Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


2.1.1 Klasifikasi Kayu Manis

Gambar 1. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


Sumber : Departemen Agrikultur Amerika, 2012
Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus

: Plantae (Tumbuhan)
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
: Magnoliidae
: Laurales
: Lauraceae
: Cinnamomum

Spesies

: Cinnamomum burmannii
(Departemen Agrikultur Amerika, 2012)
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki komoditi

ekspor kayu manis. Menurut data FAO 2005, Indonesia menempati persentase
tertinggi pasar kayu manis di dunia sebesar 26,10%, diikuti oleh Cina 24,63%, Sri
Langka 8,05%, Vietnam 5,30% dan negara lainnya 35,92%. Pada tahun 2007,
2008, 2009 berturut-turut produksi kayu manis mencapai 60.000, 63.879, dan
67.209 ton/tahun. Negara Indonesia sangat berpotensi sebagai penghasil kayu
manis yang baik dalam pasar dunia (Potter, 2010).
Tanaman kayu manis merupakan famili Lauraceae dengan jumlah spesies
yang beragam dan dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis. Di dunia terdapat
6

54 jenis kayu manis (cinanamomum sp), 12 jenis di antaranya banyak


dimanfaatkan dalam bidang industri, makanan, minuman, farmasi, kosmetika,
rokok

dan

obat

(Wangsa

dan

Nuryati,

2006).

Saat

ini

terdapat

spesies Cinnamomum yang kulit batangnya dapat diperdagangkan, yaitu C.


zeylanicum, C. cassia, C. tamala Ness & Eberm, C. burmani Blume, C.
sintok Blume, C. javanicum Blume dan C. culilawan Blume (Potter, 2010).
Ditinjau dari sifat keatsirian minyak sinamonnya maka kayu manis dikenal
dengan tiga tipe yaitu: kayu manis asal Ceylon Cinnamomum zeylanicum Nees,
kayu manis asal Saigon Cinnamomum loureiril Nees, kayu manis asal Cina
Cinnamomum cassia Nees (Geunther, 2006).
Di Indonesia sendiri sudah ada jenis kayu manis lain, yaitu Cinnamomum
burmannii. Jenis kayu manis yang berbeda dengan Cinnamomum zeylanicum dan
Cinnamomum cassia dan benar-benar merupakan tanaman asli Indonesia. Kulit
kering tanaman ini disebut cassiavera. Cinnamomum burmannii merupakan
tanaman asli Indonesia yang banyak dijumpai di Sumatera Barat, Jambi, Sumatera
Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku dan Mangarai
(Flores) (Rismunandar, 2001).
2.1.2

Morfologi dan Habitat Kayu Manis


Tinggi tanaman kayu manis berkisar antara 5-15 m, kulit pohon berwarna

abu-abu tua berbau khas, kayunya berwarna merah cokelat muda. Daun tunggal,
kaku seperti kulit, letak berseling, panjang tangkai daun 0,5-1,5 cm, dengan 3
buah tulang daun yang tumbuh melengkung. Bentuk daun elips memanjang,
panjang 4-14 cm, lebar 1,5-6 cm, ujung runcing, tepi rata, permukaan atas licin
warnanya hijau, permukaan bawah bertepung warnyanya keabu-abuan. Daun
muda berwarna merah pucat. Bunganya berkelamin dua atau bunga sempurna
dengan warna kuning. Ukurannya kecil. Kelopak bunga berjumlah 6 helai dalam
dua rangkaian. Bunga ini tidak bertajuk bunga. Benang sarinya berjumlah 12 helai
yang terangkai dalam empat kelompok, kotak sarinya beruang empat. Persarian
berlangsung dengan bantuan serangga. Buahnya buah buni berbiji satu dan
berdaging. Bentuknya bulat memanjang. Warna buah muda hijau tua dan buah tua

ungu tua. Panjang buah sekitar 1,3-1,6 cm, dan diameter 0,35-0,75 cm. Panjang
biji 0,84-1,32 cm dan diameter 0,59-0,68 cm (Wijayakusuma et al., 1994).
Ketinggian tempat penanaman kayu manis dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman serta kualitas kulit seperti ketebalan dan aroma. Kayu
manis dapat tumbuh pada ketinggian hingga 2.000 m dpl. Cinnamomum
burmannii akan berproduksi dengan baik bila ditanam di daerah dengan
ketinggian 500-1.500 m dpl. Kayu manis membutuhkan hujan merata sepanjang
tahun dengan kuantitas yang cukup yaitu sekitar 2.000-2.500 mm/tahun. Curah
hujan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hasil panen rendemannya terlalu
rendah. Daerah penanaman sebaiknya bersuhu rata-rata 25C dengan batas
maksimum 27C dan minimum 18C. Kelembaban yang diinginkan 70-90%,
semakin tinggi kelembabannya maka semakin baik pertumbuhannya. Sinar
matahari yang dibutuhkan tanaman sekitar 40-70%. Kayu manis akan tumbuh
baik pada tanah lempung berpasir, banyak humus, remah, kaya bahan organik,
berdrainase baik dan pH tanah yang berkisar 5,0-6,5 (Wijayakusuma et al., 1994).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
yang berlokasi di kebun percobaan Monako Lembang, melaporkan bahwa jumlah
dan mutu kulit kayu manis sangat dipengaruhi faktor-faktor jarak tanam,
pemupukan, umur tanaman ketika panen, dan cara memanennya (Sulaswaty,
2002).
2.1.3

Deskripsi Kulit Batang Kayu Manis


Kulit batang kayu manis memiliki bau khas aromatik: rasa agak manis,

agak pedas dan kelat. Pada pengamatan secara makroskopik, potongan kulit
berbentuk gelondong, agak menggulung membujur, agak pipih atau berupa berkas
yang terdiri dari tumpukan beberapa potong kulit yang tergulung membujur;
panjang sampai 1 m, tebal kulit 1-3 mm atau lebih. Permukaan luar kulit yang
tidak bergabus berwarna coklat kekuningan atau coklat kemerahan, bergaris-garis
pucat bergelombang memanjang dan bergaris-garis pendek melintang yang
menonjol atau agak berlekuk, sedangkan permukaan luar yang bergabus berwarna
hijau kehitaman atau coklat kehijauan, kadang-kadang terdapat bercak-bercak

lumut kerak berwarna agak putih atau coklat muda. Permukaan dalam kulit
berwarna coklat kemerahan tua sampai coklat kehitaman. Bekas patahan tidak
rata. Pada pengamatan secara mikroskopik, kulit yang lapisan luarnya belum
dibuang akan tampak lapisan epidermis dengan kutikula berwarna kuning; lapisan
gabus terdiri dari beberapa sel berwarna coklat, dinding tangensial dan dinding
radial lebih tebal dan berlignin; kambium gabus jernih tanpa penebalan dinding.
Korteks terdiri dari beberapa lapis sel parenkim dengan dinding berwarna coklat,
di antaranya terdapat kelompok sel batu, sel lender dan sel minyak. Semakin tua
semakin tinggi kadar minyak volatil (VO) yang terkandung di dalam kulit batang
kayu manis. Semakin tinggi kadar VO, semakin kuat aroma yang dihasilkan dan
semakin tinggi kadar sinamaldehidnya. (Dwijayanti, 2011).

Gambar 2. Kulit Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


Sumber : Hans, 2012

2.1.4

Kandungan Kimia Kayu Manis


Kandungan kimia kayu manis didapatkan dengan mengidentifikasi

oleoresin pada kayu manis. Oleoresin merupakan campuran senyawa minyak


atsiri dan resin yang diperoleh dengan cara ekstraksi. Oleoresin kayu manis sudah
mulai digunakan pada awal abad ke-19. Kandungan oleoresin kayu manis antara
lain minyak atsiri, aroma khas dan bahan kimia organik yang memberikan rasa
pedas. Dengan kandungannya tersebut maka penggunaan oleoresin menjadi lebih
baik dibanding produk aslinya. Ada beberapa keuntungan dari oleoresin dibanding
produk asli, yaitu hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan, berat

10

ekspor berkurang, nilai bisa tetap atau lebih tinggi karena tidak membutuhkan
banyak ruang, kemasannya kecil, sisa hasil olahannya dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan lain seperti pupuk serta tidak akan rusak karena kontaminasi
(Rismunandar, 2001).
Kandungan yang terdapat dalam kayu manis adalah minyak atsiri, safrole,
sinamadehid,eugenol, tanin, damar, kalsium oksanat, zat penyamak, flavanoid,
saponin serta kandungan gizi lainnya seperti gula,protein, lemak kasar dan pectin
yang diduga ikut membantu daya kerja dalam respon imun (Gunawan, 2004;
Guanther, 2006; Wang, 2009; Wijayanti, 2011)
Minyak atsiri adalah senyawa organik yang diperoleh dari hasil metabolit
sekunder tanaman. Minyak atsiri kayu manis dapat diperoleh dari kulit, batang,

ranting, atau daunnya dengan cara penyulingan. Komposisi kimia minyak atsiri
tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan bagian yang
diambil minyaknya. Kandungan minyak atsiri pada Cinnamomum burmannii

mengandung sinamaldehida lebih tinggi dibanding Cinnamomum zeylanicum


yaitu 65% (Guanther, 2006). Kandungan minyak atsiri dalam kulit kayu manis
(Cinnamomum burmannii Bl.) yang berasal dari Indonesia sebanyak 1,3-2,7%.
Kandungan utama minyaknya adalah sinamaldehid (65-80%) (Kardinan, 2005).
Pada kulit batang kayu manis mengandung paling banyak sinamaldehid
sedangkan pada daun lebih banyak mengandung eugenol dibandingkan
sinamaldehid (Bisset dan Wichtl, 2001). Kulit batang kayu manis mengandung
cukup banyak aldehid, termasuk di dalamnya yaitu: sinamaldehid (70-88%), (E)o-methoxy-sinamaldehid (3-15%), benzaldehid (0,5-2%), salisaldehid (0,2-1%),
sinamal asetat (0-6%), eugenol (<0,5%) dan kumarin (1,5-4 %) (Bruneton, 1999).
2.1.4

Tinjauan Zat Antibakteri Kayu Manis


Berbagai penelitian dilakukan untuk mengembangkan fungsi tumbuhan

kayu manis sebagai tanaman obat terutama sebagai antimikroba. Profil tanaman
kayu manis yang sering dikaitkan dengan herbal spices oleh orang terdahulu
mendorong para peneliti untuk membuktikan khasiat tanaman obat ini secara
empiris. Penelitian ini dimulai saat ditemukan cara untuk mengambil ekstrak

11

berupa oleoresin pada kayu manis. Berbagai pelarut digunakan untuk mengekstrak
kayu manis dengan tujuan untuk mengetahui komponen kimia yang terkandung di
dalamnya. Seiringan dengan itu, penelitian mengenai uji aktivitas antimikroba
kayu manis terhadap mikroba yang patogen baik pada manusia dan tumbuhan
terus dilakukan. Penelitian yang dilakukan Usha et al. (2012) melaporkan ekstrak
etanol Cinnamomum zeylanicum memberikan daya hambat pada Staphylococcus
aureus dimulai pada konsentrasi 64 g/ml.
Menurut Bisset dan Wichtl (2001), oleoresin dari kulit batang kayu manis
berkhasiat sebagai antibakteri dan fungisidal karena adanya kandungan
sinamaldehid. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Shan et al
(2007), aktivitas antibakteri yang terdapat dalam kayu manis disebabkan adanya
kandungan senyawa sinamaldehid dan senyawa lain berupa proantosianidin (PC).
PC merupakan bagian dari kelompok senyawa polifenol yaitu flavanoid.
PC termasuk kategori tannin terkondensasi. Di alam, berjenis-jenis PC selalu
ditemukan dalam unit yang tergabung-gabung menjadi oligomer yaitu OPCs
(Sterling, 2000). Kandungan polifenol dalam PC dapat mengikat toksin untuk
mencegah terjadinya pengikatan reseptor dan internalisasi dalam tubuh bakteri.
Polifenol bekerja dalam mematikan mikroorganisme dengan cara mendenaturasi
sel dan merusak plasma sel secara tetap tanpa dapat diperbaiki lagi (Pelczar dan
chan 1988). Senyawa fenol mampu memutuskan ikatan peptidogligan saat
menerobos dinding sel. Corn dan Stumpf (1976) dalam Rahayu (2009)
menyatakan bahwa dinding sel bakteir gram positif akan bermuatan negatif
sebagai akibat ionisasi gugus fosfat dari polsakarida pada dinding struktur dinding
selnya. Senyawa fenol pada PH rendah akan bermuatan positif, sehingga fenol
tidak akan terionisasi. Perbedaan muatan ini menyebabkan tejadinya Tarik
menarik antara fenol dengan dinding sel, sehingga fenol secara keseluruhan akan
lebih melekat atau melewati dinding sel bakteri positif. Polimer PC juga berfungsi
sebagai supresor resistensi bakteri Staphylococcus aureus (Govindar, 2011).
Sedangkan sinamaldehid termasuk dalam golongan senyawa fenil
propanoid, tidak berwarna, berbentuk padatan kristalin yang kereaktifan kimianya
dapat diketahui dari keterangan gugus fungsional yang ada. Senyawa ini memiliki
hidroksil fenolat bebas yang teroksidasi pada udara terutama pada keadaan basa.

12

Hasil oksidasinya berupa polimer yang berwarna gelap. Zat berwarna hijau
terbentuk dari oksidasi ester asam caffeat dengan adanya ammonia atau asam
amino. Zat yang mudah menguap dalam grup ini digunakan secara komersial
sebagai perasa dan pembau (odor) dalam banyak bumbu dan rempah-rempah
(Marie, 2000).

(a)

(b)

Gambar 3. Struktur Molekul sinamaldehid (a) dan proantosianidin (b)


Sumber : Nainggolan, 2008; Marie, 2000
Uji aktivitas antimikroba sinamaldehid dan eugenol sendiri pernah
dilakukan oleh Sanla-Ead et al. (2011). Uji aktivitas antimikroba terhadap 10
bakteri patogen, spoilage bacteria (bakteri pembusukan pada makanan) dan tiga
strain jamur dengan metode dilusi agar yang dilakukan di Jerman menunjukkan
Sinamaldehid dan eugenol memiliki daya antibakteri dimulai pada konsentrasi
0.7850l/ml untuk semua subjek penelitian dengan diameter zona hambat
berkisar antara 8,7-30.1 mm.
Sinamaldehid bukan hanya bisa menghambat Staphylococcus aureus yang
masih sensitif, namun juga mampu menghambat strain yang resisten terhadap
metisilin (MRSA). Mandal et al. (2011) melaporkan bahwa sinamaldehid
membentuk zona hambat sebesar 22-27 mm dengan Konsentrasi Hambat
Minimum sebesar 64-256 g/ml terhadap MRSA yang diisolasi dari swab
tenggorokan, kulit, dan pus pasien di rumah sakit.
Shen et al. (2014) melaporkan bahwa sinamaldehid menyebabkan
perubahan pada sel E. coli dan S. aureus yang diobservasi melalui Scanning
Electron Microscopy (SEM). Sel S. aureus yang sedang membelah mengalami
perubahan morfologi akibat distorsi dan pengkerutan sel yang dalam. Hal ini
disebabkan karena sinamaldehid mengubah struktur luar bakteri uji. Deteriorasi

13

dinding sel dan lisis sel derajat tinggi ditunjukkan oleh membran sel yang kasar
dan penuh partikulat. Sedangkan Tranmission Electron Microscopy (TEM)
menunjukkan bahwa sel bakteri yang diterapi dengan sinamaldehid mengalami
beberapa perubahan sel yang abnormalitas seperti separasi membran sitoplasma
dari dinding sel, lisis dinding sel dan membran sel sehingga menyebabkan
cytoplasmic content leakage dan akhirnya bakteri akan lisis. Kerusakan morfologi
sel bakteri, integritas dan permeabilitas membran mulai terjadi ketika sel E. coli
dan S. aureus terekspos dengan sinamaldehid mulai pada konsentrasi 0.31 mg/ml.
Sinamaldehid memiliki paling tidak tiga mekanisme aksi melawan bakteri.
Hasil observasi TEM juga menunjukkan bahwa sinamaldehid memiliki target
kerja berbeda pada sel S. aureus. Aktivitas antibakteri sinamaldehid tidak hanya
berpusat pada satu mekanisme saja. Pada konsentrasi yang rendah, sinamaldehid
dapat mencegah interaksi sitokin dengan menghambat kerja enzim pada sintesis
dinding sel. Pada konsentrasi letal, sinamaldehid mengganggu keseimbangan
membran sel bakteri. Pada konsentrasi yang tinggi, sinamaldehid bekerja sebagai
ATP-ase inhibitor pada membran dan dinding sel bakteri, sehingga energi tidak
dapat dihasilkan. Beberapa penelitian lain mengindikasikan bahwa sinamaldehid
menghambat aktivitas ikatan ATP-ase bakteri dan fungi sehingga bakteri dan
fungi tidak mampu melakukan metabolisme untuk melakukan adaptasi sebagai
pertahanan terhadap antimikroba (Gill dan Holley, 2004; 2006).

Hambat sintesis
dinding sel

ATP-ase inhibitor

separasi membran sitoplasma


dari dinding sel

mengganggu keseimbangan
membran sitoplasma

14

Gambar 4. Mekanisme Kerja Sinamaldehid pada Bakteri Gram Positif


Sumber : Hogg, 2005 dengan modifikasi

Selain

Sinamaldehid

(70-89%),

Cinnamomum

burmannii

juga

mengandung kumarin (5-11%) dan eugenol (1-2%) yang diteliti juga memiliki
daya antimikroba. Kumarin dan eugenol juga termasuk senyawa yang terdapat
dalam golongan fenil propanoid sama halnya seperti sinamaldehid. Menurut Li et
al (2012) kumarin dapat menghambat replikasi DNA Staphylococcus aureus.
Kumersin, kumarin sederhana yang strukturnya mirip dengan novobiosin,
kekuatan antibakterinya lebih kuat lima puluh kali melawan Escherichia coli and
Staphylococcus aureus dibandingkan novobiosin (Venugopala et al, 2013).

Gambar 5. Struktur Molekul Simple Coumarin


Sumber : Venugopala et al, 2013
Sedangkan eugenol dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba yang
kerjanya berkaitan dengan kemampuan menembus membran sel dan berinteraksi
dengan protein-protein yang terdapat pada mikroba. Mekanisme aksi Eugenol
terjadi secara permebilitas non-spesifik. Permeabilitas non-spesifik dari membran
sitoplasma oleh eugenol bertanggung jawab atas transport ion potassium and ATP
keluar sel. (Gill and Holley, 2006). Eugenol juga menyebabkan perubahan pada
profil asam lemak pada Pseudomonas fluorescens, E. coli, Brochotrix
thermosphacta, S. enterica, and S. aureus, dan menyebabkan kerusakan sel pada
E. coli and B. thermosphacta cells (Di Pasqua et al., 2006; 2007).

15

Gambar 6. Struktur Molekul Eugenol


Sumber: Sudarlin, 20

Sumber lainya menyebutkan bahwa kayu manis mengandung beberapa zat


yang dipercaya memiliki kemampuan sebagai antimikroba selain zat di atas
seperti saponin, tannin, alkaloid, triterpenoid glycoside, safrol (Parhusip, 2008).

2.2 Bakteri Staphylococcus aureus


2.2.1 Klasifikasi Staphylococcus aureus

Gambar 7. Staphylococcus aureus


Sumber : Departemen Agrikultur Amerika, 2006
Domain
Kingdom

: Bakteria
: Eubacteria

16

Filum
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus

: Firmicutes
: Bacilli
: Magnoliidae
: Bacillales
: Staphylococcaceae
: Staphylococcus

Spesies

: Staphylococcus aureus
(Baron, 1996)

2.2.2

Morfologi dan Karakteristik Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus adalah bakteri yang biasanya ditemukan pada kulit

dan dalam hidung orang yang sehat. Kadang-kadang bakteri ini dapat masuk ke
tubuh dan menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat berupa infeksi kecil (seperti
jerawat, bisul, dan kondisi kulit lainnya) atau serius dan kadang-kadang fatal
(seperti infeksi darah atau pneumonia). Staphylococcus aureus adalah organisme
yang umum dan dapat ditemukan di dalam 30% lubang hidung manusia.
Transmisi manusia ke manusia adalah penyebaran yang umumnya
ditemukan, terjadi melalui kontak dengan sekret dari lesi kulit yang
terinfeksi, kotoran hidung atau menyebar melalui tangan (Centers
for Disease Control and Prevention, 2002).

Ciri-ciri bakteri ini adalah bakteri gram positif, berbentuk sferis (seperti
bola) dengan diameter 0,8-1,0 mikron, fakultatif anaerob tidak bergerak, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Pada sediaan langsung yang berasal
dari pus, bakteri ini dapat terlihat tunggal, berpasangan, berantai

pendek atau bergerombol seperti susunan buah anggur. Pada lempeng


agar, koloninya berbentuk bulat, diameter 1-2 mm, cembung, mengkilat,

berwarna khas kuning keemasan dengan intensitas warna yang bervariasi (Jawetz,
2005).
Bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus hanya mempunyai
membran plasma tunggal yang dikelilingi dinding sel tebal berupa peptidoglikan.
Sekitar 90% dari dinding sel tersebut tersusun atas peptidoglikan sedangkan
sisanya berupa molekul lain bernama asam teikhoat (Jawetz, 2005).

17

Staphylococcus aureus mempunyai banyak faktor virulensi, di antaranya


a) Protein permukaan sel: merupakan faktor yang memudahkan bakteri untuk
menempel dan berkolonisasi di jaringan tubuh manusia; b) leukosidin, kinase dan
hyaluronidase: memudahkan bakteri menyebar dan menginvasi ke dalam jaringan
tubuh; c) kapsul dan protein A: menghambat sel fagosit untuk memakan bakteri
ini; d) karotenoid dan katalase: merupakan senyawa biokimia yang dihasilkan
bakteri ini agar selamat dari proses fagositosis; e) protein A, koagulase dan faktor
penggumpalan: merupakan faktor immunologicaldiguises atau penyamaran sistem
imun yang terdapat pada permukaan sel bakteri. Protein A menyebabkan
Staphylococcus aureus dapat berikatan dengan IgG, sehingga sel fagosit tidak
dapat memfagosit dan menghancurkan bakteri ini. Selain itu koagulase dan faktor
penggumpalan menyebabkan terjadinya deposit fibrin pada permukaan bakteri
yang dapat menghambat proses fagositosis; f) hemolisin, leukotoksin dan
leukosidin: hemolisin merupakan toksin perusak membran sel darah merah
sehingga menyebabkan hemolisis. Leukosidin dan leukotoksin dapat merusak sel
darah putih manusia dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel dan
g) Eksotoksin, Enterotoksin dan Toxic Shock Syndrom Toxin: merupakan toksintoksin yang dapat merusak sel dan jaringan tubuh manusia (Jawetz, 2005; Todar,
2011).

Gambar 8. Virulensi Staphylococcus aureus


Sumber : Baron, 1996

2.2.3

Patogenesis dan patologi Staphylococcus aureus

18

Patogenesis

Staphylococcus

aureus

disebabkan

oleh

kemampuan

menginvasi ke jaringan tubuh manusia disertai toksin dan enzim ekstraseluler


yang dihasilkannya, di samping itu rendahnya daya tahan tubuh menyebabkan
infeksi mudah terjadi (Jawetz, 2005). Patogenesis Staphylococcus aureus
disebabkan oleh ekspresi dari faktor-faktor virulensi, yang dapat mengakibatkan
lesi superfisial kulit, misalnya furunkel, paronychia, dan styes, atau infeksi yang
lebih serius, seperti pneumonia, mastitis, infeksi saluran kemih, osteomieitis,
endokarditis, meningitis dan sepsis. Infeksi terjadi akibat inokulasi pada luka yang
terbuka. Terkadang infeksi melalui saluran pernapasan atas yang menyebabkan
kerusakan mukosa dan menjadi predisposisi infeksi pneumonia, biasanya terjadi
satu minggu setelah onset infeksi influenza (Liu, 2010). Risiko infeksi
intravaskuler dan sistemik dari Staphylococcus aureus meningkat apabila barier
epitel terganggu oleh kateter intravaskuler, implantasi, kerusakan mukosa, atau
trauma (Peacock et al, 2001).
Furunkel atau abses setempat lainnya merupakan suatu contoh lesi oleh
staphylococcus sp. Kuman berkembang biak dalam folikel rambut dan
menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan setempat. Kemudian terjadi koagulasi
fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang
membatasi proses nekrosis. Selanjutnya disusul dengan serbukan sel radang, di
pusat lesi akan terjadi pencairan jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari
jalan keluar di tempat yang paling kurang tahanannya. Pengeluaran cairan abses
diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi (Jawetz, 2005).
Peradangan setempat merupakan sifat khas dari infeksi staphylococcus sp.
Dari fokus ini kuman akan menyebar ke bagian tubuh lain lewat pembuluh getah
bening dan pembuluh darah, sehingga peradangan dari vena dan thrombosis pun
merupakan hal yang biasa. Yang khas terdapat pada osteomylelitis, fokus primer
dari kuman terdapat pada pembuluh darah bagian terminal dan metafisis tulang
panjang, kemudian terjadi trombosis dari tulang dan peradangan yang kronis
(Jawetz, 2005).
2.2.4

Resistensi Staphylococcus aureus

19

Staphylococcus aureus telah dikenal sejak abad ke-19 sebagai penyebab


infeksi lokal maupun sistemik. Pada era tahun 1940-an, masalah infeksi yang
ditimbulkan oleh bakteri ini berhasil diatasi dengan pemberian antimikroba
golongan betalaktam yaitu penisilin. Antimikroba betalaktam mengikat Penicillin
Binding Protein (PBP) yaitu suatu enzim peptidase membran yang mengkatalisis
reaksi transpeptidasi pada proses sintesis dinding sel bakteri. Ikatan betalaktam
pada situs aktif sering mengakibatkan PBP tidak aktif, sintesis dinding sel gagal
dan bakteri mengalami lisis. Staphylococcus aureus memiliki 4 macam PBP yaitu
PBP 1 seberat 85 kDa, PBP 2 seberat 81 kDa, PBP 3 seberat 75 kDa dan PBP 4
seberat 45 kDa. PBP 1, 2 dan 3 memiliki aktivitas transpeptidase dan memiliki
afinitas sangat tinggi terhadap betalaktam, sehingga pemberian antimikroba
betalaktam akan menyebabkan letal Staphylococcus aureus (Yuwono, 2010).
Namun tidak lama dari itu, muncul strain Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap penisilin G. Lebih dari 80% Staphylococcus aureus
menghasilkan penicilinase (salah satu bentuk betalaktamase), suatu enzim yang
menyebabkan cincin beta-laktam hancur sehingga antibiotik tidak akan lagi
memiliki kemampuan untuk mengikat PBP (Penisilin-mengikat protein) (Brown
et al., 2005).
Pada tahun tahun 1959 metisilin mulai diperkenalkan untuk
menanggulangi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin. Cara
kerjanya sama dengan antibiotik betalaktam pada umumnya hanya saja metisilin
ini resisten terhadap penicilinase dan mampu menghambat pembentukkan akhir
sintesis dinding sel bakteri peptidoglikan yang difasilitasi PBP. Antibiotik ini akan
berikatan dengan PBP2 sehingga menghambat peptidoglikan dan akhirnya lisis.
Satu tahun berselang, Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), galur
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik betalaktam, termasuk
penisilin dan turunannya (Metisilin, Oxacilin, dicloxacilin, Nafcilin dan
Sephalosporin) ditemukan di Inggris untuk pertama kalinya. MRSA terjadi karena
adanya perubahan PBP2 menjadi PBP2a yang di kode oleh gen mecA sehingga
afinitas Metisilin ini rendah yang menyebabkan bakteri tidak dapat berikatan

20

dengan PBP2a hingga pembentukkan tahap akhir peptidoglikan tidak terganggu


dan bakteri menjadi resisten (Fuda et al., 2005).
Vankomisin yang merupakan golongan glikopeptide dipilih sebagai
pengganti metisilin (Goodman and Gilman, 2004). Oleh karena itu sejak tahun
1990-an terjadi peningkatan penggunaan vankomisin. Akibatnya terjadi
kecenderungan penurunan sensitivitas vancomisin terhadap Staphylococcus
aureus. Tahun 1996 untuk pertama kalinya dilaporkan bahwa telah terjadi
penurunan sensitifitas vankomisin terhadap Staphylococcus aureus di Jepang.
Tahun 2002, seorang klinisi dari

USA untuk pertama kalinya mengisolasi

Vancomycin Resistant Staphylococcus aureus (VRSA), dan tidak lama kemudian


di Brazil dilaporkan hal yang sama (Tiwari dan Sen, 2006). Mekanisme resistensi
terhadap

vankomisin

belum

sepenuhnya

diketahui.

Resistensi

terhadap

vancomisin diperantarai oleh gen van yang akan mengakibatkan perubahan pada
terminal dinding sel Staphylococcus aureus. Pilihan antibiotika semakin terbatas
dikarenakan terjadinya resistensi Staphylococcus aureus terhadap beberapa
antimikroba (Hiramatsu, 2001).

Tabel 1. Kronologi Infeksi Staphylococcus aureus dan Resistensinya


Tahun
1940
1942

Keterangan
Penicilin diperkenalkan
Muncul Staphylococcus aureus resisten terhadap
penisilin
1959
Methicilin diperkenalkan; sebagian besar strain
Staphylococcus aureus di rumah sakit dan masyarakat
resisten penisilin
1961
Muncul MRSA (Methicillin-resistant S aureus)
1963
Wabah pertama MRSA di rumah sakit
1968
Ditemukan strain MRSA pertama di rumah sakit
Amerika
1970-an
Penyebaran MRSA secara global, ditemukan kejadian
MRSA yang sangat tinggi di Eropa
1980-an &
Penurunan MRSA yang dramatis dengan adanya
awal 1990-an program search & destroy di Eropa utara
1996
VRSA( Vancomycin-resistant S aureus ) pertama kali
dilaporkan di Jepang

21

1997

Kejadian MRSA di rumah sakit di Amerika hampir 25


%; penggunaan vancomycin meningkat; muncul VISA;
dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius
2002
Terjadi VRSA yang pertama di Amerika
2003
Kejadian MRSA kembali meningkat; hamper 60 %
terjadi di ICU; wabah CA-MRSA dilaporkan terjadi di
banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah
sakit
2006
>50 % infeksi kulit Staphylococcal muncul di bagian
gawat darurat yang disebabkan CA-MRSA; HA-MRSA
terus meningkat; CA-MRSA secara epedemiologi
menjadi sangat sulit
2007
The Year of MRSA
Sumber : Sampathkumar, 2007

2.2.5

Pengobatan Staphylococcus aureus


Untuk kasus di luar rumah sakit diberikan penisilin G. Pada infeksi yang

berat atau jika diduga resisten terhadap penisilin, dapat diberikan metisilin atau
derivat penisilin lain yang resisten penicilinase. Jika hasil tes telah ada, sebaiknya
diberikan obat yang sesuai dengan hasil tes kepekaan tersebut. Pada penderita
yang alergi penisilin, dapat diberikan sefalosporin, eritromisin, linkomisin atau
klindamisin. Pada infeksi oleh suatu jenis yang tahan terhadap metisilin, dapat
diberikan vankomisin; rimfapisin atau fusidic acid juga dapat diberikan, asal
dalam bentuk kombinasi dengan antibiotik lainnya. Kalau diberikan tersendiri
cepat terjadi resistensi. Jenis resisten metisilin, biasanya juga resisten terhadap
oksasilin, kloksasilin dan cefalosporin (Jawetz, 2005).
Sedangkan untuk strain resisten seperti MRSA, hingga kini belum ada
terapi yang benar- benar efektif. Glikopeptida vankomisin yang merupakan drug
of choice untuk infeksi MRSA ternyata memiliki efek bakterisidal yang lambat
dan sering menimbulkan kegagalan terapi. Masalah menjadi semakin rumit
dengan ditemukannya galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap
vankomisin dan MRSA yang resisten vankomisin. Antimikroba lain seperti asam
fusidat, rifampin, fosfomisin, quinolon dan trimetoprim-sulfametoksazol memiliki

22

kemanjuran yang lebih rendah dibandingkan dengan vankomisin. Juga telah


terbukti adanya galur MRSA yang resisten terhadap antimikroba tersebut.
Antimikroba baru sebagai alternatif terapi infeksi MRSA adalah streptogramin,
oksazolidinon, daptomisin, glisilsiklin, oritavansin dan peptida. Selain itu
direkomendasikan pula terapi infeksi MRSA dengan antimikroba kombinasi.
Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk terapi infeksi MRSA (Yuwono, 2010).

2.3

Antibiotik Amoksisilin

2.3.1

Tinjauan Umum dan indikasi Amoksisilin

Gambar 9. Struktur Kimia Amoksisilin


Sumber : Ditjen POM, 1995

Amoksisilin memiliki rumus molekul C16H19N3O5S.3H2. Struktur kimia


amoksisilin terdiri atas cincin -laktam, cincin tiazolidin rantai samping amida
dan gugus karboksil. Amoksisilin merupakan antibiotika O dengan berat molekul
419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau, berasa
pahit. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol (1 gram dalam 370 ml air
atau dalam 2000 ml alkohol), tidak larut dalam benzen, dalam karbon tetraklorida
dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

23

Amoksisilin adalah antibiotika golongan -laktam dengan spektrum luas,


digunakan untuk pengobatan infeksi pada saluran napas, saluran empedu dan
saluran seni, gonorhu, gastroenteritis, meningitis dan infeksi karena Salmonella
sp., seperti demam tipoid. Amoksisilin merupakan turunan penisilin yang tahan
asam tetapi tidak tahan terhadap penisilanase. Beberapa keuntungan dibandingkan
ampisilin adalah penyerapan obat dalam saluran cerna lebih sempurna, sehingga
kadar darah dalam plasma dan saluran seni lebih tinggi, serta adanya makanan
tidak mempengaruhi penyerapan obat. Amoksisilin digunakan untuk mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Haemophilus Influenza,
Escherichia coli, Proteus mirabilis, Salmonella. Amoksisilin juga dapat
digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif
seperti : Streptococcus pneumoniae, enterococci, nonpenicilinase-producing
staphylococci, Listeria. Walaupun demikian, amoksisilin secara umum tidak dapat
digunakan secara sendirian untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh
streprtococcus dan staphylococcus. Amoksisilin diindikasikan untuk infeksi
saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, infeksi klamidia, sinusitis, bronkitis,
pneumonia, abses gigi dan infeksi rongga mulut lainnya (Siswandono, 2000).
2.3.2

Farmakokinetik
Amoksisilin kebal terhadap inaktifasi asam lambung. Amoksisilin lebih

cepat dan sempurna diserap daripada ampisilin jika diberikan melalui


oral. Absorbsi amoksisilin lebih baik dibandingkan amipisilin yang seharusnya
diberikan secara parenteral. 1-2 jam pemberian dosis 250 mg, puncak plasma
dapat dibaca dengan konsentrasi sekitar 5 mikrogram/mL dengan ketersediaan
hingga 8 jam. Penggunaan dosis ganda dapat menggandakan konsentrasi dalam
darah. Keberadaan makanan dalam lambung tidak mengurangi jumlah amoksisilin
yang diserap (Tjay dan Rahardja, 2007).
Konsentrasi amoksisilin setelah injeksi intramuskular sama dengan dosis
oral. Sekitar 20% terikat pada protein plasma dan memiliki waktu paruh 11,5 jam, dan mungkin lebih lama pada neonatus, orang tua, dan pasien dengan

24

gagal ginjal. Pada beberapa kasus gagal ginjal, waktu paruh bisa mencapai 720 jam. Amoksisilin secara luas didistribusikan pada konsentrasi yang berbedabeda dalam jaringan dan cairan tubuh. Amoksisilin dapat menembus plasenta, dan
dalam jumlah kecil dieksresikan dalam air susu, sangat sedikit melewati CSF
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Amoksisilin dimetabolisme menjadi asam penisiloat yang dieksresikan
melalui urin. Sekitar 60% dieksresikan dalam bentuk yang sama melalui urin
dalam 6 jam. Konsentrasi dalam urin sekitar 300 mikrograms/mL setelah
pemberian dosis 250 mg. Probenesid mengurangi eksresi ginjal. Amoksisilin
dibuang melalui haemodialisis, dan konsentrasi yang tinggi pernah dilaporkan
berada dalam cairan empedu dan sejumlah tertentu berada dalam feses (Tjay dan
Rahardja, 2007).

2.3.3

Farmakodinamik
Baik amoksisilin dan kloksasilin adalah derivat penisilin dan bersifat

bakterisidal. Obat-obat ini mengganggu sintesis dinding sel bakteri, sehingga


menyebabkan sel menjadi lisis. Mekanisme kerja amoksisilin antara lain:
1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi
sintesis peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase
merupakan enzim yang bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida
dalam membentuk senyawa peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir
pembentukan dinding sel. Proses Cross linking tersebut digunakan dalam
integritas struktur dinding sel bakteri (Essack, 2001).
2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau Penicillin-Binding
Protein (PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri.
3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat pada PBP.
Ketiga aktivas tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri dan berubah
bentuk menjadi sel ovoid atau berfilamen sehingga dinding sel kehilangan
integritasnya dan juga akan mengalami lisis.

25

Gambar 10. Aksi Amoksisilin pada Dinding Sel Bakteri Gram Positif
Sumber : SSMMID, 2011
Amoksisilin dapat diproduksi dengan atau tanpa asam clavulanat, suatu
agen yang mencegah pemecahan amoksisilin dengan tujuan untuk menurunkan
resistensi obat antibakterial. Penambahan asam klavulanat meningkatkan efek
amoksisilin. Preparat amoksisilin asam klavulanat dan amoksisilin trihidrat
mempunyai farmakokinetik dan farmakodinamik yang serupa, dan demikian pula
efek samping dan reaksi merugikannya (Lacy et al., 2004).
2.3.4

Kontraindikasi dan Efek Samping


Amoksisillin dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitifitas

terhadap penisilin dan sefalosporin, khususnya pada penderita yang memiliki


gangguan ginjal, hati dan sistem hematologi (Lacy et al., 2004) serta pada
penderita dengan infeksi mononukleus karena dapat menyebabkan ruam.
Amosisillin juga dikontraindikasikan pada pasien yang alergi terhadap
sefalosporin karena dapat mengakibatkan terjadinya cross allergenicity (alergi
silang) (Katzung, 2004).
2.3.5

Dosis dan Cara Pemberian

26

Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 3x sehari 250mg dan untuk infeksi
berat 3x sehari 500mg. anak 7-12 tahun: sehari 3x2 sendok. Anak kurang dari
12tahun : 25-50mg/kgberat badan/hari (Tjay dan Raharja, 2007).
2.4

Ekstraksi

2.4.1

Definisi
Ekstraksi adalah penyarian zat berkhasiat atau zat aktif dari bagian

tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya (Dirjen POM, 1986).
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan bahan padat maupun cair dengan
bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat cair (leaching)
adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya.
Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut
kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan
kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan
dapat larut dalam solven pengekstraksi. Ekstraksi berkelanjutan diperlukan
apabila padatan hanya sedikit larut dalam pelarut. Namun sering juga digunakan
pada padatan yang larut karena efektivitasnya (Harbone, 1987).
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan
massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada
lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987;
Dirjen POM, 1986).
2.4.2

Prinsip Ekstraksi
Pada prinsipnya, ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa

dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu
ekstraksi yaitu:

27

1. Penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel


2. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
3. Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
Pada proses diatas diharapkan terjadi kesetimbangan antara zat larut dan
pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada
suhu, pH, ukuran, dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan
dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar (Emilan, 2011).
2.4.3

Metode Ekstraksi
Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah ekstraksi secara

dingin dengan cara maserasi, perkolasi dan alat soxhlet dan ekstraksi secara panas
dengan cara refluks dan penyulingan uap air.
1. Cara Dingin
a.

Ekstraksi secara soxhletasi


Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ektraksi


berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Dirjen POM, 1986).
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap
penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh
pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam
simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka seluruh
cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi. Demikian
seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari
seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon
(Farmasi Unand, 2012).
Keuntungannya adalah metode ini dapat digunakan untuk sampel
dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara
langsung, digunakan pelarut yang lebih sedikit, dan pemanasannya dapat

28

diatur. Sedangkan kerugiannya adalah karena pelarut didaur ulang, ekstrak


yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan
sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas. Jumlah total
senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam
pelarut

tertentu

sehingga

dapat

mengendap

dalam

wadah

dan

membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.


Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk
menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi (Farmasi
Unand, 2012).
b.

Ekstraksi secara perkolasi


Perkolasi proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan

pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu perkolator.
Tujuan perkolasi adalah agar zat berkhasiat tertarik seluruhnya dan
biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan ataupun tidak tahan
pemanasan (Dirjen POM, 1986).
Prinsip kerjanya serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana
silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari
dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan
melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.
Gerak kebawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan
diatasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan.
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan,
daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan
daya geseran (Farmasi Unand, 2012).
Keuntungan metode ini adalah tidak terjadi kejenuhan, pengaliran
meningkatkan difusi (dengan dialiri cairan penyari sehingga zat seperti
terdorong untuk keluar dari sel). Sedangkan kerugiannya adalah Cairan
penyari lebih banyak, risiko cemaran mikroba untuk penyari air karena
dilakukan secara terbuka (Farmasi Unand, 2012).
c.

Ekstraksi secara maserasi

29

Maserasi

adalah

proses

pengekstrakan

simplisia

dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan


pada suhu kamar. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi,
lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang
tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan. Metode
maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen
kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,
tiraks dan lilin. Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar
dan terlindung dari cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari
dengan konsentrasi rendah (prosesdifusi). Peristiwa tersebut berulang
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel (Dirjen POM, 1986).
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia
dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari
cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya
dimaserasi kembali dengan cairan penyarI (Farmasi Unand, 2012).
Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana.
Sedangkan

Kerugiannya

adalah

waktu

yang

diperlukan

untuk

mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih


banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai
tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Farmasi Unand, 2012).
2. Cara Panas
a.
Ekstraksi secara refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi refluks digunakan untuk

30

mengektraksi bahan-bahan yang tahan terhadap pemanasan (Dirjen POM,


1986).
Prinsip kerjanya adalah penarikan komponen kimia yang dilakukan
dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama dengan
cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun
kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada
pada

labu

alas

bulat,

demikian

seterusnya

berlangsung

secara

berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut


dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh
dikumpulkan dan dipekatkan (Farmasi Unand, 2012).
Keuntungannya adalah metode ini digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang memiliki tekstur kasar. Sedangkan kerugiannya
adalah metode ini membutuhkan volume total pelarut yang besar dan
sejumlah manipulasi operator (Farmasi Unand, 2012).
b.
Ekstraksi secara penyulingan
Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih
yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya
terjadi kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka penyari
dilakukan dengan penyulingan. Metode ini dapat digunakan pada
campuran senyawa-senyawa yang memiliki titik didih mencapai 200C
atau lebih. Selain itu metode ini juga dapat menguapkan senyawa-senyawa
ini dengan suhu mendekati 100C dalam tekanan atmosfer dengan
menggunakan uap atau air mendidih serta dapat digunakan untuk
campuran yang tidak larut dalam air di semua temperatur, tapi dapat
didistilasi dengan air (Dirjen POM, 1986).
Penyarian minyak menguap dengan cara simplisia dan air
ditempatkan dalam labu berbeda. Air dipanaskan dan akan menguap, uap
air akan masuk ke dalam labu sampel, uap air dan minyak menguap yang
telah terekstraksi menuju kondensor dan akan terkondensasi, lalu akan
melewati pipa alonga, campuran air dan minyak menguap akan masuk ke

31

dalam corong pisah, dan akan memisah antara air dan minyak atsiri
(Farmasi Unand, 2012).
2.4.4

Jenis Pelarut
Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi antara lain sebagai berikut

(Emilan, 2011):
a. pelarut non-polar, akan maelarutkan senyawa-senyawa yang bersifat
non-polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemak-lemak,
terpenoid, fenol, klorofil dan steroid. Contohnya adalah n-heksana,
protoelum eter dan benzene;
b. pelarut semipolar, akan melarutkan senyawa semipolar dapat
melarutkan senyawa seperti flavonoid dan terpenoid. Contohnya
adalah kloroform, etilasetat dan metilenklorida;
c. pelarut polar akan melarutkan senyawa polar yang terdapat dalam
protoplasma seperti senyawa glikosida, vitamin C dan saponin.
Contohnya adalah metanol, etanol dan etil eter.
Menurut Emilan (2011), pelarut yang baik memiliki beberapa syarat yaitu:
1
2
3

Kapasitas besar
Selektif
Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap/titik didihnya cukup rendah).
Cara memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan diatas
penangas air dengan wadah lebar pada temperature 60 oC, destilasi, dan

4
5
6

penyulingan vakum.
Harus dapat diregenerasi
Relatif tidak mahal
Non toksik, non korosif, dan tidak memberikan kontaminasi serius dalam

keadaan uap
Viskositas cukup rendah

2.4.5

Parameter Ekstraksi
Menurut Emilan (2011), dalam memperoleh ekstraksi yang baik maka

harus diperhatikan parameter-parameter berikut:


1

Parameter Nonspesifik
a. Parameter susut pengeringan

32

b. Parameter bobot jenis


c. Kadar air
d. Kadar abu
e. Sisa pelarut
f. Residu pestisida
g. Cemaran logam berat
h. Cemaran mikroba
Parameter Spesifik
a. Identitas
b. Organoleptik
c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Uji Kandungan Kimia Ekstrak


a. Pola kromatogram
b. Kadar total golongan kandungan kimia
c. Kadar kandungan kimia tertentu

2.5

Fraksinasi
Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawa- senyawa berdasarkan

tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi
berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan. Pada prakteknya dalam melakukan
fraksinasi digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan corong pisah atau
metode ekstraksi cair-cair (ECC) dan kromatografi kolom (Eriyanti, 2010).
Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan dengan menggunakan dua
cairan pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga senyawa tertentu terpisahkan
menurut kesesuaian sifat dengan cairan pelarut (prinsip solve dissolve like).
Kromatografi adalah teknik pemisahan zat dari campuran berdasarkan perbedaan
migrasi komponen-komponen tersebut dari fase diam oleh fase gerak. pemisahan
ini dilakukan berdasarkan sifat fisika-kimia umum dari molekul seperti :
-

kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)


kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus

(adsorbsi/penyerapan)
kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian)
(Haqqi, 2014)

33

2.6 Uji Aktivitas Antimikroba


Uji kepekaan terhadap obat antimikroba secara umum dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu:
1. Metode Difusi
Merupakan metode yang paling sering digunakan, lazim dikenal
dengan cara Kirby-Bauer seperti berikut, sebuah cawan petri yang berisi
media agar yang telah dimasukkan bakteri yang sudah sesuai standar di
atas permukaannya. Kemudian kertas cakram dibasahi atau dibubuhi
dengan agen kemoterapi yang telah diketahui konsentrasinya diletakkan di
atas permukaan agar yang sudah memadat. Selama inkubasi, agen
kemoterapi akan berdifusi dari cakram ke media agar. Apabila agen
kemoterapinya efektif maka zona hambat akan terbentuk di sekitar cakram
setelah inkubasi. Diameter dari zona tersebut dapat diukur pada zona
umum, zona yang lebih besar dan untuk zona sensitif mikrobanya dapat
digunakan sebagai antibiotik (Nainggolan, 2008). Kelemahan metode
difusi adalah tidak dapat menentukan apakah suatu obat (agen kemoterapi)
sebagai bakterisidal dan bukan hanya bakteriostatik (Pratiwi, 2008).

Gambar 11. Uji disc diffusion

34

Sumber : Hogg, 2005


2. Metode Dilusi
Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat
Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) dari zat antimikroba.
Prinsip dari metode dilusi ini yaitu dengan menggunakan satu seri tabung
reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji.
Kemudian masing-masing tabung diuji dengan zat yang telah diencerkan
secara serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37C selama 18-24 jam dan
diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah zat pada
tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih
(tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari zat tersebut.
Kosentrasi terendah zat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak
adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari zat terhadap
bakteri uji (Pratiwi, 2008). Metode dilusi sering digunakan untuk
menentukan konsentrasi penghambat terkecil dan juga untuk menetapkan
konsentrasi bakterisidal terkecil dari suatu senyawa antimikroba (Tortora,
et al., 2001).

35

Gambar 12. Metode Dilusi Cair


Sumber : Hogg, 2005

2.7 Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)


Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah konsentrasi terendah yang
masih dapat menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme. Aktivitas
antimikroba ditentukan dengan mengukur diameter hambatan yang terbentuk di
sekitar kertas cakram yang telah ditetesi zat antimikroba. Kemudian dicari
konsentrasi terkecil yang masih mempunyai hambatan sebagai konsentrasi hambat
minimumnya. Suatu antimikroba dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi
apabila nilai konsentrasi hambat minimumnya rendah, tetapi mempunyai daya
hambat yang besar (Saputra, 2013).
2.8 Uji Bioautografi
Bioautografi merupakan metode untuk mendeteksi bercak hasil KLT yang
memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, dan antivirus. Dengan metode ini, maka
dapat diketahui bercak yang memiliki aktivitas dan dapat dilakukan isolasi
senyawa aktif. Metode ini sangat praktis dan mudah, namun memiliki kerugian
tidak dapat ditetapkan KHM atau KBM-nya (Pratiwi, 2008).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara untuk memisahkan
campuran senyawa menjadi senyawa murni. Kromatografi menggunakan proses
analisis yang cepat dan memerlukan bahan yang sangat sedikit, baik penyerap
maupun ekstraknya. KLT dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi
kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi
senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil (Arista,
2010).
Ada dua macam uji bioautografi:
1) Bioautografi langsung
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara:
a) Plat hasil KLT disemprot dengan suspensi bakteri uji.

36

b) Plat KLT disentuhkan di atas media agar yang telah ditanami bakteri uji
(sering disebut bioautografi kontak). Setelah diinkubasi, area jernih di
mana tidak terdapat pertumbuhan bakteri merupakan spot senyawa aktif
(Pratiwi, 2008).
2)

Bioautografi overlay
Metode ini dilakukan dengan cara menuangkan media agar ke dalam petri

dan ditunggu hingga memadat. Selanjutnya plat hasil KLT diletakkan di atas
media agar tersebut. Media agar berisi bakteri uji dituang di atas plat hasil KLT
dan ditunggu hingga memadat. Area hambatan setelah inkubasi pada suhu 37C
selama 18-24 jam dilihat dengan cara menyemprotkan tetrazolium klorida. Spot
senyawa aktif akan muncul sebagai area jernih dengan latar belakang ungu
(Pratiwi, 2008).
Pelarut yang dipilih sebagai pengembang disesuaikan dengan sifat
kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silica gel adalah
senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif seperti
asam sulfat (Arista, 2010).
Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf (Retodansi factor) yang
berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat
dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu, bilangan Rf selalu lebih
kecil dari 1,0. Perhitungan nilai Rf Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk
dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan
identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Pengukuran ini berdasarkan pada
jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna
masing-masing. Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan
dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis,
sebelum mengalami proses penguapan. Pengukuran berlangsung sebagai berikut:
Nilai Rf untuk setiap warna dihitung dengan rumus sebagai berikut (Arista, 2010):

37

RF=

jarak yang dite mpuh oleh komponen


jarak yang ditempuh oleh pelarut

2.9 Kerangka Teori


Fraksi aktif kulit batang kayu manis
(Cinnamomum burmannii)

Senyawa Fenol
Golongan senyawa
Fenil Propanoid
sintesis prekursor peptidoglikan
di sitoplasma (UDP NAG dan
UDP NAM)
c

alanin rasemase dan Dalanil-D-alanin sintase

Pembentukan UDP-NAM
rantai pentapeptida dengan
penambahan asam amino

Golongan senyawa
Flavonoid

Sinamaldehid

Eugenol

denaturasi sel,
merusak plasma
sel, menembus
dinding sel

menganggu
keseimbangan
cytoplasic
membran

Pengikatan NAG ke NAM


c

ATPase,

Pengikatan hubungan silang


peptide NAG dan NAM

Peptidogligan tidak
terbentuk

integritas dan
permeabilitas
membran
meningkat
Gangguan
morfologi, Lisis
dan leakage of
cell contents.

Lisis dinding sel

Bakteriostatik dan bakteriosidal


terhadap Staphyloccous aureus

Pengikatan toksin,
reseptor, dan
internalisasi
bakteri

38

Anda mungkin juga menyukai