Anda di halaman 1dari 10

Oleh, Muzdakir Muhlisin, Mahasiswa Pascasarjana Filsafat UGM 2012

A. Sumber-sumber Pemikiran Plato


1. Pengaruh Negara Sparta.
Mitos Negara Sparta telah mempengaruhi teori politik Plato. Mitos tersebut
secara lengkap terdapat di dalam buku life of Lycurgus 9kehidupan Lycurgus)
karangan penulis Plutarch (Russel, 1968: 22). Secara singkat, bangsa Sparta dapat
digambarkan sebagai bangsa yang berhasil dalam tujuan poko mereka, yaitu
menciptakan satu suku bangsa yang terdiri dari serdadu ahli perang. Keuletan
mereka dapat dijadikan sebagai teladan (Russel, 1968: 29). Pengaruh Negara Sparta
terhadap Plato akan tampak jelas dalam pembahasan mengenai negeri utopia-nya
(Russel, 1968: 39).
2. Faham-faham dari tokoh filsafat murni yang mempengaruhi Plato, dan juga berupa
ajaran yang memang telah menempatkan dia untuk mendukung Sparta. Tokohtokoh tersebut secara garis besar sebagai berikut:
a. Pythagoras. Plato mengambil elemen-elemen kepercayaan orphis ke dalam
filsafatnya, yaitu kecenderungan kepada agama, kepercayaan tentang abadinya
ruh, adanya dunia lain, nada kependetaan, dan segala hal yang termasuk dalam
perumpamaan

gua.

Juga

rasa

penghargaan

dia

terhadap

ilmu

dan

pencampuradukan yang begitu pekat terhadap intelek dan mysticism atau klenik
(Russel, 1968: 41).
b. Parmenides. Plato mengambil kepercayaan bahwa kenyataan bersifat abadi dan
tidak mengenal waktu, dan bahwa dengan dasar landasan-landasan logika,
segala perubahan tentu hanya tipuan (Russel, 1968: 41).
c. Heraclitus. Plato mengambil ajaran negative, bahwa di sana tidak ada sesuatu
yang tetap di dalam dunia yang fana. Hal ini diperpadukan dengan doktrin
Parmenides sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa pengetahuan tidaklah
dicapai dengan panca indera. Tetapi hanya dapat diperoleh dengan akal (Russel,
1968: 41).
d. Sokrates. Plato memperoleh pelajaran berkenaan dengan masalah-masalah
susila dan kecenderungannya untuk mencari keterangan teleologis, tidak
e.

mekanis, mengenai kejadian dunia (Russel, 1968: 42).


Cratylus, filsuf Heraclitean. Darinya Plato belajar bahwa dunia persepsi
inderawi adalah aliran dunia, sehingga tidak tepat subjek-materi sebagai
1

pengetahuan yang benar dan pasti. Bahw apengetahuan yang benar dan pasti
dapat dicapai pada tingkat konseptual (Copleston, 1993: 128).
B. Ajaran Tentang Idea
Filsafat Plato berlandas atas perbedaan antara apa yang sebenarnya (reality)
dengan apa yang tampak (appearance) (Russel, 1968: 66). Paragraph-paragraf
berikut ini adalah ringkasan teori idea Plato:
Kita ajukan pertanyaan: siapakah seorang filsuf? Jawaban pertama adalah
sesuai dengan arti asal kata (etimology): seorang filsuf adalah seorang pecinta
kebijaksanaan. Akann tetapi hal ini tidaklah sama dengan pecinta pengetahuan,
dalam arti dimana seseorang yang haus akan pengetahuan dapat dikatakan juga
mencintai pengetahuan. Rasa ingin tahu sehari-hari tidak akan menjadikan
seseorang menjadi filsuf. Karena itu, definisinnya harus diadakan perubahan: filsuf
adalah seseorang yang cinta melihat kebenaran. Akan tetapi, apa arti melihat ini?
(Russel, 1968: 66).
Baiklah, kita pertimbangkan seseorang yang mencintai barang-barang
cantik, melihat lukisan-lukisan baru, dan mendengarkan lagu-lagu baru. Orang
seperti itu bukan seorang filsuf karena ia hanya mencintai barang-barang yang
indah atau cantik. Filsuf mencintai kecantikan itu sendiri. Orang yang hanya
mencintai barang cantik saja adalah bermimpi, sedangkan orang yang mengetahui
kecantikan mutlak adalah yang benar-benar terjaga. Orang pertama hanya memiliki
khayal, sedang orang yang kedua memiliki pengetahuan (Russel, 1968: 67).
Menurut Plato, semua objek inderawi particular (khusus) memiliki sifat
yang berlawanan dan cocok untuk menjadi objek khayalan, bukan pengetahuan.
Akan tetapi orang-orang yang juga dapat melihat hal yang mutlak dan abadi dan
tidak berubah-ubah, maka bisa dikatakan tahu, bukan sekedar khayalan. Jadi,
kahyalan adalah tentang dunia panca indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang
dunia yang abadi di atas penangkapan panca indera (Russel, 1968: 68).
Di dalam Republic, diasumsikan bahwa setiap pluralitas individu memiliki
nama yang sama, mereka juga memiliki sebuah ide yang sesuai atau bentuk
universal, bersifat umum, atau kualitas yang digenggam dalam konsep, misalnya
kecantikan. Ada banyak hal yang indah, tapi hanya ada satu konsep universal yaitu
keindahan itu sendiri. Plato beranggapan pula bahwa konsep-konsep universal tidak
2

hanya konsep subjektif, tetapi di dalamnya kita memahami esensi objektif


(Kopleston, 1993: 164). Idea yang dimaksudkan Plato berbeda dengan istilah
modern tentang ide/ idea yang secara umum dimengerti sebagai gagasan yang
datang dari subjek. Idea bukanlah ciptaan subjek, melainkan terlepas dari subjek
yang berfikir. Idea tidak tergantung pada pemikiran, tapi justru sebaliknya, pikiran
itulah yang bergantung pada idea-idea. Berfikir berarti mengarahkan aktifitas
pikiran kepada idea-idea.
Di bagian terakhir dari buku Republik, Plato menerangkan bahwa sejumlah
barang mempunyai nama yang sama, mereka juga mempunyai satu idea atau
forma yang sama. Misalnya, meskipun di sana terdapat banyak tempat tidur,
namun di sana hanya terdapat satu idea atau forma tempat tidur. Sebagaimana
refleksi sebuah tempat dalam cermin, hanyalah perwujudan (appearance) dan tidak
riil karena hanya salinan idea, yaitu suatu tempat tidur yang hakiki dan yang dapat
dibuat oleh Tuhan. Di dunia terdapat pengetahuan, tetapi berkenaan dengan
banyaknya tempat tidur yang dibuat tukang kayu, di sana hanya bisa terjadi
pengkhayalan (Russel, 1968: 70).
Menurut Plato, terdapat dua macam dunia. Pertama, dunia benda-benda
jasmaniah yang beragam dan berubah-ubah. Kedua, dunia idea yang bersifat tetap.
Idea tidak terpengaruh oleh dunia jasmaniah, idea-idea justru mendasari dan
menyebabkan benda-benda jasmaniah. Idea-idea hadir dalam benda-benda
jasmaniah konkret, tetapi idea-idea tersebut tidak berkurang apa-apanya sedikitpun.
Benda-benda konkret berpartisipasi pada satu atau lebih idea-idea. Atas partisipasi
benda-benda tersebut, idea juga tidak berkurang apa-apanya. Idea adalah model,
sedangkan benda-benda konkret adalah gambaran tak sempurna yang menyerupai
model atau idea.
Jadi, dunia idea adalah dunia tersendiri yang mandiri. Keberadaannya
otomi, bahkan dunia ide itulah yang sejati. Dunia jasmaniah atau fisik inderawi
hanyalah suatu baying-bayang dunia idea. Dalam dunia idea ada hierarki idea. Idea
yang tertinggi adalah idea yang baik.
C. Ajaran tentang Pengetahuan.

Bagi Plato, filsafat adalah semacam penglihatan, yaitu penglihatan terhadap


kebenaran (vision of thruth), pengetahuan bukan sekedar kebijaksanaaan tetapi
kecintaan kepada kebijaksanaan (Russel, 1968: 72). Plato berpendapat bahwa
filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang
kebenaran yang asli (Surajiyo, 2007: 1). Ia mengatakan bahwa filsafat harus
berlagsung dengan mengkritik pendapat-pendapat yang berlaku. Jadi kearifan atau
pengetahuan intelektual itu diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan secara
kritis, diskusi, dan penjelasan gagasan-gagasan (Suhartono, 2008: 48). Menurut
Plato, ada dua jenis pengenalan, yaitu rasio dan inderawi. Keduanya terbagi lagi
menjadi dua macam. Bagian rasio yaitu akal (reason) dan pengertian
(understanding). Diantara keduanya, akal lah yang lebih tinggi karena berkaitan
dengan idea murni. Metode yang digunakan adalah dialektika. Pengertian
(understanding) adalah bagian akal yang digunakan dalam ilmu pasti (Russel,
1968: 74).
Rasio mengenal dunia idea dengan objek jelas, tetap, tidak berubah, dan
mutlak disebut dengaan istilah episteme (knowledge). Inderawi mengenai dunia
benda-benda jasmaniah dengan objek relattif, berubah-ubah yang disebut dengan
opinion (Russel, 1968: 75). Plato mewarisi keyakinan gurunya bahwa ada
pengetahuan dalam arti objektif dan pengetahuan yang berlaku universal. Tetapi
Plato ingin menunjukan fakta ini secara teoritis sehingga ia datang untuk
menyelidiki secara mendalam ke dalam masalah pengetahuan, bertanya apa
pengetahuan dan tentang apa (Copleston, 1993: 143).
Dengan demikian, Plato mengatasi pertentangan Heraklitos dan Parmenides
dengan pengenalan dan yang ada dalam jawaban tentang permasalahan tentang
dunia jasmaniah yang dianggap nyata (Copleston, 1993: 161). Menurut Plato, hal
yang berubah-ubah seperti yang dikatakan Heraklitos itu dikenal dengan
pengalaman. Adapun hal yang tetap sebagaimana diungkapkan Parmenides, dikenal
dengan akal budi (Poedjawijatna, 1974: 29). Plato menggambarkan manusia
sebagai tahanan yang dibelenggu di dalam gua. Menghadap ke dinding gua. Di gua
ada nyala api dan ada budak-budak yang lalu lalang di dekat api. Oaring-orang
yang di tahan tadi melihat bermacam-macam bayangan. Bayangan itulah yang
4

dianggap realitas. Ketika salah satu tahanan dibawa keluar dari gua, ia merasa telah
mengetahui realitas, dan ketia ia menatap matahari, matanya silau. Padahal itulah
realitas sejati. Matahari adalah dunia idea, sedangkan baying-bayang para budak
adalah benda-benda jasmaniah yang dianggap realitas yang sesungguhnya. Itulah
kekeliruan manusia pada umumnya (Copleston, 1993: 161).
Plato menyatakan bahwa jika setelah salah satu tahanan yang telah naik ke
luar gua dan melihat sinar matahari tersebut kembali ke dalam gua, ia tidak akan
mampu untuk melihat dengan baik karena gelap sehingga akan membuat dirinya
konyol. Sedangkan jika ia mencoba membebaskan tahanan lain dan memimpin
mereka menuju cahaya, maka para tahanan yang mencintai kegelapan dan yang
menganggap bayangan sebagai realitas sejati, akan membunuh orang yang berusaha
memimpin kea rah caha tersebut jika mereka bisaa menangkapnya. Di sini kita
dapat memahami kejadian yang dialami Sokrates yang berusaha untuk
mencerahkan semua orang yang mau mendengarkan dan membuat mereka
memahami kebenaran dan alasan, bukannya membiarkan diri disesatkan oleh
prasangka dan menyesatkan (Copleston, 1993: 161-162).
Plato telah mengasumsikan sejak awal bahwa pengetahuan harus dapat dan
mampu sempurna dan nyata (riil). Pengetahuan yang benar harus memiliki kedua
karakteristik tersebut, dan setiap keadaan pikiran yang tidak bisa membela klaim
untuk kedua karakteristik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan sejati.
Dalam Theaetetus ia menunjukan bahwa rasa (persepsi) dan keyakinan yang sejati
memiliki kedua tanda tersebut agar dapat disamakan dengan pengetahuan yang
benar. Plato menerima pernyataan Protagoras terkait keyakinan dalam relativitas
akal dan rasa persepsi, tetapi ia tidak menerima relativisme universal. Sebaliknya,
pengetahuan yang mutlak dan sempurna dapat dicapai tetapi tidak bisa sama
dengan persepsi inderawi yang relative, sulit dipahami dan tunduk pada pengaruh
segala macam pengaruh subjek dan objek (Copleston, 1993: 149).
Plato menerima juga pandangan Heraklitus yakni pandangan bahwa objekobjek indera, objek tertentu individu dan masuk akal, selalu dalam keadaan
menjadi, mengalir dan begitu juga tidak layak untuk menjadi objek dari
pengetahuan yang benar. Pengetahuan tersebut datang menjadi ada dan berlalu,
5

mereka terbatas dalam jumlah, tidak bisa jelas dipahami dalam definisi dan tidak
dapat menjadi objek pengetahuan ilmiah. Tapi Plato tidak menarik kesimpulan
bahwa tidak ada benda yang dipasang menjadi objek pengetahuan yang benar.
Objek pengetahuan yang benar harus stabil dan taat, tetap, mampu digenggam
dalam definisi yang jelas dan ilmiah, yaitu yang universal (Copleston, 1993: 149150).
Posisi kebaikan dalam filsafat Plato adalah sangat istimewa. Ilmu
pengetahuan dan kebenaran adalah seperti kebaikan (the good), akan tetapi
kebaikan masih mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Kebaikan bukanlah
hakikat, tetapi melampaui hakikat dari segi kehormatan dan kekuatan. Dialektika
menghantarkan kepada pengahbisan intelektual dan di situlah kebaikan mutlak
dapat ditangkap (Russel, 1968: 78).
D. Ajaran tentang Manusia (Jiwa dan Raga).
Proses kematian Sokrates berhubungan erat dengan kepercayaan Plato
mengenai keabadian ruh (Russel, 1968: 89). Mati, kata Sokrates adalah berpisahnya
ruh dari badan. Ia tidak bersedih hati menghadapi maut, karena ia yakinbahwa ia
menuju dewa-dewa yang bijaksana dan baik. Anggapan Sokrates tersebut
mempertegas dualism Plato: antara kenyataan (reality) dan perwujudan
(appearance), antara idea dan barang duniawi, antara akal dan pengetahuan
inderawi, antara nyawa dan jasmani (Russel, 1968: 92).
Plato membagi manusia atas jiwa dan raga. Keduanya berdiri sendirisendiri. Keduanya diyakini sebagai dua substansi yang berbeda. Bahkan tubuh atau
benda dianggap sebagai penjara jiwa. Bagi Plato, jasmani mempunyai kejahatan
rangkap dua, yaitu sebagai perantara yang tidak jujur dan menyebabkan kita
melihat sesuatu seolah melalui sebuah kaca yang kotor. Kedua, jasmani merupakan
sumber nafsu yang merintangi kita mencari pengetahuan dan melihat kebenaran
(Russel, 1968: 97). Jiwa bersifat kekal, immortal. Sebelum jiwa ke dunia ini, ia
sudah mempunyai pra-eksistensi. Pada masa itulah sebenarnya jiwa sudah
mengenal idea-idea. Maka pengenalan adalah pengingat kembali terhadap semua
hal semasa jiwa masih dalam pra eksistensi. Pengetahuan merupakan ingatan
kembali (reminiscience) dan bukan penangkapan panca indera (perception).
6

E. Ajaran tentang Negara


Menurut Plato, kebaikan dan kejahatan merupakan hal yang tak kenal
waktu. Oleh karena itu, Negara yang paling baik adalah Negara yang sangat mirip
meniru model yang ada di langit, terhindar sejauh mungkin dari perubahan dan
mendekati sedapat mungkin dengan kesempurnaan statis. Dan para penguasa
hendaknya adalah orang-orang yang benar-benar mengerti tentang kebaikan abadi.
Berdasarkan prinsip ajaran Plato, untuk membentuk seorang pemimpin yang baik,
diperlukan adanya pendidikan. Selanjutnya, agar tercapai kebijaksanaan maka
orang-orang yang terpilih hendaknya memiliki kekayaan dan dibebaskan oleh
Negara dari segala macam kesusahan terkait dengan pencarian nafkah untuk hidup
(Russel, 1968: 42-43).
Plato menyatakan bahwa tujuan terpenting dari diadakannya pemerintah
adalah untuk menentukan apa tugas seseorang (Russel, 1968: 58). Plato
menggambarkan Negara ideal terdiri dari 3 bagian. Pertama, para filsuf yang
merupakan golongan tertinggi (kelas pejabat negeri) yang memerintah dengan
bijaksana dan mengatur dengan kearifan kebijaksanaan. Kedua, golongan prajurit
atau serdadu yang menjaga keamanan dengan kegagahan dan keberanian. Ketiga,
golongan terendah (golongan rakyat biasa) yang berproduksi, mencukupi keperluan
hidup. Setiap golongan memainkan peranan masing-masing tanpa campur tangan
golongan yang satu terhadap yang lain (Russel, 1968: 45-46).
Golongan tertinggi (pejabat negeri) harus berjumlah lebih sedikit
dibandingkan dengan kedua golongan lain. Awalnya, golongan ini dipilih oleh
legislator, kemudian mereka digantikan oleh keturunannya. Akan tetapi dalam
keadaan tertentu, anak yang berbakat dari golongan rendah dapat diangkat
derajatnya, dan sebaliknya (Russel, 1968: 46). Golongan pertama ini memperoleh
pendidikan music dan gimnastik. Music berarti segala sesuatu yang berhubungan
dengan kegiatan rohani. Gimnastik berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
latihan fisik dan keterampilan. Sopan santun, adat kebiasaan, dan keberanian adalah
sifat-sifat yang ditanamkan dengan pendidikan. Sejak awal, terdapat pemeriksaan
yang ketat terkait bahan bacaan dan jenis music yang boleh dan tidak boleh
diajarkan (Russel, 1968: 47-48).
7

Latihan fisik juga diperketat. Terkait sopan santun, anak-anak dijaga agar
tidak melihat keburukan atau kejahatan. Akan tetapi pada saat yang tepat, kelak
mereka akan mengalami ujian-ujian dalam bentuk terror-teror yang hendaknya
tidak membuat mereka takut. Mereka juga diuji dengan kenikmatan-kenikmatan
rendah yang hendaknya tidak melumpuhkan kemauan mereka. Setelah mereka lulus
dari percobaan tersebut, mereka baru dikatakan cakapuntuk menjadi pejabat negeri
(Russel, 1968: 50).
Jalur ini dianggap oleh Plato sebagai sebuah kemajuan, meskipun
kemajuan ini bukan proses yang berkesinambungan dan otomatis: perlu upaya dan
disiplin mental. Oleh karena menyadari betapa pentingnya pendidikan, dimana
anak muda dapat diajukan secara bertahap untuk melihat kebenaran abadi dan
mutlak , nilai-nilai, serta diselamatkan dari dunia bayangan yang mereka lewati
dalam kehidupan (kebutaan kesalahan, kepalsuan, prasangka, persuasi sophistical,
dan lain sebagainya). Dengan demikian, pendidikan adalah kepentingan utama
dalam proses mereka menjadi negawan (Copleston, 1993: 162).
Tugas para negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua
keahlian dalam Negara sehingga mewujudkan keseluruhan yang harmonis.
Kebajikan dari golongan tertinggi adalah kebijaksanaan. Kebajikan golongan
militer adalah keberanian, dan kebajikan golongan rakyat biasa adalah
pengendalian diri (Brouwer, 1986: 35). Bentuk pemerintahan Negara yang baik
harus disesuaikan dengan keadaan nyata. Negarawan harus berfungsi sebagai
dokter yang dapat memberikan obat yang bermacam-macam pada pasiennya. Jika
seuatu Negara telah memiliki undang-undang, maka pemerintahan yang baik adalah
monarki, sedang yang paling jelek adalah demokrasi. Sebaliknya, jika Negara
belum memiliki undang-undang maka pemerintahan yang terbaik adalah
demokrasi, sedang yang terjelak adalah monarkhi, sebab demokrasi di sini dapat
mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan (Hadiwijono, 2005: 44). Namun
sebenarnya menurut Plato, puncak dari bentuk Negara adalah Aristokrasi. Ini
adalah bentuk Negara dimana pemerintahnya dipegang oleh orang-orang yang
cerdik dan pandai yang dalam menjalankan pemerintahannnya itu berpedoman
pada keadilan. Di sinilah para budiman itu memerintah sesuai dengan prinsip
8

keadilan. Segaala sesuatu ditujukan untuk kepentingan bersama agar keadilan dapat
merata (Soehini, 1986: 18).
Terkait dengan masalah ekonomi, Plato mengajarkan suatu system sama
rata, sama rasa (komunisme). Tujuan Negara adalah kesejahteraan bersama, bukan
kesejahteraan satu golongan. Kekayaan maupun kemiskinan sama-sama berbahaya.
Dalam negeri impian Plato, keduanya tidak boleh ada (Russel, 1968: 51). Terkait
keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan terdiri dari usaha bersama untuk
mengerjakan tugas masing-masing dan tidak banyak rewel. Kota dikatakan adil
manakala pedagang, tentara, dan petugas pemerintahan mengerjakan pekerjaan
yang menjadi tanggungjawab mereka tanpa mencampuri urusan golongan
masyarakat lain. Oleh karena itu, tugas dan pekerjaan harus ditentukan oleh selera
dan kemauan seseorang atau penilaian pemerintah terhadap bakat yang ia miliki
(Russel, 1968: 57-58).
Plato tampaknya telah mendirikan akademi 9388/7). Semangat ilmiah
akademi pada dir Plato nampak , yakni selain Plato bertujuan membentuk
negarawan dan penguasa, ia juag mengajarkan hal-hal yang akan menjadi aplikasi
praktis secara langsung. Misalnya retorika. Plato yakin bahwa pelatihan yang
terbaikuntuk kehidupan public bukan hanya praktis Sophistic pelatihan,
melainkan mengejar ilmu pengetahuan untuk kepentingan diri sendiri. Plato
berharap, negarawan yang terbentuk tidak akan menjadi oportunis sewaktu
menjabat, tetapi akann bertindak berani dan tidak takut, sesuai dengan keyakinan
pendirian pada kebenaran yang kekal dan tidak berubah. Dengan kata lain, Plato
bertujuan untuk menghasilkan negarawan sejati. Namun kita harus mengakui
bahwa teori ideal dalam bentuk yang tepat tersebut diajarkan di akademi, tidak
diberikan kepada masyarakat secara tertulis (Copleston, 1993: 129-131).
F. Ajaran Tentang Etika
Ajaran etik Plato bersifat intelektuil dan rasionil. Dasar ajarannya adalah
mencapai budi yang baik. Budi adalah jalan tahu sehingga manusia semestinya
menyempurnakan pengetahuan dengan pengertian. Tujuan hidup adalah mencapai
kesenangan hidup. Tapi, tang dimaksud kesenangan hidup bukanlah memuaskan
hawa nafsu di dunia ini. Kesenangan hidup diperoleh denagn pengetahuan yang
9

tepat tentang nilai barang-barang yang di tuju. Di bawah cahaya ide kebaikan,
orang harus mencapai terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup. Menurut
Plato ada dua macam budi. Pertama, budi filosofi yang timbul dari pengetahuan
dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak.
Sikap hidup yang dipakai tidak berasal dari keyakinan, melainkan disesuaikan
dengan moral orang banyak dalam hidup sehari-hari (Mohammad, 1986: 106-107).

10

Anda mungkin juga menyukai