Abses Paru PDF
Abses Paru PDF
PARU
DEPARTEMEN RADIOLOGI
FK.USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis jaringan.(1) Pada
daerah abses, terdapat suatu daerah lokal nekrosis supurativa di dalam parenkim
paru, yang menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas yang besar.
Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun
karena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan
anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada
kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi
dengan daya tahan tubuh yang menurun (immunocompromised).(2)
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya
abses paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait pendorong
terjadinya abses paru, diantaranya para pecandu alkohol, penderita karies gigi,
aspirasi saluran pernafasan sampai kelainan saluran pernafasan.(2),(4),(5) Kuman
atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru
disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob
dan aerob.(2) Kemudian pada anak-anak ditemukan faktor predisposisi dari abses
paru dapat disebabkan oleh infeksi berat hingga imunodefisiensi.(5)
Untuk melihat lokasi dan bentuk lesi maka dilakukan pemeriksaan
radiologik sebagai pemeriksaan penunjang abses paru. Pemeriksaan radiologik
yang akan digunakan antara lain Foto polos, Tomografi Komputer (TK),
Ultrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging (MRI).(3) Pada
pemeriksaan foto polos sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk
abses paru.(11) Sedangkan pada TK dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat
pada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding
dalam dan luar kavitas abses.(12) Pemeriksaan radiologik lain seperti ultrasonografi
(USG)(13) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)(14) juga dapat menentukan
diagnosis meskipun jarang digunakan.
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya
dalam
penatalaksanaannya.(16)
Antibiotik
tunggal
tidak
menghasilkan hasil yang memuaskan kecuali pus bisa di drainase dari kavitas
abses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase
postural.(17)
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 3040%.(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih.(2) Kavitas ini berisi material purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila diameter
kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan
necrotizing pneumonia.(3)
II.2.
Epidemiologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses
paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya :
No
Alkoholik (50%)
Ca Bronkogenik (25%)
Epilepsi (6,6%)
Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Dari
hasil kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%), klebsiella
(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%).(4)
Penelitian lain melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang
terjadi pada anak-anak, diantaranya(5):
Measles
Burns
Prematur
Leukimia
Hepatitis
Disgammaglobulinemia
Sindroma nefrotik
Penyakit granulomatosa kronik
Terapi steroid
Malnutrisi
Aspirasi berulang
Defisiensi mental
Perubahan kesadaran
Disfagia
Penyakit dental
Fibrosis kistik
Misplaced central nervouse catheter
Defisiensi alpha-antitrypsin
Benda asing pada saluran pernafasan
Benda asing yang bersifat erosi di esofagus
Alkoholisme
penyalahgunaan obat intravena
epilepsi
anastesi umum
gangguan serebrovaskular
trauma
faring
laring
esofagus
penyakit sinus
caries gigi
penyakit gingival
Infeksi farigeal
pouch
Infeksi
trakeoesofageal
striktur
fistula trakeoesofageal
Infeksi nasal
Infeksi oral
II.3.
Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses
paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri
anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan aspirasi atau
pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder apabila
infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti
obstruksi, bronkektasis dan gangguan imunitas.(2)
Tabel 2.4. Spektrum Organisme Penyebab Abses Paru(5)
Type of Abscess
Organisms
Primary
Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae types B, C, F, and nontypable
Streptococcus viridans, pneumoniae
Alpha-hemolytic streptococci
Neisseria sp.
Mycoplasma pneumoniae
Secondary
Aerobes
All those listed for primary abscess
Haemophilus aphropilus, parainfluenzae
Streptococcus group B, intermedius
Klebsiella penumoniae
Escherichia coli, freundii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificsns
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescens
Anaerobes
Peptostreptococcus constellatus, intermedius,
saccharolyticus
Veillonella sp., alkalenscenens
Bacteroides melaninogenicus, oralis, fragilis,
corrodens, distasonis, vulgatus, ruminicola,
asaccharolyticus
Fusobacterium necrophorum, nucleatum
Bifidobacterium sp.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen.(2) Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat
aspirasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus
maupun tumor. Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan
dengan infeksi.
Tabel 2.5.Organisme dan Kondisi yang Berhubungan dengan Abses Paru6
Infectious
Noninfectious and Predisposing
Conditions
Bacteria
Anatomis
Anaerobes; Staphylococcus aureus,
Fluid-filled cysts, bland
Enterbacteriaceae, Pseudomanas
infraction
aeruginosa, streptocicci, Legonella
Bronchiectasis
spp, Nocardia asteroides,
Burkholdaria pseudomallei
Obstruction (neoplasm, foreign
Mycobacteria (often multifocal)
body)
M. tuberculosis, M. avium complex, M.
Pulmonary sequestration
kansasii, other mycobacteria
Fungi
Aspergillus spp, Mucoraceae,
Pulmonary contusion
Histoplasma capsulatum,
Pneumocystis carinii, Coccidioides
immitis, Blastocystis hominis
Carcinoma
Parasites
Entamoeba histolytical, Paragonimus
westermani, Stronglyoides
stercoralis (post-obstructive)
Empyema (with air-fluid level)
Septic embolism (endocarditis)
II.4.
1.
Patogenesis
Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang
pertama dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang
menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi
terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan
fibrotik.(1),(7),(8)
Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke
saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya
mungkin keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada
pemeriksaan radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk
sehingga terjadi aspirasi pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses
paru yang baru.. Kadang-kadang abses pecah ke dalam rongga pleura dan
menghasilkan fistula bronkopleura, yang menyebabkan pneumotoraks atau
empiema.(9)
2.
Patofisiologi
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut(10):
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita
dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan
merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut(1):
Aspirasi berulang, M.O Terjebak di sal
nafas bawah, proses lanjut pneumonia
inhalasi bakteria
Faktor
Predisposisi
Bakteri mengadakan multiplikasi dan
merusak parenkim paru
Proses Peradangan
Panas
Gangguan rasa
nyaman: Nyeri
Proses nekrosis
DifusiVentilasi
terganggu
Kelemahan
Fisik
Intoleransi
Aktifitas
II.5.
Ujung saraf
paru tertekan
Kadar O2
Turun
Reflek batuk
Gangguan
Pertukaran Gas
Bersihan Jalan
Nafas
Kurang
Informasi
Kurang
Pengetahuan
1. Gejala klinis1,6,7,9,10
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya
menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya :
a. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai
dengan temperatur > 400C disertai menggigil, bahkan rigor.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai
berkisar 40 75% penderita abses paru.
d. Nyeri dada ( 50% kasus)
e. Batuk darah ( 25% kasus)
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.Jari tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama bila
drainase tidak baik.
II.6.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal,
tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki
basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi
pleura.(1)
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadang-kadang
terdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya
besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya
konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.
Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak,
bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat lesi.(2)
II.7.
Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat
lebih dari 12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan
peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan
meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih
didapatkan pergeseran shit to the left.(1)
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik
secara tepat.(1)
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan
cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.(2)
II.8.
Pemeriksaan Radiologik
Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya (panah putih).
Kasus pada abses paru(13)
Seorang pria, 42 tahun dengan demam dan batuk berdahak yang berbau
busuk. Os memiliki riwayat penggunaan alcohol berat, infeksi gigi didapati
pada pemeriksaan fisik. Foto toraks menunjukkan adanya abses paru di
segmen posterior obus kanan atas.
tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.
Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada
dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Abses paru juga dapat
membentuk sudut lancip dengan dinding dada.12
Diagnosa Banding
Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau segmen
superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral. Kavitas
berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level
3. Empiema
Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan
visceral (pleura split) dan kompresi paru.(15)
lapangan paru (panah kuning dan kotak). Lesi pada bagian atas paru kanan
adalah abses paru dan pada bagian bawah paru kiri adalah empiema.
4. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
6. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart burn
bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti dengan
pemeriksaan barium foto.
Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi
perkiraan yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang
mendasarinya dan pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram. Pada
kebanyakan abses paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob,
antubiotik atau kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih. Terdapat
banyak regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin,
makrolide,
kloramfenikol
dan
klindamisin
semuanya
telah
digunakan.
amoksisilin
dan
metronidazol
merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa
obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit
menelan, sementara menunggu hasil kultur definitifnya. Makrolide seperti
eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin
pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.(2)
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasil
kultur telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotik
selama 6 minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu.
Periode pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus
telah kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan
hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu
dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim. Hal ini
mungkin terjadi dalam beberapa minggu.
Drainase
Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik dan fisioterapi. Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien. Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan
melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase. Pada sebagian pasien, demam
berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik sudah sesuai dan
fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu
dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.
Drainase pada pasien abses paru mungkin bisa dilakukan pendekatan
melalui cabang bronkus atau secara perkutaneus. Dalam teknik sebelumnya,
akvitas abses paru dimasukkan langsung dengan fibreoptic bronchoschopy atau
melalui kateter yang melewatinya.(17)
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru
berhubungan dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula
permanen. Pada beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan.
Drainase perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan
pada mereka yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti pneumotoraks dan
fistula bronkopleura.
Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik konvensional
untuk penempatan kateter tetapi USG mengizinkan lebih banyak lokalisasi
spasial. CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki keuntungan visualisasi
yang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal lainnya, dan banyak operator
yang mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini, yang mungkin
bermanfaat ketika abses paru ditemukan.
Reseksi pembedahan
Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan
abses paru jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis berat
atau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan, reseksi
hanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan tanpa bukti
adanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak adekuat atau
keadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi utama ini
mungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap, khususnya
ketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan. Kronisitas mungkin bersifat
sementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi jaringan
dan diikuti dengan jaringan ikat. Definisi sementara adalah bahan perdebatan,
tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi sputum) 6
minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial atau
percutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.(18)
II.11 Komplikasi
Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui
resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya
gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.
Demam biasanya hilang dalam beberapa hari, menetap dalam 2 minggu
jarang terjadi dan membuktikan tidak adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas
akan menutup dalam sebulan dan meninggalkan gejala selama 4 8 minggu.
Turunnya nilai PCR, dan pasien yang merasa lebih baik dan berat badan yang
bertambah merupakan tanda pembaikan semua stage penanganan abses paru.
Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama 3 bulan atau lebih dan tidak
memberikan peningkatan untuk memperhatian perkembangan pasien.
Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak kurang sering
terjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih berhubungan
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah empiema.(9) Pasien mungkin tidak akan datang pada dokter
hingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan merapuhkan
pembuluh darah dan memunculkan hemoptisis.(19) Jarangnya, tetapi khusus pada
pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin menyebar sangat
cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan
antibiotik mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melalui
granulasi jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitel
skuamos atau siliata. Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasi
ketika abses asli yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih sering
daripada saluran napas kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasi
memunculkan bronkiektasis sakuler lokal. Penyebaran infeksi ke dalam vena paru
bisa menyebabkan abses serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarang
terjadi.
II.12. Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara 3040%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik.(20) Beberapa
faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut(21):
BAB III
KESIMPULAN
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kuman atau bakteri penyebab
terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri
anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.(2)
Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan serangkaian
pemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara
lain Foto Polos, Tomografi Komputer, Ultrasonografi (USG) dan Magnetik
Resonance Imaging (MRI).(3)
Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada pasien akan dijumpai
kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya,
lebih sering dijumpai pada paru kanan dibandingkan paru kiri. Bila terdapat
hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air Fluid Level.
11
Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi
(opasitas).
Pada pemeriksaan Tomografi Komputer akan dijumpai kavitas terlihat
bulat dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di
daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru
berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.
Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan dinding dada.(11),(12)
Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses paru.
Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru. tampak lesi hipoechic bulat
dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda
hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.(13)
Sedangkan pemeriksaan MRI ternyata akurat untuk mendiagnosa dan
menentukan lokasi penyakit paru. Pada pasien dengan pneumonia dan abses paru,
peradangan akut berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2 bila
dibandingkan dengan T1 weighted image.(14)
Daftar Pustaka:
1. Alsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu Penyakit
Paru: Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140.
2. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam : Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta.
Halaman 1052-1055.
3. Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview [Accessed on 19
Februari 2011]
4. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J
Postgrad Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available
from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?1981/27/3/163/5637 cited on 6
March 2011 in Journal of Postgraduated Medicine. Available from
http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=00223859;year=1981;volume=27;issue=3;spage=163;epage=6;aulast=Kharkar#
cited. {Accessed on 5 Maret 2011)
5. Asher, MI, 1990. Lung Abscess in Infections of Respicatory Tract;
Canada. 429 434 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
from
[Accessed on 20 Februari 2011]
6. Finegold, S.M.,dkk. 1998. Empyema and Lung Abscess ; in Fishmans
pulmonary Diseases and disorders 3rd ed ; Philadelphia. Halaman : 2021
2032 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available from
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
7. Barlett, J.G., 1992. Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ;
Phildelphia. Halaman : 413 415 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru.
Available from http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-absesparu.html [Accessed on 20 Februari 2011]
8. Ricaurte, K.K., dkk. 1999. Allergic broucho pulumonary aspergillosis with
multiple Streptococceus pneumonie. Lung Abscess : an unussual insitial
case presentation. Journal of Allergy and Clinical Imonoligy 104. 238
240.
9. Maitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam : Robbins, Buku Ajar
Patologi Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.
10. Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal
Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma. 119 120.
11. Juhl, John., dkk. Essentials of Radiologic Imaging. Mexico. Halaman 755757.
12. Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua: Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta. Halaman 101-103.
13. Bouhemad B, Zhang M, Lu Q, Rouby JJ. 2007. Clinical review: Bedside
lung ultrasound in critical care practice. Crit Care. 11(1). Halaman 205