Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pada waktu mengadakan interpretasi log mungkin ada beberapa masalah


yang mungkin menyebabkan kesalahan interpretasi. Kesalahan interpretasi ini
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah adanya formasi
dengan low resistivity. Low resistivity formation adalah lapisan hidrokarbon yang
resistivitasnya rendah. Resistivitas rendah disebabkan oleh pengaruh lumpur
pemboran, kehadiran shale, adanya microporosity, kehadiran mineral berat yang
konduktif. Adanya pengaruh lumpur pemboran, solusinya adalah penggunaan alat
resistivitas yang pembacaannya dalam. Adanya shale, solusinya adalah
digunakannya beberapa rumus pada shally formation untuk menghitung porositas
atau saturasi air. Adanya microporosity, adalah menggunakan alat log Nuclear
Magnetic Resonance (NMR). Untuk adanya mineral berat, belum ditemukan
solusi yang baik. Maka dari itu, dicari cara koreksi resistivitas formasi (Rt)
sehingga saturasi air (SWcorr) yang dihitung akan terkoreksi.
Untuk

pengkoreksian

menggunakan core

resistivitas

formasi

(Rtterbaca)

yang

rendah

buatan (core sintetis). Tujuannya adalah mensimulasikan

batuan yang terkena dampak adanya mineral berat dan mencari solusi yang
diterapkan pada core yang terkena efek mineral tersebut. Dibuat dua macam core
sintetis yaitu core yang kotor atau yang dicampur dengan mineral berat dan core
yang bersih atau tanpa mineral berat. Core yang kotor dibagi dua berdasarkan
jenis penyebaran mineral beratnya, yaitu core laminasi dan core dipersed. Core

yang bersih berfungsi sebagai validator (pembatas untuk mengkoreksi Rt agar


tidak terlalu besar atau kecil) core yang kotor.
Pada penelitian ini, dibuat beberapa core sintetis dengan bahan dan
peralatan antara lain bahan dasar pasir kuarsa dengan ukuran 40 mesh, bahan
perekat non konduktif yaitu ressin, serbuk besi sebagai mineral berat, penggunaan
tekanan eksternal yang terkontrol, core plug sebagai cetakan pembuat core
sintetis. Mineral yang jenis penyebarannya laminasi dan dispersed, diatur dengan
kadar tertentu agar pengaruh penambahan mineral berat terhadap resistivitas core
terlihat jelas. Pembuatannya, core sintetis diberi tekanan eksternal yang terkontrol
untuk mempengaruhi besaran porositas yang diinginkan. Selain diatur volume
mineral berat dan jenis penyebarannya juga dilakukan pengelompokkan core
berdasarkan porositasnya. Caranya adalah, memilih range porositas yang seragam
pada core sintetis yang telah dibuat. Tujuannya untuk meminimumkan bias akibat
perbedaan porositas atas perubahan resistivitas yang terukur. Penelitian ini
membuat 20 core tapi 10 core yang memenuhi kriteria untuk diteliti, terutama
karena porositas core yang dibuat tidak bisa diatur dan tidak seragam satu sama
lain. 10 core tersebut antaralain no 1, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 16, 17, dan 20.
Pada core yang bersih, core no 1, 5, 16, 20. Dari keempat core tersebut
dipilih core no 1 dan 16 yang range porositasnya hampir sama dengan core kotor
untuk menjadi validator. Core no 5 dan 20 tidak termasuk laminasi maupun
dispersed. Pada core laminasi yaitu core no 9, 10, 11 range porositasnya 35-42 %.
Sebagai validator digunakan core no 1. Pada core laminasi terlihat naiknya
volume mineral berat akan menaikkan porositasnya. Namun tidak berarti bahwa

naiknya volume mineral berat naik pula porositas. Untuk core dispersed yaitu core
no 17, 3, dan 4 range porositasnya 24-30 %. Sebagai validator digunakan core no
16.
Faktor Tortuositas (a) adalah perbandingan antara panjang lintasan antar
grain dengan panjang core. Pada penelitian diambil a=1. Untuk mempermudah
proses penarikan garis miring waktu mencari faktor sementasi (m) dan eksponen
saturasi (n). Faktor sementasi (m) , dari penelitian didapatkan m untuk core bersih
= 2.118 , core laminasi = 1.9429 , core dispersed = 1.8536. Terlihat bahwa faktor
sementasi core bersih lebih besar dari m core laminasi ataupun core dispersed. Hal
ini dikarenakan adanya mineral berat yang berpengaruh pada faktor formasi
sedangkan faktor formasi merupakan perbandingan antara resistivitas batuan
jenuh (Ro) dengan resistivitas air formasi (Rw). Untuk eksponen saturasi (n), pada
core clean core no 1 mempunyai eksponen saturasi = 1.864. Core no 5, eksponen
saturasi = 1.8979. Core no 16, eksponen saturasi = 1.890. Core no 20, eksponen
saturasi = 1.8265. Pada core laminasi core no 9 dengan volume berat mineral =
3%, eksponen saturasinya = 1.740. Untuk core no 10 dengan volume mineral
berat = 6%, eksponen saturasinya = 1.432. Core no 11 volume mineral berat =
9%, eksponen saturasinya = 1.126. Pada core dispersed core no 17 dengan volume
berat mineral = 3%, eksponen saturasinya = 1.784. Core no 3 dengan volume
berat mineral = 6%, eksponen saturasinya 1.372. Core no 4 dengan volume berat
mineral = 9%, eksponen saturasinya = 1.102. Sama seperti core laminasi, terlihat
bahwa kenaikan volume mineral berat akan menurunkan eksponen saturasinya.
Hal ini terjadi karena mineral berat menurunkan resistivitas batuan.

Mengenai saturasi air (Sw), baik pada core clean maupun core yang ada
berat mineralnya saturasinya dihitung dengan metode archie. Cara ini dipakai
karena tidak digunakannya shale sebagai bahan pembentuk core sintetis. Karena
pengaruh yang cukup signifikan adanya mineral berat terhadap resistivitas core
maka akan terjadi peningkatan saturasi air. Contohnya pada core no 4 didapat
saturasi air tanpa koreksi (SWTcorr) = 60.31%. SWTcorr ini sangat berbeda bila
dibandingkan dengan hasil SWlabnya = 46.32%. Oleh karena itu, perhitungan
saturasi air dengan menggunakan Rtterbaca (SWTcorr) yang terpengaruh oleh adanya
mineral berat akan menjadi tidak akurat. Dari hasil pengukuran di laboratorium
untuk core kotor, terlihat penurunan resistivitas yang terjadi pada core kotor lebih
besar pada saturasi air yang kecil. Ini terjadi karena mineral berat konduktif yang
memiliki pengaruh dominan terhadap penurunan resistivitas. Pengaruh penurunan
resistivitas oleh mineral berat menurun seiring bertambahnya kandungan air
karena elektrolit dalam air ikut berperan dalam penurunan resistivitas.
Resistivitas batuan jenuh (Ro) adalah batuan yang memiliki Sw = 100%.
Resistivitas batuan jenuh (Ro) tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus. Digunakan core no 4 sebagai contoh pada penelitian ini. Mengenai
resistivitas batuan (Rt), contohnya dapat dilihat pada core no 10. Rt yang
didapatkan selanjutnya disebut dengan Rtterbaca, dihitung menggunakan persamaan.
Mengenai faktor formasi contohnya bisa dilihat pada core no 1. Mengenai
resistivity index, adalah perbandingan antara tahanan listrik suatu batuan yang
mengandung hidrokarbon terhadap batuan yang jenuh dengan air formasi.
Contohnya bisa dilihat pada core no 10.

Mineral berat berpengaruh menaikkan konduktivitas formasi atau


menurunkan resistivitas formasi. Apabila Rtterbaca ini dipakai untuk menghitung
saturasi air, maka saturasi air yang diperoleh akan tidak akurat. Oleh sebab itu
diperlukan koreksi resistivitas untuk menetralkan pengaruh konduktivitas mineral
berat untuk mendapatkan Rt yang betul atau Rt corr. Untuk koreksi resistivitas
formasi menggunakan persamaan. Contoh pengkoreksian menggunakan core no 3.
Setelah rsistivitas formasi dikoreksi, maka Rt corr yang diperoleh dapat digunakan
untuk menghitung Swcorr. Setelah SwTcorr dikoreksi menjadi Swcorr kemudian
dibandingkan dengan Swlab. Apabila terjadi kecocokan maka metode yang
diterapkan dapat dinyatakan cocok dan Rt corr serta Swcorr tersebut valid untuk
digunakan dalam proses interpretasi selanjutnya.

KESIMPULAN

1. Mineral berat konduktif pada suatu formasi ternyata berpengaruh terhadap


resistivitas formasinya.
2. Pada eksponen saturasi terlihat bahwa kenaikan volume mineral berat akan
menurunkan eksponen saturasinya.
3. Hubungan dari Swcorr dan Swlab yang ada dapat membantu mengatasi masalah
perhitungan sw pada low resistivity formation.

DAFTAR PUSTAKA

1. Azwin, Raymond. Evaluasi Interpretasi Low Resistivity Pay Pada Batuan


Sandstone dan Penentuan Lingkungan Pengendapan. Universitas Trisakti.
2007
2. Sitaresmi, Hj. Ratnayu Ir., Diktat dan Petunjuk Praktikum Penilaian
Formasi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Trisakti, Jakarta, 2003.
3. Sembodo, H. Ir., dan Nugrahanti, Asri, Penilaian Formasi II, Universitas
Trisakti, Jakarta, 1995.
4. Sumantri R, Nugrahanti Asri, Penilaian Formasi I, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Trisakti, Jakarta, 1996.

Anda mungkin juga menyukai