ginjal. (Handoko dan
Suharto, 1995;
Soegondo, 1995b).
Mempunyai masa kerja yang
lebih lama
dibandingkan dengan
glibenklamid tetapi
lebih pendek dari pada
klorpropamid.
Kekuatan hipoglikemiknya jauh
lebih besar
dibandingkan dengan
tolbutamida.
Mempunyai efek menekan
produksi glukosa
hati dan meningkatkan jumlah
reseptor
insulin. Glipizida diabsorpsi
lengkap sesudah
pemberian per oral dan dengan
cepat

Glikazida
Contoh Sediaan:
Diamicron (Darya Varia)
Glibet (Dankos)
Glicab (Tempo Scan Pacific)
Glidabet (Kalbe Farma)

Glimepirida
Contoh Sediaan:
Amaryl

Glikuidon
Contoh Sediaan:
Glurenorm (Boehringer
Ingelheim)

dimetabolisme dalam hati


menjadi metabolit
yang tidak aktif. Metabolit dan
kira-kira 10%
glipizida utuh diekskresikan
melalui ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995;
Soegondo,
1995b).
Mempunyai efek hipoglikemik
sedang
sehingga tidak begitu sering
menyebabkan
efek hipoglikemik. Mempunyai
efek anti
agregasi trombosit yang lebih
poten. Dapat
diberikan pada penderita
gangguan fungsi
hati dan ginjal yang ringan
(Soegondo,
1995b).
Memiliki waktu mula kerja yang
pendek dan
waktu kerja yang lama, sehingga
umum
diberikan dengan cara
pemberian dosis
tunggal. Untuk pasien yang
berisiko tinggi,
yaitu pasien usia lanjut, pasien
dengan
gangguan ginjal atau yang
melakukan
aktivitas berat dapat diberikan
obat ini.
Dibandingkan dengan
glibenklamid, glimepirid
lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik
pada awal pengobatan
(Soegondo, 1995b).
Mempunyai efek hipoglikemik
sedang dan
jarang menimbulkan serangan
hipoglikemik.
Karena hampir seluruhnya

diekskresi melalui
empedu dan usus, maka dapat
diberikan
pada pasien dengan gangguan
fungsi hati
dan ginjal yang agak berat
(Soegondo,
1995b)
Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat
hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan
golongan
sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja
meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.
Umumnya
senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan
fenilalanin ini
dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral
lainnya.
Obat Hipoglikemik Oral
Repaglinida
Contoh Sediaan:
Prandin/NovoNorm/ GlucoNorm
(Novo Nordisk)

Nateglinida
Contoh Sediaan:
Starlix (Novartis Pharma AG)

Keterangan
Merupakan turunan asam
benzoat.
Mempunyai efek hipoglikemik
ringan sampai
sedang. Diabsorpsi dengan
cepat setelah
pemberian per oral, dan
diekskresi secara
cepat melalui ginjal. Efek
samping yang
mungkin terjadi adalah keluhan
saluran
cerna
Merupakan turunan fenilalanin,
cara kerja
mirip dengan repaglinida.
Diabsorpsi cepat
setelah pemberian per oral dan
diekskresi
terutama melalui ginjal. Efek
samping yang
dapat terjadi pada penggunaan
obat ini
adalah keluhan infeksi saluran
nafas atas

(ISPA)
Golongan Biguanida
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada
hati
(hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa
golongan
biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak
pernah
menyebabkan hipoglikemia Satu-satunya senyawa biguanida yang
masih dipakai sebagai obat
hipoglikemik oral saat ini adalah metformin. Metformin masih
banyak dipakai di
beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya
asidosis
laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan
tidak ada
gangguan fungsi ginjal dan hati.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah,
kadangkadang
diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
Kontra Indikasi
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita gangguan
fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan
wanita
hamil. Pada keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan
biguanida.
Obat Hipoglikemik Oral
Metformin
Contoh Sediaan:
Metformin (generic)
Benoformin (Benofarma)
Bestab (Yekatria)
Diabex (Combiphar)
Eraphage (Guardian)

Keterangan
Satu-satunya golongan
biguanida yang
masih dipergunakan sebagai
obat
hipoglikemik oral. Bekerja
menurunkan kadar
glukosa darah dengan
memperbaiki
transport glukosa ke dalam selsel otot. Obat
ini dapat memperbaiki uptake
glukosa
sampai sebesar 10-40%.
Menurunkan
produksi glukosa hati dengan
jalan
mengurangi glikogenolisis dan

glukoneogenesis
Golongan Tiazolidindion (TZD)
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan
tubuh
terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome
proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan
hati untuk
menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan
kecepatan glikoneogenesis.
Obat Hipoglikemik Oral
Rosiglitazone
Contoh Sediaan:
Avandia
(GlaxoSmithKline)
Pioglitazone
Contoh Sediaan:
Actos (Takeda Chemicals

Keterangan

Mempunyai efek menurunkan


resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah
protein transporter
glukosa, sehingga meningkatkan
uptake
glukosa di sel-sel jaringan
perifer. Obat ini
dimetabolisme di hepar. Obat ini
tidak boleh
diberikan pada pasien gagal
jantung karena
dapat memperberat edema dan
juga pada
gangguan fungsi hati. Saat ini
tidak digunakan
sebagai obat tunggal

Golongan Inhibitor -Glukosidase


Senyawa-senyawa inhibitor -glukosidase bekerja menghambat
enzim
alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzimenzim
-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase)
berfungsi
untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi
kerja
enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat
kompleks

dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar


glukosa post
prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor -glukosidase
juga
menghambat enzim -amilase pankreas yang bekerja
menghidrolisis
polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat
oral yang
biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif
bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa
plasma puasa
kurang dari 180 mg/dl.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu
makan
dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Obat-obat inhibitor -glukosidase dapat diberikan sebagai obat
tunggal
atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya.
Obat ini
umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara
bertahap
sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk memberikannya
bersama suap
pertama setiap kali makan.
Efek Samping (Soegondo, 1995b)
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus
dan
kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan
berlangsung
lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah
pada waktu
makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Bila diminum
bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin)
dapat terjadi
hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi
tidak dapat
diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan
dengan
dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan
untuk
memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.
Obat Hipoglikemik Oral
Acarbose
Contoh Sediaan:
Glucobay (Bayer)
Precose

Keterangan
Acarbose dapat diberikan dalam
terapi
kombinasi dengan sulfonilurea,
metformin,

atau insulin
4.3. TERAPI KOMBINASI
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa
OHO atau
OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan
sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan
merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk
senyawa
biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini
memiliki
efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi
keduanya
mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan
bahwa
kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita
diabetes
yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGGUNAAN
OBAT
HIPOGLIKEMIK ORAL
1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan
secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru
pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia,
oleh
sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka
panjang
tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Terapi

obat

untuk

penderita

Diabetes

Melitus

dibagi

berdasarkan tipenya. Pada penderita Diabetes Melitus tipe 1 selsel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga
tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya,
maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya
dapat berjalan normal. Pada penderita Diabetes Melitus tipe II
tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata
memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

Anda mungkin juga menyukai