Anda di halaman 1dari 20

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Bioteknologi Kedokteran


Pada tahun 2003, setelah mendapatkan nobel, James Watson dan Francis
Crick, berhasil mengungkapkan struktur DNA (Thieman, 2013). Sejak saat itu,
biologi molekuler mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan menyediakan
teknik scientist molekul dan teknik melalui peralatan kedokteran untuk
menyembuhkan penyakit manusia.
Penyakit manusia banyak sekali macamnya, terutama penyakit dalam
tingkat genetik. Dalam pemahamannya, para ilmuwan tidak menggunakan model
manusia secara langsung, melainkan mempelajarinya melalui beberapa spesies,
seperti mencit, tikus, cacing, dan lalat (Thieman, 2013). Namun, pada dasarnya
manusia bukanlah suatu organisme yang memiliki susunan genetik yang unik,
faktanya dari bakteri, cacing sampai tikus, ilmuwan telah menemukan sejumlah
penyakit gen yang sama dengan manusia. Karena itu, ilmuwan dapat
menggunakan beberapa jenis hewan percobaan untuk mengidentifikasi penyakit
gen dan jenis obat ataupun terapi gen untuk uji efektivitas dan keselamatan
sebelum melakukan uji klinis pada manusia.
Hewan coba merupakan suatu hal yang sangat penting bagi ilmuwan, karena
pada dasarnya ilmuwan tidak dapat memanipulasi gen dari manusis untuk tujuan
eksperimen. Hal ini akan melanggar beberapa kode etik dan merupakan suatu
tindakan

yang illegal (Thieman, 2013). Beberapa hewan coba seperti, tikus,

mencit, ayam, yeast, lalat buah, cacing, katak, ataupun ikan merupakan pemain
penting dalam perluasan pemahaman tentang perkembangan ilmu genetika
manusia. Jika para ilmuwan menggunakan hewan coba untuk mengidentifikasi
gen penting pada suatu organisme, maka akan dapat diperoleh suatu hipotesis
untuk membuat prediksi tentang bagaimana gen tersebut dapat berfungsi pada
manusia. Banyak gen dari hewan coba yang telah diidentifikasi, dan hasilnya
memang terbukti terdapat kaitan dengan gen manusia.

B. Berbagai Cara Pendeteksian Penyakit pada Manusia


1. Penggunaan Biomarker
Secara teori, dengan menggunakan alat diagnosis yang tepat akan
memungkinkan untuk mendeteksi semua penyakit tahap awal, seperti kanker.
Pendeteksian penyakit kanker dilakukan dengan cara mencari biomarker sebagai
indikator suatu penyakit. Biomarker biasanya berupa protein yang diproduksi oleh
jaringan yang sakit atau diproduksi oleh jaringan yang terkena penyakit. Biasanya
biomarker akan dilepaskan di dalam cairan tubuh, seperti darah dan urin sebagai
produk sel yang mengalami kerusakan (Thieman, 2013). Salah satu contoh adalah
PSA (prostate specific antigen), protein ini akan dilepaskan ke dalam aliran darah
ketika kelenjar prostat mengalami peradangan.
2. Pendeteksian Kecacatan Kromosom pada Janin
Beberapa

pengujian

genetik

pada

fetus

memiliki

tujuan

untuk

mengidentifikasi jenis kelamin dari anak atau mendeteksi kemungkinan penyakit


genetik. Pengujian genetik dilakukan dengan cara menghitung jumlah kromosom
atau melihat struktur kromosom yang mengalami kecacatan. Salah satu jenis
penyakit yang disebabkan karena adanya kondisi abnormal pada jumlah
kromosom adalah sindrom down. Penyakit ini disebabkan karena adanya
kelebihan kromosom pada kromosom no. 21 atau biasa disebut dengan trisomi 21.
Gejala penyakit ini ditandai dengan adanya gangguan kognitif, perawakan tubuh
pendek dan raut perluasan pada area wajah.
Pengujian fetus untuk sindrom down biasanya dilakukan pada wanita hamil
yang berumur lebih dari 40 tahun., karena penyakit ini terkait dengan usia ovum
yang dihasilkan oleh ovarium. Kelainan genetik seperti ini dapat dideteksi dengan
dua cara, yaitu amniocentesis dan teknik sampling villi korion.

Gambar 2.1 Penderita Sindrom Down


(Sumber: http://nonijuiceindonesia.net/)

a. Amniocentesis
Teknik

amniocentesis

merupakan

teknik

pendeteksian

kelainan

perkembangan dengan cara mengambil cairan amnion (ketuban) yang kemudian


dianalisis untuk menentukan kelainan genetis yang terjadi selama proses
kehamilan (Cameron, 2002). Cairan amnion yang diambil banyak mengandung
sel fetal (kebanyakan kulit janin) yang kemudian dapat menjadi bahan untuk
analisis

kromosom,

analisis

biokimia,

dan

analisis

biologi.

Diagnosa

amniocentesis biasanya digunakan untuk mendeteksi janin selama masih dalam


kandungan, pendeteksian ini dilakukan untuk mengetahui apakah janin di dalam
kandungan mengalami cacat lahir berupa kelainan kromosom ataupun kecacatan
neural tube (Ismail, 2008). Kelainan perkembangan yang lain dapat juga
didiagnosis apabila salah seorang anggota keluarga memiliki catatatan medis
menderita kelainan perkembangan. Teknik diagnosis amniocentesis ini biasanya
dilakukan pada minggu ke 15-22 kehamilan.
Prosedur pelaksanaan diagnosis dengan teknik amniocentesis yaitu dengan
cara memasukkan jarum suntik ke dalam rahim ibu dibantu dengan USG untuk
memandu jalannya jarum suntik (Ismail, 2008). USG merupakan alat
pendeteksian yang menggunakan gelombang suara untuk memvisualisasikan janin
dan lokasi plasenta, hal ini berkaitan dengan pemilihan daerah yang aman untuk
mengambil sampel cairan amnion. Sebuah layar diletakkan di sebelah perut ibu
selama 15-30 menit untuk memantau detak jantung bayi. Pelaksanaan teknik ini
memerlukan waktu 2-3 menit. Cairan amnion yang diambil mengandung sel sel
kulit janin yang dapat digunakan untuk tes kromosom. Dibutuhkan waktu 2
minggu untuk mendapatkan hasil dari tes amniocentesis. Diagnosis dini kelainan
perkembangan dengan teknik amniocentesis dapat mengakibatkan keguguran,
oleh karenanya sebaiknya pemeriksaan ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu hamil
yang memang memiliki resiko untuk melahirkan bayi yang mengalami gangguan
genetis ataupun kromosom (Narendra, 2003).
Karena pemeriksaan dengan teknik amniocentesis memiliki resiko yang
besar, sehingga ibu hamil yang akan melakukan pemeriksaan dengan teknik ini

diutamakan untuk ibu hamil yang memiliki resiko kehamilan yang tinggi, seperti
(Cameron, 2002):
1. Wanita yang mempunyai riwayat keluarga dengan kelainan genetik.
2. Wanita berusia di atas 35 tahun.
3. Wanita yang memiliki hasil tes yang abnormal terhadap sindrom down
pada trimester pertama kehamilan.
4. Wanita dengan kelainan pada pemeriksaan USG

Gambar 2.2 Teknik Diagnosis dengan Menggunakan Teknik Amniocentesis


(Sumber: id.scribd.com)
b. Teknik Sampling Villi Korion
Pada pengambilan sampel chorionic villus, dokter mengambil sedikit
sampel dari chorionic villi dengan menggunakan kateter kecil pada bagian dari
plasenta. Cara ini digunakan untuk mendiagnosis beberapa gangguan pada fetus,
biasanya dilakukan diantara minggu ke 10 dan 12 masa kehamilan. Sampel
chorionik villus diperlukan bila cairan plasenta akan diukur kandungan
alfafetoproteinnya (Darmono, 2011).
Keuntungan pengambilan sampel dengan metode chorionic villus adalah
dapat dilakukan pada masa kehamilan yang masih muda (minggu 10-12),
sehingga bila ada kejadian abnormalitas akan dapat terdeteksi lebih awal. Apabila
terjadi kelainan dan perlu digugurkan maka resikonya akan lebih aman. Deteksi
awal bila terjadi ketidaknormalan pada janin, sehingga dilakukan pengobatan
terhadap fetus sebelum dilahirkan (Darmono, 2011).

Sampel chorionic villi dapat diambil melalui servik atau melalui dinding
abdomen. Pada kedua metode tersebut ultrasonografi diperlukan untuk memandu,
kemudian sampel dihisap dengan kateter masuk kedalam siring, kemudian
dianalisis. Prosedur tersebut pada wanita umumnya mirip dengan uji Pap smear
(Papanicolaou smear test) beberapa wanita merasakan lebih mudah dan nyaman.
Metode ini tidak dapat digunakan pada wanita yang memiliki kelainan tertentu
dari leher rahim atau infeksi kelamin aktif, seperti herpes genital, gonoroe, atau
peradangan kronis leher rahim. Pada waktu pengambilan jaringan melalui dinding
abdomen, dilakukan anestesi pada bagian kulit di atas perut dan jarum yang
dimasukkan melalui dinding perut ke dalam plasenta. Wanita umumnya tidak
merasakan sakit dengan prosedur ini, namun area di atas perut terasa sedikit sakit
selama satu atau dua jam sesudahnya (Darmono, 2011).
Resiko metode vilus chorionic sampling bila dibandingkan dengan
amniosentesis sama saja, kecuali bila terjadi risiko melukai tangan atau kaki janin
mungkin sedikit lebih tinggi. Kemungkinan tersebut dapat terjadi pada 1 dari
3.000 janin, sehingga relatf jarang, diagnosis dengan metoda vilus chorionic
sampling dan amniosentesis mungkin diperlukan pada kondisi tertentu. Secara
umum, akurasi dari dua prosedur tersebut sebanding (Darmono, 2011).

Gambar 2.3 Teknik Diagosis dengan Menggunakan Teknik Sampling Villi Korion
(Sumber: id.scribd.com)
C. Produk Kedokteran dan Aplikasi dalam Bioteknologi
1) Penelitian tentang obat-obatan baru
A. Farmakogenomik untuk Pengobatan Individual

Farmakogenomik berakar dari farmakogenetik, suatu bidang ilmu yang


telah dikenal lebih dari 50 th yang lalu. Farmakogenomik mencakup studi
mengenai keseluruhan genom manusia, sementara genetik merupakan studi
mengenai gen individual. Farmakogenomik mengamati respon obat terhadap
keseluruhan genom, sedangkan farmakogenetik mengidentifikasi interaksi antara
obat dan gen individual.
Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola
genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat
memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat
keputusan yang tepat dan rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan
pemberian obat, kesalahan dosis maupun ADR (adverse drug reaction) karena
penggunaan

metode trial-and-error.

Metode trial-and-error dengan

pendekatan one-drug-fits-all yang dilakukan dalam penatalaksanaan pasien


seringkali memberikan hasil yang tidak efektif dan efisien, membuang waktu,
tingginya biaya yang dikeluarkan, dan yang terpenting, gagalnya terapi. Analisis
farmakogenomik membantu mengidentifikasi pasien yang memetabolisme obat
tertentu secara abnormal. Penderita seperti ini umumnya memetabolisme suatu
obat tertentu dengan cepat sehingga tidak berefek terapi (terhadap sistem yang
dituju).
Respons

yang

berbeda-beda

inilah

yang

dipelajari

dalam

ilmu

farmakogenomik dan farmakogenetik sebagai bagian dari perkembangan ilmu


biologi molekuler. Saat ini telah ditemukan dalam sejumlah populasi di Indonesia
yang tidak memiliki enzim tertentu di hatinya. Enzim ini berfungsi untuk
mengkonjugasikan obat tertentu. Berdasarkan hal itu, dianggap perlu adanya
pemilihan pengobatan secara khusus (fungsi farmakogenomik) dengan variasi 1550% populasi. Meski demikian, sistem pengobatan individual tidak hanya untuk
kuratif, tetapi juga preventif. Dengan data gen yang sudah dikumpulkan, bisa
diketahui seseorang atau suatu populasi berisiko atau tidak terhadap penyakit
tertentu. Kalau ternyata dari data genetik tersebut misalnya seseorang rentan
terhadap penyakit jantung atau kanker usus besar, maka sejak dini individu
bersangkutan sudah bisa diingatkan agar mengatur pola makan maupun aktivitas
fisiknya.

Gambar 2.4 Farmakogenomik (Thieman, 2013)


2) Nanoteknologi dan Nanomedicine
Nanoteknologi (atau sering disebut dengan singkatan nanotech) adalah
teknologi yang memanipulasi materi pada tingkat atom ataumolekul. Tingkat atom
atau molekul disebut dengan nanoscale. Nanoscale adalah sebuah ukuran antara 1
100 nm. Sedangkan nanomedicine adalah salah satu aplikasi nanoteknologi di
bidang

kedokteran.

Peran

nanomedicine

adalah

memonitor,

mengkontrol,memperbaiki dan mempertahankan semua sisstem di dalam tubuh


manusia, bekerja pada tingkat molekul menggunakan teknologi berskala nano,
dan

dikembangkan

dengan

tujuan

membawa

kemajuan

besar didunia

kedokteran. Penggabungan Nanoteknologi dengan dunia kedokteran diawali dari


penggunakan Nanomaterial pada aplikasi pengobatan dan instrumen nanoelectric
biosensor. Ukuran dari Nanomaterial sendiri mirip dengan kebanyakan struktur
molekul biologi. Teknologi ini sekarang bergerak di Teknologi Molekul dan
aplikasinya sangat berprospek di masa depan dan menuju pengembangan
pada peralatan diagniosa, agen biologi, aplikasi terapi fisik, dan drug delivery
vehicle.

10

a. Drug delivery
Pengobatan di saat sekarang memiliki beberapa kelemahan antara lain : 1)
Untuk mendapatkan obat harus melalui proses administrasi yang ketat dan dosis
berbeda-beda untuk berbagai jenis obat, efek sampingnya pun besar, 2) Banyak
obat-obat yang manjur yang komposisinya sendiri dilawan oleh sistem pertahanan
tubuh sebelum membunuh patogen yang menyerang tubuh. 3) Membran lipid
ganda pada sel eukariotik, adalah sasaran yang penting untuk obat, tetapi
hidropobia dari molekul obat membutuhkan afinitas yang tinggi agar compatibel
dengan membran tersebut dan dapat mentransportasikan molekul yang dibutuhkan
pada poin tertentu di dalam membran. Sebagaimana sekarang obat semakin kecil,
mereka akan dapat dengan mudah "menyelinap" melewati mekanisme pertahanan
tubuh dan akan mampu mencapai tempat-tempat yang obat yang tersedia saat ini
tidak bisa mencapai.
Drug delivery adalah suatu teknologi nano yang bergerak pada pembuatan
partikel obat seukuran nano. Pada keadaan normal, hal yang diinginkan pasien
adalah efek samping obat yang sedikit, harga terjangkau dan mudah tersedia.
Perusahaan

farmasi

sudah

mulai

menggunakan

teknologi

nano

untuk

mengembangkan obat genetik yang ditargetkan. Hal ini memungkinkan untuk


pengembangan obat yang lebih tepat, dan membuatnya lebih cepat untuk
memutuskan apakah substansi tersebut cocok untuk digunakan dalam obat.
Nanoteknologi membantu untuk menemukan obat bagi suatu penyakit,
karena nanoteknologi memungkinkan untuk melakukan studi sampai tingkat
molekul. Teknologi nano dapat mendeteksi penyakit pada level molekul dan
melakukan diagnosis jauh sebelum gejala penyakit itu muncul. Hal ini didukung
dengan memonitor perubahan gaya atom atau konduktansi ion dari satu reseptor
atau celah ion-ion. Ketika partikel-partikel obat telah tertanam, inilah yang
memungkinkan untuk terjadinya perubahan tertentu. Tetapi, untuk diproduksi
dalam skala industri membutuhkan teknologi sangat canggih dan biaya sangat
besar untuk memproduksi produk yang benar-benar berkualitas.
Gambar 2.5 Micropheres untuk Drug delivery (Thieman, 2013)

11

3) Darah Buatan
Darah buatan adalah produk yang dibuat untuk bertindak sebagai
pengganti sel-sel darah merah. Sementara darah yang sebenarnya mempunyai
banyak fungsi yang berbeda, darah buatan dirancang untuk tujuan tunggal yaitu
mengangkut oksigen dan karbon dioksida ke seluruh tubuh. Tergantung pada jenis
darah buatan, dapat diproduksi dengan cara yang berbeda menggunakan produksi
sintetis, isolasi bahan kimia, atau teknologi biokimia rekombinan. Pengembangan
pengganti darah pertama kembali ke awal 1600-an, dan terus dilakukan penelitian
pengganti darah yang ideal. Berbagai produsen memiliki produk dalam uji klinis.
Namun, tidak ada produk darah buatan yang benar-benar aman dan efektif sampai
saat ini dipasaran.
Produk darah buatan yang ideal memiliki karakteristik sebagai berikut;
Pertama, itu harus aman untuk digunakan dan kompatibel dalam tubuh manusia.
Ini berarti bahwa jenis darah yang berbeda seharusnya tidak masalah ketika darah
buatan yang digunakan. Ini juga berarti bahwa darah buatan dapat diproses untuk
menghapus semua agen penyebab penyakit seperti virus dan mikroorganisme.
Kedua, harus mampu mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan melepaskannya
di mana diperlukan. Ketiga, harus stabil. Tidak seperti darah yang ditransfusikan,
darah buatan dapat disimpan selama lebih dari satu tahun atau lebih. Hal ini
berbeda dengan darah alami yang hanya dapat disimpan selama satu bulan
sebelum itu rusak.
Ada dua produk yang berbeda secara signifikan yang sedang
dikembangkan sebagai pengganti darah. Mereka berbeda terutama dalam cara

12

mereka membawa oksigen. Pertama berdasarkan PFC, sementara yang lain adalah
produk berbasis hemoglobin.
a. Perfluorokarbon (PFC)
Seperti yang disarankan, PFC adalah bahan biologis inert yang dapat larut
sekitar 50 kali lebih banyak oksigen dari plasma darah. Mereka relatif murah
untuk memproduksi dan dapat dibuat tanpa bahan biologis. Ini menghilangkan
kemungkinan nyata menyebarkan penyakit menular melalui transfusi darah. Dari
sudut pandang teknologi, mereka memiliki dua rintangan yang signifikan untuk
mengatasi sebelum mereka dapat dimanfaatkan sebagai darah buatan. Pertama,
mereka tidak larut dalam air, yang berarti untuk mendapatkan mereka bekerja,
mereka harus dikombinasikan dengan senyawa pengemulsi lemak yang mampu
menghentikan partikel-partikel kecil dari perfluorochemicals dalam darah. Kedua,
mereka memiliki kemampuan untuk membawa oksigen jauh lebih sedikit daripada
produk berbasis hemoglobin. Ini berarti bahwa secara signifikan lebih banyak
PFC yang harus digunakan. Salah satu produk jenis ini telah disetujui untuk
digunakan oleh Federal Drug Administration (FDA), tapi belum sukses secara
komersial karena jumlah yang dibutuhkan untuk memberikan manfaat terlalu
tinggi. Peningkatan emulsi PFC sedang dikembangkan tetapi belum mencapai
pasar.
b. Produk berbasis Hemoglobin
Hemoglobin mengangkut oksigen dari jantung ke jaringan lain dalam
tubuh. Darah buatan berdasarkan hemoglobin mengambil keuntungan dari fungsi
alami ini. Tidak seperti produk PFC di mana melarutkan adalah mekanisme kunci,
oksigen berikatan kovalen dengan hemoglobin. Tantangan dalam menciptakan
darah buatan berbasis hemoglobin adalah untuk memodifikasi molekul
hemoglobin sehingga masalah ini diselesaikan. Berbagai strategi yang digunakan
untuk menstabilkan hemoglobin.
Darah buatan dapat diproduksi dengan cara yang berbeda menggunakan
produksi sintetis, isolasi bahan kimia, atau teknologi biokimia. Produk berbasis
hemoglobin sintetik yang dihasilkan dari hemoglobin dipanen dari bakteri E. coli.

13

Konjugasi hemoglobin efektif meningkatkan ukuran molekul dan mengurangi


antigenisitas, sehingga tingkat lambat pemindahan dari sirkulasi dan mengurangi
"visibilitas" ke sistem retikulo endotelial. Fitur unik dari hemoglobin terkonjugasi
adalah tekanan onkotik yang tinggi, yang membuat mereka sangat ampuh
ekspander volume plasma, dan viskositas mereka. Intramolekul silang hemoglobin
tidak meningkat secara signifikan dalam berat molekul tetapi kimia cross-link
tertentu antara rantai polipeptida yang mencegah disosiasi untuk dimer atau
monomer.
Hemoglobin ini diubah stabil dan larut dalam larutan. Secara teoritis,
modifikasi ini harus menghasilkan produk yang memiliki kemampuan lebih besar
untuk membawa oksigen dari sel darah merah sendiri. Hal ini diantisipasi bahwa
pertama produk ini akan tersedia dalam waktu satu sampai dua tahun.
4) Vaksin dan Terapi Antibodi
Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan
kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau
mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar. Vaksin dapat
berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak
menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil
pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan
mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap
serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa
membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker).
Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh
untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari
serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Ada beberapa jenis vaksin.
Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi reaksi kekebalan
tanpa menimbulkan penyakit.
Vaksin memanfaatkan kemampuan alami tubuh untuk belajar bagaimana
untuk menghilangkan hampir semua penyebab penyakit kuman, atau mikroba,
yang menyerang. Setelah divaksinasi tubuh "mengingat" bagaimana melindungi
diri dari mikroba yang dialami sebelumnya.

14

Gambar

2.6

pembuatan

vaksin

Proses
HPV

(www.medscape.com)
Bioteknologi kedokteran tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan
vaksin sebagai salah satu cara pengobatan penyakit. Pada masa sekarang, vaksin
lebih dikembangkan untuk pengobatan jenis kanker. Kenyataannya, vaksin telah
dikembangkan dengan menggunakan Naked DNA di mana gen pengkode

Gambar 2.7 Pembuatan Antibodi Monoklonal (Thieman, 2013)


plasmid DNA yang menghasilkan antigen disuntikkan langsung ke dalam
jaringan dan kehadiran antigen merangsang pembentukan antibodi oleh tubuh.
Penggunaan vaksin mampu merangsang produksi antibodi untuk perlawanan
terhadap zat asing. Antibodi bersifat khusus terhadap zat asing tertentu, sehingga

15

reaksi perlawanan bersifat lebih efektif yang biasanya dikenal dengan istilah
Monoklonal antibodi (MAbs).
Gambar 2. memperlihatkan produksi spesifik MAbs untuk protein dari sel
kanker hati pada manusia. Setelah tikus menghasilkan antibodi sebagai respon
dari hadirnya antigen, proses berikutnya berlangsung beberapa minggu dan
kemudian limpa tikus tersebut kemudian dipindahkan. Limpa kaya akan antibodi
yang menghasilkan limfosit B atau sel B sederhana. Pada saat kultur, sel B akan
dicampur dengan sel kanker yang disebut sel myeloma yang mampu tumbuh dan
membelah tidak terbatas. Pada kondisi yang sesuai sejumlah sel B dan sel
myeloma akan befusi membentuk hibrid sel yang dinamakan hibridomas. Sel
hibridoma tumbuh dengan cepat dalam kultur cair karena berisi antibodi yang
menghasilkan gen dari sel B. Sel hibridoma mensekresikan antibodi ke dalam
kultur yang mengelilingi sel. Antibodi dapat diisolasi dari kultur hibridoma
melalui pertumbuhan sel hibridoma dalam kultur menggunakan bioreaktor. MAbs
dapat diinjeksikan pada tubuh pasien yang selanjutnya akan mencari dan
mengincar antigen dimana antibodi tersebut dihasilkan. MAbs akan terikat pada
sel kanker hati dan bekerja untuk melawan sel tumor.
D. Terapi Gen
Terapi gen melibatkan pengiriman suatu gen ke dalam tubuh manusia
untuk memperbaiki penyakit yang tercipta dari kesalahan gen pada individu
tersebut. Terdapat dua strategi untuk mengirim gen yakni secara Ex vivo dan in
vivo. Terapi secara ex vivo merupakan terapi dengan cara mengambil sel-sel dari
penderita penyakit dipindahkan keluar dari tubuhnya, kemudian di terapi di dalam
laboratorium menggunakan teknik transformasi bakteri dan kemudian dimasukkan
kembali kedalam tubuh pasien. Memasukkan DNA kedalam sel hewan ataupun
tumbuhan disebut transfeksi. Contoh: sel hati dari orang yang menderita penyakit
hati akan dipindahkan dengan cara operasi dan kemudian di kultur. Pengobatan
dengan gen secara tepat dikirim dengan menggunakan bantuan vector. Secara
genetic cara ini dapat mengubah sel hati mengalami transplantasi kembali ke

16

dalam tubuh penderita tanpa ada kekhawatiran terjadinya penolakan dari tubuh
oenderita karena sel yang dimasukkan dari sel penderita itu sendiri.
Terapi gen secara in vivo tidak memerlukan pemindahan sel dari pasien,
namun DNA akan dimasukkan secara langsung kedalam sel dan jaringan pada
tubuh penderita dengan vector yang membawa DNA tersebut. Satu tantangan dari
cara in vivo adalah mengirim DNA tepat pada jaringan target dan bukan pada
jaringan seluruh tubuh. Para ilmuan bidang kedokteran tetap mengandalkan virus
sebagai vector yang membawa gen, tapi beberapa gen ada yang secara langsung
diinjeksikan ke jaringan.
Vektor sebagai agen pembawa gen
Tantangan utama dalam terapi gen ialah alat yang digunakan untuk terapi
harus bisa diandalkan demi untuk keberhasilan dan keefektifan dalam terapi.
Beberapa terapi membutuhkan jangaka waktu yang lama untuk memperbaiki gen,
disamping itu kita membutuhkan perbaikan tersebut dalam waktu yang relative
cepat. Sehingga strategi dalam hal agen pembawa gen untuk dua cara yakni ex
vivo dan in vivo masih mengandalkan virus sebagai vector untuk pengobatan
terapi dengan memasukkan gen ke dalam sel.
Para ilmuan mempertimbangkan variasi virus dalam terapi ini diantaranya
virus yang biasa digunakan adalah adenovirus penyebab demam yang biasa
disebut dengan AAV (adeno-associated virus), virus influenza penyebab penyakit
flu, virus herpes, dan beberapa virus lain yang berpotensi sebagai vector. Dalam
hal ini para ilmuan sangat memastikan bahwa virus ini mampu merekayasa
genetika dan mengnonaktifkan sehingga penyakit tidak menyebar ke tubuh dan
tidak menginjeksi ke jaringan selain jaringan target.
Virus yang diinfeksikan keddalam sel tubuh manusia akan berikatan dan
masuk kedalam sel dan kemudian melepaskan materi genetiknya kedalam nucleus
atau sitoplasma cel tubuh manusia tersebut. Pada umumnya DNA, tapi beberapa
virus terdiri dari RNA. Sel yang terinjeksi virus akan menjadi hospes untuk
memproduksi viral genom dan RNA viral serta protein. Protein viral tersebut akan
membuat lebih banyak

partikel viral yang akan menghancurkan sel hospes

17

sehingga mereka dapat secara bebas untuk menginfeksi sel lain dan terus
mengulang siklus hidupnya.
Virus sangatlah menarik untuk didalami sebagai vector dalam hal terapi
gen, sebab beberapa virus hanya menginfeksi sel tubuh, dan sel tubuh inilah yang
menjadi target dalam terapi. Sebagai contoh: herpesvirus (HSF-1) menginfeksi sel
dari system saraf, sel inilah yang menjadi target terapi, sehingga herpesvirus
menjadi kandidat sebgai vector untuk melakukan terapi gen penyakit seperti
Alzheimer dan Parkinson. Hasil penelitian lain herpesvirus ini juga memiliki
potensial untuk menghancurkan tumor otak.
Manusia Pertama yang Melakukan Terapi Gen
Pada tahun 1990, kelompok ilmuan dan dokter di National Institutes of
Health in Bethesda, Maryland yang dipimpin oleh W. French Anderson beserta
rekan-rekannya menangani kasus penyakit genetic yang dikenal SCID (Serve
Combined Immunodefiency). Penderita penyakit ini mengalami kelemahan fungsi
system imun yang dikarenakan kerusakan gen yang disebut ADA (Adenosine
Deaminase). ADA memproduksi enzim yang terlibat dalam metabolism dATP
(nucleotide deoxyadenosine triphosphate). Adanya mutasi dari ADA akan
mengalami akumulasi dATP, dimana jika konsentrasinya tinggi akan menjadi tksik
untuk sel T, sehingga system imun akan dirusak dan akhirnya memblok
kemampuan system imun dalam produksi antibody. Ketidakfungsian sel T
membuat sel B tidak dapat mengenali antigen dan membuat antibody, sehingga
kebanyakan pasien penderita penyakit ini tidak dapat terselamatkan.
Menerapi Ashanti dilakukan secara ex vivo, maka gen normal untuk ADA
dikloning kedalam vector dan kemudian dimasukkan dengan bantuan retrovirus.
Awalnya sel T Ashanti yang terdapat pada darahnya diisolasi dan dikultur di lab,
lalu sel T tersebut diinfeksikan gen normal ADA kemudian sel T yang terdapat
retrovirus yang membawa gen normal ADA tersebut diinjeksikan kembali
kedalam tubuh Ashanti. Selama bebrapa bulan kemudian setelah terapi, jumlah sel
T di dalam tubuh Ashanti berangsur-angsur meningkat. 2 tahun kemudian enzim
ADA Ashanti berkerja normal, dan ashanti hidup dengan sehat. Ini salah satu
contoh terapi gen yang dilakukan di dunia medis.

18

E. Potensi Regeneratif Medis


1. Stem cell
Stem cell atau sel induk merupakan sel yang tidak atau belum terspesialisasi
dimana secara umum stem cell memiliki dua karakteristik atau sifat yakni
kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri (selfregenerate/self-renew) dan kemampuan untuk berdeferensiasi menjadi sel lain
(differentiate).
1. Self-renew yakni kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya
sendiri, dalam hal ini stem cell dapat tumbuh dan membelah (ploriferasi)
melalui pembelahan mitosis untuk membentuk salinan sel yang persis sama
dengan dirinya.
2. Diffrentiation yakni kemampuan untuk berdefrensiasi menjadi sel lain, dalam
hal ini stem cell bersifat khusus karena stem cell dapat berkembang menjadi
lebih dari 200 tipe sel yang matang misalkan sel saraf, sel otot jantung, sel otot
rangka, sel pancreas dan lain-lain. Stem cell juga disebut sebagai pluripotent
karena memiliki potensial untuk berkembang menjadi berbagai macam tipe sel
yang berbeda.
Menurut Saputra (2009), berdasarkan potensi atau kemampuan untuk
berdefrensiasi stem cell dapat dibagi menjadi :
1. Totipotent. Totipotensi yang dimaksudkan disini yaitu dimana stem cell dapat
berdefrensiasi menjadi semua jenis sel. Dalam hal ini yang termasuk dalam
stem cell totipotent adalah zygot (telur yang telah dibuahi).
2. Pluripotent. Stem cell yang dapat berdefrensiasi menjadi 3 lapisan germinal
yakni ektoderm, mesoderm, dan endoderm. Dalam hal ini stem cell tidak dapat
menjadi jaringan ekstraembryonik seperti plasenta dan tali pusat. Yang
termasuk stem cell pluripotent adalah embryonic stem cell.
3. Multipotent. Stem cell yang dapat berdefrensiasi menjadi banyak jenis sel.
Misalkan hematopoietic stem cell.

19

4. Unipotent. Stem cell yang hanya menghasilkan satu jenis sel, tetapi berbeda
dengan non-stem cell stem cell unipotent dapat memperbaharui atau
meregenerasi dirinya sendiri.
Untuk dapat memahami stem cell atau sel induk secara singkat dapat
diketahui melalui perkembangan embrio manusia. Perkembangan embrio manusia
pertama kalinya pada tahun 1987 yakni melalui fertilisasi in vitro (IVF)
mendapatkan perhatian publik dimana ketika Louise Brown bayi tabung tes
pertama lahir. Proses pembuatan anak melalui IVF ini dimana sperma dan sel telur
donor dari orang tua dicampur bersama-sama dalam wadah budaya untuk
menghasilkan embrio. Setelah beberapa hari dari divisi embrio operasi
ditanamkan di rahim untuk implantasi. Ketika agress pasangan untuk menjalani
IVF, embrio beberapa biasanya dibuat, tetapi sering hanya satu yang ditanamkan
selama prosedur masing-masing. Embrio yang tersisa dibekukan untuk
penggunaan masa depan yang diperlukan. Sisa embryo yang berpotensi dapat
menjadi sumber daya manusia sel induk embrionik (hESCs), tetapi mereka juga
merupakan sumber dari banyak kontroversi.
Embrio melewati serangkaian predicable dari tahap perkembangan dimana
setelah sel telur dibuahi (zigot), zigot kemudian membagi dengan cepat dan
setelah 3 sampai 5 hari, pertama membentuk bola yang membelah dari sekitar 12
sel yang disebut morula. Sekitar 5 sampai 7 hari setelah pembuahan, embrio
terdiri dari cluster berongga kecil sekitar 100 sel yang disebut blastocyst.
Blastokista berisi sebuah baris luar sel tunggal yang disebut trofoblas, lapisan ini
berkembang untuk membentuk bagian dari plasenta, yang memelihara
perkembangan embrio. Luas sel kepentingan utama untuk membendung biologi
sel adalah sekelompok kecil sekitar 30 sel terselip di dalam blastokista yang
membentuk struktur yang dikenal sebagai inner cell mass (ICM) sebagai sumber
hescs.

20

Gambar 2.8 Terapi dengan Stem Sel.


Sel yang berada dalam inner cell mass (ICM) dapat berkembang untuk
membentuk embrio itu sendiri. Stem sel didalam inner cell mass (ICM) memiliki
kemampuan untuk menjalani diferensiasi. Sel induk juga tumbuh pesat dan dapat
dibekukan untuk jangka waktu yang lama dan masih mempertahankan sifat
mereka. Di bawah kondisi yang tepat, ketika mereka dirangsang dengan molekul
yang berbeda, termasuk hormon dan zat yang disebut faktor pertumbuhan, garis
sel induk dapat dibuat untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel.
Sumber lain dari Stem cell
1. Adult-derived stem cell (ASCs) merupakan sel yang terletak didalam jaringan
dewasa dan dapat dikultur dan difrensiasi untuk membentuk tipe sel yang lain.
ASCs dapat diisolasi dari hati, otak, usus, rambut, kulit, pancreas, sumsum
tulang, lemaj, kelenjar mamae, gigi, otot, dan darah. Pada sumsum tulang
terdapat dua jenis stem cell yakni hematopoietic stem cell. Selain dari darah tali
pusat dan dari sumsum tulang, hematopoietic stem cell dapat diperoleh juga
dari darah tepi. stromal stem cell atau disebut juga mesenchymal stem cell.
Adult stem cell (ASCs) mempunyai sifat plastis, artinya selain dapat
berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya, adult stem
cell juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain. Misalnya: neural stem
cell dapat berubah menjadi sel darah, atau stromal stem cell dari sumsum
tulang dapat berubah menjadi sel otot jantung, dan sebagainya (Saputra, 2009).
Pada penelitian hESC sering mengklaim bahwa ASCs lebih bersifat alternative
yang pantas dalam penggunaan hESCs karena isolasi ASCs tidak memerlukan
kerusakan dari embrio. ASCs dapat diperoleh dari manusia melalui jarum
biopsy, yakni menusukan diameter jarum yang tajam dan kecil kedalam otot
atau jaringan tulang.

21

2. Stem cell dapat diisolasi dari cairan ketuban manusia, cairan Propective yang
mengelilingi janin yang sedang berkembang. Di laboratorium, sel-sel induk
cairan ketuban yang diturunkan (AFSs) telah dibujuk untuk menjadi sel otot
neuron, adipocytes, tulang, pembuluh darah, dan sel-sel hati. Yang tidak
termasuk jelas apakah sel-sel ini benar-benar berbeda dari hescs atau ASCs,
tetapi jika banyak sehingga mereka menjadi suatu terobosan penting dalam
teknologi sel induk.
3. Sel induk kanker (CSC), juga disebut sel tumor memulai, telah diidentifikasi
dan terlibat dalam perkembangan kanker, tumor progession, metastasis tumor,
dan

kambuhnya

kanker. Seperti

sel-sel

induk

normal.

CSC

dapat

memperbaharui dirinya sendiri dan membedakan untuk membentuk jaringan


dari mana mereka berasal. CSC tertentu

tumbuh secara perlahan dalam

kelompok atau ceruk dalam jaringan. Tidak jelas apa sifat CSC mungkin selain
kemampuan untuk membentuk tumor. Penelitian juga tidak yakin apakah CSC
berasal dari sel-sel normal atau jika mereka terlibat dalam resistensi terhadap
kemoterapi kanker tumor, tetapi sel-sel ini menjadi fokus penelitian intens dan
treatsments terapi yang potensial untuk pengobatan kanker.

22

Cara kerja vaksin adalah mengambil gen DNA HPV human papiloma
virus

yang bertanggungjawab dalam pembuatan protein Capsids

yang

menyelimuti permukaan HPV. Melalui teknik rekayasan genetik, protein Capsids


yang di instruksikan oleh gen L1 milik HPV bisa diproduksi dengan sel khusus
sehingga menghasilkan VLP (virus like Particles) dimana VLP memiliki bentuk
permukaan persis seperti HPV tapi tidak memiliki DNA HPV yang bisa
menyebabkan kanker serviks. Ketika VLP diinjeksi sebagai vaksin, maka sistem
kekebalan tubuh akan berusaha melawan VLP tersebut sehingga siap untuk
menghadapi HPV sesungguhnya. Dengan demikian kinerja vaksin HPV bisa
mencegah terjadinya infeksi HPV, menahan HPV untuk memperluas infeksi dan
menurunkan jumlah virus yang telah terlanjur menginfeksi tubuh.

Anda mungkin juga menyukai