Anda di halaman 1dari 27

Indah Lestari Paranoan

Alamat Korespondensi:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510
e-mail: ilp181290@ymail.com
no. hp : 08561315710

Sesak Napas pada Anak Akibat Asma


PENDAHULUAN
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi
jalan napas, dan gejala pernapasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan napas umumnya bersifat
reversibel, namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan relativ nonreversibel tergantung berat
dan lamanya penyakit.
ANAMNESIS
Yang dapat ditanyakan pada pasien adalah:1
1. Gejala-gejalanya dapat mencakup batuk, mengi, kesulitan bernapas, dada terasa tertekan.
2. Tanyakan tentang penyakit yang menyertai: rhinitis, sinusistis, polip nasal, dermatitis
atopik.
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asma antara lain: infeksi pernapasan atas oleh
virus, alergen, iritan, emosi, obat, zat aditif pada makanan, udara dingin, olag raga.
Esofagitis refluks merupakan presipitan yang lazim untuk asma terutama jika gejala
nocturnal lebih menonjol.
4. Usia saat awitan, perkembangan penyakit.
5. Penanganan, pengobatan, respons terhadap pengobatan sebelumnya.
6. Pengelolaan sekarang, mencakup rencana untuk terjadinya eksaserbasi.

7. Kunjungan ke bagian gawat darurat sebelumnya, perawatan di rumah sakit, intubasi,


perawatan di ICU.
8. Tidak masuk sekolah atau kerja.
9. Gejala-gejala nokturnal.
10. Pengaruh pada gaya hidup, pertumbuhan, sekolah, kerja.
11. Merokok, menjadi perokok pasif, terpapar akibat pekerjaan.
12. Riwayat keluarga menderita asma atau atopi.
PEMERIKSAAN FISIK
Setelah penilaian umum keadaan pasien, pemeriksaan dada posterior dilakukan ketika
pasien masih duduk. Lengan pasien sebaiknya dilipat dan diletakkan di atas pangkuannya. Bila
pemeriksaan dada posterior sudah selesai, pasien diminta untuk berbaring dan pemeriksaan dada
anterior dimulai. Selama pemeriksaan, pemeriksa perlu berusaha membayangkan daerah paruparu di bawahnya.2,3
Jika pasiennya pria, pakaiannya harus dibuka sampai sebatas pinggang. Jika pasiennya
wanita, pakaiannya harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah pemaparan payudara yang
tidak perlu dan memalukan. Pemeriksa berdiri menghadapi pasien.
Pemeriksaan dada anterior dan posterior mencakup:
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Perkusi
4. Auskultasi

Penilaian Umum
Inspeksi Ekspresi Wajah Pasien
Apakah pasien dalam keadaan menderita akut? Apakah cuping hidung mengembang atau
bernapas dengan bibir dikerutkan? Apakah ada tanda-tanda pernapasan yang dapat didengar,
seperti stridor dan wheezing? Ini berkaitan dengan obstruksi aliran udara.
Inspeksi Sikap Tubuh Pasien

Pasien dengan obstruksi saluran pernpasan cenderung memilih posisi di mana mereka
dapat menyokong lengan mereka dan memfiksasi otot-otot bahu dan leher untuk membantu
respirasi. Suatu tehnik yang lazim dipakai pasien dengan obstruksi bronkus adalah memegang
sisi-sisi tempat tidur dan memakai muskulus latisimus dorsi untuk membantu mengatasi
meningkatnya tahanan terhadap aliran keluar selama ekspirasi. Pasien dengan ortopnea duduk
atau berbaring di atas beberapa buah bantal.
Inspeksi leher
Apakah pernapasan pasien dibantu oleh kerja otot-otot tambahan? Pemakaian otot-otot
tambahan merupakan salah satu tanda paling dini adanya obstruksi saluran pernapasan. Pada
distres pernapasan, muskulus trapezius dan sternokleidomastoideus berkontraksi selama
inspirasi. Otot-otot tambahan membantu dalam ventilasi, karena mereka mengangkat klavikula
dan dada anterior untuk meningkatkan volume paru-paru dan memperbesar tekanan negated di
dalam toraks. Ini menyebabkan retraksi fosa supraklavikular dan otot-otot interkostal. Gerakan
ke atas klavikula dari 5 mm selama pernapasan berkaitan dengan penyakit obstruksi paru-paru
yang berat.
Inspeksi Konfigurasi Dada
Berbagai macam keadaan dapat mengganggu ventilasi yang memadai, dan konfigurasi
dada mungkin menunjukkan penyakit paru. Peningkatan diameter anteroposterior (AP) dijumpai
pada COPD tingkat lanjut. Diameter AP cenderung mendekati diameter lateral, sehingga
terbentuk dada berbentuk tong. Iga-iga kehilangan sudut 45o dan menjadi lebih horizontal. Suatu
flait chest adalah konfigurasi dada di mana satu sisi dada bergerak secara paradoksal ke dalam
selama inspirasi. Keadaan ini dijumpai pada fraktur iga multipel. Kifoskoliosis adalah deformitas
tulang punggung di mana terdapat lengkungan tulang punggung abnormal AP dan lateral
sehingga pengembangan dada dan paru-paru menjadi sangat terbatas. Pectum excavatum, atau
dada corong, adalah cekungan pada sternum, akan menimbulkan masalah restriktif pada paruparu hanya jika cekungannya jelas. Pectus carinatum, atau dada burung merpati, adalah suatu
deformitas yang lazim ditemukan, tetapi tidak mengganggu ventilasi.

Gambar 1. Konfigurasi dada yang lazim ditemukan.3

Menilai Laju dan Pola Respirasi


Bila menilai laju respirasi, jangan meminta pasien untuk bernapas secara normal.
Orang secara volunteer akan mengubah pola dan laju pernapasannya bila mereka menjadi
menjadi menyadarinya. Cara yang lebih baik adalah, setelah menghitung denyut radial, arahkan
mata Anda ke dada dan mengevaluasi pernapasan pasien sementara masih memegang
pergelangan tangannya. Pasien tidak menyadari bahwa Anda sudah tidak menghitung denyut
nadi lagi, dan perubahan napas secara volunter tidak akan terjadi. Hitunglah jumlah pernapasan
dalam periode 30 detik dan kalikanlah angkanya dengan 2 untuk mendapatkan laju pernapasan
yang akurat.
Orang dewasa bernapas kira-kira 10-14 kali semenit, Bradipnea adalah perlambatan
respirasi secara abnormal; takipnea adalah peningkatan abnormal. Apnea adalah berhentinya
pernapasan untuk sementara. Istilah hiperpnea adalah peningkatan dalamnya pernapasan,
biasanya berkaitan dengan asidosis metabolik. Dikenal pula sebagai pernapasan Kussmaul. Ada
bayak macam pola pernapasan abnormal.

Dada Posterior
Sekarang Anda harus pindah ke punggung pasien untuk memeriksa dada posterior.
Palpasi adalah meletakkan tangan. Palpasi dipakai dalam pemeriksaan dada untuk memeriksa
hal-hal berikut ini:
4

Daerah nyeri tekan

Kesimetrisan pergerakan dada

Fremitus taktil

Palpasi untuk Nyeri Tekan


Semua daerah dada harus diperiksa untuk mengetahui adanya daerah-daerah nyeri tekan.
Pukul perlahan punggung pasien dengan kepalan tangan Anda. Keluhan nyeri dada mungkin
hanya dengan penyakit muskuloskeletal setempat dan tidak berkaitan dengan penyakit jantung
atau paru-paru. Berlakulah dengan sangat cermat dalam memeriksa daerah-daerah nyeri tekan di
dada.

Gambar 2. Teknik memeriksa pergerakan dada posterior. A. Penempatan tangan selama ekspirasi normal. B.
Lokasi setelah inspirasi normal.3

Pemeriksaan Pergerakan Dada Posterior


Derajat simetri pergerakan dada dapat ditentukan dengan meletakkan tangan secara
mendatar pada punggung pasien dengan ibu jari sejajar dengan garis tengah kira-kira setinggi iga
ke sepuluh dan menarik kulit di bawahnya sedikit ke arah garis tengah. Pasien diminta untuk
menarik napas dalam, dan perhatikan gerakan tangan. Penyakit paru setempat dapat
menyebabkan satu sisi dada bergerak lebih sedikit ketimbang sisi lainnya. Peletakkan tangan
diperlihatkan dalam Gambar 2.

Prinsip Fremitus Taktil


Kata yang diucapkan menimbulkan getaran yang dapat didengar bila seseorang
mendengarkannya di dada dan paru-paru. Ini disebut fremitus vokal. Bila orang mempalpasi
dinding dada ketika ia sedang berbicara, getaran ini dapat dirasakan. Ini adalah fremitus taktil.
Suara dihantarkan dari laring melalui percabangan bronkus ke parenkim paru-paru dan dinding
dada. Fremitus taktil memberikan informasi yang berguna mengenai kepadatan jaringan paruparu dan rongga dada di bawahnya. Keadaan-keadaan yang meningkatkan penghantaran fremitus
taktil. Jika ada jaringan lemak yang berlebihan di dada, udara atau cairan di dalam rongga dada,
atau paru-paru yang mengembang secara berlebihan, fremitus taktil akan melemah.
Pemeriksaan Fremitus Taktil
Fremitus taktil dapat diperiksa dengan salah satu dari dua cara. Pada tehnik pertama
pemeriksa meletakkan sisi ulnar tangan kanan pada dinding dada, seperti terlihat pada Gambar 3,
dan meminta pasien untuk mengatakan tujuh puluh tujuh. Fremitus taktil dinilai, dan tangan
pemeriksa di gerakkan ke posisi yang sama pada sisi yang berlawanan. Fremitus taktil kemudian
dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Dengan menggerakkan tangan dari sisi ke sisi dan
dari atas ke bawah, pemeriksa dapat mendeteksi perbedaan penghantaran suara ke dinding dada.
Tujuh puluh tujuh adalah salah satu frasa yang dipakai karena ia menimbulkan bunyi vibrasi
yang baik. Meminta pasien untuk berbicara laebih keras atau lebih dalam akan meningkatkan
sensasi taktil. Fremitus taktil sebaiknya diperiksa pada lima atau enam lokasi seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 4.
Cara lain untuk memeriksa fremitus taktil adalah memakai ujung jari sebagai pengganti
sisi ulnar tangan. Posisi yang dipakai sama seperti diperlihatkan dalam Gambar 4: sisi ke sisi dan
atas ke bawah. Anda hanya perlu melakukan pemeriksaan dengan salah satu tehnik ini. Mulamula pemeriksa harus mencoba kedua cara ini untuk menentukan metode mana yang lebih
disukainya.

Gambar 3. Teknik memeriksa fremitus taktil.3

Gambar 4. Lokasi pemeriksaan fremitus


taktil pada dada posterior.3

Tabel 1 memuat daftar beberapa kelainan patologik penting yang meyebabkan perubahan
pada fremitus taktil.
Tabel 1. Fremitus Taktil.3

Prinsip Perkusi
Perkusi adalah mengetuk pada permukaan untuk menentukan struktur di bawahnyaa.
Sangat mirip dengan radar atau sistem deteksi dengan gema. Pengetukan pada dinding dada
dihantarkan ke jaringan di bawahnya, dipantulkan kembali, dan diindera oleh indera taktil dan
pendengaran pemeriksa. Bunyi yang terdengar dan sensasi taktil yang dirasakantergantung pada
rasio udara jaringan. Getaran yang ditimbulkan dengan perkusi hanya dapat menilai jaringan
paru sampai sedalam 5-6 cm, tetapi perkusi berguna karena banyak perubahan rasio udarajaringan segera dapat diketahui.
Perkusi di atas organ padat, seperti hati, menimbulkan bunyi redup, berlangsung singkat
dan beramplitudo rendah tanpa resonansi. Perkusi di atas struktur yang mengandung udara dan
7

jaringan, seperti paru-paru, menghasilkan bunyi sonor dengan amplitude lebih tinggi dan tinggi
nada lebih rendah. Perkusi di atas struktur berlubang yang berisi udara, seperti lambung,
menghasilkan bunyi timpani, dengan tinggi nada tinggi, dan bergaung. Perkusi di atas massa otot
yang besar, seperti paha, menimbulkan bunyi pekak dengan tinggi nada tinggi.
Pada dada normal, redup di atas jantung dan sonor di atas lapangan paru dapat terdengar
dan dirasakan. Ketika paru-paru berisi cairan dan menjadi lebih padat, sperti pada pneumonia,
sonor digantikan oleh redup. Istilah hipersonor dipakai untuk bunyi perkusi pada paru-paru yang
kepadatannya berkurang, seperti pada emfisema. Hipersonor adalah bunyi resonansi dengan
tinggi nada rendah, bergaung, dan terus menerus yang mendekati bunyi timpani.
Teknik Perkusi
Perkusi dada memakai jari tengah tangan kiri yang diletakkan dengan kuat pada dinding
dada sejajar dengan iga pada sela iga dengan telapak tangan dan jari lain tidak menyentuh dada
tersebut. Ujung jari tengah tangan kanan mengetuk dengan cepat dan tajam pada falang terminal
jari kirir yang berada di atas dinding dada. Gerakan jari pengetuk harus berasal adari pergelangan
tangan, bukan dari siku. Pemain tenis meja memakai gerakan ini, sebagaimana pemain tenis
lapangan harus memusatkan perhatiannya dengan menggunakan gerakan pergelangan tangan.
Tehnik perkusi ini dilukiskan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Teknik Perkusi.3

Perkusi Dada Posterior

Tempat-tempat perkusi pada dada posterior adalah di atas, di antara dan di bawah scapula
di sela iga, seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Tulang skapula tidak diperkusi. Pemeriksa harus
mulai dari atas ke bawah, dari sisi ke sisi, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya.

Gambar 6. A. Memperlihatkan posisi tangan kanan yang siap melakukan perkusi. B. Memperlihatkan lokasi jari
setelah mengetuk. Perhatikanlah bahwa gerakannya dilakukan pada pergelangan tangan. 3

Memeriksa Gerakan Diafragma


Perkusi dipakai pula untuk mendeteksi gerakan diafragma. Pasien diminta untuk menarik
napas dalam dan menahannya. Perkusi pada basis paru-paru kanan menentukan daerah sonor
terendah, yang mencerminkan batas diafragma terendah. Di bawah batas ini ada redup hati.
Pasien kemudian disuruh untuk mengeluarkan napas sebanyak mungkin, dan perkusinya
diulangi. Pada ekspirasi, paru-paru akan mengecil, hati akan bergerak ke atas, dan daerah yang
sama akan menjadi redup. Batas pekak telah bergerak ke atas. Perbedaan antara batas pada waktu
inspirasi dengan batas pada waktu ekspirasi merupakan gerakan diafragma, biasanya sebesar 4-5
cm. pasien dengan empfisema mempunyai gerakan diafragma yang berkurang. Pasien dengan
kelumpuhan nervus frenikus tidak mempunyai gerakan diafragma.

Gambar 7. Teknik memeriksa gerakan diafragma. Selama inspirasi, pada gambar kiri, perkusi pada sela iga ketujuh
posterior pada garis midskapular akan sonor karena adanya paru-paru di bawahnya. Selama ekspirasi, pada gambar
kanan, hati dan diafragma bergerak ke atas. Perkusi di daerah yang sama sekarang akan menghasilkan bunyi redup,
karen adanya hati di bawahnya.3

Tehnik Auskultasi
Auskultasi adalah tehnik mendengarkan bunyi yang dihasilkan di dalam tubuh.
Auskultasi dada dipakai untuk mengenali bunyi paru-paru. Stetoskop biasanya mempunyai dua
kepala: bel dan diafragma. Bel dipakai untuk mendeteksi bunyi dengan tinggi nada rendah,
sedangkan diafrgama lebih baik untuk mendeteksi bunyi dengan tinggi nada lebih tinggi . bel
harus ditempelkan secara longgar pada kulit; jika ia ditekan terlalu kuat, kulit akan berlaku
sebagai diafragma dan bunyi tinggi nada rendah akan tersaring. Sebaliknya, difragma
ditempelkan secara kuat pada kulit. Pada orang yang sangat kakhetik, bel mungkin lebih berguna
karena pemakaian diafragma lebih sulit pada pasien-pasien ini disebabkan menonjolnya iga-iga
mereka.

10

Gambar 8. Cara meletakkan kepala stetoskpo. A. Cara meletakkan diafragma yang tepat. Perhatikan bahwa
kepala stetoskop tersebut diletakkan dengan kuat pada kulit. B. Cara meletakkan bel. Perhatikan bahwa bel
diletakkan secara ringan pada kulit.3

Jangan mendengarkan melalui pakaian! Bel atau diafragma stetoskop harus selalu
berhubungan dengan kulit.
Jenis Bunyi Pernapasan
Bunyi pernapasan terdengar pada hampir seluruh lapangan paru. Bunyi pernapasan terdiri
dari fase inspirasi diikuti dengan fase ekspirasi. Ada empat macam bunyi pernapasan abnormal,
yaitu:

Trakeal

Bronkial

Bronkovesikular

Vesikular
Bunyi pernapsan trakeal adalah bunyi yang sangat kasar, keras, dan dengan tinggi nada

tinggi yang terdengar pada bagaian trakea ekstratoraks. Kedua komponennya kira-kira sama
panjangnya. Meskipun selalu ada bila didengarkan pada trakea, bunyi ini jarang dievaluasi
karena tidak mencerminkan problem klinis apapun juga pada paru.
Bunyi pernapasan bronkial adalah bunyi yang keras, dengan tinggi nada tinggi, seperti
udara mengalir melalui pipa. Komponen ekspirasinya lebih keras dan lebih lama ketimbang
komponen inspirasi. Bunyi ini biasanya ada bila kita mendengarkan dengan cermat, ada jeda
yang jelas di antara kedua fase.
Bunyi pernapasan bronkovesikular adalah campuran bunyi bronkial dan bunyi vesikular.
Komponen inspirasi dan ekspirasinya sama panjang. Dalam keadaan normal bunyi ini hanya
terdengar pada sela iga pertama dan kedua di bagian depan dan di atntara skapula di bagian
belakang. Ini di dekat karina dan bronkus utama.
Bunyi pernapasan vesikular adalah bunyi lemah dengan tinggi nada rendah yang
terdengar di atas kebanyakan lapangan paru. Komponen inspirasinya jauh lebih panjang
ketimbang komponen ekspirasi, yang jauh lebih lemah dan seringkali tidak terdengar.
11

Gambar 9. Empat macam bunyi pernapasan.3

Auskultasi Dada Posterior


Auskultasi harus dilakukan dalam lingkungan yang tenang. Pasien diminta menarik dan
mengeluarkan napas melalui mulutnya. Pemeriksa mula-mula harus memusatkan perhatian pada
panjang ekspirasi. Bila bunyi pernapasan sangat lemah, dipakai istilah jauh. Bunyi pernapasan
yang jauh lazim ditemukan pada pasien dengan paru-paru hiperinflasi, seperti pada emfisema.
Pemeriksaan harus dilakukan dari sisi ke sisi dan dari atas ke bawah, dengan
membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya. Karena kebanyakan bunyi pernapasan mempunyai
tinggi nada tinggi, diafragma dipakai untuk memeriksa bunyi paru-paru.

Dada Anterior
Pemeriksa sekarang harus pindah ke depan pasein. Bagian pertama pemeriksaan dada
anterior dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk, setelah itu pasien diminta untuk berbaring.
Evaluasi Posisi Trakea
Posisi trakea dapat ditentukan dengan meletakkan jari telunjuk kanan di incisura
suprasternal dan menggerakkannya sedikit ke lateral untuk meraba lokasi trakea. Teknik ini
diulangi, dengan menggerakkan jari dari incisura suprasternal ke sisi lain. Ruang di antara trakea
dan klavikula harus sama. Pergeseran mediastinum dapat memindahkan trakea ke satu sisi.
12

Pemeriksaan Mobilitas Trakea


Gerakan trakea ke atas dipakai untuk menentukan apakah trakea terfiksasi pada
mediastinum. Teknik ini disebut tarikan trakea. Kepala pasien harus agak difleksikan, dan
tangan kiri pemeriksa harus menyokong bagian belakang kepala pasien. Tangan kanan pemeriksa
harus diletakkan sejajar dengan trakea dengan telapak tangan menghadap keluar. Jari tengah
dimasukkan ke dalam ruang krikotiroid, dan laring didorong ke atas. Laring dan trakea biasanya
bergerak kira-kira 1-2 cm. setelah menggerakkan laring ke atas, secara perlahan-lahan turunkan
sebelum melepaskan jari-jari pemeriksa. Jangan melepaskannya secara tiba-tiba dari posisinya di
bagian atas. Trakea yang terfiksasi menunjukkan fiksasi mediatinal, yang dapat terjadi pada
neoplasma atau tuberculosis. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tidak meletakkan jari-jari yang
memeriksa secara horizontal, mendorong ke belakang atau menjatuhkan trakea. Tindakantindakan ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada pasien.
Sekarang mintalah pasien untuk berbaring pada punggungnya untuk pemeriksaan dada
anterior. Lengan pasien diletakkan pada sisi tubuhnya. Jika pasiennya wanita, mintalah
kepadanya untuk mengangkat payudaranya atau pindahkanlah sendiri bila perlu selama palpasi,
perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan di atas jaringan payudara.

Gambar 10. Teknik menentukan posisi trakea.3

Gambar 11. Teknik untuk memeriksa tarikan trakea. 3

Pemeriksaan Pergerakan Dada Anterior


Pemeriksaan kesimetrisan pergerakan dada anterior dilakukan dengan meletakkan kedua
tangan sepanjang margi iga lateral. Suruhlah pasien untuk menarik napas dalam ketika pemeriksa
mengamati gerakan tangannya.
13

Gambar 12. Teknik memeriksa pergerakan dada anterior. A. Memperlihatkan penempatan tangan selama ekspirasi
normal. B. Memperlihatkan lokasinya setelah inspirasi normal.3

Pemeriksaan Fremitus Taktil


Fremitus taktil diperiksa di fosa supraklavikular dan sela iga anterior secara bergantian,
dimulai di klavikula. Teknik pemeriksaan fremitus taktil telah diuraikan di atas. Pemeriksaan
mulai dari fosa supraklavikular ke bawah, dengan membandingkan satu sisi dengan sisi lainnya.
Perkusi Dada Anterior
Perkusi dada anterior mencakup fosa supraklavikular, aksila dan sela iga anterior. Bunyi
perkusi pada satu sisi selalu dibandingkan dengan posisi yang sama pada sisi lain. Bunyi redup
mungkin timbul pada sela iga ketiga sampai kelima di bagian kiri sternum, yang berkaitan
dengan adanya jantung. Penting untuk melakukan perkusi pada aksila, karena lobus atas paling
baik diperiksa pada posisi ini. Perkusi aksila kadang-kadang lebih mudah dilakukan sementara
pasien dalam posisi duduk.

14

Gambar 13. Lokasi perkusi dan auskultasi pada dada anterior.3

Auskultasi Dada Anterior


Auskultasi dada anterior dilakukan pada fosa supraklavikular, aksila, dan sela iga
anterior. Teknik auskultasi telah diuraikan di atas. Bunyi pernapasan pada satu sisi dibandingkan
dengan bunyi pernapasan dada posisi yang sama di sisi lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:4
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal.
Eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
3. Pemeriksaan radiologi

15

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
B
ila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
B
ila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
4.

dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.


Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan

reaksi yang positif pada asma.


5.

Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3

bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise
rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right bundle
branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negatif.
6. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
7. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk

16

menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikit terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita >
35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi,
menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tandatanda kor pumonal.1
2. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase
remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di
dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler
sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
3. Gagal jantung kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal
dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika
penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
4. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis
dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan,
pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis kerja berdasarkan kasus PBL adalah Asma Bronkial.
EPIDEMIOLOGI
Asma adalah penyebab tunggal terpenting untuk morbiditas penyakit pernapasan dan
menyebabkan 2000 kematian/tahun. Prevalensinya, sekarang sekitar 10-15%, semakin
17

meningkat di masyarakat Barat. Insidensi mengi tertinggi pada anak-anak (satu dari tiga anak
mengalami mengi dan satu dari tujuh anak sekolah terdiagnosis asma).5
ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.6
a. Faktor predisposisi

Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana

cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan. Genetik

diturunkan

dalam

keluarga

dan

berhubungan dengan atopi. Penelitian genetic menunjukkan adanya hubungan reseptor IgE
afinitas tinggi dan gen sitokin T-helper (Th2) (kromosom 5)
b. Faktor presipitasi

Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

ex: makanan dan obat-obatan


Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan

Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir

yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa

memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
18

menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.

Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini

berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,
industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani

atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
PATOGENESIS
Meskipun terdapat ketumpangtindihan bermakna antara du kelompok, penyebab asma
dapat dibagi menjadi dua kategori utama: ekstrinsik dan intrinsik.6,7
Asma ekstrinsik (alergis) secara umum mempengaruhi anak atau remaja muda yang
sering mempunyai riwayat keluarga atau pribadi tentang alergi, bentol-bentol, ruam, dan eczema.
Hasil dari tes kulit biasanya positif pada alergen spesifik, yang menunjukkan kemungkinan
bahwa asma ekstrinsik adalah alergis. Obstruksi pernapasan akut, tekanan pada aliran udara, dan
turbulensi dari aliran udara dikaitkan dengan tiga respons berikut : 1) spasme bronkus, yang
melibatkan irama peremasan jalan napas oleh otot yang mengitarinya; 2) produksi mukus kental
yang banyak; dan 3) respons inflamasi, yang mencakup peningkatan permeabilitas kapiler dan
edema mukosa.
Asma intrinsik (idiosinkratik) biasanya mempengaruhi orang dewasa, termasuk mereka
yang tidak mengalami asma atau alergi sebelum usia dewasa tengah. Riwayat pribadi atau
keluarga negative untuk alergi, eksema, bentol-bentol, dan ruam.
Asma ringan sampai sedang dikarakteristikan dengan kontraksi otot polos saluran napas,
edema mukosa, infiltrasi seluler, dan sumbatan mukus dalam lumen saluran napas, yang
merupakan faktor yang berkontribusi pada bronkokonstriksi dan hiperaktivitas saluran napas.
Hal ini dihasilkan dari hiperrespons otot polos dan trakeobronkial terhadap ransangan mekanik
kimia, lingkungan, alergik (asma ekstrinsik), farmakologik, atau ransangan yang tidak diketahui.

19

Hipotesis Mc Fadden (1986) menyatakan bahwa pada perangsangan saluran napas


penderita asma akan terjadi reaksi pada sel-sel sasaran, yaitu sel mastosit dan basofil yang
membebaskan mediator aktif reaksi alergi yang menyebabkan terjadinya reaksi lambat dan reaksi
cepat pada saluran napas.
1. Reaksi cepat, timbul beberapa menit sampai 2 jam (maksimum) berupa pembebasan
mediator reaksi alergi dari sel mast. Reaksi cepat terutama menyebabkan bronkospasme.
2. Reaksi lambat, timbul setelah 3-5 jam kemudian. Pada reaksi lambat ini juga terjadi
spasme bronkus yang disertai dengan edema mukosa dan inflamasi saluran napas,
mencapai maksimum setelah 4-8 jam dan menghilang setelah 8-12 jam atau lebih lama.
Reaksi lambat ini berupa reaksi inflamasi (peradangan saluran napas karena infiltrasi sel
radang terutama sel eosinofil), hiperreaktivitas saluran napas dan bronkospasme.
Peningkatan hiperreaktivitas saluran napas timbul 8 jam setelah perangsangan dengan
alergen atau stimulus lain dan menetap atau bertambah berat sampai beberapa hari,
bahkan dapat sampai beberapa minggu. Bila terjadi peningkatan hiperreakitvitas bronkus,
akan terjadi peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi non-alergik, seperti asap, debu,
udara dingin, kerja fisik, emosi, histamin, metakolin, dan toluen diisosianat. Inilah yang
menyebabkan penyakti asma makin memberat.

Gambar 14. Hipotesis terjadinya bronkokonstriksi.7

Asma Sebagai Suatu Penyakit Inflamasi


20

Sekarang terdapat bukti yang meyakinkan bahwa beberapa jenis sel inflamasi, seperti sel
mastosit, makrofag, eosinofil, limfosit dan sel-sel epitel termasuk dalam patogenesis asma.
Banyak sekali mediator inflamasi yang telah dibuktikan dalam asma, termasuk histamin,
produk siklooksigenase (prostaglandin, leukotrien, dan sitokin), produk lipooksigenase, platelet
activating factors, kinin, adenosin, komplemen, serotonin, faktor kemotaktik, dan oksigen
radikal, yang memperantarai respons awal asmatik, termasuk bronkokonstriksi, edema mukosa,
sekresi mukus, dan respo asma akhir berupa infiltrasi selular, kerusakan epitel, dan hiperaktivitas
saluran napas.
Pada asma berat terjadi hipertrofi otot polos saluran napas dan kelenjar sekretori,
pengelupasan epitelium, dan terlihat pula adanya penebalan lamina propria. Mekanisme yang
mendasari patogenesis asma bersifat multifaktorial; tetapi sebagian besar dipicu oleh degranulasi
sel mastosit dan diikuti dengan pembebasan mediator-mediator inflamasi.
Pada asma ekstrinsik, mekanisme yang mendasari bronkokonstriksi berawal ketika
pemicu pertama menyebabkan pasien mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen, seperti
inhalasi polen yang kemudian dicerna oleh lisozim mukosa membebaskan protein yang larut
dalam air. Absorpsi protein-protein ini menghasilkan pembebasan imunoglobin spesifik (IgE)
oleh sel-sel plasma jaringan limfoid dalam saluran napas. IgE yang terbebas ini menempel pada
permukaan sel-sel mastosit dan sel basofil. Pada pemaparan berikutnya terhadap polen yang
sama pada pasien atopik akan menimbulkan reaksi alergik. Pada waktu ini terjadi, dengan adanya
antigen, sel-sel mastosit yang mengandung IgE yang telah disensitisasi membebaskan zat-zat
farmakologik aktif (mediator), seperti hisatamin slow reaction substance of anaphylaxis (SRS-A)
eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis, serotonin, kinin, dan prostaglandin. Zat ini
memberikan efek vasodilatasi, sekresi mukus yang kental, edema mukosa (vasodilatasi),
inflamasi, bronkokonstriksi, dan kombinasi dari faktor-faktor ini menimbulkan obstruksi
bronkial diikuti oleh gejala-gejala khas asma bronkial. Infeksi juga mempunyai potensi untuk
menimbulkan bronkokonstriksi yang disebabkan oleh edema dan inflamasi. Senyawa seperti
kromolin natrium yang mencegah pembebasan mediator merupakan zat profilaksis yang sangat
berguna dalam pengelolaan asma.
Mekanisme Neurogenik

21

Sistem saraf otonom juga memiliki peranan penting dalam pengaturan otot polos
bronkial, pembuluh darah bronkial, dan kelenjar bronkial. Stimulasi serabut parasimpatik (vagus)
menyebabkan vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatkan sekresi kelenjar. Oleh karena
itu, jelaslah bahwa obat kolinomimetik; seperti metakolin, dikontraindikasikan pada pasien
dengan asma bronkial. Stimulasi serabut simpatik (sisi reseptor beta-2) menimbulkan dilatasi
bronkial dan mengurangi sekresi kelenjar. Agonis beta-adrenergik (misalnya terbutalin)
merupakan obat antiasma yang paling berguna.
Patofisiologi dispnea. Hipoksia dan hiperkapnia menyebabkan dispnea yang berat. Prinsip
utama terapi dispnea adalah pengobatan penyakit dasar. Pada pasien asma, pemberian
bronkodilator dapat menghilangkan dispnea secara komplet, namun pada pasien dengan
obstruksi saluran napas menahun dispnea tidak dapat dihilangkan secara komplet.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas
bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.
Gejala-gejala asma antara lain:8
1. Dispnea yang bermakna.
2. Batuk, terutama di malam hari.
3. Pernapasan yang dangkal dan cepat.
4. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar hanya saat
ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah.
5. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi,
napas cuping hidung.
6. Kecemasan, yang berhubungan dengan ketidakmampuan mendapat udara yang cukup.
7. Udara terperangkap karena obstruksi aliran udara, terutama terlihat selama ekspirasi pada
pasien asma. Kondisi ini terlihat denganmemanjangnya waktu ekspirasi.
8. Di antara serangan asmatik, individu biasanya asimtomatik. Akan tetapi, dalam
pemeriksaan perubahan fungsi paru mungkin terlihat bahkan di antara serangan pada
pasien yang memiliki asma persisten.
Tabel 2. Manifestasi klinis dan patofisiologi dasar asma.8

22

PENATALAKSANAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tujuan terapi asma adalah:2


Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.
Mencegah kekambuhan.
Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya.
Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise.
Menghindari efek samping obat asma.
Mencegah obstruksi jalan napas yang ireversibel.

Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit.2


Derajat Asma
Asma Persisten

Obat Pengontrol (Harian)


Tidak perlu

Obat Pelega
Bronkodilator
singkat,

yaitu

aksi
inhalasi

agonis 2 bila perlu.


Intensitas
pengobatan
tergantung

berat

eksaserbasi.
Inhalasi agonis 2 atau
kromolin dipakai sebelum
aktivitas
Asma Persisten Ringan

Inhalasi
200-500

kortikosteroid
g/

atau

pajanan

alergen.
Inhalasi agonis 2 aksi

kromolin/

singkat bila perlu dan

nedokromil atau teofilin

tidak melebihi 3-4 kali

23

lepas lambat.
Bila perlu ditingkatkan
sampai

800

sehari.

atau

ditambahkan bronkodilator
aksi lama terutama untuk
mengontrol asma malam.
Dapat diberikan agonis 2
aksi lama inhalasi atau oral
Asma Persisten Sedang

atau teofilin kepas lambat.


Inhalasi
kortikosteroid
800-2000 g
Bronkodilator aksi lama
terutama untuk mengontrol
asma

malam,

agonis

aksi

Inhalasi agonis 2 aksi


singkat bila perlu dan
tidak melebihi 3-4 kali
sehari.

berupa
lama

inhalasi atau oral teofilin


Asma Persisten Berat

lepas lambat.
Inhalasi ortikosteroid 8002000 g atau lebih.
Bronkodilator aksi lama,
berupa agonis 2 inhalasi
atau oral atau teofilin lepas
lambat.
Kortikosteroid oral jangka
panjang

Yang termasuk obat antiasma adalah:


1. Bronkodilator.
a. Agonis 2
Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi. Terbutalin, salbutamol, dan feneterol
memiliki lama kerja 4-6 jam, sedangkan 2 long-acting bekerja lebih dari 12 jam,
seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain-lain. Banyak aerosol dan inhalasi

24

memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu
sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.
b. Metilxantin.
Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatornya

berkaitan

dengan

konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan dengan
pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.
c. Antikolinergik.
Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsic dari saluran napas.
2. Antiinflamasi.
Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan
profilaksis.
a. Kortikosteroid.
b. Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi nonsteroid.
Terapi awal yaitu:
1. Oksigen 4-6 liter/menit.
2. Agonis 2 ( Salbutamol 5 mg atau Feneterol 2,5 mg atau Terbutalin 10 mg) inhalasi
nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian
agonis 2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis Salbutamol 0,25 mg atau
Terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
3. Aminovilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam
sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera pasien sedang
menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut:
Respons menetap selama 60 menit setelah pengobatan.
Pemeriksaan fisik normal.
Arus puncak ekspirasi (APE) > 70%
Jika respons tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka pasien sebaiknya dirawat di
rumah sakit.
Terapi asma kronik adalah sebagai berikut:
1. Asma ringan: agonis 2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral sebelum exercise atau
terpapar alergen.
2. Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis 2 inhalasi bila perlu.
3. Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis 2 long acting,
steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis 2 inhalasi sesuai
kebutuhan.
25

KOMPLIKASI
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam
jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada
kasus ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan
oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen
yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme
bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan
pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan,
dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.8
PROGNOSIS
Sejalan dengan bertambahnya usia anak, sebagian besar anak akan mengalami perbaikan.
Pada anak-anak prasekolah yang mengalami mengi hanya pada saat pilek, mungkin gejala akan
menghilang setelah usia 5-8 tahun. Secara umum, semakin berat suatu asma maka perbaikan
akan tercapai pada usia yang lebih tua. Asma mungkin berulang pada masa dewasa, dan remaja
sebaiknya tidak merokok dan menghindari alergen potensial di tempat bekerja.9
PREVENTIF
1. Penyuluhan pasien penting untuk keberhasilan penatalaksanaan, khususnya penjelasan
mengenai pemicu, penggunaan dan peran obat-obatan dan bagaimana mendeteksi dan
bereaksi terhadap perburukan.5
2. Menghindari pemicu lingkungan atau alergen penting, terutama menghindari asap rokok.5
KESIMPULAN
Penatalaksanaan penderita asma akut berat dan status asmatikus harus dilakukan dengan
cepat, tepat, dan akurat karena keadaan ini selalu dapat mengancam jiwa penderita.
Untuk dapat melakukan penanganan yang baik diperlukan pengetahuan dan kemampuan
yang cukup dalam mengenal gejala dan tanda serangan penyakit, memberikan pengobtan awal,
merawat penderita di ruangan serta pengobatan lepas rawat, yang semuanya itu bertujuan untuk
26

dapat mencegah kematian, mengembalikan keadaan klinis dan fungsi paruke tingkat yang lebih
baik dan mencegah kekambuhan dini penderita.
Pengelolaan penderita asma akut berta dan status asmatikus, aplagi yang menunjukkan
tanda yang sudah mengancam jiwa penderita, hendaknya dilaksanakan di Unit Pelayanan
Kesehatan yang memiliki tenaga medic yang sudah berpengalaman dan fasilitas yang memadai.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Grabber MA, Toth PP, Robert L. Buku saku kedokteran keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC; 2006.h.151-2.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta
kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h.456-62.
3. Swartz MH. Bukua ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 1995.h.161-75.
4. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bisang penyakit dalam. Jakarta: EGC;
1999.h.43-51.
5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga;2005.h.178-80.
6. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2008.h.571-86.
7. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC;2000.h.97-100.
8. Corwin EJ. Patofisiologi: buku saku. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.566-71.
9. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;2008.h.126-9.

27

Anda mungkin juga menyukai