FEMINIS
Teori dan Aplikasinya
dalam Sastra Indonesia
KRITIK KARYA
FEMINIS
Teori dan Aplikasinya
dalam Sastra Indonesia
PO.***.06.12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
GLOSARIUM
BAB I PENGERTIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Kritik Sastra
3. Kritik Sastra Feminis
4. Ragam Kritik sastra Feminis
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Feminisme
3. Perkembangan dan Ragam Feminisme
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
v
vi
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Penerapan Kritik Sastra Feminis terhadap Novel-novel
Indonesia
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Novelis Perempuan Periode 2000-an: Dekonstruksi
terhadap Sejarah Sastra Indonesia yang Patriarkis
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
vii
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Suara Perempuan Urban
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas
BAB VII KETIKA PARA PENGARANG PEREMPUAN BICARA TENTANG
SEKS DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA MUTAKHIR
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Konsep Seks dan Karya-karya Sastra Bernuansa Seks
3. Fenomena Seks dalam Karya Para Pengarang Perempuan
4. Metafora Seksualitas dalam Novel Indonesia
5. Relasi Perempuan dengan laki-laki
6. Aliran Feminisme yang Melatarbelakanginya
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Pengertian Poligami
3. Sastra, Realitas, dan Pandangan Dunia Pengarang
4. Poligami dalam Perspektif Sastrawan Perempuan
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas
viii
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Feminisme Islam
3. Feminisme
Dunia
Ketiga/Feminisme
Poskolonial/
Feminisme Multikultural
4. Isu Gender dalam Novel Geni Jora dalam Perspektif
Feminisme Islam
5. Isu Gender dalam Novel Salah Asuhan dalam Perspektif
Feminisme Dunia Ketiga
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Ketika Perempuan Berjuang Melalui Organisasi Sosial
Rangkuman
B. Latihan dan Tugas
BAB XI KAUM PEREMPUAN PUN MENJADI PELAKU BISNIS DALAM
NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
ix
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Perlawanan terhadap Kawin Paksa dalam Novel-novel
Indonesia
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Perlawanan terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam Novel-novel Indonesia
Rangkuman
Tujuan Pembelajaran
A. Materi Pembelajaran
1. Pengantar
2. Perjuangan Perempuan di Bidang Pendidikan di Daerah
Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut
3. Perjuangan Perempuan di Bidang Kesehatan di Daerah
4. Terpencil dalam Novel Namaku Teweraut
Rangkuman
Rangkuman
GLOSARIUM
Apresiasi:
penghargaan.
Dalam
konteks
sastra,
berarti
xi
xii
memusihi, membenci
xiii
KATA PENGANTAR
xv
xvi
xvii
Ani
Sekarningsih,
menguraikan
perjuangan
kaum
xviii
xix
BAB I
KRITIK SASTRA FEMINIS
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1. Pengertian kritik sastra.
2. Pengertian kritik sastra feminis.
3. Konsep-konsep dasar feminisme
4. Perkembangan dan ragam feminisme
5. Ragam kritik sastra feminis.
B. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Kritik Sastra
(apreciation)
berasal
dari
bahasa
Inggris,
10
11
12
13
14
15
16
17
18
lanjut
Brooks
(2005:
6)
menjelaskan
bahwa
19
20
21
22
23
24
laki-laki
dan
perempuan
mendasarkan
pada
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
C. Rangkuman
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang
langsung berhubungan dengan karya sastra dengan melalui inter
pretasi (penafsiran), analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi).
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra
(kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastrakarya sastranya. Kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari
gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat
pada 1700-an (Madsen, 2000: 1).
Sejak kemunculannya pertama kali di Amerika, Eropa, dan
Prancis, feminisme telah mengalami perkembangan dan penyebaran
yang pesat ke berbagai negara di penjuru dunia. Perkembangan
dan penyebaran feminisme tersebut telah memunculkan istilah
feminisme gelombang pertama, feminisme gelombang kedua,
feminisme gelombang ketiga, posfeminisme, bahkan juga
feminisme Islam dan feminisme dunia ketiga. Feminisme juga
dibedakan berbadarkan aliran pemikirannya, sehingga menun
culkan istilah feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme
marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan
global, ekofeminisme, dan feminisme Islam.
Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra
feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang
ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk
oleh suara tradisional yang bersifat patriarki. Tujuan utama kritik
35
BAB II
PENERAPAN KRITIK SASTRA
FEMINIS TERHADAP NOVELNOVEL INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1. Cara kerja kritik sastra feminis.
2. Menerapkan kritik sastra feminis terhadap novel-novel
Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Cara Kerja Kritik Sastra Feminis
37
38
f.
39
40
41
berjudul
Citraan
Perlawanan
Simbolis
terha
42
43
44
pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dalam novelnovel Indonesia. Meskipun demikian, ditemukan sejumlah kajian
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 1) In
the Shadow of Change (Helwig, 2003); 2) Hubungan Intertekstual
Roman-roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru (Pradopo, 1995),
yang memfokuskan pada masalah emansipasi wanita dalam Sitti
Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu; 3) Feminisme dan
Dekonstruksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman
Karya Ayu Utami (Wiyatmi, 2003), dan Pasca Kolonialitas dan Si
Feminin dalam Sastra Indonesia Modern (Hatley, 2006).
Dalam In the Shadow of Change (Hellwig, 2003) dikaji 25
novel dan tiga cerita panjang dalam kurun waktu lima dekade
(1937 sampai 1986). Dengan menggunakan perspektif kritik sastra
feminis, Hellwig mencoba memahami bagaimana penggam
baran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia dan sejauh mana
gambaran tersebut membantu menciptakan citra umum perem
puan dalam masyarakat Indonesia. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa persoalan esensialisme identitas telah lama
menjadi persoalan penting bagi gagasan tentang emansipasi
perempuan di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kebanyakan pengarang laki-laki masih menganggap femininitas
sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan, dan tidak meng
herankan jika tokoh-tokoh yang keibuan, pandai mengatur rumah
tangga, lembut, dan penyayang, menjadi figur yang sering ditam
pilkan. Sementara itu, pada karakter yang diciptakan penulis
perempuan, femininitas sering kali dianggap tidak sesuai dengan
konsep kemajuan perempuan. Para penulis perempuan umum
nya menggambarkan dilema tentang persoalan esensialisme
45
46
47
48
49
pernah dilakukan.
e. Kajian Teori
Untuk menjawab sejumlah masalah dalam penelitian ini
digunakan beberapa kerangka teori yaitu novel sebagai sarana
pencitraan perlawanan simbolis, hegemoni patriarkat dalam
ranah privat dan publik, dan kritik sastra feminis.
1) Novel sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan manusia, sebuah
novel sastra diciptakan bukan untuk tujuan estetis semata, seperti
diyakini oleh teori struktural objektif atau sebagai refleksi dari
struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material,
seperti diyakini oleh teori Marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan
novel memiliki posisi yang cukup penting, yaitu mengemban fungsi
sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu mengkonstruksi
masyarakat yang diedealkan (Gramsci, via Far, sering kali harus
harus melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dan
dominan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.
Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra (novel)
merupakan perlawanan yang bersifat simbolis. Hal ini karena
perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata dan gagasan
yang diungkapkan dalam sebuah novel. Sebagai mana dike
mukakan oleh Damono (dalam Kratz, ed., 2000: 650653) bahwa
sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masya
rakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan
yang tinggi, karya sastra yang dihasilkannya juga mencerminkan
kritik sosial yang (barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakat.
Kepekaan semacam itu telah dimiliki oleh sejumlah sastrawan
50
51
52
ayat 1, setiap istri harus mematuhi suaminya; pasal 106, ayat 2, sudah
merupakan keharusan bagi istri untuk hidup bersama suaminya;
pasal 124, ayat 1 dinyatakan bahwa suami mempunyai kekuasaan un
tuk bertindak atas aset-aset perkawinan dan kepemilikan, termasuk
seluruh kepemilikan pribadi istri dan yang dimiliki saat menikah
(Arivia, 2006: 438). Hegemoni patriarkat dalam ranah domestik
tampak disosialisasikan melalui Panca Dharma Wanita. Di dalamnya
dikemukakan bahwa wanita sebagai: 1) pendamping suami, 2) ibu
sebagai pendidik dan pembina generasi muda 3) pengatur ekonomi
rumah tangga, 4) pencari nafkah tambahan, 5) anggota masya
rakat terutama organisasi wanita, badan-badan sosial yang intinya
menyumbangkan tenaga kepada masyarakat sebagai relawan. Dari
sini tampak bahwa Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan
sebagai tersubordinasi oleh laki-laki. Dalam hubungannya dengan
laki-laki, perempuan dianggap sebagai pendamping suami, pencari
nafkah tambahan dan bukan sebagai perempuan karier. Panca
Dharma Wanita ikut melahirkan sekaligus menjadi bidan munculnya
ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki. Dilihat dari
segi emansipasi, Panca Dharma Wanita tidak mengizinkan adanya
kesetaraaan atau keseimbangan antara suami dan istri.
Adanya hegemoni patriarkat dalam ranah privat dan publik
akan menimbulkan ketidakadilan gender karena masyarakat
menempatkan perempuan lebih pada tugas-tugas domestik,
sementara tugas-tugas publik merupakan wilayah laki-laki. Akibat
nya, kesempatan perempuan mendapatkan pendidikan maupun
kesempatan bekerja di sektor publik menjadi dinomorduakan.
3) Kritik Sastra Feminis
53
54
Cara Penelitian
55
56
57
Hasil Analisis
58
59
60
61
Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah lain kehidupan
kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari dapur kembali
pula ke rumah.
Apabila berumur tujuh delapan tahun, mulailah dikurung
sebagai burung, tiada melihat langit dan bumi, sehingga
tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita. Sedangkan
pakaian dan makanan, tiada diindahkan, apalagi kehendak dan
kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar memasak,
menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya pekerjaan yang
tiada dapat menambah kekuatan dan menajamkan pikiran.
(Roesli, 2001: 204)
Pada kutipan yang berasal dari tiga buah novel dengan latar
masyarakat yang berbeda tampak bahwa tradisi pingitan tidak
hanya terjadi di Jawa, seperti disebutkan Kartini, tetapi juga
terjadi di Sumatra (Tapanuli, Azab dan Sengsara), Minangkabau
(Sitti Nurbaya), dan Bangka (Kehilangan Mestika). Kalau novel
62
63
64
65
66
67
gembira
Berbulan-bulan kerjaku ini berjalan baik, sampai pada
suatu petang ibu tiriku datang dan melihat aku dengan muridmuridku. Ia berteriak, mengatakan aku menerima uang dari
anak-anak tetangga, dan kami mengotori serambi dan banyak
lagi kesalahanku disebutkan
(Purbani, 1979: 9091)
68
69
70
71
72
73
74
75
76
penelitian
yang
telah
dilakukan
dapat
77
C. Rangkuman
Sebelum melakukan penerapan kritik sastra feminis terhadap
novel-novel Indonesia perlu disusun rancangan yang meliputi latar
belakang pemilihan fokus masalah, tujuan, kajian kepustakaan,
kerangka teori, penentuan sumber data, dan cara analisis data.
Setelah itu dilanjutkan dengan kerja analisis dan menyusun laporan
analisis. Laporan dapat disusun dengan mengikuti pedoman yang
berlaku dalam lingkup tertentu, atau yang dikenal dengan gaya
selingkung.
BAB III
KEHADIRAN NOVELIS
PEREMPUAN DALAM SASTRA
INDONESIA TAHUN 2000-an:
DEKONSTRUKSI TERHADAP
SISTEM PATRIARKAT DAN
PENCARIAN IDENTITAS
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami uraian dalam bab ini, diharapkan
mahasiswa memahami dan mampu menguraikan dengan
menggunakan bahasa sendiri hal-hal sebagai berikut:
1) Contoh penerapan kritik sastra feminis.
2) Menerapkan kritik sastra feminis terhadap novel-novel
Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
78
79
karya Dewi Sartika, Geni Jora (2003) karya Abidah El-Khaliaeqy, dan
Tabularasa (2003) karya Ratih Kumalasebagai juara pertama,
kedua, dan ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2003telah memunculkan pendapat dari beberapa kritikus
dan pembaca bahwa masa depan novel Indonesia akan berada
di tangan para penulis perempuan. Beberapa kritikus dan pem
baca yang memberikan pendapat tersebut antara lain adalah
Sapardi Djoko Damono (2004) dan Ibnu Wahyudi (2002). Damono
(Kompas, 2004)yang hampir selalu berperan seagai anggota
dewan yuri lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta dan
menyeleksi novel-novel karya perempuan sebagai juara pertama
pada 1989 maupun 2002 mengemukakan bahwa masa de
pan novel Indonesia ada di tangan perempuan. Sementara itu,
Wahyudi (Srintil, 2005) menyatakan bahwa munculnya sejumlah
nama pengarang perempuan mengindikasikan akan muncul
nya generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang
mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe
yang merendahkan mereka.
Di samping disusul dengan tiga orang perempuan dan novelnovelnya yang juga mendapakan penghargaan dalam lomba
penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta, kemunculan Ayu
Utami, diikuti oleh sejumlah penulis perempuan lainnya seperti
Dee (Dewi Lestari) (misalnya Supernova I, II, [2001]), Nova Ri
yanti Yusuf (Maha Dewa Maha Dewi, 2003), Djenar Mahesa Ayu
(Mereka Bilang Saya Monyet dan Jangan Main-main dengan
Kelaminmu, Nayla, 2002, 2004, 2004), Eliza V. Handayani (Area
X: Himne Angkasa Raya, 2000), Herlinatiens (Garis Tepi Seorang
Lesbian, 2003), Oka Rusmini (Tarian Bumi, Kenanga (2000, 2003),
80
81
82
83
84
sakit jiwa. Novel ini juga mengangkat tokoh yang menjalani praktik
kehidupan gay (homoseksual), seperti yang pernah dimunculkan
oleh Dewi Lestari. Mahadewa Mahadewi memotret cerita tentang
tokoh yang menjadi seorang teroris, yang melakukan berbagai
teror di tanah air atas nama jihat.
Novelis berikutnya adalah Herlinatiens dengan karyanya
Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), yang mengangkat tokoh yang
menjalani kehidupan homoseksual (lesbian). Sepanjang novel
tersebut didominasi dengan monolog, dialog, dan kenangan
tokoh terhadap hubungan cinta homoseksual yang dialaminya.
Dalam novel ini tokoh-tokoh lesbi dihadapkan dengan kekuasaan
patriarkat dan masyarakat yang mendukung hubungan hete
roseksual. Novel tersebut segera disusul dengan Dejavu,
Sayap yang Pecah (2004), Jilbab Britney Spears (2004), Sajak
Cinta Yang Pertama (2005), Malam untuk Soe Hok Gie (2005),
Rebonding (2005), Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005),
Koella, Bersamamu dan Terluka (2006), dan Sebuah Cinta yang
Menangis (2006).
Novelis berikutnya adalah Dewi Sartika, dengan novelnya
Dadaisme (2003) menjadi juara ketiga lomba penulisan novel
Dewan Kesenian Jakarta 2003. Novel ini bercerita tentang seorang
anak yang mengalami gangguan kejiwaan, kehilangan suaranya
pada usia tujuh tahun, karena mengalami trauma hebat. Trauma
tersebut pada akhirnya terungkap setelah tokoh Nedena menjalani
terapi seorang ahli jiwa (dalam novel tersebut disebut sebagai
psikolog). Trauma terjadi karena Nedena menyebabkan rumah
dan ibunya terbakar ketika dia bermain api di kompor. Dengan
teknik puzzle peristiwa disajikan secara menarik.
85
86
87
88
89
90
91
Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Naning Pranoto, Abidah ElKhalieqy, dan Ani Sekarningsih. Menulis sebagai pekerjaan kedua
terjadi pada Nova Riyanti Yusuf, yang profesi utamanya sebagai
dokter jiwa dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009
2014 untuk Daerah Pemilihan Jakarta II dari Partai Demokrat.
Beberapa dari mereka bahkan masih berstatus mahasiswa ketika
menerbitkan karyanya (Dewi Lestari, Ratih Kumala, Herlinatiens,
Eliza Fitri Handayani). Kalau pun mereka juga berkecimpung pada
kegiatan lain, selain menulis, yang dipilih adalah kegiatan yang
masih berhubungan dengan tulis menulis, seperti kewartawanan
(Ayu Utami), penulis skenario (Ratih Kumala) dan pengelolaah Jur
nal (Ayu Utami), maupun Surat Kabar (Oka Rusmini),
Dengan menyebutkan penulis sebagai profesi utama,
menunjukkan bahwa mereka secara sadar telah memilih profesi
tersebut sebagai identitasnya. Menulis telah dijadikan sebagai
pilihan bagi para perempuan tersebut dalam menjalankan peran
publiknya.
Namun,
walaupun
mereka
telah
berusaha
memilih
92
93
C. Rangkuman
Munculnya sejumlah novelis perempuan pada periode 2000an dalam kancah sastra Indonesia, di satu sisi dapat dipahami
adanya pemberontakan dari para perempuan terhadap dominasi
patriarkat dalam sejarah sastra Indonesia. Karya-karya yang mereka
hasil, yang diikuti dengan prestasi yang diperolehnya, terutama
menjadi pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian
Jakarta maupun penghargaan Khatulistiwa Award menunjukkan
eksistensi mereka di dunia penulisan sastra. Namun, tidak
selamanya mereka mendapat pujian dari masyarakat. Mereka juga
mendapatkan kritik tajam yang berusaha memarginalkan mereka,
yang menunjukkan masih dominannya kultur patriarkat dalam
masyarakat kita.
94
BAB IV
KONSTRUKSI GENDER DALAM
NOVEL GENI JORA KARYA
ABIDAH EL-KHALIEQY
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah
memahami
bab
ini
mahasiswa
diharapkan
B. Materi Pembelajaran
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
Perempuan
di
Universitas
al-Akhawayn
di
107
Woman and Sex, The Hidden Face of Eve karya Nawal el Saadawi,
Beyond The Veil karya Fatima Mernissi (Khalieqy, 2003: 13).
Tokoh Fatima Mernissi juga dimunculkan dalam novel ini. Dia
digambarkan sedang memberikan ceramah di Masjid Besar Jamial
Sunnah di Rabat tentang sejumlah fakta historis kepemimpinan
perempuan dari berbagai penjuru dunia yang keberadaannya
sering dilupakan.
Seperti dalam sebuah dongeng, para ratu, malikah,
khatun, mereka muncul sedikit demi sedikit dari rintihan
lembut halaman-halaman yang telah menguning dalam bukubuku kuno. Satu demi satu mereka berparade melalui ruangruang sunyi perpustakaan dalam suatu barisan intrik dan
misteri yang tak berkesudahan. Kadang-kadang mereka mun
cul berdua-dua atau bertiga-tiga, menyerahkan tahta dari ibu
kepada putrinya, di pulau-pulau yang jauh dalam wilayah Islam
Asia. Mereka disebut Malikah, Arwah, Alam al Hurrah, Sultanah
Radhiyyah, Turkan Khatun, Tajal Alam atau Nur al Alam
Ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan,
semua orang yang memonopoli hak untuk berbicara atas nama
Islam, dan terutama Nawaz Syarif, sang pemimpin oposisi
darai partai Islamic Democratic Alliance, berteriak menghujat,
Sungguh mengerikan! Belum pernah sebuah negara muslim
diperintah oleh seorang perempuan! Dengan mengutip hadis,
mereka mengutuk peristiwa ini sebagai yang melanggar hukum
alam
(Khalieqy, 2003: 1
415).
108
109
110
111
112
113
yang. Tak ada sesuatu pun yang kurang. Allah melimpahkan segala
kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang tak terhingga
pada kita semua. Dan ini harus kita syukuri (Khalieqy, 2003: 80).
Sesuai dengan kultur patriaki, sosok ayah dalam Geni
Jora digambarkan sebagai orang yang hebat, kaya, berkuasa,
berwibawa, dan menguasai ilmu agama.
Bangun dalam sepertiga malam itu sangat bagus, tetapi
bukan untuk sensasi. Bangun malam adalah qiyamullail,
tahajjud, tafakur! Tadarus! Bukan keluyuran membikin berita
heboh, menggangu para tetangga, menggangu saudarasaudaranya yang tengah tidur. Itu namanya merusak malam.
Sekaligus merusak nama baik Ayah. Paham?
Paham, Yah.
Dan kau, Lola. Awasi adikmu! Jika sekali lagi bikin sensasi
tahu hukuman apa yang bakal Ayah jatuhkan.
(Khalieqy, 2003: 74)
114
115
116
117
C. Rangkuman
Dalam novel Geni Jora terungkap konstruksi gender yang
berlatar belakang budaya pesantren dan tradisi Islam yang
menempatkan perempuan sebagai the second class yang harus
selalu mengalah agar tata kehidupan yang ada dapat berjalan
dengan baik. Karena tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam
(Alquran) yang menekankan keadilan dan kesetaraan gender,
maka konstruksi gender tersebut dilawan oleh tokoh Kejora
dengan selalu mengkritisi dan menunjukkan prestasinya sehingga
dapat mencapai kesetaraan gender. Melalui feminisme Islam, pada
akhirnya akan dipahami sejumlah faktor yang menjadi penyebab
terjadinya ketertindasan perempuan dalam novel tersebut.
118
BAB V
SUARA PEREMPUAN URBAN
DALAM CERPEN-CERPEN KARYA
DJENAR MAESA AYU
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini
diharapkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang berkaitan
dengan aplikasi kritik sastra feminis ketika diterapkan pada karyakarya Djenar Maesa Ayu, sehingga memiliki keterampilan untuk
mengaplikasikannya pada karya sastra yang lain.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
bagi perubahan identitas subjek yang mengalaminya. Manusiamanusia urban tersebut, di satu sisi dibentuk oleh identitas budaya
asalnya, tetapi di sisi lain juga akan mengalami berbagai problem
akibat persentuhannya dengan budaya urban di tempatnya yang
baru. Cerita pendek, sebagai salah satu genre sastra di Indonesia,
mencoba merekam manusia urban, seperti dapat disimak dalam
119
120
cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Jangan MainMain (Dengan Kelaminmu) (2004).
Cerpen-cerpen yang terdapat dalam Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu) hampir semuanya bertokoh utama
perempuan. Mereka digambarkan
121
fiksi (novel atau cerpen). Dalam sebuah fiksi dunia nyata dan
dunia rekaan saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa
yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia
realita (Soeratno, 1994a: 189190). Apa yang terjadi dalam
realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang untuk meng
gambarkannya kembali dalam karya sastra yang diciptakannya.
Dengan menggunakan kerangka berfikir tersebut, maka cerita
yang digambarkan dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main
(Dengan Kelaminmu) dianggap menggambarkan kembali (me
representasikan) realitas yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya,
dengan
menggunakan
perspektif
kritik
Dalam paradigma
122
123
Ekspresi Erotisme
124
125
..
Akhirnya ting yang ditunggunya tiba juga. Tapi ia tak
berlari keluar seperti yang direncanakannya. Ia berjalan wajar
melewati beberapa orang di sepanjang koridor itu. Makin
dipegangnya erat-erat tas tangan yang melingkar di bahunya
seperti takut ada yang mencuri. Barbybisiknya dalam hati.
Pintu terbuka. Satu suara menyergap kerinduannya.
Menghalau kebimbangannya. Menyapa cintanya.
Mama
(Ayu, 2004: 93)
126
sebagai PSK. Lapangan kerja dengan gaji yang memadai dan biaya
hidup yang tinggi di kota-kota besar telah memaksa para pe
rempuan memasuki profesi tersebut. Di samping PSK, sering kali
127
128
129
tokoh perempuan simpanan. Ketika mengetahui bahwa istri lakilaki yang menjadi kekasihnya selama lima tahun itu pada akhirnya
hamil, perempuan tersebut yang selama ini dipuja-puja dan
dicekoki persepsi jelek tentang istrinya, juga mulai ragu. Dia mulai
bertanya-tanya: mungkin selama ini dia hanya berbohong untuk
menyenangkan saya. Sesungguhnya hubungannya dengan istrinya
baik-baik saja dan juka mereka punya anak, pastilah hubungan
mereka tambah membaik.
Sosok perempuan simpanan juga terdapat dalam Moral.
Karena motif ekonomi tokoh aku, yang berusia 25 tahun, terpaksa
menjadi simpanan suami orang. Kehidupan yang glamor dengan
penampilan yang sering kali mengabaikan moral harus dijalaninya,
terutama ketika dirinya harus berburu mencari calon suami yang
mapan. Di samping cerpen yang mengisahkan para PSK, kekasih
simpanan, dan istri yang diabaikan oleh suaminya, juga terdapat
cerpen yang menggambarkan para perempuan yang menjalani
gaya hidup free sex, yaitu pada cerpen Saya di mata Sebagian
Orang dan Penthous 2601. Kedua cerpen tersebut mengritik
kehidupan free sex sejumlah orang. Dalam Saya di mata Sebagian
Orang kritik disampaikan oleh teman-teman tokoh aku yang
menganggap aku sebagai orang yang munafik, pembual, sok
gagah, dan sakit jiwa. Kritik tersebut terbukti ketika sang tokoh
akhirnya tak berdaya karena menderita HIV. Dalam Penthous
2601 free sex dikritik melalui kamar yang bernama Penthous
2601 dan perabotannya.
Di samping sosok perempuan sebagai istri, PSK, dan
simpanan juga terdapat cerpen yang menggambarkan sosok anak
perempuan sebagai korban kekerasan seksual, termasuk kekerasan
130
131
C. Rangkuman
Dalam cerpen-cerpen karya Djenar maesa Ayu yang terdapat
dalam kumpulan Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)
tampak bahwa posisi kaum perempuan urban dalam masyarakat
metropolis dalam hubungannya dengan kaum laki-laki masih
berada dalam posisi termarginalkan. Kultur patriarkat yang
dominan menempatkan para perempuan sebagai ibu rumah
tangga, yang dalam relasi cinta dan psikologis dengan suaminya
sering kali diduakan karena adanya perempuan lain sebagai sim
132
BAB VI
KETIKA PARA PENGARANG
PEREMPUAN BICARA TENTANG
SEKS DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA MUTAKHIR
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi yang disajikan
dalam bab ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan gambaran
mengenai aplikasi kritik sastra feminis terhadap sejumlah novel
Indonesia, khususnya yang ditulis oleh para pengarang perempuan
dan mengangkat masalah seksualitas.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
ini
adalah
munculnya
sejumlah
pengarang
perempuan, yang pada umumnya merupakan generasi muda. Karyakarya mereka mendapat sambutan yang menggembirakan dari pu
blik pembaca. Beberapa dari pengarang tersebut antara lain Ayu
Utami (menulis Saman [2001] dan Larung [2003]), Dee (Dewi
133
134
dengan
transformasi
sosio-kultural
Indonesia,
135
136
137
138
pembacaan
dan
pengamatan
terhadap
139
140
lesbianisme
141
dengan
adanya
organisasi
(paguyuban)
yang
142
143
144
145
146
147
148
Dalam Mahadewa-
selalu dapat
149
laki yang sejajar. Hal itu ditemukan dalam empat buah novel, yaitu
Mahadewa-Mahadewi, JJ, Ip, dan Saman. Sementara data yang
menunjukkan posisi perempuan mendominasi laki-laki sebanyak
pada novel Sm dan Larung, dan perempuan didominasi laki-laki
pada novel WSV. Di samping itu, juga ditemukan tokoh perempuan
yang menolak hubungan heteroseksual dan menginginkan hubung
an lesbianisme pada novel Garis Tepi Seorang Lesbian dan Larung
dan laki-laki yang menolak heteroseksual dengan menginginkan hu
bungan gay pada novel Tabularasa, Dadaisme, dan Saman.
Dari perspektif kritik sastra feminis, posisi yang sejajar antara
perempuan dan laki-laki dalam sektor publik dan domestik sesuai
dengan pandangan feminisme liberal. Tokoh-tokoh perempuan
seperti Yukako dan June digambarkan sebagai sosok perem
puan yang memiliki karier di sektor publik. Yukako seorang calon
dokter spesialis kejiwaan, sementara June seorang reporter dan
penyiar radio di Singapura. Sementara Gardina, walaupun sebagai
perempuan simpanan pejabat, digambarkan memiliki kecerdasan
dan kewibawaan di hadapan laki-laki yang dilayaninya. Demikian
pula Diva, meskipun memiliki profesi sebagai seorang pelacur
dan peragawati, tetapi memiliki kecerdasan dan eksistensi di
hadapan para laki-laki yang membayarnya. Relasi yang sejajar
antara perempuan dengan laki-laki dalam sejumlah novel tersebut
menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial laki-laki dan perem
puan saling melengkapi dan dapat bekerja sama.
Sementara itu, posisi perempuan yang dominan dari pada
laki-laki dalam Sm dan Larung menunjukkan kecenderungan
pandangan feminisme radikal yang menolak dominasi laki-laki
dengan cara melawannya dan berusaha mendominasi laki-laki,
150
151
ada
152
C. Rangkuman
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan tampak
bahwa fenomena seks yang digambarkan dalam novel Indonesia
mutakhir karya sastrawan perempuan
secara berturut-turut
153
BAB VII
KETIKA PARA SASTRAWAN
PEREMPUAN BICARA POLIGAMI
DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi pembelajaran
dalam bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai aplikasi kritik sastra feminis, khususnya
untuk memahami fenomena poligami yang diangkat sebagai
persoalan dalam sejumlah novel Indonesia karya para sastrawan
perempuan.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
155
156
157
158
159
poligami tanpa izin dari istri tidak diakui di hadapan hukum positif.
Hal ini tentu saja tidak akan berpengaruh sama sekali bagi pihak
suami. Namun bagi istri kedua, ketiga atau keempat, jelas mereka
dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan mereka
yang mengakibatkan mereka tidak dapat menuntut suami jika suami
melanggar hak-haknya, seperti tidak dapat menggugat cerai suami,
dan tidak dapat melaporkan suami jika terjadi kekerasan dalam
rumah tangga. Kedua, banyaknya naib-naib (penghulu tidak resmi)
yang dengan senang hati melakukan pernikahan bawah tangan.
Alasan utama naib tidak resmi kebanyakan adalah sebenarnya
dalam hukum Islam (fikih), perkawinan dianggap sah walaupun
tanpa pencatatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam fikih
mazhab Syafii dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan
yaitu adanya pengantin laki-laki, adanya wali dari pengantin pe
rempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab-qabul (serah-terima). Ke
banyakan, praktik poligami dilakukan melalui pernikahan bawah
tangan melalui naib tak resmi atau dilakukan secara tidak resmi
(tidak dicatat di KUA) walau melalui naib resmi. Ketiga, adanya
penyelewengan di Kantor Urusan Agama oleh oknum tertentu
dengan cara menerima suap. Penyelewengan yang dilakukan oknum
KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon pengantin
pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status
bujangan atau dengan tetap melaksanakan pernikahan walaupun
tanpa surat keputusan dari Pengadilan Agama atau pernyataan izin
dari istri pertama. Keempat, sosialisasi mengenai peraturan tentang
poligami yang kurang. Banyak wanita yang menentang poligami
namun tidak mengetahui apa yang dapat dilakukan jika musibah itu
terjadi pada diri mereka.
160
161
162
163
164
165
166
167
168
hubungan
suami
istri
tersebut,
yang
menjadi
selingkuhan
tersebut,
bahkan
169
170
171
perselingkuhan). Hal itu tidak hanya dilakukan oleh tokoh lakilaki, Asril, tetapi juga tokoh perempuan (Isabela). Meskipun sudah
memiliki dua orang istri secara syah, ternyata Asril juga digambar
memiliki hubungan perselingkuhan dengan bekas kekasihnya, Isabela
(Sartika, 2003: 148). Demikian pula Isabela, meskipun dia sudah
menikah dengan Rendy, tetapi masih juga mencintai Asril. Bahkan
keduanya, sering bertemu dan berkencan (Aku mencintai laki-laki
ini dan aku mencintai laki-laki itu. Dan kamu sadar, betapa beratnya
menjadi malaikat dan setan sekaligus,) (Sartika, 2003: 126).
Tokoh-tokoh yang terlibat poligami dalam Dadaisme, bahkan
digambarkan dapat menikmati hidupnya dengan tanpa masalah,
meskipun kedua istrinya tinggal dalam satu rumah.
Bila dipahami dalam perspektif feminisme, maka pandangan
para sastrawan perempuan mengenai poligami dapat dijelaskan
sebabagai berikut. Meskipun poligami yang digambarkan Abidah
El-khalieqy mengenai poligami dalam kedua novelnya sesuai
dengan pandangan Islam, namun secara spesifik dia meman
dangan fenomena tersebut cenderung sesuai dengan pandangan
feminisme radikal. Alasan poligami pada novel Geni Jora, karena
istri pertama tidak dapat memberikan keturunan (sesuai dengan
UUP 1974, pasal 4: istri tidak dapat melahirkan keturunan dan
pasal 5: adanya persetujuan dari istri/istri-istri dalam perspektif
feminisme pada merupakan bentuk pengunggulan kaum lakilaki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah
hanya untuk melayani suami dan menghasilkan keturunan. Ini
bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan
Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena
istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
172
173
174
termasuk
pekerjaan,
partisipasi
politik,
dan
175
pendidikan
176
177
178
179
180
radikal yang tampak pada karya Abidah El-Khalieqy dan Fira Basuki
dan feminisme liberal pada karya Dewi Sartika. Feminisme radikal
memandang poligami sebagai bentuk dominasi laki-laki atas
perempuan, sehingga menimbulkan berbagai masalah terutama
pada para istri dan anak-anaknya. Feminisme liberal yang tercer
min dalam pandangan Dewi Sartika cenderung tidak memperma
salahkan poligami sebagai bentuk dominasi patriarkat, bahkan
pihak-pihak yang menjalaninya tidak merasa akibat buruk dan
masalah darinya. Poligami bahkan dapat menjadi solusi karena
pernikahan dengan istri pertama tidak memberikan keturunan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan pada peneliti
selanjutnya untuk meneliti karya-karya sastra lainnya yang
mempersoalankan kasus poligami, termasuk karya para sastrawan
laki-laki. Selanjutnya, bagi masyarakat umum perlu disosialisa
sikan akibat-akibat buruk yang dapat ditimbulkan dai kasus poli
gami, sehingga seminimal mungkin terjadinya kasus poligami
dapat ditekan.
C. Rangkuman
Dalam perspektif feminisme, poligami sebagai sebuah tik
perkawinan seorang laki-laki dengan dua atau lebih istri dalam
kurun waktu bersamaan dianggap sebagai salah satu wujud
kekuasaan patriarkat. Hal ini karena pelaksanaan poligami
dilatarbelakangi oleh alasan yang cenderung melemahkan seorang
istri, misalnya karena istri tidak dapat memberikan keturunan
atau karena sakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti
dikemukakan dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
Dengan menggunakan perspektif feminisme beberapa novel yang
181
BAB VIII
FEMINISME ISLAM DAN DUNIA
KETIGA: RELEVANSINYA DENGAN
KAJIAN NOVEL INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi pembelajaran
pada bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman yang
berhubungan dengan feminisme Islam dan dunia ketiga dan
relevansinya dengan kajian novel-novel Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
satu hal yang telah mengarusi novel Indonesia sejak awal 1920an sampai kini (2009). Dalam Azab dan Sengsara (Merari Siregar,
1920), Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Layar Terkembang
(Sutan Takdir Alisyahbana, 1936), Belenggu (Armijn Pane, 1940),
Para Priyayi (Umar Kayam, 1992), Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Bekisar Merah
(Ahmad Tohari, 1982, 1985, 1986), Pada Sebuah Kapal dan Jalan
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
dan
prestasi
yang
dimiliki
Jora,
me
194
195
196
197
198
199
yang seta
200
201
202
203
204
205
206
207
C. Rangkuman
Pilihan terhadap ragam pemikiran (teori) feminisme yang
akan digunakan sebagai landasan dalam melakukan kerja analisis
dan kritik terhadap suatu karya pada dasarnya harus mendasarkan
pada karakteristik karya itu sendiri. Novel Geni Jora, dengan cerita
dan konteks sosial budaya masyarakat Islam di Jawa mengarahkan
pada pilihan feminisme Islam untuk memahaminya. Demikian juga
novel Salah Asuhan, yang cerita dan konteks sosial historis dan
budayanya masa komolian Belanda di Indonesia mengarahkan
pada pilihan feminisme Dunia Ketiga.
BAB IX
KETIKA PEREMPUAN BERJUANG
MELALUI ORGANISASI SOSIAL
REFLEKSI DALAM BEBERAPA
NOVEL INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini,
diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang aplikasi kritik sastra feminis yang memahami peran
perempuan dalam organisasi sosial yang tereflesikan dalam
beberapa novel Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
C. Rangkuman
Pada pembahasan di atas tampak adanya hubungan antara
aktivitas para perempuan yang digambarkan dalam novel Indo
nesia dengan realitas sosial historis yang terjadi dalam masya
rakat, khususnya yang berhubungan dengan sejarah perjuangan
perempuan melalui berbagai organisasi perempuan pada awal
19201930-an. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan feminisme di
Indonesia tidak hanya terjadi dalam realitas sosial historis, tetapi
juga digambarkan dalam realitas simbolis, pada novel-novel yang
ditulis pada masa tersebut. Dalam hal ini novel yang terbit pada
saat itu ikut merepresentasikan gerakan feminisme, terutama
masa masa sebelum kemerdekaan.
BAB X
KAUM PEREMPUAN PUN
MENJADI PELAKU BISNIS
DALAM NOVEL CANTING KARYA
ARSWENDO ATMOWILOTO
A. Tujuan pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiwa mendapatkan pemahaman mengenai
aplikasi kritik sastra feminis dalam memahami fenomena
keterlibatan perempuan sebagai pelaku bisnis dalam novel Canting
karya Arswendo Atmowilito.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
219
220
221
222
223
224
Wening
225
Dari dua buah kutipan di atas juga tampak adanya pengakuan bahwa
bakat Wening sebagai pengusaha sebenarnya diperoleh dari ibunya,
lebih tepatnya belajar secara tidak langsung dari kemampuan ibunya
(Bu Bei) dalam menjalankan usaha produksi dan perdagangan batik.
Pendidikan formal yang diperolehnya, ilmu ekonomi, diharapkan
akan lebih mendukung pilihannya sebagai seorang pengusaha.
Sebelum ibunya meninggal Ni sudah berniat meneruskan
usaha batik ibunya. Orang tuanya telah menghadiahkan sebuah
apotik ketika Ni lulus sebagai sarjana farmasi, tetapi dia lebih
tertarik untuk melanjutkan usaha batik yang ditinggalkan oleh
ibunya. Sebelum memulai usahanya, Ni mengidentifikasi jumlah
buruh batik yang masih tinggal bersama keluarganya, selanjutnya
memanggil sebagian besar dari mereka dalam sebuah rapat.
Kini saatnya!
Ni masuk rumah. Mengikat rambutnya dengan tali karet.
Mengambil buku catatan, lalu menuju bagian samping. Di
tempat buruh-buruh membatik.
Wah, jadi juragan betul-betul.
Ni memandang Pak Mijin.
Pakai selametan.
Entah apa saja yang telah terdengar oleh Pak Mijin dan
telinga yang lain. Yang selama ini berdiam diri, tak menunjukkan
tahu sesuatu.
Rapat dulu.
226
Rapat apa?
Pokoknya rapat. Pak Mijin tolong panggilkan Pakde
Wahono, Pakde Karso, Pakde Tangsiman, Pakde Ni membuka
catatannya, Pakde Kromo, Jimin.
Saya boleh ikut?
Panggil saja dulu.
.
Begini Pakde-pakde sekalian. Saya akan mulai lagi usaha
batik ini. Meneruskan, istilahnya. Selama ini agak seret. Mudahmudahan kita semua bisa bekerja sama.
Yang pertama saya akan meminta Pakde Wahono
menjadi pengawas produksi.
Pakde Wahono menunduk, jidatnya mengerut.
Mijin jongkok, berlutut.
Mengawasi pembuatan batik ini secara keseluruhan.
Semua berada pada tanggung jawab Pakde Wahono...
Pakde Karso yang meramu obat-obat. Terutama untuk
sablon. Memeriksa campuran warna apa, kalau kurang belinya
di mana, apa yang diperlukan.
Bisa kan Pakde?
(Atmowiloto, 2009: 309310)
227
228
229
C. Rangkuman
Pada novel Canting telah ditunjukkan bahwa kaum perempuan
juga memiliki kemampuan untuk mandiri secara ekonomi dan
memenuhi keperluan rumah tangganya. Peran perempuan
pun tidak semata-mata hanya mengatur rumah tangga, tetapi
juga berperan di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Dalam perspektif feminis gambaran tersebut menunjukkan
adanya perlawanan terhadap kuasa patriarkat yang membatasi
partisipasi perempuan di sektor publik, serta belenggu kebebasan
perempuan dalam menjalani kehidupan dan perannya di sektor
domestik maupun publik dalam novel-novel Indonesia yang dikaji.
BAB XI
PERLAWANAN TERHADAP
TRADISI KAWIN PAKSA DALAM
NOVEL-NOVEL INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman terhadap aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami fenomena perlawanan
terhadap tradisi kawin paksa dalam sejumlah novel Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan demikian,
ayah Anisa telah melanggar ketentuan tersebut. Tokoh Anisa tidak
hanya menjadi korban perkawinan di bawah umur, tetapi juga
dipaksa menikah dengan orang yang belum dikenalnya.
Terbayang kembali peristiwa pahit yang mengawali
pernikahanku dengan Samsudin, laki-laki yang baru kulihat
wajahya sejam sebelum akad nikah. Tubuhnya tinggi besar
perawakan pegulat yang kehabisan nyali sesudah segalanya
gagal.
Bukankah laki-laki yang gagah? Coba mulai menga
guminya dan jangan cemberut terus seperti orang sakit gigi
begitu. Ia seorang sarjana hukum dan putra seorang kiai
ternama. Apalagi yang kurang dari dirinya? Segalanya ia miliki.
Dan ia memang laki-laki yang memikat.
Memikat hati ibu?
Huss! Kau ini bicara apa Nisa?
Dari seberang meja, laki-laki bernama Samsudin itu
tertawa melihat kami saling berbisik. Alangkah memuakkan
tawanya. Tanpa kuketahui apa saja yang telah dirundingkan
oleh mereka, mendadak saja aku harus membunyikan kata
setuju dan ya untuk sesuatu yang sangat gelap. Kemudian
aku harus menuliskan tanda tanganku di atas kertas asing yang
tak kuketahui apakah isinya.
(Khalieqy, 2001: 105106)
248
249
C. Rangkuman
Kawin paksa dalam novel-novel yang dikaji menunjukkan
adanya kekuasaan patriakat yang membelengu kaum perempuan.
Oleh karena itu, novel-novel tersebut melakukan kritik terhadap
250
tradisi itu. Dari perspektif kritik sastra feminis, maka kritik, perla
wanan, dan perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah
novel yang dikaji tersebut menunjukkan adanya perlawanan
terhadap ketidakadilan gender yang membelenggu kebebasan
kaum perempuan, terutama dalam pemilihan jodoh. Beberapa
tokoh perempuan yang telah mengenyam pendidikan, dengan
dukungan tokoh-tokoh laki-laki dalam novel tersebut tampak
menyuarakan semangat feminisme, khususnya feminisme liberal
yang memberikan hak dan kebebasan kepada kaum perempuan
memilih pasangan hidupnya.
BAB XII
PERLAWANAN TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DALAM NOVEL-NOVEL
INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami materi dalam bab ini,
diharapkan mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami masalah perlawanan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam novel-novel
Indonesia.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
252
253
254
255
256
257
258
259
260
nenek
yang
diskriminatif
dan
memarginalkan
261
262
263
264
265
266
267
268
C. Rangkuman
Dari pembahasan di atas tampak bahwa budaya pariarkat
yang mengunggulkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan, baik
dalam posisinya sebagai istri maupun anak, telah menyebabkan
marginalisasi perempuan yang sering kali berakibat pada adanya
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun
psikis. Feminisme, yang menginginkan adanya kesetaraan gender
mendorong kaum perempuan untuk melakukan perlawanan,
seperti telah diuraikan dalam bab ini.
BAB XIII
PERJUANGAN KAUM PEREMPUAN
DI BIDANG PENDIDIKAN
DAN KESEHATAN DI DAERAH
TERPENCIL DALAM NOVEL
NAMAKU TEWERAUT KARYA ANI
SEKARNINGSIH
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam bab
ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman terhadap aplikasi
kritik sastra feminis dalam memahami fenomena perjuangan
kaum perempuan di bidang pendidikan dan kesehatan di daerah
terpencil yang terefleksikan dalam novel Namaku Teweraut.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
ini karena di samping lokasi geografis yang jauh dari ibu kota
provinsi maupun pemerintah pusat, di beberapa daerah tersebut
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
C. Rangkuman
Novel Namaku Teweraut ditulis oleh Ani Sekarningsing untuk
menggambarkan kepedualiannnya terhadap nasib perempuan
Asmat, Papua yang belum mendapatkan akses pendidikan dan
layanan kesehatan seperti halnya di daerah lain, terutama di Jawa.
Oleh kerena itu, dengan menggambarkan tokoh-tokoh perempuan
dari Jawa yang berjuang di Asmat dalam bidang pendidikan dan
kesehatan novel tersebut mencoba membukakan mata para
pembaca agar ikut berperan dan memikirkan nasib kaum perempuan
di daerah-daerah terpencil seperti di Papua. Dalam perspektif
feminisme, novel tersebut mencoba membukakan kesadaran
pembaca akan pentingnya memperjuangkan pendidikan dan layanan
kesehatan di daerah terpencil, khususnya yang dapat dinikmati oleh
kaum perempuan yang di daerah tersebut terpinggirkan.
peran
perempuan
dalam
memperjuangkan
BAB XIV
KETIKA AYU UTAMI DAN ABIDAH
EL KHALIEQY MEMPERSOALKAN
POSISI PEREMPUAN DALAM
NOVEL INDONESIA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca dan memahami uraian materi dalam
bab ini, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman mengenai
aplikasi kritik sastra feminis, khususnya dalam memahami
persoalan karya-karya sastra yang mempersoalkan posisi kaum
perempuan dalam konteks budaya patriarkat, dengan mengambil
sampel karya Ayu Utami dan Abidah Al-Klalieqy.
B. Materi Pembelajaran
1. Pendahuluan
280
281
282
cukup tajam dalam sebagian besar dialog dan monolog tokohtokoh perempuan dalam Saman.
Kemunculan novel Saman sebagai juara pertama lomba
penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1989 tersebut, ternyata
telah memicu munculnya sejumlah penulis perempuan untuk
menulis, menerbitkan, dan mengikuti jejak Ayu Utamu dalam
lomba penulisan novel periode berikutnya. Pada 2003, pemenang
pertama sampai ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenia
Jakarta ditempati oleh tiga orang penulis perempuan, yaitu Abidah
El Khalieqy (Geni Jora), Dewi Sartika (Dadaisme), dan Ratih Kumala
(Tabularasa) sebagai para juara pertama, kedua, dan ketiga. Tiga
orang kritikus bertindak sebagai dewan yuri, yaitu Sapardi Djoko
Damono, Budi Darma, dan Maman S Mahayana.
Kemunculan mereka telah melahirkan berbagai pendapat
dari para kritikus dan pembaca yang menyatakan bahwa masa
depan novel Indonesia akan berada di tangan para penulis
perempuan (Damono, Kompas, 07 Maret 2004 ). Sementara itu,
Wahyudi (Srintil, 2005) menyatakan bahwa munculnya sejumlah
nama pengarang perempuan mengindikasikan akan munculnya
generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang
mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe
yang merendahkan mereka.
Pernyataan yang dikemukakan oleh Damono dan Wahyudi
tersebut memang didukung oleh kenyataan, karena kemunculan
keempat penulis perempuan tersebut segera disusul oleh sejumlah
penulis perempuan yang mempublikasikan karya-karyanya. Mereka
antara lain Dee (Dewi Lestari) Ddengan karyanya Supernova I, II,
(2001), Akar (2003), dan Petir (2004), Nova Riyanti Yusuf dengan
283
terutama
posisinya
dalam
masyarakat
dan
284
285
Sebelum membahas masalah posisi perempuan dalam novelnovel karya Ayu Utami dan Abidah el-Khalieqy terlebih dulu
dipaparkan keberadaan keduanya dalam peta sastra Indonesia.
Dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Korrie Layun
Rampan (2000) menempatkan kedua penulis tersebut dalam
sastrawan Indonesia Angkatan 2000, yaitu mereka yang berkarya
dan mempublikasikan karyanya sekitar tahun 2000-an. Bahkan,
Rampan (2000: liii) menyebut Ayu Utami sebagai pelopor dan
pembaharu penulisan novel periode 2000. Pembaruan tersebut
tampak dari pola kolase yang meninggalkan berbagai warna
yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetik
menonjolkan kekuatan-kekuatan literer.
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Dia
menyelesaikan pendidikannya di jurusan Sastra Rusia, Fakultas
Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas
Indonesia. Sebelum dikenal sebagai penulis novel, dia pernah
memenangkan sayembara penulisan cerita humor di majalah
Humor pada 1991. Dia juga menulis kolom bertajuk Sketsa di
harian Berita Buana (1991). Ayu Utami pernah menjadi wartawan
Matra, Forum Keadilan, D & R (Rampan, 2000: 186). Tak lama
setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru dia
pun ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes
pembredelan surat kabar dan majalah yang kritis terhadap
pemerintaha Orde Baru. Kini dia bekerja di jurnal kebudayaan
Kalam dan Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap
memperluas batas penulisan dalam masyarakat, dia mendapat
Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang
bermarkas di Den Haag, Belanda, yang mempunyai misi men
286
(www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/utami.html).
287
288
pada ideologi patriarkat sebagai tata nilai dan otoritas utama yang
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Oleh
karena itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye
anti kekerasan terhadap perempuan (Tong, 2006: 68).
Sumber: amartapura.com
Ayu Utami dan dua buah novel karyanya
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299
300
301
C. Rangkuman
Ayu Utami dan Abidah El-Khalieqy merupakan dua orang
pengarang perempuan dari periode 2000-an yang sama-sama
302
DAFTAR PUSTAKA
303
304
305
1975.
Manusia
Bebas.
Jakarta:
306
307
308
Ismail, Nurjannah. 2003. Perempuan dalam Pasungan: Bias Lakilaki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Junus, Umar Junus. 1984. Perkembangan Novel Indonesia Modern.
Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Grafitipers.
Kodiran. 1985. Kebudayaan Jawa, dalam Koentjaraningrat, editor.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kusujiarti, Siti. 2006. Antara Ideologi dan Transkrip Tersembu
nyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa,
dalam Irwan Abdullah, editor. Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kumala, Ratih. 2003. Tabularasa. Yogyakarta: Mahatari.
Kutaneraga, Pande Made. 2006. Perdagangan: Kosmologi dan
Konstruksi Dunia Wanita, dalam Irwan Abdullah, editor.
Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
dengan Pustaka Pelajar.
Lewis, Reina and Sara Mills. 2003. Feminist Postcolonial Theory a
Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Madsen. Deborah L. 2000. Feminist Theory and Literary Practice.
London, Sterling, Virginia: Pluto Press.
Mangunwijaya, Y.B. 1980. Burung-burung Manyar. Jakarta:
Djambatan.
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme
sampai Kemerdekaan Jilid I. Yogyakarta: LKIS.
Mojab, Shahrzad. 2001. Theorizing the Politics of Islamic
Feminism, in Feminist Review, No. 69, diakses dari
Palgrave Macmillan Journals is collaborating with JSTOR,
24 April 2009.
Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar
Harapan.
309
310
311
312
TENTANG PENULIS
313
314