Anda di halaman 1dari 23

Pengantar

The Education for All (EFA) movement atau Gerakan Pendidikan


untuk Semua adalah satu komitmen gerakan bersama yang
diluncurkan oleh masyarakat dunia peduli pendidikan untuk
menyediakan pendidikan dasar (basic education) untuk semua
anak usia sekolah. Untuk Indenesia, jenjang pendidikan dasar
meluputi satuan pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI)

dan

satuan

pendidikan

Sekolah

Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), yakni untuk anak


usia 7 sampai 15 tahun. Sementara itu, masyarakat global
peduli

pendidikan

kemudian

juga

menilai

penting

untuk

menyediakan Pendidikan Anak Usia Dini (Early Childhood


Education), yakni untuk anak usia 0 6 tahun. Para pakar
pendidikan meyakini bahwa kecerdasan anak berkembang
secara optimal pada usia 0 6 tahun ini, yang dikenal dengan
usia keemasan (the golden age).

Gerakan The Education for All (EFA) mulai diwujudkan dalam


Forum Pendidikan Dunia (the World Education Forum ) di Dakar
pada tahun 2000. Dalam forum tersebut, 164 negara telah
menandatangani

kesepakatan

untuk

mencapai

(enam)

sasaran EFA yang akan dicapai pada tahun 2015. Dalam forum
tersebut

semua

pemerintahan,

lembaga

pengembangan,

masyarakat sivil dan sektor swasta saling bekerja sama untuk


mencapai 6 (enam) sasaran EFA yang telah disepakati bersama.

Sasaran EFA
Enam sasaran EFA yang telah disepakati bersama yang akan
dicapai pada tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Sasaran 1
Memperluas dan meningkatkan perawatan dan pendidikan yang
komprehensif bagi anak usia dini (PAUD), terutama bagi anakanak yang paling rentan dan kurang beruntung.

Sasaran 2
Memastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak, khususnya
anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka
yang termasuk etnis minoritas, memiliki akses untuk mengikuti
dan menamatkan pendidikan dasar, gratis dan wajib dengan
kualitas yang baik.

Sasaran 3
Memastikan bahwa kebutuhan belajar semua anak muda dan
orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil terhadap
pembelajaran yang tepat dan dengan program kecakapan hidup
(life skill).

Sasaran 4

Mencapai perbaikan 50 persen di tingkat buta aksara pada


tahun 2015, terutama bagi perempuan, dan akses yang adil
pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang
dewasa.

Sasaran 5
Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan
menengah pada tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender
dalam pendidikan pada tahun 2015, dengan fokus untuk
menjamin akses perempuan penuh dan sama untuk prestasi
dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.

Sasaran 6
Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin
keunggulan semua sehingga diakui dan hasil pembelajaran
yang terukur yang dicapai oleh semua, terutama dalam bidang
terutama dalam bidang keaksaraan, berhitung dan kecakapan
hidup yang esensial.
Sumber: UNESCO/Justin Mott

PENDIDIKAN UNTUK SEMUA DI INDONESIA


Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar
dalam 20 tahun terakhir ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12
tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Tapi Indonesia tetap
belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi

semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus


dihadapi, masalah tersebut antara lain:
-

Anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta

anak.
- Kualifikasi guru yang masih kurang.
-

Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu masih


berorientasi kepada guru dan anak didik tidak diberi
kesempatan memahami sendiri.

- Manajemen sekolah yang buruk


- Kurangnya keterlibatan masyarakat.
-

Kurangnya akses pengembangan dan pembelajaran usia


dini bagi sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun
terutama

anak-anak

yang

tinggal

di

pedalaman

dan

pedesaan.
-

Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang

tidak memadai.
- Biaya pendidikan yang tinggi.
Untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua, pemerintah
Indonesia dibantu oleh UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatankegiatan antara lain:
1. Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
UNICEF mendukung langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan akses pendidikan dasar melalui Sistem Informasi
Pendidikan Berbasis Masyarakat. Sistem ini memungkinkan
penelusuran semua anak usia di bawah 18 tahun yang tidak
bersekolah.
2. Program Wajib Belajar 9 tahun
Dalam upayanya mencapai tujuan Pendidikan untuk Semua
pada

2015,

pemerintah

Indonesia

saat

ini

menekankan

pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh


anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF
dan UNESCO memberi dukungan teknis dan dana.
3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak
(CLCC).
Bersama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan anak-anak
di delapan propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung program
Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC). Proyek
ini berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada 2004 menjadi
1.496 pada 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru dan
menciptakan lingkungan belajar yang lebih menantang bagi
sekitar 275.078 siswa.
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT
Pendidikan

sepanjang

hayat

mulai

aktual

saat

topik

itu

dilontarkan oleh UNESCO sebagai pandangan tentang pendidikan


yang

mengantisipasi

perubahan-perubahan

yang

ada

di

masyarakat seluruh dunia dan negara berkembang, UNESCO dan


lembaga internasional lainnya mulai melihat problem-problem
ketertinggalan,

kemiskinan

hanya

dapat

diatasi

dengan

pendidikan dalam format yang menyesuaikan kebutuhan dan


dikenakan pada berbagai kelompok umur termasuk orang
dewasa.

UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg) menetapkan suatu


definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan
yang harus:
1) Meliputi seluruh hidup setiap individu

2) Mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan,


dan

penyempurnaan

secara

sistematis

pengetahuan,

ketrampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi


hidupnya.
3) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri
(self fulfilment) setiap individu.
4) Meningkatkan

kemampuan

dan

motivasi

untuk

belajar

mandiri.
5) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang
mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal dan
informal.

Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di


sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi,
yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif,
dan

serantak

dengan

itu,

meningkatkan

kemauan

dan

kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang


hayat.

Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang


hayat

harus

dirancang

dan

diimplementasi

dengan

memperhatikan dua dimensi (Hameyer, 1979:67-81; Sulo Lipu La


Sulo, 1990:28-30) sebagai berikut:
a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Di
samping

keterkaitan

dan

kesinambungan

antartingkatan

persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta

didik di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu


antara lain pengkajian tentang:

1) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta


didik , termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa
depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke
dalam kurikulum.

2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: kurikulum


seyogyanya

memungkinkan

antisipasi

terhadap

perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik


justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang telah
berubah setelah menamatkan sekolahnya.

3) The

forecasting

kurikulum

curriculum

berdasarka

suatu

yakni

prognosi,

perangcangan
baik

tentang

perilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya,


pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku,
maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah
berubah di masa depan.

4) Keterpaduan

bahan

ajaran

dan

pengorganisasian

pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur


pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan
kerangka

dasar

bidang studi itu.

untuk

memperoleh

keterpaduan

ide

5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang


dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan,
agar

kelak

dapat

membangun

dirinya

sendiri

dan

bersama-sama membangun masyarakatnya.

6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki


peserta

didik, yakni

pengalaman di

keluarga

untuk

pendidikan dasar, dan demikian seterusnya.

7) Untuk

mempertahankan

permanen,

peserta

kemanfaatan
mengikuti

yang

didik
akan

pendidikan

itu,

motivasi
harus

belajar

secara

dapat

melihat

didapatnya
seperti

dengan

kesempatan

tetap
yang

terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan


kepribadian, dan sebagainya.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di
luar sekolah. Termasuk dalam dimensi horizontal antara lain:

1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah;


kehidupan di luar sekolah menjadi obyek refleksi teoritis di
dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik
lebih

memahami

persoalan-persoalan

pokok

yang

terdapat di luar sekolah.

2) Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di


luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, sehingga

kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar


sekolah.

3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan


belajar-mengajar,

baik

sebagai

narasumber

dalam

kegiatan belajar di sekolah maupun dalam kegiatan


belajar di luar sekolah.

Saat negara-negara berkembang mulai menerapkan pendidikan


dasar (basic education) yang perwujudannya adalah wajib
belajar, maka mulai terasa bahwa untuk kelompok masyarakat
yang kurang beruntung perlu dibantu dengan format pendidikan
sepanjang hayat.

Arti luas pendidikan sepanjang hayat (Lifelong Education) adalah


bahwa

pendidikan

tidak

berhenti

hingga

individu

menjadi

dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya. Pendidikan


sepanjang hayat menjadi semakin tinggi urgensinya pada saat ini
karena, manusia perlu terus menerus menyesuaikan diri supaya
dapat tetap hidup secara wajar dalam lingkungan masyarakatnya
yang selalu berubah.

Di Indonesia perwujudan belajar sepanjang hayat telah dijamin


dalam undang-undang. Hal tersebut tertuang pada pasal 4 UU
No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut
disebutkan

bahwa

pendidikan

diselenggarakan

secara

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan

menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan dan nilai


kultural

dan

kemajemukan

bangsa

(ayat

1),

pendidikan

diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan


sistem

terbuka

diselenggarakan

dan

multimakna

sebagai

suatu

(ayat

proses

2),

pendidikan

pembudayaan

dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat


(pasal 3).

SEKOLAH SEBAGAI PUSAT BELAJAR SEPANJANG HAYAT


UNTUK SEMUA
Peran sekolah dalam mewujudkan belajar sepanjang hayat. Hal
ini dilakukan melalui pengembangan kerja sama antara sekolah
dengan lembaga keluarga, lembaga bisnis, lembaga lain dalam
masyarakat

dan

masyarakat itu

sendiri. Kaitannya

belajar

sepanjang hayat, wajib belajar harus ditujukan pada provisi


berbasis pengetahuan, dan pengembangan meta skill untuk
belajar.

Oleh

karena

itu

wajib

belajar

harus

memberikan

pengetahuan umum untuk pengembangan kemampuan kognitif,


afektif dan perolehan keterampilan belajar yang diperlukan untuk
belajar sepanjang hayat. Sementara itu lembaga keluarga dapat
berfungsi sebagai dukungan dan stimulus untuk meningkatkan
pemahaman makna dan nilai belajar sepanjang hayat. Sebagai
contoh, mengembangkan harapan tinggi pada anak, impian
masa depan, penghargaan terhadap kerja keras sebagai kunci
keberhasilan, ketaatan pada aturan rumah tangga, menjalin
komunikasi

dengan

sekolah.

Selain

itu

sekolah

dapat

menumbuhkan kesempatan belajar sepanjang hayat melalui


kerja sama dengan keluarga. Hal lain yang dipandang penting
untuk dikembangkan adalah kerjasama dengan dunia bisnis.
Kerjasama ini dapat dikembangkan pada tingkat pengambilan
kebijakan, managemen sekolah, pelatihan para guru, pengiriman

anak pada lembaga kerja, dan pembelajaran di kelas. Untuk lebih


mengoptimalkan perwujudan belajar sepanjang hayat, disamping
kerjasama seperti dikemukakan di atas, lembaga sekolah juga
perlu membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan berbagai
potensi budaya masyarakat yang sangat beragam, dan lembagalembaga lain yang ada dimasyarakat untuk secara bersamasama memberi kesempatan belajar bagi semua peserta didik dan
masyarakat.

KONTRIBUSI

SMP

TERBUKA

TERHADAP

BELAJAR

SEPANJANG HAYAT DI INDONESIA


SMP Terbuka merupakan bagian dari sistem pendidikan formal
yang ditujukan bagi anak didik usia sekolah SMP yang oleh
karena sesuatu hal tidak dapat menempuh pendidikannya.
Penyelenggaraan program ini didasarkan pada satu premise
bahwa untuk mencapai hasil yang sama pada peserta didik yang
kondisi berbeda maka diperlukan perlakuan yang berbeda pula.
SMP Terbuka ini memiliki beberapa keuntungan :
a. Mengatasi hambatan geografis
b. Mengoptimalkan sumber belajar lokal
c. Mengatasi kekurangan ruang kelas dan guru
d. Inklusif
e. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri
f. Mengembangkan konsep belajar sepanjang hayat
Perkembangan belajar sepanjang hayat tidak terlepas dari
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami
dinamika

belajar sepanjang hayat harus diletakkan dalam

konteks sosio-kultural-ekonomi-politik dan demogratif. Dilihat dari


segi sosio-ekonomi, secara kasar negara anggota APEC dapat

kita klasifikasi menjadi 3, yaitu negara maju (Amerika, Kanada,


dan Australia), negara maju baru (Taiwan, Hongkong, Korea,
Singapura, Malaysia, Cina, New Zealand), dan negara sedang
berkembang (Indonesia, Philipina, Thailand).
Terlepas dari perbedaan yang ada, negara-negara APEC memiliki
visi,

dan

komitmen

yang

sama.

Mereka

berupaya

untuk

mewujudkan belajar sepanjang hayat. Hal ini dapat dilihat dari


kebijakan

yang

ditempuh,

walaupun

dengan

kondisi

yang

berbeda, semua negara berupaya untuk mewujudkan pendidikan


yang demokratis, terbuka, untuk memenuhi kebutuhan belajar
bagi siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Secara interpretatif, melihat bahwa kebijakan atau program
belajar sepanjang hayat belum memadai mengingat tantangan
ke depan yang semakin kompleks. Untuk mewujudkan belajar
sepanjang hayat, secara spekulatif ada beberapa pemikiran yang
harus diperhatikan diantaranya adalah :
a. Pengakuan pengalaman belajar melalui proses akreditasi dan
transfer. Sebagaimana bahwa hasil belajar tidak terbatasi
oleh tempat dan waktu kegiatan belajar dilaksanakan. Di
samping itu pengakuan terhadap pengalaman belajar akan
dapat

meningkatkan

harga

dan

kepercayaan

diri,

meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses belajar. Cara ini


nampaknya patut dipertimbangkan bahkan mungkin segera
untuk ditindaklanjuti.
b. Penyelenggaraan program belajar sepanjang hayat secara
regional. Bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dalam pengembangan sumber daya manusianya, perusahaan
multinasional

sebaiknya

melakukannya

secara

regional.

Walaupun ide dasarnya adalah untuk memberikan pelatihan


tenaga kerja di sektor industri, hal ini dapat dikembangkan

untuk pemenuhan kebutuhan belajar secara luas. Cara ini


nampaknya perlu mendapat perhatian. Di samping aspek
ekonomis, asebilitas, fleksibilitas, avaliabilitas adalah aspek
lain yang patut dipertimbangkan.
c. Pengembangan kerjasama sekolah-masyarakat dan keluarga.
Perlunya sekolah menjadi pusat pengembangan. Walaupun
dengan dimensi yang berbeda memandang perlu adanya
keterpaduan

antara

lembaga

sekolah,

keluarga

dan

masyarakat.
d. Penggunaan teknologi informasi dan multimedia. Seiring
dengan kemajuan IPTEKS, berkembangnya kebutuhan dan
motivasi belajar, dan keterjangkauan geografis, media ini
dipandang sangat relevan. Media ini akan semakin membuka
kesempatan

dan

askes

belajar

bagi

semua

lapisan

masyarakat.
KILAS BALIK DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Sebagai salah satu wahana pembentuk karakter bangsa, sekolah


adalah lokasi penting dimana para "Nation Builders" Indonesia
diharapkan dapat berjuang membawa negara bersaing di kancah
global. Seiring dengan derasnya tantangan global, tantangan
dunia pendidikan pun menjadi semakin besar, hal ini yang
mendorong

para

siswa

mendapatkan

prestasi

terbaik.

Namun, dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa


kendala yang berkaitan dengan mutu pendidikan diantaranya
adalah keterbatasan akses pada pendidikan, jumlah guru yang
belum merata, serta kualitas guru itu sendiri dinilai masih
kurang. Terbatasnya akses pendidikan di Indonesia, terlebih lagi

di daerah berujung kepada meningkatnya arus urbanisasi untuk


mendapatkan
Menurut

akses

pegiat

ilmu

yang

pendidikan

lebih

baik

Indonesia,

di

perkotaan.

Anies

Baswedan

keterbatasan akses pendidikan di daerah menjadi pangkal


derasnya

arus

urbanisasi.

"Yang

menjadi

persoalan,

di

Jabodetabek jumlahnya sudah proporsional, tapi jangan kita


hanya bicara urban. Justru di luar urban itu kita punya masalah
dan itu yang menyebabkan migrasi ke Jakarta," ujar Anies.
Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia didorong untuk
melakukan urbanisasi karena keterbatasan fasilitas di daerah. Ia
menilai akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya untuk
seluruh

masyarakat

dengan

penyediaan

fasilitas

yang

mendukung program tersebut. "Kalau sekolah hanya di ibukota


kecamatan, maka yang jauh kan jadi nggak bisa sekolah,"
andasnya.
Selain itu, jumlah guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini
dinilai masih belum merata di daerah. Menurut Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Hamid Muhammad saat
ini banyak sekolah dasar (SD) di Indonesia kekurangan tenaga
guru.

Jumlahnya

diperkirakan

mencapai

112

ribu

guru.

Untuk mengatasinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


(Kemendikbud) akan bekerja sama dengan pemerintah daerah,
baik

tingkat

provinsi

maupun

kabupaten/kota,

dalam

hal

distribusi guru di daerah-daerah supaya lebih merata. "Jika


manajemen guru bisa ditangani lebih optimal, tidak parsial, maka
bisa dipindahkan ke kabupaten atau daerah yang berdekatan,"
ungkap

Hamid.

Kemudian, untuk meningkatkan kualitas para guru, Kemendikbud

akan meningkatkan kualifikasi guru melalui beasiswa S-1 bagi


guru SD dan SMP. Hamid menjelaskan, jumlah guru SD di sekolah
negeri dan swasta sekitar 1.850 ribu guru. Dari jumlah tersebut,
hanya 60 persen guru yang sudah memenuhi kualifikasi dengan
gelar S-1, sedangkan 40 persen lainnya belum memenuhi
kualifikasi.

Tiap

tahunnya,

Kemendikbud

juga

menyiapkan

beasiswa untuk 100 ribu calon guru guna menempuh pendidikan


S-1 melalui bantuan beasiswa S-1 untuk guru SD dan SMP. Di
dunia internasional, kualitas pendidikan Indonesia berada di
peringkat ke-64 dari 120 negara di seluruh dunia berdasarkan
laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring
Report 2012. Sedangkan berdasarkan Indeks Perkembangan
Pendidikan

(Education

Development

Index,

EDI),

Indonesia

berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara pada 2011.


Di sisi lain, kasus putus sekolah anak anak usia sekolah di
Indonesia juga masih tinggi "Berdasarkan data Kemendikbud
2010, di Indonesia terdapat lebih dari 1,8 juta anak setiap tahun
tidak dapat melanjutkan pendidikan, Hal ini disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu faktor ekonomi; anak anak terpaksa bekerja untuk
mendukung ekonomi keluarga; dan pernikahan di usia dini,
menurut Sekretaris Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Dr. Ir.
Patdono Suwignjo, M. Eng, Sc di Jakarta. Dalam laporan terbaru
Program Pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati
posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) dengan angka 0,629. Dengan angka itu Indonesia tertinggal
dari dua negara tetangga ASEAN yaitu Malaysia (peringkat 64)
dan Singapura (18), sedangkan IPM di kawasan Asia Pasifik
adalah

0,683.

"Kita harus menyelesaikan permasalahan pendidikan ini, karena


kepemilikan atas pengetahuan adalah kunci seseorang mencapai

kesejahteraan," menurut
Baswedan.

Dalam

pemerintah

telah

figur pendidikan Indonesia, Anies

perkembangan
melaksanakan

pendidikan

berbagai

Indonesia,

kebijakan

untuk

meningkatkan kualitas pendidikan guna menghadapi persaingan


bebas dunia yang akan segera berlaku dengan terwujudnya
komunitas

ASEAN

pada

tahun

2015

mendatang.

Untuk meringankan beban serta memperkokoh dasar pendidikan


pada siswa Indonesia, Kemdikbud memastikan akan sepenuhnya
memberlakukan Kurikulum 2013 mulai tahun 2014, bahkan
sudah menyiapkan anggaran untuk mendukung operasional
kurikulum tersebut. "Sudah siap dan tahun depan hampir semua
(sekolah) bisa melaksanakan Kurikulum 2013," ujar Wakil Menteri
Pendidikan

dan

Kebudayaan

RI

Musliar

Kasim.

Kurikulum 2013 merupakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


(KTSP) yang berfokus pada penguasaan pengetahuan yang
kontekstual sesuai daerah dan lingkungan masing-masing.
Kurikulum tersebut menitikberatkan penilaian siswa pada tiga
hal: sikap (jujur, santun, disiplin), keterampilan (melalui tugas
praktek/ proyek sekolah), dan pengetahuan keilmuan. Pada
tingkat dasar seperti SD, kurikulum ini lebih fokus pada
pembentukan

sikap

dan

keterampilan

hidup,

sedangkan

keilmuannya lebih 'ringan' daripada Kurikulum Tingkat Satuan


Pendidikan.
Pada tingkat lanjutan seperti SMP dan SMA, porsi penguasaan
keilmuan lebih ditingkatkan karena pribadi murid dianggap sudah
terbentuk pada tingkat dasar. Menurut Musliar, kurikulum baru
akan diterapkan pada siswa SD kelas 1, 2, 4 dan 5; siswa SMP
kelas 8 dan 9; serta siswa SMA kelas 10 dan 11. Pemerintah tidak
akan mencetak buku bahan ajar. Seperti pelaksanaan pada tahun
sebelumnya, Kemendikbud akan mengunggah buku bahan ajar

ke

dalam

situs

internet.

Kemendikbud akan menetapkan harga eceran tertinggi atas buku


yang ditargetkan akan beredar bebas tersebut. Kurikulum 2013
sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan sejak pertengahan tahun
2013 di sejumlah sekolah yang telah diseleksi, meski sempat
dikritik

karena

pelaksanaannya

terkesan

dipaksakan.

Sebagai lembaga bantuan internasional yang bekerja di sektor


pembangunan sosial-ekonomi, USAID Indonesia memberikan
penekanan besar

pada

pengembangan

kualitas

pendidikan

melalui sejumlah program yang berjalan sekarang salah satunya


adalah melalui program beasiswa S2 USAID-PRESTASI. Pada
tahun ini, USAID -PRESTASI memberikan beasiswa S2 kepada 31
profesional Indonesia. Program ini dibuka untuk umum dan
diharapkan dapat mendukung pengembangan sumber daya
manusia yang kompeten di bidangnya masing masing yang
pada akhirnya akan memberikan kontribusi positif di lingkungan
kerja mereka masing masing setelah merekakembali ke Tanah
Air.

PENDIDIKAN

UNTUK

PENDIDIKAN

SEMUA

GLOBAL

2000-2015:

HANYA

DICAPAI

TUJUAN
OLEH

SEPERTIGA NEGARA PESERTA


Paris/New Delhi, 9 April 2015 Target Pendidikan untuk Semua
(EFA/Education for All) yang ditetapkan pada tahun 2000 hanya
berhasil

dicapai

oleh

sepertiga

negara

peserta.

Tujuan

partisipasi pendidikan dasar universal hanya dicapai oleh


separuh negara peserta. Di samping kontribusi pemerintah
yang ambisius, tambahan 22 miliar dolar per tahun dibutuhkan

guna memastikan pencapaian tujuan pendidikan terbaru pada


tahun 2030.
Berikut adalah hasil temuan utama yang dimuat dalam Laporan
Pemantauan Global (GMR) EFA Pendidikan untuk Semua 20002015: Pencapaian dan Tantangan (Education for All 20002015: Achievements and Challenges) oleh UNESCO, badan
yang telah memantau kemajuan dalam upaya pencapaian
tujuan tersebut selama 15 tahun terakhir.
Dunia telah membuat kemajuan yang luar biasa menuju
Pendidikan untuk Semua, ujar Dirjen UNESCO Irina Bokova.
Walaupun gagal memenuhi tenggat waktu pada tahun 2015,
jumlah

anak

yang

bersekolah

kini

jutaan

lebih

banyak

dibandingkan jumlah yang diperkirakan apabila tren tahun


1990-an bertahan. Namun, agenda ini masih jauh dari kata
usai. Kita perlu strategi spesifik dan cukup
dana yang memprioritaskan kaum kurang mampu, terutama
anak perempuan, meningkatkan kualitas pembelajaran,
mengurangi

tingkat

buta

huruf agar

pendidikan

dan

menjadi

lebih bermakna dan universal.


Diluncurkan hari ini, sebulan sebelum Forum Pendidikan Dunia
di Incheon (Korea Selatan), laporan tersebut mengungkap halhal berikut:
Tujuan 1. Memperluas pendidikan dan perawatan anak
usia dini, terutama untuk anak- anak yang paling rentan.
Empat puluh tujuh persen negara telah mencapai tujuan ini,
delapan persen hampir berhasil, sementara 20 persen lainnya
masih sangat jauh dari target. Walaupun begitu, jumlah anak

yang terdaftar di lembaga pendidikan usia dini pada tahun


2012 dua pertiga lebih banyak daripada tahun 1999.
Tujuan 2. Mencapai pendidikan dasar yang universal,
terutama untuk anak perempuan, etnis minoritas, dan
anak yang termarjinalisasi.
Lima puluh dua persen negara telah mencapai tujuan ini, 10
persen hampir berhasil, sementara
38 persen lainnya masih sangat jauh dari target. Dengan
kata

lain,

hampir

100

juta

anak tidak menamatkan

pendidikan dasar pada tahun 2015. Kurangnya fokus pada


kaum yang terpinggirkan mengakibatkan
kurang

mampu

berkemungkinan

lima

mereka
kali

lebih

yang
kecil

untuk menyelesaikan pendidikan dasar dibandingan dengan


mereka yang berkecukupan, dan lebih dari sepertiga anak
putus sekolah tinggal di wilayah yang terkena dampak konflik.
Terdapat beberapa kesuksesan yang penting: Jumlah anak yang
bersekolah kini sekitar 50 juta lebih banyak dibandingkan pada
tahun 1999.

Pendidikan masih belum

gratis di berbagai

tempat, namun penyediaan dana dan program pemberian


makanan di sekolah telah berhasil menghasilkan dampak positif
terhadap tingkat partisipasi pendidikan masyarakat kurang
mampu.

Tujuan

3.

Memastikan

akses

pembelajaran

dan

keterampilan hidup yang setara bagi pemuda dan orang


dewasa.
Empat puluh enam persen negara peserta telah mencapai
tingkat

partisipasi

pendidikan menengah bawah universal.

Secara global, jumlah partisipan pendidikan menengah dasar


meningkat
27% dan bertambah lebih dari dua kali lipat di Afrika SubSahara.

Namun,

berpenghasilan

sepertiga

rendah

pemuda

diperkirakan

di
tidak

negara-negara
menamatkan

pendidikan menengah bawah pada tahun 2015.


Tujuan 4. Mengurangi tingkat buta huruf orang dewasa
sebesar 50 persen pada tahun 2015.
Hanya 25 persen negara yang mencapai tujuan ini, sementara
32 persen lainnya masih sangat jauh dari target. Walaupun
secara global persentase orang dewasa yang buta huruf
merosot dari 18 persen pada tahun 2000 ke 14 persen pada
tahun 2015, kemajuan ini hampir seluruhnya terjadi karena
pemuda berpendidikan telah memasuki usia dewasa. Dua
pertiga populasi dewasa yang buta huruf adalah perempuan.
Separuh dari jumlah total perempuan di Afrika Sub-Sahara tidak
mempunyai keterampilan membaca dasar.
Tujuan 5. Mencapai paritas dan kesetaraan gender.
Pada tahun 2015, 69 persen negara peserta akan mencapai
paritas gender pada tingkat pendidikan dasar.

Pada

tingkat

pendidikan menengah, hanya 48 persen negara yang akan


mencapai tujuan tersebut. Pernikahan dan kehamilan dini
terus

menghambat

kemajuan

perempuan

dalam bidang

pendidikan.
adanya

Kemajuan

kebutuhan

tersebut
akan

juga

pelatihan

terhambat
pengajar

akibat
dengan

pendekatan yang sensitif terhadap gender dan perubahan


kurikulum.

Tujuan

6.

memastikan

Meningkatkan
hasil

belajar

kualitas
yang

pendidikan

dapat

diukur

dan
untuk

semua.
Pada tingkat pendidikan dasar, perbandingan jumlah murid dan
guru menurun di 121 dari 146 negara antara tahun 1990 dan
2000, tetapi masih dibutuhkan tambahan 4 juta pengajar agar
semua anak dapat bersekolah. Pengajar terlatih masih sangat
jarang di sepertiga negara tersebut, sementara pengajar
terlatih di negara-negara Afrika Sub-Sahara berjumlah kurang
dari 50 persen. Meskipun begitu, kualitas pendidikan telah
memperoleh perhatian lebih sejak tahun 2000. Jumlah negara
yang mengadakan pengkajian hasil belajar nasional telah
meningkat sebesar dua kali lipat.
Pendanaan dan kemauan politik
Sejak tahun 2000, telah banyak pemerintah yang meningkatkan
belanja pendidikannya secara signifikan: 38 persen negara
meningkatkan komitmen untuk pendidikan sejumlah 1 persen
atau lebih dari PDB-nya. Namun, pendanaan masih menjadi
suatu masalah besar di segala tingkat pendidikan.
Jika tindakan bersama tidak diambil dan pendidikan tidak
menerima perhatian yang telah gagal diperolehnya selama 15

tahun terakhir, jutaan anak akan terus kehilangan kesempatan


dan visi transformatif agenda Pembangunan Berkelanjutan
yang baru akan terancam, tutur Direktur GMR Aaron Benavot.
Pemerintah harus menemukan cara menggerakan sumber
daya

baru

untuk pendidikan. Mitra internasional harus

memastikan bahwa bantuan didistribusikan kepada mereka


yang paling membutuhkan.
GMR memberikan rekomendasi di bawah ini:
Pemenuhan
setidaknya

agenda EFA:
satu

Pemerintah perlu

mewajibkan

tahun pendidikan pra sekolah. Pendidikan

harus digratiskan untuk semua anak: biaya uang sekolah, buku


pelajaran,

seragam,

Pembuat

kebijakan

dan

transportasi

hendaknya

harus

dihapuskan.

mengidentifikasi

dan

memprioritaskan keterampilan yang harus diperoleh pada tiap


tingkat

pendidikan.

Kebijakan

sebaiknya

berhubungan

Pelatihan

pengajar

menyertakan

pemberantasan

dengan

kebutuhan

selayaknya

strategi

yang

buta

masyarakat.

ditingkatkan

berfokus

pada

huruf
dengan

gender.

Gaya

pengajaran seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan pelajar


dan keragaman konteks kelas.
Kesetaraan: Pemerintah, donor, dan masyarakat sipil harus
mengembangkan

program

dan

target

pendanaan

untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu agar tidak


ada anak yang tertinggal. Pemerintah hendaknya memperkecil
kesenjangan
mengarahkan

data

yang

sumber

sangat

daya

ke

penting

agar

dapat

mereka

yang

paling

membutuhkan.
Pasca 2015: Target pendidikan masa depan harus spesifik,
relevan, dan realistis. Dengan laju saat ini, diperkirakan hanya

separuh dari total jumlah anak di negara berpenghasilan kecil


yang akan menyelesaikan pendidikan menengah bawah pada
tahun 2030. Di banyak negara, tujuan utama untuk mencapai
partisipasi pendidikan dasar yang universal bahkan masih jauh
di luar jangkauan tanpa upaya terkonsentrasi.
Penyempitan

kesenjangan

finansial:

Komunitas

internasional bersama dengan negara harus menemukan cara


menjembatani kesenjangan finansial sebesar 22 miliar dolar AS
per tahun guna menghasilkan pendidikan pra sekolah dan
pendidikan dasar berkualitas untuk semua pada tahun 2030.
Target pendidikan jelas yang saat ini masih belum ada
dalam

Tujuan

ditetapkan.

Pembangunan

Berkelanjutan

haruslah

Anda mungkin juga menyukai