TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Isbagio (2004), cakupan pengertian gejala rematik ataupun pegal linu cukup
luas. Nyeri, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan jaringan
sekitarnya termasuk gejala rematik. Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan
otot disebut rematik yang sebagian besar masyarakat juga menyebutnya pegal linu.
Rematik atau pegal linu juga merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan
kerusakan tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai proliferasi
dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang terkena (Priyanto,
2009).
2.1.2. Etiologi
Faktor penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Namun, faktor
genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan
beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini (Sudoyo,
dkk, 2007).
Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR), dari
beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4
memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini. Rematik/pegal linu pada
pasien kembar lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibandingkan kembar
dizygotic (Sudoyo, dkk, 2007).
Dari berbagai observasi menunjukkan dugaan bahwa hormon seks merupakan salah
satu faktor predisposisi penyakit ini. Hubungan hormon seks dengan rematik/pegal
linu sebagai penyebabnya dapat dilihat dari prevalensi penderitanya yaitu 3 kali lebih
banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria (Sudoyo, dkk, 2007).
Faktor infeksi sebagai penyebab rematik/pegal linu timbul karena umumnya onset
penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran
inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini
sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen
tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga sebagai
penyebabnya adalah bakteri, mycoplasma, atau virus (Sudoyo, dkk, 2007).
2.1.3. Faktor resiko
Menurut Priyatno (2009) beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan
rematik ataupun pegal linu, antara lain;
Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi
Genetik
Kegemukan dan penyakit metabolik
Cedera sendi yang berulang
membentuk daya lentur tulang rawan, sedangkan kolagen adalah serabut protein
jaringan ikat. Osteolit yang terbentuk akan mempengaruhi fungsi sendi atau tulang
dan menyebabkan nyeri jika sendi atau tulang tersebut digerakkan (Priyatno, 2009).
2.1.6. Manifestasi klinis
Gejala klinis utama adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer
pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris (Sudoyo, dkk, 2007).
Menurut Priyatno (2009) secara umum, manifestasi klinis yang dapat kita lihat, antara
lain;
Nyeri sendi, terutama pada saat bergerak
Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti panggul,
tulang belakang, dan lutut.
Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas
(perubahan
bentuk)
Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan
Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari
Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara (cracking).
2.1.7. Diagnosis
diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiologis, dan hasil laboratorium, antara lain;
Nyeri pada sendi yang tempatnya tidak jelas, nyerinya bertambah saat
digerakkan dan berkurang saat diistirahatkan.
Terjadi kekakuan sendi pada pagi hari (morning stiffness) atau setelah
tidak ada aktivitas.
Sendi mengalami pembengkakan karena hipertropi tulang, kulit, di persendian
yang bengkak dan kemerahan, nyeri, dan dapat terjadi deformitas.
Pada pemeriksaan laboratorium umumnya tidak terjadi kelainan, hanya laju
endap darah (LED) yang nilainya sedikit meningkat dan terjadi leukositosis (sel
darah putih < 2000/ml)
Pada pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen, pada sendi memperlihatkan
adanya penyempitan tidak beraturan pada ruang sendi, sklerosis tulang
subkondral dengan atau tanpa pembentukan osteolit. (Priyatno, 2009).
Defenisi
Artritis pada
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian
persendian tangan tangan sperti yang tertera diatas
Artritis simetris
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid
serum positif
Perubahan
gambaran
radiologis
2.
Istirahat yang cukup dan menghindari trauma pada sendi yang berulang.
3.
2.1.8.3.
Terapi
farmakologi
Terapi menggunakan obat umumnya bersifat simtomatik, yaitu menggunakan
analgetika dan antiinflamasi. A. Analgetika
Beberapa obat yang efektif untuk rematik/pegal linu adalah; 1. Asetaminofen
(parasetamol)
Merupakan obat yang penting untuk analgetik pada nyeri yang ringan sampai sedang
yang tidak disertai inflamasi. Obat ini bekerja menghambat sintesis prostaglandin
(PG) di sistem saraf pusat melalui penghambatan COX, tetapi tidak menghambat PG
di
2. Aspirin
perifer
(Priyatno,
2009).
pengobatan
rematik/pegal linu akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi
proliferasi sinovial yang bermakna. Selain itu, OAINS juga memberikan efek
analgesik yang sangat baik.
lisosomal
Efek toksik OAINS akan meningkat pada penderita lanjut usia atau
penderita
penyakit kardiovaskuler, menggunakan kortikosteroid, antikoagulan, dan
punya riwayat ulcer
Bagi yang rentan terkena efek samping OAINS dapat memilih OAINS
yang
spesifik, yaitu yang hanya menghambat enzim COX2, yaitu celekosib dan
refecosib
Interaksi serius dapat terjadi jika diberikan bersamaan dengan lithium,
warfarin, oral antiglikemik (tolbutamid), methotreksak, ACE-inhibitor, bloker, dan diuretik. (Priyatno, 2009).
2.1.8.5.
Efek
samping
OAINS
pada
pengobatan
Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS
yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis,
terutama jika OAINS digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan
merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko
untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien
sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro
drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic (Sudoyo, dkk,
2007)
Universitas Sumatera Utara
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain
adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan
system hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007).
Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan OAINS
antara lain;
1. Efek terhadap saluran cerna
Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung
(intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (bersama
makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid). Gastritis yang timbul pada aspirin
mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau
karena penghambatan prostaglandin pelindung.
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan penggunaan OAINS
biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan kehilangan darah yang sedikit
melalui tinja secara rutinPeningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja
secara rutin berhubungan dengan konsumsi OAINS; kira-kira 1 mL darah normal
yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-kira 4 mL per hari pada
penderita yang minum OAINS dosis biasa dan pada dosis lebih tinggi. Di lain pihak,
dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun OAINS diberikan bersamaan.
Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan saraf pusat setelah
absorbsi dosis besar OAINS.
2. Efek susunan saraf pusat
Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat
serum.
Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada
penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik
serta artritis rematoid juvenilis dan dewasa.
Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang reversibel pada penderita
dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula (meskipun jarang) tejadi pada ginjal
normal.
Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi glukosa.
Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung
serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis
besar akan mempengaruhi otot polos secara langsung.
Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada penderita asma dan polip
hidung
serta
bisa
disertai
dengan
bronkokonstruksi
dan
syok.
Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita
hamil dan anak-anak.
Selama 20 tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan
cara penggunaan telah dapat diperoleh dipasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk
digunakan pada seorang pasien, seorang dokter umunya harus mempertimbangkan
beberapa hal seperti :
Khasiat antiinflamasi
Efek samping obat
Kenyamanan/kepatuhan pasien
Biaya
Karena faktor seperti khasiat inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau
biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya tidak jauh berbeda, sejak beberapa
tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan
pasien dalam menggunakan OAINS (sudoyo, dkk, 2007).