Anda di halaman 1dari 334

KRITIK KARYA

FEMINIS
Teori dan Aplikasinya
dalam Sastra Indonesia

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

KRITIK KARYA
FEMINIS
Teori dan Aplikasinya
dalam Sastra Indonesia

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

KRITIK SASTRA FEMINIS:


Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia
CopyrightDra. Wiyatmi, M.Hum., 2012

Diterbitkan oleh Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2012


Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292
Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: redaksiombak@yahoo.co.id
website: www.penerbitombak.com
facebook: Penerbit Ombak Dua

PO.***.06.12

Penulis: Dra. Wiyatmi, M.Hum.


Penyunting: Aditya Pratama
Tata letak: Nanjar Tri Mukti
Sampul: Dian Qamajaya

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


KRITIK SASTRA FEMINIS:
Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012
** + *** hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-7544-**-*

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
GLOSARIUM
BAB I PENGERTIAN KRITIK SASTRA FEMINIS

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Kritik Sastra
3. Kritik Sastra Feminis
4. Ragam Kritik sastra Feminis

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB II KONSEP-KONSEP DASAR KRITIK SASTRA FEMINIS

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Feminisme
3. Perkembangan dan Ragam Feminisme

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB III PENERAPAN KRITIK SASTRA FEMINIS TERHADAP NOVELNOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran
v

vi

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Penerapan Kritik Sastra Feminis terhadap Novel-novel
Indonesia

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB IV KEHADIRAN NOVELIS PEREMPUAN DALAM SASTRA
INDONESIA TAHUN 2000-AN: DEKONSTRUKSI TERHADAP
PENCARIAN IDENTITAS

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Novelis Perempuan Periode 2000-an: Dekonstruksi
terhadap Sejarah Sastra Indonesia yang Patriarkis

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB V KONSTRUKSI GENDER DALAM NOVEL GENI JORA KARYA
ABIDAH EL-KHALIEQY

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB VI SUARA PEREMPUAN URBAN DALAM CERPEN-CERPEN
DJENAR MAESA AYU

Tujuan Pembelajaran

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

vii

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Suara Perempuan Urban
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas
BAB VII KETIKA PARA PENGARANG PEREMPUAN BICARA TENTANG
SEKS DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA MUTAKHIR

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Konsep Seks dan Karya-karya Sastra Bernuansa Seks
3. Fenomena Seks dalam Karya Para Pengarang Perempuan
4. Metafora Seksualitas dalam Novel Indonesia
5. Relasi Perempuan dengan laki-laki
6. Aliran Feminisme yang Melatarbelakanginya

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB VIII KETIKA PARA SASTRAWAN PEREMPUAN BICARA
POLIGAMI DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Poligami
3. Sastra, Realitas, dan Pandangan Dunia Pengarang
4. Poligami dalam Perspektif Sastrawan Perempuan
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas

viii

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

BAB IX FEMINISME ISLAM DAN DUNIA KETIGA: RELEVANSINYA


DENGAN KAJIAN NOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Feminisme Islam
3. Feminisme

Dunia

Ketiga/Feminisme

Poskolonial/

Feminisme Multikultural
4. Isu Gender dalam Novel Geni Jora dalam Perspektif
Feminisme Islam
5. Isu Gender dalam Novel Salah Asuhan dalam Perspektif
Feminisme Dunia Ketiga

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB X KETIKA PEREMPUAN BERJUANG MELALUI ORGANISASI
SOSIAL: REFLEKSI DALAM BEBERAPA NOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Ketika Perempuan Berjuang Melalui Organisasi Sosial
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas
BAB XI KAUM PEREMPUAN PUN MENJADI PELAKU BISNIS DALAM
NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

ix

2. Perempuan sebagai Pelaku Bisnis dalam Novel Canting


Karya Arswendo Atmowiloto

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB XII PERLAWANAN TERHADAP TRADISI KAWIN PAKSA DALAM
NOVEL-NOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Perlawanan terhadap Kawin Paksa dalam Novel-novel
Indonesia

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB XIII PERLAWANAN TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Perlawanan terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam Novel-novel Indonesia

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB XIV PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN DI BIDANG
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL DALAM
NOVEL NAMAKU TEWERAUT KARYA ANI SEKARNINGSIH

Tujuan Pembelajaran

A. Materi Pembelajaran

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

1. Pengantar
2. Perjuangan Perempuan di Bidang Pendidikan di Daerah
Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut
3. Perjuangan Perempuan di Bidang Kesehatan di Daerah
4. Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut

Rangkuman

B. Latihan dan Tugas


BAB XV KETIKA AYU UTAMI DAN ABIDAH EL KHALIEQY
MEMPERSOALKAN POSISI PEREMPUAN DALAM NOVEL
INDONESIA
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Ayu Utami dan Abidah El Khalieqy dalam Peta Sastra
Indonesia
3. Mempersoalkan Posisi Perempuan sebagai Second Sex
dalam Saman dan Geni Jora

Rangkuman

B.Latihan dan Tugas


DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
TENTANG PENULIS

GLOSARIUM

Apresiasi:

penghargaan.

Dalam

konteks

sastra,

berarti

penghargaan terhadap karya sastra, yang terwujud dalam


tanggapan, penilaian, maupun penciptaan karya sastra baru
berdasarkan karya sastra sebelumnya.
Booming: meledak seperti boom. Digunakan untuk menyebut
suatu hal yang dengan tiba-tiba menjadi terkenal atau banyak
yang mengikuti.
Dekonstruksi: cara dan sikap dalam memahami suatu fenomena
yang melawan atau menentang kebiasaan, norma atau nilai
yang berlaku sebelumnya.
Familialisme: ideologi yang menganggap laki-laki sebagai kepala
keluarga yang memiliki kekuasaan untuk mengatur anggota
keluarga lainnya, termasuk istri dan anak-anaknya.
Feminisme: aliran pemikiran dan gerakan sosial yang menginginkan
adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan)
dan kesetaraan gender.
Feminin: sifat-sifat

perempuan yang dianggap ideal yang

dikonstruksi oleh masyarakat.


Feminis: orang, ilmuwan, praktisi, sastrawan yang menganut
aliran pemikiran feminisme.
Gender: sifat dan identitas yang dianggap sesuai dengan jenis

xi

xii

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kelamin (perempuan dan laki-laki) yang dibentuk secara sosial


dan budaya.
Identitas: ciri-ciri yang menandai atau keadaan khusus seseorang
atau suatu komunitas.
Kawin paksa: suatu perkawinan yang terjadi akibat paksaan dari
pihak lain, biasanya dipaksakan oleh orang tuanya atau pihak
yang memiliki kekuasaan atas diri orang yang dipaksa itu.
Konstruksi: susunan atau model tentang sesuai, biasanya telah
memiliki suatu konvensi yang dirumuskan oleh masyarakat
sebelumnya.
Konstruksi gender: model hubungan dan peran dalam wilayah
domestik dan publik laki-laki dan perempuan yang secara
konvensional dirumuskan oleh masyarakat sebelumnya.
Kritik: kegiatan memberikan penilaian baik buruk terhadap suatu
hal, benda, atau keadaan.
Kritik sastra feminis: kegiatan memberikan penilaian baik buruk
terhadap suatu karya sastra dengan menggunakan perspektif
feminisme.
Mainstreaming: pengarusutamaan.
Maskulin: sifat-sifat laki-laki yang dianggap ideal yang dikonstruksi
oleh masyarakat.
Misoginis: pandangan yang cenderung

memusihi, membenci

atau memarginalkan perempuan.


Patriarkat: sistem soaial dan budaya yang memberikan kedudukan
kepada ayah (father) lebih dominan dari pada kaum
perempuan.
Poskolonial: suatu era atau periode setelah suatu negara dijajah
(dikoloni) oleh negara lain.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

xiii

Poligami: sistem perkawinan yang salah satu pihak menhawini


lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.
Ranah: wilayah
Urban: berkenaan dengan kota, perkotaan. Masyarakat urban
adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Seks: jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) yang merupakan
bawaan sejak lahir.
Seksualitas: ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks;
kehidupan seks.

KATA PENGANTAR

uji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt., yang telah


memberikan karunia rachmat dan hidayah-Nya sehingga

penulisan buku ajar ini dapat diselesaian sesuai dengan rencana.


Buku ini dirancang sebagai salah satu bahan ajar mata kuliah Kritik
Sastra, yang merupakan salah satu mata kuliah di prodi Bahasa
dan Sastra (Indonesia). Kritik sastra feminis merupakan salah satu
tipe kritik sastra yang memiliki kekhasan karena memberikan
perhatian kepada persoalan keadilan (kesetaraan) gender, yang
berhubungan dengan tokoh-tokoh (fiksi, drama, maupun puisi)
yang terdapat dalam karya maupun pengarangnya. Dalam
khazanah kritik sastra di Indonesia, kritik sastra feminis adalah tipe
kritik sastra yang relatif baru. Pembelajaran kritik sastra feminis
masuk di kurikulum pendidikan tinggi sastra baru sekitar awal
2000-an, seiring dengan munculnya perhatian para intelektual
dan pemegang kebijakan terhadap persoalan kesetaraan gender.
Terbitnya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaa Gender dalam Pembangunan Nasional yang
disusul dengan program Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam
bidang pendidikan (2004) menunjukkan adanya perhatian yang
serius dari pemerintah terhadap upaya pencapaian kesetaraan
gender di semua bidang kehidupan. Hal tersebut tentu berimbas
pada perkembangan kajian sastra yang berperspektif kesetaraan
xiv

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

xv

gender, yang lebih dikenal dengan istilah kritik sastra feminis.


Buku ini berisi uraian tentang beberapa konsep teoretik dan
contoh aplikasinya dalam sastra Indonesia. Pada bab I diuraikan
beberapa konsep teoretik yang akan membantu pamahaman tentang
kritik sastra feminis, yang meliputi: 1) pengertian kritik sastra feminis,
2) kekhasan kritik sastra feminis dalam hubungannya dengan kritik
sastra yang telah berkembang sebelumnya, 3) konsep-konsep dasar
kritik sastra feminis, yang meliputi keterkaitannya dengan berbagai
ragam aliran dan gerakan feminisme, yang berkembang di dunia,
termasuk Indonesia, dan 4) ragam kritik sastra feminis. Selanjutnya,
Bab II sampai XIV menguraikan cara kerja dan contoh aplikasi
kritik sastra feminis terhadap sejumlah karya sastra Indonesia.
Dalam aplikasi kritik sastra feminis dipilih berbagai isu gender yang
terdapat dalam karya sastra Indonesia. Pada Bab II dikritik sejumlah
novel Indonesia yang mengangkat isu citraan perlawanan simbolis
terhadap hegemoni patriarkat, terutama dalam bidang pendidikan
dan peran perempuan di ranah publik. Sebagai contoh aplikasi yang
pertama, penulisan laporan kritik sastra pada bab ini disajikan dibuat
sesuai dengan tahap-tahap penulisan laporan penelitian. Penjajian
laporan kritik sastra pada bab-bab selanjutnya, dibuat format artikel
untuk terbitan berkala. Bab III, dengan judul Kehadiran Novelis
Perempuan dalam Sastra Indonesia Tahun 2000-an: Dekonstruksi
terhadap Pencarian Identitas, merupakan contoh aplikasi kritik
sastra feminis tipe women as writer, perempuan sebagai saya. Pada
bab ini diuraikan bagaimana pada periode 2000-an para perempuan
mulai menguasai dunia penulisan karya sastra, yang pada periode
sebelumnya jumlahnya dapat dihitung dengan jari, bahkan kalau
pun ada sejumlah perempuan yang menulis karya sastra nama dan

xvi

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kualitas karyanya jarang diperhitingkan oleh para kritikus maupun


pencatat sejarah sastra.
Bab IV sampai XIV mengaplikasikan kritik sastra feminis tipe
women as reader, perempuan sebagai pembaca. Karya-karya
yang dianalisis tidak dibatasi pada karya penulis perempuan. Yang
dipentingkan dalam aplikasi ini adalah bagaimana perempuan,
yang bertindak sebagai pembaca dan pengritik sastra memberikan
analisis dan interpretasi yang sensitif pada kesetaraan gender yang
terefleksi dalam karya-karya sastra. Bab IV dengan judul Konstruksi
Gender dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El-Khalieqy, mencoba
menganalisis karya dengan menggunakan perspektif feminisme
Islam karena novel tersebut mengangkat cerita, tokoh, dan latar
masyarakat Islam dan pesantren. Bab V dengan judul Suara
Perempuan Urban dalam Cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu,
mencoba menganalisis masalah ketidakadilan gender yang dialami
para perempuan urban dalam perspektif feminisme liberal dan
psikoanalisis. Bab VI dengan judul Ketika Pengarang Perempuan
Bicara tentang Seks dalam Novel-novel Indonesia Mutakhir,
menganalisis karya dengan perspektif feminisme radikal. Bab VII
dengan judul Ketika Para Sastrawan Perempuan Bicara Poligami
dalam Novel-novel Indonesia, menganalisis sejumlah novel
Indonesia dengan perspektif feminisme liberal, radikal, dan
Islam. Bab VIII dengan judul Feminisme Islam dan Dunia Ketiga:
Relevansinya dengan Kajian Novel Indonesia, memberikan
contoh aplikasi kritik sastra feminis women as reader dengan
perspektif feminisme dunia ketiga dan Islam. Bab IX dengan judul
Ketika Perempuan Berjuang Melalui Organisasi Sosial: Refleksi
dalam Beberapa Novel Indonesia, menguraikan sejumlah novel

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

xvii

Indonesia yang menggambarkan bagaimana kaum perempuan


sejak era prakemerdekaan telah ikut berjuang dalam mencapai
kesetaraan gender dan kemerdekaan nasional melalui organisasi
soasial. Bab X dengan judul Kaum Perempuan Pun Menjadi
Pelaku Bisnis dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto,
menganalisis novel Canting yang menunjukan keberhasilan para
pengusaha perempuan mencapai kesetaraan gender dengan
menggunakan perspektif feminisme liberal. Bab XI dengan judul
Perlawanan terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Novel-novel Indonesia, menganalisis sejumlah novel Indonesia
yang melawan fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga dengan perspektif feminis liberal. Bab XIII dengan
judul Perjuangan Kaum Perempuan di Bidang Pendidikan dan
Kesehatan di Daerah Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut
Karya

Ani

Sekarningsih,

menguraikan

perjuangan

kaum

perempuan dalam upaya mencapai kesetaraan gender di bidang


pendidikan dan kesehatan di daerah pedalaman Asmat, Papua
dengan perspektif feminisme liberal. Bab XIV dengan judul Ketika
Ayu Utami dan Abidah El-Khalieqy Mempersoalankan Posisi
Perempuan dalam Novel Indonesia, menguraikan bagaimana Ayu
Utami dan Abidah el-Khalieqy mempersoalkan posisi perempuan
yang cenderung dinomorduakan dalam masyarakat. Dalam
karya Ayu Utami posisi perempuan dipahami dalam perspektif
feminisme radikal, semantara dalam karya Abidah, posisi
perempuan dipahami dalam perspektif feminisme Islam.
Sebelum menjadi buku seperti sekarang ini, telah terjadi
proses yang panjang, yang melahirkan sejumlah tulisan yang
menjadi embrio buku ini. Bab I lahir sebagai hasil pemikiran yang

xviii

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

berkembang selama saya menyusun disertasi dalam studi S3


Ilmu Sastra di Program Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah
Mada. Dengan penelitian yang berjudul Keterdidikan Perempuan
dan Peran Perempuan di Masyarakat dalam Perspektif Kritik
Sastra Feminis, maka pengertian dan konsep-konsep dasar kritik
sastra feminis merupakan hal yang harus saya kuasai. Beberapa
bab selanjutnya, yang merupakan aplikasi kritik sastra feminis
lahir dari beberapa penelitian yang saya kerjakan dalam kurun
waktu 20002012. Oleh karena itu, dengan selesainya penulisan
buku ini, saya telah berhutang budi kepada sejumlah pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan
bantuan finansial maupun pikirannya selama proses penjang
ini berlangsung. Beberapa nama yang tidak dapat saya lupakan
antara lain adalah Ibu Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Ibu Dr.
Juliasih, Ibu Wening Udasmoro, yang ketiganya adalah promotor
saya selama menempuh studi S3. Ketiga memiliki perhatian yang
sama terhadap persoalan feminisme, sehingga dapat menjadi
pembimbing dan teman diskusi yang baik. Ibu Dr. Partini dan
Ibu Dr. Siti Hariti Sastriani (almarhum), yang keduanya menjadi
penguji konprehensif saya, telah memberikan masukan yang
sangat berharga mengenai isu kesetaraan gender dan feminism
di Indonesia. Teman-teman di kampus Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta, khususnya Bapak Prof. Dr. Suminto
A. Sayuti, Siti Nurbaya, M.Hum., M. Si., Dr. Widyastuti Purbani,
Prof. Dr. Suharti, dan Dra. Nury Supriyanti, M.A., yang selalu
berperan sebagai motivator dan teman disksusi masalah gender
dan feminism dalam sejumlah penelitian yang saya kerjakan. Ibu
Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A., yang telah memberi inspirasi

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

xix

untuk mempelajari feminism Islam, Ibu Dr. Ratna Saptari dan


teman-teman diskusi gender di Sekolah pasca Sarjana UGM yang
telah memberikan semangat dan wawasan mengenai penulisan
yang menarik dan benar. Kepala Litbang DP2M Dikti yang telah
memberikan hibah penulisan buku ini dan Bapak Prof. Dr. Liliek
Sofyan Achmad, selaku pendamping penulisan hibah buku ajar
DP2M Dikti yang telah memberikan masukan dan motivasi
agar buku ini segera diselesaikan dan diterbitkan. Kepala
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Negeri Yogyakarta dan staf (khususnya Bapak Kardi) yang telah
mengoordinir program hibah penulisan buku ajar DP2M Dikti.
Kepada mereka semua saya telah berhutang budi dan tak mampu
memberikan balasan yang setara, selain ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setulus-tulusnya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada, Dr. Pujiharto
(suami), Annisa Nur Harwiningtyas dan Bintang Arya Sena (anakanak) yang telah memberikan pengertian dan motivasinya
sehingga saya dapat melaksanakan proses penulisan buku ini.
Sebagai tahap awal penulisan, buku ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan masukan yang bersifat
membangun sangat saya harapkan demi penyempurnaan tulisan
ini, yang semoga di masa yang akan datang dapat menjadi buku
ajar yang lebih berkualitas.
Yogyakarta, Maret 2012
Dra. Wiyatmi, M.Hum.

BAB I
KRITIK SASTRA FEMINIS

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1. Pengertian kritik sastra.
2. Pengertian kritik sastra feminis.
3. Konsep-konsep dasar feminisme
4. Perkembangan dan ragam feminisme
5. Ragam kritik sastra feminis.

B. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Kritik Sastra

ritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra


yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam mengin

terpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra.


Sebelum memahami lebih lanjut bagaimana karakteristik kri
tik sastra feminis, sebelumnya perlu diuraikan pengertian kritik
sastra, khususnya dalam kerangka keilmuan sastra.

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dalam pengertian sehari-hari kata kritik diartikan sebagai


penilaian terhadap suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Secara etimologis kritik berasal dari kata krites (bahasa Yunani)
yang berarti hakim. Kata kerjanya adalah krinein (menghakimi).
Kata tersebut juga merupakan pangkal dari kata benda criterion
(dasar penghakiman). Dari kata tersebut kemudian muncul kri
tikos untuk menyebut hakim karya sastra (Wellek, 1978; Pradopo,
1997). Istilah dan pengertian kritik selalu berkembang sepanjang
sejarahnya. Pada zaman Renaisance di samping ada istilah kritikus
juga ada gramatikus dan filolog yang digunakan secara bertukartukar untuk menyebut seorang ahli yang mempunyai perhatian
besar terhadap penghidupan kembali kekunaan. Dalam hal ini
kritikus dan kritik dikhususkan terbatas pada penyelidikan dan
koreksi teks-teks kuna (Wellek,1978).
Selanjutnya, menurut Wellek (1978) kritik sastra mengalami
perkembangan sebagai berikut. Pada abad ke-17 di Eropa dan
Inggris kritik sastra meluas artinya, yaitu meliputi semua sistem
teori sastra dan kritik praktik. Di samping itu, seringkali juga meng
ganti istilah poetika. Sementara itu, di Jerman pengertian kritik
sastra menyempit menjadi timbangan sehari-hari dan pendapat
sastra mana suka. Kemudian istilah kritik sastra diganti dengan
asthetik dan literaturewissenschaft yang memasukkan
poetika dan sejarah sastra. Selanjutnya, istilah kritik sastra baru
diperkokoh di negara-negara berbahasa Inggris pada abad ke-20
dengan terbitnya buku Principles of Literary Criticsm (1924) karya
I.A. Richards (Wellek, 1978).
Selanjutnya Wellek (1978) juga mengemukakan bah
wa kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

penekanan pada penilaiannya. Pendapat tersebut pada senada


dengan pendapat Abrams (1981) dan Pardopo (1994) mengenai
kritik sastra. Abrams (1981) menyatakan bahwa kritik sastra
adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, peng
kelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra. Pradopo
(1994) menyatakan bahwa kritik sastra adalah ilmu sastra untuk
menghakimi karya sastra, untuk memberikan penilaian, dan
memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra
yang sedang dihadapi kritukus.
Meskipun ada perbedaan di antara masing-masing pengertian
tersebut, tetapi secara substansial pengertian-pengertian terse
but memiliki kesamaan maksud. Dapat dikatakan bahwa semua
pengertian tersebut diderivasikan (diturunkan) dari pengertian
etimologisnya, yaitu berkaitan dengan tindakan menghakimi
(menilai baik buruk atau bermutu seni tidaknya) karya sastra. Yang
perlu kita perhatikan, dalam konteks sastra Indonesia, pengertian
kritik sastra baru dikenal sejak 1920-an dan lebih mengacu pada
pengertian yang dikemukakan H.B.Jassin, yang pernah mengajar di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mendirikan majalah sastra
Horison, dan menulis kritik sastra terhadap karya-karya sastra
yang terbit pada periode 1960 sampai 1970-an. Bahkan, Jassin
sering dianggap sebagai tokoh kritikus utama pada zamannya,
ketika kritikus sastra belum sebanyak sekarang (Pradopo, 1994).
Beberapa batasan pengertian kritik sastra tersebut menun
jukkan kepada kita bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang
studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra de
ngan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan
penilaian (evaluasi). Hal ini berarti, dalam melakukan kritik sastra,

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kita akan melewati ketiga tahapan tersebut. Untuk memberikan


kritik terhadap sebuah karya sastra, misalnya novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata yang cukup populer pada pertengahan 2000an, misalnya, kita juga akan melewati tahap-tahap tersebut.
Adapun perbedaan ketiga tahapan kritik sastra tersebut
adalah sebagai berikut. Interpretasi adalah upaya memahami karya
sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya
sastra itu. Dalam artinya yang sempit, interpretasi adalah usaha
untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrasa,
dan komentar. Interpretasi dipusatkan terutama pada kegelapan,
ambiguitas, dan kiasan-kiasan. Dalam arti luas interpretasi adalah
menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsurnya
beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran
sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang
mendasari kelahirannya (Abrams, 1981; Pradopo, 1982).
Analisis adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian
atau norma-normanya (Pradopo, 1982). Dalam hal ini karya
sastra merupakan sebuah struktur yang rumit (Hawkes, 1978),
dan dengan dilakukan analisis, karya sastra yang kompleks dan
rumit dapat dipahami. Kita akan lebih mudah memahami novel
Sitti Nurbaya, misalnya setelah menganalisis unsur-unsur yang
membangun novel tersebut. Hal ini karena, dengan menganalisis
unsur alur cerita, tokoh-tokoh dan perwatakannya, latar, tema,
judul, sudut pandang cerita, serta bahasa yang digunakan berarti
kita telah masuk ke dalam tubuh karya sastra itu dan melakukan
pemahaman terhadapnya.
Selanjutnya, penilaian adalah usaha menentukan kadar kein
dahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Penentuan nilai

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

suatu karya sastra tidak dapat dilakukan secara semena-mena,


tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya
yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan
yang digunakan.
Dengan mengetahui nilai karya sastra, maka kita dapat
memilah-milahkan mana karya sastra yang bernilai dan mana yang
tidak, juga mana yang bermutu tinggi dan mana yang bermutu
rendah. Yang perlu kita catat adalah bahwa dalam menilai suatu
karya sastra kita dituntut mensikapi secara objektif dengan disertai
alasan-alasan. Artinya, penentuan nilai haruslah mendasarkan
pada data-data yang ada. Dalam konteks kritik sastra, suatu karya
sastra dinilai baik atau buruk haruslah berdasarkan data-data yang
ada dalam karya sastra yang kita nilai.
Ketika kita mengritik sebuah karya sastra, maka ketiga
aktivitas itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan melakukan in
terpretasi dan analisis terhadap karya sastra, maka kita akan dapat
melakukan penilaian secara tepat. Demikian pula, analisis tanpa
dihubungkan dengan penilaian akan mengurangi kualitas analisis
yang kita lakukan (Pradopo, 1982).
Di samping kata kritik sastra, juga dikenal adanya istilah apresiasi
sastra dan penelitian (kajian) sastra. Kedua aktivitas itu juga ber
hubungan secara langsung dengan karya sastra dan menjadikan
karya sastra sebagai objeknya. Samakah ketiga pengertian tersebut?
Kalau berbeda, di manakah letak perbedaannya?
Apresiasi

(apreciation)

berasal

dari

bahasa

Inggris,

appreciation, yang berarti penghargaan. Apresiasi sastra


berarti penghargaan terhadap karya sastra. Seperti halnya kritik

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

sastra, apresiasi sastra juga berobjek karya sastra. Bedanya, melalui


penilaian terhadap karya sastra, kritik sastra berusaha untuk
mencari kelebihan dan kelemahan karya sastra. Sementara itu,
apresiasi sastra berusaha menerima nilai-nilai sastra sebagai sesuatu
yang benar (Hartoko dan Rahmanto, 1986), untuk selanjutnya
memberikan penghargaan kepada karya sastra. Di samping itu,
kalau kritik sastra selalu ditandai dengan aktivitas interpretasi,
analisis, dan penilaian, apresiasi sastra tidak harus melibatkan ana
lisis dan penilaian. Bahkan, kegiatan membaca dan memahami
karya sastra tanpa analisis dan penilaian sudah termasuk kegiatan
apresiasi sastra. Sebab melalui kegiatan tersebut penghargaan
seseorang terhadap karya sastra dapat ditumbuhkan.
Penelitian atau kajian sastra adalah kegiatan menyelidiki,
menganalisis, dan memahami karya sastra secara sistematis de
ngan mendasarkan kepada kerangka teori dan pendekatan ilmiah
tertentu. Tujuan penelitian atau kajian sastra adalah untuk me
mahami fenomena tertentu yang terdapat dalam karya sastra,
termasuk memahami makna karya sastra. Contoh kajian sastra
adalah memahami struktur naratif atau struktur penceritaan novel
Sitti Nurbaya atau memahami tema-tema novel Indonesia periode
tertentu (misalnya periode 1980-an). Berbeda dengan kritik sastra
yang harus menunjukkan evaluasi atau nilai baik buruk karya yang
dikritik, maka pada penelitian atau kajian sastra tidak selalu harus
diakhiri dengan penilaian. karena tujuan kajian atau penelitian
sastra memang bukan menentukan nilai baik buruk suatu karya
sastra, akan tetapi lebih pada memahami fenomena-fenomena
karya sastra secara sistematis dan mendasarkan pada kerangka
teori dan metode (pendekatan) tertentu (baca: ilmiah).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

Dalam konteks yang lebih luas, dalam khazanah sastra


dunia jika dilihat sejarahnya, jauh sebelum dikenal istilah kritik
sastra, kegiatan kritik sastra sudah sangat tua umurnya. Praktik
kritik sastra sudah ada sejak kurang lebih 500 tahun sebelum
masehi, ketika Xenophanes dan Heraclitus mengecam karyakarya Homeros yang menceritakan cerita-cerita tidak senonoh
dan bohong tentang dewa-dewi (Hardjana, 1984). Pada saat ini
karya sastra dinilai beradasarkan ukuran moral dan hubungannya
dengan realitas, belum berdasarkan pada hakikat sastra itu sendiri
yang bersifat fiktif imajinatif.
Keadaannya juga sama dengan di Indonesia. Sebelum dikenal
istilah kritik sastra, praktik kritik sastra sudah ada sejak masa
pemerintahan Sultan Iskandar Tsani di Aceh, ketika syair-syair
Hamzah Fansuri dimusnahkan karena ajaran-ajaran mistik yang
terkandung di dalamnya dianggap berbahaya bagi masyarakat
karena bertentangan dengan ajaran Nuruddin ar-Raniri dan dinilai
membahayakan ajaran agama Islam pada umumnya (Hardjana,
1984). Hanya saja, praktik kritik sastra semacam itu belum dapat
dikatakan sebagai kritik sastra yang sesungguhnya. Apalagi
ketika itu karya sastra dihakimi dalam hubungannya dengan
kepercayaan, agama, dan mistik. Kegiatan kritik sastra yang se
sungguhnya baru timbul setelah bangsa Indonesia mendapatkan
pendidikan sistem Barat (Hardjana, 1984). Setelah itu ketika
berhadapan dengan karya sastra, orang mulai bertanya-tanya apa
hakikat sastra, di mana makna dan nilai sastra, serta bagaimana
cara mencari dan menentukan nilai karya sastra. Selanjutnya,
walaupun saat itu belum dikenal istilah kritik sastra, tradisi ter
sebut mulai berkembang pada masa Pujangga Baru, yaitu pada

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

1930-an. Beberapa tulisan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn


Pane, H.B. Jassin, Karim Halim, L.K. Bohang yang dimuat dalam
majalah Pujangga Baru dapat dikatakan sebagai hasil kritik sastra.
Di samping itu, kritik yang dikemukakan sejumlah sastrawan dan
pembaca terhadap novel Belenggu yang dimuat dalam majalah
Pujangga Baru 6 Desember 1940 serta 7 Januari 1941, juga karya
Jassin, Pujangga Baru Prosa dan Puisi juga menunjukkan adanya
praktik kritik sastra di Indonesia (Hardjana, 1984).
Yang perlu kita ketahui, walaupun praktik kritik sastra di
Indonesia sudah mulai berkembang sejak masa Pujangga Baru
(1930-an), tetapi istilah kritik sastra itu sendiri baru mulai
dikenal secara nyata pada 1945, ketika H.B. Jassin menerbitkan
bukunya Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Sampai
1935 istilah kritik sastra masih dihindari karena terkesan tajam
dan merusakkan, sehingga Tatengkeng menggunakan istilah
penyelidikan dan pengakuan untuk aktivitas menilai karya sastra
(Hardjana, 1984). Bahkan sampai hari ini pun kita sering kali masih
alergi dengan kata kritik karena terkesan mencari kelemahan
dari suatu hal.
Seiring dengan perkembangan teori sastra, yang digunakan
sebagai landasan dalam mengkaji dan menilai karya sastra pada
akhirnya muncul berbagai ragam kritik sastra. Dengan mengikuti
peta pembagian dan perkembangan teori sastra yang dibuat oleh
Abrams (1981), berdasarkan orientasi dan fokus kritiknya dikenal
empat ragam kritik sastra, yaitu kritik sastra ekspresif, kritik sastra
objektif, kritik sastra, mimetik, dan kritik sastra pragmatik. Kritik
sastra ekspresif menganalisis dan menilai karya sastra dengan
berorientasi kepada pengarang selaku pencipta karya sastra.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

Keberadaan karya sastra tidak dilepaskan dari pengarang selaku


penciptanya. Hal ini karena apa yang ditulis oleh pengarang,
dianggap sebagai ekspresi dari perasaan, sikap, emosi, dan pikiran
pengarang. Dalam mengritik novel Ronggeng Dukuh Paruk,
misalnya kita harus memahaminya dalam hubungannya dengan
Ahmad Tohari, selaku pengarang. Dengan kritik ekspresif, misalnya
kita dapat menafsirkan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk yang
berlatar sosial budaya Dukuh Paruk, yang dianggap sebagai salah
satu wilayah di daerah Banyumas, Jawa Tengah mengeakpresikan
sikap dan pandangan Ahmad Tohari, yang juga berasal dari daerah
Banyumas, tentang kesenian ronggeng dan kebiasaan-kebiasaan
yang melingkungi masyarakatnya.
Kritik sastra objektif beriorientasi pada karya sastra itu
sendiri, tanpa dipahami dalam hubungannya dengan pengarang,
masyarakat yang melatarbelakanginya, serta pembaca. Analisis
dan penilaian karya sastra hanya mendasarkan pada unsurunsur intrinsik yang membangun karya tersebut. Terhadap novel
Ronggeng Dukuh Paruk, dengan kritik objektif akan dianalisis
dan dinilai alur, latar, tokoh dan pengambaran wataknya, sudut
pandang cerita yang digunakan, bahasa, dan temanya. Kekuatan
dan kelemahan novel tersebut dilihat berdasarkan unsur-unsur
pembangunnya tersebut.
Kritik sastra mimetik berorientasi pada karya sastra dalam
hubungannya dengan kenyataan atau realitas yang terjadi dalam
masyarakat. Apa yang diceritakan atau digambarkan dalam karya
sastra dianggap sebagai cermin atau refleksi dari kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Dengan mengambil contoh novel
Ronggeng Dukuh Paruk, kritik sastra mimetik akan menafsirkan

10

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

bahwa kesenian ronggeng, seperti ditarikan oleh tokoh Srintil


merefleksikan keadaan masyarakat di daerah Banyumas yang juga
mengenak kesenian tersebut. Di samping itu, peristiwa ditangkap
dan dipenjaranya tokoh Srintil setelah menari untuk propaganda
Partai Komunis Indonesia dengan latar waktu 1965 dianggap
merefleksikan realitas yang terjadi pada zamanya.
Kritik sastra pragmatik berorientasi pada pembaca karya sastra.
Melalui kritik sastra pragmatik karya sastra dianalisis dan dinilai
dalam hubungannya dengan pembacanya, misalnya bagaimana
tanggapan pembaca terhadap karya tersebut, nilai pendidikan,
moral, atau pun nasionalisme apa yang dapat diperoleh pembaca
dari karya tersebut. Dengan contoh novel Ronggeng Dukuh Paruk,
misalnya dapat dianalisis dan dinilai nilai pendidikan dan moral
bagi pembaca dari novel tersebut.
Selanjutnya, empat macam teori sastra yang dipetakan oleh
Abrams di atas juga mengalami perkembangan, dan memunculkan
teori berikutnya, misalnya sosiologi sastra, yang merupakan
perkembangan dari teori mimetik, resepsi sastra yang merupakan
perkembangan dari teori pragmatik, strukturalisme genetik
yang merupakan perkembangan dari ekspresif dan sosiologi
sastra, kritik sastra feminis yang merupakan perkembangan dari
perpaduan teori ekspresif, mimetik, dengan feminisme.
Selanjutnya, sesuai dengan tujuan awal buku ini, berikut
diuraikan kritik sastra feminis yang merupakan salah satu ragam
kritik sastra yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastrakarya sastranya. Dengan menfokuskan analisis dan penilaian pada

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

11

penulis perempuan dan bagaimana perempuan digambarkan


dalam karya sastra, dalam hubungannya dengan laki-laki dan
lingkungan masyarakatnya, maka kritik sastra feminis termasuk
kritik sastra yang memadukan berbagai perspektif kritik sastra yang
dipetakan oleh Abrams, terutama ekspresif (penulis perempuan),
mimetik (bagaimana perempuan digambarkan dalam karya
sastra, dalam hubungannya dengan laki-laki dan lingkungan
masyarakatnya), dan teori feminisme.
Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat
pada tahun 1700-an (Madsen, 2000: 1). Di awal telah dikemukakan
bahwa kritik sastra feminis Dalam paradigma perkembangan kritik
sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat
revolusioner yang ingin menumbangkan wacana yang dominan
yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarkis
(Ruthven, 1985: 6). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah
menganalisis relasi gender, hubungan antara kaum perempuan
dengann laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, yang antara lain
mengambarkan situasi ketika perempuan berada dalam dominasi
laki-laki (Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 40).
Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan adanya
penindasan terhadap perempuan yang terdapat dalam karya
sastra (Humm, 1986: 22). Humm (1986: 1415) juga menyatakan
bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra
feminis, dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik
sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali
karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat
sosiolinguistiknya, mendeskipsikan tulisan perempuan dengan

12

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya.


Kritik sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui
bukunya, Second Sex, yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics),
Betty Freidan (The Feminin Mistique), dan Germaine Greer (The
Female Eunuch) (Humm, 1986: 21).
2. Konsep-konsep Dasar Feminisme
Agar memahami kritik sastra feminis dan ragam-ragamnya,
maka terlebih dahulu perlu dipahami beberapa konsep dasar
feminisme, yang meliputi pengertian, perkembangan, dan ragam
feminisme. Hal ini karena kemunculan kritik sastra feminis berhu
bungan erat dengan muncul dan berkembangnya pemikiran dan
gerakan feminisme di masyarakat. Tanpa ada kemunculan pemikiran
dan gerakan feminisme, tidak mungkin muncul kritik sastra feminis.
a. Pengertian Feminisme
Kata feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut
Humm (2007: 157158) feminisme menggabungkan doktrin
persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang teror
ganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah
ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan
dunia bagi perempuan. Selanjutnya Humm menyatakan bahwa
feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan
keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena
jenis kelaminnya. Feminisme menawarkan berbagai analisis
mengenai penyebab, pelaku dari penindasan perempuan (Humm,
2007: 157158). Dinyatakan oleh Ruthven (1985: 6) bahwa
pemikiran dan gerakan feminisme lahir untuk mengakhiri dominasi

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

13

laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat.


Melalui proyek (pemikiran dan gerakan) feminisme harus dihan
curkan struktur budaya, seni, gereja, hukum, keluarga inti yang
berdasarkan pada kekuasaan ayah dan negara, juga semua citra,
institusi, adat istiadat, dan kebiasaan yang menjadikan perempuan
sebagai korban yang tidak dihargai dan tidak tampak.
Seperti dikemukakan oleh Abrams (1981) bahwa feminisme
sebagai aliran pemikiran dan gerakan berawal dari kelahiran era
Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Mon
tagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah
kota di selatan Belanda pada 1785. Menjelang abad 19 feminisme
lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa mempejuangkan apa yang mereka sebut sebagai
universal sisterhood (persaudaraan perempuan yang bersifat
universal) (Abrams,1981: 88; Arivia, 2006: 1819).
b. Perkembangan dan Ragam Feminisme
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan
Prancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran
yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan
dan penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah
feminisme gelombang pertama, feminisme gelombang kedua,
feminisme gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga feminisme
Islam dan feminisme dunia ketiga. Berikut ini diuraikan adanya
berbagai ragam feminisme yang telah berkembang dalam wacana
pemikiran maupun gerakan sosial dan politik.

14

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dengan rinci Humm (1992: 16) dan Madsen (2000: 114)


menguraikan kelahiran dan perkembangan feminisme di Amerika
dan Prancis. Dari uraian tersebut pemikiran dan gerakan feminisme
dapat dibedakan menjadi tiga gelombang, yaitu gelombang
pertama, gelombang kedua, dan gelombang ketiga.
Gelombang pertama feminisme di Amerika berkisar dalam
kurun 18401920. Gelombang pertama ini ditandai dengan
adanya Konvensi Hak-hak Perempuan yang diadakan di Seneca
Falls, New York pada 1848. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh
Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300 perempuan dan lakilaki (Madsen, 2000: 37; Tong, 2006: 31). Pertemuan tersebut
menghasilkan pernyataan sikap (Declaration of Sentiments) dan
dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut mene
kankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan
Taylor di Inggris, yang terutama berhubungan dengan kebutuhan
untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik,
dan pengasuhan anak (Madsen, 2000: 6; Tong, 2006: 31). Kedua
belas resolusi menekankan pada hak-hak perempuan untuk
mengutarakan pendapatnya di depan umum (Tong, 2006: 32).
Setelah pertemuan di Seneca Falls, pada 1869 Susan B.
Antony dan Elizabeth Cady Stanton mendirikan National Womans
Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan
Nasional), disusul dengan Lucy Stone yang mendirikan American
Womans Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih
Perempuan Amerika) untuk mengembangkan amandemen hak
pilih untuk konstitusi (Madsen, 2000: 6; Tong, 2006: 33). Kedua
asosiasi tersebut memiliki perbedaan filosofis. Lucy Stone lebih
menekankan pada peran agama yang terorganisir dalam opresi

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

15

terhadap perempuan, yang tidak diperhatikan oleh Antony dan


Stanton. Dengan berdirinya kedua asosiasi tersebut, gerakan hakhak perempuan Amerika terpecah menjadi dua (Tong, 2006: 33).
Perbedaan lain dari kedua asosiasi tersebut menurut Tong (2006:
3334) adalah bahwa National Womans Suffrage Association
menyampaikan agenda feminis yang revolusioner dan radikal,
sementara American Womans Suffrage Association mendorong
agenda feminis yang reformis dan liberal. Kedua asosiasi tersebut
kemudian bersatu pada 1890 dan membentuk National American
Womans Suffrage Association, menjadi gerakan perempuan untuk
memperoleh hak pilih. Mereka percaya bahwa hanya dengan
mendapatkan hak pilih, perempuan telah sungguh-sungguh setara
dengan laki-laki (Tong, 2006: 3334).
Dengan mengikuti peta beragam pemikiran feminisme
yang dibuat Tong (2006), dapatlah diketahui bahwa gagasan
dan gerakan feminisme Amerika gelombang pertama pada
dasarnya adalah ragam feminisme liberal abad ke-19. Setelah
mendapatkan hak suara bagi perempuan, mereka tidak menun
jukkan aktivitas yang berarti di Amerika selama hampir 40. Baru
pada 1960 muncul generasi baru feminis yang dikenal dengan
feminisme gelombang kedua.
Feminisme Amerika gelombang kedua ditandai dengan
berdirinya beberapa kelompok hak-hak perempuan, yaitu National
Organization for Women (NOW), the National Womens Political
Caucus (NWPC), dan the Womens Equity Action League (WEAL).
Tujuan utama dari organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan
status perempuan dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan
lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone

16

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Company hingga jaringan televisi dan partai-partai politik utama


(Tong, 2006: 34). Kelompok-kelompok tersebut lebih dikenal
dengan sebutan Kelompok Pembebasan Perempuan (Tong, 2006:
34) atau Gerakan Pembebasan Perempuan (Womens Liberation
Movement (WLM) (Humm, 1992: 3), dengan tujuan meningkatkan
kesadaran perempuan mengenai opresi terhadap perempuan.
Menurut Tong (2006: 34) semangat yang mereka miliki adalah
semangat revolusioner kiri, yang tujuannya bukanlah untuk me
reformasi apa yang dianggap sebagai sistem elitis, kapitalis,
kompetitif, dan individual, melainkan untuk menggantikannya
dengan sistem yang egaliter, sosialistis, kooperatif, komuniter, dan
berdasarkan pada gagasan sisterhood is powerfull (persaudaraan
perempuan yang kuat).
Di antara para feminis Amerika gelombang kedua ada
beberapa nama yang dianggap cukup penting dalam merumuskan
gagasan feminisme yaitu Betty Freidan, melalui The Feminine
Mistique (1977), Shulamith Firestone melalui The Dialectic of Sex,
Kate Millett melalui Sexual Politics, dan Gloria Steinem melalui
Outrageous Acts and Everyday Rebellions (Madsen, 2000: 2;
Humm, 1992: 4). Perkembangan feminisme Amerika gelombang
kedua, selanjutnya ditandai oleh kritik terhadap arus white femi
nisme (feminisme kulit pulih) yang dilakukan oleh Angela Davis
melalui Women, Race, and Class (1981) dan Aint I a Woman?
(1981), serta feminis lesbian seperti Adrienne Rich dan Audre
Lorde (Madsen, 2000:2).
Setelah feminisme bergerak dalam dua gelombang tersebut,
muncullah feminism gelombang ketiga, yang lebih dikenal
sebagai feminisme posmodern atau feminisme Prancis, karena

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

17

dipengaruhi pemikiran posmodernisme yang dikembangkan


oleh para feminis berkebangsaan Prancis (Tong, 2000: 284;
Arivia, 2003: 127). Di samping itu, juga dikenal feminisme posko
lonialisme (Lewis and Mills, 1991) atau sering kali juga dikenal
sebagai feminisme dunia ketiga (third world feminism) (Sandoval
dalam Lewis and Mills, 1991).
Feminisme posmodern, seperti semua posmodernis, berusaha
untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan
pemikiran falogosentrisme atau setiap gagasan yang mengacu
kepada kata (logos) yang bergaya laki-laki. Oleh karena itu,
feminisme posmodern memandang dengan curiga setiap pemikiran
feminis yang berusaha memberikan suatu penjelasan tertentu
mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau sepuluh
langkah tertentu yang harus diambil perempuan untuk mencapai
kebebasan (Tong, 2006: 283). Beberapa feminis posmodern, seper
ti Cixous, misalnya menolak menggunakan istilah feminis dan
lesbian, karena menurutnya kata-kata tersebut bersifat parasit
dan menempel pada pemikiran falogosentrisme. Menurutnya,
kedua kata tersebut berkonotasi penyimpangan dari suatu norma
dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah
ruang untuk solidaritas perempuan (Tong, 2006: 284). Beberapa
tokoh penting feminisme gelombang ketiga ini adalah Helena
Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva (Tong, 2006: 284).
Di samping ketiga gelombang feminisme tersebut, muncul pula
pemikiran posfeminisme, seperti yang dikemukakan oleh Brooks
(2005). Untuk menjelaskan makna posfeminisme, Brooks (2005:
23) menggunakan analog konsep pos pada kasus poskolonialisme
dan posmodernisme. Pos di sini merujuk pada proses transformasi

18

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dan perubahan yang sedang berlangsung. Poskolonialisme dapat


dipandang sebagai tanda pertemuan kritis dengan kolonialisme,
sementara posmodernisme dipandang sebagai pertemuan kritis
dengan prinsip-prinsip modernisme. Dengan analog tersebut,
postfeminis dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki
atau menempati posisi yang kritis dalam memandang kerangka
feminis sebelumnya, yang pada saat bersamaan melawan secara
kritis terhadap wacana patriarki dan imperialis (Brooks, 2005: 3).
Postfeminis dalam praktiknya menantang asumsi-asumsi hegemo
nik yang dipegang oleh feminis gelombang kedua, yang mengatakan
bahwa penindasan patriarki dan imperialisme adalah pengalaman
penindasan yang universal (Brooks, 2005: 3).
Lebih

lanjut

Brooks

(2005:

6)

menjelaskan

bahwa

postfeminisme adalah tentang pergeseran konseptual di


dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan ke debat yang
difokuskan pada perbedaan. Postfeminisme mengeskpresikan
persimpangan feminisme dengan posmodernisme, postruk
turalisme, poskolonialisme, dan sebagainya yang merepresen
tasikan suatu gerakan dinamis yang mampu menantang kerangka
kaum modernis patriarki dan imperialis. Brooks (2005: 7)
menyebutkan sejumlah nama tokoh ke dalam kategori feminis
postfeminis antara lain adalah Gayatri Chakravorty Spivak, Trinh T.
Minh-ha, Meaghan Morris, Chandra Talpade Mohanty, dan Sneja
Gunew, yang menulis pada titik persimangan dari beberapa pe
ngaruh teoretis, konseptual, dan disiplin. Di samping itu juga Bell
Hooks, Roberta Sykes, Caroline Ramazanoglu, Chela Sandoval,
yang menuliskan pengalaman yang menunjukkan segi yang tak
bisa diterima dari feminisme hegemonik dalam konteks budaya

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

19

dan geografis yang berbeda. Ada juga nama seperti Teresa de


Lauretis, Judith Butler, Rosi Braidotti, Linda Nicholson, Nancy
Fraser, Michele Barret, Shopie Watson, Ien Ang, Anna Yeatman,
dan Annemarie Jagose, yang berkecimpung dalam berbagai debat
dalam area teori kebudayaan untuk menyusun feminisme mereka
yang jauh lebih kritis (Brooks, 2005: 78).
Dalam Feminist Thought, Rosemarie Putnam Tong (2006)
mengemukakan bahwa feminisme bukanlah sebuah pemikiran
yang tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam yang
kemunculan dan perkembangannya sering kali saling mendukung,
mengoreksi, dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya.
Tong (2006) mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran
feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme
marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, femi
nisme eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikul
tural dan global, dan ekofeminisme.
Feminisme liberal berkembang pada abad ke-18 dan ke-19
dengan pelopor Mary Wollstonecraft yang membuat karya tulis
berjudul Vindication of the Right of Woman. Isinya dapat dikata
kan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari.
Buku tersebut disusul dengan The Subjection of Women karya John
Stuart Milll (1969) dan Women in the Nineteenth Century (1845)
karya Margaret Fuller. Pada tahun-tahun 18301840 sejalan
terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum
prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai
diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan
dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh
kaum laki-laki (Tong, 2006: 226; Abrams, 1981: 88).

20

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dalam sejarah perkembangannya, feminisme liberal menu


rut Tong (2006: 1617) dapat dibedakan menjadi tiga varian, yaitu
feminisme liberal klasik (libertarian), feminisme liberal kesejah
teraan, dan feminisme liberal kontemporer. Dalam pembahasan me
ngenai hambatan sikap dan struktural yang menghalangi kemajuan
perempuan feminisme liberal klasik yakin bahwa setelah hukum
dan kebijakan yang diskriminatif dihilangkan, sejak itu secara formal
perempuan dimampukan untuk bersaing secara setara dengan
laki-laki. Feminisme liberal yang berorientasi pada kesejahteraan
menganggap bahwa masyarakat seharusnya tidak hanya meng
kompensasi perempuan untuk ketidakadilan di masa lalu, tetapi
juga menghilangkan hambatan sosial ekonomi dan juga hambatan
hukum bagi kemajuan perempuan kini. Oleh karena itu, Tong (2006:
50) mengemukakan bahwa feminisme liberal kesejahteraan meng
advokasikan bahwa pelamar perempuan pada sekolah-sekolah
atau pekerjaan harus dipilih atas pelamar laki-laki selama pelamar
perempuan itu dapat melaksanakan pekerjaan secara layak. Femi
nisme liberal kontemporer berkeinginan untuk membebaskan
perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu dari peran-peran
yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan
tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama
sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar
(Tong, 2006: 48). Menurut Tong (2006: 49) tujuan tersebut ditekankan
karena masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender,
dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan
dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan.
Perkembangan feminisme kontemporer pada abad ke-20
(tepatnya pertengahan 1960-an) menurut Tong (2006: 34) menuju

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

21

pada gerakan sosial. Para penganut feminisme liberal berkumpul


di salah satu dari beberapa kelompok, yang disebut sebagai
kelompok hak-hak perempuan seperti NOW, NWPC, dan the WEAL
(Tong, 2006: 34). Tujuan utama dari hal tersebut adalah untuk
meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan
legal, sosial, dan lain-lain terhadap berbagai lembaga mulai dari
Bell Thelephone Company hingga jaringan televisi dan partaipartai politik utama (Tong, 2006: 34). Melalui NOW, Betty Friedan
sebagai pendiri dan presiden pertama organisasi tersebut secara
eksplisit mendefinisikan diri sebagai feminis Amerika Serikat
abad ke-20 yang menentang diskriminasi seks di segala bidang
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal (Tong, 2006: 34).
Berbeda dengan feminisme liberal yang berjuang bagi
pencapaian kesetaraan hak-hak perempuan di segala bidang
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal, feminisme
radikal yang berkembang dari partisipasi mereka dalam satu atau
lebih gerakan sosial radikal di Amerika Serikat pada awal 1960an, memiliki hasrat untuk memperbaiki kondisi perempuan (Tong,
2006: 68). Feminisme radikal mendasarkan pada suatu tesis
bahwa penindasan terhadap perempuan berakar pada ideologi
patriarki sebagai tata nilai dan otoritas utama yang mengatur
hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Oleh karena
itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye anti
kekerasan terhadap perempuan.
Feminisme Marxis dipengaruhi oleh ideologi kelas Karl Marx.
Feminisme Marxis mengidentifikasi kelasisme sebagai penyebab
opresi (penindasan) terhadap perempuan (Tong, 2006: 139). Opresi
terhadap perempuan tersebut bukanlah hasil tindakan sengaja dari

22

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan


ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 2006: 139). Oleh karena
itu, tujuan dari feminisme Marxis adalah mendeskripsikan basis
material ketertundukan perempuan dan hubungan antara modelmodel produksi dan status perempuan, serta menerapkan teori
perempuan dan kelas pada peran keluarga (Humm, 2007: 270).
Tong (2006: 190) menjelaskan bahwa feminisme psikoanalisis
dan gender mengemukakan gagasan bahwa penjelasan funda
mental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psikis
perempuan, terutama dalam cara berpikir perempuan. Dengan
mendasarkan pada konsep Freud, seperti tahapan odipal dan
kompleks oedipus, feminis psikoanalisis mengklaim bahwa ketidak
setaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa
kanak-kanak awal mereka. Pengalaman tersebut mengakibatkan
bukan saja cara masyarakat memandang dirinya sebagai feminin,
melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas
adalah lebih baik dari femininitas.
Feminisme psikoanalisis berakar dari teori psikoanalisis Freud,
terutama teori perkembangan seksual anak yang berhubungan
dengan kompleks oedipus dan kartrasi (Tong, 2006:191). Menurut
Freud, maskulinitas dan femininitas adalah produk pendewasaan
seksual. Jika anak laki-laki berkembang secara normal, mereka
akan menjadi laki-laki yang akan menunjukkan sifat-sifat maskulin
yang diharapkan, dan jika perempuan berkembang secara nor
mal maka mereka akan menjadi perempuan dewasa yang
menunjukkan sifat-sifat feminin. Menurut Freud, inferioritas
perempuan terjadi karena kekurangan anak perempuan akan
penis (Tong, 2006: 196). Sebagai konsekuensi jangka panjang dari

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

23

kecemburuan terhadap penis (penis envy) dan kompleks oedipus


yang dialaminya, maka menurut Freud (dalam Tong, 2006: 195
196) perempuan menjadi narsistis, mengalami kekosongan, dan
rasa malu. Perempuan menjadi narsistis ketika ia mengalihkan
tujuan seksualnya aktif menjadi pasif, yang termanifestasikan
pada keinginan untuk lebih dicintai dari pada mencintai. Semakin
cantik seorang anak perempuan, semakin tinggi harapannya untuk
dicintai. Karena tidak memiliki penis, anak perempuan menjadi ko
song, dan mengkompensasikannya pada penampilan fisiknya yang
total. Dengan penampilan yang baik secara umum akan menutupi
kekurangannya atas penis. Rasa malu dialami anak perempuan ka
rena tanpa penis, dia melihat tubuhnya yang terkatrasi (tersunat).
Teori Freud tersebut telah ditolak oleh para feminis, seperti
Betty Freidan, Shulamit Firestone, dan Kate Millett. Mereka berar
gumen bahwa posisi serta ketidakberdayaan sosial perempuan
terhadap laki-laki, kecil hubungannya dengan biologi perempuan,
dan sangat berhubungan dengan konstruksi sosial atas femininitas
(Tong, 2006: 196). Dalam hal ini Freidan menyalahkan Freud
karena telah mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa
ketidaknyamanan serta ketidakpuasan perempuan berasal dari
ketidakadaan penis saja dan bukan karena status sosial ekonomi,
serta budaya yang menguntungkan laki-laki. Dengan mengisya
ratkan kepada perempuan bahwa mereka dapat menggantikan
penis dengan bayi, menurut Freidan, Freud telah merayu pe
rempuan untuk masuk ke dalam jebakan mistik feminine. Oleh
karena itu, Freidan menyalahkan Freud yang telah menjadikan
pengalaman seksual yang sangat spesifik (vaginalisme) sebagai
keseluruhan serta akhir dari eksistensi perempuan (Tong, 2006:

24

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

197). Freidan juga mengutuk Freud, karena telah mendorong


perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang
lain, dan selalu siap untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan
seksual mereka, yaitu hamil. Sementara itu, Millett menganggap
pandangan Freud bahwa perempuan mengalami kecemburuan
terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme lakilaki. (Tong, 2006: 197198). Firestone juga mengritik teori Freud,
yang menganggap pasivitas seksual perempuan sebagai hal yang
alamiah. Menurutnya pasivitas seksual perempuan terjadi sebagai
hasil dari konstruksi sosial dari ketergantungan fisik, ekonomi,
emosional perempuan pada laki-laki (Tong, 2006: 197). Firestone
bahkan menyarankan agar manusia seharusnya menghapuskan
keluarga inti, termasuk menghapuskan tabu inses yang merupakan
akar penyebab kompleks oedipus.
Apa yang dikemukakan oleh Freidan, Firestone, dan Millett,
sejalan dengan keyakinan para psikoanalisis awal seperti Alfred
Adler, Karen Horney, dan Clara Thomson, yang mengatakan bah
wa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual
perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta biologis,
tetapi merupakan hasil dari nilai-nilai sosial. Mereka juga yakin
bahwa kecemburuan penis adalah mitos yang diciptakan dalam
masyarakat yang mengistimewakan laki-laki dari pada perempuan
(Tong, 2006: 200).
Berbeda dengan feminisme psikoanalisis yang melihat
perbedaan

laki-laki

dan

perempuan

mendasarkan

pada

perkembangan psikoseksual anak laki-laki dan perempuan,


feminisme gender mendasarkan pada perkembangan psikomoral.
Menurut feminisme gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

25

menjadi dewasa dengan nilai-nilai serta kebaikan gender yang khas,


yaitu yang merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan
laki-laki dan pentingnya ketertarikan pada kehidupan perempuan
dan berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan
perempuan dalam masyarakat patriarkal (Tong, 2006: 224).
Feminisme eksistensialisme adalah pemikiran feminisme yang
dikembangkan oleh Simone de Beauvoir melalui buku karyanya
Second Sex (2003). Dengan mendasarkan pada pandangan
filsafat eksistensialisme Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki
dinamai laki-laki sang Diri, sedangkan perempuan sang Liyan
(the other). Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan
adalah ancaman bagi laki-laki. Oleh karena itu, menurut Beauvoir
jika laki-laki ingin tetap bebas, maka ia harus mensubordinasi
perempuan (Beauvoir, 2003: 89; Tong, 2006: 262).
Pandangan bahwa perempuan adalah Liyan (the other) dalam
relasinya dengan laki-laki yang diyakini oleh feminisme eksis
tensialis, juga dianut oleh feminisme posmodernisme (Tong,
2006: 284; Arivia, 2003: 128). Secara luas feminis posmodern
seperti Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva mengem
bangkan gagasan intelektualinya dari filsuf eksistensialis Simone
de Beauvoir, dekonstruksionis Jacques Derrida, dan psikoanalis
Jacques Lacan (Tong, 2006: 284). Seperti Beauvoir, ketiga feminis
posmodern ini berfokus pada ke-Liyanan perempuan. Seperti
Derrida, ketiganya juga gemar menyerang gagasan umum
mengenai kepengarangan, identitas, dan Diri. Seperti Lacan,
ketiganya mendedikasikan diri untuk menafsirkan kembali
pemikiran tradisional Freud yang kemudian merubuhkan tafsirtafsir yang semula dianggap baku (Tong, 2006: 284).

26

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Feminisme multikultural dan global berhubungan dengan


pemikiran multikultural, yaitu suatu ideologi yang mendukung
keberagaman (Tong, 2006: 310). Sebagai pemikiran feminisme
yang mundukung keberagaman, maka feminisme multikultural
menyambut perayaan atas perbedaan dari para pemikir
multikultural dan menyayangkan bahwa teori feminis sebelum
nya yang seringkali gagal membedakan antara kondisi perempuan
kulit putih, kelas menengah, heteroseksual, Kristen yang tinggal di
Negara yang maju dan kaya, dengan kondisi yang sangat berbeda
dari perempuan lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda
(Tong, 2006: 310). Feminisme multikultural melihat bahwa
penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan
lewat patriarki, tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras,
etnisitas, dan sebagainya. Sementara itu, dalam feminisme
global bukan hanya ras dan etnisitas yang berhubungan dengan
penindasan terhadap perempuan, tetapi juga hasil dari koloni
alisme dan dikotomi dunia pertama dan Dunia Ketiga (Tong, 2006:
315; Arivia, 2003: 154).
Beberapa tokoh feminis multikultural dan global antara lain
adalah Audrea Lorde, Alice Walker, Angela Davis, Charlotte Bunch,
Susan Brondo, Maria Mies (Arivia, 2003: 154). Kelompok feminis
ini sering kali juga disebut sebagai feminis poskolonial atau
feminis dunia ketiga (Lewis, dan Mills, 2003). Menurut Gandhi
(1998: 83) feminisme poskolonial yang merupakan aliansi antara
teori poskolonial dan feminisme berusaha memukul balik hierarki
gender/budaya/ras yang telah ada dan menolak oposisi biner
terhadap konstruk wewenang patriarki/kolonialisme sendiri. Para
penganut teori feminisme poskolonial telah memberikan alasan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

27

yang kuat bahwa persoalan pusat politik rasial telah meneng


gelamkan kolonisasi ganda kaum perempuan di bawah kekuasaan
imperialisme. Dalam hal ini, teori feminis poskolonial merumuskan
bahwa perempuan dunia ketiga merupakan korban parexellence
atau korban yang terlupakan dari dua ideologi imperialisme dan
patriarki asing (Gandhi, 1998: 83). Dengan perspektif feminisme
poskolonial, melalui artikelnya Can the Subaltern Speak? Spivak
(1988: 306) memahami posisi perempuan sebagai anggota
kelompok subaltern. Dia mengemukakan bahwa dalam wacana
feminisme poskolonial, sebagai kelompok subaltern perempuan
dunia ketiga memiliki menghilang karena kita tidak pernah men
dengar mereka berbicara tentang dirinya (Spivak, 1988: 306;
Gandhi, 1998: 8789).
Ekofeminisme adalah pemikiran feminisme yang ingin
memberi pemahaman adanya hubungan antara segala bentuk
penindasan manusia dengan alam dan memperlihatkan keter
libatan perempuan dalam seluruh ekosistem (Tong, 2006: 359;
Arivia, 2003: s154). Seperti dikemukakan oleh Tong (2006: 350)
karena perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, maka
ekofeminisme berpendapat ada hubungan simbolik dan linguistik
antara feminis dan isu ekologi. Ekofeminisme pada dasarnya ada
lah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Istilah ini, menurut
Tong (2006: 366) muncul pertama kali pada 1974 dalam buku
Francoise dEaubonne yang berjudul Le Feminisme ou La Mort.
Dalam buku tersebut dijelaskan adanya hubungan langsung antara
opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut
dEaubonne, pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat
terjadi secara terpisah antara satu dengan yang lain (Tong, 2006:

28

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

366). Apa yang dikemukakan dEaubonne tersebut kemudian didu


kung oleh Karen J. Wareen (via Tong, 2006: 366) yang menyatakan
empat hal sebagai berikut: 1) bahwa ada keterkaitan penting
antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; 2)
Pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah sangat
penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas
opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; 3) Teori
dan praktik feminis harus memasukkan perspektif ekologi; 4) Pe
mecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.
Di samping berbagai ragam feminisme yang telah diuraikan
tersebut, juga dikenal feminisme Islam, yang terutama berkem
bang di negara-negara yang mayoritas penduduknyanya bergama
Islam, seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia.
Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada 1990-an (Mojab,
2001). Feminisme Islam berupaya untuk membongkar sumbersumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan
penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis
dan Alquran (Fatma, 2007: 37). Melalui perspektif feminis berbagai
macam pengetahuan normatif yang bias gender, tetapi dijadikan
orientasi kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi
gender dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada
semangat Islam yang lebih menempatkan ideologi pembebasan
perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manu
sia (Dzuhayatin, 2002: 22). Dengan semangat tersebut, maka
muncullah berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat
Alquran dan Hadis yang dilakukan para intelektual Muslim, yang
dikenal dengan sebutan feminis muslim (Rachman, 2002: 34;
Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002: 5). Beberapa karya mereka antara

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

29

lain adalah Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis


(Ilyas, dkk., 2003), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. Ed, 2002), Perempuan dalam
Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Nurjanah-Ismail, 2003).
Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan semangat
teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam
terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang
terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang
saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran
keislaman kontemporer (Dzuhayatin, 2002: 22).
Beberapa tokoh feminis muslim antara lain Riffat Hassan
(Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina
Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Malaysia),
serta beberapa orang Indonesia antara lain Siti Chamamah Soeratno,
Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Nuraini Dzuhayatin, Zakiah
Darajat, Ratna Megawangi, Siti Musda Mulia, Masdar F. Masudi,
Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar (Mojab, 2001: 128
129; Rachman, 2002: 34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002: 5).
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
feminisme telah mengalami sejarah perkembangan yang cukup
panjang dan telah melahirkan berbagai ragam pemikiran dengan
karakteristik masing-masing. Penelitian ini akan menggunakan ke
rangka berpikir feminisme gelombang kedua, ketiga, feminisme
dunia ketiga, dan feminisme Islam. Pilihan tersebut didasarkan
pada asumsi bahwa novel-novel Indonesia yang dikaji sebagian
besar mengangkat isu gender yang berkembang di Indonesia
sebagai salah satu negara dunia ketiga, bekas jajahan Belanda dan
Jepang, memiliki interaksi dengan sejumlah negara di Eropa (dunia

30

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

pertama), terdiri dari berbagai etnis dengan beragam budaya, dan


sebagian besar penduduknya menganut agama Islam.
3. Ragam Kritik Sastra Feminis
Dalam perkembangannya ada beberapa ragam kritik sastra
feminis. Showalter (1986) membedakan adanya dua jenis
kritik sastra feminis, yaitu: 1) kritik sastra feminis yang melihat
perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist
critique), dan 2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan
sebagai penulis (the woman as writer/gynocritics).
Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca
(woman as reader) memfokuskan kajian pada adalah citra dan
stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesa
lahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan
celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki
(Showalter, 1986: 130). Kritik sastra feminis ginokritik meneliti
sejarah karya sastra perempuan (perempuan sebagai penulis),
gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan,
kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan seba
gai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi
penulis perempuan (Showalter, 1986: 131).
Selain kedua jenis kritik sastra feminis tersebut Humm (1986)
membedakan adanya tiga jenis kritik sastra feminis, yaitu: 1) kritik
feminis psikoanalisis, dengan tokoh antara lain Julia Kristeva,
Monique Wittig, Helene Cixous, Luce Irigaray, Mary Daly; 2) kritik
feminis marxis, dengan tokoh antara lain Michele Barret dan
Patricia Stubbs; dan 3) kritik feminis hitam dan lesbian, dengan
tokoh antara lain Barbara Smith, Elly Bulkin, dan Barbara Greir.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

31

Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada


tulisan-tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa
pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan
atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan
tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin
penciptanya. Munculnya kritik sastra feminis psikoanalisis berawal
dari penolakan para feminis terhadap teori kompleks kastrasi
Sigmund Freud (Tong, 2006: 196197). Kompleks kastrasi menurut
Freud (2006: 106) adalah kecemasan (guncangan emosional)
yang dialami oleh anak laki-laki yang memiliki pandangan
yang salah ketika melihat perbedaan alat kelaminnya dengan
saudara perempuannya. Menurutnya, perempuan sebenarnya
juga memiliki penis, tetapi telah dipotong. Anggapan tersebut
diperkuat oleh ancaman yang sering disampaikan oleh orang
tua akan mengebirinya atau menghukumnya karena tingkah laku
seksualnya. Itulah sebabnya, dia mangalami kecemasan kastrasi.
Perbedaan alat kelamin perempuan dengan laki-laki,
teelebih karena perempuan tidak memiliki penis, menurut Freud
menimbulkan inferioritas perempuan, yang diistilahkann sebagai
kecemburuan anak perempuan akan penis (penis envy) (Tong,
2006: 196). Para feminis, seperti Betty Freidan menolak teori Freud
tersebut dan berargumen bahwa posisi serta ketidakberdayaan
sosial perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan
biologi perempuan, tetapi sangat berhubungan dengan konstruksi
sosial atas feminisme (Tong, 2006: 196).
Menurut Freidan (via Tong, 2006:196) gagasan Freud dibentuk
oleh kebudayaanya yang digambarkan sebagai Victorian (pengaruh
budaya Inggris yang hidup pada era Ratu Victoria, 18371910). Kritik

32

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Freidan terhadap teori Freud juga didukung oleh Firestone dan


Millet (Tong, 2006: 198). Menurut Firestone, bahwa pasivitas seksual
perempuan bukanlah suatu hal yang alamiah, melainkan semata-mata
karena hasil sosial dari kebergantungan fisik, ekonomi, emosional
perempuan pada laki-laki. Oleh karena itu, untuk mengakhiri opresi
terhadap perempuan dan anak-anak, Firestone (via Tong, 2006: 198)
menganjurkan agar manusia seharusnya menghapuskan keluarga
inti, dan bersamaan dengan itu juga menghapuskan tabu inses yang
merupakan akar penyebab kompleks oedipus. Sementara itu, Millet
(via Tong, 2006: 198) menganggap bahwa konsep kecemburuan
terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme laki-laki.
Kritik Freidan, Firestone, dan Millet terhadap teori Freud
tersebut juga didukung oleh para feminis psikoanalisis berikutnya,
seperti Alfred Adler, Karen Horney, dan Clara Thompson, yang
menyakini bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi
seksual perempuan (dan laki-laki) bukanlah hasil dari fakta
biologis, tetapi merupakan hasil dari nilai-nilai sosial dalam struk
tur patriarki. Oleh karena itu, perempuan seharusnya melawan
hal tersebut (Tong, 2006: 197200). Melalui kritik sastra feminis
psikoanalisis diselidiki hasrat, identitas gender, dan konstruksi
linguistik feminis untuk mendekonstruksi heirarki gender dalam
sastra dan masyarakat (Humm, 1986: 71).
Kritik sastra feminis marxis meneliti tokoh-tokoh perempuan
dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pe
ngritik mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan yang
menjadi tokoh dalam karya sastra merupakan kelas masyarakat
yang tertindas (Humm, 1986: 72). Dengan menggunakan dasar
teori marxis dan ideolgi kelas Karl Marx, kritik sastra feminis

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

33

Marxis akan mengidentifikasi kelasisme sebagai penyebab opresi


(penindasan) terhadap perempuan. Dalam hal ini penindasan
terhadap perempuan tersebut bukanlah hasil tindakan sengaja
dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial,
dan ekonomi tempat individu itu hidup.
Pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan
perempuan dalam ranah domestik, sementara laki-laki dalam
ranah publik jelas menimbulkan kesenjangan kelas karena sebagai
pekerja di ranah publik, laki-laki akan menguasai wilayah prodiksi.
Secara ekonomi, laki-lakilah yang menghasilkan materi, sementara
perempuan, walaupun mengeluarkan tenaga dan menggu
nakan hampir seliruh waktunya untuk bekerja di rumah dia tidak
mendapatkan penghasilan. Bahkan, secara ekomoni perempuan
sebagai ibu rumah tangga tergantung kepada laki-laki. Perempuan
tidak menguasai materi (kepemilikan benda maupun uang) karena
sebagai ibu rumah tangga dia tidak mendapatkan penghasilan.
Oleh karena itu, dia harus tunduk dan patuh kepada suaminya.
Hal inilah yang memungkinkan perempuan tertindas.
Kritik feminis hitam (black feminis criticsm) dan lesbian, dengan
tokoh antara lain Barbara Smith, Elly Bulkin, dan Barbara Greir.
Kritik feminis hitam dan lesbian mencoba memberikan perhatian
kepada perempuan kulit hitam dan kaum lesbian yang selama ini
dimarginalkan, terutama dalam hubungannya dengan perempuan
dan laki-laki kulit putih dan kaum heteroseksual. Kritik feminis ini
memberikan perhatian kepada keberadaan para perempuan kulit
hitam dan kaum lesbian yang menjadi tokoh-tokoh dalam karya
sastra yang selama ini menjadi korban penindasan kaum laki-laki
maupun perempuan, khususnya kulit putih (Humm, 1986: 73).

34

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

C. Rangkuman
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang
langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui inter
pretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra
(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastrakarya sastranya. Kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat
pada 1700-an (Madsen, 2000: 1).
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan
Prancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran
yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan
dan penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah
feminisme gelombang pertama, feminisme gelombang kedua,
feminisme gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga
feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga. Feminisme juga
dibedakan berbadarkan aliran pemikirannya, sehingga menun
culkan istilah feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme
marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan
global, ekofeminisme, dan feminisme Islam.
Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra
feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang
ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk
oleh suara tradisional yang bersifat patriarki. Tujuan utama kritik

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

35

sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, situasi ketika


perempuan berada dalam dominasi laki-laki. Kritik sastra feminis
memiliki berbagai ragam, yaitu: 1) Kritik sastra feminis perempuan
sebagai pembaca (the woman as reader/feminist critique), yang
memahami karya sastra dari perspektif perempuan; 2) kritik sastra
feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as
writer/gynocritics); 3) kritik feminis psikoanalisis; 4) kritik feminis
marxis; 5) kritik feminis hitam dan lesbian.

D. Latihan dan Tugas


1. Jelaskan pengertian kritik sastra feminis!
2. Jelaskan keterkaitan antara kritik sastra feminis dengan aliran
dan gerakan feminisme!
3. Sebutkan dan jelaskan karakteristik dari macam-macam kritik
sastra feminis!
4. Jelaskan kondisi apakah yang melatarbelakangi timbulnya
aliran dan gerakan feminisme di Eropa!
5. Uraikan secara singkat sejarah perkembangan feminisme
sebagai aliran dan gerakan sosiokultural!
6. Sebutkan dan jelaskan macam-macam aliran pemikiran
feminisme dan kekhasan tujuan perjuangannya!

BAB II
PENERAPAN KRITIK SASTRA
FEMINIS TERHADAP NOVELNOVEL INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1. Cara kerja kritik sastra feminis.
2. Menerapkan kritik sastra feminis terhadap novel-novel
Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Cara Kerja Kritik Sastra Feminis

ara kerja kritik sastra feminis secara metodologis mengikuti


cara kerja kritik sastra pada umumnya. Secara sistematik

kegiatan diawali dengan kegiatan sebagai berikut:


a. Memilih dan menbaca karya sastra yang akan dianalisis dan
dinilai.
b. Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perspektif kritik
sastra feminis, misalnya berhubungan dengan kepenulisan
36

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

37

perempuan atau gambaran mengenai tokoh-tokoh perempuan


dalam relasinya dengan laki-laki dalam karya sastra, atau
mengenai bagaimana tokoh-tokoh perempuan menghadapi
masalah dalam kehidupannya di masyarakat (misalnya masalah
pendidikan, sosial, budaya, politik, kesehatan, lingkungan,
hukum, ketenagakerjaan, dan sebagainya).
c. Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah
konsep teoretik yang berhubungan dengan fokus masalah
yang akan dipahami (dianalisis) dan tulisan kritikus maupun
peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama
atau mirip. Kajian terhadap konsep teoretik akan membantu
kita memahami masalah yang akan dianalisis, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Sementara, kajian terhadap tulisan kritikus maupun peneliti
sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip
akan menjamin bahwa analisis yang kita lakukan bersifat
orisinal, bukan duplikasi, ataupun plagiat dari tulisan
sebelumnya.
d. Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang relevan
dengan fokus masalah yang akan dianalisis. Data primer
berasal dari karya sastra dan pengarang yang karyanya akan
dianalisis, sementara data sekunder berasal dari berbagai
sumber informasi (buku referensi, artikel, laporan penelitian,
maupun hasil pengamatan langsung di lapangan) yang relevan
dengan masalah yang akan dianalisis.
e. Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik
sastra feminis. Dalam hal ini dapat dipilih ragam kritik sastra
feminis yang sesuai dengan masalah yang akan dianalisis.

38

f.

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap


hasil penelitian sesuai dengan agam kritik sastra feminis yang
dipilih.

g. Menuliskan laporan kritik sastra dengan menggunakan


bahasa yang sesuai dengan media yang akan dipilih untuk
mempublikasikan. Ragam bahasa Indonesia baku akan dipilih
ketika tulisan akan dipublikasikan ke terbitan ilmiah berkala
(jurnal), sementara ragam bahasa Indonesia ilmiah populer
dipilih ketika tulisan akan dipublikasikan ke media massa
seperti surat kabar.
2. Penerapan Kritik Sastra Feminis terhadap Novel-novel
Indonesia
Dengan menggambil fokus masalah citraan perlawanan
simbolis terhadap hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan
dan peran perempuan di ranah publik dalam novel-novel
Indonesia, maka dapat dikemukakan sejumlah hal yang dianggap
sebagai latar belakang, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Latar Belakang Masalah
Salah satu isu awal yang mengemuka dalam perjuangan para
feminis Indonesia adalah isu pentingnya pendidikan bagi pe
rempuan dan memberikan peran pada perempuan untuk bekerja
di ranah publik. Hal ini karena dalam masyarakat dengan sistem
patriarkat perempuan dianggap sebagai makhluk domestik, yang
harus tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
domestik (Fakih, 2006). Dalam sejarah Indonesia, isu ini pulalah
yang mendorong perjuangan Kartini, seperti tampak dari surat-

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

39

suratnya kepada para sahabatnya di Belanda (Habis Gelap


Terbitlah Terang, Abendanon, 1979), dilanjutkan oleh Dewi Sartika
yang mendirikan sekolah khusus bagi perempuan di Jawa Barat,
dan organisasi perempuan yang tumbuh berikutnya (Muljana,
2008: 307313).
Berdasarkan observasi awal terhadap sejumlah novel
Indonesia, tampak bahwa isu pentingnya pendidikan bagai kaum
perempuan dan peran perempuan dalam pekerjaan di ranah
publik telah digambarkan dalam novel Sitti Nurbaya (Rusli, 1922),
Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Layar Terkembang (Alisya
bana, 1936), Belenggu (Pane, 1940), Manusia Bebas (Djojo
puspito, 1944), Widyawati (Purbani, 1948), Burung-burung
Manyar (Mangunwijaya, 1981), Saman (Utami, 1999), Geni Jora
(El-Khalieqy, 2004), dan Putri (2004) karya Putu Wijaya.
Dengan mengangkat isu pentingnya pendidikan dan peran
publik perempuan, sejumlah novel tersebut dianggap telah
mencoba melawan atau mengritisi kultur patriarkat yang memar
ginalisasikan perempuan dalam tradisi pingitan dan domestikasi.
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana ideologi kesetaraan
gender yang diusung oleh novel-novel tersebut dipandang sebagai
bentuk perlawanan simbolis terhadap sistem sosial budaya
patriarkat yang memarginalkan perempuan di bidang pendidikan
dan pekerjaan di ranah publik.
Perkembangan paradigma ilmu-ilmu sosial, budaya, dan
pendidikan dalam menjawab permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat akhir-akhir ini, tidak terlepas dari isu gender
mainstreaming, yang merupakan gema pemikiran dan gerakan
feminisme di Indonesia. Secara yuridis formal, pemerintah

40

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Indonesia telah memberikan perhatian terhadap pentingnya


kesetaraan gender di segala bidang kehdupan, dengan
menerbitkan Inpres No. 9 tahun 2000, berupa keputusan untuk
melakukan Gender Mainstreaming.
Dari berbagai isu kesetaraan gender, isu pentingnya pendidikan
dan peran perempuan di ranah publik merupakan salah satu isu
yang cukup penting untuk diberi perhatian. Hal ini karena secara
nyata dalam masyarakat masih terdapat bias gender dalam bidang
pendidikan dan keterlibatan perempuan di ranah publik. Padahal,
seperti diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 31
ayat 1, bahwa setiap warga negara, baik perempuan maupun lakilaki mendapatkan kesempatan setara untuk mengecap pendidikan.
Hasil penelitian tentang kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan yang pernah dilakukan oleh Ace Suryadi dan Ecep Idris
(2004) masih menunjukkan adanya kesenjangan gender di bidang
pendidikan. Beberapa bukti yang ditemukan dalam penelitian
tersebut antara lain adalah: laki-laki lebih dominan dalam
memilih jurusan dan mepelajari kemampuan atau ketrampilan
pada bidang-bidang kejuruan teknologi dan industri sehingga
dengan ketrampilan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah
secara khusus dipersiapkan menjadi pemain utama dalam dunia
produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk
melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan tek
nologi kerumahtanggan. Jumlah siswa perempuan yang memilih
jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih sedikit porposinya,
sehingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan di
Perguruan Tinggi, misalnya dalam bidang teknologi dan ilmu-ilmu
keras (hard sciences). Hanya ada 19,8% mahasiswi yang mimilih

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

41

jurusan tersebut, sementara itu mereka lebih dominan di bidang


manajemen (57,7%), pelayanan jasa dan transportasi (64,2%),
bahasa dan sastra (58,6%), dan psikologi (59,9%) (Supriyadi dan
Idris, 2004: 157).
Berbagai upaya untuk mengatasi kesenjangan gender di
bidang pendidikan telah dilakukan. Depdiknas, pada 1011 April
2002, di Jakarta, bahkan pernah menyelenggarakan Lokakarya
Penelaahan Makalah Kebijakan Pendidikan Nasional Badan Pene
litian dan Pengembangan Pendidikan, dibantu oleh Bank Dunia
dan Dutch Trust Fund. Hasil dari Lokakarya tersebut antara lain
adanya keputusan bahwa gender merupakan isu penting dalam
kemajuan pendidikan di Indonesia (Arivia, 2006:406). Walaupun
cita-cita menuju kesetaraan dan keadilan gender telah cukup lama
diwacanakan dan dilegalkan, realitas yang terjadi di lapangan
belum menunjukkan hasil yang mengembirakan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka perhatian terhadap
problem-problem kesetaraan gender sebagai salah satu wilayah
penelitian dan sumber belajar di sekolah maupun perguruan
tinggi merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Melalui
penelitian

berjudul

Citraan

Perlawanan

Simbolis

terha

dap Hegemoni Patriarkat dalam Bidang Pendidikan dan Peran


Perempuan di Sektor Publik dalam Novel-novel Indonesia: Kajian
Kritik Sastra Feminis, diharapkan dapat terungkap berbagai hal
yang menyebabkan timbulnya kesenjangan gender di bidang
pendidikan dan peran perempuan di sektor publik yang tere
presentasikan dalam novel-novel Indonesia, dan strategi perla
wanan untuk mengatasi masalah tersebut, yang diharapkan dapat
memberikan inspirasi untuk mengatasi masalah ketidakadilan

42

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

gender dalan ranah realitas.


Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang
adanya hubungan antara karya sastra dengan kenyataan. Seperti
dikemukakan oleh Teeuw (1984: 228) bahwa ada hubungan
ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam roman (novel).
Dalam sebuah novel dunia nyata dan dunia rekaan saling
berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan
karya sastra berdampingan dengan dunia realita. Apa yang terjadi
dalam realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang
untuk menggambarkannya kembali dalam karya sastra yang
diciptakannya. Dalam hal ini sastra selalu berurusan dengan diri
pribadi manusia, diri manusia dalam masyarakat, dan dengan
masyarakat yang menjadi lembaga tempat manusia berkiprah.
Oleh karena itu, ketika isu pentingnya pendidikan dan peran
perempuan di sektor publik mendapatkan perhatian cukup
besar di masyarakat, maka munculnya sejumlah novel Indonesia
yang mengangkat isu tersebut merupakan hal yang tidak dapat
dihindari. Hal itu karena, seperti dikemukakan Chamamah
Soeratno (1994b: 14) bahwa di dalam masyarakat karya sastra me
miliki salah satu fungsi sebagai sarana menyuarakan hati nurani
masyarakat, menyadarkan masyarakat akan arti hidup, mampu
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Dengan demikian,
melalui kajian citraan perlawanan simbolis terhadap hegemoni
patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di
sektor publik dalam novel-novel Indonesia diharapkan kesadaran
akan pentingnya kesetaraan gender dalam bidang pendidikan dan
peran perempuan di sektor publik dapat menginspirasi pentingnya
melawan ketidakadilan gender dalan ranah realitas, khususnya

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

43

pada mereka yang mengambil kebijakan di bidang pendidikan dan


ketenagakerjaan.
b. Tujuan
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
dan menginterpretasikan citraan perlawanan simbolisyang
terwujud dalam ideologi kesetaraan gender yang diangkat dalam
sejumlah novel Indonesiaterhadap hegemoni patriarkat dalam
bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik.
c. Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat pembaca, khususnya khususnya mahasiswa, dosen,
dan peneliti, sebagai salah satu sarana penyadaran kesetaraan
gender di bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik.
Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pembangunan di Indonesia, khususnya dunia
pendidikan sebagai ranah yang strategis untuk menanamkan
nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender pada generasi muda.
Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh kultur
patriarkat, penanaman nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender
pada generasi muda penting untuk dilakukan, agar tercipta
masyarakat yang berkeadilan gender dan saling menghormati dan
menghargai antarsesama.
d. Kajian Pustaka
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, belum
ditemukan kajian yang secara khusus membahas citraan
perlawanan simbolis terhadap hegemoni patriarkat dalam bidang

44

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dalam novelnovel Indonesia. Meskipun demikian, ditemukan sejumlah kajian
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 1) In
the Shadow of Change (Helwig, 2003); 2) Hubungan Intertekstual
Roman-roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru (Pradopo, 1995),
yang memfokuskan pada masalah emansipasi wanita dalam Sitti
Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu; 3) Feminisme dan
Dekonstruksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman
Karya Ayu Utami (Wiyatmi, 2003), dan Pasca Kolonialitas dan Si
Feminin dalam Sastra Indonesia Modern (Hatley, 2006).
Dalam In the Shadow of Change (Hellwig, 2003) dikaji 25
novel dan tiga cerita panjang dalam kurun waktu lima dekade
(1937 sampai 1986). Dengan menggunakan perspektif kritik sastra
feminis, Hellwig mencoba memahami bagaimana penggam
baran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia dan sejauh mana
gambaran tersebut membantu menciptakan citra umum perem
puan dalam masyarakat Indonesia. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa persoalan esensialisme identitas telah lama
menjadi persoalan penting bagi gagasan tentang emansipasi
perempuan di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kebanyakan pengarang laki-laki masih menganggap femininitas
sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan, dan tidak meng
herankan jika tokoh-tokoh yang keibuan, pandai mengatur rumah
tangga, lembut, dan penyayang, menjadi figur yang sering ditam
pilkan. Sementara itu, pada karakter yang diciptakan penulis
perempuan, femininitas sering kali dianggap tidak sesuai dengan
konsep kemajuan perempuan. Para penulis perempuan umum
nya menggambarkan dilema tentang persoalan esensialisme

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

45

ini, mengolahnya sebagai inti cerita, dan kemudian yang justru


melanggengkan subordinasi perempuan. Penelitian ini lebih
terfokus pada bagaimana tokoh perempuan dicitraan, tanpa
melihat relasi antara tokoh perempuan dengan laki-laki, dan pen
tingnya pendidikan dan peran perempuan di sektor publik sebagai
salah satu bentuk dikonstruksi terhadap hegemoni patriarkat.
Dengan memfokuskan pada masalah emansipasi wanita
dalam novel Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu,
ditemukan penelitian berjudul Hubungan Intertekstual Romanroman Balai Pustaka dan Pujangga Baru (Pradopo, 1995). Dalam
penelitian tersebut dikemukakan bahwa masalah emansipasi
wanita pertama kali diangkat dalam sastra Indonesia modern oleh
Marah Rusli dalam Sitti Nurbaya. Masalah tersebut berhubungan
dengan masalah adat (kawin paksa dan poligami). Masalah
emansipasi wanita kemudian diangkat secara khusus oleh Takdir
Alisyahbana dalam Layar Terkembang dan Belenggu oleh Armijn
Pane, dengan wujud dan intensitas yang berbeda. Penelitian
ini menggunakan perspektif resepsi sastra, yang tampak pada
adanya hubungan intertekstualitas antara Sitti Nurbaya, Layar
Terkembang, dan Belenggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
masalah emansipasi wanita dalam Sitti Nurbaya dipercakapkan
oleh Sitti Nurbaya dengan Alimah, sepupunya. Masalah emansipasi
wanita yang bersifat verbal tersebut, selanjutnya diserap dan
ditransformasikan dalam cerita, dengan menghadirkan tokoh Tuti
sebagai seorang tokoh organisasi wanita dan pejuang emansipasi
wanita. Dalam Belenggu, dikemukakan adanya ekses emansipasi
wanita. Belenggu mencoba meluruskan pengertian yang tidak
benar tentang emansipasi wanita yang berlebih-lebihan. Penelitian

46

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

ini tidak menggunakan pendekatan kritik sastra feminis, tetapi


menggunakan pendekatan intertekstualitas, dengan memandang
persoalan emansipasi perempuan yang diangkat dalam novel
tertentu dianggap sebagai sesuatu yang direspon oleh novel-novel
berikutnya.
Dalam artikel Feminisme dan Dekonstruksi terhadap Ideologi
Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami, (Wiyatmi, Diksi,
2003) dikemukakan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam Saman
merupakan representasi dari sosok perempuan yang menunjukkan
adanya gejala pengingkaran terhadap ideologi familialisme dalam
masyarakat berkultur patriarkat dalam masyarakat Indonesia.
Tokoh-tokoh perempuan dalam Saman, berbeda dengan gambaran
perempuan pada novel Indonesia sebelumnya, seperti Sitti Nurbaya,
Mariamin, Sri Sumarah, Lasi, dan Srintil yang merpakan beberapa
contoh figur perempuan yang hidup dalam lingkungan ideologi fami
lialisme tanpa berusaha melawan ataupun mengingkarinya. Dengan
ketakberdayaannya, mereka menerima nasibnya begitu saja karena
tidak memiliki keberanian dan kekuasaan untuk melawan ideologi
tersebut. Beberapa dari mereka, seperti Mariamin dan Lasi, bahkan
mengalami penderitaan yang tragis sebagai akibat kuatnya ideologi
tersebut. Dalam Saman digambarkan karier dan aktivitas Laila dan
teman-temannya yang menunjukkan bahwa mereka merupakan
sosok perempuan yang mencoba untuk keluar dari dan mengingkari
ideologi familialisme, yang menyakini bahwa peran utama
perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri, sementara peran
utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang
memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga,
sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk ke

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

47

padanya. Mereka adalah contoh figur yang melakukan pengingkaran


terhadap ideologi familialisme dengan berusaha merekonstruksi
sejarah kehidupannya dengan membangun identitas baru bagi
dirinya, tidak lagi hanya sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai
pekerja dan perempuan karier. Dari keempat tokoh itu, hanya
Yasmin yang sudah menikah, tetapi dia pun tidak lagi harus menjadi
ibu rumah tangga semata. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
bila dipahami dalam konteks feminisme keempat tokoh perempuan
tersebut dapat dikatakan sebagai para perempuan yang telah
mendapatkan kemerdekaannya. Mereka sadar akan posisi dan
perannya yang harus seimbang dengan pria, walaupun masih hidup
dalam lingkungan masyarakat yang mengagungkan keunggulan
patriarkat dan ideologi familialisme. Sikap dan cara berpikir mereka
seringkali menunjukkan perlawanannya terhadap ideologi tersebut,
walaupun seringkali tidak semuanya berhasil.
Dalam penelitian Pasca Kolonialitas dan Si Feminin dalam
Sastra Indonesia Modern, (Hatley, 2006) dikaji sejumlah novel
Indonesia 1920-an sampai novel Saman karya Ayu Utami, dengan
fokus pada bagaimana perempuan dikonstruksi dalam karyakarya tersebut. Sejumlah novel yang dikaji adalah Belenggu, Layar
Terkembang, Kalau Tak Untung, Kehilangan Mestika, Manusia
Bebas, Harga Perempuan, Tarian Bumi, dan Saman. Di sini Hatley
menggunakan analisis poskolonial (feminisme postkolonial).
Dari novel Layar Terkembang dan Belenggu ditemukan adanya
penggambaran kesulitan kaum muda elite terdidik Indonesia,
berupa kontradiksi yang tak terlacak antara aspirasi-aspirasi
kemerdekaan dengan pemenuhan diri yang didorong dalam
diri para wanita (sic, Hatley selalu memilih kata wanita, bukan

48

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

perempuan!) oleh pendidikan dan pengaruh kultural Eropa serta


hubungan alami antara suami istri dalam perkawinan. Dari
novel Kalau Tak Untung, Kehilangan Mestika, dan Manusia Bebas
ditemukan bahwa pada teks-teks tersebut yang ditulis oleh wanita
tidak terjadi idealisasi atau problematika tentang wanita modern,
tetapi lebih mengisahkan kesadaran seorang protagonis wanita
yang sentral dengan caranya sendiri merenungkan konsekuensikonsekuensi dari peran-peran sosial baru bagi wanita dan tekanantekanan terhadap wanita. Hatley melihat kemunculan novel
Saman sebagai kelanjutan dari Manusia Bebas karya Soewarsih
Djojopuspito, terutama dalam upayanya menggabungkan tematema nafsu seksual wanita, kekuatan wanita, dan hubungan
dengan dunia supranatural. Dari kajiannya, Hatley menyimpulkan
bahwa apa yang ditulis oleh penulis-penulis wanita pribumi
mengenai pengalaman wanita Indonesia pada masa kolonial/
pascakolonial, yang dijajarkan dengan pelukisan oleh penulispenulis pria, menunjukkan jawaban kreatif dan penuh semangat
dari wanita terhadap kesempatan-kesempatan yang dibuka oleh
kontak kolonial untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan gaya
Eropa, berpartisipasi dalam proyek nasionalis, dan membangun
rumah tangga modern. Namun, ada juga kesadaran tentang
pengekangan dan pencekalan, pembatasan dan pertimbanganpertimbangan dan harapan-harapan dari orang-orang lain, serta
sikap-sikap sosial yang telah dihayati.
Dari kajian terhadap penelitian sebelumnya, tampak bahwa
penelitian yang mengkaji citraan perlawanan simbolis ter
hadap hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran
perempuan di sektor publik dalam novel-novel Indonesia belum

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

49

pernah dilakukan.
e. Kajian Teori
Untuk menjawab sejumlah masalah dalam penelitian ini
digunakan beberapa kerangka teori yaitu novel sebagai sarana
pencitraan perlawanan simbolis, hegemoni patriarkat dalam
ranah privat dan publik, dan kritik sastra feminis.
1) Novel sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan manusia, sebuah
novel sastra diciptakan bukan untuk tujuan estetis semata, seperti
diyakini oleh teori struktural objektif atau sebagai refleksi dari
struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material,
seperti diyakini oleh teori Marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan
novel memiliki posisi yang cukup penting, yaitu mengemban fungsi
sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu mengkonstruksi
masyarakat yang diedealkan (Gramsci, via Far, sering kali harus
harus melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dan
dominan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.
Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra (novel)
merupakan perlawanan yang bersifat simbolis. Hal ini karena
perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata dan gagasan
yang diungkapkan dalam sebuah novel. Sebagai mana dike
mukakan oleh Damono (dalam Kratz, ed., 2000: 650653) bahwa
sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masya
rakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan
yang tinggi, karya sastra yang dihasilkannya juga mencerminkan
kritik sosial yang (barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakat.
Kepekaan semacam itu telah dimiliki oleh sejumlah sastrawan

50

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

zaman lampau sampai sekarang. Dalam hal ini, Damono (dalam


Kratz, ed., 2000: 650653) mencontohkan bagaimana pujangga
Ronggowarsito, telah mengritik kebobrokan masyarakatnya pada
abad kesembilanbelas. Fungsi novel dalam hal ini dianggap sebagai
arena untuk menggambarkan ketimpangan sosial dan untuk
menyampaikan perlawanan terhadap ketimpangan tersebut.
Dalam konteks penelitian ini, novel Indonesia yang mengusung
ideologi kesetaraan gender dianggap sebagai sarana perlawanan
simbolis terhadap berbagai ketidakadilan gender yang ada dalam
masyarakat akibat hegemoni patriarkat.
2) Hegemoni Patriarkat dalam Ranah Privat dan Publik
Dalam konteks kajian gender dikemukakan bahwa hubungan
antara perempuan dengan laki-laki, serta pembagian peran sosial
dan privat antara perempuan dengan laki-laki telah diatur oleh
sebuah ideologi gender yang dikenal dengan istilah patriarkat.
Patriarkat adalah sistem hubungan antara jenis kelamin yang
dilandasi hukum kebapakan. Walby (1989: 213220) menjelaskan
bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik
yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan
meneksploitasi perempuan. Walby membuat sebuah teori tentang
patriarkat. Menurutnya, patriarkat itu bisa dibedakan menjadi
dua, yaitu patriarkat privat dan patriarkat publik. Inti dari teorinya
itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarkat, dari ruangruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah
yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarkat
terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehi
dupan laki-laki dan perempuan. Dari teori tersebut, dapat

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

51

diketahui bahwa patriarkat privat bermuara pada wilayah rumah


tangga. Wilayah rumah tangga ini dikatakan Walby (1989)
sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Sedangkan patriarkat publik menempati wilayah-wilayah publik
seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarkat
ini merubah baik pemegang struktur kekuasaan dan kondisi di
masing-masing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah
privat misalnya, dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan
berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang
memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif.
Hegemoni patriarkat terus menerus disosialisasikan dari
generasi ke generasi, bahkan juga melalui undang-undang dan
kekuasaan negara. Dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP)
No.1 tahun 1974, terutama pasal 31 ayat 3, yang masih digunakan
di Indonesia sampai sekarang misalnya dikemukakan bahwa peran
suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa suami
wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34
ayat 1), sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2). Dengan pembagian peran
yang demikian berarti peran perempuan yang resmi diakui adalah
peran domestik yaitu peran mengatur urusan rumah tangga
seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, merawat
anak, dan kewajiban melayani suami (Arivia, 2006: 437).
Demikian juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), terutama pasal 105, ayat 1, dinyatakan bahwa setiap suami
adalah kepala keluarga dalam penyatuan suami dan istri; pasal 106,

52

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

ayat 1, setiap istri harus mematuhi suaminya; pasal 106, ayat 2, sudah
merupakan keharusan bagi istri untuk hidup bersama suaminya;
pasal 124, ayat 1 dinyatakan bahwa suami mempunyai kekuasaan un
tuk bertindak atas aset-aset perkawinan dan kepemilikan, termasuk
seluruh kepemilikan pribadi istri dan yang dimiliki saat menikah
(Arivia, 2006: 438). Hegemoni patriarkat dalam ranah domestik
tampak disosialisasikan melalui Panca Dharma Wanita. Di dalamnya
dikemukakan bahwa wanita sebagai: 1) pendamping suami, 2) ibu
sebagai pendidik dan pembina generasi muda 3) pengatur ekonomi
rumah tangga, 4) pencari nafkah tambahan, 5) anggota masya
rakat terutama organisasi wanita, badan-badan sosial yang intinya
menyumbangkan tenaga kepada masyarakat sebagai relawan. Dari
sini tampak bahwa Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan
sebagai tersubordinasi oleh laki-laki. Dalam hubungannya dengan
laki-laki, perempuan dianggap sebagai pendamping suami, pencari
nafkah tambahan dan bukan sebagai perempuan karier. Panca
Dharma Wanita ikut melahirkan sekaligus menjadi bidan munculnya
ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki. Dilihat dari
segi emansipasi, Panca Dharma Wanita tidak mengizinkan adanya
kesetaraaan atau keseimbangan antara suami dan istri.
Adanya hegemoni patriarkat dalam ranah privat dan publik
akan menimbulkan ketidakadilan gender karena masyarakat
menempatkan perempuan lebih pada tugas-tugas domestik,
sementara tugas-tugas publik merupakan wilayah laki-laki. Akibat
nya, kesempatan perempuan mendapatkan pendidikan maupun
kesempatan bekerja di sektor publik menjadi dinomorduakan.
3) Kritik Sastra Feminis

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

53

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra


(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya
sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat
pada 1700-an (Madsen, 2000: 1).
Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra
feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang
ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk
oleh suara tradisional yang bersifat patriarkat (Ruthven, 1985:
6). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi
gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki
(Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 40).
Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi
perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986: 22).
Humm (1986: 1415) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah
sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis, dikonstruksi oleh
fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik sastra feminis melakukan
rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan
fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskipsikan
tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan
kata-kata dalam tulisannya. Kritik sastra feminis dipelopori oleh
Simone de Beauvoir melalui bukunya, Second Sex, yang disusul
oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan (The Feminin
Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch) (Humm,
1986: 21).
Dalam perkembangannya ada beberapa ragam kritik sastra

54

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

feminis. Showalter (1986) membedakan adanya dua jenis


kritik sastra feminis, yaitu: 1) kritik sastra feminis yang melihat
perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist
critique); 2) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai
penulis (the woman as writer/gynocritics).
Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca
(woman as reader) memfokuskan kajian pada adalah citra dan ste
reotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman
tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah
dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter, 1985:
130). Kritik sastra feminis ginokritik meneliti sejarah karya sastra
perempuan (perempuan sebagai penulis), gaya penulisan, tema,
genre, struktur tulisan perempuan, kreativitas penulis perempu
an, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta
perkembangan dan peraturan tradisi (Showalter, 1985: 131).
Untuk memahami citraan perlawanan simbolis terhadap
hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran
perempuan di sektor publik dalam novel-novel Indonesia akan
digunakan kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca
(woman as reader), yang memfokuskan kajian pada adalah citra
dan stereotipe perempuan dalam sastra, serta pengabaian dan
kesalahpahaman tentang perempuan, yang dilakukan dalam kritik
sastra sebelumnya.
f.

Cara Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif


kualitatif. Metode deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

55

keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta


yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini juga bertujuan
untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik objek
penelitian secara faktual dan cermat. Dalam penelitian ini meto
de tersebut digunakan untuk mendeskripsikan dan memahami
adanya gambaran perlawanan simbolis, melalui ideologi yang
diangkat dalam sejumlah novel Indonesia, terhadap hegemoni pa
triarkat dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor
publik, serta bagaimana novel-novel tersebut mengusung ideologi
feminisme untuk melawan diskriminasi tersebut.
g. Sumber Data
Sumber data ditentukan secara purposive, yaitu novel-novel
yang secara intens mengangkat isu pentingnya pendidikan dan
peran perempuan di sektor publik, yaitu Sitti Nurbaya (1922)
karya Marah Rusli, Kehilangan Mestika (1935), karya Hamidah,
Layar Terkembang (1936) keya Sutan Takdir Alisyahbana, Belenggu
(1940) karya Armijn Pane, Manusia Bebas (1944) karya Soewar
sih Djojopuspito, Widyawati (1948) karya Arti Purbani, Burungburung Manyar (1981) karya Y.B. Mangunwijaya, Saman (1999)
karya Ayu Utami, Geni Jora (2004) karya Abidah El-Khalieqy, dan
Putri (2004) karya Putu Wijaya.
Data berupa kata, frase, kalimat yang mengandung informasi
yang berkaitan perlawana simbolis dalam novel yang menjadi
objek penelitian. Data dicatat dalam kartu data dan diklasifikasikan
sesuai dengan informasi yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Analisis data dengan teknik deskriptif kualitatif
untuk menemukan adanya perlawanan simbolis, melalui ideologi

56

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

yang diangkat dalam sejumlah novel In ketidakadilan gender


dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik.
Inferensi hasil penelitian didasarkan pada kerangka teori kritik
sastra feminis membaca sebagai perempuan (woman as reader).
Data berupa kata, frase, kalimat yang mengandung informasi
yang berkaitan dengan masalah penelitian yang diambil dari novel
yang menjadi objek penelitian. Di samping itu, juga dikumpulkan
data yang berhubungan dengan informasi yang berhungan isu-isu
pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dan gerakan
feminisme yang berkembang di Indonesia yang dianggap mela
tarbelakangi diangkatnya isu-isu gender dalam novel Indonesia.
Data tersebut dicatat dalam kartu data dan diklasifikasikan sesuai
dengan informasi yang berubungan dengan masalah yang diteliti.
h. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif
melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi
digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori
yang telah ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum
keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk
menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai
dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini inferensi
didasarkan pada kerangka teori kritik sastra feminis membaca
sebagai perempuan (woman as reader). Kritik sastra feminis aliran
perempuan sebagai pembaca (woman as reader) memfokuskan
kajian pada adalah citra dan stereotipe perempuan dalam sastra,
pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik
sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

57

oleh laki-laki (Showalter, 1985: 130).


i.

Hasil Analisis

1) Perlawanan Simbolis terhadap Tradisi Pingitan dengan


Pendidikan bagi Perempuan
Sebagian besar novel Indonesia yang mengangkat pentingnya
isu pendidikan, terutama yang mengambil latar waktu sebelum
masa kemerdekaan menunjukkan bahwa untuk dapat menempuh
pendidikan seorang perempuan harus berhadapan dengan dua
hal, yaitu tradisi masyarakat yang masih menjalankan pingitan dan
terbatasnya sekolah yang dapat menerima perempuan untuk belajar.
Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarat di
Indonesia yang mengharuskan seorang anak perempuan berumur
12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapatkan jodohnya.
Seperti dikemukakan oleh Sitisoemandari Soeroto dalam buku
Kartini Sebuah Biografi (2001: 4) bahwa pada masa penjajahan
Belanda berlaku adat istiadat feodal di kalangan kaum bangsawan
menengah dan atas yang disebut pingitan. Mengenai makna
pingitan ini pernah dikemukakan oleh de Stuers, yang meneliti
gerakan perempuan di Indonesia, yang kemudian diterbitkan dalam
dalam buku Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian
(2008). Menurutnya kata dipingit diambil dari kata kuda pingit
yang artinya kuda yang dikurung di dalam kandang dan tidak
dibiarkan bebas berkeliaran seperti kuda lain. Metafora tersebut
dapat diterima karena adanya asosiasi makna antara kuda yang
tidak diperbolehkan keluar kandang, dengan seorang perempuan
yang tidak dipetrbolehkan keluar dari lingkungan rumahnya.
Gambaran mengenai tradisi pingitan terhadap anak-anak

58

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

perempuan, misalnya di Jawa juga tampak pada surat-surat


Kartini (Door Duisternis tot Licht/ Habis Gelap Terbitlah Terang,
J.H. Abendanon, 1979), yang merefleksikan kondisi masyarakat
pada zamannya. Dalam salah satu surat Kartini berikut misalnya,
tampak adanya praktik pingitan yang dialami gadis-gadis Jawa.
Ketika umur gadis itu menginjak 12 tahun, tibalah
waktunya ia meninggalkan hidup kanak-kanaknya yang lela.
Ia harus minta diri dari bangku sekolah, tempat duduk yang
disukainya. Ia harus pamit pada teman-temannya bangsa
Eropah, padahal ia senang sekali berada di tengah-tengah
mereka. Ia dipandan cukup dewasa untuk pulang dan tunduk
kepada kebiasaan negerinya, yang memerintahkan kepada
anak-anak perempuan nuda tinggal di rumah, hidup benarbenar terasing dari dunia luar sampai tiba saatnya datang lakilaki, yang diciptakan Tuhan bagi mereka masing-masing untuk
menuntutnya dan membawanya pulang ke rumahnya.
(Surat Kartini kepada Ny R.M. Abendanon-Madri, SulastinSutrisno, 1979:5051).

Di samping harus berhadapan dengan tradisi pingitan yang


berlaku tidak hanya di Jawa, tetapi juga daerah lain di luar Jawa,
seperti yang tergambar dalam sejumlah novel (Azab dan Sengsara,
Sitti Nurbaya, Kehilangan Mestika), para perempuan yang akan
belajar di sekolah juga terkendala oleh jumlah sekolah yang masih
terbatas, yang tidak semuanya dapat dimasuki oleh perempuan.
Sesuai dengan konteks sosial historis saat itu, jumlah sekolah dan
orang Indonesia yang menempuh pendidikan masih sangat sedikit,
terlebih kaum perempuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemu

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

59

kakan oleh Muljana (2008: 11) berdasarkan hasil penelitian yang


dilakukan oleh Mahlenfeld yang dimuat di harian de Locomotief
pada awal abad ke-20 di Pulau Jawa rata-rata dari 1000 orang
hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Bila
perempuan dihitung, jumlahnya menjadi 16. Sementara itu, berda
sarkan penelitian Groeneboer, Gouda (2007: 142) mengemukakan
data bahwa pada 1915 jumlah murid Indonesia yang sekolah di
HIS Negeri adalah 18.970 (laki-laki) dan 3.490 (perempuan); 1925:
28.722 (laki-laki) dan 10.195 (perempuan); 19291930: 29.984
(laki-laki) dan 11.917 (perempuan); 19341935: 31.231 (lakilaki) dan 15.492 (perempuan); 19391940: 34.307 (laki-laki) dan
19.605 (perempuan). Data-data tersebut menunjukkan masih
rendahnya partisipasi pendidikan pada masyarakat Indonesia
pada masa sebelum kemerdekaan.
Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa perjuangan kaum
pribumi untuk mendapatkan akses pendidikan pada saat itu
merupakan hal yang cukup penting, lebih-lebih pendidikan bagi
perempuan. Dalam hal ini Kartini dan Dewi Sartika merupakan
dua tokoh penting yang merintis perjuangan pendidikan bagi
perempuan. Gagasan Kartini tentang pendidikan bagi perempuan
disampaikan dalam surat-suratnya kepada beberapa orang
sahabatnya di Belanda (Door Duisternis tot Licht/ Habis Gelap
Terbitlah Terang, J.H. Abendanon, 1979) dan realisasinya membuka
kelas untuk anak-anak perempuan di rumahnya. Gagasan Kartini
kemudian direalisasikan oleh Dewi Sartika, yang pada 1904
mendirikan sekolah pertamanya untuk perempuan di Jawa Barat
(Sunda) dengan nama Keutamaan Istri (de Stuers, 2007: 74). Dari
kenyataan tersebut menunjukkan adanya upaya memperjuangkan

60

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

pendidikan bagi perempuan pada masa tersebut.


Gambaran mengenai pejuangan perempuan dalam dunia
pendidikan yang berhadapan dengan tradisi pingitan, ditemukan
dalam novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Kehilangan
Mestika. Beberapa kutipan berikut menjunjukkan hal tersebut:
Riam, rupanya kau memandang laki-laki itu manusia yang
tinggi dari perempuan? Memang, sahut Mariamin dengan
segera, Kalau saya laki-laki, tentu saya kuat bekerja sebagai
angkang; saya bersenang hati, karena pada hari mudaku boleh
aku kelak pergi ke sana-sini, pergi ke negeri orang merantau ke
Deli akan mencari pekerjaan. Lain halnya dengan kami perem
puan harus tinggal di rumah, tiada boleh acap kali keluar
rumah, kalau badan sudah besar.
(Siregar, 1996: 3738)

Dalam kutipan dari novel Azab dan Sengsara, meskipun


tidak menyebutkan kata pingitan secara ekspilit, tetapi tampak
bahwa dalam masyarakat Tapanuli, yang menjadi latar cerita
novel tersebut, seorang anak perempuan yang menjelang usia
remaja harus tinggal di rumah. Hal yang sama juga terjadi dalam
masyarakat Minangkabau, seperti digambarkan dalam novel Sitti
Nurbaya berikut:
Hal yang kedua yang menyebabkan kita lemah dan kurang
tajam pikiran kita daripada laki-laki, ialah pemeliharaan, peker
jaan dan kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita
mulai pandai berjalan, sampai berumur tujuh tahun sajalah
kita boleh dikatakan bebas sedikit; boleh berjalan-jalan ke sana
kemari, waktu kita berbesar hati, waktu kita merasa bebas.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

61

Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah lain kehidupan
kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari dapur kembali
pula ke rumah.
Apabila berumur tujuh delapan tahun, mulailah dikurung
sebagai burung, tiada melihat langit dan bumi, sehingga
tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita. Sedangkan
pakaian dan makanan, tiada diindahkan, apalagi kehendak dan
kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar memasak,
menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya pekerjaan yang
tiada dapat menambah kekuatan dan menajamkan pikiran.
(Roesli, 2001: 204)

Demikian pula yang digambarkan dalam Kehilangan Mestika,


yang berlatar tempat Bangka, seperti tampak pada kutipan berikut:
Karena di negeriku akulah pertama sekali membuka pintu pi
ngitan gadis-gadis, maka bermacamlah cacian yang sampai
ke telinga kaum keluargaku. Orang negeriku masa itu masih
terlalu bodoh dan kuno. Tak tahu mereka membedakan yang
mana dikatakan adat dan yang mana pula agama. Kebanyakan
dari pada adat yang diadatkan disangkakan mereka sebagian
juga dari pada syarat agama. Gadis-gadis masih dipingit, tak
boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih
oleh laki-laki. Inilah yang kucita-citakan
(Hamidah, 1959: 22)

Pada kutipan yang berasal dari tiga buah novel dengan latar
masyarakat yang berbeda tampak bahwa tradisi pingitan tidak
hanya terjadi di Jawa, seperti disebutkan Kartini, tetapi juga
terjadi di Sumatra (Tapanuli, Azab dan Sengsara), Minangkabau
(Sitti Nurbaya), dan Bangka (Kehilangan Mestika). Kalau novel

62

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Kehilangan Mestika mengangkat isu gender yang berhubungan


dengan masuknya perempuan ke sekolah dan bekerja di sektor
publik untuk melawan tradisi pingitan dalam konteks latar sosial
budaya Bangka (Sumatra), maka novel Widyawati karya Arti
Purbani (1979, cetakan pertama 1949) mengangkat isu tersebut
dalam konteks sosial budaya bangsawan Jawa. Novel Widyawati,
yang berlatar waktu masa kolonial Belanda ini bercerita tentang
perjalanan hidup Widyawati, sebagai seorang gadis dari keluarga
bangsawan Jawa, yang mendapatkan kesempatan sekolah sampai
sekolah guru di Betawi (Jakarta) dan menjadi seorang guru.
Dalam novel Widyawati diceritakan Widyawati (yang dalam
novel tersebut sering dipanggil sebagai Widati) yang berbeda
dengan teman-temannya, gadis-gadis bangsawan Jawa pada umum
nya, yang harus menjalani pingitan begitu menginjak usia remaja,
lulus dari rendah. Beberapa teman sebaya Widyawati, seperti
Roosmiati, Ruwinah, Murtinah harus tinggal di rumah (dipingit)
setelah lulus sekolahnya dan menunggu masa perkawinannya, se
mentara Widyawati oleh ayahnya diizinkan menempuh pendidikan
guru di Betawi. Ayah Widyawati adalah seorang Jaksa (Hop Jaksa)
di kota Klaten, Jawa Tengah. Lingkungan keluarganya adalah kehi
dupan keluarga bangsawan Jawa. Namun demikian, ayah Widyawati
berbeda dengan orang tua teman-teman perempuan Widyawati,
yang masih memperlakukan tradisi pingitan dan menjodohkan anakanaknya. Ayah Widyawati memberikan kesempatan kepada anaknya
untuk menempuh pendidikan guru di Betawi (Purbani, 1979: 59).
Dari beberapa pembahasan terhadap beberapa novel
tersebut, tampak bahwa dengan menggambarkan masuknya
tokoh-tokoh perempuan ke sekolah, maka tampak adanya perl

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

63

wanan terhadap ideologi patriarkat yang mendomestikasi perem


puan. Di samping itu, melalui dialog antartokoh dalam novel
tersebut juga tampak bahwa tradisi pingitan dikritisi dalam novelnovel tersebut.
2) Perlawanan Simbolis terhadap Domestikasi Perempuan
dengan Masuknya Perempuan ke Arena Publik
Pendidikan perempuan yang diikuti dengan masuknya
perempuan ke arena publik baru tampak pada Kehilangan Mes
tika karya Hamidah (1935), Layar Terkembang (1936) karya
Sutan Takdir Alisyahbana, Manusia Bebas (1940, 1975) karya
Soewarsih Djojopuspito, dan Burung-burung Manyar (1980)
karya Y.B. Mangunwijaya. Masuknya perempuan ke arena publik
menunjukan adanya perlawanan terhadap kultur patriarkat yang
menempatkan perempuan di ranah privat. Dengan masuk ke
arena publik perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah
hidupnya, dengan membangun identitas baru bagi dirinya,
tidak hanya sebagai istri/ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan
perempuan karier (Abdullah, 1997: 13).
Novel Kehilangan Mestika bercerita tentang seorang gadis
bernama Hamidah, dari keluarga biasa di Mentok, Pulau Bangka,
yang mendapat kesempatan menempuh pendidikan di Sekolah
Normal Putri (Normal School, sebuah sekolah guru pada masa
kolonial Belanda) sampai mendapatkan pekerjaan sebagai
seorang guru. Ayah Hamidah memandang bahwa pendidikan
bagi perempuan sangat penting agar perempuan dapat berguna
bagi bangsanya.

64

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Akan diriku bersama dengan seorang saudaraku yang


lain, meneruskan pelajaran kami ke sekolah Normal Puteri di
Padang Panjang. Tatkala akan meninggalkan ayah dan kampung
halaman yang pertama kali, tambahan pula akan mengarungi
lautan yang dalam dan lebar, timbullah kadang-kadang hati
yang cemas. Mula-mula malaslah akan berangkat itu, mening
galkan segala yang dikasihi di kampung sendiri. Tetapi ayah
yang ingin melihat anaknya menjadi orang yang berguna di
kemudian hari untuk bangsa dan tanah air, menyuruh dengan
tipu muslihat yang amat halus.
(Hamidah, 1935:6)

Hamidah tidak hanya diberi kesempatan menempuh


pendidikan sampai ke luar daerahkeluarga Hamidah tinggal di
Mentok, Pulau Bangka, bersekolah di Padang Panjang (Sumatra
Barat)tetapi juga diberi kesempatan untuk mengembangkan
dirinya dengan menjalani profesi sebagai guru. Pilihan terhadap
Sekolah Normal Putri (Normal School) telah mengarahkan bahwa
Hamidah akan bekerja setelah lulus dari sekolahnya. Normal
School adalah sekolah pendidikan guru pada masa kolonial Belanda
(Gouda, 2007: 171). Hal ini menunjukkan adanya dinamika dari
isu pendidikan bagi perempuan yang terdapat dalam novel Azab
dan Sengasara dan Sitti Nurbaya, yang masih bertujuan untuk
menyiapkan perempuan dalam tugas-tugas domestiknya, ke pen
didikan untuk menyiapkan perempuan bekerja di sektor publik.
Dengan menggambarkan tokoh Hamidah, yang bersekolah
untuk dapat bekerja sebagai guru, tampak adanya kesadaran pada
penulis untuk melawan anggapan masyarakat bahwa perempuan
adalah makhluk domestik. Caci maki yang dilontarkan masyarakat

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

65

terhadap keluarga Hamidah menunjukkan masih kuatnya masya


rakat menganut kultur patriarkat. Dalam novel Kehilangan Msetika
juga digambarkan bahwa Hamidah memiliki kesadaran untuk
memberikan pendidikan bagi masyarakat sekitarnya yang sebagan
besar masih buta huruf dan menjalankan tradisi pingitan. Setelah
lulus dari sekolah Normal Putri, Hamidah kembali ke kampung
halamannya dan menyelenggarakan kegiatan sosial memberikan
pelajaran membaca dan menulis kepada para tetangganya.
Bapaku rupa-rupanya sudah lebih dahulu menyelami
sekaliannya itu. Beliau menghendaki supaya aku tinggal di
negeriku sendiri, berusaha memberikan pelajaran di antara
saudara-saudaraku, supaya mereka dapat menurut kemauan
zaman. Bukankah saudara-saudara itu masih jauh betul keting
galan.
Besoknya aku mengurus sekalian keperluan pekerjaanku
dan lusanya kumulai sekali mengajar. Karena di negeriku akulah
pertama sekali membuka pintu pingitan gadis-gadis, maka
bermacamlah cacian yang sampai ke telinga kaum keluargaku.
Orang negeriku masa itu masih terlalu bodoh dan kuno. Tak
tahu mereka membedakan yang mana dikatakan adat dan
yang mana pula agama.
Kebanyakan dari pada adat yang diadatkan disangkakan
mereka sebagian juga dari pada syarat agama. Gadis-gadis
masih dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan
sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki. Inilah yang kucita-citakan.
Aku ingin melihat saudara-saudaraku senegeri berkeadaan se
perti saudara-saudaraku di tanah Jawa.
(Hamidah, 1935: 22)

Apa yang dilakukan oleh Hamidah menunjukkan adanya

66

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

tanggung jawab sosialnya untuk berbagi kemampuan yang


dimilikinya dengan memberikan pendidikan bagi kaum perem
puan di sekitar tempat tinggalnya yang masih terbelakang. Perbu
atan yang dilakukan Hamidah ini tampaknya sama dengan yang
dilakukan oleh Kartini, setelah dia harus tinggal di rumah dan
menjalani pingitan. Kartini telah membuka sekolah di rumahnya
untuk mengajari anak-anak perempuan tetangganya membaca
dan menulis (surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 4 Juli 1903;
de Stuers, 2008: 7).
Pendidikan perempuan yang diikuti dengan masuknya
perempuan di arena publik juga terdapat dalam novel Widyawati.
Setelah lulus dari sekolah guru, Widyawati menjadi guru. Rintisan
karier Widyawati sebagai guru diawali dengan kebiasaannya ketika
masih tinggal berasama ayahnya di Klaten. Seperti Kartini dan
Dewi Sartika, dia mengajari anak-anak tetangga dan pembantunya
di serambi rumahnya, yang menunjukkan bahwa memberikan
pendidikan bagi perempuan adalah sesuatu yang penting untuk
dilaksanakan.
Barangkali mereka akan datang lagi kalau aku di rumah, atau
Sinto akan minta tolong menunjukkan jalan hitungannya lagi.
Anak itu tahu berterima kasih. Kejadian itu diceritakannya
pada kawan-kawannya yang lain, yang diam dekat di sana
dan beberapa hari kemudian datang anak-anak itu minta
pertolonganku pula. Bagiku baik sekali hiburan ini, dan sejak
itu aku mengajar anak-anak kira-kira sepuluh orang di serambi
muka rumahku dari pukul 3 sampai pukul 5. Seperti guru betulbetul aku berdiri di muka papan tulis, memperbaiki kesalahankesalahan dalam kitab tulisnya dan betul-betul hatiku merasa

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

67

gembira
Berbulan-bulan kerjaku ini berjalan baik, sampai pada
suatu petang ibu tiriku datang dan melihat aku dengan muridmuridku. Ia berteriak, mengatakan aku menerima uang dari
anak-anak tetangga, dan kami mengotori serambi dan banyak
lagi kesalahanku disebutkan
(Purbani, 1979: 9091)

Setelah lulus dari sekolah guru, Widyawati segera menjalani


pekerjaan sebagai guru di Palembang. Ayah Widyawati bahkan
juga tidak memaksakan anaknya untuk dijodohkan dengan Sugono.
Novel ini mencoba menggambarkan sosok Widyawati, yang
meskipun hidup dalam lingkungan masyarakat Jawa, terutama dari
kalangan bangsawan yang masih memegang adat pingitan dan
domestikasi terhadap perempuan, telah dibebaskan oleh ayahnya
dari tradisi pingitan tersebut. Bahkan, ayahnya juga mengizinkan
ketika Widyawati, yang kemudian telah memilih pekerjaan sebagai
seorang perawat, mengambil keputusan untuk mengikuti keluarga
v. Lateen berlibur ke Amsterdam, Belanda. Widyawati berkeinginan
bekerja di rumah sakit di Belanda. Pilihan Widyawati pergi ke
Belanda, sebenarnya untuk melupakan laki-laki yang dicintainya
(Rawinto) yang tidak mampu menolak dijodohkan dengan putri
bangsawan Kasultanan Surakarta (Purbani, 1979: 203217).
Dari pembahasan terhadap novel Kehilangan Mestika dan
Widyawati, tampak ada kemiripan motif cerita kedua, serta
kemiripan karakter tokoh antara Hamidah dengan Widyawati.
Keduanya tokoh perempuan, yang hidup dalam lingkungan sosial
yang masih memegang teguh tradisi pingitan, telah mendapatkan

68

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kebebasan dari orang tuanya (ayahnya) untuk bersekolah dan


bekerja sebagai guru, bahkan juga merantau ke kota lain yang
jauh dari tempat tinggalnya. Dalam masyarakatnya, keduanya
digambarkan telah menjadi pelopor yang berani mendobrak adat
kebiasaan masyarakat yang mendomestikasikan perempuan.
Isu pentingnya pendidikan bagi perempuan, selanjutnya
tampak mengemuka dalam novel berikutnya, Layar Terkembang
(1937) yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan Manusia
Bebas (1940, 1975) karya Soewarsih Djojopuspito. Berbeda
dengan novel-novel sebelumnya, dalam kedua novel ini di samping
dikemukakan pentingnya pendidikan bagi perempuan, juga mulai
digambarkan aktivitas para perempuan yang bekerja sebagai guru
dan aktif dalam organisasi perempuan.
Layar Terkembang mengambarkan tokoh Tuti yang telah
mendapatkan pendidikan di Kweekschool dan menjadi guru di HIS
Arjuna di Petojo. Di samping itu, juga digambarkan tokoh Maria,
adik Tuti yang bersekolah di HBS Carpentier Alting Stichting,
Jakarta. Keduanya dapat menempuh sekolah tersebut karena orang
tuanya Raden Wiriaatmaja, bekas Wedana di daerah Banten. Hal ini
karena, pada masa kolonial Belanda, hanya keluarga dari kalangan
atas, terutama para pegawai kolonial Belanda dan orang-orang
kaya sajalah yang dapat menempuh pendidikan di sekolah-sekolah
pemerintah kolonial Belanda, seperti HIS, HBS, maupun STOVIA.
Pendidikan yang telah diperoleh oleh para perempuan, di
samping telah mendorong perempuan untuk memasuki lapangan
kerja di arena publik, terutama menjadi guru, juga telah menggerakkan
sejumlah perempuan untuk aktif dalam organisasi perempuan dan
menjadi pejuang dalam masyarakat. Beberapa tokoh perempuan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

69

bahkan tampak digambarkan ikut terlibat dalam perjuangan me


lawan penjajahan Belanda. Hal ini menunjukkan adanya tanggung
jawab sosial pada para perempuan untuk ikut berjuang memajukan
kehidupan para perempuan maupun masyarakat pada umumnya.
Hasrat membentuk organisasi perempuan sudah tampak pada
novel Kehilangan Mestika ketika Hamidah mengumpulkan para
perempuan tetangganya untuk belajar membaca dan menulis,
semacam program pemberantasan buta huruf, seperti tampak
pada kutipan berikut:
Dalam pada itu orang yang suka akan daku tak pula sedikit.
Hampir tiap malam aku didatangi orang jang mengadjak ber
unding mencari daya upaja, supaja saudara-saudaraku yang
tak mengenal mata surat diberi kesempatan untuk beladjar.
Mereka itu tentu sadja berasal dari luar Bangka, jang telah
tiba di tingkat jang djauh lebih tinggi dari saudara-saudaraku
penduduk Bangka asli
Mereka menyuruh aku berusaha sedapat-dapatnya dan di
dalam segala pekerjaan mereka sanggup menolongku. Pada
sangkaku apabila akan memperbaiki sesuatu bangsa mestilah
dimulai dengan putri-putri bakal ibu. Djikalau mereka telah
mengerti kepentingan perguruan, tentulah mereka tak segansegan dan tak sajang merugi mengeluarkan ongkos untuk
menjerahkan anaknya ke sekolah.
(Hamidah, 1959: 24)

Dari kutipan tersebut tampak bagaimana Hamidah dan


para perempuan di lingkungannya belajar bersama (membaca,
menulis, pekerjaan tangan, dan memasak) untuk meningkatkan
kualitas diri mereka.

70

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Selanjutnya, gambaran tentang organisasi perempuan


secara nyata baru tampak pada novel Layar Terkembang dan
Manusia Bebas. Dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya,
kedua novel ini dapat dikatakan telah menggambarkan adanya
dinamika isu gender dari masuknya perempuan ke sekolah dan
bekerja sebagai guru, ke aktivitas perempuan dalam organisasi
perempuan. Dalam kedua novel tersebut digambarkan aktivitas
perempuan sebagai ketua dan anggota organisasi perempuan.
Dalam novel tersebut terdapat tokoh Tuti adalah ketua organisasi
Putri Sedar dan Marti, ketua organisasi Perempuan Insaf. Di
samping itu, juga digambarkan peristiwa berlangsungnya Kongres
Perempuan Indonesia. Apa yang digambarkan dalam kedua novel
tersebut merefleksikan keberadaan sejumlah organisasi pe
rempuan pada masa prakemerdekaan. Dalam realitas tidak ada
organisasi Putri Sedar maupun Perempuan Insaf, namun yang ada
adalah Putri Merdeka dan Istri Sedar. Putri Merdeka merupakan
organisasi perempuan pertama yang didirikan di Jakarta pada
1912. Organisasi ini memberikan bantuan dana kepada kaum
perempuan agar dapat bersekolah atau melanjutkan sekolahnya,
memberikan saran dan informasi yang dibutuhkan, menumbuhkan
semangat, dan rasa percaya diri kepada kaum perempuan (3-84;
Blackburn, 2007: xxvi). Istri Sedar didirikan pada 1930 di Bandung
dan diketuai oleh Nyonya Soewarni Djojoseputro (Stuers, 2007:
135). De Stuers (2007: 135) menduga organisasi Istri Sedar inilah
yang menjadi model dari organisasi Putri Sedar dalam novel Layar
Terkembang. Pada 1931, Istri Sedar menyelenggarakan kongres
pada bulan Juli di Jakarta. Kalau organisasi Istri Sedar disamakan
dengan Putri Sedar, maka pada kongres inilah tokoh Tuti (Layar

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

71

Terkembang) menyampaikan pidatonya mengenai keadaan


perempuan pada zamannya dan zaman sebelumnya.
Pidato Tuti dalam Kongres Putri Sedar di Jakarta mengenai
kedudukan perempuan dalam masyarakat tampak merealisasikan
tujuan Putri Merdeka maupun Putri Sedar.
Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang
terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian
besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.
Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang citacita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang
angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna
yang praktis sedikit jua pun.
(Alisyahbana, 1986: 3438)

Melalui pidatonya di Kongres Perempuan tersebut, Tuti


menggambarkan kondisi perempuan masa lampau sampai pada
zamannya yang berada dalam belenggu penindasan patriarkat.
Dalam pidatonya Tuti melakukan kritik terhadap kondisi tersebut
dan mengemukakan gagasan mengenai apa yang seharusnya
dilakukan para perempuan zamannya untuk melawan penindasan
tersebut dan menunjukkan eksistensinya. Gambaran mengenai
kegiatan para perempuan, seperti Tuti dan kawan-kawannya
dalam organisasi perempuan merefleksikan apa yang terjadi
dalam masyarakat pada saat itu. Layar Terkembang tampaknya
ditulis sebagai dukungan terhadap gagasan terhadap kondisi dan
cita-cita ideal perempuan Indonesia yang dikemukakan dalam
Kongres Perempuan II tersebut.

72

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Peran perempuan dalam organisasi perempuan dalam


Manusia Bebas tampak pada aktivitas Marti, adik Sulastri, yang
tinggal di Jakarta menjadi ketua organisasi perempuan yang
bernama Perempuan Insaf dan tengah mempersiapkan penye-leng
garaan Kongres Perempuan Indonesia (hlm. 16, 185, 191, 192).
Dalam novel yang ditulis oleh Soewarsih Djojopuspito ini dengan
latar waktu sekitar 1930-an dan latar tempat sebagian besar di
Bandung dan Yogyakarta novel Manusia Bebas diceritakan tentang
perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah kaum intelektual pribumi
di lapangan pendidikan swasta dan organisasi perempuan. Bersama
suaminya, Sudarmo, Sulastri dan kawan-kawannya adalah sosok
kaum muda yang mendirikan sekolah-sekolah swasta (Perguruan
Kebangsaan) untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat
agar tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah pemerintah.
Karena berseberangan dengan pemerintah kolonial, keberadaan
sekolah-sekolah swasta tersebut mendapatkan pengawasan yang
ketat dari pemerintah. Beberapa guru dilarang mengajar, sampai
akhirnya sekolah terpaksa harus ditutup. Peristiwa ini merupakan
dampak dari didirikannya Ordonansi Guru oleh pemerintah
kolonial pada 1932. Ordonansi Guru didirikan untuk mengatur dan
mengawasi keberadaan sekolah-sekolah swasta. Aturan tersebut
antara lain adalah bahwa sebelum sekolah swasta dibuka harus
mendapatkan izin dari pemerintah, termasuk siapa saja guru-guru
yang boleh mengajar. Kurikulum pun harus sesuai dengan kurikulum
pemerintah. Proses belajar mengajar diawasi oleh inspektorat
sekolah yang berwenang memeriksa kelas setiap waktu (de Stuers,
2008: 128). Akibatnya, banyak guru-guru yang karena memiliki
semangat nasionalisme tinggi, nonkooperatif dengan pemerintah

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

73

kolonial dilarang mengajar, seperti dialami oleh tokoh Sulastri dan


suaminya, Sudarmo.
Setelah dilarang mengajar Sulastri mencoba menjadi seorang
penulis novel. Novel pertamanya yang ditulis dalam bahasa Sunda
dan dikirimkan ke sebuah penerbit (pada 1930-an, Balai Pustaka
adalah penerbit yang paling berkuasa) dikembalikan, ditolak
penerbit. Setelah mengatasi kekecewaannya, dia mulai lagi
menulis sebuah novel yang bercerita tentang perjalanan hidupnya
sebagai seorang guru sekolah swasta pada masa pemerintah
kolonial yang harus berjuang dengan idealisme.
Gambaran mengenai peran perempuan yang berjuang
dalam organisasi perempuan dalam novel Layar Terkembang
maupun Manusia Bebas menunjukkan adanya hubungan dengan
maraknya sejumlah organisasi perempuan pada 19201930-an
dan peristiwa Kongres Perempuan I dan seterusnya. Gagasan
mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan dan nasib
perempuan pada masa itu dan cita-cita perempuan Indonesia yang
disampaikan dalam kedua novel tersebut merefleksikan gagasan
yang dibicarakan dalam Kongres Perempuan tersebut. Kongres
Perempuan I diselenggarakan atas prakarsa Nyonya Soekonto,
guru perempuan di sekolah Belanda Pribumi dan anggota Komite
Wanito Utomo, seperti Nyonya Suwardi (Nyi Hadjar Dewantoro)
dan Soejatin (Nyonya Kartowijono), guru Perguruan Taman Siswa
dan anggota Komite Putri Indonesia (Stuers, 2007: 133).
Novel berikutnya yang mengangkat isu pendidikan, yang
diikuti dengan peran perempuan di sektor publik adalah BurungBurung Manyar (1981) karya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel
yang berlatar waktu cerita masa kolonial Belanda sampai awal

74

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Orde Baru ini, digambarkan sosok seorang perempuan bernama


Larasati, yang meskipun hidup dalam kultur patriarkat pada era
prakemerdekaan dan revolusi, telah mendapatkan kesempatan
memperoleh pendidikan, bahkan sampai jenjang S3. Dalam novel
tersebut digambarkan bagaimana Larasati memperahankan
disertasi yang ditulisnya di depan tim penguji disertasi dan
anggota senat Universitas Gadjah Mada, dengan predikat maxima
cumlaude. Dalam novel ini bahkan digambarkan prosesi ujian
promosi doktor yang dialami oleh Larasati.
Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian
Alam Bogor akan mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar
doktor biologi di hadapan Senat lengkap beserta undangan.
Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tida
musik; iklik tembaga, aluminium, selenium dan silikon. Para
profesor masuk melangkah serius, didahului rektor yang
pendek gemuk berkacamata barung uhu
Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang
mulia, dari jurusan mana pun, sebab tesis yang harus
dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga.
Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi
sungguh sejalan dengan jabatan doktoranda selaku Kepala
Direktorat Pelestarian Alam, yakni Jatidiri dan bahasa Citra
dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus manyar.
Seorang professor di samping Rektor bertepuk tangan,
yang disusul oleh spontanitas tepuk tangan hadirin-hadirat.
Termasuk aku juga. (Mangunwijaya, 1988: 201202)

Dengan menggambarkan sosok Larasati yang telah menempuh


pendidikan sampai memperoleh gelar Doktor Biologi, novel Burungburung Manyar gagasan mengenai kesetaraan gender dalam bidang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

75

pendidikan, yang telah umum ditemui dalam masyarakat Indonesia


pada era 1980-an, sesuai dengan latar waktu dalam novel tersebut.
Di samping menunjukkan adanya kesetaraan gender di bidang
pendidikan, Burung-burung Manyar menggambarkan peran
perempuan dalam perjuangan meraih kemerdekaan pada masa
kolonial Belanda, melalui tokoh Larasati. Larasati digambarkan ber
peran dalam perjuangan Indonesia pada masa revolusi tampak
pada episode cerita ketika terjadi serangan udara oleh sekutu di
Yogyakarta. Pada saat serangan udara tersebut digambarkan Larasati
dan ayahnya sedang menjalankan tugas untuk mengantarkan suratsurat rahasia dari Departemen Dalam Negeri ke Gubernur Jawa
Tengah, yang saat itu berada di Magelang. Di tengah perjalanan
mobil mendapatkan tembakan dari udara, yang mengakibatkan
ayahnya meninggal dunia (Mangunwijaya, 1981: 93). Keterlibatan
Larasati dalam pejuangan juga tampak pada keputusannya setelah
ayahnya meninggal dunia. Dia dan ibunya untuk sementara memilih
tinggal di desa tempat ayahnya dimakamkan, untuk membantu
dapur umum di pedalaman Magelang.
Dalam perspektif feminis apa yang dilakukan oleh para
perempuan tersebut menunjukkan adanya bentuk perlawanan
simbolis terhadap dominasi patriarkat yang menempatkan
perempuan sebagai makhluk domestik, yang dikonstruksi sebagai
ibu rumah tangga. Masuknya para perempuan ke sekolah dan arena
publik, baik sebagai perempuan bekerja maupun aktivis organisasi
sosial telah menunjukkan adanya gagasan mengenai kesetaraan
gender dan menolak anggapan bahwa keberadaan perempuan berada
di kelas dua (the second class), liyan (the other), atau dimarginalkan
(de Beauvoir, 2003: xxii). Yang menarik dari novel-novel yang dikaji

76

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

adalah bahwa perlawanan terhadap hegemoni patriarkat tidak hanya


tercitrakan pada novel yang ditulis oleh para perempuan, tetapi
juga ditulis oleh para novelis laki-laki. Artinya, kesadaran adanya
ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam masyarakat Indonesia
telah menjadi kegelisahan para sastrawan, sebagai salah satu
bagian dari kaum intelektual, dan telah mengusiknya sampai timbul
hasrat untuk mengritisinya. Hegemoni patriarkat yang mengurung
perempuan di rumah dan membatasi gerak serta mengabaikan
suaranya ternyata telah mengganggu ketentraman para sastrawan,
sehingga mereka mengritiknya dengan cara menulis karya novel
yang mengangkat gagasan pentingnya pendidikan bagi perempuan
dan peran perempuan di ranah publik, sehingga pelan-pelan akan
tercapai kesetaraan gender dalam masyarakat.
3) Simpulan
Berdasarkan

penelitian

yang

telah

dilakukan

dapat

disimpulkan bahwa perlawanan terhadap hegemoni patriarkat


dilakukan melalui perjuangan para perempuan untuk men
dapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan berperan di
ranah publik, baik sebagai perempuan bekerja maupun aktivis
organisasi perempuan. Pada beberapa novel awal pendidikan
perempuan masih bertujuan untuk mempersiapkan tugas-tugas
domestiknya, sebagai ibu rumah tangga (Azab dan Sengsara, Sitti
Nurbaya). Pada novel berikutnya, pendidikan bagi perempuan
telah bertujuan untuk mempersiapkan dirinya ke dalam pekerjaan
di sektor publik, terutama sebagai guru (Layar Terkembang,
Kehilangan Mestika, Widyawati, dan Manusia Bebas), yang
dilanjutkan dengan masuknya perempuan terpelajar tersebut
dalam organisasi perempuan untuk memperjuangan emansipasi

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

77

perempuan dan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia


(Layar Terkembang, Manusia Bebas, dan Burung-burung Manyar).
Temuan tersebut menunjukkan bahwa novel-novel Indonesia
telah ikut berperan dalam melakukan kritik (perlawanan simbolis)
terhadap hegemoni pariarki yang berlaku dalam masyarakat, sejak
masa kolonial sampai sekarang yang penuh dengan ketidakadilan
gender. Perlawanan tersebut diwujudkan dengan memberi
kan kesempatan kepada para perempuan untuk menempuh
pendidikan di sekolah dan di luar sekolah, serta memberikan
kesempatan kepada para perempuan untuk ikut berperan di arena
publik, baik sebagai pekerja maupun aktivis organisasi perempuan.

C. Rangkuman
Sebelum melakukan penerapan kritik sastra feminis terhadap
novel-novel Indonesia perlu disusun rancangan yang meliputi latar
belakang pemilihan fokus masalah, tujuan, kajian kepustakaan,
kerangka teori, penentuan sumber data, dan cara analisis data.
Setelah itu dilanjutkan dengan kerja analisis dan menyusun laporan
analisis. Laporan dapat disusun dengan mengikuti pedoman yang
berlaku dalam lingkup tertentu, atau yang dikenal dengan gaya
selingkung.

D. Latihan dan Tugas


1. Sebutkan dan jelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan
dalam pengkajian karya sastra dengan menggunakan kritik
sastra feminis!
2. Susunlah sebuah esai yang merupakan contoh penerapan kritik
sastra feminis terhadap karya sastra yang telah Anda pilih!

BAB III
KEHADIRAN NOVELIS
PEREMPUAN DALAM SASTRA
INDONESIA TAHUN 2000-an:
DEKONSTRUKSI TERHADAP
SISTEM PATRIARKAT DAN
PENCARIAN IDENTITAS

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1) Contoh penerapan kritik sastra feminis.
2) Menerapkan kritik sastra feminis terhadap novel-novel
Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

erbitnya novel Saman (1999) karya Ayu Utami yang semula


merupakan juara pertama lomba penulisan novel Dewan

Kesenian Jakarta 1998, disusul dengan novel Dadaisme (2003)

78

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

79

karya Dewi Sartika, Geni Jora (2003) karya Abidah El-Khaliaeqy, dan
Tabularasa (2003) karya Ratih Kumalasebagai juara pertama,
kedua, dan ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2003telah memunculkan pendapat dari beberapa kritikus
dan pembaca bahwa masa depan novel Indonesia akan berada
di tangan para penulis perempuan. Beberapa kritikus dan pem
baca yang memberikan pendapat tersebut antara lain adalah
Sapardi Djoko Damono (2004) dan Ibnu Wahyudi (2002). Damono
(Kompas, 2004)yang hampir selalu berperan seagai anggota
dewan yuri lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta dan
menyeleksi novel-novel karya perempuan sebagai juara pertama
pada 1989 maupun 2002 mengemukakan bahwa masa de
pan novel Indonesia ada di tangan perempuan. Sementara itu,
Wahyudi (Srintil, 2005) menyatakan bahwa munculnya sejumlah
nama pengarang perempuan mengindikasikan akan muncul
nya generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang
mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe
yang merendahkan mereka.
Di samping disusul dengan tiga orang perempuan dan novelnovelnya yang juga mendapakan penghargaan dalam lomba
penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta, kemunculan Ayu
Utami, diikuti oleh sejumlah penulis perempuan lainnya seperti
Dee (Dewi Lestari) (misalnya Supernova I, II, [2001]), Nova Ri
yanti Yusuf (Maha Dewa Maha Dewi, 2003), Djenar Mahesa Ayu
(Mereka Bilang Saya Monyet dan Jangan Main-main dengan
Kelaminmu, Nayla, 2002, 2004, 2004), Eliza V. Handayani (Area
X: Himne Angkasa Raya, 2000), Herlinatiens (Garis Tepi Seorang
Lesbian, 2003), Oka Rusmini (Tarian Bumi, Kenanga (2000, 2003),

80

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dan sejumlah nama lainnya. Kenyataan tersebut menunjukkan


adanya booming novelis perempuan dalam perkembangan pe
nulisan novel Indonesia pada 2000-an, yang belum pernah terjadi
pada periode sebelumnya.
Tulisan ini mencoba untuk memahami fenomena munculnya
sejumlah novelis perempuan pada 2000-an, dengan memfokuskan
pada siapa dan apa karyanya, serta apa kecenderungan tema yang
tampak pada novelnya. Kedua masalah tersebut akan dikaji dalam
perspektif kritik sastra feminis, sehingga dapat terungkap apakah
kehadiran mereka dan novel karyanya merupakan salah satu bentuk
dekonstruksi dari sistem patriarkat dan upaya pencarian identitas?
Pembahasan ini penting dilakukan untuk memahami peran
dan keberadaan perempuan dalam penulisan novel Indonesia
yang selama ini cenderung diabaikan. Kajian yang dilakukan oleh
Umar Junus (Perkembangan Novel Indonesia Modern, 1984),
yang membahas novel Indonesia dari 1920 sampai 1970-an tidak
membicarakan satu pun pengarang perempuan dan karyanya.
Sementara itu, Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia (1980) dan
Sastra Indonesia Modern II (1989) memang tidak melupakan
kehadiran para pengarang perempuan dalam penulisan sastra Indo
nesia, tetapi sebagian besar dari mereka, kecuali NH. Dini, Rahayu
Prihatmi, dan Titis Basino, dikategorikan dalam penulis sastra (fiksi)
pop, dengan nilai sastra cenderung rendah (Teeuw, 1989: 177179).
Dengan menggunakan perspektif feminis diharapkan peran
dan keberadaan novelis perempuan lebih dapat dipahami. Hal ini
karena seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 221) bahwa
penelitian feminis memiliki tujuan untuk mengindentifikasi
penghilangan, penghapusan, dan informasi yang hilang tentang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

81

perempuan secara umum. Reinhartz (2005: 67) juga menegaskan


bahwa memahami perempuan dari perspektif feminis adalah
memahami pengalaman dari sudut pandang perempuan sendiri,
yang akan memperbaiki ketimpangan utama cara pandang
nonfeminis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran perempuan,
atau menafsirkannya dari sudut pandang laki-laki di masyarakat
atau peneliti laki-laki. Melalui kajian feminis diharapkan juga dapat
terungkap kemungkinan adanya kekuatan budaya patriarkat yang
membentuk citra mengenai perempuan maupun laki-laki, relasi
antarkeduanya, ataupun adanya perlawanan terhadap domi
nasi patriarkat yang terefleksi dalam karya-karya sastra tersebut.
Seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 202) bahwa ciri khas
kajian feminis adalah menguak budaya patriarkat yang kuat dan
bahkan membenci perempuan (misoginis).
2. Novelis Perempuan Periode 2000-an: Dekonstruksi terhadap
Sejarah Sastra Indonesia yang Patriarkats
Sebelum membahas keberadaan sejumlah novelis perempuan
periode 2000-an, yang dapat diduga sebagai bentuk dekonstruksi
terhadap sejarah sastra Indonesia yang selama ini dikuasai oleh
laki-lakibaik sebagai novelis maupun kritikusnyaberikut ini
dikemukakan sejumlah novelis perempuan yang berkarya pada
periode 2000. Di samping Ayu Utami, sejumlah nama novelis
perempuan yang berkarya pada periode ini antara lain Dee (Dewi
Lestari), Eliza V. Handayani, Nova Riyanti Yusuf, Herlinaties, Dewi
Sartika, Abidah El-Khalieqy, Ratih Kumala, Oka Rusmini, Djenar
Maesa Ayu, Fira Basuki, Naning Pranoto, Ani Sekarningsih, Nukila
Amal, Dinar Rahayu, Sekar Ayu Asmara, dan sejumlah nama lain

82

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

nya yang karyanya terus bermunculan seperti dapat dilacak di


toko-toko buku.
Di awal tulisan ini telah dikemukakan bahwa melalui novelnya
yang berjudul Saman, Ayu Utami dianggap sebagai pelopor penulisan
novel periode 2000. Cerita dalam novel tersebut dilanjutkan dalam
Larung, yang seperti tampak pada peristiwa-peristiwa yang di
gambarkan adalah kelanjutan alur cerita dalam kelanjutan Saman.
Di samping itu, nama tokoh-tokoh utamanya pun sama. Karena
kebaruan gaya penceritaan dan prestasinya, Rampan (2000) dalam
Angkatan 2000, menyebut Ayu Utami sebagai tokoh pembaharu
dalam penulisan novel Indonesia mutakhir, sebuah predikat yang
belum pernah disandang oleh pengarang perempuan sebelumnya,
bahkan juga oleh NH. Dini, novelis perempuan dari periode 1970an yang telah menulis puluhan judul novel dan cerita pendek dan
masih berkarya sampai sekarang.
Setelah Ayu Utami yang sukses dengan novel pertamanya,
Saman, yang sampai 2000 telah mengalami cetak ulang ke dua
puluh lima, muncullah Dee atau Dewi Lestariyang juga dikenal
sebagai seorang penyanyi dari kelompok musik Rida Sita Dewi
yang menerbitkan novel Supernova I: Ksatria Putri dan Bintang
Jatuh (2001), disusul dengan Akar (2003), dan Petir (2004).
Ketiga novel tersebut merupakan trilogi dengan cerita seputar
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama
komputer dan teknologi komunikasi yang menjadi dunia seharihari tokoh. Pada Supernova I juga dimunculkan tokoh dari kalangan
gay (Dhimas dan Ruben), yang belum pernah ditemukan dalam
novel sebelumnya. Hal yang menarik dari novel-novel Dewi adalah
teknik pengaluran yang disusun secara puzzle. Peristiwa-peristiwa

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

83

sepertinya tidak saling berhubungan, bertemu secara kebetulan,


tetapi pada akhirnya akan ditemukan hubungannya. Ketiga trilogi
karya Dee segera disusul dengan dua buah novel berikutnya, yaitu
Rectoverso (2008) dan Perahu Kertas (2009).
Novelis berikunya adalah Eliza V. Handayani. Dia telah menulis
sebuah science fiction yang berjudul Area X: Himne Angkasa Raya
(2003), yang menceritakan adanya fenomena UFO dan laboratorium
penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi di Area X. Latar waktu
novel ini bersifat futuristik, 2015. Pada masa itu diandaikan Indo
nesia telah sampai pada perkembangan tekonologi komputerisasi
yang tinggi, sehingga para ilmuwan memiliki animo yang berlebihan
untuk menguak misteri ruang angkasa. Dalam novel tersebut
diceritakan bagaimana pemerintah menyembunyikan rahasia besar
dalam laboratorium yang dikenal dengan nama Area X. Beberapa
orang ingin mengungkap rahasia di balik Area X. Mereka adalah
Tokoh Yudho dan Rocky, yang mencoba menyusup ke dalam Area
X untuk menguak rahasia yang ada di dalamnya. Keduanya tertang
kap, Rocky pun meninggal dalam upaya melarikan diri. Di samping
itu, juga Elly dan Dr. Hardono. Yang menarik dari novel ini adalah ada
nya referensi di halaman akhir buku, layaknya sebuah karya ilmiah,
yang menunjukkan bahwa untuk menulis novel ini pengarang telah
menggunakan berbagai referensi dari buku, majalah, koran tentang
fenomena UFO dan teori-teori yang relevansi dengan fisika, ufologi
dan ruang angkasa.
Pada 2003, Nova Riyanti Yusuf menerbitkan novel Mahadewa
Mahadewi. Selain menulis novel, pengarang juga berprofesi
sebagai seorang dokter jiwa. Oleh karena itu, novel tersebut meng
angkat tema kejiwaan, dengan tokoh salah seorang pasien rumah

84

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

sakit jiwa. Novel ini juga mengangkat tokoh yang menjalani praktik
kehidupan gay (homoseksual), seperti yang pernah dimunculkan
oleh Dewi Lestari. Mahadewa Mahadewi memotret cerita tentang
tokoh yang menjadi seorang teroris, yang melakukan berbagai
teror di tanah air atas nama jihat.
Novelis berikutnya adalah Herlinatiens dengan karyanya
Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), yang mengangkat tokoh yang
menjalani kehidupan homoseksual (lesbian). Sepanjang novel
tersebut didominasi dengan monolog, dialog, dan kenangan
tokoh terhadap hubungan cinta homoseksual yang dialaminya.
Dalam novel ini tokoh-tokoh lesbi dihadapkan dengan kekuasaan
patriarkat dan masyarakat yang mendukung hubungan hete
roseksual. Novel tersebut segera disusul dengan Dejavu,
Sayap yang Pecah (2004), Jilbab Britney Spears (2004), Sajak
Cinta Yang Pertama (2005), Malam untuk Soe Hok Gie (2005),
Rebonding (2005), Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005),
Koella, Bersamamu dan Terluka (2006), dan Sebuah Cinta yang
Menangis (2006).
Novelis berikutnya adalah Dewi Sartika, dengan novelnya
Dadaisme (2003) menjadi juara ketiga lomba penulisan novel
Dewan Kesenian Jakarta 2003. Novel ini bercerita tentang seorang
anak yang mengalami gangguan kejiwaan, kehilangan suaranya
pada usia tujuh tahun, karena mengalami trauma hebat. Trauma
tersebut pada akhirnya terungkap setelah tokoh Nedena menjalani
terapi seorang ahli jiwa (dalam novel tersebut disebut sebagai
psikolog). Trauma terjadi karena Nedena menyebabkan rumah
dan ibunya terbakar ketika dia bermain api di kompor. Dengan
teknik puzzle peristiwa disajikan secara menarik.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

85

Abidah El Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung


Surban (2001), Atas Singgasana (2002), dan Geni Jora (2003),
Mahabah Rindu (2207) dan Nirzona (2008). Ciri khas dari karya
Khalieqy adalah mengangkat cerita yang menginginkan adanya
seputar kesetaraan gender di kalangan masyarakat Islam tra
disional (pesantren). Geni Jora merupakan novel yang ditulis
untuk mengikuti lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta
2003 dan mendapat predikat juara pertama. Novel Perempuan
Berkalung Surban menjadi sangat terkenal karena difilmkan di
layar lebar pada 2009. Yang menarik dari kedua novel ini adalah
adanya arus pemikiran feminisme Islam, yang mencoba memper
tanyakan interpretasi terhadap ajaran Islam yang didominasi oleh
tradisi patriarkat di kalangan pesantren.
Ratih Kumala dengan novelnya, Tabularasa (2003), menjadi
juara ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta
2003. Novel ini bercerita tentang pengalaman seorang remaja
yang mengikuti ayahnya bekerja di Rusia dan harus kembali ke
Indonesia, dengan meninggalkan kekasihnya, karena peristiwa
komunisme memanas di Indonesia pada 1965. Dalam novel
ini juga dimunculkan tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan
homoseksual, baik sebagai pasangan gay maupun lesbi. Ratih
Kumala juga menulis novel berlatar belakang konflik agama dan
suku di Ambon dalam novelnya, Genesis (2004). Novel karya
Kumala lainnya adalah Kronik Betawi (2008), sebuah novel yang
semula dipublikasikan sebagai cerita bersambung di harian Repu
blika, AgustusDesember 2008 dan bercerita tentang perjalanan
masyarakat Betawi dan anak daerahnya dalam menghadapi
modernisasi ibukota.

86

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Oka Rusmini menulis beberapa novel antara lain Tarian Bumi


(2000) dan Kenanga (2003). Kedua novel tersebut mengambil
tokoh dan latar masyarakat Bali, terutama seputar posisi
perempuan dalam sistem kasta di Bali. Stratifikasi sosial Bali yang
berkasta memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan
antarmanusia, termasuk peran dan relasi gender. Dengan sema
ngat kesetaraan gender, kedua novel tersebut mencoba memper
tanyakan nilai sosial budaya yang melekat pada sistem kasta
tersebut.
Djenar Mahesa Ayu menulis novel Nayla (2005). Novel ini
mengangkat cerita tentang seorang anak (Nayla) yang hidup dalam
keluarga yang broken home, mengalami kekerasan dalam rumah
tangga, yang dilakukan oleh ibunya dan pacar ibunya, sehingga
melarikan diri dari rumah. Tokoh Nayla pada akhirnya menjadi
seorang pengarang perempuan yang sukses.
Fira Basuki telah menerbitkan beberapa novel laitu Jendelajendela, Atap, Pintu (2002), Biru (2003), Rojak (2004), Ms. B:
Panggil Aku B (2004), Ms. B Jadi Mami (2005), Alamak (2005),
Cinta dalam Sepotong Roti (2005), dan Astral Astria (2007). Melalui
trilogi Jendela-jendela, Atap, dan Pintu Fira Basuki mengangkat ce
rita yang berhubungan dengan konteks sosial budaya masyarakat
global dan perkawinan lintas negara dengan berbagai masalahnya.
Yang menarik dari novel-novel Basuki, walaupun tokoh-tokohnya
hidup dalam masyarakat dan budaya global, suatu saat masih
mengingat dan percaya kepada nilai-nilai budaya tradisional,
khususnya Jawa.
Naning Pranoto menerbitkan beberapa novel yaitu Wajah
Sebuah Vagina (2003), Mumi Beraroma Minyak Wangi (2001), Bela

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

87

Dona Nova: Kekasih dari Ipanema (2004), Azalea Jingga: Sebuah


Elegi Sayap-sayap Cinta (2005), dan Naga Hong Kong (2007).
Melalui novelnya Wajah Sebuah Vagina (2003), Naning Prano
to menggambarkan bagaimana seorang perempuan Indonesia,
terutama dari kelas bawah, senantiasa menjadi korban kekerasan
seksual dari laki-laki, baik laki-laki pribumi maupun asing.
Di samping itu, juga ditemukan seorang novelis perempuan,
Ani Sekarningsih yang menerbitkan beberapa karyanya yaitu
Namaku Teweraut (2000). Novel ini bercerita tentang seorang
perempuan Asmat bernama Teweraut, yang mencoba kelu
ar dari keterbelakangan masyarakatnya. Sebagai salah satu
perempuan Asmat yang sempat menempuh pendidikan sampai
tingkat menengah, walaupun harus putus sekolah karena ken
dala transportasi sehingga orang tuanya kesulitan bekal untuknya,
Teweraut mewakili sosok perempuan Asmat yang harus berjuang
menuju modernitas dalam belenggu tradisi dan kemiskinan. Di
samping menulis Namaku Teweraut, Sekarningsih juga menulis
Osakat Anak Asmat (2002) dan Memburu Kalacakra (2005).
Novelis berikutnya adalah Nukila Amal yang menulis novel
Cala Ibi (2002), sebuah novel dengan gaya surealistis. Novel ini
termasuk salah satu dari lima besar yang dinomimasikan untuk
meraih Khatulstiwa Literary Award 20022003. Judul novel men
gacu kepada nama seekor naga (Cala Ibi) yang pada suatu malam
tiba-tiba muncul di kamar tokoh Maia, mengajaknya berdialog dan
terbang mengarungi langit malam dari Jakarta sampai kampung
halaman Maia di Ternate. Ketika sampai di rumah orang tua
Maia, di Ternate, naga Cala Ibi berubah menjadi anting di telinga
Maia. Cerita dalam novel ini seperti mengingatkan pembaca pada

88

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

model cerita fantasi, misalnya sebuah cerita anak Rapunzel yang


dapat berdialog dan bergaul dengan seekor naga yang dapat
membawanya terbang ke angkasa.
Dari pembacaan sekilas terhadap cerita yang diangkat dalam
sejumlah novel tersebut, tampak adanya lima macam tema yang
diangkat dalam sejumlah novel karya perempuan tersebut, yaitu:
pertama, yang paling dominan adalah tema sosial yang dibedah
dalam bingkai feminisme untuk melawan dominasi patriarkat dan
kekerasan terhadap perempuan (Saman dan Larung karya Ayu Utami,
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El-Khalieqy,
Tarian Bumi dan Kenanga karya Oka Rusmini, Wajah Sebuah Vagina
karya Naning Pranoto, dan Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih.
Kedua, tema seksualitas, terutama lesbian, gay, dan transeksual
(Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens, Supernova karya Dewi
Lestari, Tabularasa karya Ratih Kumala). Ketiga, tema kejiwaan, teru
tama gangguan kejiwaan (Mahadewa-mahadewi karya Nova Riyanti
Yusuf, Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala Ibi Karya Nukila Amal, dan
Nayla karya Djenar Maesa Ayu). Keempat? Kelima, tema kehidupan
global, terutama ketika seorang perempuan Indonesia yang tinggal si
luar negeri memilih menikah dengan laki-laki dari bangsa lain (Trilogi
Jendela-jendela karya Fira Basuki).
Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, munculnya
sejumlah perempuan dalam kancah penulisan sastra Indonesia
pada 2000 memang cukup menghebohkan. Dalam cacatan
Korrie Layun Rampan (1996), dari 1933 sampai 1995 (kurun 62
tahun) terdapat 45 nama novelis perempuan. Dalam hal ini
Rampan mengatakan bahwa kemunculan pengarang perempuan
telah tertinggal 13 tahun dari kemunculan novelis laki-laki jika

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

89

menggunakan patokan sejarah sastra tahun 1920. Jika diurut


dari segi bentuk dan isinya, NH. Dini menduduki tempat teratas
dengan novel-novel yang menyuarakan hati wanita yang peka,
lembut, dan sederhana, tetapi didasari oleh kepribadian dan
harga diri yang kuat. Kemudian, disusul oleh Aryanti (Harjati
Soebadio) dengan kisah-kisah unik dari dunia kepurbakalaan dan
alam misteri yang dijalin di dalam bahasa yang intelektualistis.
Selanjutnya, karya-karya Marianne Katoppo lebih mencerminkan
sifat dan sikap hidup kosmopolitan dengan anyamannya dari
dunia psikologi secara menyakinkan. Disusul oleh Th. Sri Rahayu
Prihatmi yang menggarap pemberontakan terhadap dogma dan
perjuangan hidup kaum wanita untuk menemukan kebahagia
annya sendiri. Titis Basino menunjukkan bahwa penderitaan
selalu membuahkan kekuatan dan kebajikan jika disikapi dengan
kesabaran dan rasa percaya diri. Selanjutnya, disusul dengan novel
Suwarsih Djojopuspito dan S. Rukiah, Titie Said, Lilimunis C., Maria
Sugiharto, Hanna Rambe, Waluyati Supangat, Hamidah, Zunaidah
Subro, dan Martha Hadimulyanto.
Dari segi kuantitas, 45 novelis selama 62 tahun tentu bukanlah
jumlah yang banyak, apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah
novelis laki-laki. Di samping kuantitas novelis perempuan yang
terbatas, kreativitas dan karya-karya mereka juga amat jarang
dibicarakan dalam buku-buku sejarah sastra. Beberapa buku
sejarah sastra Indonesia modern yang ada dan digunakan dalam
pembelajaran selama ini, misalnya buku Perkembangan Novel
Indonesia Modern karya Umar Junus (1984 tidak membicarakan
para pengarang perempuan dan karyanya. Teeuw dalam Sastra
Baru Indonesia (1980) dan Sastra Indonesia Modern II (1989)

90

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

memang tidak melupakan kehadiran para pengarang perempuan


dalam penulisan sastra Indonesia, tetapi sebagian besar dari
mereka, kecuali Nh. Dini, Rahayu Prihatmi, dan Titis Basino,
dikategorikan dalam penulis sastra (fiksi) pop, dengan nilai sastra
cenderung rendah (Teeuw, 1989: 177179).
Munculnya sejumlah penulis perempuan dalam panggung
sastra Indonesia tersebut tampaknya bukan suatu kebetulan, tetapi
memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi
sosio-kultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil
perjuangan para feminis yang menuntut eksistensi perempuan
dalam kesetaraan gender. Kehadiran mereka dalam kancah pe
nulisan sastra (novel) menunjukkan adanya upaya dekonstruksi
terhadap sistem patriarkat yang selama ini telah melahirkan para
novelis laki-laki yang telah menguasai sejarah sastra Indonesia.
3. Upaya Pencarian Identitas
Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi kultur
patriarkat, maka keberanian para novelis perempuan untuk
menulis dan menerbitkan karyanya dapat dimaknai sebagai satu
upaya pencarian identitas. Mereka telah menunjukkan bahwa
dunia penulisan karya sastra, khususnya novel, bukan hanya
monopoli kaum laki-laki. Ayu Utami dan kawan-kawannya telah
membuktikannya melalui lomba penulisan novel Dewan Kesenian
Jakarta dalam dua periode berturut-turut. Para perempuan
yang selama ini dikonstruksi dalam peran-peran domestik mulai
menyerbu wilayah publik.
Beberapa dari novelis tersebut bahkan menjadikan profesi
penulis sebagai pekerjaan utamanya. Mereka adalah Ayu Utami,

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

91

Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Naning Pranoto, Abidah ElKhalieqy, dan Ani Sekarningsih. Menulis sebagai pekerjaan kedua
terjadi pada Nova Riyanti Yusuf, yang profesi utamanya sebagai
dokter jiwa dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009
2014 untuk Daerah Pemilihan Jakarta II dari Partai Demokrat.
Beberapa dari mereka bahkan masih berstatus mahasiswa ketika
menerbitkan karyanya (Dewi Lestari, Ratih Kumala, Herlinatiens,
Eliza Fitri Handayani). Kalau pun mereka juga berkecimpung pada
kegiatan lain, selain menulis, yang dipilih adalah kegiatan yang
masih berhubungan dengan tulis menulis, seperti kewartawanan
(Ayu Utami), penulis skenario (Ratih Kumala) dan pengelolaah Jur
nal (Ayu Utami), maupun Surat Kabar (Oka Rusmini),
Dengan menyebutkan penulis sebagai profesi utama,
menunjukkan bahwa mereka secara sadar telah memilih profesi
tersebut sebagai identitasnya. Menulis telah dijadikan sebagai
pilihan bagi para perempuan tersebut dalam menjalankan peran
publiknya.
Namun,

walaupun

mereka

telah

berusaha

memilih

identitasnya, belum semua orang mengakui keberadaannya. Hal


ini tampak dengan adanya sejumlah tanggapan negatif terhadap
mereka. Beberapa tanggapan yang cenderung bernada negatif
terhadap kreativitas para penulis perempuan periode 2000,
antara lain disampaikan oleh Sitok Srengenge, Faruk, David Krisna
Alka, Sunaryono Basuki K.S.
Sitok Srengenge yang menganggap kemunculan perempuan
sastrawan, tak lebih sebagai sebuah trend belaka. Menurutnya,
heboh yang terjadi kebanyakan bukan oleh kualitas yang mereka
tunjukkan. Melainkan oleh faktor-faktor lain yang berada di luar

92

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kesusastraan. Sitok mencontohkan Ayu Utami dengan karyanya


Saman (Suara Merdeka, 2 Maret 2006). Faruk (seperti dikutip
Kompas, 7 Maret 2004) menganggap munculnya para penulis
perempuan berhubungan dengan perkembangan masyakarat
industri. Setelah industri berkembang semakin maju, kebanyakan
kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas tidak berminat
menekuni sastra. Industrialisasi membuat kaum lelaki menjadi
sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang dibanding
sektor sastra. Bersamaan dengan itu, pendidikan yang telah
tersedia luas baik bagi laki-laki maupun perempuan sejak 1950,
mulai memiliki efek. Di akhir 1960-an, kaum perempuan, sebagai
kelompok nonproduktif alias konsumtif, merupakan pangsa pasar
potensial yang besar bagi dunia percetakan. Karena bagi mayoritas
perempuan membaca adalah kegiatan pengisi luang: mereka
membaca untuk hiburan. Banyaknya waktu luang yang dimiliki
perempuan membuat mereka tergerak untuk menulis. Namun
karya-karya yang dihasilkan berasal dari catatan harian mereka.
Maka dari itu, mereka banyak berbicara mengenai anak-anak dan
kaum perempuan. David Krisna Alka (Sinar Harapan, 7 Maret 2004
Sastra Indonesia, Bukan Gaya Seks, yang mengatakan karyakarya Ayu Utami, Djenar, dan teman-temannya sebagai karya yang
antiintelektualisme, karena karya-karya tersebut menjadikan imaji
seks begitu liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan
lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan daripada menga
rang seputar daerah selangkangan. Nada yang sama juga dilon
tarkan oleh seorang sastrawan dan kritikus senior, Sunarayono
Basuki K.S. (Kompas, 4 April 2004, Seks, Sastra, Kita), yang
menanggapi karya-karya sastrawan perempuan seperti Ayu

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

93

Utami, Djenar, Oka Rusmini, dan teman-temanya yang memilih


mengeksploitasi seks dan tubuh mereka agar cepat populer dan
dikenal secara luas. Dalam hal ini Basuki juga menyarankan agar
para sastrawan perempuan muda tersebut juga mengeksploitasi
masalah-masalah sosial yang tak kunjung tuntas. Di samping itu,
ada juga yang menyebut karya-karya para perempuan tersebut
sebagai sastra wangi atau sastra lendir, dengan konotasi yang
cenderung meremehkan (Budiman, 2005).
Munculnya berbagai tanggapan negatif terhadap kreativitas
dan karya para penulis perempuan tersebut, menunjukkan
masih dominannya kultur patriarkat, sehingga mereka belum
rela memberikan pengakuan terhadap kreativitas perempuan di
sektor publik. Ketidakadilan gender tampak jelas pada tanggapantanggapan tersebut.

C. Rangkuman
Munculnya sejumlah novelis perempuan pada periode 2000an dalam kancah sastra Indonesia, di satu sisi dapat dipahami
adanya pemberontakan dari para perempuan terhadap dominasi
patriarkat dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karya yang mereka
hasil, yang diikuti dengan prestasi yang diperolehnya, terutama
menjadi pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian
Jakarta maupun penghargaan Khatulistiwa Award menunjukkan
eksistensi mereka di dunia penulisan sastra. Namun, tidak
selamanya mereka mendapat pujian dari masyarakat. Mereka juga
mendapatkan kritik tajam yang berusaha memarginalkan mereka,
yang menunjukkan masih dominannya kultur patriarkat dalam
masyarakat kita.

94

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

D. Latihan dan Tugas


1. Sebutkan beberapa pengarang perempuan yang berkarya
pada periode 2000-an dan karakteristik karyanya!
2. Untuk mendapatkan pemahaman terhadap karya-karya
pengarang tersebut pilihan beberapa judul karya untuk dibaca
dan diapresiasi!
3. Tuliskan hasil apresiasi Anda dengan menggunakan perspektif
kritik sastra femins!

BAB IV
KONSTRUKSI GENDER DALAM
NOVEL GENI JORA KARYA
ABIDAH EL-KHALIEQY

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah

memahami

bab

ini

mahasiswa

diharapkan

memperoleh pengetahuan dan gambaran bagaimana meng


aplikasikan kritik sastra feminis Islam terhadap salah satu novel
Indonesia, khususnya Geni Jora karya Abidah El-Khalieqy

B. Materi Pembelajaran

erikut ini dikemukakan contoh aplikasi kritik sastra feminis


terhadap salah satu novel Indonesia, khususnya Geni Jora

karya Abidah El-Khalieqy. Dengan membaca secara kritis contoh


berikut diharapkan mahasiswa memperoleh pengetahuan dan
gambaran bagaimana mengaplikasikan kritik sastra feminis
terhadap salah satu novel Indonesia.

95

96

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

1. Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora


a. Pendahuluan
Siapakah perempuan? Barisan kedua yangmenyimpan
aroma
melati kelas satu? Semesta alam terpesona ingin
meraihnya, memiliki dan mencium wanginya.
Tetapi kelas dua?
Siapakah yang menentukan kelas-kelas? Sehingga
laki-laki adalah kelas pertama? Sementara Rabiah al
Adawiyya laksana roket
melesat mengatasi ranking dan kelas...
Nilaiku ranking pertama tetapi (sekali lagi tetapi),
jenis kelaminku adalah perempuan. Bagaimana bisa
perempuan ranking pertama?...,
(Khalieqy, 2003: 61)

Kutipan tersebut merupakan sejumlah pertanyaan yang


sangat mengganggu tokoh Kejora dalam novel Geni Jora. Sebuah
pertanyaan mendasar yang mencoba memahami siapa, bagai
mana, dan di mana perempuan diposisikan dalam masyarakat
nya. Ketika seseorang dilahirkan dengan seks perempuan dalam
masyarakat Jawa, Islam, maka tanpa keinginannya sendiri dia
ibarat terperangkap dalam labirin patriarkat dan feodalisme. Hal
ini karena struktur sosial Jawa yang patriarkal telah memposisikan
perempuan dalam posisi tersubordinasi dari laki-laki. Jargonjargon seperti kanca wingking teman belakang bagi suaminya,
swarga nunut nraka kathut ke sorga maupun ke neraka istri hanya

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

97

mengikuti suaminya menunjukkan posisi gender yang tidak seta


ra. Apa yang terjadi dalam realita sering kali memberi inspirasi
pada pengarang untuk menggambarkannya kembali dalam karya
sastra yang diciptakannya.
Novel merupakan salah satu karya seni yang diciptakan oleh
sastrawan untuk mengkomunikasikan masalah sosial maupun
individual yang dialami oleh sastrawan maupun masyarakatnya.
Dalam hubungan antara novel sebagai karya seni dengan
kenyataan, Teeuw (1984: 228) menjelaskan adanya hubungan
ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam novel. Dalam
sebuah novel dunia nyata dan dunia rekaan saling berjalinan, yang
satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra
berdampingan dengan dunia realita (Soeratno, 1994a: 189190).
Apa yang terjadi dalam realita sering kali memberi inspirasi pada
pengarang untuk menggambarkannya kembali dalam karya sastra
yang diciptakannya. Oleh karena itu, sastra selalu berurusan
dengan diri pribadi manusia, diri manusia dalam masyarakat, dan
dengan masyarakat yang menjadi lembaga tempat manusia berki
prah (Soeratno, 1994b: 10).
Ketika isu gender menjadi salah satu hal yang mendapatkan
perhatian cukup besar di masyarakat, munculnya sejumlah novel
Indonesia yang mengangkat isu tersebut merupakan hal yang tidak
dapat dihindari. Maraknya sejumlah novel Indonesia yang mere
presentasikan isu gender secara langsung maupun tidak langsung
juga menunjukkan adanya kepedulian para pengarang Indonesia
terhadap problem-problem yang berhubungan dengan isu gender.
Hal itu karena di dalam masyarakat karya sastra memiliki salah
satu fungsi sebagai sarana menyuarakan hati nurani masyarakat,

98

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

di samping fungsi-fungsi lainnya. Sejak zaman dahulu karya sastra


dipersepsi sebagai produk masyarakat yang mampu memberi
makna bagi kehidupan, menyadarkan masyarakat akan arti hidup,
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan (Soeratno, 1994b: 14).
Secara pragmatik peran karya sastra dalam masyarakat antara
lain karena dapat menggerakkan pembacanya agar bersikap,
berperilaku, dan bertindak sebagaimana yang disarankan oleh
teksnya. Kehadiran karya sastra diharapkan mampu menggerakkan
masyarakat menjadi lebih peka dan responsif dalam menghadapi
gejala yang berkembang dalam masyarakat (Soeratno, 1994b: 5).
Dalam konteks ini, sejumlah novel Indonesia ikut berperan dalam
mengkonstrusksi ideologi gender yang diharapkan sesuai dengan
masyarakat tertentu. Melalui konstruksi gender yang digambarkan
dalam novel diasumsikan dapat membuat masyarakat pembaca
menjadi lebih peka dan responsif terhadap berbagai masalah
relasi dan ketidakadilan gender yang ada di sekitarnya.
Konstruksi gender, khususnya yang berkaitan dengan
perbedaan peran dan relasi antara perempuan dengan laki-laki
merupakan salah satu hal yang telah mengarusi sejumlah novel
Indonesia. Berdasarkan observasi awal terhadap sejumlah novel
Indonesia seperti Azab dan Sengsara (1920) Merari Siregar, Sitti
Nurbaya (1922) Marah Rusli, Layar Terkembang (1936) Sutan
Takdir Alisyahbana, Belenggu (1940) Armijn Pane, Para Priyayi
(1992) Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini
Hari, Jantera Bianglala, Bekisar Merah (1982, 1985, 1986) Ahmad
Tohari, Pada Sebuah Kapal dan Jalan Bandungan (1973,1989) NH.
Dini, Burung-burung Manyar, Durga Umayi, dan Burung-burung
Rantau (1981, 1991, 1992) Y.B. Mangunwijaya, Bumi Manusia

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

99

dan Gadis Pantai (1980, 1987) Pramudya Ananta Toer, Saman


dan Larung (1989, 2003) Ayu Utami, Geni Jora dan Perempuan
Berkalung Sorban (2001, 2003) Abidah El-Khalieqy, dan Nayla
(2005) Djenar Maesa Ayu; gambaran mengenai peran dan relasi
gender dengan berbagai citra dan warna tampak mengemuka.
Berangkat dari fakta tersebut, maka pemahaman terhadap
novel-novel Indonesia, dengan memfokuskan pada konstruksi
gender yang terefleksikan di dalamnya menjadi penting untuk
dilakukan. Konstruksi gender yang terepresentasi dalam novelnovel Indonesia dapat dikaji dengan kritik sastra feminis. Kritik
sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian
sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi pe
rempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya
sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan
dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika
Serikat pada 1700-an (Madsen, 2000: 1).
Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra
feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang
ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk
oleh suara tradisional yang bersifat patriarkat (Ruthven, 1985:
6). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi
gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki
(Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 40). Melalui kritik sastra feminis
akan dideskripsikan opresi perempuan yang terdapat dalam karya
sastra (Humm, 1986: 22).
Melalui kajian yang berperspektif feminis gambaran dan suara
perempuan yang terefleksi dalam novel-novel tersebut diharapkan

100

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

lebih dapat dipahami. Hal ini karena seperti dikemukakan oleh


Reinhartz (2005: 221) bahwa penelitian feminis memiliki tujuan
untuk mengidentifikasi penghilangan, penghapusan, dan informasi
yang hilang tentang perempuan secara umum. Reinhartz (2005: 67)
juga menegaskan bahwa memahami perempuan dari perspektif
feminis adalah memahami pengalaman dari sudut pandang perem
puan sendiri, yang akan memperbaiki ketimpangan utama cara
pandang nonfeminis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran
perempuan, atau menafsirkannya dari sudut pandang laki-laki di
masyarakat atau peneliti laki-laki. Melalui kajian feminis diharap
kan juga dapat terungkap kemungkinan adanya kekuatan budaya
patriarkat yang membentuk citra mengenai perempuan maupun
laki-laki, relasi antarkeduanya, ataupun adanya perlawanan
terhadap dominasi patriarkat yang terefleksi dalam novel-novel
tersebut. Seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 202) bahwa
ciri khas kajian feminis adalah menguak budaya patriarkat yang
kuat dan bahkan membenci perempuan (misoginis).
Pilihan terhadap kritik sastra feminis sebagai pisau analisis
dalam mengkaji novel Indonesia menuntut pemahaman yang
cukup terhadap teori feminisme, termasuk pemahaman berbagai
varian teori feminisme. Di samping itu, perlu dipahami juga rele
vansi teori feminisme tertentu dengan novel yang akan dianalisis.
Hal ini karena, seperti dikemukakan oleh Tong (2006) bahwa
feminisme pada dasarnya bukanlah sebuah pemikiran yang
tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam yang kemunculan
dan perkembangannya sering kali saling mendukung, mengoreksi,
dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya. Tong (2006)
mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme,

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

101

yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis


dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan
global, dan ekofeminisme.
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa,
dan Prancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan
penyebaran yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia.
Perkembangan dan penyebaran feminisme tersebut telah
memunculkan istilah feminisme gelombang pertama, feminisme
gelombang kedua, feminisme gelombang ketiga, posfeminisme,
bahkan juga feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga.
Novel Indonesia merupakan produk masyarakat dan budaya
Indonesia. Secara historis, Indonesia sebagai sebuah negara
terbentuk dari berbagai masyarakat dengan beraneka ragam
budaya. Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara bekas
jajahan (Belanda, Jepang, dan Portugis). Keadaan ini tentu memiliki
pengaruh terhadap karakteristik novel Indonesia, terutama dalam
hal permasalahan sosial budaya yang diceritakan di dalamnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka untuk mengkaji
konstruksi gender yang terepresentasikan dalam novel Indonesia
harus dipilih teori feminisme yang sesuai. Teori feminisme yang
diasumsikan sesuai dengan karakteristik novel-novel Indonesia
antara lain adalah feminisme Islam dan feminisme dunia
ketiga atau sering dikenal sebagai feminisme poskolonial atau
feminisme multikultural. Dari sejumlah novel Indonesia yang
merepresentasikan konstruksi gender, dipilih novel berjudul
Geni Jora menjadi salah satu sampel dalam kajian ini. Novel ini
merupakan salah satu karya Abidah El-Khalieqy dan pernah

102

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

menjadi pemenang kedua dalam Sayembara Menulis Novel Dewan


Kesenian Jakarta 2003. Di samping menulis Geni Jora, Khalieqy
telah menulis sejumlah puisi, cerita pendek, dan novel, antara
lain Perempuan Berkalung Surban, Atas Singgasana, dan Menari
di Atas Gunting. Dalam karya-karyanya, Khalieqy merupakan
salah seorang sastrawan perempuan yang konsisten mengangkat
persoalan perempuan dalam hubungannya dengan kultur
patriarkat dan agama Islam, khususnya masyarakat pesantren.
Karena isu gender yang diangkat dalam novel tersebut berkaitan
dengan kultur patriarkat dan pemahaman terhadap agama Islam,
maka konstruksi gender dalam novel tersebut akan dipahami
dengan menggunakan perspektif feminisme Islam.
Makalah ini mencoba menguraikan bagamana novel Geni
Jora merepresentasikan pandangan alternatif terhadap konstruksi
gender yang hidup dalam masyarakat, khususnya yang berlatar
belakang agama Islam dan pesantren. Dengan menggunakan pers
pektif feminisme Islam, pembahasan ini diharapkan dapat mengung
kapkan bahwa novel Geni Jora mungkin dapat menjadi media untuk
mengkritisi konstruksi gender yang hidup dalam suatu masyarakat
dan mencoba menawarkan keadilan dan kesetaraan gender.
Gender mengacu kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk
secara sosial melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Humm, 2007:
177; Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 45; Fakih, 2006: 8). Mosse
(2007: 3) menyebut gender sebagai seperangkat peran yang me
nyampaikan kepada orang lain bahwa seseorang adalah feminin
atau maskulin, yang dapat dilihat dari penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksu

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

103

alitas, tanggung jawab keluarga, dan sebagainya yang secara


bersama-sama memoles peran gender seseorang.
Konsep gender dibedakan dengan seks. Seks ditentukan
oleh ciri-ciri biologis, semantara gender bernuansa psikologis,
sosiologis, dan budaya (Humm,2007:177178, Mosse, 2007: 23).
Seks membedakan manusia laki-laki dengan perempuan secara
biologis, sebagai kodrat Illahi. Gender membedakan manusia
laki-laki (maskulin) dengan perempuan (feminin) secara sosial,
mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, bukan kodrat, tetapi
sebagai proses belajar (Humm, 2007: 177178; Andersen, 1983:
48; Fakih, 2006: 89; Abdullah, 2003). Sebagai atribut gender,
femininitas dan maskulinitas dialami dan dikenal seseorang me
lalui proses belajar (sosialisasi). Keluarga, teman, guru, media
merupakan sejumlah agen yang mensosialisasikan peran dan
relasi gender pada seseorang (Andersen, 1983: 50).
Seperti dijelaskan oleh Fakih (2006: 9) bahwa sejarah
perbedaan gender dalam sebuah masyarakat terjadi melalui proses
yang sangat panjang dan berhubungan dengan banyak hal. Artinya
perbedaan gender terjadi karena dibentuk, disosialisasikan, diper
kuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran
keagamaan dan negara. Menurut Fakih (2006: 10) karena konstruksi
gender tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan
tersebut, maka pada akhirnya mempengaruhi masing-masing jenis
kelamin. Misalnya, karena laki-laki dikonstruksi harus bersifat kuat
dan agresif, maka kemudian mereka terlatih dan tersosialisasi,
serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang
ditentukan masyarakat, yaitu secara fisik lebih kuat dan lebih
besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan dikonstruksi harus

104

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

lemah lembut, maka sejak bayi mereka telah dibentuk dengan


perkembangan emosi serta ideologi kaum perempuan.
Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun 1990an (Mojab, 2001). Feminisme ini berkembang terutama di negaranegara yang mayoritas penduduknya bergama Islam, seperti
Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Kekhasan femi
nisme Islam adalah berupaya untuk membongkar sumber-sumber
permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan pe
nyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan
Alquran (Fatma, 2007: 37). Melalui perspektif feminis berbagai
macam pengetahuan normatif yang bias gender, tetapi dijadikan
orientasi kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi
gender dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada
semangat Islam yang lebih menempatkan ideologi pembebasan
perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manusia
(Dzuhayatin, 2002: 22). Beberapa tokoh feminis muslim antara
lain Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal
Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam,
dan Zainah Anwar (Malaysia), serta beberapa orang Indonesia
antara lain Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies MarcoesNatsir, Siti Nuraini Dzuhayatin, Zakiah Darajat, Ratna Megawangi,
Siti Musda Mulia, Masdar F. Masudi, Budhy Munawar Rachman,
Nasaruddin Umar (Mojab, 2001: 128129; Rachman, 2002: 34;
Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002: 5).
Dengan semangat feminisme, maka muncullah berbagai
gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat Alquran dan Hadis
yang dilakukan para intelektual muslim, yang dikenal dengan
sebutan feminis muslim (Rachman, 2002: 34; Nadjib, 2009;

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

105

Dzuhayatin, 2002: 5). Beberapa karya mereka antara lain adalah


Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Ilyas, dkk.,
2003), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. Ed., 2002), Perempuan dalam
Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Nurjanah, 2003), dan
Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender (Sukri, ed.
2002). Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan
semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan
Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perem
puan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislaman
klasik yang saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan
pembelajaran keislaman kontemporer (Dzuhayatin, 2002: 22).
Seperti dikemukakan oleh Baroroh (2002: 201) bahwa ada
dua fokus perhatian pada feminis muslim dalam memperjuangkan
kesetaraan gender. Pertama, ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan dalam struktur sosial masyarakat muslim tidak
berakar pada ajaran Islam yang eksis, tetapi pada pemahaman
yang bias laki-laki yang selanjutnya terkristalkan dan diyakini
sebagai ajaran Islam yang baku. Kedua, dalam rangka bertujuan
mencapai kesetaraan perlu pengkajian kembali terhadap sum
ber-sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan relasi gender
dengan bertolak dari prinsip dasar ajaran, yakni keadilan dan
kesamaan derajat.
Di samping ditemukan dalam sejumlah kajian terhadap ayatayat Alquran, Hadist, dan Kitab Kuning, seperti telah disebutkan
di atas, pemahaman terhadap isu-isu gender dalam perpektif
feminisme Islam di Indonesia juga terefleksikan dalam sejumlah
novel, antara lain Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya

106

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Habiburrahman El Shirazy, Geni Jora dan Perempuan Berkalung


Sorban karya Abidah El-Khalieqy. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap novel tersebut dari dengan fokus pada konstruksi
gender yang terdapat di dalamnya dianggap lebih tepat dengan
menggunakan perspektif feminisme Islam.
b. Perempuan sebagai Kelas Kedua
Geni Jora bercerita tentang seorang gadis bernama Ke
jora sejak masa kecil sampai remaja. Kejora dibesarkan dalam
lingkungan keluarga Islam tradisional dan kultur patriarkat yang
begitu membedakan peran gender antara perempuan dengan lakilaki. Namun, Kejora bukanlah perempuan yang dapat hidup nya
man dalam lingkungan patriarkat. Sejak kecil jiwanya senantiasa
gelisah dan berontak tiap kali menyaksikan dan mengalami keti
dakadilan gender yang dilakukan ayahnya, ibunya, adik lelakinya,
juga paman-pamannya.
Dengan spirit feminisme novel ini diawali dengan cerita
tentang pengalaman Kejora sebagai salah satu peserta Konferensi
Internasional

Perempuan

di

Universitas

al-Akhawayn

di

Marrakesh, Maroko pada 1993. Kejora datang atas undangan seo


rang sahabatnya, aktivis feminis di Maroko, Nadia Masid. Dalam
forum tersebut Kejora bertemu dengan sejumlah aktivis feminis
dari berbagai negara yang membahas nasib perempuan yang pada
umumnya dianggap sebagai makhluk yang dipinggirkan, dijadikan
objek, diserang, dan dirampok terutama oleh lawan jenisnya
(Khalieqy, 2003:20).
Dalam bagian lain novel ini juga digambarkan bagaimana tokoh
Nadia Masid, telah membaca sejumlah literature feminis seperti

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

107

Woman and Sex, The Hidden Face of Eve karya Nawal el Saadawi,
Beyond The Veil karya Fatima Mernissi (Khalieqy, 2003: 13).
Tokoh Fatima Mernissi juga dimunculkan dalam novel ini. Dia
digambarkan sedang memberikan ceramah di Masjid Besar Jamial
Sunnah di Rabat tentang sejumlah fakta historis kepemimpinan
perempuan dari berbagai penjuru dunia yang keberadaannya
sering dilupakan.
Seperti dalam sebuah dongeng, para ratu, malikah,
khatun, mereka muncul sedikit demi sedikit dari rintihan
lembut halaman-halaman yang telah menguning dalam bukubuku kuno. Satu demi satu mereka berparade melalui ruangruang sunyi perpustakaan dalam suatu barisan intrik dan
misteri yang tak berkesudahan. Kadang-kadang mereka mun
cul berdua-dua atau bertiga-tiga, menyerahkan tahta dari ibu
kepada putrinya, di pulau-pulau yang jauh dalam wilayah Islam
Asia. Mereka disebut Malikah, Arwah, Alam al Hurrah, Sultanah
Radhiyyah, Turkan Khatun, Tajal Alam atau Nur al Alam
Ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan,
semua orang yang memonopoli hak untuk berbicara atas nama
Islam, dan terutama Nawaz Syarif, sang pemimpin oposisi
darai partai Islamic Democratic Alliance, berteriak menghujat,
Sungguh mengerikan! Belum pernah sebuah negara muslim
diperintah oleh seorang perempuan! Dengan mengutip hadis,
mereka mengutuk peristiwa ini sebagai yang melanggar hukum
alam
(Khalieqy, 2003: 1
415).

Berdasarkan data tersebut tampaknya novel ini memang


ditulis dengan semangat feminisme untuk menunjukkan faktafakta historis dan simbolis tentang kaum perempuan yang

108

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

berperan di sektor publik, bahkan sebagai pemimpin sebuah


negara, yang keberadaannya lebih sering ditentang dan dilupakan
dalam catatan sejarah.
Spirit feminisme dalam novel Geni Jora dihadirkan un
tuk meng-counter konstruksi gender yang hidup dalam masya
rakat, terutama dalam konteks masyarakat Islam dan pesantren
yang menempatkan perempuan sebagai the second class dalam
relasinya dengan laki-laki yang menjadi the first class. Dalam novel
ini digambarkan bagaimana Kejora mencoba untuk melawan
konstruksi gender yang menempatkan perempuan sebagai the
second class yang harus selalu mengalah, tidak dihargai, tunduk
dan patuh dalam kekuasaan patriarkat.
Dalam usianya yang baru sembilan tahun, digambarkan
bagaimana Kejora sudah mencoba untuk merefleksikan posisi
dirinya dan kaum perempuan di masyarakatnya yang selalu
dinomorduakan.
Siapakah perempuan? Barisan kedua yang menyimpan
aroma melati kelas satu? Semesta alam terpesona ingin
meraihnya, memiliki dan mencium wanginya. Tetapi kelas dua?
Siapakah yang menentukan kelas-kelas? Sehingga laki-laki
adalah kelas pertama? Sementara Rabiah al Adawiyya laksana
roket melesat mengatasi ranking dan kelas...
Nilaiku ranking pertama tetapi (sekali lagi tetapi), jenis
kelaminku adalah perempuan. Bagaimana bisa perempuan
ranking pertama?...
Dari atas kursinya, nenekku mulai ceramah. Bahwa
perempuan harus selalu mengalah. Jika perempuan tidak
mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

109

pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah.


Laki-laki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan.
Sebab itu perempuan harus siap me-nga-lah (pakai awalan
me).
Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?
Itulah yang harus Nenek lakukan, Cucu.
Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.
Diperhitungkan? Nenek melonjak.
(Khalieqy, 2003: 61).

Konstruksi gender yang bersifat patriarkats menempatkan


perempuan sebagai kelas dua, inferior, dan harus selalu mengalah
dalam hubungannya dengan laki-laki sangat jelas dikemukakan
melalui suara nenek Kejora.
Dalam masyarakat yang patriarkis relasi gender dilandasi
hukum kebapakan. Seperti dikemukakan oleh Walby (1989:
213220) bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur
sosial, praktik yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan,
menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Menurut Walby
patriarkat bisa dibedakan menjadi dua, yaitu patriarkat privat
dan patriarkat publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi
ekspansi wujud patriarkat, dari ruang-ruang pribadi dan privat
seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu
negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarkat terus menerus
berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan
perempuan. Dari teori tersebut, dapat diketahui bahwa patriarkat
privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah
tangga ini dikatakan oleh Walby (1989) sebagai daerah awal utama

110

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kekuasaan laki-laki atas perempuan, sedangkan patriarkat publik


menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan
dan negara.
Pandangan nenek Kejora yang mengatakan, Perem
puan harus selalu mengalah, sebab jika perempuan tidak mau
mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan
kaca. Tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Laki-laki selalu ingin
menang dan menguasai kemenangan, menunjukkan begitu kuat
nya ideologi patriarkat menguasai tatanan kehidupan ini.
Konstruksi gender yang menemparkan perempuan dalam
wilayah domestik sebagai ibu rumah tangga sangat jelas dalam
deskripsi tentang Ibu Kejora.
Siapa ibumu, Jora?
Ibumu seorang perempuan sederhana yang mengelola
rumahnya menjadi sebuah kastil indah bagi anak-anak dan
suaminya. Ia tidak pernah pergi kemana-mana. Ia melangkahi
pintu besar hanya di waktu takziah, pesta pernikahan atau
menjadi imam shalat Jumat di langgar (musala) yang khusus
untuk perempuan. Tidak seperti ibu tiriku, ibuku jarang sekali
keluar kota untuk pelesir bersama ayah atau pun menghadiri
acara-acara di mana ayah hadir bersama Ibu Fatmah. Hampir
seluruh waktu ibuku habis untuk anak-anaknya. Kamilah putraputrinya, hiburan terbesar baginya.
(Khalieqy, 2003: 79).

Di samping perempuan ditempatkan di sektor domestik,


novel ini juga menunjukkan relasi suami istri yang tidak setara,
terutama dalam keluarga yang mempraktikkan poligami. Sebelum

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

111

menikah dengan ibu Kejora, ayah Kejora telah menikah dengan


Ibu Fatma, tetapi tidak memiliki anak. Sebagai istri yang tidak
dapat memberikan ketu-runan, maka Ibu Fatmah tidak memiliki
kekuatan untuk menolak suaminya yang ingin menikah dengan
perempuan lain. Apalagi sebagai muslimah dia pasti tahu bahwa
poligami dalam ajaran Islam, dengan berbagai syarat dihalalkan.
Pada malam terakhir puasa, kami menyelenggarakan pesta
keluarga, kadang di rumah ibuku, bulan depan di rumah ibu
tiriku. Kebetulan aku memiliki dua ibu, yang menempati dua
rumah saling bertolak belakang namun satu pekarangan. Rumah
ibuku menghadap ke utara dengan halaman yang cukup luas dan
rumah ibu tiriku terletak di halaman belakangnya, menghadap
selatan dengan halaman yang cukup luas juga
(Khalieqy, 2003: 63).

Kejora mencoba untuk mengkritisi praktik poligami yang


dilakukan ayahnya. Melalui dialog antara Kejora dengan ibunya,
yang menjadi istri kedua, ditunjukkan bahwa walaupun ayahnya
merasa telah berbuat adil dalam hal harta dan kasih sayang,
namun ada masalah yang dialami oleh para istri akibat poligami.
Dalam urusan ke luar rumah, berdagang maupun acara-acara
sosial, ibu Kejora tidak pernah punya kesempatan mendampingi
suaminya, sehingga prinsip keadilan yang menjadi syarat poligami
sebenarnya tidak dapat dipenuhi.
Kupikir ibuku tertekan menjadi istri kedua. Itu bisa kubaca
dari ekspresi wajahnya yang senantiasa masam saat melihat
Ibu Fatmah pulang dari luar kota bersama ayah. Sekalipun
banyak hadiah untuknya, tak dapat menghapus kesedihan

112

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

yang membaca dari perasaan jiwanya yang tertekan.


Ibu pasti cemburu pada Ibu Fatmah, suatu kali aku
bertanya.
Apa Ibu Fatmah pantas dicemburui?
Ia begitu cantik, bukan?
Apa ibu kurang cantik dari dia?
Tetapi ibu kurang bahagia Ibuku tertawa ringan.
Tahu apa kau tentang bahagia, anakku? Ia memelukku
dengan sayang. Kulihat pandangannya menerawang...
(Khalieqy, 2003: 80)

Dari dialog tersebut tampak bahwa Kejora mempertanyakan


perasaan dan kebahagiaan yang diperoleh ibunya, sebagai seorang
perempuan yang suaminya pelaku poligami. Sikap ibu Kejora maupun
Ibu Fatma yang tampak baik-baik saja dalam menjalani perkawinan
poligami, menunjukkan kuatnya dominasi patriarkat dan legitimasi
Alquran (Q.S. 4:3) yang mengatur dan menguasai hidup mereka.
Dalam ajaran Islam praktik poligami yang dilakukan sejumlah
laki-laki, didasarkan pada QS. 4:3 (an-Nisa, ayat 3) dengan berbagai
syarat. Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masingmasing dua, tiga, atau empatkemudian jika kalian takut tidak
akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang sajaatau kawinilah
budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Kehidupan mereka yang berada dalam lingkungan pesantren
tradisional yang konservatif dan patriarkat membuat mereka
menerima begitu saja apa yang harus mereka jalani. Hal ini
tampak pada pandangan ibu Jora, Semuanya lebih dari cukup, Sa

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

113

yang. Tak ada sesuatu pun yang kurang. Allah melimpahkan segala
kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang tak terhingga
pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri (Khalieqy, 2003: 80).
Sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam Geni
Jora digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa,
berwibawa, dan menguasai ilmu agama.
Bangun dalam sepertiga malam itu sangat bagus, tetapi
bukan untuk sensasi. Bangun malam adalah qiyamullail,
tahajjud, tafakur! Tadarus! Bukan keluyuran membikin berita
heboh, menggangu para tetangga, menggangu saudarasaudaranya yang tengah tidur. Itu namanya merusak malam.
Sekaligus merusak nama baik Ayah. Paham?
Paham, Yah.
Dan kau, Lola. Awasi adikmu! Jika sekali lagi bikin sensasi
tahu hukuman apa yang bakal Ayah jatuhkan.
(Khalieqy, 2003: 74)

Keluarga Kejora digambarkan tinggal di sebuah bangunan


rumah yang bercitra keluarga kaya, tetapi mengisolasi anggota
keluarganya, terutama yang berjenis kelamin perempuan.
Kadang aku merasa, kami seakan hidup dalam komunitas
harem, seperti kisah para harem yang diceritakan oleh ibu
tiriku Fatmah. Sebab kami menempati rumah yang besar
dan pekarangan yang luas, tetapi ayah menutupi seluruh
pekarangan dengan tembok setinggi tiga meter kecuali pagar
depan rumah... Aku hanya dapat bermain bersama anak
paman atau saudara dekatku yang diperbolehkan masuk ke
dalam pekarangan kami.

114

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Tidak seperti Prahara, ia boleh membuka pintu besar


sesukanya dan mengikuti komedi monyet hingga ujung
kampung.
(Khalieqy, 2003: 74)

Di samping konstruksi gender yang menomorduakan


perempuan, Geni Jora juga menunjukkan dominasi patriarkat yang
terwujud dalam tindak semena-semena dan kekerasan seksual
yang dilakukan oleh laki-laki. Pelecehan seksual yang sering
dilakukan oleh kedua paman Kejora terhadap Kejora dan Bianglala
menunjukkan adanya dominasi patriarkat tersebut (Khalieqy, 2003:
8788). Kejora dan Bianglala tidak mau melaporkan perbuatan
tersebut kepada ayahnya, karena mereka tidak yakin ayahnya
akan berpihak padanya. Oleh karena itu, keduanya bersepakat
pada suatu hari harus dapat membalas perbuatan tersebut.
Konstruksi gender yang memarjinalkan perempuan juga
menyebabkan tidak adanya penghargaan terhadap prestasi yang
diperoleh perempuan. Oleh karena itu, Kejora selalu termotivasi
untuk melawan ketidakadilan tersebut, seperti tampak pada
kutipan data berikut.
Ini kah nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai
Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama
di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu,
kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.
Tidak! Aku tidak mau mendengar kata-katamu, Nenek
jahat! Aku melengking histeris. Kala itu usiaku sembilan tahun,
duduk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan
luka di hatiku. Dan luka itu terus menganga, setiap waktu...
(Khalieqy, 2003: 62).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

115

Untuk melawan konstruksi gender tersebut Kejora untuk


selalu belajar dan meningkatkan prestasinya.
Dengan memberiku nama Kejora, sejak dini aku telah
dipersiapkan menjadi seorang bintang...
Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semilyar
halaman dari buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidatopidato, kuliah para guru, para ustaz dan para dosen. Sebagai
murid, sebagai santriwati, sebagai mahasiswi, aku duduk
menghadapi mereka satu persatu, kupasang pendengaran dan
kupusatkan penglihatan. Kuserap pengetahuan dengan otak
dan fuad-ku. Kukunyah ilmu untuk memenuhi gizi pertumban
kehidupanku. Maka aku berdiri kini, di hadapanmu, ustadzku.
(Khalieqy, 2003: 32)
Dalam rangka menjatuhkan mitos nenekku, telah
kunikmati rangkaian piala berjajar-jajar dalam setiap fase
kehidupan. Tak ada senoktah pun yang membekas dari
mitos-mitos nyinyir yang usang dan lapuk. Tentang perem
puan sebagai tong sampah dari kelelahan, ketertindasan,
kelemahan, kebodohan, ketidakberdayaan. Ditentang kedua
mata belokku yang garang, semuanya menguap kini. Dan inilah
fase kedua dari hidup yang bergairah. Hidup di alam merdeka.
Ketika pemberontakan telah sampai puncaknya.
Tak ada yang sia-sia dari pemberontakan. Dan tak ada
yang langgeng dari ketidakadilan. Ia selalu melahirkan para
pemberontak dengan beragam modelnya. Dan menurutku,
menggerus ketidakadilan adalah dengan cermin yang dipajang
di muka sang protagonis.
(Khalieqy, 2003: 215)

116

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Apa yang dilakukan Kejora menunjukkan adanya perlawanan


terhadap marginalisasi dan ketidakadilan gender, yaitu dengan
belajar dan meningkatkan prestasi agar sejajar atau bahkan juga
mampu mengungguli laki-laki. Semangat perlawanan Kejora ini
pada dasarnya sesuai dengan pandangan feminisme Islam yang
mengemukakan bahwa keadaan yang memprihatinkan pada
perempuan tidak disebabkan oleh ajaran dasar Islam yang me
nempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam struktur sosial,
tetapi oleh bias laki-laki dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam yang implikasinya dalam kehidupan masyarakat membentuk
tradisi Islam (Baroroh, 2002: 198).
Seperti dikemukakan oleh Ilyas (2003: xi) ajaran Islam
menekankan kehormatan, persamaan manusia dan kesetaraan
gender (Q.S. al-Baqarah: 228; QS. An-Nisa: 124; QS. An-Nahl: 97;
QS. Al-Isra: 70; QS. Al-Hujurat: 13). Penekanan tersebut diiringi
dengan penegasan untuk menghapuskan penindasan dan keke
rasan terhadap perempuan. Dengan demikian, ketika di kalangan
umat Islam masih terdapat pandangan yang memarginalkan
perempuan, seperti disampaikan oleh tokoh nenek Kejora,
semata-mata merupakan hasil interpretasi yang dipengaruhi oleh
budaya dan ideologi patriarkat yang telah mengakar pada masya
rakat Arab sebelum agama Islam lahir (Najib, 2003: 4).
Berbeda dengan sang nenek yang tampak nyaman walaupun
posisinya sebagai perempuan selalu dimarginalkan, bahkan juga
mengajari cucunya untuk menerima kenyataan itu, Kejora sangat
marah dengan konstruksi gender yang tidak adil tersebut. Apalagi
konstruksi gender tersebut tidak sesuai dengan semangat Islam
yang menekankan persamaan gender dan berusaha menegakkan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

117

keadilan gender dalam masyarakat (Najib, 2003: 4; Dzuhayatin,


2002: 22; Baroroh, 2002: 198). Dari perspektif femininisme
Islam, novel Geni Jora tampak mengkritisi dominasi patriarkat
yang memiliki pengaruh besar terhadap interpretasi, pengha
yatan, dan kehidupan beragama di kalangan masyarakat pemeluk
agama Islam, khususnya di pesantren. Novel ini muncul beriringan
dengan maraknya diskusi dan terbitnya sejumlah artikel dan
buku di kalangan kaum feminis intelektual muslim, seperti
Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Ilyas, dkk.,
2003), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. ed., 2002), dan Perempuan dalam
Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Nurjanah, 2003)

C. Rangkuman
Dalam novel Geni Jora terungkap konstruksi gender yang
berlatar belakang budaya pesantren dan tradisi Islam yang
menempatkan perempuan sebagai the second class yang harus
selalu mengalah agar tata kehidupan yang ada dapat berjalan
dengan baik. Karena tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam
(Alquran) yang menekankan keadilan dan kesetaraan gender,
maka konstruksi gender tersebut dilawan oleh tokoh Kejora
dengan selalu mengkritisi dan menunjukkan prestasinya sehingga
dapat mencapai kesetaraan gender. Melalui feminisme Islam, pada
akhirnya akan dipahami sejumlah faktor yang menjadi penyebab
terjadinya ketertindasan perempuan dalam novel tersebut.

118

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

D. Latihan dan Tugas


1. Sebutkan dan jelaskan konsep-konsep dasar feminisme Islam!
2. Sebutkan dan lacaklah biografi sejumlah tokoh feminisme
Islam!
3. Bacalah novel Geni Jora, kemudian catatlan bagian dari novel
tersebut yang menurut Anda mengandung ide feminisme
Islam!

BAB V
SUARA PEREMPUAN URBAN
DALAM CERPEN-CERPEN KARYA
DJENAR MAESA AYU

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini
diharapkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang berkaitan
dengan aplikasi kritik sastra feminis ketika diterapkan pada karyakarya Djenar Maesa Ayu, sehingga memiliki keterampilan untuk
mengaplikasikannya pada karya sastra yang lain.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

obilitas penduduk dari desa ke kota, yang lebih dikenal


dengan istilah urbanisasi telah memberikan dampak luar bisa

bagi perubahan identitas subjek yang mengalaminya. Manusiamanusia urban tersebut, di satu sisi dibentuk oleh identitas budaya
asalnya, tetapi di sisi lain juga akan mengalami berbagai problem
akibat persentuhannya dengan budaya urban di tempatnya yang
baru. Cerita pendek, sebagai salah satu genre sastra di Indonesia,
mencoba merekam manusia urban, seperti dapat disimak dalam
119

120

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Jangan MainMain (Dengan Kelaminmu) (2004).
Cerpen-cerpen yang terdapat dalam Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu) hampir semuanya bertokoh utama
perempuan. Mereka digambarkan

sebagai para perempuan

urban yang harus menghadapi berbagai masalah dalam menjalani


kehidupannya. Melalui berbagai atribut dan profesi yang
disandangnya seperti orang tua tunggal, ibu rumah tangga, istri
simpanan, pelacur (pekerja seks komersial), dan sebagainya para
perempuan tersebut mencoba mengatasi berbagai problem dan
bertahan dalam kerasnya budaya urban yang didominasi dalam
sistem kapitaliame dan patriarkat. Selanjutnya, suara-suara
perempuan urban dalam cerpen-cerpen tersebut akan dianalisis
dengan menggunakan kritik sastra feminis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang
dibahas selanjutnya adalah siapakah para perempuan urban yang
direpresentasikan dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu), masalah apakah yang mereka hadapi, dan
bagaimanakah suara mereka dalam menghadapi masalahnya?
Dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis sejumlah
masalah tersebut akan dipahami lebih lanjut.
Untuk membahas sejumlah masalah di atas, terlebih dahulu
diuraikan kerangka teori mengenai hubungan antara karya sastra
dengan kenyataan dan kritik sastra feminis. Karya sastra, dalam
hal ini khususnya cerpen, pada dasarnya diciptakan pengarang
berdasarkan kenyataan. Dalam hubungan antara karya sastra
dengan kenyataan, Teeuw (1984: 228) menjelaskan adanya hu
bungan ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam karya

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

121

fiksi (novel atau cerpen). Dalam sebuah fiksi dunia nyata dan
dunia rekaan saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa
yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia
realita (Soeratno, 1994a: 189190). Apa yang terjadi dalam
realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang untuk meng
gambarkannya kembali dalam karya sastra yang diciptakannya.
Dengan menggunakan kerangka berfikir tersebut, maka cerita
yang digambarkan dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu) dianggap menggambarkan kembali (me
representasikan) realitas yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya,

dengan

menggunakan

perspektif

kritik

sastra feminis hal tersebut akan dipahami lebih lanjut untuk


mengungkapkan adanya pandangan feminis yang mengakomodasi
suara tokoh-tokoh perempuan dalam hubungannya dengan tokohtokoh laki-laki dan lingkungan sosialnya.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra
(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi pe
rempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya
sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan
dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika
Serikat pada 1700-an (Madsen, 2000: 1).

Dalam paradigma

perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai


kritik yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan
wacana yang dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang
bersifat patriarkat (Ruthven, 1985: 6).
Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi
gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki

122

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

(Flax, dalam Nicholson, 1990: 40). Melalui kritik sastra feminis


akan dideskripsikan opresi perempuan yang terdapat dalam karya
sastra (Humm, 1986: 22). Humm (1986: 1415) juga menyatakan
bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra
feminis, dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik
sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali
karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosio
linguistiknya, mendeskripsikan tulisan perempuan dengan perha
tian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya. Sho
walter (1985) membedakan adanya dua jenis kritik sastra feminis,
yaitu: 1) kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai
pembaca (the woman as reader/feminist critique), dan 2) kritik
sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the
woman as writer/gynocritics).
Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca
(woman as reader) memfokuskan kajian pada adalah citra
dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan
kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya,
dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki
(Showalter, 1985: 130). Kritik sastra feminis ginokritik meneliti
sejarah karya sastra perempuan (perempuan sebagai penulis),
gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan,
kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan seba
gai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi
penulis perempuan (Showalter, 1985:131).
Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)
karya Djenar Maesa Ayu pertama kali diterbitkan oleh penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Januari

2004. Sebelumnya Djenar

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

123

Maesa Ayu telah menerbitkan kumpulan cerpen Mereka Bilang


Saya Monyet (2003). Cerpen-cerpan dalam kumpulan ini tidak
akan dibahas dalam kajian ini karena telah saya kaji dalam tulisan
berjudul Perempuan dan Seks dalam Cerpen-cerpen Djenar
Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!): Ekspresi Erotisme
dalam Sastra

(Wiyatmi, Seminar Sehari

Ekspresi Erotisme

dalam Bahasa, Sastra, dan Psikologi di Fakultas Bahasa dan Seni


Universitas Negeri Yogyakarta, 29 Okteber 2004).
Di dalamnya terdapat 11 judul cerpen. Tema dasar cerpencerpen tersebut adalah kehidupan kaum metropolis, yang sebagian
besar kaum urban, yang terlibat dalam hubungan seksual di luar
rumah (free sex). Hal ini sesuai dengan judul kumpulan cerpen,
yang diambil dari salah satu judul cerpen. Pilihan tema inilah yang
menimbulkan berbagai tanggapan pada sejumlah kritikus dan
masyarakat pembaca Indonesia terhadap cerpen-cerpen Djenar
Maesa Ayu yang cenderung minor pada awal 2000-an. Sebutan
sastra wangi, sastra selangkangan, sastra seksual pun kemudian
bermunculan dan menimbulkan polemik di media massa awal
2000-an. Dalam esai

Manneke Budiman Ketika Perempuan

Menulis (Srinth!l, 8, 2005), misalnya dikemukakan pro dan kontra


terhadap munculnya fenomena seks dalam karya para sastrawan
perempuan. Pro dan kontra tersebut juga berhubungan dengan
sebutan Sastra Wangi yang sering dipakai untuk melabeli sastra
karya sastrawan perempuan.
Dari cerpen-cerpen tersebut terdapat sembilan cerpen yang
secara purposive menggambarkan tokoh perempuan urban, yang
akan menjadi bahan kajian selanjutnya. Para perempuan tersebut
harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya di tengah

124

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kerasnya dominasi patriarkat di ranah privat maupun publik.


Kesembilan cerpen tersebut adalah: Jangan Main-main (dengan
Kelaminmu), Mandi Sabun Mandi. Moral, Menyusu ayah,
Saya adalah Seorang Alkoholik, Staccato, Saya di Mata Sebagi
an Orang, Ting, Penthous 2601.
2. Suara Perempuan Urban
Berdasarkan pembacaan terhadap sembilan buah cerpen
yang terdapat dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu), ditemukan tokoh-tokoh perempuan sebagai
istri (ibu rumah tangga) dan para pekerja seks komersial. Sosok
istri sebagai ibu rumah tangga tampak pada cerpen Jangan
Main-Main (Dengan Kelaminmu), cerpen Sabun Mandi dan
Staccato. Selain cerpen Moral dan Saya di Mata Sebagian
Orang, yang menggambarkan tokoh perempuan muda yang
berpenampilan seksi bergaya metropolis dan menjalani pergaulan
bebas, dalam ketujuh cerpen terdapat sosok perempuan sebagai
pekerja seks komersial (PSK). Dalam hal ini profesi sebagai terpak
sa dijalani karena mereka harus menghidupi dirinya dan anaknya.
Dalam cerpen Ting misalnya sangat jelas bahwa tokoh terpaksa
menjadi PSK karena harus menghidupi anaknya.
Pintu elevator dibuka. Ia masuk dan langsung menencet
sebuah tombol. Elevator segera meluncur ke bawah. Suara ting
secara otomatis berbunyi di setiap pergantian lantai. Semua
ting yang begitu akrab di pendengarannya selama lima tahun
ini. Suara ting yang sering membuatnya nyeri. Tapi, selalu
akan ada suara ting yang membuat perasaannya hangat dan
bergetar, seperti saat ini.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

125

..
Akhirnya ting yang ditunggunya tiba juga. Tapi ia tak
berlari keluar seperti yang direncanakannya. Ia berjalan wajar
melewati beberapa orang di sepanjang koridor itu. Makin
dipegangnya erat-erat tas tangan yang melingkar di bahunya
seperti takut ada yang mencuri. Barbybisiknya dalam hati.
Pintu terbuka. Satu suara menyergap kerinduannya.
Menghalau kebimbangannya. Menyapa cintanya.
Mama
(Ayu, 2004: 93)

Untuk menopang kehidupannya bersama seorang anaknya,


dalam cerpen Ting digambarkan seorang PSK yang sudah tinggal
selama lima tahun di lantai lima sebuah hotel. Setiap kali dirinya
bekerja melayani para laki-laki di hotel tersebut, anak perem
puannya menunggunya di kamarnya. Pada suatu hari (latar waktu
dalam cerpen), dia akan menghadiahi anaknya sebuah boneka
Barbie. Ungkapan Suara ting yang sering membuatnya nyeri,
menunjukkan bahwa perempuan tersebut terpaksa menjalani
profesinya sebagai PSK. Cerpen tersebut mencoba memberikan
gambaran bahwa seorang perempuan PSK juga manusia yang
memiliki hati dan malu dengan profesinya tersebut.
Ya sudah dua belas jam ia berada di hotel ini dan entah
sudah berapa ting yang ia dengar. Entah sudah berapa lakilaki ditemuinya dalam kamar. Entah sudah berapa orang
bersamanya dalam elevator. Orang-orang dengan pandangan
menyelidik, curiga, dan menghina
(Ayu, 2004: 93)

126

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dari kutipan tersebut tampak bagaimana masyarakat pada


umumnya memarginalkan seorang perempuan PSK. Sosok PSK
juga dapat ditemukan dalam cerpen Mandi Sabun Mandi,
Saya adalah Seorang Alkoholik. Dalam Mandi Sabun Mandi
digambarkan seorang PSK (Sophi) yang dipuji-puji sebelum
melayani tamunya, tetapi ditinggalkan begitu saja. Di sini Sophi
mencoba melawan hal tersebut dengan memaksa sang laki-laki
terlekati tanda permainannya, antara lain dengan menyuruhnya
mandi dengan menggunakan sabun hotel tenpatnya berkencan
atau menciumnya setelah sang laki-laki siap meninggalkannya.
Namun, perlawanan itu sering kali dipatahkan karena sang lakilaki akan marah dengan mengatakan, Sophi, hati-hati lipstick
kamu nempel di bajuku dong! Bungkusan sabun mandi SoapBukit Indah Iin, Bar and Restoran yang ditemukan istrinya di saku
celana sang suami menunjukkan adanya perlawanan dari Shopi
agar perselingkuhan suaminya diketahui istrinya.
Berbeda dengan Sophi yang melakukan perlawanan terhadap
pelanggannya, tokoh Saya dalam Saya adalah Seorang Alkoholik
harus menanggung sendiri semua beban dan akibat dari profesinya
sebagai seorang PSK. Pada cerpen tersebut diceritakan pende
ritaan seorang PSK yang senantiasa dikejar-kejar rasa bersalah
sebagai seorang pembunuh, karena setiap kali dia menggugurkan
kandungan untuk menghindari memiliki anak tanpa suami.
Dalam masyarakat metropolis yang serba keras, cukup
banyak perempuan

urban yang terpaksa menjalani profesi

sebagai PSK. Lapangan kerja dengan gaji yang memadai dan biaya
hidup yang tinggi di kota-kota besar telah memaksa para pe
rempuan memasuki profesi tersebut. Di samping PSK, sering kali

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

127

juga terdapat para perempuan yang menjadi istri atau kekasih


simpanan, dengan sejumlah fasilitas seperti rumah dan mobil.
Fenomena ini merupakan hal yang biasa ditemukan dalam masya
rakat metropolis seperti Jakarta. Buku karya Moammar Emka,
Jakarta Undercover: Sex n the City (2007), yang membahas
berbagai fenomena seks bebas dan pelacuran di Jakarta menun
jukkan adanya realitas seperti yang digambarkan dalam cerpencerpen Djenar Maesa Ayu tersebut.
Dalam cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu).
Digambarkan seorang perempuan yang bernasib sebagai kekasih
simpanan dari seorang laki-laki beristri. Dalam cerpen ini digam
barkan tokoh aku yang selama lima tahun menjadi simpanan
seorang laki-laki beristri. Bukan hanya perempuan simpanan itu
saja yang menjadi korban sang laki-laki, tetapi sang istri juga. Di
depan simpanannya, laki-laki tersebut selalu membuat cerita
bahwa istrinya hanyalah seonggok daging, sebongkah lemak,
gulungan kerut-merut bersuara kaleng rombeng (Ayu, 2004: 4, 5).
Ekspresi tersebut menunjukkan kekerasan simbolis dari seorang
suami terhadap istrinya. Apalagi dengan persepsi tersebut suami
lari ke luar rumah dan menjalin hubungan dengan perempuan
simpanannya selama lima tahun. Di samping melakukan kekerasan
terhadap istrinya, di sini juga tampak pandangan laki-laki ten
tang tubuh perempuan yang indah dan pantas untuk dinikmati:
muda, ramping, bersuara merdu, dan cantik, yang sudah tidak lagi
dimiliki oleh istrinya.
Yang menarik dalam cerpen Jangan Main-Main (Dengan
Kelaminmu) adalah adanya sikap yang diambil oleh sang istri
ketika dirinya dalam keadaan hamil secara tak sengaja dia

128

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

mendengar suaminya ngrumpi tentang dirinya dengan teman


suami, yang diduga perempuan simpanannya.
Awalnya memang urusan kelamin. Ketika ia terbangun dan
terperanjat di sisi seonggok daging yang tak kagi segar, begitu
ucapannya yan saya dengar dalam bisik-bisik perbincangan
telepon dengan entah teman, atau daging segarnya yang
baru.
(Ayu, 2004: 7).

Melalui monolognya, dalam cerpen tersebut, sang istri juga


mengemukakan bahkan urusan domestik yang begitu beratlah yang
menyebabkan kulit menjadi keriput, tubuh menjadi gembrot, karena
dia tak punya waktu lagi untuk merawat dirinya selain mengurus
rumah, rumah, dan rumah (Ayu, 2004: 7). Akhirnya, karena semua
pengorbanannya tidak mendapatkan penghargaan dari suaminya,
bahkan dia mendengar suaminya berbicara lewat telepon dengan
perempuan simpanannya, Kalau saya saja jengah bertemu,
apalagi kelamin saya, dia pun meninggalkan suaminya. Sang suami
mencoba untuk mencegah kepergiannya dengan mengatakan,
Saya hanya main-main, Ma saya cinta kamu. Beri
kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya.
Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar.
Saya tidak main-main. I,m leaving you
(Ayu, 2004: 13).

Kesadaran bahwa dirinya selama ini kemungkinan hanya


dibohongi oleh laki-laki yang memeliharanya, juga timbul pada

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

129

tokoh perempuan simpanan. Ketika mengetahui bahwa istri lakilaki yang menjadi kekasihnya selama lima tahun itu pada akhirnya
hamil, perempuan tersebut yang selama ini dipuja-puja dan
dicekoki persepsi jelek tentang istrinya, juga mulai ragu. Dia mulai
bertanya-tanya: mungkin selama ini dia hanya berbohong untuk
menyenangkan saya. Sesungguhnya hubungannya dengan istrinya
baik-baik saja dan juka mereka punya anak, pastilah hubungan
mereka tambah membaik.
Sosok perempuan simpanan juga terdapat dalam Moral.
Karena motif ekonomi tokoh aku, yang berusia 25 tahun, terpaksa
menjadi simpanan suami orang. Kehidupan yang glamor dengan
penampilan yang sering kali mengabaikan moral harus dijalaninya,
terutama ketika dirinya harus berburu mencari calon suami yang
mapan. Di samping cerpen yang mengisahkan para PSK, kekasih
simpanan, dan istri yang diabaikan oleh suaminya, juga terdapat
cerpen yang menggambarkan para perempuan yang menjalani
gaya hidup free sex, yaitu pada cerpen Saya di mata Sebagian
Orang dan Penthous 2601. Kedua cerpen tersebut mengritik
kehidupan free sex sejumlah orang. Dalam Saya di mata Sebagian
Orang kritik disampaikan oleh teman-teman tokoh aku yang
menganggap aku sebagai orang yang munafik, pembual, sok
gagah, dan sakit jiwa. Kritik tersebut terbukti ketika sang tokoh
akhirnya tak berdaya karena menderita HIV. Dalam Penthous
2601 free sex dikritik melalui kamar yang bernama Penthous
2601 dan perabotannya.
Di samping sosok perempuan sebagai istri, PSK, dan
simpanan juga terdapat cerpen yang menggambarkan sosok anak
perempuan sebagai korban kekerasan seksual, termasuk kekerasan

130

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dalam rumah tangga, yaitu cerpen Menyusu Ayah. Cerpen ini


menggambarkan seorang anak perempuan yang menjadi korban
kekerasan seksual ayah dan teman-temannya. Kerinduan untuk
menyusu pada ibunya yang tak dapat terpenuhi, karena sang ibu
meninggal ketika melahirkannya, dimanfaatkan oleh ayahnya dan
teman-temannya untuk dijadikan objek seksual. Namun, akhirnya
tokoh mengadakan perlawanan ketika teman-teman sang ayah,
yang semula membiarkannya menikmati air susu dari penisnya
pada akhirnya memperkosanya dan menyebabkan kehamilan dan
menyulut dendam pada ayah dan teman-temannya. Dominasi
patriarkat tampak sangat menonjol dalam cerpen ini. Kematian
ibu sang tokoh pun disebabkan oleh kekerasan psikologis yang
dilakukan suaminya yang menuduh anak yang dikandungnya
sebagai hasil perselingkuhan. Sejak dalam kandungan tokoh
aku sudah mengetahui bahwa dirinya dan ibunya adalah korban
dominasi patriarkat. Oleh karena itu, tokoh aku selalu mengingat
pesan ibunya yang disampaikan ketika dirinya masih dalam
kandungan bahwa kelak dirinya akan menjadi anak yang kuat,
dengan atau tanpa figur ayah. Hal ini menunjukkan bahwa sejak
sebelum lahir seorang perempuan telah dipersiapkan untuk dapat
bertahap dalam menghadapi kerasnya hidup yang dalam kultur
patriarkat didominasi oleh kaum laki-laki.
3. Simpulan
Pada beberapa cerpen tersebut tampak bahwa dalam relasi
perempuan-laki-laki, perempuan senantiasa berada dalam
posisi marginal, sementara laki-laki selalu diposisikan dominan.
Kesenjangan tersebut terjadi karena tata nilai masyarakat berjalan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

131

dalam sistem patriarkat yang memberikan kekuasaan kepada


kaum laki-laki untuk

menguasai, menindas, dan mengontrol

perempuan (Walby, 1989: 213). Untuk menguasai perempuan


kaum laki-laki juga menggunakan kekuatan uang dan kedudukan
yang dimilikinya, seperti tampak pada cerpen-cerpen yang dikaji.
Marginalisasi perempuan tampak jelas pada cerpen-cerpen
tesebut. Kalau bukan seorang istri yang tinggal di rumah, para
perempuan tersebut hanyalah seorang simpanan atau PSK yang
di samping secara ekonomi tergantung kepada laki-laki yang
menggunakan tubuhnya, juga dipandang musuh yang berbahaya
oleh masyarakat. Para laki-laki dalam cerpen-cerpen tersebut,
di samping memiliki kekuatan ekonomi yang mampu membayar
tubuh perempuan, juga diberi kekuasaan oleh sistem patriarkat
masyarakat. Namun, dengan memberikan suara kepada tokohtokoh perempuan, yang takpak termarginalkan dan teraniaya,
melalui monolog dan perlawanannya, beberapa cerpen tampak
mencoba mengajarkan para perempuan agar jangan menyerah
pada posisinya.

C. Rangkuman
Dalam cerpen-cerpen karya Djenar maesa Ayu yang terdapat
dalam kumpulan Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)
tampak bahwa posisi kaum perempuan urban dalam masyarakat
metropolis dalam hubungannya dengan kaum laki-laki masih
berada dalam posisi termarginalkan. Kultur patriarkat yang
dominan menempatkan para perempuan sebagai ibu rumah
tangga, yang dalam relasi cinta dan psikologis dengan suaminya
sering kali diduakan karena adanya perempuan lain sebagai sim

132

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

panan maupun PSK. Sebagai perempuan simpanan dan PSK para


perempuan benar-benar telah dianggap sebagai objek seksual
dan benda yang bebas dinikmati karena telah dibeli. Namun,
perlawanan dan keluhan yang disuarakan oleh para perempuan
tersebut dalam cerpen-cerpen yang dikaji menunjukkan bahwa
para perempuan tersebut hendaknya juga didengarkan suaranya
dan dihargai keberadaannya. Untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih tuntas, disarankan pengkajian lebih lanjut terhadap
cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Jangan
Main-Main (Dengan Kelaminmu), termasuk dalam konteks latar
belakang sosial-historis masyarakatnya.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan
Kelaminmu) Djenar Maesa Ayu untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh terhadap artikel yang membahas
karya tersebut dalam bab ini!
2. Untuk berlatih melakukan analisis kritik sastra feminis, seperti
yang telah dicontohkan baca dan pilihkan satu cerpen karya
Djenar Maesa Ayu atau pengarang lainnya!

BAB VI
KETIKA PARA PENGARANG
PEREMPUAN BICARA TENTANG
SEKS DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA MUTAKHIR

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi yang disajikan
dalam bab ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan gambaran
mengenai aplikasi kritik sastra feminis terhadap sejumlah novel
Indonesia, khususnya yang ditulis oleh para pengarang perempuan
dan mengangkat masalah seksualitas.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

alah satu fenomena menarik dalam khasanah sastra Indonesia


akhir-akhir

ini

adalah

munculnya

sejumlah

pengarang

perempuan, yang pada umumnya merupakan generasi muda. Karyakarya mereka mendapat sambutan yang menggembirakan dari pu
blik pembaca. Beberapa dari pengarang tersebut antara lain Ayu
Utami (menulis Saman [2001] dan Larung [2003]), Dee (Dewi

133

134

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Lestari) (Supernova I, II [2001]), Nova Riyanti Yusuf (menulis Maha


Dewa Maha Dewi [2003]), Jenar Mahesa Ayu (Mereka Bilang Saya
Monyet [2002], dan Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu [2004]),
Eliza V. Handayani (menulis Area X: Himne Angkasa Raya [2000]), juga
Helinatiens (Garis Tepi Seorang Lesbian [2003]), dan sebagainya.
Lahirnya sejumlah sastrawan perempuan tersebut tampaknya
bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak
terpisahkan

dengan

transformasi

sosio-kultural

Indonesia,

yang antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis dan


emansipatoris wanita. Para feminis dan pejuang emansipasi
wanita ingin mendudukan eksistensi perempuan dalam kesetaraan
gender. Di samping itu, ada fenomena menarik pada beberapa
karya para pengarang perempuan tersebut, antara lain dalam
hal mengangkat dan menggambarkan tema yang berhubungan
dengan seks dan cinta. Pada karya-karya sastra sebelumnya, baik
yang ditulis oleh sastrawan pria maupun perempuan, ketika meng
gambarkan pengalaman seks cenderung metaforis dan tersamar,
seperti tampak pada karya-karya Ahmat Tohari (Ronggeng
Dukuh Paruk [1982], atau Bekisar Merah [2000]), Umar Kayam
(Para Priyayi [1992]), Pramudya Ananta Toer (Gadis Pantai, Bumi
Manusia [2000]) maupun N.H. Dhini (Jalan Bandungan, Tirai
Menurun [1989]), maupun Marga T. (Karmila [2000]), dan Mira W
(misalnya Jangan Renggut Matahariku [2000]).
Beberapa sastrawan perempuan generasi Ayu Utami, ternyata
lebih bebas dan berani dalam mengungkapkan pengalaman seks.
Seperti disampaikan oleh R. Sugiarti (seorang relawan pada
UNICEF Indonesia dan pengamat perempuan) di Sinar Harapan,
2002, munculnya karya-karya Ayu Utami dkk., tersebut dapat

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

135

dikatakan bahwa mereka benar-benar berani melawan tabu yang


selama ini menjadi magma terpendam pada masyarakat dengan
konvensi-konvensi budaya. Karya-karya mereka yang berwarna
seks tersebut menarik justru karena melanggar norma masyarakat
tradisional, sehingga melalui perlawanan terhadap tabu tersebut,
mereka meretas fenomena yang tersamar terhadap perempuan,
terutama dalam hal seks. Kehadiran karya-karya mereka, bahkan
dapat dianggap sebagai oase bagi masyarakat yang kepanasan
oleh etika timur tetapi tak berani melawannya secara frontal.
Yang perlu dipahami lebih lanjut adakah korelasi antara
keberanian para sastrawan perempuan dalam mengangkat masalah
dan pengalaman seks pada karya-karya sastranya tersebut dengan
trend budaya yang secara riil hidup dalam masyarakat Indonesia,
khususnya yang berhubungan dengan kebebasan seks pranikah (di
luar nikah) di kalangan generasi muda. Menurut beberapa peneliti,
misalnya Boyke Dian Nugrahaseorang dokter spesialis kebidanan
dan kandungan(majalah Gemari, September 2001) dari tahun ke
tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin
meningkat. Dari sekitar 5 % tahun 1980-an, menjadi 20% pada
2000. Kisaran angka tersebut dikumpulkan dari berbagai penelitian
di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu,
dan Banjarmasin. Dari penelitian Boyke pada 1999 juga diungkapkan
bahwa pasien yang datang ke Klinik Pasutri tercatat sekitar 18 %
remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini dipahami
fenomena seks apa sajakah yang digambarkan dalam karya (novel)
para sastrawan perempuan, bagaimana mereka menggambarkan
masalah seks, hubungan fenomena seks dengan unsur fiksi, rela

136

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

si perempuan dengan laki-laki dalam hubungan seks, juga aliran


feminisme yang mendasari pandangan mereka.
Sebelum membahas masalah tersebut, terlebih dulu akan
diuraikan beberapa konsep teoretik mendasari pembahasan.
2. Konsep Seks dan Karya-karya Sastra Bernuansa Seks
Di kalangan feminis, pada umumnya dibedakan antara
istilah seks, gender, dan seksualitas, walaupun pada dasarnya
pemahaman seksualitas bisa mencakup keduanya: seks dan
jender (Munti, 2002: 2). Di samping itu, seks atau seksual juga
dapat berarti ganda. Di samping mengacu pada perbedaan jenis
kelamin, juga mengacu hubungan intim atau erotis antara dua
jenis kelamin yang berlainan. Seksualitas juga mencakup seluruh
kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap atau watak
sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi
seksual. Sementara itu, gender lebih mengacu pada konsep
maskulin, feminin atau androgini (ada unsur maskulin dan femin),
sebagai hasil dari suatu proses sosialisasi yang merumuskan
peran-peran dan karakteristik-karakteristik yang beraneka ragam
dan cara-cara yang dipertukarkan (Munti, 2000: 2)
Secara khusus seks dalam konteks ini mengacu kepada
bagaimana hal-hal yang berhubungan dengan organ-organ (alat)
kelamin dan aktivitas, serta pengalaman hubungan kelamin yang
dideskripsikan dalam karya sastra.
Munculnya fenomena seks dalam karya sastra, khususnya
sastra Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Hal ini
karena, fenomena seks merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan manusia secara riil. Karena sastra senantiasa

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

137

bersumber dari kehidupan manusia riil, maka seks pun juga me


warnai cerita dalam karya-karya sastra.
Dalam hal kehadiran fenomena seks dalam karya sastra,
sejumlah kritikus sastra telah banyak membicarakan. Dengan
mendasarkan pada karya-karya sastra pada masa 1960-an,
ketika ulasan/kritik dibuat, Satyagraha Hoerip (1969: 249271)
mengemukakan adanya perbedaan antara karya (cerpen)
sastra dan nonsastra dalam menggambarkan seks dalam karya
sastranya. Pada cerita nonsastra (maksudnya karya sastra yang
bernilai rendah[Peny.]) adegan seks acap kali dilukiskan dengan
mendetail, malahan begitu mendetail sehinggaterutama bagi
pecinta sastrasering terasa memuakkan. Sebaliknya, dalam
cerpen sastra akan dijumpai tiga ciri, yang akan membuat
pembaca yang berharap memperoleh sensasi seksual selagi
membacanya akan kecewa. Ketiga ciri tersebut adalah: 1) adegan
seks pada cerpen sastra tidak dilukiskan urut sebagaimana dalam
realitas, dari awal hingga berakhir. Pelukisan lazim berhenti pada
tahap pengantar, sedangkan proses berikutnya pembaca diminta
mengerti sendiri. 2) Seks dilukiskan secara subtil, sugestif, terselu
bung atau bahkan simbolik. 3) Seks (tak selalu dalam adegan
terjadinya) hanyalah suplementer belaka dari sekian faktor yang
ada, yang dalam totalitas cerpen itu justru faktor lain itulah yang
terbukti akan lebih dominan.
Hampir sama dengan yang dikemukakan Hoerip, setelah
mengamati munculnya fenomena seks dalam sastra Indonesia
sebelum 1980-an, Goenawan Mohamad (1980) menyimpulkan
adanya tiga pola sikap dari sastra Indonesia terhadap persoalan
seks dan cara penggambaran seks. Pola pertama adalah karya-karya

138

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

yang berusaha mempersoalkan seks, tetapi tidak berani meng


gambarkannya. Kedua, adalah karya-karya yang mempersoalkan
seks dan menggambarkannya dengan cara meneriakkannya
dengan keras-keras dan ada kecenderungan menggambarkan
peristiwa erotis secara berlebihan. Ketiga, adalah karya-karya
yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia
yang wajar dan menggambarkannya secara wajar pula. Untuk
karya jenis ketiga ini, Mohamad mencontohkan cerpen-cerpen
Umar Kayam dan puisi-puisi Sitor Situmorang.
3. Fenomena Seks dalam Karya Para Pengarang Perempuan
Berdasarkan

pembacaan

dan

pengamatan

terhadap

sejumlah novel yang ditulis pengarang perempuan tampak bahwa


femonema seks yang digambarkan dalam novel-novel tersebut
berhubungan dengan homoseksual, hubungan seks di luar nikah,
perselingkuhan, hubungan seks dengan pelacur, hubungan suami
istri, dan inses.
Fenomena homoseksual secara intents terdapat dalam enam
buah judul novel, yaitu Garis Tepi Seorang Lesbian, Tabularasa,
Dadaisme, Mahadewa-mahadewi, Saman, dan Larung. Dalam
Garis Tepi Seorang Lisbian homoseksual, khususnya lesbian, menja
di tema dan problem sentral tokoh. Dalam novel tersebut digam
barkan bagaimana tokoh Asmora Paria yang memiliki hubungan
lesbi dengan Rie Shiva Ashvagosha. Oleh keluarga Rie hubungan
tersebut dipisahkan karena Rie dipaksa menikah dengan laki-laki
pilihan keluarganya, Renne. Sejak perpisahan tersebut keduanya
tidak pernah dapat bertemu, sehingga menimbulkan penderitaan
yang sangat dalam pada diri Paria. Penderitaan Paria pun semakin

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

139

bertambah berat ketika Paria pun oleh orang tuanya dipaksa


menikah dengan Mas Wiryo. Di tengah frustasi dan kegalauannya
antara tetap mempertahankan diri sebagai seorang lesbian atau
kah harus mengikuti tuntutan keluarganya, Paria sempat berpurapura menjalin hubungan cinta dengan seorang laki-laki, Mahendra.
Pada akhirnya, Paria meninggalkan Mahendra, yang hampir dini
kahinya, setelah mendapatkan surat dari Rie yang berada di
Prancis dan telah mengakhiri hubungannya dengan Renne.
Dalam Garis Tepi Seorang Lesbian hubungan homoseks antara
Paria dengan Rie, misalnya tampak pada paparan berikut:
Detik-setik menjadi sangat cepat. Menggapai sesuatu yang
tergapai dalam saat. Aku meracau. Pedih dalam damai.
Pengingkaran cinta atas namanya. Tuhan sekali ini
maafkanlah akuSampai aku mengenal Rie Shiva Ashvagosha,
saatTak tahu bagaimana prosesnya, tiba-tiba aku sudah
tenang berada dalam dekapan dadanya. Merasakan getaran
hebat. Pertama kali sepanjang hidupku.Tanpa berkata apaapa aku sangat percaya akan cintanya. Entah bagaimana, tapi
ada semacam pohon, pohon yang menarikku untuk lebih erat
memeluk tubuh yang menimbulkan andrenalinku orgasme....
(Herlinatiens, 2000: 9192).

Pada kutipan tersebut tampak bagaimana kedua orang


perempuan (Paria dan Rie) merasakan kenikmatan hubungan seks
sesama jenis. Setelah pengalaman pertama tersebut, berlanjut
dengan hubungan selanjutnya. Meskipun tidak menjadi tema
sentral seperti dalam Garis Tepi Seorang Lesbian. Hubungan
homoseks antara Raras dengan Violet dalam novel Tabularasa

140

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

menyebabkan hubungan cinta heteroseks antara Galih dengan


Raras berakhir, karena Raras memendam hasrat cinta dengan
Vi, teman perempuannya. Keputusan Raras untuk meninggalkan
Galih, yang telah menjadi kekasih dan menghamilinya juga
diperkuat oleh keberanian sahabat Raras, seorang gay yang me
mutuskan menikahi pasangan gaynya (Ratih, 2003: 80) .
Dalam Larung, adegan seks antara kedua orang perempuan
dilakukan oleh tokoh Shakuntala dengan Laila (Utami, 2003: 132,
152153). Dalam novel tersebut Laila, yang sangat mencintai Sihar
mengalami frustasi karena rencana kencan dengan Sihar yang
sudah ditunggu-tunggu dan dipersiapkan dengan penuh gairah
gagal dilaksanakan karena ternyata Sihar datang ke Amerika
dengan diikuti istrinya. Hubungan homoseksual dalam Dadaisme
dilakukan antara tokoh Jing dengan Ken. Dalam hal ini, sebelum
mengenal Jing, Ken sedang menunggu hari pernikahannya dengan
kekasihnya (Sartika, 2003: 205, 207). Hubungan homoseksual
dalam Mahadewa-Mahadewi, dilakukan antara tokoh Gangga
dengan Prasetyo (Yusuf, 2003: 60). Dalam Saman diceritakan
sepasang laki-laki homo, Dhimas dan Ruben sedang terlibat dalam
proyek bersama menulis sebuah novel (Utami, 1998: 2, 8).
Dari enam buah novel yang menggabarkan hubungan
homoseksual, tiga buah memiliki kecenderungan memandang
homoseksual sebagai hal yang penting untuk diakui eksistensinya,
Garis Tepi Seorang Lesbian, Taularasa, dan Larung. Garis Tepi
Seorang Lesbian dan Larung dapat dikatakan mendukung gagasan
lesbianisme, sementara Tabularasa mendukung

lesbianisme

maupun gay. Walaupun Mahadewa-Mahadewi, Dadaisme, dan


Saman

juga menggambarkan hubungan homoseksual (gay),

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

141

keberadaannya tidak ideologis, apalagi kedua novel tersebut


dapat dikatakan lebih banyak menggambarkan hubungan seks
heteroseksual.
Digambarkannya hubungan homoseksual dalam Garis
Tepi Seorang Lesbian, Tabularasa, dan Larung dapat dianggap
merefleksikan pandangan feminisme radikal. Feminisme radi
kal mendasarkan pada suatu tesis bahwa penindasan terhadap
perempuan berakar pada ideologi patriarkat sebagai tata nilai dan
otoritas utama yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan
secara umum, yang menjadi akar penindasan perempuan. Perhati
an utama aliran ini adalah kampanye menentang kekerasan
seksual eksploitasi perempuan secara seksual dari dalam
pornografi. Di samping itu, aliran ini juga menganjurkan gaya
hidup lesbian karena dengan cara ini perempuan dapat terlepas
dari penindasan kaum laki-laki (Dzuhayatin, 1998: 1617).
Keberadaan kaum homoseksual di Indonesia tidak dapat
dilepaskan

dengan

adanya

organisasi

(paguyuban)

yang

menghimpun kaum lesbian dan gay di Indonesia. Seperti diuraikan


oleh Dede Oetomo (2003: 46), salah seorang pendiri paguyuban
gay Indonesia pertama, Lambda Indonesia (LI), dan sekarang
menjadi anggota Dewan Pembina yayasan Gaya Nusantara,
paguyuban gay pertama kali didirikan 1 Maret 1982 dengan nama
Lambda Indonesia (LI) dengan buletinnya G: Gaya Hidup Ceria,
yang terbit hingga akhir 1984. Selanjutnya, awal 1985 di Yogyakarta
muncul Persaudaraan Gay Yogyakarta (PYG), yang memiliki buletin
Jaka, yang khusus untuk laki-laki. Pada tahun 1988 bubar dan
memperluas ruang lingkupnya secara nasional dengan nama
Indonesian Gay Society (GS). November 1987 muncul Kelompok

142

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) yang menerbitkan buku


Gaya Nusantara. Sebagai organisasi dengan anggota komunitas
tertentu, eksistensi mereka didukung oleh keterlibatan kaum gay
dan lesbian dalam mengikuti dan menyelenggarakan konferensi
dan kongres gay dan lesbian dalam lingkup nasional maupun
transnasional, seperti Konferensi Regional Asia ILGA II di Tokyo
1920 November 1988, Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI)
I (1983), LGI II (1985), KLGI III (1997) (Oetomo, 2003: 283). Di
samping itu, terbitnya buku Mamberi Suara pada yang Bisu (2001
dan mengalami cetak ulang 2003) karya Dede Oetomo, yang
memuat sejumlah artikel dan hasil kajiannya tentang kehidupan
homoseksual menunjukkan fenomena dan eksistensi kaum
homoseksual Indonesia yang tidak dapat dipandang dengan
sebelah mata.
Hubungan seks antartokoh di luar nikah dalam novel yang
dikaji menduduki urutan kedua. Ada lima judul novel yang
menggambarkan hubungan seks tokoh di luar pernikahan, yaitu
Tabularasa, Mahadewa-Mahadewi, IP, Saman, dan Larung. Tokohtokoh utama dalam kelima novel tersebut merupakan para lajang.
Walaupun mereka berstatus lajang, tetapi sebagian besar dari
mereka telah melakukan hubungan seks dengan lawan jenis.
Aktivitas seks bebas, terutama yang terjadi di kota-kota besar
seperti Jakarta pada saat ini dapat dikatakan cukup memprihatinkan.
Seperti pernah dikemukakan oleh Moamar Emka dalam bukunya
Jakarta Undercover Sexn the City (2002, 2004) bahwa kehidupan
malam di kota metropolitan Jakarta diwarnai dengan aneka warna
kesenangan hidup yang dapat ditemukan di sejumlah tempat
hiburan yang berhubungan dengan kegiatan seks bebas. Di Jakar

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

143

ta, seperti dikemukakan Emka (2004) dapat ditemukan sejumlah


klub, kafe, salon, dan komunitas yang memiliki aktivitas di seputar
sex-industry. Untuk selanjutnya pembaca dipersilakan membaca
Moamar Emka, Jakarta Undercover Sexn the City. Buku tersebut
mengungkap kehidupan dunia malam di sejumlah tempat hiburan
di Jakarta. Beberapa tulisan di buku tersebut ditulis ketika penulis
menjadi seorang wartawan. Walaupun sejumlah nama dan tempat
disamarkan, tetapi data-data yang dikemukakan dapat dikatakan
bersifat faktual.
Perselingkuhan adalah hubungan yang terjadi ketika salah satu
atau kedua-duanya dari pasangan selingkuh tersebut telah terikat
hubungan pernikahan dengan orang lain. Hubungan tersebut di
katakan sebagai perselingkuhan karena pada umumnya pasangan
resminya tidak menetahui hal tersebut. Dalam novel yang diteliti
hubungan perselingkuhan digambarkan dalam empat buah novel
yaitu JJ, Dadaisme, Saman, dan Larung. Dalam JJ perseling
kuhan terjadi antara June dengan Dean, sahabat suaminya, juga
June dengan Dani, teman kerjanya. Dalam Dadaisme perseling
kuhan terjadi antara Tresna dengan mantan pacarnya, juga antara
Isabela dengan mantan pacarnya (Asril). Sementara dalam Saman
dan Larung, perselingkuhan terjadi antara Sihar dengan Laila, juga
Yasmin dengan Saman.
Dalam JJ June berselingkuh dengan Dean dan Dani karena
suaminya, Jigme terlalu sibuk bekerja, sehingga June kesepian.
Pada saat seperti itu June sering bertemu dengan Dean.
Sementara hubungan dengan Dani terjadi ketika keduanya sedang
meliput acara di Bali. Lingkungan Bali yang bernuansa seks bebas
mendorong keduanya untuk berselingkuh.

144

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Perselingkuhan yang dilakukan oleh Tresna dan Isabela dalam


Dadaisme, dapat dikatakan untuk mengritik hubungan perkawinan
yang tidak dilandasi cinta. Isabela yang sudah memiliki kekasih
Asril oleh orang tuanya dipaksa menikah dengan Rendi, semen
tara Tresna yang merupakan istri kedua Asril tidak dapat memiliki
anak dengan suaminya, maka kembalilah dia menjalin hubungan
dengan mantan kekasihnya.
Perselingkuhan antara Sihar dengan Laila dan Yasmin dengan
Saman dapat dikatakan untuk menunjukkan rentannya hubungan
perkawinan. Sihar yang sudah menikah, tetapi belum memiliki
anak, dengan mudah dapat jatuh cinta kembali pada seorang pe
rempuan yang mencintainya. Sementara hubungan antara Yasmin,
seorang pengacara yang sudah bersuami, dengan Saman, yang
waktu itu masih seorang pastor muda, dalam kasus tersebut dapat
dipahami sebagai kekurangajaran pengarang untuk mengritik
institusi kepastoran yang menganut hidup selibat.
Kasus perselingkuhan yang digambarkan dalam novel dan
realitas yang

banyak terjadi dalam masyarakat tidak dapat

dipisahkan dengan kasus sebelumnya, seks bebas (di luar


pernikahan), yang sama-sama mempertanyakan kembali lembaga
perkawinan, yang sering kali tidak dapat dinikmati oleh mereka
yang terikat dalam lembaga tersebut.
Dalam Saman digambarkan seorang tokoh pelacur, Diva. Di
samping menjadi pelacur dengan pelanggan orang-orang kaya
dan berpendidikan, Diva juga seorang peragawati dan konsultan
psikologi di sebuah situs internet. Dalam Saman digambarkan hu
bungan seks antara Diva dengan seorang pengusaha, Nanda dan
seorang guru besar, Margo.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

145

Dari perspektif feminisme, meskipun seorang pelacur Diva


memunjukkan otoritas dan eksistensinya sebagai perempuan.
Meskipun Nanda dan Margo membayar untuk dapat berkencan
dengan Diva, tetapi keduanya tidak dapat memperlakukan Diva
sebagai objek seks. Keduanya, malah menunjukkan kelemahannya.
Nanda merasa bersalah, sementara Margo impoten (Utami, 1998:
47, 49).
Berkebalikan dengan hubungan seks di luar nikah dan
perselingkuhan yang cukup dominan pada novel yang diteliti,
hubungan seks antarsuami istri tidak banyak digambarkan.
Hanya dua buah novel yang menggambarkannya, Dadaisme dan
Ip. Dalam Dadaisme dan Ip digambarkan hubungan seks antara
Isabela dengan suaminya, Rendi, sementara dalam Ip antara
Gradina dengan suaminya Fadillah.
Hubungan inces digambarkan dalam novel Dadaisme, terjadi
antara Aleda dengan kakaknya, Magnos. Hubungan tersebut
melahirkan anak laki-laki yang

bernama Jing. Dalam masa

dewasanya, Jing berniat membunuh ibunya (balas dendam) dan


menjadi seorang homoseks.
4. Metafora Seksualitas dalam Novel Indonesia
Fenomena seks dalam novel Indonesia mutakhir yang ditulis
oleh para sastrawan perempuan sebagian besar digambarkan
melalui rangkaian kalimat yang bersifat konotatif, yang disampaikan
melalui metafora, sinekdoks, pars pro toto, simile, dan metonimia.
Contoh penggunaan metafora, misalnya tampak pada kutipan
berikut:

146

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Kukurung mereka berdua di bungalowku di Pekanbaru


selama dua malam. Dan ternyata, kejadian. Mereka bercinta.
Hahaha. Lebih gampang daripada mengawinkan anjing ras.
Malah, Yasmin meninggalkan cupang-cupang di heler lekaki
itu. Hohoho. Sekarang kedudukan kita seri, Yasmin. Elu nggak
kebih suci daripada gue.
(Utami, 2003: 87)

Penggunaan metafora dalam Larung, yang menyamakan


Yasmin dan Saman sebagai hewan (pada ungkapan kukurung
mereka) menunjukkan bahwa keduanya berada dalam kekuasaan
orang lain, dalam hal ini Cok, penyamaan dengan hewan juga
tepat karena keduanya ternyata tidak mampu menghindari
dorongan nafsu seksnya, sehingga terjadilah hubungan seks, yang
bagi Yasmin berarti perselingkuhan, sementara bagi Saman berarti
pelanggaran atas janjinya untuk hidup selibat. Sementara itu,
penggunaan metafora dalam Garis Tepi Seorang Lesbian, Ranjang
tempat kita bersenyawa menjadi dingin, tangan-tangan halusmu
lama sudah tak menyentuhnya. Dan aku beku di dalamnya,
menunjukkan kosong (hampa)nya perasaan tokoh Paria setelah
ditinggalkan pasangan lesbi yang dicintainya.
Penggambaran fenomena seks secara tidak langsung tersebut
berfungsi memperhalus ungkapan, sehingga tidak terkesan vulgar.
Pemahaman pembaca bahwa yang diungkapkan adalah fenomena
seks didukung oleh imajinasi yang ditimbulkan dari ungkapan
tersebut.
Di samping pengungkapan melalui cara konotatif, dalam
karya yang dikaji juga ditemukan penggungkapan secara langsung

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

147

(denotatif). Penggambaran fenomena seks secara denotatif


ditemukan dalam tujuh buah novel yaitu Mahadewa-Mahadewi,
Saman, JJ, Dadaisme, Ip, Sm, dan Larung. Cara seperti itulah yang
kemudian menimbulkan penilaian negatif dan kemarahan pemba
ca terhadap karya-karya tersebut. Contoh data tersebut antara
lain adalah:
Reno menatap kedua mata Kako dan melumatnya dalam
pandangan yang berbinar-binar, seperti anak laki-laki puber
yang kagum ketika melihat gambar-gambar wanita telanjang
untuk pertama kalinya.
Setiap mukosa di tubuh saya sudah pernah disentuh
oleh jari-jaribibirlidah dan gigitan kecil
Semua itu sesuai kemauan kamu?
Tidak semua sesuai kemauan saya.
(Yusuf, 2003: 33)

Walaupun cara penggambaran fenomena seks secara


denotatif lebih sedikit dari pada cara konotatif, tetapi tampak
menyolok karena kekasarannya. Akibatnya, tanggapan, bahkan
hujatan dari masyarakat pembaca terhadap karya-karya tersebut
cukup banyak, seperti sudah dipaparkan pada latar belakang
masalah dan penelitian yang relevan.
Fenomena seks pada novel-novel yang dikaji sebagian besar
hadir secara melekat pada unsur tokoh yaitu dalam bentuk perilaku
tokoh, pikiran tokoh, monolog tokoh, hasrat seks tokoh yang
disampaikan melalui e-mail, serta kenangan tokoh. Di samping
itu, sebagian kecil disampaikan oleh narator. Dari temuan tersebut

148

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

tampak bahwa, fenomena seks merupakan hal yang dialami dan


dirasakan oleh para tokoh dalam novel yang dikaji.
Lima buah novel yang menggambarkan fenomena seks
dalam hubungannya dengan perilaku tokoh adalah MahadewaMahadewi, JJ, WSV, Tabularasa, Sm.

Dalam Mahadewa-

Mahadewi tokoh yang terlibat hubungan seks antara lain Yukako


dengan Reno, Leo, dan Dayat dalam hubungan heteroseksual,
serta Gangga dan Prasetyo dalam hubungan homoseksual. Dari
beberapa buah data yang terungkap, digambarkan bagaimana
Yukako adalah seorang perempuan lajang yang

selalu dapat

menikmati hubungan seksnya dengan laki-laki.


Temuan tersebut menunjukkan bahwa fenomena seks dalam
novel-novel yang dikaji merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari unsur fiksi. Artinya masalah tersebut merupakan unsur yang
membangun struktur novel, bukan sekedar tempelan. Dalam hal
ini fenomena seks merupakan masalah yang dihadapi, dialami,
dan dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut. Dari
perspektif kritik sastra feminis, khususnya feminisme psikoanalitik
gambaran tersebut menunjukkan tokoh-tokoh perempuan dalam
novel yang mengalami berbagai pengalaman dan masalah seksualitas
dapat dianggap sebagai cermin pandangan penciptanya (sastra
wan perempuan) dalam memandang masalah seksualitas. Dalam
memangdang masalah seksualitas, sebagai perempuan diharapkan
juga dapat menikmati sebagai subjek, sejajar dengan posisi laki-laki.
5. Relasi Perempuan dengan Laki-laki
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tampak bahwa sebagian
besar menunjukkan adanya relasi tokoh perempuan dengan laki-

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

149

laki yang sejajar. Hal itu ditemukan dalam empat buah novel, yaitu
Mahadewa-Mahadewi, JJ, Ip, dan Saman. Sementara data yang
menunjukkan posisi perempuan mendominasi laki-laki sebanyak
pada novel Sm dan Larung, dan perempuan didominasi laki-laki
pada novel WSV. Di samping itu, juga ditemukan tokoh perempuan
yang menolak hubungan heteroseksual dan menginginkan hubung
an lesbianisme pada novel Garis Tepi Seorang Lesbian dan Larung
dan laki-laki yang menolak heteroseksual dengan menginginkan hu
bungan gay pada novel Tabularasa, Dadaisme, dan Saman.
Dari perspektif kritik sastra feminis, posisi yang sejajar antara
perempuan dan laki-laki dalam sektor publik dan domestik sesuai
dengan pandangan feminisme liberal. Tokoh-tokoh perempuan
seperti Yukako dan June digambarkan sebagai sosok perem
puan yang memiliki karier di sektor publik. Yukako seorang calon
dokter spesialis kejiwaan, sementara June seorang reporter dan
penyiar radio di Singapura. Sementara Gardina, walaupun sebagai
perempuan simpanan pejabat, digambarkan memiliki kecerdasan
dan kewibawaan di hadapan laki-laki yang dilayaninya. Demikian
pula Diva, meskipun memiliki profesi sebagai seorang pelacur
dan peragawati, tetapi memiliki kecerdasan dan eksistensi di
hadapan para laki-laki yang membayarnya. Relasi yang sejajar
antara perempuan dengan laki-laki dalam sejumlah novel tersebut
menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial laki-laki dan perem
puan saling melengkapi dan dapat bekerja sama.
Sementara itu, posisi perempuan yang dominan dari pada
laki-laki dalam Sm dan Larung menunjukkan kecenderungan
pandangan feminisme radikal yang menolak dominasi laki-laki
dengan cara melawannya dan berusaha mendominasi laki-laki,

150

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

seperti ditemukan dalam WSV. Pandangan inilah yang kemudian


juga melahirkan keberpihakan pada hubungan homoseksual, yang
juga ditemukan dalam novel Garis Tepi Seorang Lesbian, Larung,
Dadaisme, Tabularasa, dan Saman.
6. Aliran Feminisme yang Melatarbelakanginya
Gambaran femonena seks dalam novel-novel karya pengarang
perempuan memiliki hubungan dengan pandangan aliran
feminisme yang melatarbelakanginya. Pandangan feminisme
radikal tampak pada novel Sm, Larung, Tabularasa, Garis Tepi
Seorang Lesbian, WSV, sementara pandangan feminisme liberal
pada novel Mahadewa-Mahadewi, Ip, JJ, Saman, dan Dadaisme.
Sesuai dengan ciri feminisme radikal yang melakukan
perlawanan terhadap patriarkat, kampanye menentang kekerasan
seksual, serta mendukung lesbianisme, maka Sm, Larung,
Tabularasa, Garis Tepi Seorang Lesbian, dan WSV memiliki ciri-ciri
tersebut. Perlawanan terhadap patriarkat, misalnya sangat jelas
pada Sm dan Larung, seperti tampak pada kutipan berikut:
Barangkali saya memang menantang kejantanannya,
dan itu berarti membuktikan bahwa ia bisa ditaklukkan (atau
ditegakkan, menurut istilah salah seorang teman, Cok.
(Sm, h. 27).
Saman,
Tahukah kamu, malam itu yang aku inginkan adalah
menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi.
Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.
(Sm, h. 195)

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

Dari beberapa kutipan tersebut

151

tampak bahwa tokoh-

tokoh perempuan, seperti Shakuntala, Yasmin, dan Cok

ada

kecenderungan melawan ideologi dan budaya patriarkat dan ingin


menjadikan laki-laki sebagai objek yang harus ditaklukkan. Perla
wanan terhadap kekuasaan patriarkat yang dilakukan Cok dalam
Larung antara lain menyebabkan dia menjadi seorang lesbian dan
mengajak Laila menikmati hubungan seks dengannya. (Utami,
2003: 153).
Perlawanan terhadap patriarkat dan memilih hubungan
lesbi, juga ditemukan dalam Garis Tepi Seorang Lesbian. Setelah
mendapat surat dari pasangan lesbinya yang bermukim di Prancis,
maka Paria pun segera meninggalkan keluarganya dan menyusul
ke Perancis dengan mengucapkan pamitan kepada ayahnya.
Dalem wangsul Bapak, pergi kerumah tempat saya merasakan
cinta dan senyuman yang tulus. Nyuwun pangapunten Bapak
(Utami, 2003: 308). Demikian jupa tokoh Raras dalam Tabularasa,
meninggalkan Galih yang mencintainya, karena dia sangat
mencintai teman perempuannya yang telah meninggal. Dalam
pandangan feminisme radikal tampak pada sikap Bu Sepuh, yang
menolong dan merawat Mira yang menjadi korban kekerasan
seksual Mulder dan teman-temannya (WSV, h. 75).
Dari berbagai temuan yang terungkap tampak bahwa sejumlah
pengarang perempuan yang karyanya diteliti menunjukkan untuk
mengangkat berbagai permasalahan yang berhubungan dengan
fenomena seks yang dialami dan dihayati tokoh-tokoh perempuan
dalam karya-karyanya. Karena tema yang dominan berhubungan
dengan homoseksual dan seks bebas, baru disusul perselingkuhan,

152

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

maka dapat ditafsirkan bahwa pada umumnya para pengarang


tersebut mencoba melakukan pemberontakan atau perlawanan
terhadap norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat,

khususnya Indonesia, yang menafikan keberadaan kelompok


homoseksual. Masyarakat pada umumnya menganggap mereka
sebagai orang-orang yang mengalami penyimpangan seksual. Di
samping itu, mereka juga cenderung melakukan pemberontakan
terhadap lembaga perkawinan. Pandangan tersebut sesuai dengan
aliran feminisme radikal dan liberal.

C. Rangkuman
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan tampak
bahwa fenomena seks yang digambarkan dalam novel Indonesia
mutakhir karya sastrawan perempuan

secara berturut-turut

didominasi oleh fenomena homoseksual hubungan seks di luat


nikah, perselingkuhan, hubungan seks dengan pelacur, hubungan
suami istri, dan inses. Fenomena tersebut sebagian besar digam
barkan secara konotatif melalui metafora, sinekdoks pars pro toto,
simile, dan metonimia, juga denotatif. Penggambaran fenomena
seks melekat pada unsur tokoh, yaitu dalam bentuk perilaku
tokoh, pikiran tokoh, monolog tokoh, hasrat seks tokoh yang
disampaikan melalui e-mail, serta kenangan tokoh. Di samping
itu, sebagian kecil disampaikan oleh narator. Hal ini menunjukkan
bahwa fenomena seks merupakan hal yang dialami dan dirasakan
oleh para tokoh, khususnya perempuan dalam novel yang dikaji.
Relasi perempuan dengan laki-laki sebagian besar adalah adanya
kesejajarah, disusul dengan perempuaan mendominiasi laki-laki,
laki-laki mendominasi perempuan, dan menginginkan hubungan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

153

lesbianisme dan gay. Fenomena tersebut dilandasi oleh pandang


an feminisme radikal dan liberal yang ditandai dengan menentang
patriarkat dan kekerasan seksual, menganjurkan lesbianisme, dan
menuntut persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki,
termasuk dalam hubungannya dengan persoalan seksualitas.

D. Latihan dan Tugas


1. Jelaskan hubungan antara kecenderungan tema seksualitas
dalam karya sejumlah novelis perempuan Indonesia dengan
ideologi feminisme yang dianut pengarang!
2. Jelaskan hubungan antara kecenderungan tema seksualitas
dalam karya sejumlah novelis perempuan Indonesia dengan
perkembangan sosial budaya Indonesia yang melatarbelakangi
penulisan karya-karya tersebut!

BAB VII
KETIKA PARA SASTRAWAN
PEREMPUAN BICARA POLIGAMI
DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi pembelajaran
dalam bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai aplikasi kritik sastra feminis, khususnya
untuk memahami fenomena poligami yang diangkat sebagai
persoalan dalam sejumlah novel Indonesia karya para sastrawan
perempuan.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

ersoalan kesetaraan gender dan feminisme merupakan salah


satu persoalan yang cukup mengemukan dalam perbincangan

sehari-hari maupun di dunia akademik saat ini. Salah satu fenomena


sosial yang berhubungan dengan persoalan gender yang cukup ramai
dibicarakan akhir-akhir ini antara lain berhubungan dengan kasus
poligami, terutama yang dilakukan oleh sejumlah tokoh masyarakat
154

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

155

maupun para selibritis. Sejumlah orang bahkan bangga mengakui


dirinya melakukan praktik poligami. Poligami yang dilakukan oleh
tokoh agama Aa. Gym dan kasus pemberian Poligami Award oleh
pengusaha Puspo Wardoyo, yang juga seorang pelaku poligami,
kepada sekitar 40-an pria berpoligami yang diselenggarakan di
sebuah hotel berbintang di Jakarta tahun 2003 yang lalu (Pikiran
Rakyat, 02 Agustus 2003) menunjukkan cukup banyaknya realitas
poligami di Indonesia. Kasus tersebut kemudian mengundang pro
dan kontra yang dikemukakan dalam sejumlah media massa. Jurnal
Perempuan, yang salah satu misinya adalah untuk memerangi tindak
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan pada edisinya yang
ke-31 Oktober 2003, secara khusus membahas masalah poligami.
Aksi Poligami Award tersebut menimbulkan berbagai reaksi pro
dan kontra. Salah satu reaksi kontra tersebut disampaikan oleh
LBH APIK Jakarta melalui Siaran Pers yang disampaikan di Hotel Ibis
Jakarta 24 Juli 2003. Dalam siaran pers yang diberi judul Poligami
Sebagai Bentuk Kekerasan yang paling Nyata atas Harkat dan
Martabat Perempuan sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial
Budaya dan Agama tersebut antara lain disebutkan bahwa fakta di
seputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul
akibat poligami (http:www.lbh-apik.or.id/srn-pers-poligami.htm).
Praktik poligami tersebut ternyata tidak hanya ada dalam
realitas nyata, tetapi juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya
sastra Indonesia modern. Dari pengamatan sementara terhadap
sejumlah karya sastra Indonesia modern, tampak bahwa fenomena
poligami ternyata tidak hanya ditemukan pada karya sastrawan lakilaki, yang dari pandangan budaya patriarkat sering kali dianggap
wajar karena mendukung superioritas kaumnya (laki-laki), tetapi

156

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

juga ditemukan dalam sejumlah karya para sastrawan perempuan.


Beberapa karya sastrawan perempuan yang menggambarkan feno
mena poligami antara lain Fira Basuki (Biru), Djenar Maesa Ayu
(kumpulan cerpen Jangan Main-Main [Dengan Kelaminmu]), Evi
Idawati (kumpulan cerpen Perempuan Kedua), Abidah El-khalieqy
(Geni Jora), dan Dewi Sartika (Dadaisme).
Fenomena ini menarik untuk dipahami karena tampaknya
ada sejumlah hal yang melatarbelakangi penggambaran masalah
poligami, khususnya pada sejumlah karya sastra yang ditulis para
sastrawan perempuan. Di satu sisi, mereka diduga tidak berdaya
dalam kungkungan budaya patriarkat, sehingga mengambarkan
kembali apa yang terjadi dalam masyarakatnya dengan segala
masalah yang timbul seperti tampak pada penggambaran feno
mena poligami. Di sisi lain, tampaknya ada usaha untuk menolak
atau melawan budaya patriarkat dengan penggambarkan akibatakibat buruk yang menimpa para pelaku poligami dan keluarganya.
Apa yang tergambarkan dalam sejumlah karya sastra tersebut
dapat dipahami dalam hubungannya dengan realitas yang terjadi
dalam masyarakat karena karya sastra merefleksikan fenomena
yang terjadi dalam masyarakat (Damono, 1978: 1).
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini bertujuan
mendeskripsikan dan menginterpretasikan: 1) pola poligami seperti
apakah yang digambarkan dalam novel Indonesia modern karya para
sastrawan perempuan, 2) pandangan para sastrawan perempuan
mengenai poligami yang terefleksi dalam karya sastranya, 3) ideologi
feminisme yang mendasari pandangan para sastrawan perempuan
mengenai poligami yang terefleksi dalam karya sastranya.
Secara teoretik, penelitian terhadap poligami dalam novel

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

Indonesia modern dengan prespektif

157

kritik sastra feminis

diharapkan memberikan sumbangan bagi perkembangan kritik


sastra, khususnya kritik sastra feminis. Di samping itu, secara
praktis temuan dalam penelitian ini diharapkan memberikan
masukan masyarakat dan para pemerhati masalah perempuan
dalam memecahkan masalah dan merumuskan kebijakan yang
dihadapi kaum perempuan, terutama dalam hubungannya dengan
kasus perkawinan yang bersifat poligami maupun poliandri.
2. Pengertian Poligami
Poligami adalah istilah yang menunjuk pada sistem perkawinan
yang satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya
di waktu yang bersamaan (Parrinder, 2005: 50, 246). Poligami
dibedakan menjadi dua, yaitu poligini dan poliandri. Poligini untuk
menyebut sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang
laki-laki memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu
yang bersamaan dengan perempuan lebih dari satu. Sebaliknya,
ketika seorang perempuan memiliki suami lebih dari satu disebut
poliandri (KBBI, 2002: 885; Muhammad, 2003). Praktik poligami
yang dilakukan sejumlah laki-laki, khususnya yang beragama Islam
didasarkan pada surat an-Nisa ayat 3 yang menyatakan laki-laki
dapat menikahi empat perempuan, dengan berbagai syarat.
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi
masing-masing dua, tiga, atau empatkemudian jika kalian
takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja
atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
(QS an-Nisa: 3).

158

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tahun


ke-8 Hijriah untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal
empat orang saja. Sebelumnya sudah menjadi hal biasa jika
seorang pria Arab mempunyai istri banyak tanpa ada batasan.
Dengan diturunkannya ayat ini, seorang Muslim dibatasi hanya
boleh beristri maksimal empat orang saja, tidak boleh lebih dari
itu. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, hal ini dapat dipahami dari
ayat di atas jika kita baca secara berulang-ulang, yaitu: Nikahilah
oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga, atau
empat-empat, dengan syarat dapat berlaku adil (Saiidah, 2006).
Di samping itu, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 ayat 1
juga disebutkan bahwa seorang laki-laki dapat beristri lebih dari
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya pada empat
orang istri. Di samping pasal dan ayat tersebut di atas, ada beberapa
faktor yang menyebabkan praktik pologami sangat mudah dilak
sanakan, seperti diurakan oleh Yusilawati (mantan Koordinator pada
Kelompok Studi Perempuan Seroja Ciputat, Jakarta) di antaranya:
pertama perundang-undangan yang belum sempurna. Walaupun
perundangan kita telah mengatur prosedur permohonan poligami
yang rumit karena harus melalui proses sidang Pengadilan Agama,
namun sebenarnya banyak sekali celah-celah kekurangan peraturan
tersebut yang mengakibatkan angka poligami tetap besar. Contoh,
tidak ada sanksi tegas untuk pelaku poligami yang tetap me
laksanakan poligami tanpa izin dari istri pertama dan tanpa proses
Pengadilan Agama. Pelaksanaan poligami ilegal/informal hanyalah
berkonsekuensi pada kekuatan hukum pada perkawinan tersebut.
Menurut Yusilawati, (Kompas, 30 Agustus, 2003) perkawinan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

159

poligami tanpa izin dari istri tidak diakui di hadapan hukum positif.
Hal ini tentu saja tidak akan berpengaruh sama sekali bagi pihak
suami. Namun bagi istri kedua, ketiga atau keempat, jelas mereka
dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan mereka
yang mengakibatkan mereka tidak dapat menuntut suami jika suami
melanggar hak-haknya, seperti tidak dapat menggugat cerai suami,
dan tidak dapat melaporkan suami jika terjadi kekerasan dalam
rumah tangga. Kedua, banyaknya naib-naib (penghulu tidak resmi)
yang dengan senang hati melakukan pernikahan bawah tangan.
Alasan utama naib tidak resmi kebanyakan adalah sebenarnya
dalam hukum Islam (fikih), perkawinan dianggap sah walaupun
tanpa pencatatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam fikih
mazhab Syafii dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan
yaitu adanya pengantin laki-laki, adanya wali dari pengantin pe
rempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab-qabul (serah-terima). Ke
banyakan, praktik poligami dilakukan melalui pernikahan bawah
tangan melalui naib tak resmi atau dilakukan secara tidak resmi
(tidak dicatat di KUA) walau melalui naib resmi. Ketiga, adanya
penyelewengan di Kantor Urusan Agama oleh oknum tertentu
dengan cara menerima suap. Penyelewengan yang dilakukan oknum
KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon pengantin
pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status
bujangan atau dengan tetap melaksanakan pernikahan walaupun
tanpa surat keputusan dari Pengadilan Agama atau pernyataan izin
dari istri pertama. Keempat, sosialisasi mengenai peraturan tentang
poligami yang kurang. Banyak wanita yang menentang poligami
namun tidak mengetahui apa yang dapat dilakukan jika musibah itu
terjadi pada diri mereka.

160

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Sebenarnya, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 butir:


a) dinyatakan bahwa suatu perkawinan dari seorang suami yang
poligami tanpa seizin Pengadilan Agama dapat dibatalkan. Keti
daktahuan para istri tentang peraturan ini membuat kebanyakan
istri yang dipoligami hanya pasrah dan berpikir bahwa tidak ada
yang dapat mereka lakukan kecuali pasrah, atau memohon cerai
(Yusilawati, Kompas, 30 Agustus, 2003).
3. Sastra, Realitas, dan Pandangan Dunia Pengarang
Dalam kajian sosiologi sastra, khususnya yang mendasarkan
pada teori mimetik

antara lain dipahami hubungan antara

karya sastra dengan realitas. Dalam pandangan ini karya sastra


dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).
Sesuai dengan pandangan tersebut, maka fenomena poligami
dalam sastra Indonesia modern dianggap sebagai refleksi dari
realitas, seperti yang digambarkan kembali oleh para sastrawan
perempuan.
Karya sastra, di samping merupakan salah satu jenis karya seni
yang diciptakan sastrawan, juga memiliki nilai estetis (keindahan)
untuk memberikan hiburan dan mengandung nilai yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan hubungan
antara karya sastra dengan manusia, Goldmann (1977, 1981)
mengatakan bahwa karya sastra lahir sebagai ekspresi pandangan
dunia subjek kolektif pengarang, dalam upaya merespons lenya
taan yang terjadi dalam masyarakatnya. secara nyata. Hal yang
mirip juga dikemukakan oleh (Eagleton, 2002) bahwa semua karya
seni (: sastra) lahir dari konsepsi ideologis tentang dunia. Kesusas
traan tidaklah berarti apa-apa tanpa ideologi dalam bentuk

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

161

artistik tertentu atau bahwa karya sastra seringkali hanyalah


ekspresi ideologis pada masanya Eagleton (2002: 21). Yang lebih
ekstrim lagi, sastra bahkan seringkali hanyalah menjadi alat untuk
menyampaikan ideologi tertentu, sehingga memahami karya
sastra pada hakikatnya adalah memahami ideologi yang terefleksi
dalam karya sastra.
Dalam pengerian yang umum ideologi mengacu kepada
himpunan dari nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar
dalam menentukan sikap terhadap kejadian atau problem yang
mereka hadapi. Dalam kaitannya dengan kajian sastra, pengertian
ideologi ini seringkali disamakan dengan pandangan dunia (wold
view) yaitu kompleks yang menyeluruh dari gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan
secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu
dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainya
(Goldmann, 1977: 17).
Dalam konteks penelitian ini pandangan mengenai poligami
pada sejumlah novel karya para pengarang perempuan Indonesia
mutakhir akan dipahami dalam hubungannya dengan kemungkinan
pandangan dunia feminisme yang dianggap mendasarinya.
4.

Poligami dalam Perspektif Sastrawan Perempuan


Beberapa novel yang menjadi sampel dalam analisis ini adalah:

1) Biru karya Fira Basuki, 2) Geni Jora, dan 3) Perempuan Berkalung


Sorban karya Abidah El-Khalieqy, 4) Dadaisme karya Dewi Sartika.
Novel-novel tersebut dipilih secara purposive karena mengangkat
masalah poligami sebagai bagian dalam verita yang disajikan.

162

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Berdasarkan pembacaan dan analisis yang telah dilakukan


terhadap novel yang menjadi sampel ditemukan adanya tiga buah
pola poligami. Pola pertama, poligami dilakukan dengan terbuka,
ada izin istri pertama, kedua istri berhubungan dengan baik.
Penyebab poligami karena istri pertama tidak dapat memberikan
keturunan. Pola ini terdapat pada novel Geni Jora karya Abidah AlKhalieqy dan Dadaisme karya Dewi Sartika.
Pola kedua, poligami dilakukan dengan terbuka, istri pertama
terpaksa memberi izin, hubungan antara istri pertama dengan
kedua kurang baik. Penyebab poligami dilakukan karena hubungan
antara suami dengan istri pertama tidak harmonis, keduanya
menikah karena perjodohan dan bukan atas landasan saling
mencintai, suami melakukan perselingkuhan yang menyebabkan
kehamilan perempuan lain. Pola ini terdapat pada novel Perem
puan Berkalung Sorban.
Pola ketiga, poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi,
tanpa ada izin istri pertama. Hubungan antara istri pertama dengan
kedua tidak baik. Penyebab poligami karena hubungan antara
suami dengan istri pertama tidak harmonis. Suami melakukan
perselingkuhan. Pernikahan keduanya karena perjodohan. Pola
ini terdapat pada novel Biru.
Baik dalam novel Geni Jora maupun Dadaisme, digambarkan
praktik poligami, yang relatif tanpa masalah. Kedua istri memiliki
hubungan baik. Dalam Geni Jora mereka tinggal di dua rumah berbeda
dalam satu pekarangan, sementara dalam Dadaisme, keduanya
tinggal serumah bersama suaminya. Pernikahan kedua dilakukan
karena alasan tidak adanya keturunan dengan istri pertama. Dalam
Dadaisme, poligami bahkan terjadi karena usul istri pertama. Istri

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

pertama pulalah yang memilihkan istri untuk suaminya.


Aku menyarankan kamu menikah lagi, Ril. Aku tidak bisa
memberimu anak, seperti yang kamu minta. Rahimku... waktu
aku muda aku menjalani operasi pengangkatan rahim dan...ya,
beginilah, aku tidak akan pernah bisa memberimu seorang bayi
yang lucu.
Dan laki-laki itu terduduk lemas di kursi, terbayang sudah
tangannya yang kosong akan kasih sayang.
Aleda mengepulkan asap rokoknya ke depan, menghapus
bayangan laki-laki yang lunglai bersandar di mejanya. Kemudian
dia melihat sesosok perempuan berpakaian putih masuk ke
dalam ruangannya, menyapanya.
Mbak, mbak serius. Kupikir Mbak hanya main-main
saja? tanya perempuan tersebut.
Ya aku serius, kau bisa memberikan anak, bukan? Aleda
bertanya sambil melipat buku tangannya pada masing-masing.
Anak... ya, aku kan tidak mandul. Aku selalu mens teratur
dan...
Kalau kamu ingin menikah dengan suamiku, aku harus
memastikan kamu tidak mandul. Dia membutuhkan seorang
anak!
Saya?
Ya, kamu. Saya memilihmu. Harusnya kamu senang,
kan. Suamiku banyak yang mau, lho, dan... Aleda menutup
mulutnya lalu kemudian menatap gadis di hadapannya. Pe
rempuan itu sudah lama menaruh hati pada suaminya.
Mbak tidak marah? tanya perempuan itu mengerjap
penasaran.
Justru aku yang bertanya, kamu tidak berkeberatan jadi
istri kedua?

163

164

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Lalu perempuan itu menunduk dan menggeleng yang


dilakukan bersamaan. Aleda mendesah lega.
(Sartika, 2003: 139).

Sementara dalam Geni Jora digambarkan cerita yang terjadi


di lingkungan pesantren. Diceritakan kehidupan sebuah keluarga
beragama Islam yang cukup kaya. Novel ini bertokoh utama Kejora,
yang memiliki dua orang ibu. Ibu Kejora adalah istri kedua dari
seorang tokoh agama Islam. Sebelum menikah dengan ibu Kejora,
ayahnya telah mempunyai seorang istri, tetapi tidak memiliki
anak, sehingga melakukan poligami.
Pada malam terakhir puasa, kami menyelenggarakan
pesta keluarga, kadang di rumah ibuku, bulan depan di rumah
ibu tiriku. Kebetulan aku memiliki dua ibu, yang menempati
dua rumah saling bertolak belakang namun satu pekarangan.
Rumah ibuku menghadap ke utara dengan halaman yang cukup
luas dan rumah ibu tiriku terletak di halaman belakangnya,
menghadap selatan dengan hlaman yang cukup luas juga.
(El-Khalieqy, 2003: 63).

Tiadanya masalah akibat poligami dalam Geni Jora, karena


pelaku poligami hidup dalam latar sosial budaya pesantren (Islam).
Dalam hukum Islam, dengan alasan dan syarat tertentu poligami
diperbolehkan (QS An-Nisa: 3). Di samping itu, alasan poligami
karena istri tidak dapat melahirkan keturunan, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),
pasal 4 dan 5.
Dalam Geni Jora, tampak bahwa suami telah berbuat

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

165

adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Ekspresi ibu


Kejora berikut ini menunjukkan bahwa secara lahir dia tidak
memasalahkan persoalan poligami.
Tanpa anak, pembantu Ibu Fatmah juga tiga, sama
seperti kita.
Semuanya lebih dari cukup, Sayang. Tak ada sesuatu
pun yang kurang. Allah melimpahkan segala kesenangan,
kebahagiaan dan kenikmatan yang tak terhingga pada kita
semua. Dan ini harus kita syukuri.
(El-Khalieqy, 2003: 80).

Poligami yang terdapat dalam Dadaisme juga tanpa masalah,


karena di samping syarat-syarat yang ditentukan oleh agama Islam
yang dianut tokoh dan UUP pasal 4 dan 5, terjadinya poligami juga
karena atas saran dan upaya istri pertama (Sartika, 2003: 139).
Hubungan yang baik antara kedua orang istri dengan anak-anak
mereka yang tinggal dalam satu rumah, menunjukkan poligami
yang tanpa masalah dalam Dadaisme.
Mbak... Yossy meninggal! dan suaramu pecah, bersamaan
dengan kesendirian yang akan mulai kamu jalani sekarang.
Tenang Tres, tenang. Istigfar. Ingat Gusti Allah. (h. 31)
Yossy mengeleng, Tadi Yossy lihat dua mama Yossy,
Mama Tresna dan Mama Aleda. Mama Tresna terus-menerus
menangis. Padahal Yossy sudah jadi peri...
(Sartika, 2003: 33).

166

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Berbeda dengan pola poligami yang terdapat dalam Geni Jora


dan Dadaisme, poligami yang terdapat dalam Perempuan Berkalung
Sorban meskipun dilakukan dengan terbuka, istri pertama terpak
sa memberi izin, karena suami melakukan perselingkuhan yang
menyebabkan kehamilan perempuan lain. Hubungan antara istri
pertama dengan kedua kurang baik. Penyebab poligami dila
kukan karena hubungan antara suami dengan istri pertama tidak
harmonis, keduanya menikah karena perjodohan dan bukan atas
landasan saling mencintai.
Pada suatu saat, seseorang dari para janda itu datang
ke rumah dan mengadukan perilaku Samsudin yang telah
menghamilinya. Ia minta pertanggungjawaban Samsudin untuk
menikahinya. Karena aku kurang fasih dengan urusan masalah
seperti itu, kuserahkan semuanya pada mertua, untuk dike
tahui juga bagi mereka bahwa anaknya benar-benar menderita
sakit yang sulit disembuhkan dan orang yang sehat tak dapat
menerimanya. Karena tak ada pilihan lain, mertua akhirnya
menikahkan mereka dan jadilah Samsudin melaksanakan
niatnya untuk berpoligami.
(El-Khalieqy, 2001: 117).

Walaupun pelaku poligami beragama Islam, dibesarkan dalam


lingkungan pesantren, namun poligami menimbulkan masalah
dalam novel ini. Suami digambarkan sebagai laki-laki yang, walau
pun sarjana, tidak memiliki pekerjaan tetap, secara ekonomi
masih menggantungkan pada bantuan orang tuanya. Di samping
itu, suami juga digambarkan memiliki moral yang kurang terpuji.
Tidak menjalankan ajaran Islam secara baik, sering berbuat kasar

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

167

terhadap istrinya, suka berjudi dan main perempuan. Hubungan


antara kedua orang istri yang tinggal dalam satu rumah kurang baik.

Perempuan itu disatukan denganku dalam satu rumah.
Mula-mula ia begitu baik denganku, ramah, dan suka tersenyum.
Ia menempati kamar kedua bersebelahan dengan ruang makan.
Karena antaraku dan Samsudin sedang terjadi perang batin
yang berkepanjangan dan perempuan itu tahu banyak tentang
hubunganku dengan Samsudin, ia mulai membanggakan diri
sebagai perempuan yang mampu memuaskan dahaga Samsudin.
Ia pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak
perabotan. Meja kursi dipindah ke sini dan lukisan itu dipajang
di sana. Pada akhirnya ia mengambil alih urusan keuangan.
(El-Khalieqy, 2001: 117).

Masalah juga muncul ketika suami tidak mampu menjalankan


prinsip keadilan yang menjadi salah satu syarat dalam poligami.
Yang benar-benar menjadi masalah ketika keuangan untuk
sekolah dan urusanku menjadi berkurang dan akhirnya sama
sekali tak ada. Kalsum telah membelanjakan semuanya untuk
kepentingan dia dan ketika kutanya mana uang sekolahku,
ia menuding Samsudin dan menyuruhku meminta pada
nya. Setelah berpikir lama, aku bicara pada Samsudin untuk
membagi uang belanja secara adil sebagaimana sunnahnya
berpoligami. Ia bilang akan menunjukkan keadilan padaku
pada suatu saat.
(El-Khalieqy, 2001: 1
18).

Namun, keadilan tidak pernah dijalankan oleh Samsudin, sampai


akhirnya istri pertama mengajukan gugatan cerai.

168

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dalam novel Biru, poligami (pola III) dilakukan dengan


sembunyi-sembunyi, tanpa ada

izin istri pertama. Penyebab

poligami karena hubungan antara suami dengan istri pertama


tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut terjadi karena perni
kahan mereka terjadi akibat perjodohan yang dilakukan oleh
orang tua (Basuki, 2000: 266).
Ketidakharmonisan

hubungan

suami

istri

tersebut,

menyebabkan suami melakukan perselingkuhan di kota lain.


Perempuan

yang

menjadi

selingkuhan

tersebut,

bahkan

menggunakan jasa dukun untuk untuk memikat pasangannya


(Basuki, 2000: 243). Setelah mengikuti saran dukun, keduanya
kemudian menikah secara resmi, tanpa sepengetahuan istri
pertama. Apabila ditinjau berdasarkan Undang-Undang No
mor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang menyatakan
bahwa suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin
apabila: a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri, b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, c) istri tidak dapat melahirkan keturunan (pasal
4), serta adanya persetujuan dari istri/istri-istri (pasal 5). Apabila
syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka praktik poligami ini
tidak syah dan dapat dibatalkan secara hukum (bdk. Kompilasi
Hukum Islam, pasal 71: a).
Tunggu....tunggu..., Lindih. Aku punya buktinya, ujar
Kira panik dengan kedua telapak tangan berusaha meredakan
Lindih. Pelan-pelan ia berjalan, turun dari tempat tidur menuju
laci meja rias di sampingnya.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

169

Ini buktinya! katanya sambil mengeluarkan dua buah


buku kecil, hijau dan cokelat. Ini buku nikah kami, ujar Kira
sambil menunjukkannya lekat-lekat kejah Lindih.
Buka! ujar Lindih gusar.
Kira membuka buku hijau dan memamerkan foto
Setiawan dan fotonya, hitam putih 2 x 3. Dibacanya lantang,
Buku Nikah. Kutipan akta nikah..
(Basuki, 2000: 263).

Apabila istri pertama memahami Undang-Undang Nomor


1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, pasal 71: a), yang
mengatur poligami, seperti diuraikan di atas, maka istri pertama
sebenarnya dapat memohon kepada Pengadilan Agama untuk
membatalkan pernikahan kedua, bukan malah mengajukan
gugatan perceraian.
Berdasarkan pola poligami yang terdapat dalam novel
yang diteliti, dapat diinterpretasikan bagaimana pandangan
para sastrawan perempuan terhadap fenomena poligami yang
terefleksi dalam karya sastranya. Ada tiga orang pengarang
yang karyanya diteliti, yaitu Abidah El-Khalieqy (Geni Jora dan
Perempuan Berkalung Sorban), Fira Basuki (Biru), dan Dewi Sartika
(Dadaisme).
a. Abidah El-Khalieqy
Poligami sebagai keadaan darurat, dapat dilakukan, asal syaratsyaratnya dapat dipenuhi. Di samping itu, persoalan ekonomi dan
keadilan suami merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Apa
bila suami tidak tidak dapat memenuhinya, maka akan berakibat
pada ketidakharonisan hubungan antara para pelaku poligami dan

170

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

berakhir pada perceraian. Mengenai poligami sebagai solusi dalam


keadaan darurat ini pernah dikemukakan oleh M Quraish Shihab
(Republika,08 Desember 2006) yang menyatakan bahwa poligami
itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada me
reka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya.
Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang
hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu.
b. Fira Basuki
Dalam novel Biru, tampak adanya pandangan Fira Basuki yang
menolak poligami, lebih-lebih poligami yang dilakukan tanpa izin
istri pertama. Di samping itu, suami tidak berbuat adil. Kebencian
dan dendam yang dirasakan istri pertama terhadap istri kedua
dan suaminya, yang berlanjut pada perceraian menunjukkan sikap
penolakan Fira Basiki terhadap poligami.
Paktik poligami yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi
dan tanpa adanya izin dan pesetujuan dari istri pertama juga
dapat diinterpretasikan bahwa pengarang tidak yakin bahwa
poligami dapat dilakukan secara baik-baik, asal syarat-syaratnya
dipenuhi. Akibat poligami yang menyebabkan keluarga beran
takan, perceraian dan perpisahan anak-anak dengan orang tuanya
juga mendukung pandangan Fira Basuki yang menolak poligami.
c. Dewi Sartika
Dalam novel Dadaisme, tampak adanya pandangan Dewi
Sartika yang memperbolehkan, bahkan tanpa mempermasalahkan
terjadinya poligami. Di samping tidak mempermasalahkan poligami,
dalam novel Dadaisme, Dewi Sartika juga menggambarkan tokohtokohnya yang dapat mencintai lebih dari satu orang (hubungan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

171

perselingkuhan). Hal itu tidak hanya dilakukan oleh tokoh lakilaki, Asril, tetapi juga tokoh perempuan (Isabela). Meskipun sudah
memiliki dua orang istri secara syah, ternyata Asril juga digambar
memiliki hubungan perselingkuhan dengan bekas kekasihnya, Isabela
(Sartika, 2003: 148). Demikian pula Isabela, meskipun dia sudah
menikah dengan Rendy, tetapi masih juga mencintai Asril. Bahkan
keduanya, sering bertemu dan berkencan (Aku mencintai laki-laki
ini dan aku mencintai laki-laki itu. Dan kamu sadar, betapa beratnya
menjadi malaikat dan setan sekaligus,) (Sartika, 2003: 126).
Tokoh-tokoh yang terlibat poligami dalam Dadaisme, bahkan
digambarkan dapat menikmati hidupnya dengan tanpa masalah,
meskipun kedua istrinya tinggal dalam satu rumah.
Bila dipahami dalam perspektif feminisme, maka pandangan
para sastrawan perempuan mengenai poligami dapat dijelaskan
sebabagai berikut. Meskipun poligami yang digambarkan Abidah
El-khalieqy mengenai poligami dalam kedua novelnya sesuai
dengan pandangan Islam, namun secara spesifik dia meman
dangan fenomena tersebut cenderung sesuai dengan pandangan
feminisme radikal. Alasan poligami pada novel Geni Jora, karena
istri pertama tidak dapat memberikan keturunan (sesuai dengan
UUP 1974, pasal 4: istri tidak dapat melahirkan keturunan dan
pasal 5: adanya persetujuan dari istri/istri-istri dalam perspektif
feminisme pada merupakan bentuk pengunggulan kaum lakilaki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah
hanya untuk melayani suami dan menghasilkan keturunan. Ini
bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan
Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena
istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

172

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

istri dan tidak dapat melahirkan keturunan). Karena ketentuan


poligami juga diatur dalam Alquran, surat an-Nisa ayat 3, istri
pertama yang memahami hukum agama Islam tentu tidak akan
menolak ketika suaminya mengajukan izin poligami. Para feminis,
khususnya yang mengikiuti aliran feminisme radikal menganggap
hal tersebut sebagai bentuk-bentuk pengunggulan kaum laki-laki
atas perempuan (http://www.lbh-apik.or.id/fac-31.htm).
Dalam budaya patriarkat dan dunia pesantren, sebagai istri
yang tidak dapat memberikan keturunan, jelas Ibu Fatmah dalam
Geni Jora tidak memiliki kekuatan untuk menolak suaminya yang
ingin menikah dengan perempuan lain. Dialog antara Kejora
dengan ibunya yang menjadi istri kedua menunjukkan bahwa
walaupun ayahnya berbuat adil dalam hal harta dan kasih sayang,
namun ada masalah yang dialami oleh para istri akibat poligami,
paling tidak dari pandangan anak.
Ibu pasti cemburu pada Ibu Fatmah, suatu kali aku
bertanya.
Apa Ibu Fatmah pantas dicemburui?
Ia begitu cantik, bukan?
Apa ibu kurang cantik dari dia?
Tetapi ibu kurang bahagia
Ibuku tertawa ringan.
Tahu apa kau tentang bahagia, anakku?
Ia memelukku dengan sayang.kulihat pandangannya
menerawang...
(El-Khalieqy, 2003: 80).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

173

Pandangan feminisme radikal lebih jelas lagi terungkap dalam


novel Perempuan Berkalung Sorban. Makna judul novel tersebut
secara simbolis sudah mengacu pada pengertian bahwa dalam
masyarakat keberadaan perempuan berada dalam kekuasaan lakilaki, yang disimbolkan dalam sorban yang biasa dipakai oleh para
laki-laki dari kalangan pesantren (agama Islam). Dalam Perempuan
Berkalung Sorban digambarkan bagaimana sebagai perempuan
tokoh Anisa harus menjalani hudupnya di bawah kekuasaan lakilaki, ayahnya dan suaminya (Samsudin). Sebelum lulus Sokolah
Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), Annisa telah dinikahkan
dengan seorang laki-laki yang belum dikenalnya.
Terbayang kembali peristiwa pahit yang mengawali
pernikahanku dengan Samsudin, laki-laki yang baru kulihat
sejam sebelum akad nikah. Tubuhnya tinggi besar dengan pera
wakan pegulat yang kehabisan nyali sesudah segalnya gagal...
(El-Khalieqy, 2003: 105106)
Bahkan, Nisa juga digambarkan mengalami kekerasan seksual
dari suaminya sendiri.
Ia membuang puntung rokok dan serta merta, di luar
perkiraanku, laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku
dalam gendongannya, membawanya ke kamar dan meni
durkanku kemudian menyetubuhiku dengan paksa. Aku
meronta kesakitan, tetapi ia kelihatan semakin buas....
(El-Khalieqy, 2003: 9798)

Dalam novel tersebut digambarkan betapa tak berdayanya


perempuan untuk melawan dominasi patriaki. Poligami yang

174

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dilakukan Samsudin, yang dilatarbelakangi oleh perselingkuhannya


dengan perempuan lain dan menghamilinya, jelas menunjukkan
adanya dominasi patriaki. Apalagi ketika kedua istrinya yang tidak
akur tersebut disatukan dalam satu rumah, sehingga menimbulkan
berbagai masalah berikutnya. Istri pertama akan menderita lahir
batin, mulai dari masalah keuangan yang tidak adil, istri kedua yang
mendominasi untuk mengatur rumah tangga, sampai hubungan
seksual antara suami dengan istri kedua yang dipertontonkan
di depan istri pertama (: aku baru pulang dari sekolah ketika
dudapati kedua makluk berlainan jenis itu telanjang bulat tengah
bergumul di lantai...) (El-Khalieqy, 2003: 118). Peristiwa-peristiwa
tersebut menggambarkan betapa praktik poligami menunjukkan
adanya dominasi patriarkat dan berakibat buruk pada perempuan.
Feminisme radikal jelas menolak dominasi dan kekerasan yang
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, termasuk kekerasan
dalam rumah tangga, seperti yang dialami oleh tokoh Anisa dan
istri Samsudin lainnya.
Pandangan Dewi Sartika mengenai poligami yang terdapat
dalam novel Dadaisme, cenderung sesuai dengan pandangan
feminisme liberal. Poligami yang jalani oleh para pelaku dengan
wajar dan tanpa masalah. Berbeda dengan praktik poligami yang
terdapat dalam kedua novel Khalieqy yang terjadi akibat budaya
patriarkat, poligami dalam Dadaisme terjadi atas inisiatif istri
pertama karena dia tidak mampu memberikan keturunan. Bahkan,
istri pertama pulalah yang memilih siapa yang akan menjadi istri
kedua bagi suaminya (El-Khalieqy, 2003: 139).
Feminisme liberal mendasarkan pada faham liberalisme
kapitalistik, yang menuntut persamaan hak di segala bidang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

termasuk

pekerjaan,

partisipasi

politik,

dan

175

pendidikan

(Dzuhayatin, 1998: 16). Hubungan antara tokoh Aleda dengan


suaminya, juga istri kedua, Tresna yang saling mencintai dan me
nyayangi tidak menunjukkan adanya dominasi patriarkat. Aleda
dapat menjalani profesinya sebagai psikolog, sementara Tresna
sebagai ibu rumah tangga, dan suami mereka sebagai pengusaha.
Kebersamaan dan dialog yang mereka lakukan dalam
memutuskan masalah di rumah tangga menunjukkan bahwa
mereka memiliki persamaan hak dan kewajiban yang setara, tanpa
ada yang mendominasi satu sama lainnya. (Sartika, 2003: 31, 225).
Dalam Dadaisme, Dewi Sartika mencoba memandang poligami
sebagai hal yang wajar dan cenderung tanpa menimbulkan
masalah. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut bahkan digambarkan
dapat mencintai lebih dari satu orang (hubungan perselingkuhan),
yang menjadi salah satu penyebab poligami. Hal itu tidak hanya
dilakukan oleh tokoh laki-laki, Asril, tetapi juga tokoh perempuan
Isabela. Meskipun sudah memiliki dua orang istri secara syah,
ternyata Asril juga digambar memiliki hubungan perselingkuhan
dengan bekas kekasihnya, Isabela. Demikian pula Isabela, meskipun
dia sudah menikah dengan Rendy, tetapi masih juga mencintai Asril.
Bahkan keduanya, sering bertemu dan berkencan.
Feminisme liberal menjunjung tinggi adanya persamaan
hak antara laki-laki dengan perempuan dalam semua hal. Dalam
peristiwa di atas Dewi Sartika tampaknya juga ingin menunjukkan
bahwa bukan hanya laki-laki yang memiliki hak dan bakat berpo
ligami, tetapi perempuan juga. Dalam monolognya, tokoh Isabela
sangat ingin melakukan poligami, seperti yang dilakukan laki-laki.

176

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Kamu bertanya, mengapa hanya laki-laki saja yang diberi


kuasa untuk memiliki banyak istri, mengapa perempuan juga
tidak diberi kuasa yang sama. Mengapa laki-laki diperbolehkan
mencintai lebih dari seorang, dan mengapa perempuan tidak.
(Sartika, 2003: 123)
Tuhan maafkan aku. Aku mencintai laki-laki ini dan aku
mencintai laki-laki itu. Dan kamu sadar, betapa beratnya
menjadi malaikat dan setan sekaligus .
(Sartika, 2003: 126).

Pandangan Fira Basuki mengenai poligami dalam novel


Biru sesuai dengan pandangan feminisme radikal. Hal ini karena
poligami dilakukan oleh suami secara sembunyi-sembunyi.
Terhadap istri pertamanya yang tinggal di Bogor, suami me
rahasiakan kalau dirinya telah menikah siri, maupun secara syah
di Surabaya. Pernikahan kembali tersebut juga dirahasiakan dari
masyarakat dengan alasan agar tidak merusak kariernya.

Mas An bilang ia belum siap menerima anak dari aku.
Untuk menjadikanku istri resminya terang-terangan saja ia
tidak siap. Katanya kariernya akan hancur berantakan. Dengan
begitu masa depan kami berdua justru tidak ada. Katanya aku
harus sabar. Tahukah ia apa yang diperbuatnya? Tahukan ia
apa yang dikatakannya membuatku berbuat apa? Tahukah ia?
Ia tidak perlu tahu. Tidak perlu tahu. Laki-laki tidak perlu tahu.
Tapi, sampai kapankah aku harus begini? Aku pembunuh
janin sendiri. Sampai kapankah?
(Basuki, 2003: 55).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

177

Dari kutipan tersebut tampak bagaimana laki-laki dengan


egoismenya yang didukung oleh budaya patriarkat tidak mau ikut
bertanggung jawab atas perbuatannya menikahi perempuan yang
kedua. Akibatnya, istri kedua harus berkorban untuk melakukan
aborsi atas janin yang dikandungnya.
Pandangan feminisme radikal yang melihat poligami sebagai
akibat dari pengunggulan laki-laki terhadap perempuan juga
tampak dari tidak adilnya pembagian waktu bersama dan harta
antara kedua orang istri dalam novel tersebut. Istri kedua harus
menunggu waktu yang demikian lama untuk mendapatkan jatah
kunjungan suaminya, sehingga dia menggunakan jasa seorang
dukun untuk memberikan aji pengasihan agar suaminya datang
padanya. Istri kedua juga sering berimajinasi akan mencelakai istri
pertama yang menjadi saingannya.
Aku mulai menciptakan skenario tersebut. Tubuh istri Mas
An tergolek di tempat tidur, sakit tak berdaya. Aku tidak pernah
tahu bagaimana rupa atau seperti apa bentuk istri Mas An. Aku
membayangkannya....
Aku membuatnya sakit tergolek tak berdaya di rumah
sakit. Aku membuatnya seperti monster, makhluk jelek yang
tergolek di tempat tidur tidak bisa bergerak....
(Sartika, 2003: 240).

Dalam Biru digambarkan suami berpoligami yang tidak dapat


berlaku adil dalam memberikan nafkah antara istri pertama
dengan (Sartika, 2003: 266). Suami telah melimpahkan hartanya
pada istri keduanya di Surabaya. Bahkan rumah untuk istri
keduanya pun lebih mewah dari rumahnya yang di Bogor. Demi

178

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kian pula mobilnya (Sartika, 2003: 256).


Dalam novelnya, Fira Basuki mencoba menunjukkan berbagai
masalah yang dialami oleh para pelaku poligami dan keluarganya.
Beberapa data dan interpretasi di atas menunjukkan pandangan
Fira Basuki mengenai poligami sesuai dengan pandangan
feminisme radikal.
Feminisme radikal maupun feminisme liberal yang mendasari
pandangan ketiga sastrawan perempuan mengenai poligami dari
karya yang diteliti dapat dianggap mewakili pandangan dunia
kelompok sosial mereka. Dalam hal ini keempat novel yang diteliti
dapat dipandang sebagai sarana untuk menggabarkan kembali,
menanggapi, mengkritisi, bahkan juga menolak praktik poligami
karena di samping poligami dapat dijadikan solusi dalam rumah
tangga, lebih banyak menimbulkan masalah terutama pada para
perempuan (istri-istri) dan anak-anaknya.
5. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut. Ada tiga buah pola poligami
pada karya sastra yang diteliti. Pola pertama, poligami dilakukan
dengan terbuka, ada izin istri pertama, kedua istri berhubungan
dengan baik. Penyebab poligami karena istri pertama tidak dapat
memberikan keturunan. Pola ini terdapat pada novel Geni Jora karya
Abidah Al-Khalieqy dan Dadaisme karya Dewi Sartika. Pola kedua,
poligami dilakukan dengan terbuka, istri pertama terpaksa memberi
izin, hubungan antara istri pertama dengan kedua kurang baik.
Penyebab poligami dilakukan karena hubungan antara suami dengan
istri pertama tidak harmonis, keduanya menikah karena perjodohan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

179

dan bukan atas landasan saling mencintai, suami melakukan perse


lingkuhan yang menyebabkan kehamilan perempuan lain. Pola ini
terdapat pada novel Perempuan Berkalung Sorban. Pola ketiga,
poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa ada izin istri
pertama. Hubungan antara istri pertama dengan kedua tidak baik. Pe
nyebab poligami karena hubungan antara suami dengan istri pertama
tidak harmonis. Suami melakukan perselingkuhan. Pernikahan
keduanya karena perjodohan. Pola ini terdapat pada novel Biru.
Pandangan para pengarang perempuan mengenai poliami
adalah sebagai berikut: 1)

Abidah El-Khalieqy memandang

poligami sebagai keadaan darurat, sehingga dapat dilakukan,


asal syarat-syaratnya dapat dipenuhi. Di samping itu, persoalan
ekonomi dan keadilan suami merupakan hal yang harus diper
timbangkan. Apabila suami tidak tidak dapat memenuhinya, maka
akan berakibat pada ketidakharmonisan hubungan antara para
pelaku poligami dan berakhir pada perceraian. 2) Fira Basuki cen
derung menolak poligami, lebih-lebih poligami yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan tanpa izin istri pertama. Di
samping itu, suami tidak berbuat adil. Kebencian dan dendam
yang dirasakan istri pertama terhadap istri kedua dan suaminya,
yang berlanjut pada perceraian menunjukkan sikap penolakan
Fira Basuki terhadap poligami. 3) Dewi Sartika memperbolehkan,
bahkan tanpa mempermasalahkan terjadinya poligami. Di samping
tidak mempermasalahkan poligami, dalam novel Dadaisme, Dewi
Sartika juga menggambarkan tokoh-tokohnya yang dapat mencitai
lebih dari satu orang (hubungan perselingkuhan).
Ada dua aliran feminisme yang mendasari pandangan ketiga
sastrawan perempuan yang karyanya diteliti, yaitu feminisme

180

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

radikal yang tampak pada karya Abidah El-Khalieqy dan Fira Basuki
dan feminisme liberal pada karya Dewi Sartika. Feminisme radikal
memandang poligami sebagai bentuk dominasi laki-laki atas
perempuan, sehingga menimbulkan berbagai masalah terutama
pada para istri dan anak-anaknya. Feminisme liberal yang tercer
min dalam pandangan Dewi Sartika cenderung tidak memperma
salahkan poligami sebagai bentuk dominasi patriarkat, bahkan
pihak-pihak yang menjalaninya tidak merasa akibat buruk dan
masalah darinya. Poligami bahkan dapat menjadi solusi karena
pernikahan dengan istri pertama tidak memberikan keturunan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan pada peneliti
selanjutnya untuk meneliti karya-karya sastra lainnya yang
mempersoalankan kasus poligami, termasuk karya para sastrawan
laki-laki. Selanjutnya, bagi masyarakat umum perlu disosialisa
sikan akibat-akibat buruk yang dapat ditimbulkan dai kasus poli
gami, sehingga seminimal mungkin terjadinya kasus poligami
dapat ditekan.

C. Rangkuman
Dalam perspektif feminisme, poligami sebagai sebuah tik
perkawinan seorang laki-laki dengan dua atau lebih istri dalam
kurun waktu bersamaan dianggap sebagai salah satu wujud
kekuasaan patriarkat. Hal ini karena pelaksanaan poligami
dilatarbelakangi oleh alasan yang cenderung melemahkan seorang
istri, misalnya karena istri tidak dapat memberikan keturunan
atau karena sakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti
dikemukakan dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
Dengan menggunakan perspektif feminisme beberapa novel yang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

181

ditulis oleh pengarang perempuan tampak cenderung mengritisi


poligami yang dilakukan oleh para tokoh dalam novelnya. Dalam
novel tersebut tampak bahwa poligami ada yang dilakukan secara
terang terangan, tetapi ada juga yang dilakukan secara sembunyisembunyi. Dalam novel-novel tersebut juga dikemukakan akibat
buruk dari adanya perkawinan poligami, sehingga para pembaca
diharapkan ikut mengritisinya.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah sejumlah novel yang telah dikaji dalam tulisan
tersebut!
2. Catat dan pahami bagian dari novel yang menggambarkan
fenomena poligami!
3. Cobalah tuliskan komentar dan apresiasimu terhadap novelnovel tersebut!

BAB VIII
FEMINISME ISLAM DAN DUNIA
KETIGA: RELEVANSINYA DENGAN
KAJIAN NOVEL INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi pembelajaran
pada bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman yang
berhubungan dengan feminisme Islam dan dunia ketiga dan
relevansinya dengan kajian novel-novel Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

su gender, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan peran


dan relasi antara perempuan dengan laki-laki merupakan salah

satu hal yang telah mengarusi novel Indonesia sejak awal 1920an sampai kini (2009). Dalam Azab dan Sengsara (Merari Siregar,
1920), Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Layar Terkembang
(Sutan Takdir Alisyahbana, 1936), Belenggu (Armijn Pane, 1940),
Para Priyayi (Umar Kayam, 1992), Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Bekisar Merah
(Ahmad Tohari, 1982, 1985, 1986), Pada Sebuah Kapal dan Jalan
182

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

183

Bandungan (Nh. Dini, 1973,1989), Burung-burung Manyar, Durga


Umayi, dan Burung-burung Rantau (Y.B. Mangunwijaya, 1981,
1991, 1992), Bumi Manusia dan Gadis Pantai (Pramoedya Ananta
Toer, 1980, 1987), Saman dan Larung (Ayu Utami, 1989), Geni
Jora dan Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El-Khalieqy, 2003,
2001), Tarian Bumi (Oka Rusmini, 2000), Cantik Itu Luka (Eka Kur
niawan, 2006), Namaku Teweraut (Aning Sekarningsih, 2000),
Nayla (Djenar Maesa Ayu, 2005), dan Bilangan Fu (Ayu Utami,
2009) gambaran mengenai peran dan relasi gender dengan
berbagai citra dan warna tampak mengemuka.
Berangkat dari fakta tersebut, maka pemahaman terhadap
novel-novel Indonesia, dengan memfokuskan pada isu-isu gender
yang terefleksikan di dalamnya menjadi penting untuk dilakukan.
Isu gender yang terefleksi dalam novel-novel Indonesia dapat dikaji
dengan kritik sastra feminis. Melalui kajian yang berperspektif
feminis gambaran dan suara perempuan yang terefleksi dalam
novel-novel tersebut diharapkan lebih dapat dipahami. Hal ini
karena seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 221) bahwa
penelitian feminis memiliki tujuan untuk mengindentifikasi
penghilangan, penghapusan, dan informasi yang hilang tentang
perempuan secara umum. Reinhartz (2005: 67) juga menegaskan
bahwa memahami perempuan dari perspektif feminis adalah
memahami pengalaman dari sudut pandang perempuan sendiri,
yang akan memperbaiki ketimpangan utama cara pandang nonfe
minis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran perempuan, atau
menafsirkannya dari sudut pandang laki-laki di masyarakat atau
peneliti laki-laki. Melalui kajian feminis diharapkan juga dapat ter
ungkap kemungkinan adanya kekuatan budaya patriarkat yang

184

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

membentuk citra mengenai perempuan maupun laki-laki, relasi


antarkeduanya, ataupun adanya perlawanan terhadap dominasi
patriarkat yang terefleksi dalam novel-novel tersebut. Seperti
dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 202) bahwa ciri khas kajian
feminis adalah menguak budaya patriarkat yang kuat dan bahkan
membenci perempuan (misoginis).
Pilihan terhadap kritik sastra feminis sebagai pisau analisis
dalam mengkaji novel Indonesia menuntut pemahaman yang
cukup terhadap teori feminisme, termasuk pemahaman berbagai
varian teori feminisme. Di samping itu, perlu dipahami juga
relevansi teori feminisme tertentu dengan novel yang akan
dianalisis. Hal ini karena, seperti dikemukakan oleh Tong (2006)
bahwa feminisme pada dasarnya bukanlah sebuah pemikiran yang
tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam yang kemunculan
dan perkembangannya sering kali saling mendukung, mengoreksi,
dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya. Tong (2006)
mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme,
yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis
dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan
global, dan ekofeminisme.
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa,
dan Prancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan
penyebaran yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia.
Perkembangan dan penyebaran feminisme tersebut telah
memunculkan istilah feminisme gelombang pertama, feminisme
gelombang kedua, feminisme gelombang ketiga, posfeminisme,
bahkan juga feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

185

Novel Indonesia merupakan produk masyarakat dan budaya


Indonesia. Secara historis, Indonesia sebagai sebuah negara
terbentuk dari berbagai masyarakat dengan beraneka ragam
budaya. Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara bekas
jajahan (Belanda, Jepang, dan Portugis). Keadaan ini tentu memiliki
pengaruh terhadap karakteristik novel Indonesia, terutama dalam
hal permasalahan sosial budaya yang diceritakan di dalamnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka untuk mengkaji isuisu gender yang terefleksi dalam novel Indonesia harus dipilih teori
feminisme yang sesuai. Teori feminisme yang diasumsikan sesuai
dengan karakteristik novel-novel Indonesia antara lain adalah
feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga atau sering dikenal
sebagai feminisme poskolonial atau feminisme multikultural.
2. Feminisme Islam
Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada 1990-an
(Mojab, 2001). Feminisme ini berkembang terutama di negaranegara yang mayoritas penduduknyanya bergama Islam, seperti
Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Kekhasan feminisme
Islam adalah berupaya untuk membongkar sumber-sumber
permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab
munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan Alquran
(Fatma, 2007: 37). Melalui perspektif feminis berbagai macam
pengetahuan normatif yang bias gender, tetapi dijadikan orientasi
kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender
dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada semangat
Islam yang lebih menempatkan ideologi pembebasan perempuan
dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manusia (Dzuhayatin,

186

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

2002: 22). Dengan semangat tersebut, maka muncullah berbagai


gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat Alquran dan Hadis yang
dilakukan para intelektual muslim, yang dikenal dengan sebutan
feminis Muslim (Rachman, 2002: 34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin,
2002: 5). Beberapa karya mereka antara lain adalah Perempuan Ter
tindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Ilyas, dkk., 2003), Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Dzuhayatin,
dkk. Ed., 2002), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran (Ismail, 2003), dan Pemahaman Islam dan Tantangan
Keadilan Gender (Sukri, Ed., 2002). Munculnya gagasan dan kajian
tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang
menjamin keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas
kemanusiaan perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar
wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses
sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer (Dzuhayatin,
2002: 22). Seperti dikemukakan oleh Baroroh (2002: 201) bahwa ada
dua fokus perhatian pada feminis muslim dalam memperjuangkan
kesetaraan gender. Pertama, ketidasetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam struktur sosial masyarakat muslim tidak berakar
pada ajaran Islam yang eksis, tetapi pada pemahaman yang bias lakilaki yang selanjutnya terkristalkan dan diyakini sebagai ajaran Islam
yang baku. Kedua, dalam rangka bertujuan mencapai kesetaraan
perlu pengkajian kembali terhadap sumber-sumber ajaran Islam
yang berhubungan dengan relasi gender dengan bertolak dari
prinsip dasar ajaran, yakni keadilan dan kesamaan derajat.
Beberapa tokoh feminis muslim antara lain Riffat Hassan
(Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina
Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Ma

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

187

laysia), serta beberapa orang Indonesia antara lain Siti Chama


mah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Nuraini
Dzuhayatin, Zakiah Darajat, Ratna Megawangi, Siti Musda Mulia,
Masdar F. Masudi, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin
Umar (Mojab, 2001: 128129; Rachman, 2002: 34; Nadjib, 2009;
Dzuhayatin, 2002: 5).
Di samping ditemukan dalam sejumlah kajian terhadap ayatayat Alquran, Hadist, dan Kitab Kuning, seperti telah disebutkan
di atas, pemahaman terhadap isu-isu gender dalam perpektif
feminisme Islam di Indonesia juga terefleksikan dalam sejumlah
novel, antara lain Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya
Habiburrahman El Shirazy, Geni Jora dan Perempuan Berkalung
Sorban karya Abidah El-Khalieqy. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap novel tersebut dari dengan fokus pada isu gender yang
terdapat di dalamnya dianggap lebih tepat dengan menggunakan
perspektif feminisme Islam.
3. Feminisme Dunia Ketiga/Feminisme Poskolonial/Feminisme
Multikultural
Feminisme dunia ketiga atau sering juga dikenal sebagai
feminisme poskolonial (Lewis & Mills, 2003) muncul sebagai reaksi
dari feminisme Barat (Amerika, Prancis, Inggris) yang dianggap tidak
mampu memahami persoalan kaum perempuan Dunia Ketiga dan
perempuan bekas negara jajahan. Tong (2006: 309) menyebut aliran
feminisme ini sebagai feminisme multikultural. Menurutnya (2006:
309310) konstruksi perempuan tergantung pada berbagai aspek
kultural seperti ras, kelas, kecenderungan seksual, usia, agama,
pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi

188

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kesehatan, dan sebagainya. Tong juga menegaskan bahwa seorang


perempuan warga negara Dunia Kesatu, atau Dunia Ketiga, negara
industri maju atau negara berkembang, negara yang menjajah atau
dijajah akan mengalami penindasan secara berbeda.
Menurut Gandhi (1998: 83) feminisme dunia ketiga atau
feminisme poskolonial yang merupakan aliansi antara teori
poskolonial dan feminisme yang berusaha memukul balik hierarki
gender/budaya/ras yang telah ada dan menolak oposisi biner
terhadap konstruk wewenang patriarkat/kolonialisme sendiri. Para
penganut teori feminisme poskolonial telah memberikan alasan
yang kuat bahwa persoalan pusat politik rasial telah meneng
gelamkan kolonisasi ganda kaum perempuan di bawah kekuasaan
imperialisme. Dalam hal ini, teori feminis poskolonial merumuskan
bahwa perempuan dunia ketiga merupakan korban parexellence
atau korban yang terlupakan dari dua ideologi imperialisme dan
patriarkat asing (Gandhi, 1998: 83). Dengan perspektif feminisme
poskolonial, melalui artikelnya Can the Subaltern Speak? Spivak
(dalam Gandhi, 1998: 8789) memahami posisi perempuan
sebagai anggota kelompok subsaltern. Dia mengemukakan bahwa
dalam wacana feminisme poskolonial, sebagai kelompok subaltern
perempuan dunia ketiga menghilang karena kita tidak pernah
mendengar mereka berbicara tentang dirinya (Gandhi, 1998: 87
89). Sebagai negara yang terdiri dari multietnik dan bekas negara
jajahan, maka karya sastra (novel) yang ditulis oleh sejumlah
sastrawan di Indonesia pun tidak terlepas dari nuansa etnisitas
dan poskolonial. Novel seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli,
Salah Asuhan karya Abdul Muis, Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisyahbana, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer,

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

189

serta Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya merupakan


contoh beberapa novel yang mengandung nuansa etnisitas dan
poskolonial, termasuk dalam hubungannya dengan isu gender. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap isu gender yang terefleksi dalam
novel-novel tersebut lebih tepat dengan menggunakan perspektif
feminisme dunia ketiga/feminisme mutikultural/feminisme posko
lonial.
4. Isu Gender dalam Novel Geni Jora dalam Perspektif
Feminisme Islam
Novel Geni Jora dipilih menjadi salah satu sampel dari
beberapa novel yang mengangkat isu gender dari perspektif
Islam. Novel ini merupakan salah satu karya Abidah El-Khalieqy
dan pernah menjadi pemenang kedua dalam Sayembara Menulis
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Di samping menulis Geni
Jora, Khalieqy telah menulis sejumlah puisi, cerita pendek, dan
novel, antara lain Perempuan Berkalung Surban, Atas Singgasana,
dan Menari di Atas Gunting. Dalam karya-karyanya, Khalieqy
merupakan salah seorang sastrawan perempuan yang konsisten
menganggap persoalan perempuan dalam hubungannya dengan
kultur patriarkat dan dunia pesantren.
Geni Jora bercerita tentang seorang gadis bernama Kejora
sejak masa kecil sampai remaja. Jora dibesarkan dalam lingkungan
keluarga Islam tradisional dan kultur patriarkat yang begitu
membedakan peran gender antara perempuan dengan laki-laki.
Namun, Jora bukanlah perempuan yang dapat hidup nyaman
dalam lingkungan patriarkat, sejak kecil jiwanya senantiasa gelisah
dan berontak tiap kali menyaksikan dan mengalami ketidakadilan

190

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

gender yang dilakukan ayahnya, ibunya, adik lelakinya, juga


paman-pamannya. Melalui petualangan fisik, intelektual, dan jiwa
Jora novel ini mencoba menyadarkan pembaca akan pentingnya
kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dari novel Geni Jora ditemukan gambaran relasi gender yang
didonimasi ideologi patriarkat yang dikukuhkan melalui penafsiran
ajaran Islam yang bias gender. Dalam novel tersebut digambarkan
tokoh Jora dengan jiwa feminisnya yang lahir akibat ketidakadilan
gender yang dialaminya sejak kecil menggugat pandangan yang
memarginalkan perempuan.
Siapakah perempuan? Barisan kedua yang menyimpan
aroma melati kelas satu? Semesta alam terpesona ingin
meraihnya, memiliki dan mencium wanginya. Tetapi kelas dua?
Siapakah yang menentukan kelas-kelas? Sehingga laki-laki
adalah kelas pertama? Sementara Rabiah al Adawiyya laksana
roket melesat mengatasi ranking dan kelas...Nilaiku ranking
pertama tetapi (sekali lagi tetapi), jenis kelaminku adalah
perempuan. Bagaimana bisa perempuan ranking pertama?...,
Dari atas kursinya, nenekku mulai ceramah. Bahwa
perempuan harus selalu mengalah. Jika perempuan tidak
mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti
pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Lakilaki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan. Sebab itu
perempuan harus siap me-nga-lah (pakai awalan me).
Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?
Itulah yang harus Nenek lakukan, Cucu.
Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.
Diperhitungkan? Nenek melonjak.
(El-Khalieqy, 2003: 61).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

191

Dan inilah komentar nenekku.


Ini kah nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai
Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama
di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu,
kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.
Tidak! Aku tidak mau mendengar kata-katamu, Nenek
jahat! Aku melengking histeris. Kala itu usiaku sembilan tahun,
du-duk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan
luka di hatiku. Dan luka itu terus menganga, setiap waktu...
(El-Khalieqy, 2003: 62).

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana nenek Jora telah


melakukan sosialisasi ideologi familialisme dalam kultur patriarkat
pada generasi berikutnya. Ideologi familialisme menganggap bahwa
peran utama perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri.
Sementara peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama
rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar
dalam keluarga, sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk
istri harus tunduk kepadanya (Kusujiarti, 1997: 90). Dalam ideologi
familialisme, laki-laki adalah the first class, sementara perempuan
hanyalah the second class. Dari renungan Jora pada kutipan tersebut
tampak bahwa perempuan dalam budaya patriarkat dianggap
sebagai the second class atau the second sex menurut De Beauvoir
(2003). Prestasi intelektual yang diraih Jora dalam pandangan
familialisme tidak ada artinya. Akibatnya, Jora menjadi sangat
marah karena dia telah menjadi korban dan menyaksikan ketidak
adilan gender yang selama ini justru dinikmati oleh neneknya.
Ketidakadilan gender tersebut pulalah yang mendorong Jora
untuk selalu belajar dan meningkatkan prestasinya, sehingga

192

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

mitos familialisme dan patriarkat.


Dengan memberiku nama Kejora, sejak dini aku telah
dipersiapkan menjadi seorang bintang...
Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semilyar
halaman dari buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidatopidato, kuliah para guru, para ustaz dan para dosen. Sebagai
murid, sebagai santriwati, sebagai mahasiswi, aku duduk
menghadapi mereka satu persatu, kupasang pendengaran dan
kupusatkan penglihatan. Kuserap pengetahuan dengan otak
dan fuad-ku. Kukunyah ilmu untuk memenuhi gizi pertumban
kehidupanku. Maka aku berdiri kini, di hadapanmu, ustazku.
(El-Khalieqy, 2003: 32)
Dalam rangka menjatuhkan mitos nenekku, telah
kunikmati rangkaian piala berjajar-jajar dalam setiap fase
kehidupan. Tak ada senoktah pun yang membekas dari mitosmitos nyinyir yang usang dan lapuk. Tentang perempuan seba
gai tong sampah dari kelelahan, ketertindasan, kelemahan,
kebodohan, ketidakberdayaan. Ditentang kedua mata belokku
yang garang, semuanya menguap kini. Dan inilah fase kedua
dari hidup yang bergairah. Hidup di alam merdeka. Ketika
pemberontakan telah sampai puncaknya.
Tak ada yang sia-sia dari pemberontakan. Dan tak ada
yang langgeng dari ketidakadilan. Ia selalu melahirkan para
pemberontak dengan beragam modelnya. Dan menurutku,
menggerus ketidakadilan adalah dengan cermin yang dipajang
di muka sang protagonis.
(El-Khalieqy, 2003: 215)

Apa yang dilakukan Jora

mengajarkan kepada pembaca

bagaimana cara melawan ketidakadilan gender, yaitu dengan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

193

belajar dan meningkatkan prestasi agar sejajar atau bahkan


juga mampu mengungguli laki-laki. Apa yang dilakukan Jora
ini pada dasarnya sesuai dengan pandangan feminisme Islam
yang mengemukakan bahwa keadaan yang memprihatinkan
pada perempuan tidak disebabkan oleh ajaran dasar Islam yang
menenpatkan perempuan di bawah laki-laki dalam struktur sosial,
tetapi oleh bias laki-laki dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam yang implikasinya dalam kehidupan masyarakat membentuk
tradisi Islam (Baroroh, 2002: 198).
Kemampuan

dan

prestasi

yang

dimiliki

Jora,

me

ngantarkannya untuk mendapatkan undangan dalam Konferensi


Perempuan Dunia, di Universitas al-Akhawayn, tempat Jora dapat
bertemu, berkumpul, dan berdiskusi dengan para aktifis feminis
dari berbagai negara. Konferensi tersebut membahas nasib
perempuan yang pada umumnya dianggap sebagai makhluk yang
dipinggirkan, dijadikan objek, diserang, dan dirampok terutama
oleh lawan jenisnya.
Di antara pegunungan Atlas dan Jabal Musa yang perkasa,
untuk sebuah pertemuan paling monumental di antara
para perempuan dunia. Sebuah pertemuan yang peduli atas
kemajuan hari depan dari lebih separuh penduduk bumi,
di sebuah tempat bernama Universitas al Akhawayn, atas
undangan seorang teman bernama Nadia Masid.
(El-Khalieqy, 2003: 1)
Hari ini, semesta langit berwarna cerah. Terlihat dari
beranda kamar lantai lima Riad Salam, di mana kami menginap
selama konferensi berlangsung....

194

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Saat para perempuan berkumpul dalam satu majelis,


dengan makalah di tangan, dengan bernacam pergolakan
yang dibawa dari negara masing-masing, mengenai kondisi
kaum yang disayangi, yang ternyata lemah dan terpinggirkan,
yang menghuni pojok-pojok sejarah, menempati baris-baris
di luar pagina, yang kelaparan dan buta aksara, ditempelang
para suami dan diperkosa para laki-laki. Saat para perempuan
gelisah dan menjadi cemas oleh kesengajaan membabi buta.
Saat sejarah manusia ditulis semena-mena, memberangus
keberadaan satu kaum atas lainnya...
(El-Khalieqy, 2003: 20)
Masih beberapa kali Nadia Masid mengikuti ceramah
serupa dengan efek kegaduhan yang sama menyedihkannya.
Ia memiliki kesadaran yang tinggi bahwa kaumnya, segala
sesuatu tentang kaumnya merupakan objek serangan. Ia
pun berasumsi, boleh jadi kaumnya adalah gudang mutiara,
perbendaharaan kerajaan, emas, dan permata dunia, karena
hanya objek-objek seperti itu yang menarik dicemburui,
diserang, dan dirampok nafsu-nafsu primitif.
(El-Khalieqy, 2003: 16)

Dalam dialog Jora dengan Zakky tampak bagaimana Jora


menuntut kesetaraan gender. Jora ingin menjadi orang yang
merdeka, bebas dari dominasi patriarkat, bebas dari ketidakadilan
gender.
Kamu selalu tak terduga, bisiknya parau, sebagaimana
zikir para mullah, para foqra di jalan mistis.
Benar jika dilihat dari sudut pandangmu, kataku. Tetapi
salah dalam sudut pandangku. Aku merasa, diriku mengalir

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

195

sebagaimana takdir yang diperuntukkan bagiku. Sebagai


perempuan, demikianlah kehadiranku. Merdeka. Mencoba
beradaptasi dengan sopan santun dan bergerak sebagaimana
makhluk-makhluk lain bergerak. Jika laki-laki pandai menipu,
perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki
senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal
yang sama.
(El-Khalieqy, 2003: 9)
Kutekankan satu hal kepadanya, bahwa perempuan tidak
bisa dibohongi, tidak layak dibohongi dan bukan objek dari
kebohongan. Menipu perempuan adalah sama dengan menipu
diri sendiri sekaligus menipu dunia.
(El-Khalieqy, 2003: 10)

Bagi seorang feminis seperti Jora dan Nadia, penghargaan


dari seorang perempuan bukanlah didasarkan oleh kecantikan
fisikal, tetapi yang lebih bernilai adalah kecerdasan dan kesalehan.
Dalam masyarakat patriarkat, kecantikan fisikal saja sering kali
akan menyebabkan petaka pada seorang perempuan.
Di samping menekankan pentingnya kesetaraan gender, Geni
Jora juga mengritisi praktik poligami yang dilakukan umat muslim.
Sebelum menikah dengan ibu Kejora, ayahnya telah mempunyai
seorang istri, tetapi tidak memiliki anak, sehingga melakukan
poligami.
Pada malam terakhir puasa, kami menyelenggarakan
pesta keluarga, kadang di rumah ibuku, bulan depan di rumah
ibu tiriku. Kebetulan aku memiliki dua ibu, yang menempati
dua rumah saling bertolak belakang namun satu pekarangan.

196

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Rumah ibuku menghadap ke utara dengan halaman yang cukup


luas dan rumah ibu tiriku terletak di halaman belakangnya,
menghadap selatan dengan halaman yang cukup luas juga.
(El-Khalieqy, 2003: 63)

Dalam ajaran Islam (Alquran, 4: 3) dan budaya patriarkat


praktik poligami yang dilakukan sejumlah laki-laki, khususnya yang
beragama Islam didasarkan pada QS. 4:3 dengan berbagai syarat.
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masingmasing dua, tiga, atau empatkemudian jika kalian takut tidak
akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang sajaatau kawinilah
budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
Sebagai istri yang tidak dapat memberikan keturunan, maka
Ibu Fatmah dalam Geni Jora tidak memiliki kekuatan untuk
menolak suaminya yang ingin menikah dengan perempuan lain.
Apalagi sebagai muslimah dia pasti tahu bahwa poligami dengan
berbagai syarat dihalalkan. Dialog antara Jora dengan ibunya,
yang menjadi istri kedua menunjukkan bahwa walaupun ayahnya
merasa telah berbuat adil dalam hal harta dan kasih sayang,
namun ada masalah yang dialami oleh para istri akibat poligami,
paling tidak dari pandangan anak (Jora).
Ibu pasti cemburu pada Ibu Fatmah, suatu kali aku
bertanya.
Apa Ibu Fatmah pantas dicemburui?
Ia begitu cantik, bukan?
Apa ibu kurang cantik dari dia?

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

197

Tetapi ibu kurang bahagia


Ibuku tertawa ringan.
Tahu apa kau tentang bahagia, anakku?
Ia memelukku dengan sayang. Kulihat pandangannya
menerawang...
(El-Khalieqy, 2003: 80)

Dari dialog tersebut tampak bahwa Jora mempertanyakan


perasaan dan kebahagiaan yang diperoleh ibunya, sebagai seorang
perempuan yang suaminya pelaku poligami. Sikap ibu Jora maupun
Ibu Fatma yang tampak baik-baik saja dalam menjalani perka
winan poligami, menunjukkan kuatnya dominasi patriarkat yang
mengusai hidup mereka. Kehidupan mereka yang berada dalam
lingkungan pesantren tradisional yang konservatif dan patriarkats
membuat mereka menerima begitu saja apa yang harus mereka
jalani. Hal ini tampak pada pandangan ibu Jora, Semuanya lebih
dari cukup, Sayang. Tak ada sesuatu pun yang kurang. Allah melim
pahkan segala kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang tak
terhingga pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri (El-Khalieqy,
2003: 80).
Dari perspektif femininisme Islam, novel Geni Jora tampak
mengkritisi dominasi patriarkat yang memiliki pengaruh besar
terhadap interpretasi, penghayatan, dan kehidupan beragama
di kalangan masyarakat pemeluk agama Islam, khususnya di pe
santren. Novel ini muncul beriringan dengan maraknya diskusi
dan terbitnya sejumlah artikel dan buku di kalangan kaum feminis
intelektual muslim, seperti Perempuan Tertindas? Kajian Hadishadis Misoginis (Ilyas, dkk., 2003), Rekonstruksi Metodologis Wa

198

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

cana Kesetaraan Gender dalam Islam (Dzuhayatin, dkk. Ed., 2002),


Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran
(Ismail, 2003), dan Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan
Gender (Sukri, Ed., 2002).
5. Isu Gender dalam Novel Salah Asuhan dalam Perspektif
Feminisme Dunia Ketiga
Salah Asuhan dipilih menjadi salah satu sampel novel yang
mengandung wacana gender dalam konteks poskolonial dan etnik
Minangkabau. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit
Balai Pustaka pada 1927. Novel ini bercerita mengenai tragedi
hidup seorang pribumi (Hanafi) yang menikah dengan seorang
perempuan Indo (Corrie de Bousye) dengan meninggalkan istri
pribuminya (Rapiah), anak laki-lakinya, ibu kandungnya, dan
keluarga besarnya. Judul Salah Asuhan mengacu pada tragedi
perjalanan hidup Hanafi yang menunjukkan pada pembaca
bahwa model pendidikan Belanda (Barat) yang dilakoninya telah
menjadikannya sosok yang ingkar terhadap tanah air dan keluarga
yang melahirkannya.
Dalam Salah Asuhan ditemukan isu gender yang berhubungan
dengan relasi gender antarbangsa, antarras dan etnik. Dalam Salah
Asuhan ditemukan isu-isu gender yang berhubungan dengan peran
dan relasi gender antara Hanafi dengan Ibunya, istrinya Rapiah
(yang selalu dianggap sebagai istri pemberian ibu), dan keluarga
besarnya dalam tradisi masyarakat Minangkabau. Di samping itu
juga terdapat isu gender yang berhubungan dengan peran dan
relasi gender antara Hanafi dengan Corrie, sebagai teman dan
suami istri Pribumi-Indo, Hanafi dengan teman-teman Belanda

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

199

nya, Hanafi dengan teman-teman Corrie yang berkebangsaan


Belanda, serta Ayah Corrie dengan ibunya yang orang pribumi.
Dalam hubungannya dengan Corrie dan teman-temannya
yang berkebangsaan Belanda, sebagai laki-laki pribumi Hanafi
dianggap lebih rendah kedudukannya. Oleh karena itu, agar
dapat menikah dengan Corrie, maka Hanafi diharuskan terlebih
dulu mendapatkan pengakuan kewarganegaraan

yang seta

ra dengan orang-orang Eropa (kebijakan gelijkstelling). Setelah


Hanafi menikah dengan Corrie, sebagai pasangan perkawinan
campuran, keduanya pun disisihkan dari lingkungan orang-orang
Eropa (Belanda). Artinya, dalam relasinya dengan ras Eropa,
pasangan Hanafi-Corrie dianggap tidak setara dengan pasangan
Eropa. Persoalan ini sebelumnya sudah juga sudah dialami oleh
pasangan ayah Corrie (ras Prancis) yang menikah dengan perem
puan pribumi (ibu Corrie). Dengan demikian, relasi gender dalam
masyarakat kolonial, tidak semata-mata dilihat dalam hubungan
perbedaan jenis kelamin, tetapi juga dalam hubungan penjajahterjajah (Eropa-pribumi).
Dalam dialog antara Corrie dengan ayahnya juga terungkap
pandangan orang-orang Eropa yang merendahkan orang pribumi
maupun orang Eropa yang menikah campuran dengan orang
pribumi, seperti yang dialami oleh ayah Corrie (De Bussee).
Pendeknya, dari kelahiran adalah papa kelahiran
darah kesombongan bangsa tetapi secara yang papa
kandung sebagai perasaan, pada sendiri tak adalah sifat-sifat
kesombongan itu. Kaum keluarga kita sangat memandang hina
kepada sekalian orang yang berwarna kulitnya, memandang
hina pada sesama Baratnya yang bukan turunan yang

200

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dipandangnya masuk bagian manusia lapis di bawah. Asal


bangsa Barat, dan berketurunan tinggi, meskipun berperangai
sebagai binatang, dan tidak berutang satu sen jua, -apalagi
kalau hartawan- bagi kaum keluarga papa memang sangat
dimuliakan benar
(El-Khalieqy, 2003: 16).
Di dalam pergaulan hidup, sungguh tampaklah orang Barat
dan Timur memperlihatkan bencinya kepada kami berdua,
tapi yang terlebih benci ialah orang Barat kepada ibumu.
Dari sebab mamamu tidak diakui itulah, maka kami berdua
menyisih dari segala pergaulan Sebab hati papa sungguh
sakit pada sesame kita manusia, atas penghinaan mereka yang
diderita oleh mamamu dahulu.
(Muis, 1999: 18).

Dalam dialog antara Corrie dengan ayahnya terungkap


bagaimana pandangan bangsa Barat (dalam konteks kolonial
adalah para kolonialis, imperialis) yang mengganggap bangsanya,
sebagai negara Dunia Pertama lebih tinggi kedudukannya
daripada negara Dunia Ketiga yang dijajah. Pandangan yang meng
akibatkan relasi yang tidak setara antara orang-orang yang berasal
dari Dunia Pertama dengan Dunia Ketiga, termasuk mereka yang
menjalani perkawinan campuran. Apa yang dialami oleh kedua
orang tua Corrie tersebut akhirnya juga dialami oleh Corrie. Ayah
sahabat Corrie, yang semula bersedia merayakan pertunangan
Corrie membatalkan niatnya setelah mengetahui bahwa Corrie
akan bertunangan dengan seorang pribumi (Muis, 1999: 142).
Demikian juga setelah Corrie menikah dengan Hanafi, keduanya
disisihkan dari pergaulan teman-teman Belandanya (Muis, 1999:

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

201

154155). Salah satu penyebab perceraian antara Hanafi dengan


Corrie pun antara lain juga disebabkan oleh sejumlah masalah
yang ditimbulkan oleh perkawinan antarbangsa tersebut.
Dalam teks Salah Asuhan versi pertama, yang tidak diterbitkan
oleh Balai Pustaka digambarkan sisi negatif Corrie sebagai seorang
istri yang boros dan suka bersolek, sampai akhirnya terjerumus
menjadi seorang pelacur. Corrie meninggal karena ditembak oleh
orang yang cemburu kepadanya. Kisah ini tidak terdapat dalam
novel Salah Asuhan yang diterbitkan Balai Pustaka (terbit pertama
kali 1927), seperti yang kita kenal sampai sekarang. Beberapa puluh
tahun kemudian, kita baru mengetahui bahwa novel Salah Asuhan
yang diterbitkan Balai Pustaka itu merupakan versi revisi dari
naskah pertama yang dikirimkan Muis ke Balai Pustaka. Sebelum
terbit novel itu telah tidur di kamar Balai Pustaka selama lebih
dari setahun (Hunter, dalam Foulcher dan Day, 2006: 162). Seperti
dikemukakan Hunter (dalam Foulcher dan Day, 2006: 162), dalam
surat yang ditulis oleh Abdul Muis didapatkan informasi bahwa
setelah lebih dari setahun pengarang mengirimkan novel Salah
Asuhan ke penerbit Balai Pustaka, dia menulis surat kepada
penerbit, yang isinya antara lain sebagai berikut:
Karya itu (Salah Asuhan) sudah berada di kantor anda selama
lebih dari dua tahun, dan saya masih menunggu keputusan.
Barangkali bagian-bagian yang menggelitik di sana sini harus
dihilangkan, atau isi mereka diutarakan dengan cara lain. Saya siap
penuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu karena, ijinkan
saya mengulangi, novel ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk
memperlebar kesenjangan antara Timur dan Barat

202

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Setelah mengirimkan surat tersebut, Muis kemudian


mengubah sebagian cerita dari novelnya. Perubahan tersebut,
seperti dikemukakan Hunter (dalam Foulcher dan Day, 2006: 161)
adalah pada bagian cerita yang berhubungan dengan penyebab
perceraian Hanafi dan Corrie, serta penyebab kematian Corrie.
Dalam Salah Asuhan yang diterbitkan Balai Pustaka, seperti yang
dapat kita baca sekarang, perceraian tersebut terjadi karena
Hanafi menuduh istrinya telah berbuat serong dengan laki-laki
lain dengan perantaraan Tante Lien, tanpa ada buktinya. Setelah
bercerai dengan Hanafi, Corrie ke Semarang dan bekerja di rumah
yatim piatu, sampai dia meninggal dunia karena menderita sakit
kolera. Cerita ini merupakan versi revisi dari cerita sebelumnya.
Corrie digambarkan sebagai seorang perempuan yang suka
bersolek dan menyukai pergaulan bebas. Corrie memiliki
hubungan dengan seorang pemain keroncong bernama Jantje.
Gaya hidupnya yang mewah sangat membebani suaminya.
Kemewahannya mendorongnya menjadi pelacur umum dan ia
mati ditembak oleh salah seorang anak buah hatinya karena iri
hati (Hunter (dalam Foulcher dan Day, 2006: 161).
Dalam situasi dan kondisi kolonial Belanda, maka cerita Salah
Asuhan versi pertama, tampak

terlalu merendahkan citra ras

Eropa, sehingga tidak dapat diterima oleh penerbit Balai Pustaka.


Pada versi kedua, citra Corrie sebagai representasi ras Eropa di
hadapan pribumi Hindia Belanda (Hanafi) tampak lebih terhormat.
Perubahan pada detail cerita Salah Asuhan menunjukkan adanya
kompromi yang dilakukan oleh Muis dengan penerbit Balai Pustaka.
Walaupun posisi Hanafi sebagai pribumi lebih rendah
dalam hubungannya dengan orang-orang Eropa, namun dalam

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

203

hubungannya denga Rapiah (yang disebut sebagai istri pemberian


ibunya), Hanafi tampil sebagai seorang suami yang dominan.
Istrinya harus menurut dan tunduk kepadanya. Dia bukan hanya
sosok suami yang patriarkats, tetapi merasa bahwa posisinya
lebih tinggi dari istrinya karena telah mendapatkan pendidikan
Belanda. Keadaan tersebut membuat Rapiah tertekan dan inferior
di hadapan suaminya.
Apa yang disukai oleh Hanafi, Rapiah harus
membenarkannya. Dengan cemooh diterangkan segala
kewajiban perempuan Islam terhadap suaminya, lalu ia
berkata bahwa martabatnya terlalu tinggi, akan mem-buat
misbruik atas kelemahan perempuan itu. Rapiah, yang tahu
arti misbruik itu menundukkan kepala alamat bersyukur atas
kemurahan hati junjungan itu
(Muis, 1999: 7273)
Kalau suaminya ke kantor atau keluar rumah, lapanglah
dadanya, nyaring suaranya, tetapi kalau Hanafi ada di rumah
mulutnya sebagai diketam. Ia tak benci pada suaminya,
melainkah takut. Kalau Hanafi bergaul dan bermain tenis
dengan kawan-kawannya bangsa Eropa, Rapiah berkubur
sajalah di dapur dengan mertuanya.
Hanafi sendiri menyangka, bahwa tak adalah istrinya, bila
ia sudah bergaul dengan kawan-kawan. Tak seorang jua yang
diperkenalkan betul dengan Rapiah, melainkan sekali dahulu
saja, waktuu Rapiah mula-mula masuk rumahnya. Sesudah itu
dihabisinya segala siasat orang tentang istrinya dengan berkata,
Oh, dia anak kampong totok, sangat takut melihat Belanda!
(Muis, 1999: 7374)

204

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Sikap Hanafi yang merendahkan istrinya (Rapiah) juga terjadi


karena dibandingkan dengan Corrie yang dikenalnya ketika Hanafi
bersekolah di sekolah Belanda di Solok. Pendidikan model Belanda
yang diperolehnya menyebabkan Hanafi menjadi sosok yang
ingkar terhadap tanah air dan keluarga yang melahirkannya. Dalam
perbandingannya dengan Corrie dan teman-teman perempuan
Belanda Hanafi, maka Rapiah sebagai perempuan pribumi (istri
Hanafi) telah mengalami ketertindasan ganda. Sebagai pe
rempuan yang hidup dalam kultur patriarkat, dia harus menjadi
istri yang patuh, tunduk, dan takut kepada suaminya. Bahkan juga
ketika pada akhirnya dia ditinggalkan begitu saja dan dikirimi surat
cerai oleh suaminya. Dibandingkan dengan Corrie, yang kemudian
dinikahi oleh Hanafi, Rapiah hanyalah orang kampung totok, tak
berpendidikan, bahkan dicitrakan serupa koki saja.
Posisi Rapiah sebagai the other dalam hubungannya dengan
Corrie dan teman-teman Hanafi yang berkebangsaan Belanda
tampak jelas dalam cerita ketika Hanafi belum menikah dengan
Corrie. Ketika itu Hanafi masih tinggal serumah dengan ibu dan
istrinya (Rapiah), Hanafi sering dikunjungi teman-temannya
berkebangsaan Belanda. Di hadapan teman-teman Belandanya,
Hanafi sangat merendahkan ibu dan istrinya. Kedua perempuan
tersebut menyediakan hidangan untuk tamu-tamu Hanafi tanpa
mendapat penghargaan. Akibatnya, ibu Hanafi marah dan
menyindirnya dengan mengucapkan kata-kata berikut.
Kedua budakmu sedang menyediakan makanan buat
junjungannya, Hanafi! sahut ibunya dengan tajam. Cobacobalah barang sekali menggantikan pekerjaan perempuan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

205

atau bujang, supaya tahu menghargai peluh orang yang keluar


dalam berhambakan diri itu
(Muis, 1999: 8081).

Sindiran tersebut menunjukkan perlawanan dari ibu Hanafi


terhadap sikap anaknya yang semena-mena terhadap istrinya.
Sikap semena-mena Hanafi terhadap istrinya tersebut juga
diprotes oleh Nyonya Asisten Residen, salah seorang tamu Hanafi
dengan mengatakan sebagai berikut.
Tahukah engkau Hanafi, apa artinya kewajiban, bila
seorang laki-laki sudah menikahi seorang gadis; sudah
mengambil dari gadis itu barang taruhannya yang semuliamulianya, sudah membawa ia kepada siksaan dunia waktu
mengandung anaknya, sudah mendekatkan dia ke pintu kubur
tatkala bersalin?
Tahukah engkau Hanafi kewajiban yang sebesar-besarnya
terhadap kepada seorang perempuan yang di muka makhluk,
di muka Tuhan sudah kaunamai istrimu?
(Muis, 1999: 74).

Dari uraian tersebut tampak adanya hubungan antara posisi


dan relasi gender dengan etnisitas, ras, dan kewarganegaraan dalam
konteks kolonial. Yang menarik dari isu gender yang terepresentasikan
dalam novel ini adalah adanya kritik dan perlawanan terhadap relasi
gender yang dibangun oleh ideologi patriarkat dalam konteks etnik
Minangkabau dan pergaulan antarras dalam masa kolonial.
Dalam perspektif feminisme poskolonial, posisi ibu Hanafi
dan Rapiah merupakan anggota kelompok subsaltern, perempuan

206

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dunia ketiga tidak pernah didengar suaranya (Spivak, 1988: 306;


Gandhi, 1998: 8789). Dengan judul Salah Asuhan dan inti cerita
tragedi tokoh Hanafi yang mengubah namanya menjadi Cristian
Hans dan mendapatkan persamaan hak kewarganegaraan Eropa,
serta meninggalkan istri dan ibunya yang orang pribumi untuk
menikah dengan seorang gadis Indo (Corrie), dalam perspektif
feminisme poskolonial novel ini mencoba mengkritisi dominasi
patriarkat dan kolonialisme Barat yang menjadikan perempuan
pribumi (Dunia Ketiga) sebagai korban. Penderitaan dan
kehancuran yang diterima oleh Hanafi, yang diperoleh akibat
perceraiannya dengan Corrie, disusul dengan kematian Corrie
(baik karena penyaikit Kolera pada versi Balai Pustaka/sekarang
maupun karena ditembak orang, pada versi pertama yang tidak
diterbitkan) menunjukkan adanya pandangan feminisme yang
berpihak pada perempuan pribumi (Dunia Ketiga) dan menolak
kekerasan (kesemena-menaan) yang dilakukan oleh laki-laki
maupun bangsa Barat terhadap perempuan Dunia Ketiga.
6. Simpulan
Dari uraian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk
mengkaji isu-isu gender yang terefleksi dalam novel-novel Indonesia
dengan menggunakan perspektif feminisme hendaknya dipilih teori
feminisme yang sesuai dengan karakteristik dan konteks novel yang
akan dikaji. Artinya, karena teori feminisme memiliki berbagai ragam
aliran pemikiran, hendaklah dipilih yang sesuai dengan objek yang
dianalisisi. Dalam konteks tersebut, maka untuk mengkaji isu gender
dalam novel Geni Jora yang berlatarbelakang budaya pesantren
dan Islam, dipilih feminisme Islam. Melalui feminisme Islam, pada

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

207

akhirnya akan dipahami sejumlah faktor yang menjadi penyebab


terjadinya ketertindasan perempuan dalam novel tersebut. Demikian
juga, ketika meng-kaji novel Salah Asuhan yang berkonteks sosial
masyarakat kolonial, maka lebih tepat digunakan teori feminisme
poskolonial. Melalui feminisme poskolonial, maka ketertindasan
perempuan pribumi dalam posisinya dengan perempuan Eropa
maupun laki-laki Eropa dan pribumi akan lebih dapat dipahami.

C. Rangkuman
Pilihan terhadap ragam pemikiran (teori) feminisme yang
akan digunakan sebagai landasan dalam melakukan kerja analisis
dan kritik terhadap suatu karya pada dasarnya harus mendasarkan
pada karakteristik karya itu sendiri. Novel Geni Jora, dengan cerita
dan konteks sosial budaya masyarakat Islam di Jawa mengarahkan
pada pilihan feminisme Islam untuk memahaminya. Demikian juga
novel Salah Asuhan, yang cerita dan konteks sosial historis dan
budayanya masa komolian Belanda di Indonesia mengarahkan
pada pilihan feminisme Dunia Ketiga.

D. Latihan dan Tugas


1. Jelaskan pengertian dan konsep feminisme islam dan
feminisme dunia ketiga!
2. Bacalah novel Salah Asuhan untuk mendapatkan gambaran
untuk tentang cerita dalam novel tersebut dan gagasan
feminisme dunia ketiga yang ada di dalamnya!
3. Bacalah novel Geni Jora untuk mendapatkan gambaran untuk
tentang cerita dalam novel tersebut dan gagasan feminisme
Islam yang ada di dalamnya!

BAB IX
KETIKA PEREMPUAN BERJUANG
MELALUI ORGANISASI SOSIAL
REFLEKSI DALAM BEBERAPA
NOVEL INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini,
diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang aplikasi kritik sastra feminis yang memahami peran
perempuan dalam organisasi sosial yang tereflesikan dalam
beberapa novel Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

ritik sastra feminis antara lain juga mengkaji peran perempuan


tidak hanya di sektor domestik, tetapi juga di sektor publik

yang mengindikasikan adanya pencapaian kesetaraan gender yang


diperjuangkan oleh kaum feminis. Berikut ini diuraikan aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami fenomena perjuangan
para tokoh-tokoh perempuan dalam novel Indonesia, terutama
melalui organisasi sosial. Beberapa novel yang dijadikan sumber
208

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

209

data adalah Kehilangan Mestika, Layar Terkembang, Manusia


Bebas, Burung-Burung Rantau, dan Namaku Teweraut. Dengan
menggunakan kritik sastra feminis women as reader, dipahami
bagaimana sejak masa sebelum kemerdekaan sampai periode
2000-an kaum perempuan telah berjuang dalam mencapai
kesetaraan gender kaumnya melalui organisasi sosial yang
berkembang pada masanya.
2. Ketika Perempuan Berjuang Melalui Organisasi Sosial
Pendidikan yang telah diperoleh oleh para perempuan se
perti digambarkan dalam sejumlah novel Indonesia, di samping
telah mendorong perempuan untuk memasuki lapangan kerja
di arena publik, juga telah menggerakkan sejumlah perempuan
untuk aktif dalam organisasi perempuan dan menjadi pejuang
dalam masyarakat. Beberapa tokoh perempuan bahkan tampak
digambarkan ikut terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan
Belanda. Hal ini menunjukkan adanya tanggung jawab sosial pada
para perempuan untuk ikut berjuang memajukan kehidupan para
perempuan, dan juga masyarakat pada umumnya.
Hasrat membentuk organisasi perempuan sudah tampak
pada novel Kehilangan Mestika ketika Hamidah mengumpulkan
para perempuan tetangganya untuk belajar membaca dan menu
lis, semacam program pemberantasan buta huruf, seperti tampak
pada kutipan berikut.
Dalam pada itu orang yang suka akan daku tak pula
sedikit. Hampir tiap malam aku didatangi orang yang mengajak
berunding mencari daya upaya, supaya saudara-saudaraku

210

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

yang tak mengenal mata surat diberi kesempatan untuk belajar.


Mereka itu tentu saja berasal dari luar Bangka, yang telah
tiba di tingkat yang jauh lebih tinggi dari saudara-saudaraku
penduduk Bangka asli
Mereka menyuruh aku berusaha sedapat-dapatnya dan
di dalam segala pekerjaan mereka sanggup menolongku. Pada
sangkaku apabila akan memperbaiki sesuatu bangsa mestilah
dimulai dengan putri-putri bakal ibu. Jikalau mereka telah
mengerti kepentingan perguruan, tentulah mereka tak segansegan dan tak sayang merugi mengeluarkan ongkos untuk
menyerahkan anaknya ke sekolah.
Hal inilah yang mendorongku akan mendirikan
perkumpulan bagi kaum ibu. Pendapatku ini kukemukakan.
Kawan-kawanku setuju semuanya. Dengan demikian sesudah
bersusah payah sedikit dapatlah kami dirikan sebuah per
kumpulan yang mempunyai anggota yang kurang lebih tak
kurang dari sepuluh orang. Maklumlah Mentok yang di dalam
segala hal jauh ketinggalan dari tempat lain. Berkat giatnya
kami bekerja maka perkumpulan itu pun semakin hari makin
maju juga. Kursus segera diadakan dan yang diutamakan sekali
yaitu membaca dan menulis. Kerja tangan dan memasak pun
tak ketinggalan.
(Hamidah, 1959: 24)

Dari kutipan tersebut tampak bagaimana Hamidah dan para


perempuan di lingkungannya belajar bersama (membaca, menulis,
pekerjaan tangan, dan memasak) untuk meningkatkan kualitas
diri mereka.
Gambaran mengenai peran perempuan dalam organisasi
perempuan dan sosial selanjutnya tampak pada novel Layar
Terkembang, Manusia Bebas, Burung-Burung Rantau, dan Namaku

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

211

Teweraut. Dalam Layar Terkembang digambarkan aktivitas Tuti


sebagai ketua dan anggota organisasi perempuan Putri Sedar,
sementara Marti, kakak perempuan Sulastri (Manusia Bebas)
adalah ketua organisasi Perempuan Insyaf. Di samping itu, dalam
kedua novel tersebut juga digambarkan peristiwa berlangsungnya
Kongres Perempuan Indonesia. Apa yang digambarkan dalam
kedua novel tersebut menggambarkan keberadaan sejumlah orga
nisasi perempuan pada masa prakemerdekaan. Dalam realitas
tidak ada organisasi Putri Sedar maupun Perempuan Insaf, tetapi
yang ada adalah Putri Merdeka dan Istri Sedar. Putri Merdeka
merupakan organisasi perempuan pertama yang didirikan di
Jakarta pada 1912. Organisasi ini memberikan bantuan dana
kepada kaum perempuan agar dapat bersekolah atau melanjut
kan sekolahnya, memberikan saran dan informasi yang dibutuh
kan, menumbuhkan semangat, dan rasa percaya diri kepada kaum
perempuan (Blackburn, 2007: xxvi). Istri Sedar didirikan 1930
di Bandung dan diketuai oleh Nyonya Soewarni Djojoseputro
(Stuers, 2007: 135). Stuers (2007: 135) menduga organisasi Istri
Sedar inilah yang menjadi model dari organisasi Putri Sedar dalam
novel Layar Terkembang pada 1931. Istri Sedar menyelenggarakan
kongres pada bulan Juli di Jakarta. Kalau organisasi Istri Sedar
disamakan dengan Putri Sedar, maka pada kongres inilah tokoh
Tuti (Layar Terkembang) menyampaikan pidatonya mengenai
keadaan perempuan pada zamannya dan zaman sebelumnya.
Pidato Tuti dalam Kongres Putri Sedar di Jakarta mengenai
kedudukan perempuan dalam masyarakat tampak merealisasikan
tujuan Putri Merdeka maupun Putri Sedar.

212

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang


terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian
besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.
Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang citacita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang
angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna
yang praktis sedikit jua pun.
Saudara-saudara, dalam tiap-tiap usaha hanyalah kita
mungkin mendapat hasil yang baik, apabila terang kepada
kita, apa yang hendak kita kerjakan, apa yang hendak kita kejar
dan kita capai. Atau dengan perkataan lain: dalam segala hal
hendaklah kita mempunyai gambaran yang senyata-nyatanya
tentang apa yang kita cita-citakan. Demikianlah menetapkan
bagaimana harus sikap perempuan baru dalam masyarakat
yang akan datang berarti juga menetapkan pedoman yang
harus diturut waktu mendidik kanak-kanak perempuan waktu
sekarang. Untuk sejelas-jelasnya melukiskan bagaimana
kedudukannya dalam segala cabang masyarakat haruslah kita
lebih dahulu menggambarkan seterang-terangnya sikap dan
kedudukan perempuan bangsa kita di masa yang silam.
.Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa
kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam
yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki
yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang
mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya,
perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan
anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggitingginya ia menjadi perhiasan, menjadi mainan yang dimu
lia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar, apabila
telah kabur cahayanya, telah hilang serinya.
(Alisyahbana, 1986: 34).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

213

Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembali


kan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita
dapat berubah. Jadi perubahan kedudukan perempuan dalam
masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perem
puan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih
mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan
harus mengakui itu.
Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah perempuan
sendiri insaf akan dirinya dan berjuang untuk mendapatkan
penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia tidak boleh
menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain, apalagi
golongan laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia
harus melepaskan kekuasaannya yang telah berabad-abad
dipertahankannya. Kita harus membanting tulang sendiri untuk
mendapatkan hak kita sebagai manusia. Kita harus merintis
jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas berdiri
menghadapi dunia, yang berani melihat kepada siapa jua pun.
Yang percaya akan tenaga sendiri dan berpikir sendiri. Yang
berani menanggung jawab atas segala perbuatan dan buah
pikirannya. Malahan yang hanya akan melangsungkan sesuatu
pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya. Yang berterusterang mengatakan apa yang terasa dan terpikir kepadanya
dengan suara yang tegas dan keyakinan yang pasti.
Pendeknya manusia yang sesungguhnya manusia.
Yang hidup semangat dan hatinya dan ke segala penjuru
mengembangkan kecakapan dan kesanggupannya untuk
keselamatan dirinya dan untuk keselamatan pergaulan.
(Alisjahbana, 1986: 3438)

Melalui pidatonya di Kongres Perempuan tersebut Tuti meng


gambarkan kondisi perempuan masa lampau sampai pada
zamannya yang berada dalam belenggu penindasan patriarkat.

214

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dalam pidatonya Tuti melakukan kritik terhadap kondisi tersebut


dan mengemukakan gagasan mengenai apa yang seharusnya di
lakukan para perempuan zamannya untuk melawan penindasan
tersebut dan menunjukkan eksistensinya.
Gambaran mengenai kegiatan para perempuan seperti Tuti
dan kawan-kawannya dalam organisasi perempuan merefleksikan
apa yang terjadi dalam masyarakat pada saat itu. Layar Ter
kembang tampaknya ditulis sebagai dukungan terhadap gagasan
mengenai kondisi dan cita-cita ideal perempuan Indonesia yang
dikemukakan dalam Kongres Perempuan II tersebut.
Peran perempuan dalam organisasi perempuan dalam Ma
nusia Bebas tampak pada aktivitas Marti, adik Sulastri, yang
tinggal di Jakarta menjadi ketua organisasi perempuan yang
bernama Perempuan Insyaf dan tengah mempersiapkan penye
lenggaraan Kongres Perempuan Indonesia (Djojopuspito, 1975:
16, 185, 191, 192). Dalam novel Manusia Bebas yang ditulis oleh
Soewarsih Djojopuspito ini, dengan latar waktu sekitar 1930-an
dan latar tempat sebagian besar di Bandung dan Yogyakarta di
ceritakan tentang perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah
kaum intelektual pribumi di lapangan pendidikan swasta dan
organisasi perempuan. Dari biografi pengarang ditemukan
informasi bahwa Soewarsih Djojopuspito lahir pada 21 April 1912
di Bogor dengan nama kecil Tjitjih. Dia mendapatkan pendidikan
HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) di Cicurug pada 19191926, kemudian
meneruskan ke MULO (SMP jaman Belanda) pada 19271929 di
Bogor, dan terakhir pada Europeesche Kweekschool (Sekolah Guru
Atas Belanda, hanya dua orang pribumi dari 28 murid) di Surabaya
pada 1930-1932. Setelah lulus 1933 pindah ke Bandung menjadi

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

215

guru di SR Pasundan, padahal memiliki ijazah sebagai guru sekolah


Belanda yang seharusnya mengajar di sekolah Belanda namun
lebih memilih perguruan pribumi dan aktif dalam Perkoempoelan
Perempoean Soenda

sebagai anggota. Tahun 1934 menikah

dengan Sugondo Djojopuspito (Rimbun Natamarga, Komunitas


Ruang Baca Tempo).
Bersama suaminya, Sudarmo, Sulastri dan kawan-kawannya
adalah sosok kaum muda yang mendirikan sekolah-sekolah swasta
(Perguruan Kebangsaan) untuk memberikan pelajaran kepada
masyarakat agar tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah
pemerintah. Karena berseberangan dengan pemerintah kolonial,
keberadaan sekolah-sekolah swasta tersebut mendapatkan
pengawasan yang ketat dari pemerintah. Beberapa guru dilarang
mengajar sampai akhirnya sekolah terpaksa harus ditutup.
Gambaran mengenai peran perempuan yang berjuang dalam
organisasi perempuan dalam novel Layar Terkembang maupun
Manusia Bebas menunjukkan adanya hubungan dengan maraknya
sejumlah organisasi perempuan pada tahun 19201930-an
dan peristiwa Kongres Perempuan I dan seterusnya. Gagas
an mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan dan nasib
perempuan pada masa itu dan cita-cita perempuan Indonesia
yang disampaikan dalam Layar Terkembang dan Manusia Bebas
gagasan yang dibicarakan dalam Kongres Perempuan tersebut.
Kongres Perempuan I diselenggarakan atas prakarsa Nyo
nya Soekonto, guru perempuan di sekolah Belanda Pribumi dan
anggota Komite Wanito Utomo, seperti Nyi Hadjar Dewantoro dan
Soejatin (Nyonya Kartowijono), guru Perguruan Taman Siswa dan
anggota Komite Putri Indonesia (Stuers, 2007: 133). Dalam kong

216

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

res tersebut berkumpul perwakilan dari 23 organisasi perempuan


dengan 15 orang pembicara dengan dihadiri oleh sekitar 1000
orang (Oetoyo-Habsjah dalam Blackburn, 2007: xi).
Dibahasnya berbagai isu gender dalam kongres tersebut
menunjukkan adanya kepedulian dari sebagian perempuan Indo
nesia terpelajar terhadap nasib dan keberadaan perempuan
pada masa itu. Masalah yang dibahas dalam kongres tersebut
adalah: 1) Pergerakan Perempuan, Perkawinan, dan Perceraian
(R.A. Soedirman, Poetri Boedi Sedjati); 2) Derajat Perempuan
(Sitti Moendjijah, Aisyiyah Yogyakarta); 3) Perkawinan Anakanak (Moegaroemah, Poetri Indonesia); 4) Kewajiban dan Citacita Putri Indonesia (R.A. Sitti Soendari Darmobroto, Poetri
Indonesia); 5) Bagaimanakah Jalan Kaum Perempuan Sekarang
dan Nanti? (Tien Sastrowirjo); 6) Kewajiban Perempuan di Dalam
Rumah Tangga (R.A. Soekonto, Wanito Oetomo); 7) Ibu (Djami,
Darmo Laksmi); 8) Salah Satu Kewajiban Perempuan (Siti Zahra
Goenawan, Roekoen Wanodijo); 9) Kedudukan Perempuan dalam
Kehidupan (Djojoadigoeno, Wanito Oetomo); 10) Keadaan perem
puan Europa (Titi Sastroamidjojo); 11) Kebutuhan akan tenaga
perempuan dalam pekerjaan sosial (Siti Marjam, Jong Java); 12)
Gambaran Perempuan dalam Rumah Tangga (Soetojo-Nimpoeno,
Wanito Sedjati, Bandung); 13) Pidato tanpa judul tanpa nama dari
Wanito Moelyo, Yogyakarta; 14) Persatuan Manusia (Sitti Hajimah,
Aisjijah); 15) Adab Perempuan (Nyi Hadjar Dewantoro, Wanita Ta
man Siswa) (Blackburn, 2007: xxxvxxxvi). Sejumlah makalah yang
ditampilkan dalam Kongres Perempuan I telah dikumpulkan dan
diterbitkan dalam Kongres Perempuan Pertama Tinjauan Ulang
(Susan Blackburn, editor 2007).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

217

Kongres Perempuan I berhasil mendirikan Perserikatan


Perempuan Indonesia (PPI) yang berniat untuk mengembangkan
posisi perempuan dan kehidupan secara keseluruhan (Stuers,
2007: 134). Untuk menuju tujuan tersebut PPI mengirimkan tiga
buah permintaan kepada pemerintah, yaitu: 1) sekolah untuk pe
rempuan harus ditingkatkan, 2) penjelasan resmi mengenai arti
taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat
akad nikah, 3) peraturan yang menolong para janda dan anak
yatim piatu dari pegawai sipil harus dibuat (Stuers, 2007: 134).
Selanjutnya Kongres Perempuan kedua diselenggarakan oleh PPI
di Jakarta 2631 Desember 1929; nama organisasi pun diubah
menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Pada
kongres tersebut diumumkan penerimaan pemerintah mengenai
tiga buah usulan pada Kongres Perempuan I (Stuers, 2007: 135).
3. Simpulan
Dari analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pada masa prakemerdekaan kaum perempuan telah memiliki
kesadaran yang cukup tinggi untuk memperjuangkan nasib
kaumnya agar mencapai derajat yang tejajar dengan kaum lakilaki. Mereka adalah kaum perempuan yang telah lebih dulu
mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan akhirnya
berjuang melalui organisasi perempuan yang merefleksikan
keberadaan organisasi perempuan pada awal 19201930-an.
Gambaran tersebut tampak jelas dalam novel Layar Terkembang
maupun Manusia Bebas.

218

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

C. Rangkuman
Pada pembahasan di atas tampak adanya hubungan antara
aktivitas para perempuan yang digambarkan dalam novel Indo
nesia dengan realitas sosial historis yang terjadi dalam masya
rakat, khususnya yang berhubungan dengan sejarah perjuangan
perempuan melalui berbagai organisasi perempuan pada awal
19201930-an. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan feminisme di
Indonesia tidak hanya terjadi dalam realitas sosial historis, tetapi
juga digambarkan dalam realitas simbolis, pada novel-novel yang
ditulis pada masa tersebut. Dalam hal ini novel yang terbit pada
saat itu ikut merepresentasikan gerakan feminisme, terutama
masa masa sebelum kemerdekaan.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah beberapa novel yang telah dibahas dalam materi di
bab ini untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai cerita
yang dikaji!
2. Cobalah untuk membuat beberapa simpulan dari novel yang
Anda baca dalam perspektif kritik sastra feminis!

BAB X
KAUM PEREMPUAN PUN
MENJADI PELAKU BISNIS
DALAM NOVEL CANTING KARYA
ARSWENDO ATMOWILOTO

A. Tujuan pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiwa mendapatkan pemahaman mengenai
aplikasi kritik sastra feminis dalam memahami fenomena
keterlibatan perempuan sebagai pelaku bisnis dalam novel Canting
karya Arswendo Atmowilito.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

erspektif feminis yang menginginkan adanya kesetaraan


peran dan relasi antara perempuan dengan laki-laki, baik

dalam ranah domestik maupun publik akan memberikan perhatian


kepada aktivitas kaum perempuan dalam berbagai bidang di
sektor publik. Salah satu aktivitas tersebut adalah sebagai pelaku
bisnis yang terefleksikan dalam novel Canting karya Arswendo

219

220

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Atmowiloto, yang diuraikan sebagai berikut. Dengan menggunakan


kritik sastra feminis women as reader, yang memungkinkan karya
sastra yang ditulis oleh penulis laki-laki yang memiliki nuansa
yang sensitif gender dan kerangka teori feminisme liberal, peran
kaum perempuan sebagai pelaku bisnis dalam novel tersebut akan
dipahami.
2. Perempuan sebagai Pelaku Bisnis dalam Novel Canting karya
Arswendo Atmowilito.
Novel Canting merupakan salah satu karya Arswendo
Atmowiloto, yang terbit pertama kali pada 1996. Dalam novel
tersebut digambarkan bagaimana para perempuan (Bu Bei dan
kedua putrinya, Wening Dewamurti dan Subandini Dewaputri
Setrokusuma) memiliki kemampuan untuk menjalankan kegiatan
perekonomian. Dengan menggunakan latar cerita keluarga
bangsawan di lingkungan Keraton Surakarta dari 1960-an sampai
dengan 1980-an digambarkan tokoh Wening Dewamurti dan
Subandini Dewaputri Setrokusuma, dua orang putri keluarga
Setrokusuma yang terjun ke dunia usaha.
Dengan menggambarkan para perempuan yang terjun ke dunia
usaha, Canting ingin menggambarkan para perempuan yang dapat
berperan di dua arena yang berbeda, di rumah sebagai makhluk
domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Ketika di rumah
mereka harus menjalankan peran-peran domestiknya, mengurus
rumah tangga, melayani suami, melahirkan dan mendidik anakanaknya, tetapi ketika di luar rumah mereka memiliki kemampuan
yang luar biasa dalam menjalankan perannya sebagai pengusaha.
Dalam novel tersebut digambarkan tokoh Bu Bei dan Wening yang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

221

berhasil menjalankan kedua peran gendernya. Bu Bei, mantan buruh


batik yang dinikahi oleh Pak Bei (Raden Ngabehi Setrokusuma)
berhasil memimpin dan menjalankan usaha batik dengan 112
orang buruh. Kutipan berikut memberikan gambaran mengenai
kemampuan Bu Bei dalam memimpin usahanya.
Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan
kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah
wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada masa
lah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan
memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya kebahagiaan.
Kebahagiaan wanita yang berhasil mengisi hidupnya dengan
kerja yang panjang dan bekti yang tulus kepada suami.
(Atmowiloto, 2009: 6)
Bu Bei menunggu sambil membereskan keperluannya.
Membagi pekerjaan, membagi bahan, membagi cita, serta
memerintah ini-itu. Beberapa perintah sepertinya tak usah
diulangi. Karena beberapa pekerja telah hafal
(Atmowiloto, 2009: 38)

Pada kedua kutipan tersebut tampak sosok Bu Bei sebagai


seorang ibu rumah tangga, tetapi juga seorang manajer peru
sahaan batik yang memegang kendali jalannya usaha dengan 112
buruh. Wibawa Bu Bei sebagai seorang pengusaha/pedagang
lebih jelas ketika dia memperdagangkan batik yang telah dipro
duksinya ke Pasar Klewer, Solo.
Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang
demikian jauh berbeda dari suasana rumah. Bu Bei berubah

222

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

menjadi direktur, manajer, pelaksana yang sigap. Sejak memu


tuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang tak disukai,
sampai dengan memilih Yu Tun dan Yu Mi.
Pasar adalah kantor bagi kaum wanita. Berhubungan
dengan orang-orang yang sering sama, yang diketahui dan
mengetahui. Berhubungan dengan kantor-kantor atau kios
lain, juga ikut menghitung berapa rugi dan untung kios lain itu.
Menilai cara apa yang dipakai di sana. Bu Bei dengan mudah
mengetahui apa yang terjadi di dapur kios lain.
(Atmowiloto, 2009: 4242)

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana seorang pe


rempuan (Bu Bei) di pasar, yang merupakan ranah publik dapat
menjalankan posisi sebagai direktur, manajer, pelaksana yang
sigap bagi usaha dagangnya. Dengan menggambarkan sosok Bu
Bei sebagai perempuan pengusaha batik, yang sekaligus juga
pedagang batik di pasar, novel tersebut ingin menunjukkan bahwa
seorang perempuan juga memiliki sumbangan yang cukup penting
dalam menegakkan ekonomi keluarga. Seperti dikemukakan
oleh Kutanegara (dalam Abdullah, Ed., 2006: 200), berdasarkan
penelitiannya di Jatinom, Klaten, bahwa pilihan perempuan untuk
terlibat di sektor perdagangan merupakan salah satu alternatif
yang dapat dilakukan ketika mereka harus mencukupi kebutuhan
rumah tangganya. Di samping itu, perempuan datang ke pasar,
baik sebagai pedagang maupun pembeli tidak hanya didasarkan
pada dorongan-dorongan ekonomi semata, tetapi juga sebagai
suatu wahana pemenuhan berbagai kebutuhan mereka seperti
saling tukar menukar informasi, rekreasi, dan menjalin hubungan
sosial Kutanegara (dalam Abdullah, Ed., 2006: 205).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

223

Pandangan mengenai otonomi perempuan pedagang di


pasar dalam kutipan tersebut, sesuai dengan pendapat yang
pernah dikemukakan oleh Kutanegara (dalam Abdullah, Ed., 2006:
205) bahwa keterlibatan perempuan yang besar di pasar telah
menempatkan perempuan pada satu struktur baru di luar struktur
yang dikenal masyarakat, seperti keluarga inti, keluarga luas, dan
masyarakat. Masuknya perempuan ke dalam struktur baru ini telah
memberikan suatu kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dan
keluar dari stuktur subordinasi yang mengekang kebebasannya.
Berbeda dengan ibunya yang menjadi pengusaha batik seca
ra otodidak, Wening Dewamurti dan adiknya, Subandini Dewa
putri Setrokusuma (biasa dipanggil Ni) memilih pekerjaan sebagai
pengusaha setelah mendapatkan pendidikan sarjana dan secara
tidak langsung belajar dari ibunya. Wening adalah seorang
sarjana ekonomi, lulus dengan nilai terbaik, kemudian memilih
profesi sebagai seorang kontraktor (Atmowiloto, 2007: 175176).
Adiknya, Subandini Dewaputri Setrokusuma (biasa dipanggil Ni),
seorang sarjana farmasi memilih melanjutkan usaha perdagangan
batik ibunya. Dalam novel ini digambarkan bahwa untuk menjadi
seorang pengusaha yang sukses, seorang perempuan tidak harus
meninggalkan peran domestiknya, sebagai istri dan ibu bagi anakanaknya. Sosok Wening sebagai pengusaha yang tidak meninggal
kan peran domestiknya tampak pada kutipan berikut.
Dengan tangkas, penuh perhitungan dan kejelian,
Wening memanfaatkan koneksi ayahnya untuk berbagi
kegiatan usahanya. Dengan perut menggembung, mengempis,
menggembung lagi, Wening mengendalikan usahanya. Sewaktu
menyelesaikan proyek perhotelan Candi, Semarang, Wening

224

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

tampil sendirian menghadapi pertanyaan dari para wartawan.


Saya lahir dari keluarga bangsawan, tetapi juga keluarga
pengusaha. Saya lahir dari keluarga intelek, tetapi juga keluaga
pejuang.
Keluarga sayalah yang paling berjasa membentuk pribadi
saya. Tidak, saya tak ingin membicarakan suami saya. Karena
saya sudah membicarakan diri saya. Membicarakan suami saya
seperti juga membicarakan diri sendiri.
Kenapa saya membangun hotel? Karena saya dibayar
untuk itu. Kalau ada orang yang menyuruh saya membangun
Keraton, akan saya bikinkan.
WDS adalah singkatan dari Wening Dewamurti Setro
kusuma. Saya sebagai pengusaha membutuhkan kalian para
wartawan, begitu juga sebaliknya.
(Atmowiloto, 2009: 176177)

Dari kutipan tersebut tampak sosok Wening sebagai seorang


pengusaha yang cukup cerdas dan terampil dalam menjalankan
usahanya, bahkan keadaan dirinya sebagai seorang perempuan
yang harus menikah dan memiliki anak tidak menghambatnya
dalam menjalani

profesinya sebagai pengusaha.

Wening

ditampilkan sebagai sosok perempuan yang berhasil menjalani


peran ganda secara seimbang, baik di arena domestik maupun
publik, seperti yang dibayangkan oleh para feminis liberal. Dalam
novel tersebut juga ditampilkan kapasitas Wening sebagai seorang
pengusaha yang mendapat dukungan dari suaminya, Susetyo.
Mbakyumu Ning berdarah Setrokusuman seratus persen.
Juga dalam berdagang, Bu Bei telah menitis kepadanya. Bu Bei
dan Pak Bei sekaligus. Tetapi itu tidak berarti segalanya bisa

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

225

diatasi. Makin perkasa seseorang, makin sukses seseorang, makin


membutuhkan orang dekat. Saya bahagia bisa dekat mbakyumu
Ning. Ia menyisakan peran yang cukup berarti bagiku.
(Atmowiloto, 2009: 178)

Dari dua buah kutipan di atas juga tampak adanya pengakuan bahwa
bakat Wening sebagai pengusaha sebenarnya diperoleh dari ibunya,
lebih tepatnya belajar secara tidak langsung dari kemampuan ibunya
(Bu Bei) dalam menjalankan usaha produksi dan perdagangan batik.
Pendidikan formal yang diperolehnya, ilmu ekonomi, diharapkan
akan lebih mendukung pilihannya sebagai seorang pengusaha.
Sebelum ibunya meninggal Ni sudah berniat meneruskan
usaha batik ibunya. Orang tuanya telah menghadiahkan sebuah
apotik ketika Ni lulus sebagai sarjana farmasi, tetapi dia lebih
tertarik untuk melanjutkan usaha batik yang ditinggalkan oleh
ibunya. Sebelum memulai usahanya, Ni mengidentifikasi jumlah
buruh batik yang masih tinggal bersama keluarganya, selanjutnya
memanggil sebagian besar dari mereka dalam sebuah rapat.
Kini saatnya!
Ni masuk rumah. Mengikat rambutnya dengan tali karet.
Mengambil buku catatan, lalu menuju bagian samping. Di
tempat buruh-buruh membatik.
Wah, jadi juragan betul-betul.
Ni memandang Pak Mijin.
Pakai selametan.
Entah apa saja yang telah terdengar oleh Pak Mijin dan
telinga yang lain. Yang selama ini berdiam diri, tak menunjukkan
tahu sesuatu.
Rapat dulu.

226

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Rapat apa?
Pokoknya rapat. Pak Mijin tolong panggilkan Pakde
Wahono, Pakde Karso, Pakde Tangsiman, Pakde Ni membuka
catatannya, Pakde Kromo, Jimin.
Saya boleh ikut?
Panggil saja dulu.
.
Begini Pakde-pakde sekalian. Saya akan mulai lagi usaha
batik ini. Meneruskan, istilahnya. Selama ini agak seret. Mudahmudahan kita semua bisa bekerja sama.
Yang pertama saya akan meminta Pakde Wahono
menjadi pengawas produksi.
Pakde Wahono menunduk, jidatnya mengerut.
Mijin jongkok, berlutut.
Mengawasi pembuatan batik ini secara keseluruhan.
Semua berada pada tanggung jawab Pakde Wahono...
Pakde Karso yang meramu obat-obat. Terutama untuk
sablon. Memeriksa campuran warna apa, kalau kurang belinya
di mana, apa yang diperlukan.
Bisa kan Pakde?
(Atmowiloto, 2009: 309310)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa Ni, seperti halnya ibunya,


memberikan perintah kepada buruh-buruhnya untuk memulai lagi
usaha batik yang selama ini tersendat dan berhenti setelah ibunya
meninggal dunia. Ni memiliki semangat yang begitu besar untuk
tetap menghidupkan usaha batik yang telah menghidupi keluarganya
selama ini, bahkan telah mengantarkan dirinya dan kakak-kakanya
untuk menempuh sekolah sampai ke tingkat perguruan tinggi.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

227

Ni bagai tenggelam dalam mabuk suasana ker


ja. Semangatnya melambung sampai di ujung. Kakus baru
yang dibuat Mijin ditengok. Rumah, jendela, sekat, di kebon
diperbaiki bagian yang perlu. Air minum harus dimasak. Anakanak yang jumlahnya banyak sekali, tidak dibenarkan jajan
sembarangan. Tidak juga dibiarkan bermain-main di dekat
ayahnya yang mencap.
Paru-parumu jebol.
Lampu penerangan di tempat batik ditambah. Agar yang
lembur tak seperti menebak-nebak dalam keremangan. Bahkan
kemudian pesawat telivisi yang besar diletakkan di situ
Kobaran semangat kerjanya naik tak tertahankan lagi. Ni
mencatat 120 toko yang bisa dititipi batik. Ni membuat daftar,
membuat rute yang harus ditempuh.
(Atmowiloto, 2009: 324)

Sebagai pengusaha batik tulis dengan desain tradisional, Ni harus


berhadapan dengan pengusaha yang memproduksi batik printing
dalam skala besar. Setelah mengalami pergulatan batin yang pan
jang akhirnya Ni memutuskan untuk tidak memasang cap Canting
pada batik yang diproduksinya karena dia akan menjual batiknya
ke perusahaan lain.
Ni memutuskan untuk tidak memasang cap. Ia menyuruh
melepaskan semua. Dan menyerahkan kepada perusahaanperusahaan besar, memilih yang terbaik, perusahaan itu mem
beli, dan menjual kembali dengan cap perusahaan mereka.

(Atmowiloto, 2009: 402)

Ni menerima kenyataan bahwa usahanya kini sekedar


menjadi pabrik sanggan, pabrik yang menerima pekerjaan

228

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dari perusahaan batik milik perusahaan lain. Ia akan menyuruh


buruh-buruh membatik apa yang diminta perusahaan-perusa
haan lebih besar. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan
menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau,
bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika
ia melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan.
(Atmowiloto, 2009:403)

Novel Canting menunjukkan kecerdasan seorang perem


puan untuk dapat bertahan sebagai seorang pengusaha yang
dari usahanya tersebut dia dapat menghidupi 112 keluarga buruh
batik yang menggantungkan hidupnya kepadanya. Kecerdasan
tersebut juga ditunjukkan oleh Wening ketika dia menjawab per
tanyaan wartawan mengapa dirinya memilih sebagai kontraktor
yang membangun hotel. Dengan tegas dia menjawab, Kenapa saya
membangun hotel? Karena saya dibayar untuk itu. Kalau ada orang
yang menyuruh saya membangun Keraton, akan saya bikinkan.
(Atmowiloto, 2009: 177). Sosok Ni dan Wening menunjukkan bahwa
untuk berhasil dan bertahan menjadi pengusaha dalam arus zaman
yang berbeda, harus mau berkompromi dengan keadaan yang ada.
3. Simpulan
Dalam perspektif feminisme tampak bahwa para tokoh
perempuan dalam novel tersebut memiliki kemampuan untuk
menjalankan usahanya, memimpin sejumlah karyawan, mampu
mengatasi sejumlah masalah yang timbul dalam persaingannya
dengan pengusaha lainnya. Pada novel tersebut tampak bahwa
dalam arena publik para perempuan juga memiliki kemampuan
untuk menjadi pengusaha, bukan hanya sebagai buruh yang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

229

menggantungkan hidupnya pada kekuatan modal yang dimiliki


oleh orang lain, termasuk para pengusaha laki-laki. Di samping
itu, gambaran sosok perempuan sebagai pengusaha dalam novel
tersebut, juga telah mendekonstruksi peran gender seperti yang
dibakukan dalam Undang-undang Perkawinan (UU No 1, Th 1974)
bahwa keperluan hidup berumah tangga menjadi tanggung jawab
suami sesuai dengan kemampuannya, sementara istri memiliki
kewajiban mengatur rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34).

C. Rangkuman
Pada novel Canting telah ditunjukkan bahwa kaum perempuan
juga memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi dan
memenuhi keperluan rumah tangganya. Peran perempuan
pun tidak semata-mata hanya mengatur rumah tangga, tetapi
juga berperan di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Dalam perspektif feminis gambaran tersebut menunjukkan
adanya perlawanan terhadap kuasa patriarkat yang membatasi
partisipasi perempuan di sektor publik, serta belenggu kebebasan
perempuan dalam menjalani kehidupan dan perannya di sektor
domestik maupun publik dalam novel-novel Indonesia yang dikaji.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah novel Canting, kemudian deskripsikan secara garis
besar bagaimana karakter tokoh-tokoh perempuan dalam
novel tersebut!
2. Jelaskan bagaimana tokoh-tokoh perempuan dalam novel
Canting menjalankan aktivitas bisnisnya dalam perspektif
kritik sastra feminis.

BAB XI
PERLAWANAN TERHADAP
TRADISI KAWIN PAKSA DALAM
NOVEL-NOVEL INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman terhadap aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami fenomena perlawanan
terhadap tradisi kawin paksa dalam sejumlah novel Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

ultur patriarkat yang menempatkan ayah sebagai orang yang


paling berkuasa dalam rumah tangga telah menyebabkan

terjadinya perkawinan anak yang dipaksakan oleh orang tua,


terutama ayah. Sejumlah novel yang dikaji telah menunjukkan
adanya praktik kawin paksa yang terjadi di beberapa wilayah di
Indonesia, seperti Tapanuli (Azab dan Sengsara), Minangkabau
(Sitti Nurbaya), Jawa (Widyawati, Para Priayi, dan Perempuan
Berkalung Sorban), dan Papua (Namaku Teweraut). Novel-novel

230

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

231

tersebut telah menggambarkan dan mengritisi kawin paksa,


bahkan juga menggambarkan ketidakbahagiaan dan kegagalan
perkawinan yang terjadi karena kawin paksa.
Kawin paksa adalah peristiwa perkawinan seseorang yang
diatur oleh orang lain, khususnya orang tua, tanpa mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari yang bersangkutan. Pada dasar
nya kawin paksa bertentangan dengan aturan perkawinan yang
ada dalam Undang-undang Perkawinan (UU RI No 1 1974) Pasal 6
yang menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan pada per
setujuan kedua calon mempelai.
Masalah kawin paksa dan perjodohan yang diatur oleh orang
tua (keluarga) cukup dominan dalam sejumlah novel Indonesia
yang dikaji. Tokoh-tokoh dalam beberapa novel tersebut
mengalami perkawinan yang diatur oleh orang tuanya atau
kawin paksa. Dengan berbagai upayanya tokoh-tokoh generasi
muda dalam novel-novel tersebut mencoba untuk mengritisi dan
melawan kawin paksa dan perjodohan yang diatur orang tuanya.
2. Perlawanan terhadap Tradisi Kawin Paksa dalam Novelnovel Indonesia
Dalam novel-novel yang dikaji tampak bahwa kawin paksa atau
perjodohan yang diatur orang tua tidak hanya dialami oleh tokohtokoh perempuan, tetapi juga laki-laki, yang menunjukan adanya
kekuasaan ayah (patriarkis) dalam adat istiadat masyarakat dan
interpretasi terhadap ajaran agama. Pada kasus ini perkawinan
terjadi karena kehendak orang tua, bukan si anak. Orang tualah
yang sibuk mencari jodoh untuk anaknya. Pada beberapa novel
bahkan terjadi orang tua tetap memaksakan anaknya menikah

232

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dengan calon yang telah dipilih tanpa memperhatikan apakah sang


anak telah memiliki calon sendiri atau belum seperti yang tampak
pada novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Widyawati.
Dalam Azab dan Sengsara terdapat empat orang tokoh yang
harus menjalani kawin paksa atau perjodohan yang diatur oleh
orang tua. Anak benar-benar tidak memiliki hak untuk berpen
dapat atau pun menolak calon istri atau suaminya. Tokoh-tokoh
tersebut adalah orang tua Mariamin (ayah dan ibu Mariamin,
Sutan Baringin, dan Nuria), Aminuddin, dan Mariamin. Hal yang
sama juga dialami oleh sejumlah tokoh dalam novel Sitti Nurbaya
(Alimah dan Nurbaya), Widyawati (Roosmiati dan Rawinto), Para
Priayi (Soemini), Namaku Teweraut (Teweraut dan Sisilia), juga
Perempuan Berkalung Sorban (Anisa). Meskipun novel-novel
tersebut mengambil latar tempat berbagai daerah dengan kultur
yang berbeda, tetapi semuanya menunjukkan adanya tradisi yang
sama, yaitu perkawinan yang berada dalam orotitas kekuasaan
orang tua yang menunjukkan adanya sistem patriarkat yang
dominan. Selain novel Perempuan Berkalung Sorban dan Namaku
Teweraut yang mengambil latar waktu cerita sekitar tahun 2000an, novel-novel lainnya berlatar waktu sebelum kemerdekaan
Indonesia. Hal tersebut tampak dari nama-nama sekolah tempat
para tokoh bersekolah pada masa penjajahan Belanda (HIS, HBS,
STOVIA, Kweekshool, van Deventer School) sehingga tata nilai
tradisional masih cukup kental dianut dalam masyarakat.
Dalam Azab dan Sengsara digambarkan bagaimana orang
tua sibuk mencari jodoh untuk anaknya yang dianggap telah
cukup umur untuk dikawinkan. Di sini perkawinan hanya dianggap
sebagai sebuah kebiasaan seperti tampak pada kutipan berikut.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

233

Meskipun si Tohir menjadi anak muda, tetapi apa-apa


keperluan orang yang berumah tangga, belum diketahui,
Siapa tahu usia manusia ini. Kalau anakku bagaimanabagaimana di belakang hari dan ia belum diperistrikan, sudah
tentu hilanglah nama bapak dan neneknya dari atas dara untuk
jadi istri anaknya itu. Lagi pula kalau anaknya itu sudah kawin,
tentu hatinya lekas tua dan perangainya berubah menjadi baik.
Pikiran yang serupa itu acap kali didapati pada setengah
penduduk kampung, yang kurang mengindahkan hal
perkawinan yang serupa itu di belakang hari. Mereka itu
memandang perkawinan itu suatu kebiasaan, yaitu kalau
anaknya yang perempuan sudah genap umurnya harus dijo
dohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah
ia lekas dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak,
kalau orang tua terlambat memperistrikan anaknya.
(Siregar, 1996: 59)

Dari kutipan tersebut tampak pandangan orang tua yang


mengganggap menjodohkan anaknya adalah kewajiban yang
harus dijalankan. Keluarga akan merasa malu (mendapatkan aib)
kalau anaknya yang sudah berumur, baik perempuan maupun
laki-laki, belum dinikahkan. Seperti dikemukakan oleh Bangun
(dalam Koentjaraningrat, 1985: 94), dalam masyarakat Batak, yang
menjadi latar novel Azab dan Sengsara, perkawinan dianggap
sebagai suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki
dengan seorang perempuan, tetapi juga mengikat kaum kerabat
laki-laki dengan kaum kerabat perempuan. Hal ini menyebabkan
seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodohnya (Bangun
dalam Koentjaraningrat, 1985: 94).
Mekipun kawin paksa menjadi masalah yang mengedepan
dalam novel Azab dan Sengsara, karena hal tersebut dialami oleh

234

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

sebagian besar tokoh dalam novel tersebut, tetapi kritik terha


dapnya belum tampak, terutama yang disampaikan oleh tokohtokoh perempuan. Mereka menerima begitu saja nasibnya yang
sengsara setelah gagal menikah dengan laki-laki yang dicintainya.
Ibu Mariamin (Nuria) yang tidak mengalami kebahagiaan dalam
pernikahannya dengan hanya mengemukakan keluhannya karena
orang tuanya tidak setuju dia menikah dengan kekasihnya.
Sayang orang tuaku tiada setuju. Kalau jadi, sudah tentu
aku dapat mengecap kenikmatan orang berlaki-istri itu,
sebagaimana kukenang-kenangkan pada waktu hari mudaku
(Siregar, 1996: 71)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa seorang anak tidak memiliki


hak untuk memilih sendiri jodohnya, karena orang tua lebih
memiliki hak untuk menentukan siapa yang pantas untuk menjadi
jodoh anaknya. Hal tersebut juga dialami oleh Aminudin sehingga
laki-laki tersebut tidak dapat memenuhi janjinya kepada keka
sihnya untuk segera menikahi Mariamin setelah mendapatkan
pekerjaan di Deli. Orang tua Aminudin tidak setuju anaknya
menikah dengan Mariamin yang pada saat itu orang tuanya
telah jatuh miskin. Sebagai gantinya, kedua orang tua Aminudin
mencarikan jodoh untuk anaknya dari keluarga yang yang memiliki
status sosial ekonomi yang memadai (Siregar, 1996: 122).
Faktor sosial dan ekonomi ternyata menjadi salah satu
pertimbangan orang tua dalam memilihkan jodoh anaknya. Pada
kutipan di atas jelas tampak bahwa ayah Aminudin tidak mau
mengambil Mariamin sebagai menantunya karena orang tua Mari

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

235

amin telah jatuh miskin. Orang tua Aminudin menginginkan menantu


yang setara atau lebih tinggi kedudukannya sebagai kepala kampung.
Kriteria jodoh yang dicari oleh orang tuanya adalah sekurangkurangnya anak bangsawan yang sama dengan mereka itu, sementara
yang status sosialnya di bawahnya dianggap pantang.
Dalam Sitti Nurbaya ayah Samsulbahri (Sutan Mahmud) yang
berasal dari keluarga bangsawan dan menjabat sebagai penghulu
menikah dengan perempuan kebanyakan. Hal ini mendapatkan
protes keras dari kaum kerabatnya. Dalam dialog antara Sutan
Mahmud dengan kakaknya, seperti telah dikutip di atas, tampak
jelas bahwa Sutan Mahmud memang tidak menyetujui tradisi
kerabatnya yang memandang perkawinan ideal harus dengan
kerabatnya atau dari kalangan bangsawan.
Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah
berbangsa tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak
begitu; bahwa kawin dengan siapa saja, asal perempuan itu
hamba sukai dan ia suka pula kepada hamba. Tiada hamba
pandang bangsa, rupa atau kekayaannya, jawab Sutan
Mahmud yang mulai naik darahnya.
(Rusli, 2001: 22)

Dari kutipan tersebut tampak pandangan yang menentang


perjodohan yang lebih mendasarkan pada bangsa, rupa, dan
kekayaan, bukan karena saling mencintai, yang banyak terjadi
dalam masyarakat.
Dalam beberapa kasus kawin paksa pada novel-novel tersebut
tampak bahwa orang tua, terutama ayah, merasa memiliki otoritas
yang sangat besar terhadap diri anaknya. Hal ini sesuai dengan

236

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kultur patriarkat yang memberikan kekuasaan pada ayah dalam


sebuah keluarga untuk mengontrol masa depan anak-anaknya.
Ketidakpedulian ayah Aminudin terhadap permohonan anaknya
agar mengantarkan Mariamin sebagai calon istrinya ke Deli yang
diganti dengan calon lain yang dipandang lebih sesuai menunjukkan
besarnya otoritas tersebut. Agar Aminudin tidak menolak kemauan
ayahnya, ayahnya menggunakan kata-kata sakti berikut ini.
Lepas makan tengah hari, Baginda Diatas pun bercakaplah
menceritakan kedatangannya dan hal ihwal yang menyedihkan
hati Aminudin itu. Kesudahannya ia berkata. Benar perbuatan
kami ini tiada sebagai permintaan anaknda, tetapi janganlah
anakku lupakan, keselamatan dan kesenangan anak itulah yang
dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak
itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di
dunia. Itu pun harapan bapak, dan ibumu serta sekalian kaumkaum kita anakku akan menurut permintaan kami itu, yakni
anaknda terimalah menantu ayahanda yang kubawa ini!
(Siregar, 1996: 136)

Kata-kata keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikir


kan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu, haruslah anak itu
menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di du
nia merupakan senjata yang sangat ampuh untuk menekan anak,
sehingga tidak berani menolak keinginan orang tuanya.
Kalau seorang anak laki-laki saja tidak berani menolak jodoh
yang disodorkan orang tuanya, apalagi seorang anak perempuan.
Hal inilah yang dialami oleh Mariamin ketika ibunya mengatakan
bahwa Kasibun melamar dan menyuruhnya untuk menerimanya.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

237

Betul ibunya tak memaksa dia hanya sekedar menyuruh


dia. Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan
malu apabila anaknya itu tiada dipersuamikan. Orang yang
tinggal gadis itu menjadi gamit-gamitan dan kata-kataan orang.
Itulah yang ditakutkan ibunya. Itulah yang menyebabkan si ibu
menyuruh anaknya menerima pinangan orang itu.
Bukan mudah menjadi perempuan, kata ibunya, Lakilaki itu lain. Meskipun ia melambat-lambatkan perkawinan,
seberapa menyusahkan dia. Bila hatinya nanti bergerak beristri,
dapatlah ia dengan segera mencari jodohnya? Oleh sebab itu
baikkah anakku jangan melalui permintaan bunda ini; lagi pula
manusia itu harus jua diperjodohkan, jadi tiadalah faedahnya
kita, segan-seganan karenanya.
(Siregar, 1996: 145)

Dari kutipan tersebut juga tampak adanya pandangan masyarakat


bahwa seorang gadis yang belum menikah akan menimbulkan
malu (aib) keluarga karena akan menjadi bahan gunjingan orang.
Dalam hal ini kekuasaan orang tua dan pandangan masyarakat
telah menjadi kekuatan yang cukup besar untuk mengukuhkan
terjadinya kawin paksa. Dalam hal ini orang tua, terutama ayah,
sebagai pemegang kuasa patriarkat menjalankan haknya untuk
mendominasi kehidupan anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan.
Semangat yang dibawa oleh novel-novel tersebut adalah
mengritik tradisi kawin paksa dan perjodohan yang diatur oleh
orang tua. Dalam beberapa novel tersebut tampak bahwa kedua
masalah tersebut menjadi sumber konflik antara orang tua yang
masih memegang tradisi kawin paksa dan perjodohan yang diatur
oleh orang tua dengan generasi muda yang menganggap tradisi

238

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan perkembangan


zaman dan hak individual untuk menentukan pilihannya sendiri.
Untuk menyampaikan kritik terhadap tradisi kawin paksa yang
banyak terjadi dalam masyarakat dalam novel Azab dan Sengsara
narator mengemukakan hal berikut.
Tapi menurut sebaik-baiknya haruslah kita pikir lebih
panjang, adakah perkawinan itu lebih membawa kesengsaraan
atau keuntungan bagi laki-laki dan perempuan kedua belah
pihak. Dan tali perkawinan itu haruslah hendaknya kuat benar,
supaya jangan acap kali kejadian perceraian atau talak, kare
na inilah suatu hal yang merusakkan kesempurnaan dan
kesenangan orang yang berlaki istri.
(Siregar, 1996: 60)
Allah subhanahu wa taala menjadikan laki-laki dan
perempuan dan mempersatukan mereka itu dengan
maksud, supaya mereka itu berkasih-kasihan; si perempuan
menyenangkan hati suaminya dan si suami menghiburkan
hati istrinya. Maka seharusnyalah mereka itu sehidup semati,
artinya; sengsara sama ditanggung, kesenangan sama dirasa
(Siregar, 1996: 68)

Di samping mengritik akibat buruk yang sering kali ditimbulkan


oleh kawin paksa, kutipan tersebut juga mengemukakan gagasan
kesetaraan gender dalam sebuah perkawinan. Hubungan antara
suami dan istri seharusnya saling mencintai dan menyanyangi,
tidak boleh ada dominasi oleh suami terhadap istrinya.
Kritik terhadap kawin paksa juga terwujud dalam gambaran
kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia akibat perkawinan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

239

yang tidak dilandasi oleh rasa saling mencintai seperti halnya


kehidupan orang tua Mariamin dan perkawinan Mariamin dengan
Kasibun. Perkawinan orang tua Mariamin tidak dilandasi oleh
saling mencintai antara keduanya. Meskipun sang istri telah
berusaha mengabdikan dirinya dengan penuh kesabaran dalam
mengurus suami, anak, dan rumah tangganya, tetapi suaminya
sering kali tidak peduli. Bahkan, sang suami menganggap bahwa
dalam sebuah perkawinan seorang istri ditakdirkan untuk me
layani suaminya tanpa perlu mendapatkan balasan untuk di
cintai. Dalam hal ini seorang istri hanya ditempatkan sebagai jenis
kelamin kedua yang keberadaannya hanya untuk melayani suami,
menyerahkan badan dan hatinya kepada suami.
Adalah dalam pikirannya, perempuan itu diadakan
Tuhan akan sekedar menyertai laki-laki saja. Apabila laki-laki
itu merasa perlu akan bersama-sama dengan perempuan, di
situlah waktunya bagi ia kawin. Kawin artinya si laki mengambil
perempuan, sebab ia perlu kepadanya.
Tetapi perempuan itu harus menyerahkan badan
dan hatinya kepada suaminya. Adalah kewajiban bagi dia
mengusahakan dirinya untuk kesenangan lakinya karena lakinya
mengambil dia untuk kesenangannya. Ia harus menaruh cinta
kepada lakinya, akan tetapi tiada perlu ia mendapat balasan
cinta itu. Pendeknya tiada berwatas kewajiban perempuan itu .
(Siregar, 1996: 77)

Dalam Azab dan Sengsara digambarkan bahwa kawin paksa


yang tidak didasari oleh rasa saling mencintai akan menimbulkan
ketidakbahagiaan. Apalagi ketika salah satu pasangan (suami)

240

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

memiliki perilaku yang kasar, sering keluyuran pada malam hari,


dan menganggap istrinya sebagai pelayan yang dikirimkan oleh
Tuhan padanya. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.
Adapun tabiat dan adat perempuan itu berlawanan
dengan fiil Sutan Baringin. Ia penyabar dan tutur bahasanya
lemah lembut; suaminya orang yang suka marah-marah dan
perkataannya pun tiada berapa menyenangkan hati orang yang
mendengarkan .
(Siregar, 1996: 69)
Pada permulaan Sutan Baringin bertambah kerap kali
meninggalkan rumah malam hari, karena ia pergi ke kedai nasi
atau ke rumah kopi. Maka di sanalah ia selalu bercakap-cakap
dengan orang banyak; sudah tentu orang itu masuk golongan
orang yang kurang baik. Kalau ia pergi itu belum makan,
terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bu
kan dipaksa orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa ia
berbuat begitu. Seharusnyalah kami bersama-sama makan,
karena kuranglah baiknya, kalau istri itu lebih dahulu makan
daripada suaminya. Demikianlah pikiran ibu yang setia itu.
Kalau sudah berbunyi puluk delapan ia pun memberi makan
anaknya yang dua orang itu, lalu ditidurkannya; kemudian per
gilah ia mengerjakan pekerjaan yang ringan; menganyam tikar
atau menjahit pakaian anaknya yang koyak, karena siangnya ia
tiada sempat melakukan itu, oleh karena banyak urusannya.
Maklumlah, suaminya itu tiada suka bekerja, oleh sebab
itu terpaksalah ia jadi tahanan sekalian pekerjaan berumah
tangga itu. Sungguh amat berat beban yang dipikul si ibu yang
penyabar itu
(Siregar, 1996:75)

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

241

Kritik terhadap kawin paksa juga ditunjukkan melalui akibat


buruk kawin paksa yang tidak dilandasi saling mencintai yang
juga tampak pada kasus perkawinan Mariamin dengan Kasibun.
Kasibun, digambarkan sebagai seorang suami yang kasar,
kejam, dan mengidap penyakit kelamin. Terhadap istrinya, dia
selalu memaksakan kehendaknya, terutama dalam memenuhi
hasrat seksualnya. Karena takut ketularan penyakit kelamin
suaminya, Mariamin menolak melayani hubungan seksual dan
menyarankannya untuk berobat ke dokter. Hal itu menimbulkan
kemarahan suaminya, disusul dengan siksaan fisik.
Selamanya tiadakah engkau tahu, bahwa aku lakimu?
Engkau kubeli, karena itu harus menurut kehendakku!
Sebenarnyalah yang demikian itu. Saya menolak
kehendak tuan, bukan dengan maksud yang salah, hanya
menghindarkan celaka.
Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara
mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu
tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya
saja, kadang-kadang dipukulinya, disiksainya
(Siregar, 1996: 158)

Lontaran kata-kata Engkau kubeli, karena itu harus menurut


kehendakku dan kekerasan fisik yang diterima seorang istri dari
suaminya menunjukkan dominasi laki-laki dalam kultur patriarkat
yang begitu kuat terhadap perempuan dalam hubungan perka
winan. Kewajiban membayar emas kawin di Batak yang relatif
tinggi ternyata telah menjadikan laki-laki merasa membeli calon
istrinya sehingga dapat berbuat sekehendak hatinya seperti yang

242

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dilakukan oleh Kasibun terhadap Mariamin. Novel Azab dan


Sengsara melakukan kritik tajam terhadap hal tersebut.
Tentang emas kawin di Batak adalah suatu adat yang
memberatkan. Emas kawin itu biasa disebut orang sere atau
boli. Adapun sere itu dibayar si laki-laki kepada orang tua
anak gadis, banyaknya dari 200 sampai 400 rupiah. Ini diambil
jumlah pertengahan, karena ada juga yang kurang, umpamanya
120 rupiah, ada pula yang sampai 600 rupiah. Sere itu boleh
dibayar semua dengan uang semata, atau separuh dengan
kerbau atau lembu.
Aturan itu pun sangat memberatkan, sudah seharusnya
dihapuskan, kalau susah, dientengkan. Banyaklah terjadi yang
sedih-sedih disebabkan boli itu. Umpamanya, seorang anak
muda yang tiada berada, haruskah ia tinggal bujang selama
hidupnya, karena ia tiada mempunyai 200 rupiah di kantung
nya?...
Kasarlah didengar telinga, bila orang berkata, Di tengahtengah Pulau Sumatra yang besar itu masih ada orang menjual
anaknya yang perempuan.
(Siregar, 1996: 127)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa jumlah emas kawin yang


harus dibayarkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perem
puan telah memberikan kesan bahwa pernikahan tersebut seperti
menjual anak perempuan. Dalam hal ini perempuan telah dihar
gai sebagai barang yang ditukar dengan uang dan harta oleh pihak
laki-laki. Karena dianggap telah dibeli, suaminya dapat berbuat
dan menuntut apa saja dari istrinya.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

243

Dengan mengambil latar masyarakat Jawa, khususnya dari


keluarga priayi, kawin paksa atau perjodohan yang diatur oleh
orang tua ditemukan dalam novel Widyawati karya Arti Purbani
dan Para Priayi karya Umar Kayam. Dalam masyarakat Jawa, se
perti dikemukakan oleh Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 1985:
332) dikenal sistem kawin paksa (peksan), di samping magang
atau ngenger, trimah, dan ngungah-unggahi. Mengenai sistem
perkawinan magang, triman, peksan, dan ngunggah-unggahi
Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 1985: 332) menguraikan sebagai
berikut. Dalam sistem perkawinan magang atau ngenger, sebelum
menikah seorang jejaka telah mengabdikan dirinya pada kerabat
gadis. Sistem pernikahan triman adalah ketika seorang laki-laki
mendapatkan istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari
salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton
atau keluarga priayi agung yang sudah disantapnya terlebih
dulu. Sistem perkawinan ngunggah-unggahi terjadi ketika pihak
kerabat si gadis yang melamar jejaka. Sistem perkawinan peksan
terjadi antara pria dan wanita atas kemauan kedua orang tua.
Dalam novel Widyawati terdapat beberapa tokoh yang harus
mengalami kawin paksa, yaitu Roosmiati, Sugono, dan Rawinto.
Roosmiati dikawinkan dengan Bupati Notonegoro, Sugono dika
winkan dengan saudara sepupunya, dan Rawinto dikawinkan de
ngan salah satu putri Kasunanan Solo. Di samping itu, juga ter
dapat tokoh yang berhasil menolak kawin paksa, yaitu Widyawati.
Penolakan tersebut tampak pada dialog berikut.
Waginah, bisik Widati kemudian, dengarlah! kalau
orang tuaku memaksa aku kawin dengan seorang yang tidak

244

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kucintai maukah engkau membantuku? Aku akan lari dengan


orang yang kucintai itu, barang kali kami dapat menyeberangi
kali ini sesudah bersembunyi dulu dalam rumah kecil tempat
menyimpan kapur dan batu itu, atau mungkin juga kami naik
ke atas atap kamar mandi yang berdekatan dengan kandang
sapi orang tua Si Supi.
(Purbani, 1979: 29)

Lingkungan masyarakat bangsawan Jawa feodal yang menjadi


latar cerita dalam novel Widyawati menyebabkan tokoh-tokoh
generasi muda dalam novel tersebut tidak memiliki keberanian
untuk melawan adat perjodohan yang diatur oleh orang tuanya.
Oleh orang tuanya Roosmiati dijodohkan dengan saudara sepu
punya, Bupati Notonegoro, seorang laki-laki yang telah memiliki
dua orang selir. Sebagai seorang perempuan yang sempat menge
nyam pendidikan, walaupun hanya sampai tingkat pendidikan
dasar, Roosmiati mencoba menolak perjodohan tersebut dengan
alasan bahwa Notonegoro telah memiliki selir. Di samping itu,
Roosmiati juga telah menjalin cinta dengan Sulendro. Namun,
ibunya mengingatkan bahwa perjodohan tersebut sudah lama
disetujui antarkeluarga, bahkan sebagai pesan ketika ayah Noto
negoro hendak meninggal dunia.
Ibunya berkata, Roos, anakku yang tunggal, engkau
sudah diuntukkan buat saudara sepupumu. Ayahnya yang
menghendaki waktu menghembuskan nafasnya yang
penghabisan, telah meminta dengan sangat kepada kita,
supaya engkaulah yang akan menjadi menantunya. Jangan
lupa anakku, engkau putri Pangeran Notonegoro seorang
bupati dan Sulendro baru seorang murid Stovia.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

245

Ibu, jawab Roosmiati dengan hormatnya, Notone


goro sudah memiliki selir di rumahnya dan siapa tahu barang
kali ada pula di luar, tetapi saya yakin bahwa Sulendro hanya
akan kawin dengan saya seorang. Kami berdua masih muda,
kesenangan dan kesedihan akan kami tanggung bersama.
(Purbani, 1979: 19)

Untuk menggambarkan kemenangan generasi tua yang berkuasa


terhadap perjodohan anak-anaknya, tokoh Sulendro digambarkan
meninggal. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi Roosmiati
untuk menolak menikah dengan Notonegoro.
Perjodohan juga dialami oleh Sugono dan Rawinto. Sugono
bahkan sudah dijodohkan dengan saudara sepupunya sejak bayi
(Purbani, 1979: 147). Sementara Rawinto dengan terpaksa tidak
menepati janjinya untuk menikah dengan Widyawati karena de
ngan tiba-tiba dia harus menikah dengan salah seorang putri
Raja Kasunanan Surakarta. Pernikahan antara Rawinto dengan
putri tersebut terjadi karena calon suami sang putri, yaitu kakak
Rawinto tiba-tiba meninggal dunia. Padahal hari perkawinan telah
ditentukan. Setelah menikah dengan putri raja, Rawinto diberi
nama Kusumoprojo. Sebelum pernikahan berlangsung, Rawinto
telah mencoba untuk menolaknya, tetapi ayahnya sangat marah
dan mengatakan bahwa kehendak raja mesti diturut dan anakku
harus merasa bahagia karena dialah yang mendapat kehormatan
(Purbani, 1979: 197). Namun, perkawinan tersebut tidak berlang
sung lama. Ketika melahirkan anak pertamanya, istri Rawinto
(Kusumoprojo) dan anaknya meninggal dunia. Secara simbolis hal
ini dapat diinterpretasikan adanya penolakan terhadap perjodoh

246

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

an tersebut karena dengan kematian tersebut Rawinto kemudian


menghubungi Widyawati yang sedang berlayar menuju Nederland
mengikuti keluarga van Laten.
Berbeda dengan gambaran kawin paksa yang memiliki ke
kuatan sangat besar untuk menekan generasi muda, dalam
novel Para Priyayi generasi muda masih diberi kesempatan me
lakukan negosiasi untuk menunda perkawinan tersebut. Dalam
Para Priyayi digambarkan bahwa Soemini berhasil menunda per
kawinannya yang perjodohannya diatur oleh orang tuanya dengan
Raden Harjono dengan mengajukan syarat mau menerima per
jodohan kalau diperbolehkan melanjutkan sekolah di Van Deventer
School terlebih dulu, seperti telah dibahas pada bab sebelumnya
tentang pendidikan. Apa yang dilakukan Soemini bukan menolak
kawin paksa, tetapi menolak kawin di bawah umur karena ketika
dijodohkan dengan Harjono usianya baru 15 tahun. Van Deventer
School adalah sekolah yang didirikan oleh Yayasan Van Deventer,
yang diprakarsai oleh pasangan suami istri van Deventer dan Betsy
van Deventer-Maas pada 1917. Yayasan ini menyelenggarakan
sekolah berasrama (Van Deventer School) di Semarang, Malang,
Bandung, dan Solo untuk pendidikan lanjutan bagi gadis-gadis
Indonesia untuk melatih perempuan Jawa sebagai guru sekolah
(Gouda, 2007: 153).
Kawin paksa di bawah umur dialami oleh tokoh Anisa dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban. Begitu lulus dari Sekolah
Dasar tokoh Anisa dikawinkan oleh orang tuanya dengan laki-laki
anak sahabat ayahnya. Dalam ukuran usia anak-anak normal, usia
Anisa saat itu lebih kurang 13 tahun. Undang-undang Perkawinan
(UU No 1, tahun 1974), pasal 7 mengemukakan bahwa perkawinan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

247

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan demikian,
ayah Anisa telah melanggar ketentuan tersebut. Tokoh Anisa tidak
hanya menjadi korban perkawinan di bawah umur, tetapi juga
dipaksa menikah dengan orang yang belum dikenalnya.
Terbayang kembali peristiwa pahit yang mengawali
pernikahanku dengan Samsudin, laki-laki yang baru kulihat
wajahya sejam sebelum akad nikah. Tubuhnya tinggi besar
perawakan pegulat yang kehabisan nyali sesudah segalanya
gagal.
Bukankah laki-laki yang gagah? Coba mulai menga
guminya dan jangan cemberut terus seperti orang sakit gigi
begitu. Ia seorang sarjana hukum dan putra seorang kiai
ternama. Apalagi yang kurang dari dirinya? Segalanya ia miliki.
Dan ia memang laki-laki yang memikat.
Memikat hati ibu?
Huss! Kau ini bicara apa Nisa?
Dari seberang meja, laki-laki bernama Samsudin itu
tertawa melihat kami saling berbisik. Alangkah memuakkan
tawanya. Tanpa kuketahui apa saja yang telah dirundingkan
oleh mereka, mendadak saja aku harus membunyikan kata
setuju dan ya untuk sesuatu yang sangat gelap. Kemudian
aku harus menuliskan tanda tanganku di atas kertas asing yang
tak kuketahui apakah isinya.
(Khalieqy, 2001: 105106)

Kutipan di atas menunjukkan kekuasaan patriarkat dijalan


kan oleh sang ayah untuk memaksa anak perempuannya meni
kah dengan orang yang tak dikenalnya. Anisa tidak diberi ke

248

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

sempatan untuk mengenal lebih dahulu calon suaminya tersebut


karena baru bertemu satu jam menjelang akad nikah. Dari nada
gaya bahasa yang digunakan oleh tokoh aku (Anisa) tampak ada
nya pemberontakan. Akan tetapi, karena begitu kuatnya kekuasa
an sang ayah, Anisa dipaksa mengikuti kemauan ayahnya untuk
dinikahkan dengan Samsudin, seorang laki-laki yang sejak hari
pertama pernikahannya telah menunjukkan sikapnya yang men
dominasi istrinya. Bahkan, sang suami tersebut ternyata memiliki
watak kasar dan sering melakukan kekerasan dalam rumah
tangga, baik kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis. Judul
novel Perempuan Berkalung Sorban secara simbolis mengandung
makna keterbelengguan perempuan dalam kuasa patriarkat, yang
disimbolkan dalam wujud sorban, yaitu kain ikat kepala yang
lebar, yang dipakai oleh orang Arab, haji, dan sebagainya (KBBI,
2011: 1284). Dalam hal ini sorban menjadi simbol kekuasaan
patriarkat dalam lingkungan pesantren, yang menjadi latar cerita
novel tersebut.
Kawin paksa juga digambarkan dalam novel Namaku Tewe
raut. Tokoh Teweraut dan Sisilia dalam Namaku Teweraut harus
menuruti kemauan orang tuanya untuk dikawinkan dengan lakilaki yang memintanya. Keduanya tidak memiliki hak untuk meno
lak keinginan orang tuanya meskipun mereka harus menjadi istri
ketujuh (Teweraut) dan keenam (Sisilia). Karena perkawinan yang
dialami oleh Teweraut dan Sisilia berkaitan dengan masalah poli
gami, persoalan dibahas dalam subbab poligami. Ayah Teweraut
dan Sisilia langsung menerima lamaran laki-laki yang mengingin
kan anaknya menjadi istrinya tanpa mendapatkan persetujuan
anaknya. Status sebagai kepala kampung ternyata memiliki

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

249

kekuatan begitu besar yang menyebabkan ayah kedua gadis


tersebut merasa sayang untuk menolaknya menjadi menantunya.
Dalam novel tersebut juga dikemukakan bahwa keluarga Tewe
raut sangat bangga anak gadisnya dinikahi oleh Akaptis, seorang
Kepala Kampung, yang memberikan mas kawin cukup banyak. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai seorang laki-laki dalam masyarakat
Asmat, Papua, ditentukan oleh peran sosialnya dan kekayaan yang
dimilikinya.
3. Simpulan
Dari pembahasan di atas tampak bahwa tradisi kawin
paksa yang digambarkan dalam sejumlah novel tersebut yang
merepresentasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat di
Indonesia menunjukkan masih kuatnya dominasi patriarkat yang
terwujud dalam pembatasan ruang gerak kaum perempuan,
terutama untuk melanjutkan sekolah dan kebebasan memilih
jodoh. Dalam sejumlah novel yang dikaji tampak adanya upaya
untuk mengritisi dan menunjukkan akibat buruk dari tradisi
tersebut yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan yang telah
mendapatkan pendidikan. Hal ini muncul karena di samping tradisi
tersebut tidak sesuai dengan gagasan nilai-nilai modernitas yang
menjunjung tinggi hak-hak individual, juga tidak sesuai dengan
asas kesetaraan gender.

C. Rangkuman
Kawin paksa dalam novel-novel yang dikaji menunjukkan
adanya kekuasaan patriakat yang membelengu kaum perempuan.
Oleh karena itu, novel-novel tersebut melakukan kritik terhadap

250

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

tradisi itu. Dari perspektif kritik sastra feminis, maka kritik, perla
wanan, dan perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah
novel yang dikaji tersebut menunjukkan adanya perlawanan
terhadap ketidakadilan gender yang membelenggu kebebasan
kaum perempuan, terutama dalam pemilihan jodoh. Beberapa
tokoh perempuan yang telah mengenyam pendidikan, dengan
dukungan tokoh-tokoh laki-laki dalam novel tersebut tampak
menyuarakan semangat feminisme, khususnya feminisme liberal
yang memberikan hak dan kebebasan kepada kaum perempuan
memilih pasangan hidupnya.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah sejumlah novel yang dikaji dalam materi pembelajaran
di atas!
2. Buatlah rangkuman yang menguraikan bagaimana kaum
perempuan dalam sejumlah novel yang dikaji berjuang dalam
melawan tradisi kawin paksa!

BAB XII
PERLAWANAN TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini,
diharapkan mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami masalah perlawanan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam novel-novel
Indonesia.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

ekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan


oleh suami terhadap istri ditemukan dalam novel Azab dan

Sengsara dan Perempuan Berkalung Sorban. Sebelum diuraikan


adanya kejadian KDRT yang terepresentasikan dalam sejumlah
novel yang dikaji dan bagaimana KDRT tersebut ditentang/dila
wan dalam novel-novel tersebut, terlebih dahulu diuraikan
pengertian dan jenis-jenis KDRT agar mendapatkan pemahaman
251

252

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

yang lebih jelas. Kekerasan terhadap perempuan seperti


dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual,
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi
(ranah privat), maupun negara (pasal 1 dan 2) (Luhulima, Ed.
2007: 160). Selanjutnya, dalam pasal 2 undang-undang tersebut
dikemukakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup
tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi
dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual
atas anak-anak perempuan dalam keluarga, termasuk kekerasan
yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perka
winan, perusakan alat kelamin perempuan, dan praktik-praktik
kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di
luar hubungan suami istri, dan kekerasan yang berhubungan
dengan eksploitasi. Di samping itu, dalam pasal 2 tersebut juga
dikemukakan bahwa kekerasan terhadap perempuan menca
kup kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam
masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, di lembagalembaga pendidikan dan di mana pun, perdagangan perempuan
dan pelacuran paksa (Luhulima, Ed. 2007: 160161).
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut UndangUndang PKDRT (2004) adalah setiap perbuatan terhadap sese

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

253

orang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsa


raan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1).
Dalam undang-undang tersebut (pasal 2 ayat 1) dikemukakan
bahwa lingkup rumah tangga meliputi suami, isteri, dan anak
(termasuk anak angkat dan anak tiri); orang-orang yang mem
punyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
(mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga ter
sebut (Pekerja Rumah Tangga).
Pada umumnya, kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh
suami dengan korban istri dan anak-anaknya. Kekerasan seperti
ini dikenal dengan istilah kekerasan berbasis gender (gender based
violence) karena prosesnya sebagian disebabkan oleh status gender
perempuan yang tersubordinasi dalam masyarakat (Subono,
2001: 61). Karena pelaku dan korban memiliki hubungan keluarga
akibatnya korban biasanya enggan atau tidak melaporkan kejadian
tersebut, bahkan, menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam
rumah tangga atau tidak tahu harus ke mana melapor.
Menurut Undang-Undang PKDRT (pasal 5), pola kekerasan
dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat (pasal 6). Kekerasan psikis adalah per

254

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

buatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya


diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Ke
kerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksu
al dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): a) Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut, b) Pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantung
an ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
2. Perlawanan Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
dalam Novel-novel Indonesia
Dalam novel Azab dan Sengsara digambarkan Mariamin
telah melakukan perlawanan terhadap KDRT yang dilakukan
suaminya. Dalam hubungannya dengan masalah KDRT, novel ini
menunjukkan sikap yang tegas bagaimana sebuah KDRT harus di

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

255

tangani seperti ditunjukkan oleh Mariamin. Setelah menikah de


ngan Kasibun dan tinggal di Medan, Mariamin baru mengetahui
kalau suaminya ternyata mengidap penyakit kelamin. Oleh karena
itu, untuk menghindari tertularnya penyakit tersebut Mariamin
mencoba untuk menolak melayani hubungan seksual dengan su
aminya. Akibatnya, dia pun dianiaya oleh suaminya yang memiliki
keyakinan bahwa tidak sepantasnya seorang istri menolak mela
yani suaminya sebab dengan adanya pernikahan tersebut seorang
istri dianggap sebagai milik suami.
Selamanya tiadakah engkau tahu, bahwa aku lakimu?
Engkau kubeli, karena itu harus menurut kehendakku!
Sebenarnyalah yang demikian itu. Saya menolak
kehendak tuan, bukan dengan maksud yang salah, hanya
menghindarkan celaka.
Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara
mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu
tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya
saja, kadang-kadang dipukulinya, disiksainya
(Siregar, 1996: 158)

Setelah mengalami KDRT, Mariamin melaporkan
perbuatan suaminya ke polisi. Polisi pun kemudian meme
riksa kasus tersebut dan berakhir dengan hukuman terhadap
Kasibun, yaitu harus didenda dua puluh lima rupiah dan per
kawinan mereka pun diputus.
Di hadapan kantor polisi itu berhenti kereta itu. Mariamin
turun lalu berjalan ke dalam, sedikit pun tak segan atau takut
perempuan yang muda itu. Dari pakaian Mariamin tahulah
ia bahwa Mariamin orang Batak, seorang bangsanya. Polisi
itu membawanya ke hadapan mantri polisi. Mariamin pun

256

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu. Perkara


diperiksa, si laki yang ganas itu dipanggil. Selama perkara be
lum diputus, Mariamin pun disuruh tinggal di rumah penghulu,
karena seorang pun tak ada kenalannya.
Akan tetapi apakah hukuman yang diterima laki-laki yang
bengis itu? Tiada lain daripada denda dua puluh lima rupiah
dan perkawinan mereka itu diputus.
(Siregar, 1996: 159)

Keberanian Mariamin untuk menolak melayani hubungan


seksual suaminya untuk menghindari tertularnya penyakit kela
min dan melaporkan penganiayaan suaminya kepada polisi ber
hubungan dengan pendidikan yang pernah diperolehnya. Sebagai
perempuan terdidik Mariamin memiliki kesadaran tentang eksis
tensi dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, terutama
suaminya. Ketika dalam hubungan tersebut dia mengalami ke
tidakadilan, perlawanan pun dilakukannya. Dalam Perempuan
Berkalung Sorban, tokoh Anisa mengalami kekerasan fisik yang
dilakukan oleh suaminya sendiri. Anisa adalah gambaran seorang
anak perempuan yang menjadi korban dominasi patriarkat. Dalam
usia sangat muda (belum lulus SMP) dia sudah dijodohkan dan
dinikahkan dengan seorang pemuda yang belum pernah dikenal
nya, anak sahabat ayahnya. Ternyata suami Anisa yang seorang
penganggur yang mendapat subsidi keuangan dari orang tuanya
memiliki perangai yang kasar.
Plak! Plak! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga
pipi dan leherku lebam kebiru-biruan. Untuk pertama kali,
kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai. Bu

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

257

nyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat Kalsum


curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin
membentaknya
(Khalieqy, 2001: 131)

Dia memcekik leherku, menampar mukaku dan men
jambak rambutku. Lalu sebelum ia pergi, ia meludahi wajahku
berkali-kali sambil mengeluarkan kata makian tujuh turunan
(Khalieqy, 2001: 169)

Di samping mengalami kekerasan fisik, tokoh Anisa dalam


Perempuan Berkalung Sorban juga mengalami kekerasan seksual.
Dalam berhubungan seksual dengan istrinya Samsudin selalu
melakukan kekerasan, tidak pernah melakukannya secara wajar
dengan persetujuan istrinya.
Ia membuang puntung rokok dan serta merta, di luar
perkiraanku, laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku
dalam gendongannya, membawanya ke kamar dan menidurkanku
kemudian menyetubuhiku dengan paksa. Aku meronta kesakitan
tetapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama
semakin berlipat-lipat. Matanya mendelik ke wajahku, kedua
tangannya mencengkeram bahuku sekaligus menekan kedua
tanganku dan tubuhnya memberati seluruh tubuhku untuk
kemudian semuanya menjadi tak tertahankan. Aku berteriak
menderita dan menuding mukanya dengan putus asa.
Kau memperkosaku, Samsudin! Kau telah mem
perkosaku!
Merperkosa? Ha ha. Ha,
(Khalieqy, 2001: 9899)

258

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Ia tak peduli dan mungkin tak bisa untuk melepas


pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak merasakan
apa pun di malam pertama itu kecuali kesakitan, rintihan dan
juga ketakutan. Ketika malam pertama itu sudah usai, aku
melihat senyumnya menyeringai puas dan buas di antara
tangisku. Kututup wajahku dengan bantal dan ia merebutnya.
Mengapa? tanyanya bodoh.
Aku menggeleng hendak lari ke luar. Segera ia me
nangkapku dan menidurkanku untuk dicumbuinya kembali
tanpa menghiraukan perasaan dan kondisiku yang lemas,
takut dan pusing kepala. Untuk kedua kalinya di malam itu,
ia menyetubuhiku dengan sisa-sisa tenanganya hingga nyeri
kemaluanku menjalar ke dalam perut bersama rasa sakit dan
mual yang tak terkira. Tetapi hatiku, pikiran dan jiwaku lebih
nyeri lagi dari semua itu
(Khalieqy, 2001: 108109)

Beberapa data tersebut menunjukkan bagaimana perilaku suami


yang selalu melakukan tindakan kekerasan dalam berhubungan
dengan istrinya. Karena selalu mendapat kekerasan dari suaminya,
pada akhirnya Anisa melaporkan perbuatan tersebut kepada saudara
dan orang tuanya. Orang tuanya pun kemudian mengambil alih
masalah tersebut dengan menceraikan Anisa dengan suaminya.
Perceraian ini ditempuh juga sebagai bentuk permohonan maaf dari
kedua orang tuanya yang telah memaksa menikahkannya dengan
laki-laki yang belum dikenalnya, dalam usia yang masih sangat muda.
Selain kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri, juga
terdapat kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh anak,
terutama anak perempuan. Dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban dan Geni Jora, terdapat gagasan perlawanan terhadap

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

259

kekerasan terhadap anak perempuan, yang dilakukan oleh orang


tua dalam lingkup keluarga. Kekerasan tersebut terjadi karena
dalam kultur patriarkat orang tua, terutama laki-laki dalam posisi
yang dominan. Dalam perspektif feminisme, kekerasan terhadap
anak, sama halnya kekerasan dalam rumah tangga dianggap
sebagai salah satu wujud dominasi patriarkat yang harus ditentang
karena menunjukkan adanya ketidakadilan gender.
Dalam Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora kekerasan
dialami oleh seorang anak perempuan bernama Anisa dan Kejora.
Melalui tokoh Kejora (Geni Jora) digambarkan adanya perjuangan
seorang anak dalam menghadapi kekerasan berbasis gender yang
dilakukan oleh neneknya. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
Dari atas kursinya, nenekku mulai ceramah. Bahwa
perempuan harus selalu mengalah. Jika perempuan tidak
mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti
pecahan kaca. Sebab tidak ada laki-laki yang mau mengalah. Lakilaki selalu ingin menang dan menguasai kemenangan. Sebab itu
perempuan harus siap me-nga-lah (pakai awalan me).
Jadi selama ini Nenek selalu mengalah?
Itulah yang harus Nenek lakukan, Cucu.
Pantas Nenek tidak pernah diperhitungkan.
Diperhitungkan? Nenek melonjak.
Ini kan nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai
Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama
di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu,
kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.
Tidak! Aku tidak mau mendengar kata-katamu, Nenek
jahat!
Aku melengking histeris. Kala itu usiaku sembilan tahun,

260

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

duduk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan


luka di hatiku. Dan luka itu terus menganga, setiap waktu.
(Khalieqy, 2003: 6162)

Kutipan tersebut menunjukkan adanya kekerasan berbasis


gender yang dilakukan oleh nenek, yang mewakili generasi tua
yang patriarkis yang tidak mau menghargai prestasi yang dicapai
oleh seorang anak perempuan. Bagi seorang cucu perempuan,
kata-kata yang dilontarkan nenek tersebut sangat menyakitkan,
karena di samping tidak mau menghargai prestasi perempuan,
nenek juga sangat diskriminatif terhadap cucunya. Dia lebih
menghargai cucu laki-lakinya, karena di masyarakat posisi cucu
perempuan dimarginalkan dan tidak diperhitungkan.
Sikap

nenek

yang

diskriminatif

dan

memarginalkan

perempuan tersebut menyakiti Kejora. Hal tersebut mendorong


Kejora untuk melakukan perlawanan dengan selalu belajar dan
meningkatkan prestasinya, sehingga mitos tentang keunggulan
laki-laki dibandingkan perempuan harus ditumbangkan.
Dengan memberiku nama Kejora, sejak dini aku telah
dipersiapkan menjadi seorang bintang...
Kubuka seratus halaman, seribu, sejuta, bahkan semilyar
halaman dari buku-buku dunia, kitab-kitab abadi dan pidatopidato, kuliah para guru, para ustaz dan para dosen. Sebagai
murid, sebagai santriwati, sebagai mahasiswi, aku duduk
menghadapi mereka satu persatu, kupasang pendengaran dan
kupusatkan penglihatan. Kuserap pengetahuan dengan otak
dan fuad-ku. Kukunyah ilmu untuk memenuhi gizi pertumban
kehidupanku. Maka aku berdiri kini, di hadapanmu, ustadzku.
(Khalieqy, 2003: 32)

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

261

Dalam rangka menjatuhkan mitos nenekku, telah


kunikmati rangkaian piala berjajar-jajar dalam setiap fase
kehidupan. Tak ada senoktah pun yang membekas dari
mitos-mitos nyinyir yang usang dan lapuk. Tentang pe
rempuan sebagai tong sampah dari kelelahan, ketertindasan,
kelemahan, kebodohan, ketidakberdayaan. Ditentang kedua
mata belokku yang garang, semuanya menguap kini. Dan inilah
fase kedua dari hidup yang bergairah. Hidup di alam merdeka.
Ketika pemberontakan telah sampai puncaknya.
Tak ada yang sia-sia dari pemberontakan. Dan tak ada
yang langgeng dari ketidakadilan. Ia selalu melahirkan para
pemberontak dengan beragam modelnya. Dan menurutku,
menggerus ketidakadilan adalah dengan cermin yang dipajang
di muka sang protagonis.
(Khalieqy, 2003: 215).

Dari data-data tersebut tampak bagaimana seorang perem


puan (Kejora) telah mengalami kekerasan psikologis berbasis
gender dari neneknya dan melakukan perlawanan terhadapnya.
Perlawanan yang dilakukan Kejora, antara lain sesuai dengan
pandangan feminis Islam yang mempertanyakan anggapan bahwa
perempuan kurang akal dan agamanya bila dibandingkan dengan
laki-laki. Anggapan tersebut bermula dari sebuah hadis, yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
Dari Abu Said Al-Khudry r.a. ia berkata, Rasulullah
berangkat ke tempat salat pada hari Idul Adha atau Idul
Fitri dan berjumpa dengan para wanita. Beliau bersabda,
Wahai para wanita, adakah kamu membenarkan, aku
memberitahukan padamu kebanyakan kamu sekalian adalah

262

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

ahli neraka. Mengapa demikian wahai Rasulullah? Rasul


menjawab, Kamu sekalian banyak berbuat laknat (perbuatan
yang dibenci) dan banyak ingkar terhadap jamaah (keras
kepala), aku tidak pernah melihat wanita yang kurang akal
dan agamanya yang lebih mampu meluluhkan hati lelaki yang
perkasa daripada salah seorang yang di antara kamu. Mereka
bertanya, Di mana letak kurang agama dan akal kami, ya
Rasul? Nabi bersabda, Itulah kekurangan akalnya. Bukankah
bila wanita sedang haid, mereka tidak salat dan tidak puasa?
Mereka berkata, Betul. Rasul bersabda, Begitulah keku
rangan agamanya.
(H.R. Bukhari)

Hadis tersebut telah menjadi bahan kajian di lingkungan feminis


Islam, antara lain di Pusat Studi Gender IAIN Walisongo, Semarang
dan Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berdasarkan
kajian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Gender IAIN Walisongo,
Semarang yang selanjutnya dipublikasikan dalam Perempuan
Kurang Akal dan Kurang Agamanya? (Mujibatun, dalam Sukri,
2002: 4352) dan Kodrat Perempuan: Kurang Akal dan Agama?
(Ilyas dalam Sodik dan Rahmaniyah, 2003: 3348). Menurut kedua
kajian tersebut, hadis tersebut harus dihami dalam konteks sosial
historis turunnya sabda Rasulullah dan tidak dapat diberlakukan
dalam kondisi umum. Pada saat itu, Nabi s.a.w. memberi peringatan
kepada para perempuan pada hari raya, dan mustahil bertujuan
untuk merendahkan kemuliaan perempuan, agar tidak melakukan
perbuatan yang dilaknat dan dibenci orang. Dialog Nabi s.a.w saat
itu terjadi di salah satu jalan di Madinah, yang pada saat itu biasa
digunakan kaum laki-laki dan perempuan kongkow-kongkow
atau ngerumpi. Oleh karena itu, nabi memberikan peringatan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

263

kepada kaum perempuan, agar tidak melakukan hal tersebut,


apalagi menggunjing orang yang lewat atau tetangga dan kawankawannya (Ilyas, 2003: 5647). Selain itu, pada waktu itu yang
diajak berbicara oleh Rasulullah adalah sekelompok perempuan
Madinah yang sebagian besar dari kalangan Anshar yang dinilai
oleh Umar bin Khattab yang kurang menghormati suami, seperti
dikemukakan Umar sebagai berikut, Ketika kami datang kepada
orang-orang Anshar, tiba-tiba kami dapati mereka adalah kaum
yang didominasi oleh istri-istri mereka. Maka istri-istri kami lalu
mengikuti perempuan Anshar. Hal itulah yang melatarbelakangi
sabda Rasulullah seperti tersebut di atas (Mujibatun, dalam Sukri,
2002: 47). Dengan demikian hadis tersebut bukanlah mengandung
kalimat penegasan suatu kaidah yang berlaku umum atau hukum
umum, melainkan sebagai pernyataan yang terkait dengan kondisi
yang terjadi dalam masyarakat Madinah pada saat itu (Mujibatun,
dalam Sukri, 2002: 47). Selanjutnya, berkaitan dengan posisi
perempuan dalam kesaksian dalam hubungannya dengan akal
perempuan, bukan berarti akal perempuan lebih rendah dari lakilaki, tetapi karena pada saat itu, perempuan tidak mendapatkan
kesempatan untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan
agama sebagaimana laki-laki (Mujibatun, dalam Sukri, 2002:48).
Selain kekerasan psikologis yang dialami oleh Kejora,
dalam novel Geni Jora juga digambarkan tokoh Bianglala (kakak
Kejora) mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh kedua
pamannya, yang tinggal satu rumah dengan mereka.
Masih jelas dalam ingatanku, sehabis main badminton,
kulihat kedua pamanku yang masih bersimbah peluh tengah

264

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

mengajak ngobrol Lola di atas kursi panjang di samping


lapangan badminton. Sore itu, senja hampir turun, tetapi
pandanganku masih terlalu jelas untuk mengintip tangan
pamanku Hasan yang memegang pundak Lola dan secepat kilat
Lola menepiskannya. Kulihat paman mengucapkan sesuatu
dan Lola menggeleng. Paman bangkit berdiri di belakang Lola,
tetapi tangannya menjulur cepat ke arah payudaranya. Lola
tersentak tetapi paman Khalil di sampingnya malah terbahak.
(Khalieqy, 2003: 68).
Peristiwa itu akan terulang kembali. Agaknya ia tidak
pernah menyerah, gumam Lola.
Peristiwa yang mana maksudmu, Kak.
Kalau tidak ada Wak Tiwar sore itu, pasti ia telah
memperkosaku.
Aku tersentak.
Ia juga hendak memperkosamu? Di mana Kak?
Di samping kolam ikan. Saat aku baru saja keluar dan naik
dari berenang. Ia mendekapku dari belakang. Tiba-tiba Wak
Tiwar berdehem-dehem sambil membawa cangkul di bawah
pohon pisang emas.
Kau tidak pernah menceritakannya padaku?
Sebab, mulutku mau muntah setiap menyebut namanya
(Khalieqy, 2003: 8788)

Berbeda dengan tokoh Kejora, yang selalu berani melawan


setiap kekerasan yang dialaminya, kakaknya, Bianglala tidak
berani melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pamannya, karena kawatir orang tuanya tidak mempercayainya.
Hal ini menunjukkan betapa kuat kultur patriarkat melekat dalam

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

265

masyarakat. Kultur tersebut melegitimasi bahwa laki-laki superi


or, sementara perempuan selalu inferior sehingga selalu menjadi
korban.
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, juga terdapat
kekerasan terhadap anak yang dialami oleh tokoh Anisa, yang
dilakukan oleh ayahnya. Ayah digambarkan sebagai figur laki-laki
yang bias gender dalam memperlakukan anak perempuannya
berbeda dengan anak laki-lakinya.
Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau bocah wedok?
Iya. Memangnya kenapa, Pak? Tidak boleh? Kak Rizal
juga belajar naik kuda.
Ow owow jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan
padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu
Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini
anak perempuan, Nisa.
(Alkhalieqy, 2001: 6)

Di samping diskriminatif terhadap anak perempuannya, ayah


juga melakukan kekerasan dalam bentuk paksaan menikah kepada
anak perempuannya yang masih berada dalam usia sekolah (baru
lulus sekolah dasar, usia kurang lebih 13 tahun). Penderitaan tokoh
Anisa makin nyata ketika laki-laki tak dikenal yang dinikahkan
dengannya ternyata memiliki watak yang kejam (Khalieqy, 2001:
106). Dalam konteks Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA No
23/2003), khususnya pasal 26, perbuatan ayah tersebut tidak dapat
dibenarkan. Sebab sebagai orang tua ayah seharusnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak

266

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah


terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Kekerasan yang dilakukan oleh nenek dan pamanya terha
dap Kejora dan Bilanglala, di samping menunjukkan adanya
ketidakadilan gender, juga melanggar hak asasi anak, yang
seharusnya mendapatkan perlindungan dan asuhan dari orang
tua mereka. Sebagaimana dikemukakan dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU No 23 tahun 2002 (23/2002), misalnya
pasal 4 yang mengemukakan bahwa setiap anak berhak untuk
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Apa
yang dilakukan oleh nenek dan paman dalam novel tersebut
tampak bertentangan dengan makna pasal 4 UUPA. Selanjutnya,
dalam pasal 13 juga dikemukakan bahwa setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: a) diskriminasi; b) eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual; c) penelantaran; d) kekejaman, keke
rasan, dan penganiayaan; e) ketidakadilan; dan f) perlakuan salah
lainnya. Apabila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
tersebut, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Perbuatan nenek dan paman terhadap Kejora dan Bianglala
dalam kutipan di atas secara jelas melanggar pasal 4 dan 12 UUPA.
Nenek telah melakukan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap
Kejora. Pandangan nenek yang patriarkis, telah menyebabkannya
dirinya diskriminatif dan tidak adil dalam melihat prestasi yang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

267

dicapai oleh cucunya. Nenek hanya mau menghargai prestasi


yang dicapai oleh cucu laki-lakinya, bukan cucu perempuannya.
Perbuatan paman yang melakukan pelecehan seksual terhadap
keponakannya masuk dalam kategori kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan terhadap anak yang seharusnya dilindungi dan
diasuhnya.
Adanya gambaran perlawanan terhadap kekerasan yang di
alami oleh anak perempuan dalam novel Geni Jora dan Perempuan
Berkalung Sorban menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak
perempuan merupakan perbuatan yang melanggar keadilan, ke
setaraan gender, dan hak asasi anak. Kekerasan tersebut harus
diakhiri agar anak perempuan dapat hidup, tumbuh, berkem
bang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari keke
rasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, sebagaimana anakanak pada umumnya.
3. Simpulan
Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang digambarkan
dalam novel-novel yang dikaji menunjukkan adanya anggapan
dalam masyarakat patriarkat yang mengunggulkan kaum lakilaki di atas kaum perempuan, baik dalam posisinya sebagai istri
maupun anak, telah menyebabkan marginalisasi perempuan
yang sering kali berakibat pada adanya bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis. Dengan semangat
feminisme yang menginginkan adanya kesetaraan gender, maka
novel yang dikaji menunjukkan adanya perlawanan terhadap

268

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Pelaku


tindak kekerasan harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan
mendapatkan hukuman. Korban harus berusaha untuk mengakhiri
adanya tindak kekerasan, misalnya dengan mengajukan gugatan
perceraian yang akan memisahkan hubungan antara korban dan
pelaku.

C. Rangkuman
Dari pembahasan di atas tampak bahwa budaya pariarkat
yang mengunggulkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan, baik
dalam posisinya sebagai istri maupun anak, telah menyebabkan
marginalisasi perempuan yang sering kali berakibat pada adanya
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun
psikis. Feminisme, yang menginginkan adanya kesetaraan gender
mendorong kaum perempuan untuk melakukan perlawanan,
seperti telah diuraikan dalam bab ini.

D. Latihan dan Tugas


1. Jelaskan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
mungkin dialami oleh kaum perempuan dalam sejumlah
novel yang telah dikaji dalam bab ini!
2. Jelaskan bagaimana bentuk-bentuk perlawanan terhadap
kekerasan dalam rumah tangga yang mungkin dialami oleh
kaum perempuan dalam sejumlah novel yang telah dikaji
dalam bab ini!

BAB XIII
PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN
DI BIDANG PENDIDIKAN
DAN KESEHATAN DI DAERAH
TERPENCIL DALAM NOVEL
NAMAKU TEWERAUT KARYA ANI
SEKARNINGSIH

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman terhadap aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami fenomena perjuangan
kaum perempuan di bidang pendidikan dan kesehatan di daerah
terpencil yang terefleksikan dalam novel Namaku Teweraut.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

endidikan dan kesehatan masyarakat daerah terpencil telah


menjadi perhatian dalam sejumlah novel Indonesia. Hal

ini karena di samping lokasi geografis yang jauh dari ibu kota
provinsi maupun pemerintah pusat, di beberapa daerah tersebut

269

270

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

kesenjangan gender masih sangat kental. Akibatnya, kaum


perempuan terabaikan dalam mendapatkan akses pendidikan
maupun layanan kesehatan. Kajian berikut ini menguraikan
bagaimana kaum perempuan dalam sejumlah novel Indonesia
telah ikut berjuang di bidang pendidikan dan kesehatan daerah
terpencil.
2. Perjuangan Perempuan di Bidang Pendidikan di Daerah
Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut
Perjuangan untuk mendapatkan pendidikan lanjutan juga
dilakukan oleh Teweraut. Dalam konteks masyarakat Asmat (Papua)
yang masih terisolasi yang sebagian besar masyarakatnya masih jauh
dari pendidikan, untuk mendapatkan pendidikan lanjutan seorang
perempuan harus berjuang. Untuk memberikan kesempatan kepada
anak perempuannya menempuh pendidikan formal Cipcowut (ibu
Teweraut) harus berdebat dengan saudara-saudaranya karena dalam
masyarakat mereka mengirim anak ke sekolah, terlebih perempuan,
adalah tabu (Sekarningsih, 2006: 1112).
Novel Namaku Teweraut berlatar waktu masa Orde Baru ke
tika presiden Indonesia dijabat Suharto dan Ketua MPR/DPR RI
dijabat oleh Kharis Suhut (Sekarningsih, 2000: 15). Dalam novel
tersebut digambarkan sejumlah tokoh perempuan dari Jawa dan
Jakarta yang datang ke Asmat untuk bekerja sebagai guru, dok
ter, juga aktivis sosial seperti Mama Rin, Bert, dan teman-teman
nya. Dalam hal ini kehadiran tokoh perempuan dari Jakarta dalam
novel Namaku Teweraut, Mama Rinyang begitu dikagumi Tewe
rautyang kemudian mengajak dan mendampingi kelompok ke
senian Asmat untuk melawat ke luar negeri (Inggris dan Amerika)

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

271

menunjukkan ada kepedulian aktivis perempuan untuk membawa


Asmat ke luar dari dunianya dan mengenal dunia lain di luar Papua.
Kondisi Asmat yang terbelakang juga tampak dari deskripsi berikut,
yang merupakan dialog antara mama Rin dengan Ibu Alek Cia.
Di Jakarta saya kan bertemu bapak-bapak dari Asmat.
Rombongan pengukir. Mereka sudah banyak cerita. Timbul
minat saya. Seperti apa sih Asmat itu? Katanya daerahnya
seluas propinsi Lampung, tapi penduduknya sedikit. Datang ke
tempat ini juga susah. Angka kematian penduduk masih tinggi,
namum dokter Puskesmas lebih sering berada di kabupaten
atau dipanggil ke propoinsi. Ada mantri kesehatan yang
berdedikasi puluhan tahun, namun tetap saja menjadi tenaga
honorer dan pengangkatannya diabaikan. Begitu juga kebe
radaan sekolah-sekolah. Ada bangunan, tapi tidak ada gurunya.
Kalaupun ada jumlahnya kurang memadai, dan gurunya sering
mangkir karena harus memangkur sendiri dan bertanam atau
usaha lain untuk makan, karena gajinya terlambat berbulanbulan. Benarkah hidup di sini amat sulit.
(Sekarningsih, 2006: 17)

Kondisi Asmat tersebutlah yang mendorong Mama Rin


datang ke Asmat hingga akhirnya bertemu dengan Teweraut dan
mendampingi kelompok kesenian Asmat melakukan lawatan
budaya sampai ke Amerika.
Dalam novel Namaku Teweraut digambarkan sosok Mama
Rin sebagai motivator pendidikan perempuan di Asmat. Dalam
diskusinya dengan Teweraut, Mama Rin mengemukakan penting
nya pendidikan bagi perempuan.

272

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Dalam tanganmu,tergenggam kekuatan kemauan itu.


Kemampuan untuk menegakkan kedisiplinan dalam bersikap,
berpikir, menumbuhkan etos kerja. Kamu harus menggembala
anak-anakmu mendapat pendidikan agar mampu menjawab
tantangan zaman. Kuncinya cuma ada padamu. Kamu harus
belajar dan berusaha mengembangkan diri
Kalau wanita selalu siap mencerdaskan diri, ia juga mampu
memberikan kecerdasan pada anak-anaknya. Intinya cuma
kesabaran dan ketekunan menimba pengetahuan-pengetahuan
pendukung untuk mendidik. Wanita sudah ditakdirkan untuk
sepanjang hidupnya belajar pada setiap perubahan
(Sekarninsih, 2006: 271)

Dari kutipan tersebut tampak sosok Mama Rin sebagai pe


rempuan dari Jawa yang datang ke Papua, khususnya Asmat untuk
memberikan pendidikan nonformal kepada perempuan Asmat yang
masih terabaikan. Pandangan tokoh Mama Rin yang disampaikan
kepada Teweraut bahwa perempuan memiliki otonomi untuk
mengembangkan potensi dirinya yang berupa kemampuan untuk
menegakkan kedisiplinan dalam bersikap, berpikir, menumbuhkan
etos kerja, yang akan berguna bagi pengembangan tugasnya sebagai
orang yang harus mencerdaskan anak-anaknya, menunjukkan
pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam novel tersebut
keberadaan Mama Rin dan pandangannya tentang pentingnya
pendidikan bagi perempuan Asmat tampak mewakili kepeduli
an penulis novel terhadap suku Asmat yang selama ini cenderung
diabaikan dari proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Dari pembahasan terhadap sosok perempuan sebagai akti
vis lembaga swadaya masyarakat dalam novel Namaku Teweraut
tampak bahwa kaum perempuan juga memiliki perhatian yang

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

273

luar biasa terhadap nasib masyarakat, terutama dari kalangan


kelas bawah dan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Dengan
memberikan pendampingan dan pendidikan kapada masyarakat
kelas bawah dan terpencil tersebut para perempuan ikut berperan
dalam membantu mendidik masyarakat yang membutuhkan.
3. Perjuangan Perempuan di Bidang Kesehatan di Daerah
Terpencil
Pada novel Namaku Teweraut (Sekarningsih, 2006), di samping
digambarkan perempuan dari Jawa yang berperan mendampingi
pendidikan perempuan di Papua (Mama Rin), juga digambarkan
tokoh perempuan yang mengabdikan dirinya sebagai dokter di
Puskesmas (Sita), bidan, dan suster di poliklinik kesehatan biara
(Elisabeth dan Ruth) (Sekarningsih, 2006: 17, 233, 264). Gambaran
perempuan sebagai dokter dan bidan yang mengabdikan dirinya
di pedalaman Asmat tampak dari pengalaman Teweraut berikut.
Aku memeriksakan diri ke Puskesmas. Ternyata dokternya
sudah baru lagi. Seorang wanita. Namanya Dokter Sita. Untuk
pertama kalinya, Puskesmas dipimpin dokter wanita, membuatku
merasa tentram dan lebih berani menjelaskan keluhan sakitku.
Dokter Sita kemudian mengirimku ke bagian kebidanan. Aku
beruntung menikmati pelayanan ibu hamil oleh seorang
bidan; suatu kemewahan yang tak pernah dialami ibuku. Bidan
membenarkan perkiraan Pumu tempo hari. Ia menegaskan aku
memang sudah hamil dua bulan. Lalu menyerahkan bungkusanbungkusan vitamin, serta menasihatiku agar banyak makan ikan.
Agar anakmu lahir cerdas, kata bidan itu, tersenyum manis
sambil menyerahkan bungkusan vitamin. Aku mengangguk
kepala membalasnya tersenyum.
(Sekarningsih, 2006: 166)

274

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Pada kutipan tersebut tampak adanya ungkapan untuk


pertama kalinya, Puskesmas dipimpin dokter wanita, yang me
nunjukkan bahwa selama ini di Asmat (Papua) kepala Puskesmas
dipimpin oleh dokter laki-laki. Perempuan sebagai pimpinan
Puskesmas di Asmat merupakan fenomena baru. Di samping itu,
pada kutipan tersebut juga terungkap bahwa kesadaran perempu
an Asmat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di lembaga
kesehatan seperti Puskesmas, masih langka. Ibu hamil pada
umumnya ditangani oleh para dukun, seperti Pumu.
Di samping itu, peran para perempuan yang bekerja di bidang
kesehatan tersebut juga tampak dari aktivitas Teweraut, yang
setelah suaminya meninggal, bekerja sebagai pembantu di poliklinik
biara di dekat landasan pacu lapangan terbang. Teweraut memiliki
tugas menyapu, menggodok peralatan kesehatan, menyiapkan
wadah obat-obatan di poliklinik dan melayani keperluan Suster
Elishabeth selama menerima pasien (Sekarningsih, 2006: 264).
Aktivitas para perempuan di bidang kesehatan juga tampak
dari kegiatan Suster Elisabeth dan Suster Ruth yang didampingi
oleh Ibu Camat (istri camat), seorang pengemudi dan asisten
berkeliling kampung (misalnya ke kampung Bariten) untuk mem
beri pelayanan kesehatan dan penyuluhan membuat ikan asin
pada ibu-ibu rumah tangga (Sekarningsih, 2006: 264). Pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat daerah terpencil di Asmat dengan
sistem safari seperti yang dilakukan oleh para suster tersebut
merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi
jumlah angka kematian penduduk Papua yang masih tinggi,
termasuk kematian ibu yang melahirkan.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

275

Tingginya angka kematian ibu melahirkan di Asmat berkait


an dengan tradisi yang ada di masyarakat yang mengharuskan
perempuan yang hendak melahirkan dijauhkan dari permukiman.
Menjelang melahirkan bayinya seorang perempuan Asmat harus
tinggal di pondok darurat di hutan. Hal ini karena suku tersebut
memiliki keyakinan agar najis persalinan tidak mengundang ben
cana di dalam dusun. Di samping itu, selama sang istri menjalani
masa nifas seorang suami harus menjauhi istrinya agar terhindar
dari bencana. Sementara itu, sang suami pergi ke hutan keramat
untuk memohon pada para leluhur bagi keselamatan istri dan
bayinya (Sekarningsih, 2006: 4). Menjelang melahirkan anaknya
Teweraut juga harus menjalani tradisi tersebut. Namun, karena
posisi bayi dalam kandungan Teweraut melintang, dia gagal me
lahirkan di hutan dengan dibantu oleh ibunya. Akhirnya, Tewe
raut meminta kepada ibunya agar dia dibawa ke Puskesmas
(Sekarningsih, 2006: 280). Dokter Sita di Puskesmas tidak mampu
menolongnya dengan proses melahirkan normal sehingga pada
akhirnya Teweraut meninggal dunia (Sekarningsih, 2006: 284).
Gambaran tersebut di samping menunjukkan peran kaum perem
puan di bidang kesehatan di daerah terpencil juga menunjukkan
betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh para dokter
Puskesmas di daerah terpencil seperti di Asmat ketika menghadapi
kasus-kasus persalinan sulit yang hanya dapat diatasi dengan tin
dakan operasi dan membutuhkan peralatan medis yang memadai.
Dengan menggambarkan peran para perempuan di bidang
kesehatan novel Namaku Teweraut menunjukkan bahwa para
perempuan terdidik telah mengabdikan dirinya sebagai tenaga
medis, baik sebagai dokter, perawat maupun bidan di daerah

276

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

terpencil. Tanggung jawab dan idealisme kemanusiaan telah men


dorong mereka untuk menjalani profesinya tersebut meskipun di
tempat yang terpencil dengan berbagai masalah yang berat.
Sejumlah tokoh perempuan dalam novel Namaku Teweraut
menunjukkan perannya dalam bidang kesehatan, terutama
kesehatan masyarakat di daerah terpencil seperti Asmat (Papua).
Dalam novel tersebut digambarkan bahwa tradisi masyarakat
yang mengasingkan perempuan yang hendak melahirkan ke te
ngah hutan menjadi salah satu penyebab tingginya kematian ibu
dan bayi. Hal itu karena proses melahirkan yang dialami Teweraut
yang seharusnya membutuhkan bantuan justru sebaliknya malah
diasingkan. Kenyataan serupa itu sangat berpotensi bagi terjadi
nya kematian ibu dan bayinya. Oleh karena itu, para dokter dan
tenaga medis di daerah terpencil seperti Papua memiliki tanggung
jawab yang besar untuk mengatasi masalah tersebut. Kehadiran
para dokter (dr. Sinta) dan bidan perempuan di daerah terpencil
sangat penting untuk mengatasi masalah kesehatan, terutama
kesehatan reproduksi perempuan.
Seperti dikemukakan oleh Susilastuti (1993: 5758) ada tiga
komponen kesehatan reproduksi perempuan, yaitu: 1) maternal
health, kesehatan yang berhubungan dengan melahirkan dan
mempunyai anak, 2) penyakit yang berhubungan dengan saluran
reproduksi (diseases of the reproductive tract), yaitu yang ditular
kan secara seksual (sexually transmitted diseases, dan 3) peng
gunaan alat kontrasepsi. Dalam hal ini kesehatan reproduksi
bukan hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga berhu
bungan dengan rendahnya status perempuan, rendahnya pen
didikan, kemiskinan, buruknya nutrisi, kurangnya akses kepera

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

277

watan sebelum dan sesudah kelahiran, kurangnya akses ke alat


kontrasepsi, hambatan sosial budaya bagi penggunaan kontra
sepsi, kualitas pelayanan kesehatan perempuan yang kurang me
madai (Susilastuti, 1993: 58). Masalah-masalah tersebut sesuai
dengan konteks sosial budaya Asmat (Papua) yang menjadi latar
cerita dalam novel Namaku Teweraut. Oleh karena itu, dengan cara
memberikan pelayanan kesehatan seperti yang dilakukan dr. Sinta
dan penyuluhan kesehatan keliling kampung seperti yang dilakukan
oleh Suster Elisabeth dan Suster Ruth yang didampingi oleh Ibu
Camat (istri camat) (Sekarningsih, 2006: 264) diharapkan dapat
dipecahkan masalah-masalah kesehatan perempuan tersebut.
Secara nyata, berdasarkan hasil survei dari Dinas Kesehatan Provinsi
Papua tahun 2001 diperoleh data angka kematian ibu melahirkan
sebesar 1.071/100.000 kelahiran hidup. Pada 2005 data kematian
ibu melahirkan yang dilaporkan sebanyak 15 ibu dari 3.232 kelahiran
hidup (464 per 100.000 kelahiran hidup) (http://www.depkes.go.id/
en/downloads/profil/merauke/ derajat.txt).
4. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
perempuan sebagai pelopor dan agen bagi tercapainya peru
bahan sosial dari masyarakat yang patriarkat menuju masyarakat
yang senantiasa mempertanyakan adanya ketidakadilan gender
yang terjadi di sektor domestik ataupun publik, khususnya di
bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat daerah terpencil,
novel tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kaum perempuan
telah mendorongnya untuk menyadari keberadaannya sebagai
subjek yang berperan sebagai agen perubahan dalam masya

278

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

rakat. Di bidang pendidikan perempuan telah berjuang untuk


mengkritisi dan mengatasi masalah diskriminatif terhadap pendi
dikan yang diakibatkan oleh ketidakadilan gender. Di bidang kese
hatan perempuan telah menunjukkan perannya dalam mengatasi
masalah kesehatan, terutama untuk menekan angka kematian ibu
melahirkan dan bayi di daerah terpencil, seperti Papua.

C. Rangkuman
Novel Namaku Teweraut ditulis oleh Ani Sekarningsing untuk
menggambarkan kepedualiannnya terhadap nasib perempuan
Asmat, Papua yang belum mendapatkan akses pendidikan dan
layanan kesehatan seperti halnya di daerah lain, terutama di Jawa.
Oleh kerena itu, dengan menggambarkan tokoh-tokoh perempuan
dari Jawa yang berjuang di Asmat dalam bidang pendidikan dan
kesehatan novel tersebut mencoba membukakan mata para
pembaca agar ikut berperan dan memikirkan nasib kaum perempuan
di daerah-daerah terpencil seperti di Papua. Dalam perspektif
feminisme, novel tersebut mencoba membukakan kesadaran
pembaca akan pentingnya memperjuangkan pendidikan dan layanan
kesehatan di daerah terpencil, khususnya yang dapat dinikmati oleh
kaum perempuan yang di daerah tersebut terpinggirkan.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah novel Namaku Teweraut untuk mendapatkan gambaran
mengenai

peran

perempuan

dalam

memperjuangkan

pendidikan dan kesehatan daerah terpencil!


2. Uraikan bagaimana cara kaum perempuan dalam novel tersebut
berjuang di bidang pendidikan dan kesehatan daerah terpencil!

BAB XIV
KETIKA AYU UTAMI DAN ABIDAH
EL KHALIEQY MEMPERSOALKAN
POSISI PEREMPUAN DALAM
NOVEL INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam
bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman mengenai
aplikasi kritik sastra feminis, khususnya dalam memahami
persoalan karya-karya sastra yang mempersoalkan posisi kaum
perempuan dalam konteks budaya patriarkat, dengan mengambil
sampel karya Ayu Utami dan Abidah Al-Klalieqy.

B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan

ritik sastra feminis, yang senantiasa menginginkan adanya


relasi gender yang setara antara lain akan mengkaji masalah

yang berkaitan dengan posisi kaum perempuan dalam ranah


domestik dan publik dalam relasinya dengan kaum laki-laki. Berikut
ini diuraikan kajian kritik sastra feminis yang mempersoalkan posisi
kaum perempuan dalam karya-karya yang ditulis oleh Ayu Utami
279

280

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dan Abidah El-Khalieqy, yang hampir di semua karyanya secara


konsisten mengandung semangat kesetaraan gender. Kajian ini
termasuk aplikasi kritik sastra feminis tipe women as writer karena
menganalisis karya sastrawan perempuan yang mempersoalan
masalah yang berhubungan dengan identitas perempuan.
Walaupun kedua pengarangnya dikenal sebagai feminis dan
karya mereka pun mengekspresikan pemikiran feminisme, namun
keduanya tidak dapat digolongkan dalam aliran feminisme yang
sama. Ayu Utami, seperti tampak pada gagasan yang diekspresikan
dalam karya-karyanya cenderung berpandangan yang sesuai
dengan aliran feminisme radikal, sementara Abidah El-Khalieqy
cenderung penpandangan feminisme Islam. Oleh kerena itu, untuk
memahami karya kedua pengarang tersebut akan digunakan teori
feminisme radikal, untuk karya Ayu Utamidan feminisme Islam
untuk karya Abidah El-Khalieqy.
2. Ayu Utami dan Abidah El Khalieqy dalam Peta Sastra
Indonesia
Di sini, di kota ini, malam hari ia mengikatku pada tempat tidur
dan memberi aku dua pelajaran tentang cinta:
Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan.
Perempuan mengejar-ngejar lelaki adalah sundal.
Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya
pada lelaki yang pantas, dan lelaki akan
menghidupinya dengan hartanya.
Itu namanya perkawinan
(Utami, 2003:120).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

281

Kutipan di atas terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami


(terbit pertama kali April 1989). Novel ini oleh dewan yuri lomba
penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta, yang terdiri dari Sapardi
Djoko Damono, Faruk, dan Ignas Kleden diberi predikat novel
terbaik. Di samping memberikan predikat terhadap novel Saman
sebagai karya terbaik, ketiga yuri tersebut juga telah memberikan
pujiannya, seperti dapat dibaca dalam catatan sampul belakang
novel. Damono mengatakan bahwa Saman memamerkan teknik
komposisi yang sepanjang pengetahuannya belum pernah dicoba
pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain. Faruk
mengatakan bahwa di dalam sejarah sastra Indonesia tak ada novel
yang sekaya ini, yang lebih kaya daripada Para Priyayi-nya Umar
Kayam. Ignas Kleden mengatakan bahwa pada beberapa tempat
yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bercahaya
seperti kristal. Umar Kayam menyatakan, saya kira susah ditandingi
penulis-penulis muda sekarang. Penulis tua pun belum tentu bisa
menandingi dia Pengakuan yang hampir senada juga dilontarkan
Y.B. Mangunwijaya yang menyatakan bahwa novel ini dinikmati
dan berguna sejati hanya bagi pembaca yang dewasa. Bahkan amat
dewasa dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik,
antropologi sosial, dan teristimewa lagi agama dan iman.
Pada kutipan di atas, melalui tokoh Shakhuntala, Ayu Utami
akan mengemukakan pandangan masyarakat yang menganggap
bahwa dalam hubungannya dengan lelaki, perempuan diharapkan
sebagai makhluk yang pasif, menunggu, dan hanya berbuat untuk
melayani laki-laki, yang digambarkan sebagai makhuk yang aktif
dan memberikan kehidupan kepada perempuan. Penempatan
posisi perempuan sebagai second sex ini kemudian dikritisi dengan

282

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

cukup tajam dalam sebagian besar dialog dan monolog tokohtokoh perempuan dalam Saman.
Kemunculan novel Saman sebagai juara pertama lomba
penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1989 tersebut, ternyata
telah memicu munculnya sejumlah penulis perempuan untuk
menulis, menerbitkan, dan mengikuti jejak Ayu Utamu dalam
lomba penulisan novel periode berikutnya. Pada 2003, pemenang
pertama sampai ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenia
Jakarta ditempati oleh tiga orang penulis perempuan, yaitu Abidah
El Khalieqy (Geni Jora), Dewi Sartika (Dadaisme), dan Ratih Kumala
(Tabularasa) sebagai para juara pertama, kedua, dan ketiga. Tiga
orang kritikus bertindak sebagai dewan yuri, yaitu Sapardi Djoko
Damono, Budi Darma, dan Maman S Mahayana.
Kemunculan mereka telah melahirkan berbagai pendapat
dari para kritikus dan pembaca yang menyatakan bahwa masa
depan novel Indonesia akan berada di tangan para penulis
perempuan (Damono, Kompas, 07 Maret 2004 ). Sementara itu,
Wahyudi (Srintil, 2005) menyatakan bahwa munculnya sejumlah
nama pengarang perempuan mengindikasikan akan munculnya
generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang
mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe
yang merendahkan mereka.
Pernyataan yang dikemukakan oleh Damono dan Wahyudi
tersebut memang didukung oleh kenyataan, karena kemunculan
keempat penulis perempuan tersebut segera disusul oleh sejumlah
penulis perempuan yang mempublikasikan karya-karyanya. Mereka
antara lain Dee (Dewi Lestari) Ddengan karyanya Supernova I, II,
(2001), Akar (2003), dan Petir (2004), Nova Riyanti Yusuf dengan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

283

karyanya Maha Dewa Maha Dewi, (2003), Impraime (2004),


Djenar Mahesa Ayu dengan karyanya Mereka Bilang Saya Monyet
(2002), dan Jangan

Main-main dengan Kelaminmu (2004),

Nayla, (2004), Eliza V. Handayani dengan karyanya Area X: Himne


Angkasa Raya (2000), Helinatiens dengan karyanya Garis Tepi
Seorang Lesbian (2003), Oka Rusmini dengan karyanya Tarian Bumi,
Kenanga (2000, 2003), dan sejumlah nama lainnya. Kenyataan
tersebut menunjukkan adanya booming novelis perempuan dalam
perkembangan penulisan novel Indonesia tahun 2000, yang belum
pernah terjadi pada periode sebelumnya. Seperti dikemukakan
oleh Korrie Layun Rampan (1996) dari 1933 sampai 1995 (kurun 62
tahun) hanya terdapat 45 nama novelis perempuan.
Dari pembacaan awal terhadap novel-novel karya para
perempuan pengarang tersebut, tampaknya bahwa persoalan
perempuan,

terutama

posisinya

dalam

masyarakat

dan

relasinya dengan laki-laki menjadi hal yang mengedepan. Untuk


menunjukkan keberadaannya, tokoh-tokoh perempuan dalam
novel-novel tersebut harus bergulat melawan adat, budaya,
bahkan pandangan agama yang cenderung patriarkat.
Tulisan ini tidak akan membahas semua penulis perempuan
dan karya-karyanya tersebut, tetapi akan membahas dua orang dan
karyanya dari mereka, yaitu Ayu Utami dan Abidah el-Khalieqy. Ayu
Utami dipilih karena di samping prestasi yang dicapainya melalui
novel Saman, seperti telah diuraikan sebelumnya, juga dialah yang
dianggap pelopor munculnya penulis perempuan akhir 1990-an.
Abidah el-Khalieqy dipilih karena dialah yang dianggap sebagai
penulis terbaik tahun 2003 (versi Dewan Kesenian Jakarta). Di
samping itu, dalam hal mempersoalkan posisi perempuan dalam

284

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

masyarakat, antara keduanya terdapat perbedaan yang diduga


cukup signifikan. Dalam mempersoalkan posisi perempuan Ayu
Utami cenderung lebih radikal, sementara Abidah el-Khalieqy selalu
menempatkan posisi perempuan dalam perspektif feminisme
Islam, sesuai dengan latar pesantren dan masyarakat Islam yang
menjadi konteks cerita dalam novel-novelnya. Dengan memahami
posisi perempuan dari sudut pandang yang berbeda diharapkan
dapat diperoleh gambaran bahwa persoalan perempuan bukanlah
sesuatu yang tunggal dan universal, tetapi berhubungan dengan
pada kondisi ruang, waktu, dan lingkungan masyarakatnya.
Masalah tersebut akan dipahami dengan perspektif feminis.
Hal ini karena seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 221)
bahwa penelitian feminis memiliki tujuan untuk mengindentifikasi
penghilangan, penghapusan, dan informasi yang hilang tentang
perempuan secara umum. Reinhartz (2005: 67) juga menegaskan
bahwa memahami perempuan dari perspektif feminis adalah
memahami pengalaman dari sudut pandang perempuan sendiri,
yang akan memperbaiki ketimpangan utama cara pandang
nonfeminis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran perempuan,
atau menafsirkannya dari sudut pandang laki-laki di masyarakat
atau peneliti laki-laki. Melalui kajian feminis diharapkan juga dapat
terungkap kemungkinan adanya kekuatan budaya patriarkat yang
membentuk citra mengenai perempuan maupun laki-laki, relasi
antarkeduanya, ataupun adanya perlawanan terhadap dominasi
patriarkat yang terefleksi dalam karya-karya sastra tersebut.
Seperti dikemukakan oleh Reinhartz (2005: 202) bahwa ciri khas
kajian feminis adalah menguak budaya patriarkat yang kuat dan
bahkan membenci perempuan (misoginis).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

285

Sebelum membahas masalah posisi perempuan dalam novelnovel karya Ayu Utami dan Abidah el-Khalieqy terlebih dulu
dipaparkan keberadaan keduanya dalam peta sastra Indonesia.
Dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Korrie Layun
Rampan (2000) menempatkan kedua penulis tersebut dalam
sastrawan Indonesia Angkatan 2000, yaitu mereka yang berkarya
dan mempublikasikan karyanya sekitar tahun 2000-an. Bahkan,
Rampan (2000: liii) menyebut Ayu Utami sebagai pelopor dan
pembaharu penulisan novel periode 2000. Pembaruan tersebut
tampak dari pola kolase yang meninggalkan berbagai warna
yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetik
menonjolkan kekuatan-kekuatan literer.
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Dia
menyelesaikan pendidikannya di jurusan Sastra Rusia, Fakultas
Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas
Indonesia. Sebelum dikenal sebagai penulis novel, dia pernah
memenangkan sayembara penulisan cerita humor di majalah
Humor pada 1991. Dia juga menulis kolom bertajuk Sketsa di
harian Berita Buana (1991). Ayu Utami pernah menjadi wartawan
Matra, Forum Keadilan, D & R (Rampan, 2000: 186). Tak lama
setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru dia
pun ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes
pembredelan surat kabar dan majalah yang kritis terhadap
pemerintaha Orde Baru. Kini dia bekerja di jurnal kebudayaan
Kalam dan Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap
memperluas batas penulisan dalam masyarakat, dia mendapat
Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang
bermarkas di Den Haag, Belanda, yang mempunyai misi men

286

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pem


bangunan

(www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/utami.html).

Setelah menulis Saman, yang dalam waktu singkat mengalami


cetak ulang berkali-kali (sampai 2009 telah sampai pada cetakan
ke-28), Ayu Utami juga menulis Larung (2001), yang merupakan
kelanjutan Saman dan Bilangan Fu (2008).
Abidah el-Khalieqy, lahir di Jombang, Jawa Timur 1 Maret
1965. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Syariah IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di samping menulis novel, dia juga
dikenal sebagai penulis puisi dan cerita pendek (Rampan, 2000: 11).
Karya-karyanya yang telah dibukukan adalah Ibuku Laut Berkobar
(kumpulan puisi, 1997), Perempuan Berkalung Sorban (novel,
2001), Atas Singgasana (kumpulan cerpen, 2002), dan Geni Jora
(novel, 2003), Mahabah Rindu (novel, 2007) dan Nirzona (novel,
2008). Ciri khas dari karya Khalieqy adalah mengangkat cerita
yang menginginkan adanya seputar kesetaraan gender di kalangan
masyarakat Islam tradisional (pesantren). Geni Jora merupakan
novel yang ditulis untuk mengikuti lomba penulisan novel Dewan
Kesenian Jakarta 2003 dan mendapat predikat juara pertama.
Sementara itu, novel Perempuan Berkalung Sorban menjadi
sangat terkenal setelah difilmkan di layar lebar pada 2009. Karena
mengritisi pandangan pesantren yang cenderung patriarkis, film
Perempuan Berkalung Sorban yang disutradarai Hanung Bramantyo
(2009) mendapatkan protes dari berbagai komunitas Islam. Imam
Masjid Istiqlal bahkan mengeluarkan pernyataan untuk memboikot
film tersebut karena dianggap dapat menimbulkan salah paham
terhadap Islam dan pesantren http://indonesiafile.com/content/
view/793/79/, Jumat, 06 Februari 2009).

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

287

Abidah el-Khalieqy cukup serius dalam menjalani profesi


kepenulisannya. Dia pernah mendapatkan kesempatan mengikuti
Second ASEAN Writers Conference/Workhshop Poetry di Manila,
Filipina (1995), memperoleh Penghargaan Seni dari Pemerintah
DIY (1995), mengikuti Konferensi Perempuan Islam se-Asia Pasifik
dan Timur Tengah (1999), dan menjadi pendamping dalam
Bengkel Kerja Penulisan Kreatif Majelis Sastra Asia Tenggara
(1987) (Khalieqy, 2003: 221). Berdasarkan prestasi, kualitas
karya, dan kegitan kepenulisan yang mendukung profesinya
sebagai penulis, tampaknya Ayu Utami dan Abidah El Khalieqy
dapat dianggap sebagai dua orang penulis yang mewakili
zamannya dan patut diperhitungkan dalam perkembangan
novel Indonesia. Dari tema yang diangkat dalam novelnovelnya, keduanya berkecendurangan mempersoalkan posisi
perempuan, yang memungkinkannya dikategorikan sebagai
penulis feminis. Bedanya, kalau Abidah El Khalieqy memahami
dan mempersoalkan posisi perempuan dari perspektif feminis
Islam, Ayu Utami cenderung menggunakan perspektif feminis
radikal. Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun
1990-an (Mojab, 2001). Feminisme ini berkembang terutama
di negara-negara yang mayoritas penduduknya bergama Islam,
seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Kekhasan
feminisme Islam adalah berupaya untuk membongkar sumbersumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan
penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran
hadis dan Alquran (Fatma, 2007: 37). Feminisme radikal adalah
pemikiran feminisme gelombang pertama yang mendasarkan
pada suatu tesis bahwa penindasan terhadap perempuan berakar

288

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

pada ideologi patriarkat sebagai tata nilai dan otoritas utama yang
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Oleh
karena itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye
anti kekerasan terhadap perempuan (Tong, 2006: 68).

Sumber: amartapura.com
Ayu Utami dan dua buah novel karyanya

Sumber: amartapura.com dan sinarharapan.co.id


Abidah el-Khalieqy dan dua buah novel karyanya

3. Mempersoalkan Posisi Perempuan sebagai Second Sex


dalam Saman dan Geni Jora
Meskipun gagasan emansipasi perempuan dan kesetaraan
gender telah dilontarkan oleh Kartini awal abad ke-20, seperti

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

289

tertuang dalam surat-suratnya yang kemudian diterbitkan dalam Door


Duisternis tot Licht/Habis Gelap Terbitlah Terang (Abendanon, 1979),
namun secara nyata posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia
sampai saat ini sebagian besar masih berada dalam ketidakadilan
gender. Pernyataan yang dikemukakan oleh de Beauvoir (2003: ix)
bahwa dalam relasinya dengan laki-laki perempuan hanyalah second
sex, sosok yang lain (the other), sementara laki-laki adalah sang
subjek yang terjadi dalam masyarakat Barat, juga terjadi di Indonesia,
bahkan dikukuhkan oleh institusi-institusi sosial dan negara.
Data-data yang berhubungan dengan posisi perempuan
sebagai second sex yang berada dalam subordinasi laki-laki antara
lain ditunjukkan oleh keberadaan organisasi Dharma Wanita di
instansi pemerintah, lengkap dengan Panca Dharma Wanita, yang
mengatur peran dan posisi perempuan dengan laki-laki baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat. Dalam
Panca Dharma Wanita dikemukakan bahwa wanita sebagai: 1)
pendamping suami, 2) ibu, pendidik, dan pembina generasi muda,
3) pengatur ekonomi rumah tangga, 4) pencari nafkah tambahan,
5) anggota masyarakat terutama organisasi wanita, badan-badan
sosial yang intinya menyumbangkan tenaga kepada masyarakat
sebagai relawan. Dari sini tampak bahwa Panca Dharma Wanita
menempatkan perempuan sebagai tersubordinasi oleh laki-laki.
Dalam hubungannya dengan laki-laki, perempuan dianggap sebagai
pendamping suami, pencari nafkah tambahan dan bukan sebagai
perempuan bekerja di sektor publik yang diakui keberadaannya.
Peran gender yang dikemukakan dalam Panca Dharma Wanita
sangat jelas ikut melahirkan sekaligus menjadi bidan munculnya
ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki.

290

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki


juga tampak pada beberapa produk undang-undang di Indonesia.
Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) No.1 tahun 1974,
yang masih digunakan di Indonesia sampai sekarang misalnya
dikemukakan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga
dan istri sebagai ibu rumah tangga (pasal 31 (3), suami wajib
melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat
1), kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya (pasal 34 ayat 2). Dengan pembagian peran yang demikian
berarti peran perempuan yang resmi diakui adalah peran domestik
yaitu peran mengatur urusan rumah tangga seperti membersihkan
rumah, mencuci baju, memasak, merawat anak, dan kewajiban
melayani suami (Arivia, 2006: 437).
Posisi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki yang
berada dalam subordinasi tersebut, telah memberi inspirasi
pada para penulis untuk menggambarkannya kembali dan
mengkritisinya dalam karya sastra yang diciptakannya, termasuk
novel-novel karya Ayu Utami (Saman dan Larung, yang merupakan
dwilogi) dan Abidah el-Khalieqy (Perempuan Berkalung Sorban
dan Geni Jora). Empat buah novel karya dua orang penulis tersebut
tampak begitu kritis mempertanyakan posisi perempuan dalam
masyarakat.
Meskipun berjudul Saman dan Larung, yang mengacu pada
tokoh pria dalam novel tersebut, namun sebagian besar cerita
kedua novel tersebut menggambarkan kisah dan kehidupan empat
orang tokoh perempuan, yaitu Laila (yang pada masa remajanya
pernah tergila-gila pada frater Athanasius Wisanggeni, yang kelak

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

291

berganti nama menjadi Saman), Shakuntala, Cok, dan Yasmin.


Awal cerita novel itu bahkan menceritakan Laila yang sedang
mabuk kepayang dan menunggu Sihar (pria beristri janda yang
kemudian menjadi pacarnya) di sebuah taman (Central Park) di
New York. Selanjutnya, cerita disusul dengan flashback awal mula
perkenalan Laila dengan Sihar setelah sebuah kecelakaan terjadi
di sebuah proyek pengeboran minyak lepas pantai, yang kemudian
membawa Laila dan teman-temanya berhubungan dengan
Saman, yang waktu itu masih bernama Wisanggeni dengan profesi
sebagai seorang pastor. Baru pada bagian tengah novel, cerita
tentang tokoh Saman dikemukakan, mulai dari masa kecilnya,
sampai pilihannya menjadi seorang pastor. Keterlibatannya dalam
sebuah revolusi sosial di daerah transmigran di Sumatra Selatan
yang menyebabkan dirinya ditahan tanpa diadili oleh kelompok
tertentu yang mewakili sebuah kekuasaan Orde Baru. Cerita itu
pun diselingi dengan cerita tentang Shakuntala, sahabat Laila,
yang menjadi peneliti dan koreografer di New York dan masa
lalu empat sekawan tersebut, lengkap dengan hubungan dan
pandangan-pandangan mereka tentang pria.
Ada yang menarik dari teknik point of view dalam novel ini.
Ketika yang diceritakan tokoh-tokoh perempuan, ternyata narator
menggunakan point of view akuan, sehingga ada dua akuan di sini.
Akuan Laila pada bagian awal novel dan akuan Shakuntala pada
bagian tengah novel. Sementara itu, ketika fokus yang diceritakan
pria (Sihar dan Saman) digunakan teknik orang ketiga. Point of view
tersebut dapat dikatakan menunjukkan adanya keterkaitan ideologi
feminisme yang menempatkan perempuan sebagai subjek, yaitu
sebagai fokus yang berbicara dan beraksi. Dalam novel tersebut

292

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dengan jelas akan tampak bagaimana para perempuan menjadi


subjek yang memaparkan pengalamannya, gagasan-gagasannya,
serta impian-impiannya menjadi lebih kuat, lebih-lebih dengan gaya
cerita yang cenderung terbuka, seperti ini.
Dan kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan
betapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya padanya.
Serta beberapa sajak di bawahnya. Kuinginkan mulut yang
haus/dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara
pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada
sebuah gambar cat air..
(Utami, 1998: 3)

Di samping itu, para tokoh perempuan dalam Saman dan


Larung adalah figur perempuan muda masa kini yang kesemuanya
memiliki pekerjaan dan aktivitas di sektor publik. Laila menjadi
fotografer sebuah majalah di Jakarta, Cok seorang pengusaha
hotel, Yasmin seorang pengacara, dan Shakuntala seorang peneliti
dan koreografer tari yang mendapat beasiswa belajar dan meneliti
tari di New York. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh perempuan
bekerja tampaknya kedua novel karya Ayu Utami tersebut
ingin mendekrontruksi ideologi familialisme dalam masyarakat
berkultur patriarkat (Kusujiarti, 1997: 90). Dalam masyarakat yang
menganut ideologi familialisme disebutkan bahwa peran utama
perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri. Sementara
peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah
tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar
dalam keluarga, sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk
istri harus tunduk kepadanya.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

293

Di samping tampak pada tokoh-tokoh perempuan yang


berkiprah di ranah publik, kritik terhadap kuasa patriarkat
juga tampak pada sikap Shakuntala yang mencoba menolak
mencantumkan nama ayahnya dalam visanya.
Kenapa ayahku harus tetap memiliki bagian dariku? Tapi
hari-hari ini semakin banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami
istri memberi nama si bapak pada bayi mereka sambil menduga
anaknya bahagia dan beruntung karena dilahirkan. Alangkah
melesetnya. Alangkah naifnya (...) Kenapa pula aku harus
memakai nama ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku?
(Utami, 1998: 138)

Pandangan dan sikap Shakuntala menunjukkan protesnya


terhadap kuasa patriarkat yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Dalam hal-hal tertentu masyarakat seringkali meremehkan peran
dan keberadaan ibu dalam hubungannya dengan anaknya. Dalam
bagian lain novel tersebut juga terdapat kritik yang disampaikan
oleh Shakuntala terhadap subordinasi perempuan dalam masyarakat
Jawa, yang tampak pada upacara perkawinan Jawa ketika sahabatnya
Yasmin Moningka menikah dengan orang Jawa dalam adat Jawa.
Yasmin Moningka orang Menado, tapi ia setuju saja
untuk menikah dengan adat Jawa yang rumit itu. Ia juga rela
mencuci kaki Lukas sebagai tanda sembah bakti istri kepada
suami, yang tak ada dalam upacara di Menado.
Kok mau-maunya sih pakai acara begitu? aku protes.
Ah, Yesus juga mencuci kaki murid-muridnya, lagi pula
kamu sendiri orang Jawa? Aku mau memberondongkan
panjang lebar tentang Yesusnya dan jawaku. Misalnya cuci-

294

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

cucian Yesus itu adalah sebuah penjungkirbalikan nilai-nilai,


sementara yang dilakukan istri Jawa adalah kepatuhan dan
ketidakberdayaan. Tidak sejajar sama sekali.
(Utami, 1998: 154)

Pada kutipan tersebut tampak bahwa Shakuntala memaknai


salah satu bagian ritual upacaya perkawinan dalam masyarakat
Jawa sebagai bentuk ketidakadilan gender. Tanda bakti kepada
suami yang disimbolkan dengan pengantin perempuan harus
mencuci kaki pengantin laki-laki, yang dalam realitasnya harus
dalam posisi berjongkok, menunjukkan subordinasi terhadap
perempuan. Hal ini ditentang oleh Shakuntala.
Dekonstruksi terhadap posisi perempuan yang terubordinasi
juga tampak pada novel Larung, dengan menggambarkan peran
sosial perempuan yang penting dalam kesetaraan gender, yaitu
Adnjani (nenek Larung) dan Calon Arang. Adjani digambarkan
sebagai seorang perempuan yang memiliki kekuatan yang
menyebabkan ketakutan pada orang-orang yang akan menjemput
ayah Larung karena dicurigai terlibat PKI, seperti tampak pada
kutipan data berikut.
Mereka datang mengambil anakku, tanpa mengetuk pintu.
Sebab sebelum mereka menyentuh daunnya aku telah berdiri di
sana. Telah kudengar sebelumnya, bisik-bisik orang menuduhku
menyimpan ular di lipatan stagen. Nenek itu leak, rangda
dengan stagen tatayi, sebab setiap janda adalah potensi bahaya.
Telanjangilah dia dari kain pinggangnya maka kita temukan jimat.
Telah kudengar itu. Maka kubuka pintu dan kutatap mereka. Tak
satu pun mendekatiku tetapi mereka mengambil anakku.
(Utami, 2001:78)

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

295

Kutipan tersebut menunjukkan karakter Adnjani yang berani


menentang kekuatan para tentara, sebagai simbol kekuatan Orde
Baru yang membunuh orang tua Larung, yang dianggap sebagai
anggota PKI. Dalam novel Larung diceritakan bahwa anak Adnjani,
Ayah Larung dijemput dan dibunuh (dihukum) oleh pemerintah
Orde Baru, sementara ibu Larung dituduh sebagai anggota Gerwani.
Maka ketika para perwira harus menyebut orang-orang
dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September,
semua menyebut namanya
Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku.
Sebab hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu,
barangkali bukan komunis, partai komunis barangkali tidak
kudeta, tapi apa arti semua itu?
Lalu aku mendengar, orang-orang menyebut ibumu
gerwani. Ibumu memakai beha hitam dengan lambang bintang
merah di satu pucuknya, palu arit di pucuk yang lain, kata
mereka
(Utami, 2001: 69)

Karena keberaniannya menentang para perwira yang


menjemput orang tua Larung, maka nenek Larung dituduh sebagai
leak atau rangda yang memakai stagen tatayi yang dialamatkan
pada nenek Adnjani. Tuduhan ini menjunjukkan adanya kuasa lakilaki yang memberikan stigma negatif terhadap kemampuan yang
dimiliki oleh seorang perempuan.
Melalui dua buah novelnya, Perempuan Berkalung Sorban
(2001) dan Geni Jora (2003), Abidah El Khalieqy mencoba

296

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

mempertanyakan subordinasi perempuan dalam masyarakat


pesantren. Kedua novel ini berlatar tempat masyarakat pondok
pesantren yang masih memegang teguh kultur patriarkat. Dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban dengan latar keluarga di
pondok pesantren digambarkan tentang seorang perempuan,
Anisa Nuhaiyyahanak seorang pengasuh pondok pesantren
terpaksa berhenti sekolah setelah lulus Sekolah Dasar karena
harus menikah dengan seorang laki-laki putra teman ayahnya.
Subordinasi perempuan cukup jelas ketika Anisa tiba-tiba harus
menerima keputusan orang tuanya yang telah menerima lamaran
calon suaminya. dalam novel ini digambarkan bagaimana sang
ayah telah menunjukkan otoritasnya untuk menjodohkan anak
perempuannya. Dalam hal ini, seorang perempuan yang akan
mejalani pernikahan tidak memiliki hak untuk mengemukakan
pendapat maupun penolakan.

Terbayang kembali peristiwa pahit yang mengawali
pernikahanku dengan Samsudin, laki-laki yang baru kulihat
wajahya sejam sebelum akad nikah. Tubuhnya tinggi besar
perawakan pegulat yang kehabisan nyali sesudah segalanya
gagal.
Bukankah laki-laki yang gagah? Coba mulai
mengaguminya dan jangan cemberut terus seperti orang sakit
gigi begitu. Ia seorang sajana hukum dan putra seorang kiai
ternama. Apalagi yang kurang dari dirinya? Segalanya ia miliki.
Dan ia memang laki-laki yang memikat.
Memikat hati ibu?
Huss! Kau ini bicara apa Nisa?
Dari seberang meja, laki-laki bernama Samsudin itu
tertawa melihat kami saling berbisik. Alangkah memuakkan

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

297

tawanya. Tanpa kuketahui apa saja yang telah dirundingkan


oleh mereka, mendadak saja aku harus membunyikan kata
setuju dan ya untuk sesuatu yang sangat gelap. Kemudian
aku harus menuliskan tanda tanganku di atas kertas asing yang
tak kuketahui apakah isinya.
(el-Khalieqy, 2001: 105106)

Kutipan di atas menunjukkan kekuasaan patriarkat dijalankan


oleh sang ayah, untuk memaksa anak perempuannya menikah
dengan orang yang tak dikenalnya. Anisa tidak diberi kesempatan
untuk mengenal lebih dahulu calon suaminya tersebut, karena
baru bertemu satu jam menjelang akad nikah. Dari nada gaya
bahasa yang digunakan oleh tokoh aku (Anisa) tampak adanya
pemberontakan. Akan tetapi, karena begitu kuatnya kekuasaan
sang ayah, maka Anisa dipaksa mengikuti kemauan ayahnya
untuk dinikahkan dengan Samsudin, seorang laki-laki yang sejak
hari pertama pernikahannya telah menunjukkan sikapnya yang
mendominasi istrinya. Bahkan, sang suami tersebut ternyata
memiliki watak kasar dan sering melakukan kekerasan dalam
rumah tangga, baik kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis.
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Khalieqy tidak
hanya menggambarkan bagaimana perempuan telah diposisikan
sebagai makhluk yang disubordinasi, tetapi juga menunjukkan
perlawanannya. Melalui tokoh Anisa yang digambarkan sebagai
sosok perempuan yang cerdas dan selalu haus untuk belajar ilmu
agama dan pengetahuan umum, Khalieqy mencoba untuk mengritisi
ketidakadilan gender dalam mendidik anak perempuan dibandingkan
laki-laki. Ketikadilan tersebut ternyata telah memotivasi Anisa untuk

298

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

selalu belajar dan mencoba memasuki wilayah yang diperuntukkan


kaum laki-laki, seperti belajar naik kuda.
Ketika itu usiaku telah beranjak dari delapan tahun. Dan
selama satu tahun itu, aku hampir menamatkan tiga puluh
juz di bawah asuhan Lek Khudori. Setiap kali latihan tilawah
bersama Mbak May, ketika Rizal dan Wildan sedang menikmati
mimpi di siang bolong, aku pun pergi mengendap ke kamar Lek
Khudori dan mengajaknya latihan naik kuda
(el-Khalieqy, 2001: 24)
Sejak aku terlahir di dunia, kata ibuku Hajjah Mutmainah,
aku selalu digadang dan diharapkan agar kelak dapat
menggantikan posisi bapak. Tetapi dalam benakku, harapan
itu tak pernah muncul dalam cita-cita. Sepertinya aku lebih
suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih luas
dari kompleks pondok kami, juga lebih tinggi dari ilmu yang
diperoleh para santri yang paling tua sekalipun.
(el-Khalieqy, 2001: 52)

Gairah Anisa untuk selalu belajar itulah yang kemudian


menyebabkan dia memutuskan untuk tetap melanjutkan sekolah
di Madrasah Tsanawiyah, walaupun dia telah menikah dengan
Samsudin (Khalieqy, 2001: 114). Keputusan tersebut juga diambil
setelah dirinya dihina oleh suaminya karena mengingatkan
suaminya untuk berdisiplin menjalankan ajaran agama.
Berkali-kali aku memperingatkannya tetapi aku hanya
perempuan lulusan Sekolah Dasar, katanya. Tahu apa tentang
hukum. Bukankah dia seorang sarjana, putra seorang kiai
ternama. Sama sekali tak perlu petuah.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

299

Otakku sudah penuh dengan ilmu. Jadi jangantambah


lagi dengan sesuatu yang tak berguna dari mulutmu, nanti bisa
pecah.
Kupikir, yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna,
bukan sesuatu yang keluar dari mulutku.
Kau ini lulusan SD berani bertingkah. Tak bisa kubayangkan
jika lulus sarjana. Tuhan pun pasti kau debat juga.
Jika mungkin, mengapa tidak? Besok aku mulai kembali
sekolah dan suatu saat aku pun sarjana. Di mana otakku akan
dipenuhi ilmu yang dapat menentukan, nama sampah dan
mana mutiara.
(el-Khalieqy, 2001: 101)

Dengan kembali bersekolah, Anisa dapat melupakan penderitaannya


hidup bersama suaminya yang sering kali berkata kasar dan
melakukan kekerasan fisik, termasuk dalam hubungan seksual, dan
ketika suaminya mengawini perempuan lain yang diajaknya tinggal
dalam satu rumah (el-Khalieqy, 2001: 101). Pada akhirnya, Anisa
dapat membebaskan dirinya dari perkawinan yang membelenggunya
setelah orang tuanya mengetahui kalau suaminya adalah sosok lakilaki yang sering melakukan kekerasan terhadap istinya. Mereka
pun mendukung Anisa untuk bercerai dengan Samsudin. Setelah
bercerai Anisa terus bersekolah, bahkan melanjutkan ke perguruan
tinggi sampai mendapatkan gelar sarjana dan kemudian menikah
dengan pamannya, Lek Khudori, yang selama ini selalu memberinya
semangat untuk belajar dan menuntut ilmu.
Perlawanan terhadap ketidakadilan gender juga dilakukan
oleh tokoh Kejora dalam Geni Jora. Kehidupan Kejora dalam
lingkungan keluarganya yang patriarkats, digambarkan tidak

300

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

dapat menghargai prestasi yang diperoleh perempuan, seperti


ditunjukkan oleh sikap neneknya berikut ini.
Ini kan nilai rapot sekolahan, Cucu. Betapa pun nilai
Prahara di sekolahan, sebagai laki-laki, ia tetap ranking pertama
di dunia kenyataan. Sebaliknya kau. Berapa pun rankingmu,
kau adalah perempuan dan akan tetap sebagai perempuan.
Tidak! Aku tidak mau mendengar kata-katamu, Nenek
jahat! Aku melengking histeris. Kala itu usiaku sembilan tahun,
duduk di kelas lima sekolah dasar. Nenek telah menorehkan
luka di hatiku. Dan luka itu terus menganga, setiap waktu...
(Khalieqy, 2003: 62).

Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa nenek Kejora


merupakan salah satu generasi tua yang menganut ideologi
patriarkat yang menganggap perempuan hanyalah second
sex.

Seperti dikemukakan oleh Walby (1989: 213220) bahwa

patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik


yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas,
dan mengeksploitasi perempuan. Sesuai dengan teori patriarkat
yang dikemukakan Walby tersebut tampak bahwa para tokoh
perempuan dalam novel karya Ayu Utami dan Abidah el-Khaileqy
telah mencoba untuk mempersoalkan dan melawan kuasa
patriarkat baik melalui gagasan, sikap, maupun tindakan. Untuk
dapat keluar dari kotak second class tokoh-tokoh perempuan
dalam Saman dan Larung mencoba meraih berbagai lapangan kerja
di ranah publik, bahkan juga berusaha untuk dapat menaklukkan
atau minimal sejajar dengan laki-laki. Sementara itu, tokoh-tokoh
perempuan dalam Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

301

senantiasa terus belajar dan meningkatkan pengetahuannya agar


setara dengan laki-laki yang telah diberi kebebasan untuk keluar
rumah dan mempelajari apa saja.
4. Simpulan
Pada pembahasan di atas tampak bahwa novel-novel karya
Ayu Utami dan Abidah el-Khalieqy telah mencoba untuk mengritisi
masyarakat yang telah memposisikan perempuan sebagai second
sex yang terusbsordinasi. Para tokoh dalam novel Saman, Larung,
Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora telah berjuang untuk
melawan dan meruntuhkan kekuasaan patriarkat yang tersosok
dalam orang tua (terutama ayah dan nenek), suami, saudara, teman
laki-laki, bahkan juga militer untuk menunjukkan keberadaannya.
Meskipun keempat novel tersebut hanyalah karya fiksi yang ditulis
oleh pengarang, namun apa yang digambarkan di dalamnya
merefleksikan realitas yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Hal itu karena di dalam masyarakat novel, sebagai karya estetis
memiliki salah satu fungsi sebagai sarana menyuarakan hati nurani
masyarakat, di samping fungsi-fungsi lainnya. Namun, meskipun
sama-sama mempersoalkan posisi perempuan dalam masyarakat
melalui karya sastra yang ditulisnya, pandangan kedua pengarang
tersebut dilandaasi oleh aliran feminisme yang berbeda. Ayu
Utami cenderung beraliran feminisme radikal, sementara Abidah
el-Khalieqy cenderung beraliran feminisme Islam.

C. Rangkuman
Ayu Utami dan Abidah El-Khalieqy merupakan dua orang
pengarang perempuan dari periode 2000-an yang sama-sama

302

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

mengekspresikan gagasan feminisme dalam karya-karya yang


ditulisnya. Karya-karya mereka sama-sama mempertanyakan
posisi perempuan dalam masyarakat yang dinomorduakan.
Perbedaannya, Ayu Utami cenderung beraliran feminisme radikal,
sementara Abidah El-Khalieqy cenderung beraliran feminisme
Islam.

D. Latihan dan Tugas


1. Bacalah novel-novel karya Ayu Utami dan Abidah el-Khalieqy
yang dibahas dalam materi di atas!
2. Pahami karakter tokoh-tokoh perempuannya, posisinya
dalam hubungannya dengan kaum laki-laki, dan gagasannya
yang menuntuk kesetaraan gender!

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang


Pencarian Indentitas Perempuan, dalam Sangkan Paran
Gender. Ed. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan
Universitas Gadjah Mada dengan Pustaka Pelajar.
________. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogya
karta: Pustaka Pelajar.
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Holt,
Rinehart and Wiston.
Abendanon, J.H. 1979. Habis Gelap Terbitlah Terang. Diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia oleh Sulastin Sutrisna dari Bahasa
Belanda: Door Duisternis Tot Licht. Jakarta: Djambatan.
Andersen, Margaret L. 1983. Thinking About Women: Sociological
and Feminist Perspectives. New York: Macmillan Publishing
Co., Inc.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
________. 2006. Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Amal, Nukila. 2002. Cala Ibi. Jakarta: Gramedia.
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1986. Layar Terkembang. Jakarta: Balai
Pustaka. Cetakan ke-16.
Alka, David Krisna. 2004. Sastra Indonesia Bukan Gaya Seks,
dalam Sinar Harapan, 7 Maret.

303

304

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Amirudin, Maria. 2004. Perempuan, Seks dan Teks Sastra yang


Bicara, dalam Media Indonesia, 4 Januari.
Atmowiloto, Arswendo. 1986. Canting. Jakarta: Gramedia.
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-main Dengan (Kelaminmu).
Jakarta: Gramedia.
________. 2005. Nayla. Jakarta: Gramedia.
Basuki, Fira. 2000. Jendela-jendela, Atap, Pintu. Jakarta: Gramedia.
________. 2003. Biru. Jakarta: Gramedia.
Basuki Ks., Sunaryono. 2004. Seks, Sastra, Kita, dalam Kompas,
04 April.
Bhasin, Kamla. 1984. Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Baroroh, Umul. 2002. Feminisme dan Feminis Muslim, dalam
Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.
Sri Suhandjati, ed. Yogyakarta: Pusat Studi Jender IAIN
Walisongo dan Gama Media.
Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos. Edisi
Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono.
Surabaya: Pustaka Promothea.
Blackburn, Susan. Ed. 2007. Kongres Perempuan Pertama:
Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor.
Brooks, Ann. 2005. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif. Edisi Bahasa Indonesia
diterjemahkan oleh S. Kunto Adi Wibowo. Bandung &
Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, Manneke. 2005. Ketika Perempuan Menulis, dalam
Srint!l: Media Perempuan Multikultural. No. 8.
Soeratno, Siti Chamamah. 1994a. Penelitian Sastra dari Sisi
Pembaca: Satu Pembicaraan Metodologi, dalam Teori
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

305

Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.


________. 1994b. Sastra dalam Wawasan Pragmatik: Tinjauan
atas Asas Relevansi di dalam Pembangunan Bangsa.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, 24 Januari 1994.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
________. 2000. Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia, dalam U.
Kratz, ed. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indnesia Abad XX.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
________. 2004. Industri Lahirkan Perempuan Pengarang Baru,
Kompas, Minggu, 07 Maret 2004.
Djojopuspito, Soewarsih.
Djambatan.

1975.

Manusia

Bebas.

Jakarta:

Dee (Dewi Lestari). 2001. Supernova I: Ksatria Putri dan Bintang


Jatuh. Bandung: Trudebooks.
________. 2003. Akar. Bandung: Trudebooks.
________. 2004. Petir. Bandung: Trudebooks.
De Stuers, Cora Vreede, 2008. Sejarah Perempuan Indonesia:
Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2004. Al-Quran dan
Terjemahannya. Semarang: Al Waah.
Dini, Nh. 1989. Jalan Bandungan. Jakarta: Djambatan.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 1989. Ideologi Pembebasan Perem
puan: Perspektif Feminisme dan Islam, dalam Bainar,
editor. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan
Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo bekerja sama
dengan Universitas Islam Indonesia dan Yayasan IPPSDM.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rachman, Budhy Munawar, dan Umar,
Nasaruddin, editor. 2002. Rekonstruksi Metodologis

306

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta:


Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta beberja
sama dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar.
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme & Kritik Sastr. Jakarta: Desantara.
El-Khalieqy, Abidah. 2001. Perempuan Berkalung Sorban.
Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat.
________. 2003. Geni Jora. Yogyakarta: Mahatari.
Emka, Moammar. 2007. Jakarta Undercover: Sex n the City.
Yogyakarta: Gagas Media.
Ensete, Pamusuk. 2000. Bibliografi Sastra Indonesia. Jakarta: Gra
media.
Fakih, Mansoer, 2006. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik
sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fatma, Shabana. 2007. Woman and Islam. New Delhi: Sumit
Enterprises.
Flax, Jane. 1990. Postmodernism and Gender Relation in Feminst
Theory, dalam Nicholson, Linda J. Feminism/Postmo
dernism. New York and London: Routledge.
Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory A Critical Introduction.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Gouda, Frances. 1995. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di
Hindia Belanda, 19001984. Jakarta: PT Serambi Ilmu.
Goldmann, Lucien. 1977. Towards A Sociology of Literature.
England: Basil Blackwell Publisher.
Handayani, Eliza V. 2003. Area X: Himne Angkasa Raya. Bandung:
DAR! Mizan.
Hardjana, Andre. 1984. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

307

Hamidah, 1959. Kehilangan Mestika. Jakarta: Balai Pustaka.


Hartoko, Dick dan Rahmanto. 1986. Pemandu ke Dunia Sastra.
Yogyakarta: Kanisius.
Hatley, Barbara, 2006. Pasca Kolonialitas dan si Feminin dalam
Sastra Indonesia Modern, dalam Keith Foulcher dan Tony
Day, ed. Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
dan KITLV. Halaman 189223.
Hellwig, Tineke. 2003. Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia.
Jakarta: Women Research Institute dan Desantara.
Herlinatiens. 2000. Garis Tepi Seorang Lesbian. Yogyakarta:
Galangpress.
Hoerip, Satyagraha. 1969. Adegaan Seks dalam Cerpen Sastra
Kita, dalam Satyagraha Hoerip, Ed. Sejumlah Masalah
Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Hudson, W.H. 1955. An Introduction to the Study of Literature.
London: George Harrap & Co. Ltd.
Humm, Maggie. 1986. Feminist Criticism. Great Britain: The
Harvester Press.
________. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Edisi Bahasa Indonesia
diterjemahkan oleh Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
________. 1992. Feminisms: A Reader. New York, London, Toronto,
Sydney, Tokyo, Singapura: Harvester Whearsheaf.
Hunter, Thomas. 2006. Identitas, kecemasan, ambiguitas dalam
Salah Asoehan, dalam Keith Foulcher dan Tony Day.
Clearing a Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra
Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.
Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan Tertindas?: Kajian Hadishadis Misoginis. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan The Ford
Foundation Jakarta.

308

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Ismail, Nurjannah. 2003. Perempuan dalam Pasungan: Bias Lakilaki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Junus, Umar Junus. 1984. Perkembangan Novel Indonesia Modern.
Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Grafitipers.
Kodiran. 1985. Kebudayaan Jawa, dalam Koentjaraningrat, editor.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kusujiarti, Siti. 2006. Antara Ideologi dan Transkrip Tersembu
nyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa,
dalam Irwan Abdullah, editor. Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kumala, Ratih. 2003. Tabularasa. Yogyakarta: Mahatari.
Kutaneraga, Pande Made. 2006. Perdagangan: Kosmologi dan
Konstruksi Dunia Wanita, dalam Irwan Abdullah, editor.
Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
dengan Pustaka Pelajar.
Lewis, Reina and Sara Mills. 2003. Feminist Postcolonial Theory a
Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Madsen. Deborah L. 2000. Feminist Theory and Literary Practice.
London, Sterling, Virginia: Pluto Press.
Mangunwijaya, Y.B. 1980. Burung-burung Manyar. Jakarta:
Djambatan.
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme
sampai Kemerdekaan Jilid I. Yogyakarta: LKIS.
Mojab, Shahrzad. 2001. Theorizing the Politics of Islamic
Feminism, in Feminist Review, No. 69, diakses dari
Palgrave Macmillan Journals is collaborating with JSTOR,
24 April 2009.
Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar
Harapan.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

309

Muis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.


Munti, Ratna Batara dan Anisah, Hindun. 2005. Posisi Perempuan
dalam Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK
Jakarta.
Mujibatun, Siti. 2002. Perempuan Kurang Akal dan Kurang
Agamanya? dalam Sri Suhandjati Sukri, editor.
Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.
Yogyakarta: Pusat Studi Jender dan Gama Media.
Nadjib, Alai. 2009. Feminis Muslim Indonesia (Aliran Pemikiran
1990-2000). Em.pendis.depag. go.id./dok. Diakses dari
google.com. 7 April 2009.
Nugroho, Boyke Dian. 2001. Waspadai Seks Bebas Kalangan
Remaja, dalam Majalah Gemari, September.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada yang Bisu. Yogyakarta:
Galang Press.
Pane, Armijn. 2000. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka.
cet. Ke-17 (Cetakan pertama, 1920).
Pangkahila, Wimpie. 2001. Perkembangan Seksual Remaja:
Masalah dan Upaya Mengatasinya, dalam Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jakarta: Ford Foundation dan YLKY.
Parrinder, Geoffrey.2005. Teologi Seksual. Diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Amirudin dan Asyhabuddin.
Yogyakarta: Lkis.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1982. Beberapa Gagasan dalam Bidang
Kritik Sastra. Yogyakarta: Lukman.
________. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
________. 1997. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranoto, Naning. 2003. Wajah Sebuah Vagina. Yogyakarta:
Galangpress.

310

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Purbani, Arti. 1979. Widyawati. Jakarta: Balai Pustaka.


Rachman, Budhy Munawar. 2002. Penafsiran Islam Liberal atas
Isu-isu Gender dan Feminisme, dalam Dzuhayatin, Siti
Ruhaini, dkk. 2002. Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pusat Studi
Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama
dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar.
Rampan,Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Reinharz, Shulamit. 2005. Metode-metode Feminis dalam
Penelitian Sosial. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
oleh Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung. Jakarta:
Woman Reseach Institute.
Rusli, Marah. 2001. Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusmini, Oka. 2000. Tarian Bumi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ruthven, K.K. 1986. Feminist Leterary Studies an Introduction.
Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney:
Cambridge University Press.
Sartika, Dewi. 2003. Dadaisme. Yogyakarta: Mahatari.
Showalter, Elaine. Ed. 1985. The New Feminist Criticism: Essays on
Women, Literature, and Theory. New York: Pantheon.
Sekarningsih, Ani. 2000. Namaku Teweraut. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka.
Saiidah, Najmah. 2006. Poligami: Solusi, Bukan Problem. http://
www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=artic
le&sid=914. Dipublikasi pada Wednesday, 20 December
2006 olehinformatika.
Semiun, Yustinus. 2007. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik
Freud. Yogyakarta: Kanisius.

KRITIK SASTRA FEMINIS: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia

311

Shihab, M. Quraish 2006. Poligami Ibarat Emergency Exit.


Republika, Jumat,08 Desember 2006.
Siaran Pers LHB-APIK. 2003. Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan
yang Paling Nyata atas Harkat dan martabat Perempuan
sebagai Manusia di dalam Hukum, Sosial Budaya dan
Agama. Disampaikan di Hotel Ibis Jakarta 24 Juli 2003.
Sodik, Mochamad dan Rohmaniyah, Inayah, editor. 2003. Perempuan
Tertindas?: Kajian Hadis-hadis Misoginis. Yogyakarta:
Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja
sama dengan The Ford Foundation Jakarta.
Spivak, Gayatri C. 1988. Cant the Subaltern Speak? dalam Lewis,
Reina and Sara Mills, editor. Feminist Postcolonial Theory a
Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Soeroto, Sitisoemandari. 2001. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta:
Djambatan.
Susilastuti, Dewi H. Berbagai Persoalan Kesehatan Reproduksi
Perempuan, dalam Margiyani, Lusi dan Kusein, Agus
Fahri. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perem
puan dan Anak.
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
________. 1989. Sastra Indonesia Modern II . Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tong, Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More
Comprehensive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Aquaini Priyatna Prabasmara. Bandung:
Jalasutra.
Thrall, William Flin and Addison Hibbard. 1960. A Handbook to
Literature. New York: The Odyssey Press.
Undang Undang RI Nomor 1 Th. 1974 tentang Perkawinan.
Diunduh dari http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm
diunduh melalui www. google.com 12 Juni 2010.

312

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


________. 2003. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Wahyudi, Ibnu. 2005. Kiprah Perempuan Pengarang di Indonesia
Pasca-Saman dalam Jurnal Srinthil: Media Perempuan
Multikultural. Jakarta: Desantara.
Walby, Silvia. 1989. Theorizing Patriarchy, in Sociology Journal
Vol 23 (2) hlm. 213231.
Wellek, Rene. 1978. Concept of Criticsm. New Haven and London:
Yale University.
Wiyatmi. 2003. Feminisme dan Dekonstruksi terhadap Ideologi
Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami, Diksi,
Vol 10, No. 2, Juli 2003.
Yusilawati, Dara. 2004. Praktik Poligami di Indonesia, Ironis dan
Dilematis, dalam Kompas, 30 Agustus.
Yusuf, Nova Riyanti. 2003. Mahadewa-mahadewi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Sumber dari Surat Kabar dan Internet


Bayang-bayang Perempuan Pengarang, Kompas, Minggu 7
Maret 2004.
Damono, Sapardi Djoko. 2004. Perempuan Sastrawan, Tren atau
Proses Kebangkitan? Kompas, 02 Maret 2006.
http://indonesiafile.com/content/view/793/79/, Jumat, 06 Februari
2009. Imam Besar Istiqlal Boikok Film Perempuan Berkalung
Sorban. Diakses melalui Google.com. 10 Juli 2010.
Pikiran Rakyat, 02 Agustus 2003. Puspa Wardoyo, Poligami Award.
www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/utami.html.
amartapura.com
sinarharapan.co.id

TENTANG PENULIS

Wiyatmi, sejak 1990 menjadi dosen di Jurusan


Pendi-dikan

Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri


Yogyakarta. Pendidikan S1 dan S2 Sastra
Indonesia diselesaikan di Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini sedang
menyelesaikan penulisan disertasi (S3) dengan kajian gender
dalam novel Indonesia. Beberapa penelitian dan artikel seputar
kajian sastra dan gender telah ditulisnya dan dipublikasikan dalam
berbagai jurnal dan forum ilmiah, antara lain Tradisi Penulisan
Kritik Sastra Indonesia: Refleksi terhadap Minimnya Kritikus Sastra
Perempuan, (Semnas PIBSI XXVII, 2728 September 2005, Hotel
Galuh Yogyakarta), Menggagas Penulisan Sejarah Sastra Ber
perspekstif Gender (Konferensi Internasional Pusat Kajian Wanita
Universitas Gadjah Mada, 1213 Januari 2009 dimuat dalam
Gender and Politics, editor Siti Hariti Sastriani). Buku yang telah
ditulisnya adalah Pengantar Kajian Sastra (Yogyakarta: Pustaka,
2006) dan Sosiologi Sastra: Teori dan Kajian terhadap Sastra
Indonesia (Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2008), Psikologi Sastra:
Teori dan Aplikasinya (Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011).

313

314

Dra. Wiyatmi, M.Hum.

Anda mungkin juga menyukai