Anda di halaman 1dari 9

Jerat

Esti Kinasih

"Deb, dapet salam dari Rizky."


Debby mendengus. "Iya," jawabnya malas.
"Salam balik, nggak?"
"Kamu aja, deh."
"Aku?" Vita mengangkat alis. "Yang dapet kan kamu?"
"Males, ah."
Vita menatapnya sejenak kemudian menarik kursi ke depan Debby.
"Kayaknya dia marah, lho. Kamu sih, tiap hari dikirimin salam nggak pernah dibales. Bales,
dong. Sekali-sekali, gitu."
"Entar dikiranya aku naksir, lagi."
"Soalnya begini, Deb," Vita memelankan suaranya, tubuhnya beringsut maju sampai menempel
di meja. "Kemarin dia cegat aku, dikiranya aku nggak pernah sampaikan salam-salamnya itu ke
kamu. Aku sampai sumpah kalo nggak pernah lupa. Dia kayaknya marah. Terus dia bilang
begini; 'Vit, bilang ya, sama Debby. Suatu saat nanti aku pasti bisa menangkapnya tanpa dia
bisa menghindar, apalagi lari dariku'. Begitu."
"Begitu?!" seru Debby dengan tubuh serentak bangkit. "Menangkap? Ayam kali! Sembarangan
aja ngomong!"
Vita tertawa geli.

"Pokoknya aku sudah sampaikan ya, ke kamu. Hati-hati, lho. Lagipula, kenapa sih nggak mau?"
"Masa kamu nggak denger storinya? Waktu sekolah kita ngadain kemping bersama bulan
kemaren itu, aku kan pingsan. Abis jalannya jauh banget. Mana hujan lagi, becek lagi, terus
dingin lagi. Waktu sadar, aku sudah ada di pelukannya. Kamu tau kata pertama yang kudengar
begitu membuka mata? 'Debby ternyata kamu lumayan seksi juga'."
"Hah?!" Vita terbelalak.
"Iya. Apa itu nggak kurang ajar?"
"Kalian cuma berdua?"
"Enggaklah. Yang pingsan kan bukan cuma aku."
"Berarti...."
"Jangan mikir macam-macam!" potong Debby galak. Vita langsung menutup mulutnya.
Keesokan harinya, begitu menginjakkan kaki di sekolah, dengan emosi Debby langsung
berkeliling mencari Rizky.
"Hai!" Cowok itu menyambutnya surprais.
"Kamu ngomong apa ke Vita?" Debby berkacak pinggang dan menatapnya tajam.
"Apa? Oh, itu?" Rizky tertawa lebar. "Ternyata pemberitahuan malah ampuh, ya. Satu pun
salamku nggak ada yang kamu balas. Tapi ternyata pemberitahuanku malah bisa membawamu
ke depanku."
"Kamu ngancam?"
"Bukan. Aku kan sudah bilang itu pemberitahuan. Suatu saat kau akan jadi pacarku, Deb,"
Rizky menjawab tenang. Debby ternganga.
"Jangan sok yakin!" semburnya.
"Kita liat aja."
***
Entah karena sugesti atau juga karena salamnya yang terhenti, kalimat Rizky menghantui
pikiran Debby. Mata itu tajam menembusnya waktu mengucapkan ancaman itu.
"Menurutmu apa yang akan dilakukannya?" Debby berjalan hilir mudik di depan Vita. "Atau, apa
dia sungguh-sungguh?"
"Iya." Vita mengangguk, membuat Debby jadi tambah patah semangat.

"Dengan bilang ke orang-orang peristiwa waktu aku pingsan itu?"


"Bukan. Dia bukan model cowok begitu. Dia gentle. Dan aku yakin caranya pun, ya cara cowok
jantanlah. Tapi yang jelas dia nggak akan bikin malu kamu."
Aduh, Tuhan, syukur! Debby menghela napas lega.
"Kira-kira apa yang mau dia bikin, ya?"
"Dia menjemputmu tiap pagi?"
"Nggak."
"Terang-terangan merhatiin kamu dengan mata tajamnya itu?"
"Nggak juga," Debby menggeleng. Vita mengerut kening dan mencubiti bibirnya.
"Maksa ngantar kamu pulang?"
"Aku malah nggak pernah ngeliat dia tiap bel pulang berbunyi. Pasti dia langsung sibuk dengan
klub basketnya."
"Jadi dengan apa, dong?" Vita ikutan bingung.
"Jalan halus!" Debby kaget sendiri dengan dugaannya.
"Pelet?! Guna-guna?! Masa, sih? Jangan ngaco, ah!"
"Terus apa, dong? Sekarang coba kamu pikir...." Debby meloncat ke tempat tidur. Mukanya
tegang, "tiap ketemu, dia selalu biasa-biasa aja. Tetap ramah, tetap baik, nggak usil, nggak jail.
Pokoknya semua berjalan seperti biasa. Wajar, tenang, aman. Terus apa?"
"Menunggu marahmu hilang mungkin?"
"Nggak mungkin!" desah Debby sambil kembali mondar-mandir.
***
Debby bingung memikirkan kemungkinan tindakan yang akan diambil Rizky. Dia sudah tanya
beberapa orang, begitu siuman dari pingsan itu. Jawabannya, tidak ada hal kurang ajar yang
dilakukan. Cowok itu memang yang menggendongnya sepanjang jalan. Yang membungkus
tubuhnya dengan tiga lapis jaket tebal. Yang menungguinya sampai sadar. Cuma... waktu
siuman, membuka mata dan hanya menjumpai Rizky seorang, ditambah kalimat kurang ajar itu,
apa iya....
Dan itu membuatnya jadi kesal terhadap Rizky, sampai sekarang. Pasti ada sesuatu yang sudah
dilakukannya. Karena tiap kali mereka bertemu, sepasang mata itu selalu merangkumnya
hangat. Ditambah senyumnya yang rasanya mengundang suatu makna tersembunyi.

"Deb!" Sebuah tepukan di bahu membuat Debby terlonjak dan seketika sadar dari lamunan.
"Kamu! Pelan-pelan, dong! Aku kaget, tau!" sungutnya sambil menepuk-nepuk dada.
"Sori, deh. Katanya suruh riset?" Dengan tenang Vita duduk di depannya. Tak merasa bersalah
sudah membuat Debby nyaris semaput. "Aku sampai ditanyain macem-macem gara-gara idemu
itu."
"Gimana? Gimana?" Debby bergegas menggeser kursinya.
"Menurut beberapa orang yang kena pelet, tanda-tandanya begini...." Vita diam sejenak,
menoleh kiri-kanan untuk memastikan keadaan cukup aman untuk pembicaraan mereka. "Di
kamarmu nanti akan tercium wangi parfumnya Rizky atau bahkan bau badannya selama
seminggu penuh."
"Idiiih!" Debby terngaga.
"Ke mana pun kamu pergi, kamu akan ngeliat wajahnya, walaupun setelah didekati ternyata
bukan. Dan ini yang paling, Deb. Raba hatimu. Biasanya ada perubahan drastis. Kamu jadi
mikirin dia. Jadi gelisah kalau nggak ngeliat dia sebentaaaarr aja. Malah keadaan jadi berbalik.
Kamu yang akan ngejar-ngejar dia!"
Debby tercengang.
"Jalannya gimana? Masa tiba-tiba begitu?"
"Cukup sedikit sentuhan. Misalnya dia negur kamu. Dicolek sedikit, meskipun cuma seujung jari,
itu bisa membuatmu tergila-gila sama dia. Banyak jalan, sih. Namanya juga ilmu begitu. Tapi
aku nggak mau tanya banyak-banyak. Soalnya semua yang kutanya, mengira aku lagi mau
melet seseorang."
"Selalu begitu tanda-tandanya?"
"Aku kan cuma tanya tiga orang. Aku rasa sih, tanda-tandanya pasti juga banyak macamnya
karena jalannya juga macam-macam."
Debby mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan menarik napas panjang.
***
Debby terbangun tergeragap. Wangi bunga melati menyentak hidungnya. Jantungnya seketika
berderas keras. Pasti ini kiriman dari Rizky! Bergegas ditekannya saklar lampu. Sebuah
mangkuk mungil penuh berisi bunga melati segar terletak di mejanya. Diambilnya mangkuk itu
dan diperhatikannya isinya. Masih segar, seperti baru dipetik. Dibawanya mangkuk itu keluar.
Detti, kakaknya, sedang menonton TV sambil memegang sebuah mangkuk juga, penuh berisi
bunga melati segar.

"Ini kerjaanmu, ya?"


"Nggak bisa tidur," jawab Detti tanpa menoleh. "Baunya enak, kan?"
"Kupikir ada hantu," Debby menggerutu membuat Detti terkekeh.
Bikin kaget aja! Dia melangkah kembali ke kamar. Sampai sempat ketakutan tadi. Ditaruhnya
kembali mangkuk itu ke tempatnya. Tapi dia jadi tak bisa melanjutkan tidur. Kantuknya lenyap
karena terbangun kaget tadi. Iseng dibukanya album foto yang sudah diseleksi dengan
tahapan-tahapan yang amat sangat ketat, ternyata masih ada juga foto-foto Rizky yang lolos.
Nggak tanggung-tanggung, tiga! Nggak mungkin dibolongin karena cowok itu ada di tengah,
merangkul Saga dan Farid.
Dikeluarkannya ketiga foto itu dan dibariskannya di atas kasur. Lalu sambil tengkurap dan
memeluk bantal, dipandangnya satu per satu. Wajah Rizky terekam jelas di salah satunya.
Alisnya bagus. Tebal, hitam dan bersambung. Matanya kadang tajam, kadang juga teduh.
Rahangnya kokoh. Debby tersenyum sendiri, tenggelam dalam khayal.
Ganteng juga, desisnya. Astaga! Dia langsung tersadar. Serentak bangun sambil menutup
bibirnya yang ternganga. Apa yang barusan diucapkannya? Dia bilang cowok ini ganteng!
Ganteng?! Ya, ampun! Aku kena pelet! Debby terduduk mematung.
Ah, nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia menggelengkan kepala berkali-kali. Coba diliat lagi.
Pasti tadi nggak sadar ngomong begitu. Sekali lagi diperhatikannya ketiga foto itu. Dan gadis itu
makin tercengang ketika pandangannya ternyata tidak berubah.
Bener, aku kena pelet, desahnya panik. Dulu-dulu Rizky menurutnya biasa-biasa aja. Norak
malah, dengan sifat agresifnya yang nggak tau malu itu. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi
ganteng, ya? Debby menatap foto itu sambil menelan ludah.
***
"Tiba-tiba aja di mataku dia jadi ganteng! Keren. Aku pikir karena baru bangun tidur, masih
setengah ngimpi, jadi keliatan macho. Tapi tadi pagi waktu mau berangkat, aku liat lagi fotonya.
Kok masih juga keliatan ganteng itu anak, ya?" Debby melapor dengan perasaan resah. Vita
terbahak-bahak mendengarnnya.
"Semua orang bilang dia emang cakep, kok. Kamu aja yang matanya cureng."
Debby melotot.
"Dia kurang ajar, tau nggak? Makanya sekali-sekali kamu pingsan deh, deket dia. Begitu melek,
tau-tau sudah dipeluk, dibilang seksi lagi," sungutnya, membuat Vita tambah tertawa-tawa.
Peristiwa pingsan itu memang sangat membekas dan dia selalu dongkol tiap kali teringat. "Aku
pasti udah kena pelet," keluhnya memelas. "Tiba-tiba aja aku sering mikirin dia. Pernah titip
salam lagi, nggak?"

"Ngapain? Udah banyak yang mubazir."


"Marah ya, dia?"
"Jelaslah. Cecil aja patah hatinya sampai begitu. Cinta nggak kesampaian. Belum si Retno yang
rajin cari perhatian. Kamu yang ditaksir malah kabur-kaburan. Kalo dia marah, terus kamu
dipelet, ya bisa jadi. Kamu kadang keterlaluan, sih!"
Debby terdiam. Perlahan dia menjatuhkan diri ke kursi di samping Vita. Mungkin apa yang
dikatakannya itu benar.
Jam istirahat tiba-tiba Rizky muncul di kelas, membuat Debby kaget setengah mati. Setelah
hampir dua bulan salamnya terhenti dan perjumpaan mereka yang bisa dihitung dengan jari,
Debby langsung menduga yang bukan-bukan. Tapi ternyata, tanpa menoleh Rizky langsung
menghampiri Iwan, yang memang salah satu anggota tim basket sekolah. Mereka berbicara
dengan suara pelan dan selama itu pula mata Debby tak berhenti memandangnya. Was-was.
Pembicaraan selesai. Rizky berjalan keluar. Ketika melewati Debby, kedua matanya memandang
tajam namun disertai senyum.
"Halo, Seksi," ucapnya pelan disertai jentikan jari dan kedipan mata. Debby kontan terkesima.
Mematung menatap Rizky sampai hilang di balik pintu.
"Vita! Kamu denger, nggak?!" Dengan panik diguncang-guncangkannya lengan Vita yang
sedang serius berat menyalin pe-er.
"Ada apa, sih?" Vita menoleh kesal.
"Rizky...," lapor Debby terengah. "Dia negur aku barusan. Dan dia masih manggil aku 'Seksi'.
Terus tadi dia ngeliatin aku sambil menjetikkan jari. Vit, pasti tadi itu pelet. Iya, kan? Bisa pakai
jalan begitu, kan?"
"Mana Rizky?" Vita celingukan.
"Barusan dia ke sini. Ngomong sama Iwan. Kamu ini nyontek melulu, sih...."
"Terus kamu diapain? Cuma diliatin? Itu kan wajar."
"Oh, iya? Wah, bisa jadi. Mungkin bukan pelet, tapi hipnotis."
"Yaaah, terus gimana, dong?" Debby semakin panik. "Kamu bilangin dia deh, Vit. Suruh pergi
jauh-jauh!"
Aduh, ngerepotin aja! Vita menggerutu.
"Aku bilang ke dia, tapi kamu selesaikan pe-erku. Gimana? Inggris sama Kimia, lho."
"Kecil! Mana bukumu?"

"Nah, gitu dong. Jangan nyuruh orang kerja gratisan melulu." Vita mengulurkan dua buah buku,
lalu berjalan keluar. Dasar phobia Rizky, gerutunya. Lima belas menit kemudian dia kembali.
"Apa katanya?" sambut Debby was-was.
"Dia bilang dia nggak akan ganggu kamu. Apalagi pakai pelet. Dosa, katanya. Dia juga bilang,
nanti kamu sendiri yang akan datang ke dia."
"Hah?!"
***
"Hei!"
"Eh, gimana?" Rizky bertanya tanpa menoleh pada seseorang yang barusan menepuk bahunya,
lalu berdiri di sampingnya.
"Beres. Tapi sepi banget di sana."
"Jelas aja. Musim ulangan."
"Yakin bakalan dia yang nemuin?"
"Yakin!"
Rizky tersenyum tipis tanpa mengalihkan matanya dari sosok Debby di kejauhan. Kail sudah
dilemparkan!
***
Pada awalnya, Debby sempat stres dan ketakutan. Tapi perlahan... perasaan itu menghilang
karena ternyata Rizky tidak melakukan apa pun seperti yang sempat dia bayangkan.
Cowok itu malah menjaga jarak. Tidak memberikan senyum, apalagi menyapa pada saat
mereka terpaksa berpapasan atau berada bersamaan di suatu tempat.
Debby mulai tenang dan hari-harinya kembali normal. Dia bahkan mulai berani lalu-lalang
dengan tenang di depan Rizky. Tak menyadari sepasang mata cowok itu menatapnya dengan
kilatan yang mengandung suatu rencana tersembunyi.
"Kamu, sih. Rizky itu baik. Kamunya aja yang pikirannya terlalu."
"Jaga-jaga boleh, dong?"
"Iya, tapi aku yang jadi malu. Dia...."
"Alaaaah, udah, deh. Sori. Namanya aja orang lagi panik." Debby meringis. "Eh, aku nemu
undangan, di Sekretariat OSIS."

"Adrianto, SE dengan Astuti K. Siapa?"


"Mana aku tau. Aku temuin menggeletak di ruang OSIS. Comot aja. Kita bakalan makan enak
dan gratis."
"Undangannya keren bener." Vita membalik-balik benda di tangannya. "Kita juga mesti dandan
keren, dong?"
"Sekali-sekalilah."
***
Sabtu sore, keduanya yang memang hobi gerilya cari makanan gratis, sudah rapi jali sejak
pukul setengah tujuh.
"Seksi amat?" Vita terbelalak memandang penampilan Debby.
"Pingin aja." Debby meringis lucu. "Nggak ada yang kenal ini."
Acara baru saja dimulai ketika keduanya tiba.
"Salaman dulu, nggak?" tanya Vita dan langsung disambut cibiran bibir.
"Sok sopan!"
Vita terkekeh dan mengikuti Debby menuju stand-stand makanan.
"Kambing guling!" pekik Debby tertahan. "Ini dia!"
"Asyiiik!" Vita menyambut senang. Detik berikutnya kedua gadis itu benar-benar tenggelam
dalam kesibukan berburu makanan gratis.
Tengah asyik-asyiknya mereka menikmati hidangan, tiga orang cowok berbusana Jawa
mendekati mereka.
"Halo, teman Mbak As atau Mas Adri?" salah satu bertanya. Keduanya langsung gelagapan. Dan
itu membuat cowok-cowok itu jadi curiga.
"Ada tamu nggak diundang." Dia memandang teman di sebelahnya.
"Kata siapa nggak diundang? Sembarangan!" Debby langsung menukas. "Undangannya di
rumah karena nggak harus dibawa, kan? Kami teman Astuti!" jawabnya nekat.
"Begitu?" Cowok itu tersenyum. "Kalian belum kasih selamat, kan?" Langsung diraihnya
pergelangan tangan Debby dan menggenggamnya. Seorang temannya mengikuti, meraih
tangan Vita. Tanpa daya, keduanya pasrah digiring ke pelataran berkarpet merah dadu itu. Dan
Debby nyaris saja pingsan begitu melihat pasangan mempelai itu. Keduanya ternyata sudah

cukup berumur. Entah karena telah kawin, atau mungkin ini bukan lagi perkawinan mereka
yang pertama.
"Rizky?" Debby tertegun ketika mengenali cowok yang berdiri tak jauh dari mempelai wanita,
yang rupanya juga kaget melihatnya. "Ky, dia bilang aku nggak diundang." Dipelototinya cowok
berbaju Jawa itu tajam-tajam sambil berjalan menghampiri Rizky dan memeluk lengannya.
"Oh, pacarmu, Ky? Bilang-bilang, dong! Aku pikir penyelundup." Cowok itu mengangkat kedua
tangannya dan tersenyum meminta maaf. "Pacarnya Rizky!" teriaknya sambil turun.
Debby tersadar dan seketika menoleh.
"Terlambat!" bisik Rizky demi melihat keterkejutan itu.
Debby berbalik dan memucat ketika mendapati dirinya sendirian. Vita menghilang entah ke
mana, begitu juga dengan cowok-cowok berbusana Jawa tadi.
Disibaknya uraian rambutnya dengan panik. Tidak mungkin berlari turun dari panggung, akan
mengundang pertanyaan. Sekian puluh mata, bahkan mungkin lebih dari seratus, kini tengah
memandangnya.
Dibaliknya badan. Rizky tengah menunggu dan memandangnya dengan sorot mata yang tak
bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Ayo, salami mereka." Diraihnya tangan Debby dan menggenggam lembut jari-jarinya.
"Tanteku."
"Eh, se... selamat," gugup Debby mengulurkan tangannya.
Tiba-tiba berkumandanglah sebuah pengumuman yang mahadahsyat.
"Para hadirin yang terhormat," ucap MC ayu berkebaya merah jambu itu lengkap dengan
senyum manisnya. "Pada saat ini, berdiri di sisi kiri mempelai adalah salah seorang keponakan
dari mempelai wanita. Kiranya para hadirin yang terhormat sudi memberikan selamat, karena
keduanya akan segera menyusul ke pelaminan dalam waktu dekat."
Debby terhenyak. Suara tepuk tangan bergemuruh dan berebutlah 'para hadirin yang
terhormat' itu naik panggung dan menyalami mereka.
"Terima kasih... terima kasih...." Rizky menyahut ramah sambil mati-matian menahan tawa.
Lengan kirinya menyangga tubuh Debby yang sudah setengah sadar.

Sekian

Anda mungkin juga menyukai