Anda di halaman 1dari 6

Dapus tambahan:

Wallace, D.J., Gudsoorkar, V.S., Weisman, M.H., and Venuturupal, S.R. New Insights Into
Mechanism of Therapeutic Effects of Antimalarial Agents in SLE. Nat. Rev.
Rheumatol. 2012:8:522-533.
G. Terapi Farmakologi
Rekomendasi Perhimpunan Reumatik Indonesia
Perhimpunan Reumatik Indonesia menyusun strategi pengobatan SLE baik
rengan, sedang, maupun berat dalam pilar pengobatan SLE. Pilar tersebut meliputi
edukasi dan konseling, program rehabilitasi/terapi nonfarmakologi. dan
pengobatan/terapi farmakologi.
Berdasarkan aktivitas penyakitnya, pengobatan SLE dibedakan:
Gambar 3. Algoritme Terapi SLE Menurut Perhimpunan Reumatologi
Indonesia (Kasjmir et al, 2011).

1. Kortikosteroid (Prednison, Metilprednisolon)
Digunakan sebagai pengobatan utama pasien SLE, sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi. Dosis yang digunakan bervariasi bergantung pada derajat keparahan
penyakit. Dosis rendah ( 7,5 mg prednison/setara per hari) digunakan pada SLE yang
ringan. Dosis sedang dan tinggi digunakan untuk SLE aktif/sedang sampai berat. Dosis
sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut berat seperti vaskulitis luas, LN.
Tabel . Terminologi Pembagian Kortikosteroid (Kasjmir et al, 2011)
Untuk meminimalisir efek samping, dosis kortikosteroid dapat mulai dikurangi
segera setelah penyakit dapat terkontrol. Tapering dosis prednison yang lebih dari 40 mg
sehari dapat dilakukan dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti penurunan 5
mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Dilanjutkan penurunan 1-2,5
mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison <20 mg/hari. Lalu dipertahankan dalam
dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit (Kasjmir et al, 2011).
2. Obat Imunosupresan/ Sitotoksik (Azatioprin, Siklofosfamid, Metotreksat,
Siklosporin, Mikofenolat mofetil)
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau
sitopenia, dapat diberikan gabungan kortikosteroid dengan imunosupresan/sitotoksik
untuk hasil yang lebih baik (Kasjmir et al, 2011).
3. Antimalaria (Hidroksiklorokuin, Klorokuin)
Studi menemukan bahwa antimalaria dapat menjadi salah satu obat efektif dalam
terapi reumatoid artritis dan SLE, dengan mekanisme aksinya secara molekular yang
sangat bervariasi. Salah satunya adalah efek antagonis terhadap toll-like receptor (TLR)
dan sitokin, sehingga dapat mengkontrol inflamasi. Selain itu efek lain dari antagonis
TLR ini yang menarik adalah antitrombosis, antilipidemia, keamanannya untuk pasien
SLE hamil, dan fotoprotektif (Wallace, 2012).
4. Rituximab
Antibodi monoklonal kimerik, dapat diberika pada pasien SLE berat (Kasjmir,
2011).
5. Immunoglobulin intravena
IgG dosis 400mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama untuk pasien dengan
trombositopenia, anemia hemolitik, lupus nefritis, neuropsikiatri lupus, manifestasi
mukokutaneus, demam refrakter dengan terapi konvensional (Kasjmir, 2011).
6. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)
Ditujukan pada pasien SLE ringan yang mengalami tanda dan gejala seperti
demam, artritis, nyeri, dan serositis. Dosis yang diberikan harus disesuaikan untuk efek
antiinflamasi yang diharapkan. Penggunaan OAINS dapat menurunkan aliran darah ginjal
dan GFR sehingga penggunaannya pada pasien lupus nefritis harus hati-hati dan
dimonitor (Dipiro, 2008).

H. Monitoring Terapi
Penilaian terapi yang dilakukan bergantung pada derajat penyakit SLE yang
dialami serta pengobatan yang diterima pasien. Untuk memantau progresi dari penyakit
ini pada pasien, diperlukan pemeriksaan secara rutin. Rekomendasi dari PRI adalah:

Berdasarkan obat-obat yang diberikan, berikut pemantauan yang harus dilakukan
untuk mencegah/penanganan segera toksisitas atau efek yang tidak diinginkan dalam
penggunaan obat:
Jenis obat Jenis toksisitas Evaluasi
awal
Pemantauan
Klinis Laboratoriu
m
OAINS Perdarahan saluran
cerna,
hepatotoksik, sakit
kepala, hipertensi,
aseptik meningitis,
nefrotoksik
Darah
rutin,
kreatinin,
urin rutin,
AST/AL
T
Gejala
gastrointestinal
Darah rutin,
kreatinin,
AST/ALT
setiap 6
bulan
Gambar. Penilaian Awal dan Monitoring Terapi SLE (Kasjmir et al, 2011)

Kortikosteroi
d
sindrom Cushing,
hipertensi,
dislipidemia,
osteonekrosis,
hiperglikemia,
katarak,
osteoporosis
Gula
darah,
profil
lipid,
DXA,
tekanan
darah
Tekanan darah Glukosa
Antimalaria Retinopati,
keluhan saluran
GI, rash, mialgia,
sakit kepala,
anemia hemolitik
untuk pasien
defisiensi G6PD
Evaluasi
mata,
G6PD
pada
pasien
berisiko
Funduskopi dan
lapangan
pandang mata
setiap 3-6 bulan

Sitotoksik
Azatioprin mielosupresif,
hepatotoksik,
gangguan
limfoproliferatif
Darah
tepi
lengkap,
kreatinin,
AST/AL
T
Gejala
mielosupresif
Darah tepi
lengkap tiap
1-2 minggu
selanjutnya
1-3 bulan
interval.
AST tiap
tahun dan
pap smear
secara teratur
Siklofosfamid Mielosupresif,
gangguan
limfoproliferatif,
keganasan,
imunosupresi,
sistitis hemoragik,
infertilitas
sekunder
Darah
tepi
lengkap,
hitung
jenis
leukosit,
urin
lengkap
Gejala
mielosupresif,
hematuria dan
infertilitas
Darah tepi
dan urin
lengkap tiap
bulan,
sitologi urin
dan pap
smear tiap
tahun seumur
hidup
Metotreksat Mielosupresif,
fibrosis hepatik,
sirosis, infiltrat
pulmonal, fibrosis
Darah
tepi
lengkap,
foto
toraks,
serologi
hepatitis
B dan C
pada
pasien
risiko
tinggi,
Gejala
mielosupresif,
sesak nafas,
mual muntah,
ulkus mulut
Darah tepi
lengkap
terutama
hitung
trombosit
tiap 4-8
minggu,
AST/ALT
dan albumin
tiap 4-8
minggu, urin
lengkap dan
AST,
fungsi
hati,
kreatinin
kreatinin
Siklosporin A Pembengkakan,
nyeri gusi, tekanan
darah;pertumbuha
n rambut naik,
gangguan fungsi
ginjal, nafsu
makan turun,
tremor
Darah
tepi
lengkap,
kreatinin,
urin
lengkap,
LFT
Gejala
hipersensitivita
s terhadap
castor oil (bila
obat diberikan
injeksi),
tekanan darah,
fungsi hati dan
ginjal
Kreatinin, tes
fungsi liver,
darah tepi
lengkap
Mikofenolat
mofetil
Mual, diare,
leukopenia
Darah
tepi
lengkap,
feses
lengkap
Gejala GI
seperti mual,
muntah
Darah tepi
lengkap
terutama
leukosit dan
hitung
jenisnya
Tabel . Pemantauan Terapi Farmakologi SLE (Kasjmir et al, 2011)

Anda mungkin juga menyukai