Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang
memiliki kondisi geologi dari aktivitas gunung api yang kompleks dengan
keberagaman morfologi yang dibentuknya. Keberagaman morfologi ini
mencakup dataran dan hingga perbukitan bergelombang tinggi yang
membentuk variasi topografi sehingga berdampak pada pola pengaliran air
permukaan yang tidak merata. Tidak tersedianya air baku untuk masyarakat di
daerah dengan topografi yang relatif tinggi tidak jarang memunculkan
permasalahan yang harus ditangani secara tepat. Salah satu solusi dalam
menjamin ketersediaanya air baku sekaligus pemerataan saluran irigasi adalah
pembangunan bendungan untuk membuat waduk.
Waduk merupakan salah satu bangunan air yang sangat penting
keberadaanya sebagai penyedia air baku untuk irigasi dan sekaligus sebagai
penahan banjir pada saat curah hujan tinggi di musim hujan. Kesuksesan
pembangunan waduk tidak dapat lepas dari kegiatan pembangunan saluran
pengelak yang berfungsi untuk mengalihkan sementara air sungai pada saat
pengerjaan bendungan utama. Pada proyek pembangunan Waduk Bendo,
Ponorogo, pembangunan terowong pengelak dilaksanakan menggunakan
metode peledakan. Kebutuhan sistem penyangga yang aman dan sesuai
dengan kelas batuan sangat diperlukan yang hal ini merupakan peran seorang
geolog pada pembuatan terowong. Analisis kesetabilan terowong dan
rekomendasi penyangga menggunakan metode klasifikasi massa batuan RMR
(Rock Mass Rating) (Bieniawski, 1989).
Dari pentingnya peranan tersebut, melatarbelakangi ditulisnya makalah
ini yang akan membahas mengenai prosedur pelaksanaan pembangunan
terowong pengelak dan evaluasi sistem penyangga terowong pada proyek
Waduk Bendo, Ponorogo.
1

1.2 Maksud dan Tujuan


1.2.1 Maksud
1. Menjelaskan tahapan atau urutan pekerjaan konstruksi terowong
pengelak pada proyek pembangunan Waduk Bendo, Ponorogo.
2. Menjelaskan prosedur analisis kesetabilan terowong menggunakan
klsifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski,
1989).
1.2.2 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan kerja praktek ini adalah untuk mengetahui
prosedur pelaksanaan pembangunan terowong pengelak sekaligus
menerapkan evaluasi sistem penyangga terowong pada proyek Waduk
Bendo, Ponorogo menggunakan klasifikasi massa batuan.
1.3 Profil Pekerjaan
Proyek pembangunan waduk Bendo di Kabupaten Ponorogo, merupakan
proyek yang berlokasi di Dusun Bendo, Desa Ngindeng, Kecamatan Sawoo,
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Pemilik dari proyek ini adalah Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan Waduk 1 dengan konsultan
supervisi PT. Raya Consult, PT. DDC Consultan, PT. Innakko Internasional
dan PT. Tuah Agung Anugerah, KSO. Berlaku sebagai kontraktor utama
merupakan gabungan kerja sama operasi (KSO) dari PT. Wijaya Karya, PT.
Hutama Karya, dan PT. Nindya Karya.
Proyek ini memiliki nilai kontrak sebesar Rp.651.691.000.000,00 (PPN
10%) pada nomor atau tanggal kontrak HK.02.03-An/PPK.PB/Bendo/09,
Tanggal 02 September 2013 dengan sumber dana dari APBN Tahun
Anggaran 2013 s/d. 2017. Waktu pelaksanaan proyek 1.575 hari kalender
terhitung dari 2 September 2013 sampai dengan Desember 2017, namun
akibat dari kendala perizinan pembebasan lahan, proyek ini sempat berhenti
pada pertengahan tahun 2013 sampai pertengahan 2014.

1.4 Struktur Organisasi Pemilik Pekerjaan

Kementerian PUPeRa
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Kepala Balai Besar Bengawan Solo (BBWS)
SNVT Pembangunan Bendungan
PPK Pembangunan Bendungan 1
Gambar 1.1 Struktur organisasi pemilik proyek waduk Bendo, Ponorogo

1.5 Struktur Organisasi Pelaksana Pekerjaan


Pada proyek pembangunan waduk Bendo dan atau pada setiap pekerjaan
(proyek), terdapat tiga unsur pelaku utama yang memiliki peran masingmasing dengan unsur serta hubunganya digambarkan pada bagan dibawah ini:
Pemilik Pekerjaan
PPK Pembangunan
Bendungan 1

Konsultan
Konsultan Perencana:
PT. Indra Karya
Konsultan Supervisi:
PT. Raya Consult
PT. DDC Consultan
PT. Innakko Internasional
PT. Tuah Agung Anugerah
KSO

Kontraktor
Kontraktor Utama:
PT. Wijaya Kaya
PT. Hutama Karya
PT. Nindya Karya
KSO

Gambar 1.2 Bagan hubungan kerja pelaku usaha proyek waduk Bendo, Ponorogo

Manager Proyek KSO

Deputy Manager 2

Deputy Manager 1

Keuangan & Personalia

Manager Konstruksi Site Manager Umum & Humas

Staf Keuangan
Staf Teknik

Pelaksana

Pengadaan

Koordinator SHE
Surveyor

Gudang & Peralatan

Safety Officer
Gambar 1.3 Struktur organisasi pelaksana KSO

1.6 Lokasi dan Waktu Kerja Praktek


1.6.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Kerja praktek dilaksanakan di proyek pembangunan Waduk Bendo
tepatnya berada di K. Ngindeng atau penduduk setempat menyebut K.
Keyang, Dusun Bendo, Desa Ngindeng, Kecamatan Sawo, Kabupaten
Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.
Lokasi ini dapat ditempuh melalui jalan raya Trenggalek
Ponorogo, mulai Kecamatan Sawo pada sekitar km 15 dari Ponorogo
ke Trenggalek, kemudian belok ke arah Utara melalui jalan diperkeras
batu sekitar 8 km untuk sampai ke lokasi Dusun Bendo yang berada di
kaki rencana Waduk Bendo bagian hulu.
Pelaksanaan
pembangunan

kerja

praktek

difokuskan

pada

pekerjaan

terowong pengelak tepatnya pada bagian outlet

terowong. Pada saat dilakukan kerja praktek, pembangunan terowong


pengelak dikerjakan pada level kedalaman 15 sampai 60 meter. Lokasi
terowong pengelak pada rencana proyek pembangunan waduk Bendo
digambarkan pada denah berikut:
4

Gambar 1.4 Denah lokasi terowong pengelak pada rencana proyek Waduk Bendo
(PT. Wijaya Karya KSO)

1.6.2 Jadwal Pelaksanaan Kerja Praktek


Kerja praktek dilaksanakan mulai tanggal 30 Oktober sampai
dengan tanggal 28 November 2015. Jadwal pelaksanaan kerja praktek
terlampir pada bagian akhir laporan.
1.7 Batasan Masalah
1. Pekerjaan dilakukan pada konstruksi terowong pengelak (divertion tunnel)
bagian outlet kurang lebih hingga kedalaman 60 meter di proyek
pembangunan Waduk Bendo, Ponorogo.
2. Pemetaan kekar (scanline) dilakukan pada satu sisi muka terowong di STA
0+576 sampai STA 0+566 karena keterbatasan bidang kerja.
3. Nilai Rock Quality Designation (RQD) diambil dari 2 data bor log pada
tahap perencanaan pada lokasi yang paling dekat dengan outlet terowong.

1.8 Sistematika Penulisan Laporan


Sistematika penulisan yang diterapkan dalam penulisan laporan kerja
praktek ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Berisi latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi dan kesampaian daerah
kerja praktek, ruang lingkup pekerjaan, waktu pelaksanaan kerja praktek,
dan sistematika penulisan laporan.
BAB II Dasar Teori
Berisi menjelaskan secara umum gambaran mengenai profil pihak yang
terlibat pada pekerjaan proyek pembangunan Waduk Bendo, Ponorogo
serta kondisi geologi dan geotekniknya. Serta pengertian, dasar teori dan
data-data pustaka yang mengacu pada pelaksanaan kerja praktek,
mencakup klasifikasi massa batuan, pengertian dan bagian waduk, serta
terowong pengelak.
BAB III Pelaksanaan Kerja Praktek
Berisi tentang mekanisme kerja praktik yang telah dilaksanakan, meliputi
pengambilan data pekerjaan prosedur pelaksanaan pembangunan
terowong di lapangan, serta tahap evaluasi sistem penyangga.
BAB IV Kesimpulan
Berisi tentang kesimpulan dari pelaksanaan kerja praktek yang telah
dilakukan.

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Kondisi Geologi
Secara regional stratigrafi daerah rencana Bendungan Bendo dan
sekitarnya dari Peta Geologi Lembar Madiun Skala 1 : 100.000 (U. Hartono;
dkk;), yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Bandung, 1992; lihat Gambar 2-1
(Peta Geologi Regional Rencana Bendungan Bendo), maka di daerah ini
terdiri dari 2 (dua) formasi batuan utama yaitu Formasi Wuni dan Morfoset
Argokalangan. Kedua formasi ini di lapangan sulit sekali dibedakan, masingmasing terdiri breksi gunung api, tuff dan aglomerat lava andesit. Hanya
Formasi Wuni berkembang di sebelah kiri sungai Ngindeng pada morfologi
relatip bergelombang curam serta beberapa dijumpai sisipan batu gamping,
sedang Morfoset Argokalangan berkembang relatif di sebelah kanan sungai
Ngindeng pada morfologi yang relatif bergelombang landai.
Secara lebih spesifik, kondisi morfologi, stratigrafi, dan struktur geologi
yang berkembang di lokasi pembangunan waduk Bendo dijelaskan pada sub
bab berikut:
2.1.1 Morfologi
Daerah sekitar Waduk Bendo

secara regional termasuk pada

satuan morfologi perbukitan bergelombang curam.

Namun, secara

khusus dapat dibedakan menjadi 2 (dua) daerah yaitu daerah dataran


sungai, dan daerah perbukitan curam.
1

Daerah dataran sungai berkembang di sepanjang K. Ngindeng,


dengan lebar sungai sekitar 30 meter, ketinggian mulai sekitar
elevasi +140m di sebelah hilir rencana waduk, kemudian elevasi +
151 m di sekitar rencana waduk, sampai sekitar + 155 m di daerah
rencana waduk.
7

2 Daerah perbukitan curam terletak di sebelah kanan maupun kiri


sungai Ngindeng, berkembang mulai elevasi sekitar + 151 m di
daerah sekitar rencana waduk sampai + 721 m sebagai puncak G.
Bayangkaki sebelah tenggara rencana waduk.
2.1.2 Litologi dan Stratigrafi
Di daerah rencana Waduk Bendo dan sekitarnya dijumpai 5 (lima)
satuan batuan mulai yang tertua sampai dengan yang termuda, dimana
masing-masing satuan batuan diendapkan saling tidak selaras
(unconformity) digambarkan pada gambar 2.1 Peta Geologi Daerah
Penyelidikan

adalah sebagai berikut: Satuan Breksi Volkanik

(Volacanic Breccia) dan Satuan Breksi Volkanik Lapuk (Decomposed


Volcanic Breccia) berumur Miosen Tengah Pleistosen Awal, Satuan
Batupasir tufaan (Sandy Tuff) berumur Pleistosen Akhir, Satuan
Koluvial, serta Satuan Satuan Endapan Sungai yang berumur Resen.

Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Penyelidikan (PT. Indra Karya)

Satuan breksi volkanik dominan sekali tersebar di daerah


penyelidikan, melampar pada satuan morfologi bergelombang kuat
yang relatif terjal, terutama di sekitar daerah rencana waduk dan waduk,
sebagai batuan dasar yang diendapkan pada awal Pleistosen. Terdiri
fragmen andesit keras berukuran 2 sampai 50 cm rata-rata 5 cm, dan
fragmen lappili tuff 2 cm, masing-masing tersemen bervariasi mulai
sangat kompak sampai menengah. Di bagian kiri sungai maka fragmen
andesit pada breksi volkanik relatif lebih berkembang, kekompakannya
menengah, dan beberapa menunjukkan arah perlapisan miring ke arah
tenggara sekitar N 20o E / 20o. Sedangkan di bagian kanan sungai,
maka matrik breksi volkanik yang umumnya terdiri dari tufa pasiran
(sandy tuff) berukuran pasir halus sampai kasar lebih berkembang,
kurang tersemen dengan baik, kekerasannya relatif rendah sampai
menengah. Beberapa dijumpai sisipan lava andesit abu-abu gelap yang
keras sekali, dengan retakan-retakan yang tidak teratur dan terisi Klorit.
Bahkan berdasarkan pemboran DHB 1 yang terletak di perbukitan
sebelah kanan sungai di hilir waduk, dibawah kedalaman 70 m atau di
bawah elevasi + 164 m terdiri dari andesit abu-abu yang keras sekali
dan relatif kedap.
Satuan breksi volkanik lapuk (Decomposed Volcanic Breccia)
berkembang di sebelah kanan sungai K. Ngindeng terutama di dekat
rencana waduk Bendo. Satuan ini terdiri campuran lempung pasir
tufaan kerikil dan bongkah, berwarna abu-abu sampai coklat
kehitaman, dengan ketebalan bervariasi maksimum sekitar 18,5 m.
Satuan batupasir tufaan (Sandy Tuff) di permukaan terdapat secara
terbatas di daerah genangan, terutama di sebelah kanan yang berdekatan
dengan K. Ngindeng. Diendapkan secara tidak selaras di atas satuan
breksi volkanik, dan berumur Pleistosen Atas. Terdiri dari batupasir
berwarna coklat muda, berukuran halus sampai kasar, beberapa berlapis
dengan kemiringan relatif ke arah barat atau kehilir sekitar 16 derajat.
9

Beberapa dijumpai fragmen andesit bahkan sampai ada yang mencapai


1 m, tetapi jarang sekali, tersemen relatif kurang kompak, dengan
ketebalan sekitar 6 m dan ke arah timur menjadi semakin tebal sebagai
hasil kegiatan gunung api G. Wilis dan G. Dorowati.
Satuan kolovial terdapat umumnya di pinggir sungai K, Ngindeng,
di bawah perbukitan, sebagai material hasil rombakan batuan di
atasnya. Terdiri campuran lempung, kerikil, dan bongkah dari fragmen
breksi volkanaik dan andesit, lepas-lepas dengan ketebalan bervariasi
sampai mencapai 12 m di daerah sebelah kanan rencana coffer dam.
Satuan endapan sungai terdapat di K. Ngindeng, terdiri endapan
sungai lepas berupa campuran pasir, kerikil, keralkal dan bongkah
andesit. Ketebalannya bervariasi, di daerah dam site mencapai sekitar
12.6 m.
2.1.3 Struktur Geologi
Struktur geologi yang dijumpai di daerah penyelidikan meliputi
antara lain struktur perlapisan dan struktur sesar.
Struktur perlapisan tidak nampak dengan jelas, pada penyelidikan
ELC NK (1977) menyebut sebagai quasi stratification seolaholah seperti berlapis, yaitu terutama terdapat pada satuan breksi
volkanik yang relatif miring N 20o E / 20o

atau miring ke arah kanan

sungai. Hal ini terjadi karena butiran partikel batuan yang terdapat di
satu lapisan dengan lapisan yang lainnya

sulit dibedakan, dan

warnanya juga relatif seragam.


Struktur sesar yang pertama disebut Sesar Bendo dijumpai di
daerah genangan sekitar 1 km sebelah hulu dari rencana Waduk Bendo,
melintang K. Ngindeng dengan arah Baratdaya Timur laut, sebagai
sesar turun dengan kemiringan relatif tegak dimana bagian barat relatif
turun terhadap bagian timur. Tanda-tanda di lapangan adalah adanya
pola kekar umumnya tertutup yang rapat dan tidak beraturan pada K.
Ngindeng yang dilewati sesar, dengan bidang sesar N 200o E / 80o
10

disertai dengan cermin sesar, breksiasi dan milonitisasi pada lokasi K.


Koko anak sungai K. Ngindeng. Sesar ini tidak mengkhawatirkan
terhadap keamanan waduk dan tubuh waduk, karena posisinya yang
relatif jauh, yaitu sekitar 2,5 km dari tubuh waduk, serta arahnya relatif
searah dengan sumbu waduk. Di permukaan tanah sesar ini umumnya
sudah lapuk dan terisi material lempung, sehingga dapat berfungsi pula
sebagai lapisan penutup bidang sesar terhadap kebocoran waduk.
Struktur sesar lainnya yaitu Sesar Bayangkaki terdapat di dekat G.
Bayangkaki dengan arah Baratlaut Tenggara, salah satunya yaitu
ditandai dengan didapatnya breksiasi, milonitisasi, dan cermin sesar di
sebelah barat laut G. Bayangkaki. Sesar ini dijumpai dengan ketinggian
sekitar El. +500 m jauh di atas genangan waduk. Tetapi berdasarkan
peta geologi regional daerah Waduk Bendo, maka sesar ini menjulur di
sebelah kiri K. Ngindeng sampai di depan rencana Waduk Bendo. Data
di permukaan tanah di daerah sebelah kiri K. Ngindeng sekitar rencana
Waduk Bendo sama sekali tidak dijumpai adanya tanda-tanda sesar.
Bahkan dari semua hasil pemboran yang dilakukan oleh peneliti
terdahulu (titik-tik MB-1; BB-12; BB-1; B-17 miring dan B-18 dll)
tidak dijumpai adanya perlemahan batuan (discontinuities), dengan nilai
Rock Quality Designation (RQD) umumnya di atas 60%, klas batuan
umumnya CM, dan umumnya mempunyai nilai koefisien permeabilitas
(k) sekitar 10- 5 cm/detik atau nilai Lugeon Lu umumnya < 10 jadi
masih relatif kedap.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka

Sesar Bayangkaki menjulur dari baratlaut ke tenggara hanya sampai di


baratlaut kaki G. Bayangkaki, tidak sampai di depan waduk.
Dengan demikian tidak perlu ada kekhawatiran adanya perlemahan
(discontinuities) di daerah sandaran kiri waduk , atau sebelah kiri K.
Ngindeng di depan waduk.

11

2.2 Bendungan
2.2.1 Pengertian Bendungan
Waduk adalah suatu bangunan air yang dibangun khusus untuk
membendung (menahan) aliran air yang berfungsi untuk memindahkan
aliran air atau menampung sementara dalam jumlah tertentu kapasitas /
volume air dengan menggunakan struktur timbunan tanah homogen
(Earthfill Dam), timbunan batu dengan lapisan kedap air (Rockfill
Dam), konstruksi beton (Concrete Dam) atau berbagai tipe konstruksi
lainnya. Sedangkan waduk (reservoir) adalah danau alam atau danau
buatan, kolam penyimpan atau pemwaduk sungai yang bertujuan untuk
menyimpan air baik untuk kebutuhan air irigasi, air bersih dan juga
mencegah banjir. Oleh sebab itu, direncanakan pembangunan waduk
bendo dengan membangun waduk sebagai bangunan penahan air.
2.2.2 Bagian Bendungan
Bendungan terdiri dari beberapa komponen, di mana setiap
komponen waduk tersebut memiliki fungsinya tersendiri. Berikut
merupakan beberapa komponen waduk, yaitu :
a. Badan Bendungan (Body of Dams)
Tubuh Bendungan yang berfungsi sebagai penghalang air. Waduk
umumnya memiliki tujuan untuk menahan air, sedangkan struktur lain
seperti pintu air atau tanggul digunakan untuk mengelola atau
mencegah aliran air ke dalam daerah tanah yang spesifik.
b. Pondasi (foundation)
Pondasi adalah bagian dari waduk yang berfungsi untuk menjaga
kokohnya bendungan, bagian ini bisa juga disebut inti waduk.
c. Pintu Air (gates)
Digunakan untuk mengatur, membuka dan menutup aliran air di
saluran baik yang terbuka maupun tertutup.
d. Bangunan pelimpah (spillway)
12

Adalah bangunan beserta intalasinya untuk mengalirkan air banjir


yang masuk ke dalam bendungan agar tidak membahayakan
keamanan. Bagian-bagian penting dari bangunan pelimpah, yaitu :
e. Saluran Pengelak Air
Adalah saluran yang di bangun untuk mengalihkan sementara
aliran air sungai agar bisa dilakukan pengerjaan bendungan utama.
Jenis saluran pengelak ada 2 macam, yaitu :
Saluran pengelak air dengan tipe saluran terbuka.
Jenis saluran pengelak air tersebut di bangun di sisi waduk
utama. Jenis saluran tersebut hanya bisa di bangun apabila lahan
pengerjaan waduk memungkinkan. Saluran pengelak air dengan
tipe terbuka di sebut juga diversion channel.
Saluran pengelak air dengan tipe saluran tertutup/terowong.
Jenis saluran tersebut digunakan apabila lahan pengerjaan
waduk tidak memadai untuk di bangun saluran pengelak air dengan
tipe terbuka. Saluran tersebut dibangun dengan cara melakukan
penggalian pada bukit tanah/batuan sehingga terbentuklah terowong
atau di sebut juga diversion tunnel.
2.3 Terowong
2.3.1 Pengertian Terowong
Terowong adalah struktur bawah tanah yang mempunyai panjang
lebih dari lebar penampang galiannya, dan mempunyai gradien
memanjang kurang dari 15%. Terowong umumnya tertutup di seluruh
sisi kecuali di kedua ujungnya yang terbuka pada lingkungan luar.
Beberapa ahli teknik sipil mendefinisikan terowong sebagai sebuah
tembusan di bawah permukaan yang memiliki panjang minimal 0,1 mil
(160,9 meter), dan yang lebih pendek dari itu dinamakan underpass.

13

2.3.2 Tujuan Pembuatan Terowong


Maksud dan tujuan pembuatan terowong dapat dibedakan menjadi
beberapa bagian, yaitu:
a. Terowong untuk keperluan pertambangan. Misalnya tambang
batu bara, tambaga, emas, dan lainnya yang sesuai dengan
struktur tanahnya terletak dibagian tanah.
b. Terowong untuk keperluan transportasi lalu lintas, baik High
way, maupun Rail way.
c. Terowong untuk saluran air, baik untuk keperluan irigasi,
drainase maupun untuk keperluan pembangkit listrik, termasuk
terowong sementara untuk pengeringan (diversion tunnel) dan
tunnel spillway
2.4 Terowong Pengelak Waduk Bendo
Pekerjaan terowong pengelak air merupakan salah satu pekerjaan inti dari
proyek waduk Bendo. Karena itu, perencanaan terowong pengelak air pun
haruslah terencana berdasarkan data-data yang sudah didapatkan pada survei
praperencanaan
Dari data lapangan yang sudah terkumpul, didapat perencanaan terowong
pengelak untuk waduk Bendo adalah sebagai berikut. Dasar terowong
pengelak air pada bagian hulu atau inlet direncanakan pada EL. 151.00 m dan
outlet terowong pada EL. 146.00 m. Terowong pengelak air mempunyai
panjang 453 m atau dengan kemiringan dasar 1 : 94.60 (per ketinggian 1
meter dibandingkan jarak horizontal 94.6 meter) dan penampang melintang
berbentuk tapal kuda modifikasi. Tipe tapal kuda modifikasi dipilih untuk
mempermudah pelaksanaan konstruksi.
Hasil perhitungan penelusuran banjir menunjukkan bahwa kapasitas debit
yang akan melewati terowong pengelak air dengan diameter 5.50 m sebesar
254.80 m3/det dengan kecepatan sebesar 6.151 m/det adalah lebih kecil dari
kecepatan ijin 10 m/dt dengan tinggi muka air banjir adalah El. 161.76 m.
Dari hasil penelusuran banjir Q25, muka air tertinggi di waduk mencapai EL.
14

161.76 m.

Elevasi puncak cofferdam direncanakan pada EL. 165.00 m

termasuk tinggi jagaan sebesar 3.24 m. Coffedam dengan tinggi 21.63 m


(165.00 8.37 m) cukup mampu menampung banjir 25 tahun.
Dari data perencanaan, ada dua kemungkinan perletakan terowong
pengelak, yaitu pada tebing sandaran kanan atau di sebelah kiri K. Ngindeng.
Bila terowong pengelak diletakkan pada tebing sandaran kanan rencana
waduk Bendo, maka batuan di daerah ini umumnya di bagian atas terdiri dari
breksi volkanik yang kurang tersemen dengan bagus. Cara peledakan
terowong di daerah ini dikuatirkan akan mengakibatkan perubahan karakter
batuan

menjadi lebih buruk,

menambah kekhawatiran air waduk bocor

merembes ke K. Cawet.
Bila terowonong pengelak diletakkan pada sandaran kiri rencana waduk
Bendo, batuannya terdiri dari breksi volkanik yang relatif lebih kompak dan
kedap dengan nilai lugeon umumnya Lu < 5. Hanya di bagian hulu saja pada
jalur ini yang berdekatan dengan K. Ngindeng,

terdiri batuan koluvial

campuran lempung dan gravel bolder sekitar 120 m panjangnya, dibuat


dengan saluran terbuka.
Kekhawatiran terowong pengelak bila diletakkan pada sandaran kiri
hanya dugaan melalui peta geologi regional

dengan adanya sesar geser

menerus dari barat laut ke tenggara sampai ke depan rencana waduk di


sandaran kiri. Di permukaan tanah pada sandaran kiri sama sekali tidak
dijumpai tanda-tanda adanya sesar. Dari hasil pemboran yang tersebar, 6 titik
sepanjang jalur rencana terowong (B-11, BB-1, MB-1, B-17 miring 450, dan
B-18), kemudian titik-titik pemboran di sekitarnya (BB-12, BB-11, B-1,
DHB4 ; dll), semuanya tidak menunjukan adanya tanda-tanda sesar di daerah
ini. Kondisi batuan di daerah ini relatif bagus, dengan RQD umumnya di atas
60 %,

mempunyai nilai Lu umumnya di bawah 10 atau relatif kedap, dan

klas batuan termasuk CM. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka


disarankan rencana terowong pengelak sebaiknya diletakkan pada sandaran
kiri atau bagian tebing K. Ngindeng sebelah barat.
15

Gambar 2.2 Profil Geologi Terowong Pengelak (PT. Indra Karya)


2.5 Metode Pembuatan Terowong
2.5.1 Metode NATM
NATM adalah suatu sistem pembuatan terowong dengan
menggunakan beton tembak (shotcrete) yang disemprotkan dengan
tekanan tinggi dan rock bolt sebagai penyangga sementara terowong
sebelum diberi lapisan beton (lining concrete). Sebelum ditemukan
metode NATM ini digunakan kayu dan rangka baja sebagai konstruksi
penyangga sementara. Kelemahan dari kontruksi kayu ini menurut Prof.
LV. Rabcewicz dalam bukunya NATM adalah kayu khususnya dalam
keadaan lembab akan sangat mudah mengalami keruntuhan, meskipun
baja mempunyai sifat fisik yang lebih baik, efisiensi kerja busur baja
sangat tergantung dari kualitas pengganjalan (untak baja dan batuan),
sementara diketahui bahwa akibat merenggangnya batuan pada waktu
penggalian seringkali menyebabkan penurunan bagian atas terowong.

16

2.5.2 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Terowong


Pada pembangunan terowong pengalak

di Waduk Bendo

menggunakan metode NATM (New Austrian Tunneling Method) yang


penggalianya

menggunakan

metode

semi-section,

yang

berarti

penggalian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap 1 adalah bagian atas (Upper


Section) yaitu penggalian dilakukan pada penampang atas setinggi 4
meter dari terowong tekan dan tahap 2 adalah bagian bawah (Lower
Section) yaitu penggalian dilakukan pada penampang bagian bawah
sedalam 3 meter dari terowong.

Gambar 2.3 Dimensi dan skema pembaian area galian terowong


(PT. Wijaya Karya KSO)

pelaksanaan penggaliannya menggunakan cara pengeboran dan


peledakan (drilling and blasting). Menurut perencanaan galian tahap 1
dilaksanakan lebih dulu sepanjang 14 17,5 m (7 kali blasting upper),
baru disusul tahap 2 sehingga kedua tahapan penggalian ini dapat
berjalan secara paralel. Jarak antara kedua muka terowong dalam

17

tahapan ini dijaga untuk memberi ruang gerak atau manuver peralatan
yang bekerja pada bagian upper half section.
Adapun tahapan tahapan pekerjaan underground excavation
dijelaskan pada bagan alir berikut:

Gambar 2.4 Diagram alir tahapan pekerjaan penggalian terowong pengelak


proyek waduk Bendo, Ponorogo
2.6 Klasifikasi Massa Batuan
Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan
desain awal suatu proyek tambang maupun konstruksi, dimana sangat sedikit
informasi yang tersedia tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik
hidrogeologi massa batuan tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak
dimaksudkan dan tidak dapat menggantikan pekerjaan desain rinci, sebab
untuk desain rinci diperlukan informasi yang lebih lengkap lagi tentang
tegangan insitu, sifat massa batuan dan arah penggalian yang biasanya belum
18

tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk, 1995). Secara sederhana
klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk memastikan apakah
seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah dimasukkan
kedalam desain. Jika semua informasi ini telah tersedia, maka klasifikasi
massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi spesifik
lapangan.
Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan
untuk tidak hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga
menggunakan metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai
pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiap metode. Menurut Bieniawski
(1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah:
1. Menentukan parameter yang mempengaruhi perilaku massa batuan.
2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang
mempunyai perilaku sama
3. Memberikan dasar klasifikasi karakteristik dari tiap kelas massa batuan.
4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di suatu lokasi
dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain.
5. Memberikan data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering design).
6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan
geologiwan.
Sistem klasifikasi yang paling banyak dipakai pada proyek-proyek
tambang bawah tanah maupun konstruksi terowong saat ini adalah
Geomechanics Classification atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating
(RMR) system, dan Rock Tunneling Quality Index (Q) system. Kedua sistem
klasifikasi ini memakai parameter Rock Quality Designation (RQD) yang
diperkenalkan oleh Deere pada tahun 1964. Selain RMR dan Q-system,
menurut Palmstorm (2000) terdapat beberapa sistem klasifikasi lainnya,
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1.

19

Tabel 2.1
Sistem Klasifikasi Massa Batuan ( Palmstrom, 2000)
NAME
The Terzaghi Rock
load Classification
System
Lauffers Stand up
time Classification
The New Australian
Tunneling Methode
(NATM)
Rock Classification for
rock mechanical
purposes
Unified Cklassification
of soils and rocks
The Rock Quality
Designation
The Size strength
Classification
The Rock Stucture
Rating Classification
The Rock Mass Rating
Classification
The Q Classification
The Typological
Classification
The Unified Rock
Classification System
Basic Geotechnical
Classification (BGC)
Geological Strength
Index (GSI)
The Rock Mass Index
(RMI) System

FORM AND TYPE


Descriptive and
behaviouristic form
functional type
Descriptive form
Functional type
Descriptive and
Behaviouristic form
Tunneling Concept
Descriptive form
General type
Descriptive Form
General type
Numerical Form
General type
Numerical form
Functional type
Numerical form
Functional type
Numerical form
Functional type
Numerical form
Functional type
Descriptive Form
General type
Descriptive Form
General type
Descriptive Form
General type
Numerical form
Functional type
Numerical form
Functional type

MAIN APPLICATIONS

REFERENCES

Design steel support in tunnel

Terzaghi, 1946

Input in tunneling design

Lauffer,1958

For excavation and design in


incompetent (overstress) ground

Rabcewicz,
Muller and
Pacher, 1958-64

For input in rock mechanics

Patching and
Coates, 1968

Based on particles and blocks for


communications
Based on core logging, used in other
classification system
Based on rock strength and block
diameter, used mainly in mine
For design of (steel) support in
tunnel
For use in tunnel, mine and
foundation design
For Design of Support in
Underground Excavation
For use in communication
For use in communication
For general use
For design of support in
underground excavation
For general characterization, design
of support, TBM progress

Deere at al,
1969
Deere at al,
1967
Franklin, 1975
Wickham et al,
1972
Bieniawski,
1973
Barton et al,
1974
Matula and
Holzer, 1978
Williamson,
1980
ISRM, 1981
Hoek, 1994
Palmstorm,
1995

2.6.1 Rock Mass Rating System (RMR)


Rock Mass Rating System atau juga dikenal dengan Geomechanichs
Cclassification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973.
Metode ini dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan
berkembangnya studi kasus yang tersedia dan disesuaikan dengan
standar dan prosedur internasional (Bieniawski, 1979).
Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam
penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam
metode ini dapat diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari
pemetaan struktur bawah tanah. Metode ini dapat diaplikasikan dan
disesuaikan untuk situasi yang berbeda-beda seperti tambang batubara,
20

tambang pada batuan kuat (hard rock), kestabilan lereng, kestabilan


pondasi, dan untuk kasus terowong.
Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksiseksi

menurut

struktur

geologi

dan

masing-masing

seksi

diklasifikasikan secara terpisah. Batas-batas seksi umumnya struktur


geologi mayor seperti patahan atau perubahan jenis batuan. Perubahan
signifikan dalam spasi atau karakteristik bidang diskontinu mungkin
menyebabkan jenis massa batuan yang sama dibagi juga menjadi seksiseksi yang berbeda.
Dalam mengklasifikasikan massa batuan sistem Klasifikasi RMR,
Bieniawski menggunakan lima parameter utama, yaitu
a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan
b. Rock Quality Designation (RQD)
c. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu
d. Kondisi bidang diskontinu
e. Kondisi dari ground water
Berikut ini sekilas penjelasan mengenai kelima parameter yang
dipakai dalam sistem klasifikasi RMR
a. Uniaxial Compressive Strength (UCS)
Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan
utuh (intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS
menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah
(uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus diberikan
sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan point load index
merupakan kekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan dari uji
point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel,
pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan
ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai point
load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada
umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa.
21

Apabila

terpaksa

tidak

dilakukan

uji

laboratorium

untuk

mengetahui nilai UCS, diberikan tabel estimasi nilai kuat tekan batuan
utuh yang dapat dilakukan secara langsung di lapangan. Metode ini
sangat menuntut professional judgment dari seorang geologist untuk
mendapatkan kisaran nilai yang mendekati.
Tabel 2.2 Estimasi nilai kuat tekan batuan utuh di lapangan
Grade

R6

Term

Uniaxial
Comp.
Strength
Extremely >250
strong

Point
Load
Index
>10

Field estimate of
strength

Examples

Specimen can only


be chipped with a
geological hammer
Specimen
requires
many blows of a
geological hammer
to fracture it

Fresh basalt,
chert, diabase,
granite, quarzite
Amphibolite,
sandstone,
basalt, gneiss,
granodiorite,
limestone,
marble,
rhyolite, tuff
Limestone,
marble,
phyllite,
sandstone,
schist, shale
Claystone,
coal, concrete,
schist, shale,
siltstone

R5

Very
strong

100-250

4-10

R4

Strong

50-100

2-4

Specimen
requires
more than one blow
of
a
geological
hammer to fracture it

R3

Medium
strong

25-50

1-2

R2

Weak

5-25

**

Cannot be scraped or
peeled with a pocket
knife, specimen can
be fractured with a
single blow from a
geological hammer
Can be peeled with a
pocket knife, shallow
indentation made by
firm blow with point
of
a
geological
hammer
Crumbles under firm
blows with point of a
geological hammer,
can be peeled by
pocket knife
Indented
by
thumbnail

R1

Very weak 1-5

**

R0

Extremely 0.25-1
weak

**

Chalk,
rocksalt,
potash

Highly
weathered or
altered rock

Stiff
gouge

fault

22

b. Rock Quality Designation (RQD)


RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang
lebih dari 10 cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang
dipakai dalam pengukuran minimal 54.7 mm yang dibor dengan doubletube core barrel. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture
yaitu fracture yang dibuat secara sengaja selama kegiatan pengeboran
atau pengukuran (Hoek, dkk. 1995). Menurut Deere (1967) prosedur
pengukuran RQD adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Prosedur pengukuran RQD (After Deere, 1989)


Jika tidak ada core yang tersedia, maka nilai RQD dapat
diperkirakan dengan menggunakan persamaan Palmstrom (1982) RQD
= 115 3,3 Jv, dimana Jv adalah jumlah joint per satuan volume massa
batuan. Jika S adalah joint spacing dalam suatu joint set, maka Jv
dapat ditentukan dengan persamaan Jv = 1/S. Hubungan antara Jv
dan RQD dapat dilihat dari grafik berikut ini:

23

Gambar 2.6 Grafik hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982)


Kualitas batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai RQD nya.
Tabel 3.3 memperlihatkan pengelompokan kualitas batuan berdasarkan
nilai RQD.
Tabel 2.3 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere,1967)
RQD (%)

ROCK QUALITY

< 25

Very Poor

25-50

Poor

50-75

Fair

75-90

Good

90-100

Excellent

c. . Joint Spacing
Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidangbidang diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga)
yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat
sembarang. Kramadibrata (2002) memberikan persamaan untuk
menghitung spasi rata- rata antar bidang diskontinuitas :

24

Gambar 2.7 Pengukuran Bidang Diskontinuiti dengan Metode


Scanline (Kramadibrata, Suseno, 2002)

d(i,i+1)=J(i,i+1) cos

i+(i+1)
2

(3-3)

cos cos( n s ) cos n cos s sin n sin s

d 180, n d 180
d 180, n d 180
n 90 d
dengan :
d(i,i+1) = jarak sebenarnya amtara 2 kekar berurutan dalam satu(m)
J(i,i+1) = jarak semu antara 2 kekar berurutan dalam satu set (m)

= sudut normal

= arah dip dari garis normal

= arah dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan f )

= arah dip dari scanline

= dip dari garis normal

= dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan f )

= sudut kemiringan scanline


25

d. Joint Condition
Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam
memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter
tersebut adalah sebagai berikut:

Roughness
Roughness

atau

kekasaran

permukaan

bidang

diskontinu

merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi


bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat
mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang
diskontinu.
Tabel 2.4 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut
Bienawski (1976)
Kekasaran
Permukaan

Pembobotan

Sangat kasar
(very rough)

Apabila diraba permukaan sangat


tidak rata, membentuk
punggungan dengan sudut
bidang datar mendekati vertikal,

Kasar (rough)

Bergelombang, permukaan tidak


rata, butiran pada permukaan
terlihat jelas, permukaan kekar
terasa kasar.

Sedikit kasar
(slightly rough)

Butiran permukaan terlihat jelas,


dapat dibedakan, dan dapat
dirasakan apabila diraba

Halus (smooth)

Permukaan rata dan terasa halus


bila diraba
Permukaan terlihat mengkilap

Licin berlapis
(slikensided)

Deskripsi

1
0

Separation
Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak
ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa
juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang
diskontinu tersebut.

26

Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu,
atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.

Weathering
Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu.

Tabel 2.5 Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976)


Klasifikasi

Keterangan

Tidak
terlapukkan

Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar, butiran


kristal terlihat jelas dan terang
Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi dengan
lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman biasanya akan
nampak mulai dari permukaan sampai ke dalam batuan sejauh
20% dari spasi
Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan sebagian
material batuan terdekomposisi. Tekstur asli batuan masih utuh
namun mulai menujukkan butiran batuan mulai terdekomposisi
menjadi tanah.
Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau
kehitaman. Dilihat secara penampakan menyerupai tanah
namun tekstur batuan masih utuh, namun butiran batuan telah
terdekomposisi menjadi tanah

Sedikit
terlapukkan

Terlapukkan

Sangat
terlapukkan

Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang
diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi
oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi
tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang
bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang
diskontinu menjadi lemah.

c. Kondisi Air Tanah


Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi
kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam
klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini
dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:

27

Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air


yang teramati setiap 10 m panjang terowong. Semakin banyak
aliran air mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan
semakin kecil

Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang


terjebak dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang
dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.

General condition : mengamati atap dan dinding terowong


secara visual sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan
keadaaan umum dari opermukaan seperti kering, lembab,
menetes atau mengalir.

Klasifikasi RMR ditunjukan pada tabel 3.5. Tabel RMR tersebut


ditunjukkan bahwa parameter-parameter itu mempunyai rating
tertentu. Rating yang lebih tinggi menunjukkan kondisi massa batuan
yang lebih baik. Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap set
bidang

diskontinu

yang

ada

(Bieniawski,1989).

Dengan

menjumlahkan semua rating dari lima parameter pada bagian A Tabel,


akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum memperhitungkan
orientasi bidang diskontinu.
Pengaruh

dari

orientasi

bidang

diskontinu

selanjutnya

diperhitungkan berdasarkan bagian B Tabel. Adjusment terhadap


orientasi bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai
RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada
aplikasi engineering-nya, seperti terowong, chamber, lereng atau
fondasi (Edelbro, 2003).

28

Tabel 2.6
Rock Mass Rating System

29

Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan
mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh
sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau
sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip
atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu.
RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga
terowong, seperti terlihat pada tabel. Panduan ini tergantung pada
beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari permukaan,
ukuran dan bentuk terowong serta metode penggalian yang dipakai
(Bieniawski,1989)
Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat
ditentukan melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik
span terhadap stand- up time pada gambar 3.4 (Bieniawski 1989).
Bieniawski (1976) mengembangkan grafik ini berdasarkan konsep
dasar stand-up time yang diperkenalkan oleh Lauffer (1958).
Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai
stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan
terhadap pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang
merupakan parameter- parameter penting yang tidak tercakup dalam
metode klasifikasi RMR.

Gambar 2.8 Grafik Hubungan Antara Span, Stand-Up Time, Dan


RMR (after Bieniawski, 1989 & 1993)
30

Kelebihan dan kekurangan Klasifikasi RMR diberikan pada Tabel 2.7


dibawah ini:
Tabel 2.7
Kelebihan Dan Kelemahan Metode RMR Bieniawski
Kelebihan

Kelemahan

Telah dikenal dan digunakan secara luas.

Sangat bergantung terhadap metode penggalian


yang digunakan. Rekomendasi penyangga yang
diberikan hanya berlaku untuk bentuk terowong
tapal kuda dengan span maksimum 10 m dan

Adanya faktor koreksi terhadap orientasi

kedalaman
maksimum
900 m.
Faktor koreksi
terhadap

kekar.

merupakan

kategori

yang

orientasi
kasar

dan

kekar
sulit

ditentukan tanpa pengalaman yang luas. Pada


kondisi

terburuk,

orientasi

kekar

tidak

Adanya faktor koreksi terhadap pengaruh

dipertimbangkan
mendapatkan
pengaruh
Dalam
prakteknya,untuk
beberapa
kondisi kekar
tidak

air tanah.

yang
pada secara
perilaku
massa batuan.
dapatdominan
digambarkan
akurat

Kondisi kekar yang digambarkan meliputi

Nilai RQD ditentukan melalui persamaan yang

kontinuitas, separasi, kekasaran, isian, dan

diberikan oleh Palmstrm. Nilai RQD yang

alterasi kekar.

diberikan oleh persamaan ini bisa menghasilkan


nilai yang lebih besar daripada nilai RQD yang
parameter-

dihitung RMR
secara memperhitungkan
aktual.
Metode
frekuensi kekar

parameter yang diukur yaitu RQD dan

dua kali, yaitu melalui RQD dan jarak antar kekar.

jarak antar kekar untuk menjelaskan

Oleh karena itu, metode ini sangat sensitif

frekuensi kekar ataupun ukuran blok.

terhadap perubahan dari spasi fraktur yang ada.

Kuat tekan uniaksial digunakan untuk

Tidak memperhitungkan pengaruh dari tegangan

menentukan kekuatan batuan intak. Nilai

terinduksi dalam perkiraan kestabilan lubang

ini dapat dengan mudah ditentukan uji

bukaan.

Mudah

menggabungkan

point load secara langsung dilapangan.


Parameter-parameter penting dari massa

Metode RMR dikembangkan dari latar belakang

batuan dapat ditentukan dari nilai RMR.

teknik sipil yang berbeda dengan penggalian


berbentuk lombong-lombong.
Metode RMR sangat tidak sensitif terhadap kuat
tekan batuan intak yang merupakan parameter
penting dalam perilaku teknik dari massa batuan
tertentu (Pells, 2000).

31

2.7 Jenis Penyangga Terowong


Jenis penyangga dapat dikelompokkan sebagai penyangga sementara
dan penyangga tetap. Penyangga sementara diaplikasikan untuk menjamin
keselamatan kerja selama kegiatan penambangan. Penyangga tetap
diaplikasikan untuk menjaga kestabilan lubang bukaan selama waktu
tertentu. Jenis penyangga juga dapat dikelompokkan sebagai penyangga
primer dan penyangga sekunder. Penyangga primer dipasang sesaat setelah
penggalian untuk menjamin keselamatan kerja bagi penggalian selanjutnya.
Penyangga sekunder dipasang pada tahap yang lebih lanjut.
Berdasarkan proses pembebanan, penyangga dapat dibedakan menjadi
penyangga aktif dan penyangga pasif. Dikatakan penyangga aktif apabila
penyangga langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Sedangkan
penyangga

pasif

apabila

penyangga

tidak

langsung

mendapatkan

pembebanan setelah dipasang. Penyangga akan mendapatkan pembebanan


setelah massa batuan terdeformasi.
2.7.1 Rock Bolt
Rock bolt terbagi kedalam beberapa jenis diantaranya yaitu:
mechanically anchored, friction anchored rock bolt, grouted rock bolt,
dan grouted cable bolts (Don Cameron, 2009). Pada proyek
pembangunan waduk Bendo, Ponorogo, rock bolt yang digunakan masuk
dalam tipe grouted rock bolts.

Gambar 2.9 Rock bolt tipe grouted rock bolts

32

2.7.2 Perlengkapan Penunjang


Beberapa komponen penunjang yang digunakan bersama dengan baut
batuan adalah:
a. Face plate
Sebuah face plate dirancang untuk mendistribusikan beban pada
kepala baut secara merata di sekitar batuan sekelilingnya. Jenis
dan bentuk face plate dapat dilihat pada gambar 3.9.
b. Mes kawat (wire mesh)
Dua jenis wire mesh yang umum digunakan adalah chailink mesh
dan weld mesh. Chailink mesh kuat dan fleksibel, umunya
digunakan pada permukaan. Weld mesh terdiri atas kabel baja
yang diatur dengan pola segiempat atau bujur sangkar dan dipatri
pada ttitik perpotongannya. Weld mesh digunakan untuk
memperkuat beton tembak dan lebih kaku dari chailink mesh.

Gambar 2.10 Face plate

2.7.3 Beton Tembak (shotcrete)


Beton tembak adalah salah satu jenis penyangga yang bersifat pasif.
Beton tembak dihasilkan dari dua jenis proses yaitu: beton tembak
campuran kering dimana campuran semennya kering dan

air
33

ditambahkan pada penyemprot (nozzle) dan beton tembak campuran


basah yang pada dasarnya memiliki komponen yang sama dengan
campuran kering, tetapi airnya telah dicampurkan dalam tempat
pengaduk.
Beton tembak campuran kering lebih sering digunakan karena
peralatan yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Namun, beton
tembak campuran basah memiliki keuntungan karena tingkat debu
yang dihasilkan yang lebih rendah, tidak membutuhkan keahlian
khusus, dan peralatan yang dibutuhkan lebih sedikit pada saat
mengaplikasikan.
Campuran beton tembak harus memenuhi beberapa kriteria sebagai
berikut:
1. Shotability,

yaitu

kemampuan

untuk

melekat

di

atas

permukaan batuan dengan kemungkinan lepas sangat kecil.


2. Kekuatan awal (early strength) harus cukup kuat untuk
menyediakan penyanggaan dalam waktu kurang dari 24 jam.
3. Harus mampu mencapai kekuatan 28 hari dengan komposisi
pemercepat (accelerator) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kekuatan awal.
4. Durability, yaitu ketahanan terhadap pengaruh cuaca.
5. Ekonomis, yaitu biaya material yang rendah dan biaya
minimum akibat material yang lepas.

34

BAB III
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
3.1 Prosedur Pelaksanaan dan Peralatan dalam Pembangunan Terowong
Pengelak Proyek Waduk Bendo, Ponorogo
Pelaksanaan kerja praktek dilakukan dalam dua tahap yaitu kegiatan
monitoring prosedur pelaksanaan pembangunan terowong pengelak dan
kegiatan evaluasi sistem penyangga terowong menggunakan klasifikasi massa
batuan. Adapun tahapan tahapan pekerjaan underground excavation yang
diamati yaitu:
1. Pekerjaan Persiapan. (sudah dikerjakan sebelum masa kerja praktek)
2. Surveying and Marking
3. Pekerjaan Pemboran (drilling)
4. Pekerjaan Pengisian Bahan Peledak (charging)
5. Pekerjaan Peledakan (blasting)
6. Ventilasi (ventilating)
7. Pekerjaan Pembersihan (scalling)
8. Pekerjaan Pembuangan Material Hasil Ledakan (mucking)
9. Identifikasi Karakteristik Batuan
10. Pekerjaan Shotcreting
11. Pemasangan Temporary Support mencakup rock bolt, wiremesh, dan
steel support
3.1.1 Surveying dan Marking
Pekerjaan pengukuran yang dilakukan pada terowong pengelak
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan center line atau AS
terowong, kemiringan (slope), menentukan bentuk penampang galian
sesuai dengan construction drawing. Kegiatan survey dilanjutkan
dengan tahap marking untuk membuat pola pengeboran (drilling
pattern) untuk pekerjaan drilling face. Selain itu, kegiatan survey
dilakukan untuk menentukan jarak antar penyangga (stell support),
35

menentukan tanda as steel support di tembok terowong dan mengecek


apakah ada penurunan yang terjadi pada steel support frame.

Gambar 3.1 Pekerjaan Surveying

Gambar 3.2 Pekerjaan Marking

3.1.2 Pengeboran (drilling)


Hasil dari pekerjaan pemboran yaitu terbentuknya lubang pada
bagian permukaan batuan sesuai dengan desain rencana (drilling
pattern). Pada pekerjaan terowong pemboran digunakan untuk
pembuatan lubang besi untuk kabel peralatan, lubang bahan peledak
36

dan lubang rock bolt. Jumlah dari lubang yang dibor sangat bervariasi,
tergantung dari kondisi batuan yang terdapat pada face tunnel.
Kedalaman lubang bor ditentukan berdasarkan professional
judgment dari pertimbangan master blaster dan geologist. Semakin
jelek kondisi batuan yang artinya keadaan batuan lunak dan memiliki
rating rendah maka kedalaman dan jumlah lubang akan semakin sedikit.
Lamanya pemboran juga tergantung dari jenis batuannya. Jika batuan
keras maka proses pemboran bisa berlangsung dengan cepat sebaliknya
bila batuan lembek, contoh claystone proses pemboran memakan waktu
yang lebih lama karena bisa saja terjadi slip. Pada Proyek ini,
menggunakan alat manual dan mesin yaitu leg drill dan jumbo drill.
Pola pemboran yang diterapkan adalah V-cut merupakan suatu cara
peledakan dengan membuat lubang-lubang yang diatur sedemikian rupa
sehingga tiap dua lubang membentuk V. Sebuah Cut dapat terdiri dari
dua atau tiga pasang V. Alat yang digunakan yaitu Leg Drill jenis
Furukawa 322D. Alat ini menggunakan pusher leg sebagai kaki untuk
menyangga drill dan nomy pada saat melakukan pekerjaan pemboran
sehingga dalam pekerjaan pemboran hal yang harus diperhitungkan
selain jenis batuan, adalah kemampuan pekerja. Sebelumnya sempat
digunakan Jumbo Drill yang menggunakan mesin untuk menentukan
arah pemborannya yang dioperasikan oleh operator.

Gambar 3.3 Pekerjaan pemboran dan alat bor ( Leg Drill)


37

3.1.3 Pemasangan Bahan Peledak (charging).


Charging adalah pekerjaan pengisian bahan peledak (dynamite) ke
dalam lubang hasil dari pemboran. Pengisian volume bahan peledak di
kontrol menggunakan PF (Powder factor), yaitu perbandingan dari
volume rencana blasting dan jumlah bahan peledak yang digunakan
(kg/m3).

Gambar 3.4 Pekerjaan Charging


Waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini tergantung dari berapa
lubang yang diisi bahan peledak dan kecepatan juru ledak dalam hal
charging itu sendiri. Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan
charging 1-2 jam.

3.1.4 Peledakan (blasting)


Pekerjaan peledakan adalah pekerjaan melepas dan memecah batuan
dengan menggunakan bahan peledak sehingga didapatkan bentuk yang
diinginkan dengan ukuran material yang mudah diangkut dan dibuang
dengan peralatan yang tersedia.

Pekerjaan ini dilakukan oleh ahli

blasting yang disebut dengan istilah Master Blasting dengan dibantu


oleh beberapa orang anggotanya yang disebut Helper.
38

Bahan peledak yang digunakan adalah power gel yang diberi


aksesoris berupa kabel non-electric (nonel) dan detonating-cord. Nonel
dan detonating-cord dirangkai untuk disambungkan ke blasting
machine. Sebelumnya kekuatan seluruh rangkaian di tes oleh ohm meter
agar kekuatannya tidak melebihi kapasitas blasting machine. Selain
diberi power gel, lubang ledak pun diberi stemming yaitu pasir yang
dipadatkan dan dimasukan ke dalam kantung plastik yang berfungsi
sebagai bantalan bahan peledak.

Gambar 3.5 Keadaan terowong sesaat setelah peledakan


3.1.5 Ventilasi (ventilating)
Ventilating adalah penghembusan udara segar dari blower. Hal ini
dilakukan untuk membersihkan udara dalam terowong dari asap-asap
atau gas-gas yang timbul karena peledakan. Pemberian udara segar ke
dalam terowong bertujuan agar pekerja tidak kekurangan oksigen atau
udara bersih mengingat di dalam terowong memungkinkan adanya gasgas beracun yang berbahaya bagi kesehatan pekerja. Semakin dalam
terowong yang telah digali maka semakin banyak pula udara yang
dibutuhkan oleh para pekerja maka semakin besar pula kapasitas blower
yang harus digunakan.
39

Gambar 3.6 Ventilasi blower yang disalurkan ke dalam terowong.


3.1.6 Pembersihan (scalling)
Setelah selesai kegiatan ventilating proses selanjutnya adalah
pekerjaan scalling. Scalling adalah kegiatan yang bertujuan untuk
membersihkan face tunnel dari bebatuan atau sisa-sisa dari bebatuan
labil yang berpotensi jatuh akibat proses blasting, untuk membentuk
penampang face tunnel sesuai dengan detail desain dan untuk mencegah
adanya reruntuhan batuan yang dapat membahayakan keselamatan
pekerja.

Gambar 3.7 Proses pembersihan pada atap terowong setelah peledakan


40

3.1.7 Pembuangan Material Hasil Ledakan (mucking)


Mucking adalah pengangkutan material keluar adalah kegiatan
yang harus dikerjakan pada setiap pekerjaan tunnel excavation. Fungsi
dari pekerjaan ini adalah untuk mengangkut material hasil dari Blasting
dengan bantuan alat berat yaitu Excavator, wheel loader dan Dump
Truck.
Tabel 3.1 Tabel Alat Berat.
Alat Berat

Tipe

Jumlah

Excavator

Komatsu Pc 50uu

Excavator

Komatsu PC200

Wheel Loader

Caterpillar 910

Dump Truck

Gambar 3.8 Skema dan gambar proses mucking

41

3.1.8 Beton Tembak (shotcreting)


Shotcrete adalah pekerjaan penyemprotan pada dinding galian yang
berupa campuran yang proporsional antara portland cement, agregat
baik kasar maupun halus, air dan zat admixture, yang ditempatkan
dengan menggunakan udara bertekanan melalui spray nozzle, sehingga
terbentuk beton yang keras. Kemudian dilakukan pemasangan
wiremesh, yaitu jala kawat berukuran 10 x 10 cm diameter 1.2 mm
yang berfungsi sebagai sistem penyangga sementara.
Shotcrete Second Layer dilakukan setelah rock bolt, wire mesh dan
steel rib frame terpasang. Shotcrete Second Layer berfungsi untuk
melapisi terowong sebelum di concrete lining. Tebalnya sekitar 5 cm.

Gambar 3.9 Proses pencampuran bahan shotcret

Gambar 3.10 Proses shotcreting pada pekerjaan diversion tunnel


42

Dalam pembuatan adukan untuk shotcrete ada dua syarat yang


saling berlawanan, dan harus dipenuhi, yaitu kemampuan ditembakkan
(shootability), dan kemampuan dipompa (pumpability). Shootability
adalah kemampuan adukan untuk menempel pada permukaan hingga
ketebalan tertentu, dan

tidak mengelupas. Pumpability adalah

kemampuan adukan untuk mengalir seperti cairan, sehingga mudah


dipompa. Untuk memenuhi syarat shootability, adukan yang ideal
adalah adukan dengan kekentalan tinggi, sedangkan untuk pumpability
membutuhkan adukan yang berkemampuan alir baik, dan kekentalan
rendah. U ntuk menghasilkan shotcrete yang sempurna jarak antara face
tunnel dan nozzle adalah 11,5 m. Dalam pekerjaan Shotcrete yang
digunakan adalah shotcrete tipe kering (dry).
Kualitas dan keawetan shotcrete bergantung pada dua faktor,
yaitu kadar semen dalam adukan dan kepadatan dinding. Shotcrete
dengan kadar semen tinggi umumnya berkisar antara 350-410 kg
semen per m3, jumlah kadar semen harus disesuaikan untuk
memenuhi syarat shootability, dan pumpability.
Fungsi shotcrete antara lain adalah :
1. Sebagai konstruksi penyangga sementara terowong sebelum
di lining concrete.
2. Untuk mencegah loosening (jatuhnya batuan di dinding
terowong setelah blasting).
3. Untuk mentransformasikan batu yang kurang bagus atau
keras menjadi batuan keras (self-supporting arch).
4. Melindungi terhadap kerapuhan batu akibat perubahan suhu
atau cuaca.

43

3.1.9 Pemasangan Rock Bolt dan Steel Support


Pemasangan Rock Bolt adalah pekerjaan yang bertujuan untuk
merapatkan formasi batuan yang diprediksi masih saling terpisah pada
dinding terowong tekan dan untuk memperkuat koneksi antara lapisan
beton dengan batuan dinding di dalam terowong, dengan memasukan
besi besi baja ulir diameter 25 mm dengan panjang 3 m ke dalam
dinding terowong yang telah di bor. Pekerjaan ini dilakukan setelah
shotcrete lapis pertama.
Untuk perekat antara batuan dan baja ulir digunakan sica-rocon.
Penggunaanya yaitu dengan cara merendam sica-rocon terlebih dahulu
di dalam air lalu dimasukan ke dalam lubang yang akan dipasangi rock
bolt dengan menggunakan stick yang terbuat dari pipa. Pada proyek
diversion tunnel ini digunakan sica-rocon untuk 3 m isian 5 catridge,
jumlah tersebut diperoleh berdasarkan hasil trial yang telah dilakukan
sebelum pekerjaan terowong dimulai.
Steel Rib adalah pemasangan besi baja yang digunakan sebagai
sistem penyangga pada galian. Bentuk dan ukuran dari steel support
bervariasi tergantung dari penggunaannya dan jarak antar steel support
yang berbeda, tergantung dari kondisi batuan.

Gambar 3.11 Proses pemasangan steel support


44

Besi D13

Gambar 3.12 Komponen steel support dan rock bolt yang telah
terpasang
Untuk mengunci steel support agar tidak terjadi pergeseran tempat
digunakan feet lock yang berbentuk huruf L dengan panjang 1 meter
dan bengkokan di ujungnya yang berukuran 8 cm, selain itu untuk
menyambungkan steel support satu dengan steel support yang lainnya
digunakan steel connector yang terbuat dari baja dengan diameter 25
mm dan panjang yang disesuaikan dengan jarak antar steel support itu
sendiri dimana pada proyek terowongan ini jaraknya adalah per 1
meter.
3.2 Evaluasi Sistem Penyangga Terowong
3.2.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data lapangan dilakukan pada lokasi outlet kurang
lebih pada kedalaman 20 sampai 60 meter terowong pengelak proyek
Waduk Bendo, Ponorogo. Metode pengumpulan data terdiri atas
3(tiga) tahap yaitu: pemetaan bidang diskontinu dengan cara scanline.
Kedua melakukan pengamatan langsung secara visual pada

muka

45

terowong dan ketiga mengumpulkan data pustaka terkait survey


pendahuluan proyek waduk Bendo.
Semua metoda ini dilakukan untuk mendapatkan parameterparameter yang diperlukan untuk menghitung karakteristik massa
batuan berdasarkan metoda RMR dan Q. Berikut penjabaran dari
parameter yang dinilai:
a. Penentuan nilai Uniaxial Compressive Strength (UCS)
Nilai UCS sementara didapatkan dari estimasi nilai kuat tekan
batuan utuh di lapangan dengan menggunakan palu geologi. Dari
karakteristik batuan breksi andesit yang diuji, menunjukan sifat
bahwa sampel atau specimen membutuhkan lebih dari satu pukulan
palu geologi untuk membuat rekahan. Dari estimasi ini diperkirakan
batuan uji memiliki nilai UCS sebesar 50-100 MPa dengan kelas
Strong masuk dalam grade R4 (menurut tabel estimasi nilai kuat
tekan batuan utuh di lapangan, Bienawski (1976)). Keakuratan nilai
kuat tekan sebenarnya didapatkan dari uji strenght di laboratorium,
namun, keterbatasan waktu kerja praktek menyebabkan sampel yang
sudah sempat diambil dan dibentuk kubus dengan sisi 17x17x17cm
belum sempat diuji.

Gambar 3.13 Sampel batuan siap uji dan contoh uji kuat tekan
batuan
46

b. Nilai Rock Quality Designation (RQD)


Nilai RQD didapatkan dari data lubang bor milik PT. Indra
Karya selaku konsultan penyelidikan proyek waduk Bendo,
Ponorogo. Data lubang bor yang paling mendekati dan dianggap
merepresentasikan sifat batuan di daerah penelitian adalah B-13 dan
B-11 (lampiran 3). Dari kedua logbor tersebut didapatkan rata-rata
nilai RQD (B-11 77% dan B-13 64%) sebesar 70%.
c. Identifikasi spasi bidang kekar (Joint spacing)
Identifikasi jarak bidang kekar menggunakan metode scanline.
Data-data kekar yang diukur adalah parameter-parameter yang dapat
digunakan untuk menghitung klasifikasi massa batuan berdasarkan
metoda RMR, yaitu :
1. Arah dan kemiringan kekar
2. Jarak antar kekar
3. Type isian (Filling) kekar dan ketebalan atau separation
4. Panjang kekar (Joint Length), Kekasaran (Roughness)
5. Tingkat Pelapukan (Weathering)
Metode scanline dilakukan dengan cara membentangkan tali
meteran dengan panjang dan arah bebas sepanjang singkapan batuan
dalam hal ini sepanjang muka terowong. Pengukuran yang dilakukan
adalah mengukur arah dan kemiringan muka terowong, arah,
panjang dan sudut dari bentangan tali, serta pengukuran arah dan
kemiringan dari kekar yang ditemukan sepanjang bentangan tali.
Kemudian, dilakukan identifikasi dari kekar yang memiliki orientasi
arah dengan set yang sama. Pada pengukuran ini, scanline
dilakukan pada posisi kedalaman 40-50 meter muka terowong
sebelah kiri dari arah outlet dengan panjang bentangan 10 meter ke
arah N 1100 E dan kemiringan 20. Arah muka terowong yaitu N 1100
E dengan sudut kemiringan 900. Diketahui jarak sebenarnya rata-rata
kekar adalah 1,13 meter.
47

Gambar 3.14 Pengukuran jarak antar kekar dengan metode scanline


Data pengukuran ditunjukan pada tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2 Data pengukuran scanline
n
(d

180
)

n
(90
d)

355

25

4.3

330

12

-0.56972

4.3

1.2

359

15

-0.55598

110

0.6

350

15

-0.40641

110

1.8

325

-0.66295

Kekar
No.

d
()

d
()

s
()

s
()

175

65

110

150

78

110

179

75

110

170

75

145

88

Jarak
Kekar
(m)

Cos

Ji -m
(m)

i-m
dari

d(im)
(m)

dxw
(m)

JARAK
(METER
KE)

STRIKE
JOINT

ke
85

1.2

2.449814

60

5.5

1.2

0.667173

89

6.7

0.6

0.243848

80

7.3

1.8

1.193303

55

9.1

1.138534

d. Identifikasi bidang diskontinu


Selain mengukur jarak kekar pada saat melakukan scanline,
kondisi dari kekar juga diamati. Kondisi yang teramati pada daerah
pengukuran yaitu: panjang kekar berkisar antara 2-10 meter, jarak
bukaan atau separation sekitar 0,1 1 milimeter, kekasaran masuk
katagori slightly rough, tipe isian dari kekar masuk kelas hard filling
<5mm (klasifikasi RMR), serta kondisi pelapukan adalah slightly
weathered.
48

Gambar 3.15 Kondisi bidang diskontinu


e. Identifikasi kondisi air tanah
Kondisi air tanah didalam terowong diidentifikasi secara umum
dengan melihat kondisi bidang kekar, dinding atau muka, dan atap
terowong. Dari pengamatan diketahui secara umum kondisi
terowong dalam keadaan kering walaupun pada saat hujan. Namun,
setempat di kedalaman 24 meter dan 55 meter dari arah outlet
terdapat tetesan air yang menetes diantara kekar dibagian atap
terowong. Kondisi ini sementara dapat diatasi setelah dilakukan
shotcrete. Keadaan pada dinding terowong termasuk pada bidang
kekar secara umum kering.
Namun pada

bagian lantai atau dasar terowong terdapat

genangan air dengan kondisi pecahan batuan yang akan di mucking


basah atau lembab. Hal ini diakibatkan oleh proses pengeboran yang
menggunakan air sebagai media pendingin alat bor disamping
kondisi drainase yang relatif buruk akibat kontur lantai terowong
yang sementara cekung.

49

Gambar 3.16 Kondisi air tanah yang merembes dari atap terowong
(lingkaran merah)
3.2.2 Klasifikasi Sistem RMR
Klasifikasi menggunakan Rock Mass Rating System atau RMR
(Bieniawski,1989) didasarkan pada 5 parameter yang dimasukan
kedalam rating tertentu kemudian dijumlahkan sehingga diketahui
rating total yang menunjukan kelas massa batuan. Kelima parameter
RMR telah dijelaskan pada sub bab 3.1.1 sehingga pengklasifikasianya
sebagai berikut:
a. Parameter Strength of Intact Rock Material berupa nilai
Uniaxial Compressive Strength (UCS) sebesar 50-100 MPa
(berdasarkan estimasi nilai kuat tekan batuan utuh di lapangan)
memiliki rating 9.
b. Parameter Drill Core Quality atau RQD sebesar 70% memiliki
rating 18.
c. Parameter Spacing of Discontinuities sebesar 1.13 meter
memiliki rating 15.
d. Parameter Condition of Discontinuities dengan keadaan kekar:
kekasaran slightly rought, separation atau bukaan kekar <1mm,
dan kondisi pelapukan slightly weathered, memiliki rating 24.

50

e. Parameter Ground Water Condition dengan keadaan umum


terowong kering namun setempat ditemukan tetesan air pada
bidang kekar bagian atap memiliki rating 13.

Dari kelima parameter tersebut, rating total yang didapatkan adalah


9+18+15+24+13=79. Pada klasifikasi RMR (Bieniawski,1989), total
rating 79 masuk dalam klasifikasi kelas massa batuan kelas II atau
Good Rock.
3.2.3 Rekomendasi Sistem Penyangga
Dari identifikasi kelas massa batuan menggunakan klasifikasi Rock
Mass Rating (RMR) (Bieniawski,1989), diketahui bahwa kelas batuan
pada litologi breksi andesit di lokasi pembangunan terowong pengelak
waduk Bendo, Ponorogo adalah Good Rock (kelas II).
Dari keterangan ini dapat direkomendaasikan petunjuk penggalian
dan penyangga terowong berdasarkan tabel 4.3 bahwa kegiatan
ekskavasi atau penggalian dapat dilakukan secara full face, dengan
penyanggaan penuh hingga kedalaman 20m dari muka terowong.
Rekomendasi penggunaan rock bolt diameter 20 mm full grouted
dengan panjang 3 meter spasi 2.5 meter. Pemasangan wiremesh
dilakukan secara setempat apabila dibutuhkan dengan ketebalan
shotcrete yang direkomendasikan setebal 5 centimeter. Pemasangan
steel support tidak terlalu direkomendasikan pada kelas batuan ini.
Tabel 3.3 Rekomendasi penggalian dan sistem penyangga terowongan pada
klasifikasi RMR (Bieniawski,1989)
Rock mass
Rock bolts (20 mm
Excavation
Shotcrete
Steel sets
class
diameter, fully grouted)
I Very good
Full face, 3 m
rock RMR:
Generally no support required except spot bolting
advance
81-100
II Good
Full face, 1 1.5 m
Locally, bolts in crown 3 50 mm in
rock RMR: 61 advance. Complete
m long, spaced 2.5 m with crown where
None
80
support 20 m from face. occasional wire mesh.
requid.

51

III Fair rock


RMR: 41 - 60

IV Poor
rock RMR: 21
40

V Very poor
rock RMR: <
20

Top heading and


bench 1.5 3 m
advance in top
heading. Commerce
after each blast.
Complete support
10 m from face.
Top heading and
bench 1.0 1.5 m
advance in top
heading. Install
support
concurrently with
excvation, 10 m
from face.
Multiple drifts 0.5
1.5 m advance in
top heading. Install
support
concurrently with
excvation.
Shotcrete as soon as
possible after
blasing.

Systematic bolts 4 m
long spaced 1.5 2 m in
crown and walls with
wire mesh in crown.

50 100 mm
in rown and
30 mm in
sides.

None

Systematic bolts 4 5 m
long spaced 1 1.5 m in
crown and walls with
wire mesh in crown.

100 150 mm
in crown and
100 mm in
sides.

Light to
medium ribs
spaced 1.5
m where
required

140 200 mm
in crown, 150
mm in sedes,
and 50 mm on
face.

Mdium to
heavy ribs
spaced 0.75
m with steel
lagging and
forepoling if
reguired.
Closed
invert.

Systematic bolts 5 - 6 m
long spaced 1 1.5 m in
crown and walls with
wire mesh in crown. Bolt
invert

Tabel 3.3 Rekomendasi penggalian dan sistem penyangga terowongan pada


klasifikasi RMR (Bieniawski,1989) (lanjutan)

52

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Hasil dari pemaparan laporan kerja praktek yang dilaksanakan di
pelaksanaan konstruksi terowong pengelak pada proyek pembangunan waduk
Bendo, Ponorogo, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi geologi daerah pembangunan waduk Bendo terdiri dari 2
formasi, yaitu Formasi Wuni dan Morfoset Argokalangan dengan
litologi breksi gunung api, tuf, dan aglomerat lava andesit.
2. Kelas massa batuan breksi andesit pada lokasi pembangunan
terowong pengelak masuk pada kelas II atau Good Rock menurut
klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski,1989).
3. Rekomendasi sistem penyangga terowong menurut tabel rekomendasi
penyangga (Bieniawski,1989) antara lain penggunaan rock bolt
diameter 20 mm full grouted dengan panjang 3 meter spasi 2.5 meter.
Pemasangan wiremesh dilakukan secara setempat apabila dibutuhkan
dengan ketebalan shotcrete ketebalan 5 cm. Sedangkan untuk
pemasangan steel support tidak terlalu direkomendasikan, tetapi demi
keamanan pekerja, pemasangan steel support tetap dilaksanakan.
4.2 SARAN
1. Menggunakan

klasifikasi

massa

batuan

yang

lain

sebagai

pembanding terhadap hasil rekomendasi sehingga akan lebih


obyektif dan aktual terhadap rencana pelaksanaan.
2.

Melakukan uji kuat tekan terhadap variasi sampel batuan yang ada
pada lokasi pembangunan terowong pengelak.

53

DAFTAR PUSTAKA
Barton, N., R. Lien and J. Lunde. 1970. Using The Q System. Rock Mass
Classification and Support Design. Oslo: NGI (Norwegian Geotechnical
Institute)
Brady, B, H. dan Brown, E, T. 1993. Rock Mechanics, 1st edition, New York:
Kluwer Academic. hal 347-368 n
Cameron, Don. 2009. Rock Bolting. Presentasi Power Point. slide 1-9
Deere, D.U. 1963. Thecnical Desciption of Rock Cores for Engineering Purposes.
Felsmechanic und Ingenieurgeologie 1: 16-22
Hartman, H, L. dan Mutmansky, M. 1987. Introductory Mining Engineering: New
Delhi. hal 20-135
Hoek, E., Kaiser, P, K., dan Bawden, W, F. 1993. Support of Underground
Excavation in Hard Rock. Mining Research Directorate and Universities
Research Incentive Fund. hal 20-24
Itasca. 2001. JKRMC (Julius Kruttschnitt Mineral Research Center). Versi 1.0.
Itasca Consulting Group, Inc: Minneapolis, USA. hal 10-54
Palmstrom, A. 2005. Measurments of and Correlations between Block Size and
Rock Quality Designation (RQD). Tunnels and Underground Space
Technology 20 (4): 362-377
PT. Indra Karya. 2004. Laporan Penunjang Geologi: Detiled Design Bendungan
Bendo.

54

Anda mungkin juga menyukai