PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang
memiliki kondisi geologi dari aktivitas gunung api yang kompleks dengan
keberagaman morfologi yang dibentuknya. Keberagaman morfologi ini
mencakup dataran dan hingga perbukitan bergelombang tinggi yang
membentuk variasi topografi sehingga berdampak pada pola pengaliran air
permukaan yang tidak merata. Tidak tersedianya air baku untuk masyarakat di
daerah dengan topografi yang relatif tinggi tidak jarang memunculkan
permasalahan yang harus ditangani secara tepat. Salah satu solusi dalam
menjamin ketersediaanya air baku sekaligus pemerataan saluran irigasi adalah
pembangunan bendungan untuk membuat waduk.
Waduk merupakan salah satu bangunan air yang sangat penting
keberadaanya sebagai penyedia air baku untuk irigasi dan sekaligus sebagai
penahan banjir pada saat curah hujan tinggi di musim hujan. Kesuksesan
pembangunan waduk tidak dapat lepas dari kegiatan pembangunan saluran
pengelak yang berfungsi untuk mengalihkan sementara air sungai pada saat
pengerjaan bendungan utama. Pada proyek pembangunan Waduk Bendo,
Ponorogo, pembangunan terowong pengelak dilaksanakan menggunakan
metode peledakan. Kebutuhan sistem penyangga yang aman dan sesuai
dengan kelas batuan sangat diperlukan yang hal ini merupakan peran seorang
geolog pada pembuatan terowong. Analisis kesetabilan terowong dan
rekomendasi penyangga menggunakan metode klasifikasi massa batuan RMR
(Rock Mass Rating) (Bieniawski, 1989).
Dari pentingnya peranan tersebut, melatarbelakangi ditulisnya makalah
ini yang akan membahas mengenai prosedur pelaksanaan pembangunan
terowong pengelak dan evaluasi sistem penyangga terowong pada proyek
Waduk Bendo, Ponorogo.
1
Kementerian PUPeRa
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Kepala Balai Besar Bengawan Solo (BBWS)
SNVT Pembangunan Bendungan
PPK Pembangunan Bendungan 1
Gambar 1.1 Struktur organisasi pemilik proyek waduk Bendo, Ponorogo
Konsultan
Konsultan Perencana:
PT. Indra Karya
Konsultan Supervisi:
PT. Raya Consult
PT. DDC Consultan
PT. Innakko Internasional
PT. Tuah Agung Anugerah
KSO
Kontraktor
Kontraktor Utama:
PT. Wijaya Kaya
PT. Hutama Karya
PT. Nindya Karya
KSO
Gambar 1.2 Bagan hubungan kerja pelaku usaha proyek waduk Bendo, Ponorogo
Deputy Manager 2
Deputy Manager 1
Staf Keuangan
Staf Teknik
Pelaksana
Pengadaan
Koordinator SHE
Surveyor
Safety Officer
Gambar 1.3 Struktur organisasi pelaksana KSO
kerja
praktek
difokuskan
pada
pekerjaan
Gambar 1.4 Denah lokasi terowong pengelak pada rencana proyek Waduk Bendo
(PT. Wijaya Karya KSO)
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Kondisi Geologi
Secara regional stratigrafi daerah rencana Bendungan Bendo dan
sekitarnya dari Peta Geologi Lembar Madiun Skala 1 : 100.000 (U. Hartono;
dkk;), yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Bandung, 1992; lihat Gambar 2-1
(Peta Geologi Regional Rencana Bendungan Bendo), maka di daerah ini
terdiri dari 2 (dua) formasi batuan utama yaitu Formasi Wuni dan Morfoset
Argokalangan. Kedua formasi ini di lapangan sulit sekali dibedakan, masingmasing terdiri breksi gunung api, tuff dan aglomerat lava andesit. Hanya
Formasi Wuni berkembang di sebelah kiri sungai Ngindeng pada morfologi
relatip bergelombang curam serta beberapa dijumpai sisipan batu gamping,
sedang Morfoset Argokalangan berkembang relatif di sebelah kanan sungai
Ngindeng pada morfologi yang relatif bergelombang landai.
Secara lebih spesifik, kondisi morfologi, stratigrafi, dan struktur geologi
yang berkembang di lokasi pembangunan waduk Bendo dijelaskan pada sub
bab berikut:
2.1.1 Morfologi
Daerah sekitar Waduk Bendo
Namun, secara
sungai. Hal ini terjadi karena butiran partikel batuan yang terdapat di
satu lapisan dengan lapisan yang lainnya
11
2.2 Bendungan
2.2.1 Pengertian Bendungan
Waduk adalah suatu bangunan air yang dibangun khusus untuk
membendung (menahan) aliran air yang berfungsi untuk memindahkan
aliran air atau menampung sementara dalam jumlah tertentu kapasitas /
volume air dengan menggunakan struktur timbunan tanah homogen
(Earthfill Dam), timbunan batu dengan lapisan kedap air (Rockfill
Dam), konstruksi beton (Concrete Dam) atau berbagai tipe konstruksi
lainnya. Sedangkan waduk (reservoir) adalah danau alam atau danau
buatan, kolam penyimpan atau pemwaduk sungai yang bertujuan untuk
menyimpan air baik untuk kebutuhan air irigasi, air bersih dan juga
mencegah banjir. Oleh sebab itu, direncanakan pembangunan waduk
bendo dengan membangun waduk sebagai bangunan penahan air.
2.2.2 Bagian Bendungan
Bendungan terdiri dari beberapa komponen, di mana setiap
komponen waduk tersebut memiliki fungsinya tersendiri. Berikut
merupakan beberapa komponen waduk, yaitu :
a. Badan Bendungan (Body of Dams)
Tubuh Bendungan yang berfungsi sebagai penghalang air. Waduk
umumnya memiliki tujuan untuk menahan air, sedangkan struktur lain
seperti pintu air atau tanggul digunakan untuk mengelola atau
mencegah aliran air ke dalam daerah tanah yang spesifik.
b. Pondasi (foundation)
Pondasi adalah bagian dari waduk yang berfungsi untuk menjaga
kokohnya bendungan, bagian ini bisa juga disebut inti waduk.
c. Pintu Air (gates)
Digunakan untuk mengatur, membuka dan menutup aliran air di
saluran baik yang terbuka maupun tertutup.
d. Bangunan pelimpah (spillway)
12
13
161.76 m.
merembes ke K. Cawet.
Bila terowonong pengelak diletakkan pada sandaran kiri rencana waduk
Bendo, batuannya terdiri dari breksi volkanik yang relatif lebih kompak dan
kedap dengan nilai lugeon umumnya Lu < 5. Hanya di bagian hulu saja pada
jalur ini yang berdekatan dengan K. Ngindeng,
16
di Waduk Bendo
menggunakan
metode
semi-section,
yang
berarti
17
tahapan ini dijaga untuk memberi ruang gerak atau manuver peralatan
yang bekerja pada bagian upper half section.
Adapun tahapan tahapan pekerjaan underground excavation
dijelaskan pada bagan alir berikut:
tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk, 1995). Secara sederhana
klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk memastikan apakah
seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah dimasukkan
kedalam desain. Jika semua informasi ini telah tersedia, maka klasifikasi
massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi spesifik
lapangan.
Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan
untuk tidak hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga
menggunakan metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai
pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiap metode. Menurut Bieniawski
(1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah:
1. Menentukan parameter yang mempengaruhi perilaku massa batuan.
2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang
mempunyai perilaku sama
3. Memberikan dasar klasifikasi karakteristik dari tiap kelas massa batuan.
4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di suatu lokasi
dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain.
5. Memberikan data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering design).
6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan
geologiwan.
Sistem klasifikasi yang paling banyak dipakai pada proyek-proyek
tambang bawah tanah maupun konstruksi terowong saat ini adalah
Geomechanics Classification atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating
(RMR) system, dan Rock Tunneling Quality Index (Q) system. Kedua sistem
klasifikasi ini memakai parameter Rock Quality Designation (RQD) yang
diperkenalkan oleh Deere pada tahun 1964. Selain RMR dan Q-system,
menurut Palmstorm (2000) terdapat beberapa sistem klasifikasi lainnya,
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1.
19
Tabel 2.1
Sistem Klasifikasi Massa Batuan ( Palmstrom, 2000)
NAME
The Terzaghi Rock
load Classification
System
Lauffers Stand up
time Classification
The New Australian
Tunneling Methode
(NATM)
Rock Classification for
rock mechanical
purposes
Unified Cklassification
of soils and rocks
The Rock Quality
Designation
The Size strength
Classification
The Rock Stucture
Rating Classification
The Rock Mass Rating
Classification
The Q Classification
The Typological
Classification
The Unified Rock
Classification System
Basic Geotechnical
Classification (BGC)
Geological Strength
Index (GSI)
The Rock Mass Index
(RMI) System
MAIN APPLICATIONS
REFERENCES
Terzaghi, 1946
Lauffer,1958
Rabcewicz,
Muller and
Pacher, 1958-64
Patching and
Coates, 1968
Deere at al,
1969
Deere at al,
1967
Franklin, 1975
Wickham et al,
1972
Bieniawski,
1973
Barton et al,
1974
Matula and
Holzer, 1978
Williamson,
1980
ISRM, 1981
Hoek, 1994
Palmstorm,
1995
menurut
struktur
geologi
dan
masing-masing
seksi
Apabila
terpaksa
tidak
dilakukan
uji
laboratorium
untuk
mengetahui nilai UCS, diberikan tabel estimasi nilai kuat tekan batuan
utuh yang dapat dilakukan secara langsung di lapangan. Metode ini
sangat menuntut professional judgment dari seorang geologist untuk
mendapatkan kisaran nilai yang mendekati.
Tabel 2.2 Estimasi nilai kuat tekan batuan utuh di lapangan
Grade
R6
Term
Uniaxial
Comp.
Strength
Extremely >250
strong
Point
Load
Index
>10
Field estimate of
strength
Examples
Fresh basalt,
chert, diabase,
granite, quarzite
Amphibolite,
sandstone,
basalt, gneiss,
granodiorite,
limestone,
marble,
rhyolite, tuff
Limestone,
marble,
phyllite,
sandstone,
schist, shale
Claystone,
coal, concrete,
schist, shale,
siltstone
R5
Very
strong
100-250
4-10
R4
Strong
50-100
2-4
Specimen
requires
more than one blow
of
a
geological
hammer to fracture it
R3
Medium
strong
25-50
1-2
R2
Weak
5-25
**
Cannot be scraped or
peeled with a pocket
knife, specimen can
be fractured with a
single blow from a
geological hammer
Can be peeled with a
pocket knife, shallow
indentation made by
firm blow with point
of
a
geological
hammer
Crumbles under firm
blows with point of a
geological hammer,
can be peeled by
pocket knife
Indented
by
thumbnail
R1
**
R0
Extremely 0.25-1
weak
**
Chalk,
rocksalt,
potash
Highly
weathered or
altered rock
Stiff
gouge
fault
22
23
ROCK QUALITY
< 25
Very Poor
25-50
Poor
50-75
Fair
75-90
Good
90-100
Excellent
c. . Joint Spacing
Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidangbidang diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga)
yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat
sembarang. Kramadibrata (2002) memberikan persamaan untuk
menghitung spasi rata- rata antar bidang diskontinuitas :
24
d(i,i+1)=J(i,i+1) cos
i+(i+1)
2
(3-3)
d 180, n d 180
d 180, n d 180
n 90 d
dengan :
d(i,i+1) = jarak sebenarnya amtara 2 kekar berurutan dalam satu(m)
J(i,i+1) = jarak semu antara 2 kekar berurutan dalam satu set (m)
= sudut normal
d. Joint Condition
Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam
memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter
tersebut adalah sebagai berikut:
Roughness
Roughness
atau
kekasaran
permukaan
bidang
diskontinu
Pembobotan
Sangat kasar
(very rough)
Kasar (rough)
Sedikit kasar
(slightly rough)
Halus (smooth)
Licin berlapis
(slikensided)
Deskripsi
1
0
Separation
Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak
ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa
juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang
diskontinu tersebut.
26
Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu,
atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.
Weathering
Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu.
Keterangan
Tidak
terlapukkan
Sedikit
terlapukkan
Terlapukkan
Sangat
terlapukkan
Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang
diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi
oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi
tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang
bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang
diskontinu menjadi lemah.
27
diskontinu
yang
ada
(Bieniawski,1989).
Dengan
dari
orientasi
bidang
diskontinu
selanjutnya
28
Tabel 2.6
Rock Mass Rating System
29
Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan
mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh
sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau
sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip
atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu.
RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga
terowong, seperti terlihat pada tabel. Panduan ini tergantung pada
beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari permukaan,
ukuran dan bentuk terowong serta metode penggalian yang dipakai
(Bieniawski,1989)
Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat
ditentukan melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik
span terhadap stand- up time pada gambar 3.4 (Bieniawski 1989).
Bieniawski (1976) mengembangkan grafik ini berdasarkan konsep
dasar stand-up time yang diperkenalkan oleh Lauffer (1958).
Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai
stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan
terhadap pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang
merupakan parameter- parameter penting yang tidak tercakup dalam
metode klasifikasi RMR.
Kelemahan
kedalaman
maksimum
900 m.
Faktor koreksi
terhadap
kekar.
merupakan
kategori
yang
orientasi
kasar
dan
kekar
sulit
terburuk,
orientasi
kekar
tidak
dipertimbangkan
mendapatkan
pengaruh
Dalam
prakteknya,untuk
beberapa
kondisi kekar
tidak
air tanah.
yang
pada secara
perilaku
massa batuan.
dapatdominan
digambarkan
akurat
alterasi kekar.
dihitung RMR
secara memperhitungkan
aktual.
Metode
frekuensi kekar
bukaan.
Mudah
menggabungkan
31
pasif
apabila
penyangga
tidak
langsung
mendapatkan
32
air
33
yaitu
kemampuan
untuk
melekat
di
atas
34
BAB III
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
3.1 Prosedur Pelaksanaan dan Peralatan dalam Pembangunan Terowong
Pengelak Proyek Waduk Bendo, Ponorogo
Pelaksanaan kerja praktek dilakukan dalam dua tahap yaitu kegiatan
monitoring prosedur pelaksanaan pembangunan terowong pengelak dan
kegiatan evaluasi sistem penyangga terowong menggunakan klasifikasi massa
batuan. Adapun tahapan tahapan pekerjaan underground excavation yang
diamati yaitu:
1. Pekerjaan Persiapan. (sudah dikerjakan sebelum masa kerja praktek)
2. Surveying and Marking
3. Pekerjaan Pemboran (drilling)
4. Pekerjaan Pengisian Bahan Peledak (charging)
5. Pekerjaan Peledakan (blasting)
6. Ventilasi (ventilating)
7. Pekerjaan Pembersihan (scalling)
8. Pekerjaan Pembuangan Material Hasil Ledakan (mucking)
9. Identifikasi Karakteristik Batuan
10. Pekerjaan Shotcreting
11. Pemasangan Temporary Support mencakup rock bolt, wiremesh, dan
steel support
3.1.1 Surveying dan Marking
Pekerjaan pengukuran yang dilakukan pada terowong pengelak
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan center line atau AS
terowong, kemiringan (slope), menentukan bentuk penampang galian
sesuai dengan construction drawing. Kegiatan survey dilanjutkan
dengan tahap marking untuk membuat pola pengeboran (drilling
pattern) untuk pekerjaan drilling face. Selain itu, kegiatan survey
dilakukan untuk menentukan jarak antar penyangga (stell support),
35
dan lubang rock bolt. Jumlah dari lubang yang dibor sangat bervariasi,
tergantung dari kondisi batuan yang terdapat pada face tunnel.
Kedalaman lubang bor ditentukan berdasarkan professional
judgment dari pertimbangan master blaster dan geologist. Semakin
jelek kondisi batuan yang artinya keadaan batuan lunak dan memiliki
rating rendah maka kedalaman dan jumlah lubang akan semakin sedikit.
Lamanya pemboran juga tergantung dari jenis batuannya. Jika batuan
keras maka proses pemboran bisa berlangsung dengan cepat sebaliknya
bila batuan lembek, contoh claystone proses pemboran memakan waktu
yang lebih lama karena bisa saja terjadi slip. Pada Proyek ini,
menggunakan alat manual dan mesin yaitu leg drill dan jumbo drill.
Pola pemboran yang diterapkan adalah V-cut merupakan suatu cara
peledakan dengan membuat lubang-lubang yang diatur sedemikian rupa
sehingga tiap dua lubang membentuk V. Sebuah Cut dapat terdiri dari
dua atau tiga pasang V. Alat yang digunakan yaitu Leg Drill jenis
Furukawa 322D. Alat ini menggunakan pusher leg sebagai kaki untuk
menyangga drill dan nomy pada saat melakukan pekerjaan pemboran
sehingga dalam pekerjaan pemboran hal yang harus diperhitungkan
selain jenis batuan, adalah kemampuan pekerja. Sebelumnya sempat
digunakan Jumbo Drill yang menggunakan mesin untuk menentukan
arah pemborannya yang dioperasikan oleh operator.
Tipe
Jumlah
Excavator
Komatsu Pc 50uu
Excavator
Komatsu PC200
Wheel Loader
Caterpillar 910
Dump Truck
41
43
Besi D13
Gambar 3.12 Komponen steel support dan rock bolt yang telah
terpasang
Untuk mengunci steel support agar tidak terjadi pergeseran tempat
digunakan feet lock yang berbentuk huruf L dengan panjang 1 meter
dan bengkokan di ujungnya yang berukuran 8 cm, selain itu untuk
menyambungkan steel support satu dengan steel support yang lainnya
digunakan steel connector yang terbuat dari baja dengan diameter 25
mm dan panjang yang disesuaikan dengan jarak antar steel support itu
sendiri dimana pada proyek terowongan ini jaraknya adalah per 1
meter.
3.2 Evaluasi Sistem Penyangga Terowong
3.2.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data lapangan dilakukan pada lokasi outlet kurang
lebih pada kedalaman 20 sampai 60 meter terowong pengelak proyek
Waduk Bendo, Ponorogo. Metode pengumpulan data terdiri atas
3(tiga) tahap yaitu: pemetaan bidang diskontinu dengan cara scanline.
Kedua melakukan pengamatan langsung secara visual pada
muka
45
Gambar 3.13 Sampel batuan siap uji dan contoh uji kuat tekan
batuan
46
180
)
n
(90
d)
355
25
4.3
330
12
-0.56972
4.3
1.2
359
15
-0.55598
110
0.6
350
15
-0.40641
110
1.8
325
-0.66295
Kekar
No.
d
()
d
()
s
()
s
()
175
65
110
150
78
110
179
75
110
170
75
145
88
Jarak
Kekar
(m)
Cos
Ji -m
(m)
i-m
dari
d(im)
(m)
dxw
(m)
JARAK
(METER
KE)
STRIKE
JOINT
ke
85
1.2
2.449814
60
5.5
1.2
0.667173
89
6.7
0.6
0.243848
80
7.3
1.8
1.193303
55
9.1
1.138534
49
Gambar 3.16 Kondisi air tanah yang merembes dari atap terowong
(lingkaran merah)
3.2.2 Klasifikasi Sistem RMR
Klasifikasi menggunakan Rock Mass Rating System atau RMR
(Bieniawski,1989) didasarkan pada 5 parameter yang dimasukan
kedalam rating tertentu kemudian dijumlahkan sehingga diketahui
rating total yang menunjukan kelas massa batuan. Kelima parameter
RMR telah dijelaskan pada sub bab 3.1.1 sehingga pengklasifikasianya
sebagai berikut:
a. Parameter Strength of Intact Rock Material berupa nilai
Uniaxial Compressive Strength (UCS) sebesar 50-100 MPa
(berdasarkan estimasi nilai kuat tekan batuan utuh di lapangan)
memiliki rating 9.
b. Parameter Drill Core Quality atau RQD sebesar 70% memiliki
rating 18.
c. Parameter Spacing of Discontinuities sebesar 1.13 meter
memiliki rating 15.
d. Parameter Condition of Discontinuities dengan keadaan kekar:
kekasaran slightly rought, separation atau bukaan kekar <1mm,
dan kondisi pelapukan slightly weathered, memiliki rating 24.
50
51
IV Poor
rock RMR: 21
40
V Very poor
rock RMR: <
20
Systematic bolts 4 m
long spaced 1.5 2 m in
crown and walls with
wire mesh in crown.
50 100 mm
in rown and
30 mm in
sides.
None
Systematic bolts 4 5 m
long spaced 1 1.5 m in
crown and walls with
wire mesh in crown.
100 150 mm
in crown and
100 mm in
sides.
Light to
medium ribs
spaced 1.5
m where
required
140 200 mm
in crown, 150
mm in sedes,
and 50 mm on
face.
Mdium to
heavy ribs
spaced 0.75
m with steel
lagging and
forepoling if
reguired.
Closed
invert.
Systematic bolts 5 - 6 m
long spaced 1 1.5 m in
crown and walls with
wire mesh in crown. Bolt
invert
52
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Hasil dari pemaparan laporan kerja praktek yang dilaksanakan di
pelaksanaan konstruksi terowong pengelak pada proyek pembangunan waduk
Bendo, Ponorogo, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi geologi daerah pembangunan waduk Bendo terdiri dari 2
formasi, yaitu Formasi Wuni dan Morfoset Argokalangan dengan
litologi breksi gunung api, tuf, dan aglomerat lava andesit.
2. Kelas massa batuan breksi andesit pada lokasi pembangunan
terowong pengelak masuk pada kelas II atau Good Rock menurut
klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski,1989).
3. Rekomendasi sistem penyangga terowong menurut tabel rekomendasi
penyangga (Bieniawski,1989) antara lain penggunaan rock bolt
diameter 20 mm full grouted dengan panjang 3 meter spasi 2.5 meter.
Pemasangan wiremesh dilakukan secara setempat apabila dibutuhkan
dengan ketebalan shotcrete ketebalan 5 cm. Sedangkan untuk
pemasangan steel support tidak terlalu direkomendasikan, tetapi demi
keamanan pekerja, pemasangan steel support tetap dilaksanakan.
4.2 SARAN
1. Menggunakan
klasifikasi
massa
batuan
yang
lain
sebagai
Melakukan uji kuat tekan terhadap variasi sampel batuan yang ada
pada lokasi pembangunan terowong pengelak.
53
DAFTAR PUSTAKA
Barton, N., R. Lien and J. Lunde. 1970. Using The Q System. Rock Mass
Classification and Support Design. Oslo: NGI (Norwegian Geotechnical
Institute)
Brady, B, H. dan Brown, E, T. 1993. Rock Mechanics, 1st edition, New York:
Kluwer Academic. hal 347-368 n
Cameron, Don. 2009. Rock Bolting. Presentasi Power Point. slide 1-9
Deere, D.U. 1963. Thecnical Desciption of Rock Cores for Engineering Purposes.
Felsmechanic und Ingenieurgeologie 1: 16-22
Hartman, H, L. dan Mutmansky, M. 1987. Introductory Mining Engineering: New
Delhi. hal 20-135
Hoek, E., Kaiser, P, K., dan Bawden, W, F. 1993. Support of Underground
Excavation in Hard Rock. Mining Research Directorate and Universities
Research Incentive Fund. hal 20-24
Itasca. 2001. JKRMC (Julius Kruttschnitt Mineral Research Center). Versi 1.0.
Itasca Consulting Group, Inc: Minneapolis, USA. hal 10-54
Palmstrom, A. 2005. Measurments of and Correlations between Block Size and
Rock Quality Designation (RQD). Tunnels and Underground Space
Technology 20 (4): 362-377
PT. Indra Karya. 2004. Laporan Penunjang Geologi: Detiled Design Bendungan
Bendo.
54