Anda di halaman 1dari 7

7.

TERAPI FARMAKOLOGI
Pengobatan SLE terutama didasarkan pada penggunaan obat Tradisional, seperti
kortikosteroid, antimalaria, azathioprine dan siklofosfamid (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).
 Terapi Tradisional
1. Kortikosteroid

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien denganSLE.


Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.Dosis KS
yang digunakan juga bervariasi. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat
tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebra.

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi
atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1
gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut..
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai
dikurangisegera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati
untukmenghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul
akibatpenekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal(HPA)kronis. T apering secara
bertahapmemberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Istilah ini
digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis KS dan
berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing
agentini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate.
Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping KS.
2. Antimalaria
obat antimalaria secara luas digunakan dalam pengobatan artikular dan maniwx
mukokutan festations dari SLE. Mengenai yang terakhir, klorokuin dan
hidroksiklorokuin telah berhasil dikombinasikan dengan quinacrine untuk mengobati
SLE kulit yang parah. Antimalaria juga dapat mengontrol manifestasi lain dari SLE,
seperti kelelahan dan serositis.
3. Cyclophosphamide
 indikasi siklofosfamid pada SLE: Penderita LES yang membutuhkan steroid
dosis tinggi (steroid sparing agent)
 Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
 Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau
Berulang
 Glomerulonefritis difus awal
 LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama
60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian
obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan
selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun.
Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan
memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi
ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m
4. Azathioprine
Azathioprine AZA efikasi yang baik terhadap SLE manifestasi . Mayoritas data
yang diterbitkan berasal dari pasien dengan lupus nephritis LN, di antaranya obat telah
banyak digunakan dalam protokol berurutan setelah fase induksi dengan siklofosfamid.
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif
terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per
oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-
betul terkontrol dengan baik.Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem
hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila


jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan
25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya
 Terapi Baru
1. Cyclosporin A
munosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah Siklosporin
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin
darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin,
maka dosisnya harus diturunkan.
2. Metotrexate
Metotreksat MTX, pada dosis hingga 15-20 mg minggu, sedang semakin digunakan
dalam pengobatan serositis, kulit dan artikular manifestasi dari SLE. Namun, sementara
khasiat MTX dalam pengobatan berbagai penyakit autoimun, khususnya rheumatoid
arthritis, sudah ditetapkan oleh studi terkontrol, penggunaannya dalam SLE
didasarkanpada kasus seri dan hanya satu ran kecil domised studi terkontrol plasebo.
3. Mofetil-mikofenolat (MMF)
Sebagai CSA, mycophenolate mofetil MMF adalah obat yang dikembangkan
untuk imunosupresi dalam transplantasi organ. MMF telah terbukti menekan
perkembangan autoimunitas dan untuk memperpanjang umur pada wanita model tikus
BRW dari SLE.Thus, penggunaannya dalam SLE manusia, terutama LN, telah
diusulkan.

Data yang tersedia dalam literatur, yang berasal dari pengalaman lima
kelompok 50-54, tampaknya menjanjikan. Dosis harian MMF telah berkisar antara
1000 dan 3000 mg, dan periode tindak lanjut antara 1 dan 24 bulan. Kebanyakan pasien
memiliki bentuk resisten
LN proliferatif atau manifestasi berat lainnya dari penyakit, tidak responsif terhadap
agen imunosupresif lainnya. Secara umum, MMF telah menghasilkan perbaikan gejala
dan penurunan proteinuria.
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada nefritis
lupus, MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat
remisi, kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi
nefritis lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak
berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea. Dosis MMF
adalah 500 – 1500 mg, 2 kali perhari.
4. Dapsone
Dapsone 4,4 -diaminodiphenylsulfone adalah obat yang dipakai dalam pengobatan
dermatitis herpetiformis dan sebagai obat anti-mikobakteri pada kusta. Sejumlah
laporan kasus dan seri kecil pada penggunaan dapson di SLE telah diterbitkan. dosis
oral 25-100 mg sehari telah terbukti efektif pada lesi vaskulitis, bulosa LE, subakut
lupus kulit, ulkus oral dan leukopenia berat dan thromwx bocytopenia Efek samping
utama dari dapson adalah hematologi cal hemolisis dan neurologis polyneuritis, dengan
demikian, pemantauan hati-hati diperlukan. obat ini harus dipertimbangkan sebagai
pengobatan lini kedua, sebagian besar dalam kasus-kasus resisten terhadap terapi
konvensional lupus kulit.
5. Thalidomide
Data pertama pada penggunaan thalidomide di tanggal SLE kembali ke awal 1980-an
70. Dalam laporan pertama ini, manifestasi kulit dari tahan terhadap HCQ lupus
merespons dosis tinggi thalidomide 300 hari mg. Serangkaian 60 pasien dengan lupus
diskoid diterbitkan pada tahun 1983. Ini penulis used400 mgrday dengan tingkat respon
di kisaran 90%.
penggunaan klinis dari thalidomide harus disediakan untuk pasien dengan lesi kulit
yang parah tidak responsif terhadap pengobatan lain seperti antimalaria dan MTX.
Wanita pada thalidomide harus memastikan langkah-langkah kontrasepsi yang dapat
diandalkan. Dosis serendah mungkin harus digunakan, dan pemantauan sering
konduksi saraf juga harus dilakukan, dengan tujuan mendeteksi dini dan kerusakan
saraf reversibel
6. DHEA
ormon seks mungkin memiliki peran dalam etiopatogenesis dari SLE. Peran terapi
mungkin hari droepiandrosterone DHEA, steroid adrenal androgenik yang lemah, telah
hipotesis. Dalam doubleblind, terkontrol plasebo, uji coba secara acak, yang diterbitkan
pada tahun 1995, 28 pasien wanita dengan ringan sampai sedang SLE diperlakukan
dengan DHEA 200 mgrday
atau plasebo selama 3 bulan. Meskipun hasil melakukan notreach signifikansi statistik,
pasien yang memakai plasebo menunjukkan penurunan lebih rendah dalam aktivitas
penyakit, dosis steroid yang lebih tinggi dan tingginya insiden flare lupus dibandingkan
mereka yang diobati dengan DHEA 81. Hasil yang sama memilikitelah diperoleh dalam
jangka panjang calon, percobaan non-dikendalikan, pengobatan SLE dengan DHEA
pada 50-200 hari mg.
7. Bromocriptine
Prolaktin mungkin memiliki peran dalam respon dan SLE aktivitas kekebalan tubuh.
Atas dasar pertimbangan tersebut, bromocriptine, inhibitor selektif sekresi prolaktin,
telah diusulkan untuk menjadi bermanfaat dalam beberapa penyakit autoimun.
Hipotesis ini telah diteliti dalam dua calon, double-blind, studi acak, satu terhadap
plasebo 85 dan lainnya terhadap HCQ, Pada pasien studi pertama, diperlakukan
withbromocriptine, 2,5 mgrday, atau plasebo, telah diikuti selama 12,5 bulan; tidak ada
perbedaan telah diamati di antara kedua kelompok dalam skor aktivitas penyakit atau
jumlah flare, meskipun bromocriptine menurun jumlah rata-rata bulan pasien. Dalam
studi kedua, pada pasien dengan penyakit aktif, bromocriptine menunjukkan potensi
untuk menekan aktivitas penyakit pada SLE dengan hasil comparableto HCQ.
8. Fludarabine dan Cladribine
Fludarabine dan cladribine 2-kloro-2 -deoxy-. adenosine merupakan analog nukleosida
yang bertindak secara khusus pada limfosit. Sebuah studi percontohan baru-baru ini
telah menyarankan kemanjuran dari ofcladribine iv infus tunggal untuk
mempertahankan LN dalam pengampunan. Namun, penulis lain telah melaporkan
kegagalan dalam mendorong SLE remisi, dan bahkan reaktivasi SLE oleh cladribine.
Fludarabine telah digunakan anekdot dalam dua pasien dengan SLE demikian, tidak
ada rekomendasi spesifik dapat dilakukan atas dasar laporan tersebut.
9. NSAID
NSAID berfungsi sebagai pengobatan arthritis(nyeri sendi) pada penderita lupus.
NSAID yang biasanya sering digunakan seperti paracetamol,ibuprofen,ataupun
naproxen
Terjadi pengikatan terhadap COX1 secara permanen, dan berdampak pada
trombosit  harus dihentikan sebelum tindakan operatif dengan lama 5 (lima)
kali waktu paruh.
Contoh :
- Ibuprofen dengan masa waktu paruh 2,5 jam, maka 1 hari sebelum tindakan operatif
tersebut harus dihentikan.
- Naproxen perlu dihentikan 4 (empat) hari sebelum operasi karena masa waktu
paruh selama 15 jam.
 SLE DAN KEHAMILAN
Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinansangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkansekurang-kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus nefritis
jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total Hal ini dapat mengurangi
kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5 mg/hari
prednison atau setara.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-
hatian,daftar pengobatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan

 Metoda Kontrasepsi untuk SLE

Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah terbatas, dan
masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung kondisi penderita. Kontrasepsi
oral merupakan pilihan bagi penderita dengan keadaan yang stabil, tanpa sindrom
antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya adalah
kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun
penelitian mendapatkan bukti ini sangat lemah.
Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada penderita SLE dengan APS karena dapat
mengakibatkan trombosis.Sementara penggunaan intra uterine device(IUD) pada penderita
yang mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak direkomendasikan, karena
risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy
progesteron acetate(DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini
dikhawatirkan adanya kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang (menimbulkan
osteoporosis), sehingga hanya diberikan berdasarkan indikasi tiap-tiap individu, contohnya
mereka dengan kelainan perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan pilihan
yang terbaik.Konsultasi dengan para ahli sangat penting untuk menentukan pilihan kontrasepsi
bagi penderita lupus, masing-masing harus didasarkanatas aktivitas penyakit, faktorrisiko
terhadap trombosis dan osteoporosis, gaya hidup dan kepercayaan masing-masing individu.
 SLE dengan APS
Penatalaksanaan APS pada dasarnya ditujukan terhadap kejadian trombosisyaitu
46:
1.Aspirin dosis kecil (80 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada
pasien SLE dengan APS sebagai pencegahan primer terhadaptrombosis dan
keguguran
2.Faktor-faktor risiko lain terhadap trombosis perlu diperiksa misalnya protein C,
protein S, homosistein
3.Obat-obat yang mengandung estrogen meningkatkanrisiko trombosis, harus
dihindari.
4.Pada pasien SLE yang tidak hamil dan menderita trombosis yang berhubungan
dengan APS, pemberian antikoagulan jangka panjang dengan antikoagulan oral
efektif untuk pencegahan sekunder terhadap trombosis. Pemberian heparinisasi
unfractionated dengan target aPTT pada hari 1 – 10 sebesar 1,5– 2,5 kali normal.
Selanjutnya dilakukan pemberian tumpang tindih warfarin mulai hari ke-tujuh sampai
ke-sepuluh, kemudian heparin dihentikan. Target INR adalah 2 – 3 kali nilai normal.
Pada pasien hamil yang menderita SLE dan APS, kombinasi heparin berat
molekul rendah (LMW) atau unfractionateddan aspirin akan mengurangi risiko
keguguran dan trombosis.
- Rekomendasi
- Anti fosfolipid sindrom perlu diperhatikan pada penderita SLE dengan riwayat
keguguran atau trombosis
- Penatalaksanaan anti fosfolipid sindrom menggunakan aspirin dan /atau heparin
(LMWH/ unfractionated)
- Neuropsikiatri Lupus (NPSLE)

Rekomendasi penatalaksanaan NPSLE


Tidak ada standar terapi NPSLE, masing-masing pasien diterapI berdasarkan gejala
manifestasi yang dialaminya (tailored). Dalam praktek klinik ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE dengan gejala neuropsikiatrik.
1.Selalu pikirkan diagnosis banding karena NPSLE merupakan diagnosis eksklusi (diagnosis
ditegakkan setelah menyingkirkan diagnosis lain)
2.Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang timbul) atau tampaknya
(secara epidemiologi) menimbulkan kerusakan yang ireversibel.
3.Pasien SLE dengan manifestasi Neuropsikiatrik mayor (neuritis optikus, acute confusional
state/ koma, neuropati kranial atau perifer , psikosis dan mielitis transverse/ mielopati)
mungkin disebabkan oleh in lamasi, pertimbangkan pemberian terapi imunosupresif

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia : Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai