Anda di halaman 1dari 67

RESUME KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester

mata kuliah KMB 3 Dosen pengampu : Ns.

Warsono, M.Kep, Sp. KMB

Disusun oleh :

NAMA :

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2023


ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATROID ARTHRITIS

Definisi

Rematik adalah penyakit inflamasi sistemik kronis, inflamasi sistemik yang dapat

mempengaruhi banyak jaringan dan organ, terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi,

dan dapat menyerang siapa saja yang rentan terkena penyakit rematik. Oleh karena itu, perlu

mendapatkan perhatian yang serius karena penyakit ini merupakan penyakit persendian

sehingga akan mengganggu aktivitas seseorang dalam kehidupan sehari-hari. (Purwanto,

2018).

Penyakit Rheumatoid Arthritis ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan

inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis)

(Pradana, 2018). Reumathoid Arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non-bakterial

yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta6jaringan ikat

sendi secara simetris. (Chairudin, 2016).

Etiologi

Etiologi Rematik belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan

interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2017). Ada

beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab reumathoidatritis, yaitu: Infeksi

streptokokus hemolitikus dan streptokokus non- hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolic,

factor genetic serta faktor pemicu lingkungan (gaya hidup dan mandi malam). Pada saat ini,

reumathoid atritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi

terhadap kolagen tipe II: factor infeksi mungkin disebakan oleh virus dan organisme

mikroplasma atau group difteroid yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang

rawan sendi penderita. Kelainan yang dapat terjadi pada suatu atritis rheumatoid yaitu

kelainan pada daerah artikuler (Stadium I di sebut stadium sinovitis, Stadium II di sebut

Stadium destruksi, dan Stadium III


di sebutstadium deformitas). Kelainan pada jaringan ekstra artikuler. Perubahan patologis

yang dapat terjadi pada jaringan ekstra-artikuler adalah pada otot: terjadi miopati, pada

pembuluh darah perifer : terjadi proliferasi tunika intima, lesi pada pembuluh darah arteriol

dan venosa, pada Kelenjar limfe: terjadi pembesaran limfe yang berasal darialiran limfe,

sendi, hiperplasi folikuler, peningkatan aktivitas sistem retikuloendothelial dan proliferasi

yang mengakibatkan splenomegaly, pada Saraf terjadi nekrosis fokal, reaksi epiteloid serta

infiltrasi leukosit dan Visera.

Patofisiologi

Patofisisologi Rematik ditandai dengan adanya peradangan dan hyperplasia synovial,

produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi protein, serta kerusakan tlang dan atau

tulang rawan serta tampilan sistemik yang dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler,

paru, psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan melibatkan ini masih belum

diketahui namun rheumatoid arthritis melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor

genetik, faktor lingkungan dan beberapa faktor predisposisi.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis ditentukan oleh stadium dan tingkat keparahan penyakit yaitu nyeri,

pembengkakan, sensasi hangat, eritema, dan kurangnya fungsi pada sendi adalah gejala

klasik. Palpasi sendi mengungkapkan adanya jaringan yang menyerupai spons atau lunak.

Cairan biasanya dapat di aspirasi dari sendi.

Komplikasi

Kerusakan pada sendi, peradangan pada otot jantung, gagal pernafasan, gagal ginjal, penyakit

saluran cerna dan osteoporosis.

Penatalaksanaan

Latihan fisik dan termoterapi: latihan dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.

Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi sedikitnya 2 kali sehari.
A) Kompres : kompres hangat pada daerah sendi dan sakit, dan bengkak mungkin dapat

mengurangi nyeri.

B) Diet seimbang: karbohidrat, protein, lemak. Makanan yang tidak boleh dimakan seperti

jeroan, kembang kol, bayam, emping, daun singkong, makanan yang boleh dimakan seperti

tempe, tahu, daging sapi, daging ayam, sayur kangkung, buah-buahan, nasi dan susu.

C) Terapi pengobatan: bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan, obat-obat

yang di pakai untuk mengurangi nyeri, meredakan peradangan dan mengubah perjalanan

penyakit.

D) OAINS(obatantiinflamasinonsteroid)diberikansejakdiniuntukmengatasi nyeri akibat

inflamasi. OAINS yang dapat diberikan : Aspirin mulai dosis 3- 4x/hari, Ibuprofen, nafroxen,

poriksikam, diklofenak dan sebagainya.

E) DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) gunanya untuk melindungi rawan

sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthritis rheumatoid.

Bentuk Asuhan Kepetawatan

Pengkajian Fokus

Pada fraktur pengkajian akan difokuskan pada :

1. Anamnesa

Untuk mengetahui pengaruh pemberian senam rematik pada lansia dengan gangguan

sistem muskuloskeletal: rheumatoid arthrtitis.

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi/look

Melihat apakah terlihar nyeri,berpebgaruh pada aktifitas, apakah terjadi

pembengkakan.

b. Palpasi/feel

Raba bagian yang cedera, apakah akan dijumpi nyeri tekn, krepitasi.
c. Move

Lakukan penggerakan ekstremitas, gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat,

dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 atau posisi netral sampai ukuran metrix.

Pemeriksaan Penunjang

- Laju endap darah (LED) meningkat (80-100 mm/h) kembali (v) sewaktu gejala-

gejala meningkat.

- Protein c-reaktif: positif.

- Sel darah putih : positif meningkat pada waktu timbul proses inflamasi sampai 500-

50.000 mm/h dan tampak keruh.

- Reaksi-reaksi aglutinasi: positif lebih pada 50%.

- Ig (Ig M dan E): peningkatan besar menunjukan proses autoimun sebagai

penyebab Rheumatoid Arthritis.

- Sinar X dari sendi yang sakit: menunjukan pembengkakan pada jaringan lunak,

erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal)

berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan

subluksasio.

- Perubahan osteoarthritis yang terjadi secara bersamaan.

- Scan radio nuklida: identifikasi peradangan sinovium10

- Artroposi langsung, aspirasi cairan synovial

- Biopsy membrane synovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan

panas

Diagnose Keperawatan

Diagnose keperawatan yang muncul secara umum pada kasus fraktur sesuai dengan buku
panduan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia adalah

1. Nyeri akut ( D.0077 )

2. Gangguan mobilitas fisik ( D.0054 )

Intervensi

Focus intervensi sesuai dengan diagnose keperawatan yang muncul pada kasus fraktur sesuai

dengan buku pandauan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia adalah

1. Manajemen nyeri ( I.08238 )

2. Dukungan mobilitas ( I.05173 )


OSTEOARTHRITIS

Definisi

Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang terjadi pada cartilago (tulang rawan) yang ditandai

dengan timbulnya nyeri saat terjadi penekanan sendi yang terkena. Kelainan pada kartilago

akan berakibat tulang bergesekan satu sama lain, sehingga timbul gejala kekakuan, nyeri

pembatasan gerak pada sendi. (Helmi, 2016).

Etiologi

Etiologi

Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya osteoarthritis. Faktor- faktor resiko

tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor-faktor resiko mekanik yang meliputi usia, jenis

kelamin, genetik sedangkan faktor-faktor resiko biomekanik meliputi cidera, trauma dan

pekerjaan. Usia merupakan faktor yang besar untuk terjadinya osteoarthritis. Insidensi

osteoarthritis meningkat pada usia 40 tahun untuk perempuan dan usia 50 tahun pada laki-

laki. (Helmi, 2016).

Patofisiologi

Patofisiologi

Perkembangan perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi menjadi 4 mekanisme yaitu sebagai

berikut : (Helmi, 2016)

1) Peningkatan Matrix Metalloproteases (MMP)

Collagenase, sebuah enzim MMP bertanggung jawab atas degradasi proteoglikan. Begitu

juga stromelysin bertanggung jawab atas proteoglikan. Sebuah enzim yang disebut

Agrecanase juga bertanggung jawab atas degradasi proteoglikan. Kondisi ini menyebabkan

penipisan kartilago.

2) Inflamasi Membran Sinovial

Sintesis mediator-mediator seperti interlukin-1 beta (IL-1) dan TNF- alfa (Tumor Necrosis

Factor) pada membran sinovial menyebabkan degradasi tulang rawan. Pada fase ini terjadi
fibrasi dan erosi dari permukaan kartilago desertai dengan adanya pelepasan proteoglikan dan

fragmen kolagen ke dalam cairan sinovial.

3) Stimulasi Produksi Nixtric Oxide

Produksi mikrofag synovial seperti interlukin-1 beta (IL-1) dan TNF- alfa (Tumor Necrosis

Factor) dan metalloproteases menjadi meningkat. Kondisi ini secara langsung memberikan

dekstruksi pada kartilago. Molekul-molekul pro-infalamsi juga ikut terlibat seperti Nixtric

Oxide. Kondisi ini memberikan manefestasi perubahan bentuk sendi dan memberikan

dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilit as sendi. Perubahan bentuk sendi dan

stress infala msi in i memberikan pengaruh pada permukaan articular menjadi gangguan yang

progresif.

4) Fase nyeri

Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibriogenik dan penurunan aktivitas

fibrinoiliyik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada

pembuluh darah subkondral seingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan.

Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interlukin yang

dapat menghantarkan rasa nyeri.

Manifestasi

Arthritis mempunyai gejala-gejala yang menulitkan penderitanya. Gejala-gejala tersebut

diantaranya nyeri sendi, kekakuan, pembengkakan. Nyeri yang dialami diperberat dengan

aktivitas atau menahan berat tubuh dan berkurang dengan istirahat. Kekakuan terjadi ketika

di pagi hari atau setelah bangun tidur dan mereda kurang dari 30 menit. Pembengkakan

disebebabkan karena synovitis dengan efusi. Gangguan fungsi disebabkan karena nyeri yang

terjadi dan kerusakan struktur sendi.

Asuhan Keperawatan

Pengkajian

1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari

pasien, meliputi keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat

penyakit keluarga atau lingkungan.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dengan pendekatan per sistem dimulai dari kepala ke ujung kaki dapat

lebih mudah dilakukan pada kondisi klinik. Pada pemeriksaan fisik diperlukan empat

modalitas dasar yang digunakan meliputi, inspeksi. Perawat menginspeksi bagian tubuh

untuk mendeteksi karakteristik normal atau tanda fisik yang signifikan Kedua adalah palpasi,

dalam melakukan palpasi menggunakan kedua tangan untuk menyentuh bagian tubuh untuk

membuat suatu pengukuran sensitive terhadap tanda khusus fisik. Selanjutnya perkusi,

perkusi merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan melibatkan pengetukan tubuh dengan

ujung- ujung jari guna mengevaluasi ukuran, batasan dan konsistensi organ-organ tubuh yang

bertujuan untuk menemukan adanya cairan di dalam rongga tubuh. Keempat auskultasi,

teknik ini adalah teknik pemeriksaan fisik dengan mendengarkan bunyi yang dihasilkan

tubuh. Setelah pemeriksaan fisik terdapat pemeriksaan tambahan mengenai pengukuran

tinggi badan dan berat badan untuk mengkaji tingkat kesehatan umum seseorang dan

pengukuran tanda- tanda vital (tekanan darah, suhu, respirasi, nadi).

3. Pemeriksaan Penunjang

Data penunjang berisi berisi hsil Laboratorim, radiologi, EKG, USG, CT- Scan, dan lain-

lain. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Kronis b.d inflamasi sendi ( D.0078 )

2. Gangguan mobilitas fisik b.d kekuata sendi(D.0054)

Intervensi Keperawatan

1. Manajemen Nyeri ( I.08238 )


2. Dukungan mobilisasi ( I.05173 )

Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana

atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan terminologi SIKI,

implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan

khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi pasien yang mengalami

Evaluasi

Evaluasi keperawatan berdasarkan adalah fase kelima dan terakhir dalam suatu proses

keperawatan. Proses evaluasi dalam asuhan keperawatan didokumentasikan dalam SOAP

(subjektif, objektif, assesment, planing (Achjar, 2010) Evaluasi keperawatan terhadap pasien

dengan masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan pasien dalam merespon

rangsangan nyeri diantaranya (S.Andarmoyo, 2013) :

a. Pasien melaporkan adanya penurunan rasa nyeri

b. Meningkatkan kemampuan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki pasien

c. Mampu melakukan teknik penanganan nyeri non farmakologis

d. Mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk mengurangi nyeri.


Daftar Pustaka

Andarmoyo,S. (2013) Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta Doengoes, Marilynn

E. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk

Nainggolan, 2019, prevalensi dan determinan penyakit rematik di Indonesia,

puslitbang biomedis dan farmasi badan penelitian dan pengembangan

kesehatan, departemen kesehatan RI.

Nurhidayah,K. (2016) “Pengaruh senam rematik terhadap aktifitas fungsional lansia

di komunitas senam lansia Wilayah Kelurahan Nusukan Banjarsari

Surakarta”, Muhammadiyah Surakarta, Solo.

Rahman, Abdel. 2018. Phytochemical study of the major flavonoid from

punica granatum. Sudan University of science and technology.

Sangrah, Muh.Wahid (2017) “Pengaruh Senam Rematik Terhadap Penurunan Nyeri

dan Rentang Gerak Osteoartritis Lutut Lansia”. UIN Makassar, Indonesia Santosa, Budi

(2017). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA .Jakarta: Prima

Medika

Setiadi. (2018). Konsep dan Proses keperawatan keluarga. Jakarta: Graha ilmu
SPONDILITIS TB

Spondilitis tuberkolosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Infeksi Mycobacterium

Tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari disikus.

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dan merupakan jenis bakteri tahan asam

sehingga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB ditemukan di

parenkim paru dan menyebabkan TB paru, tetapi bakteri ini juga mempunyai kemampuan

untuk menginfeksi organ lain (TB ekstra paru) seperti pada tulang, kelenjar limfe, pleura, dan

organ ekstra paru lain.

Definisi

Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease adalah suatu infeksi pada tulang belakang yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium adalah bakteri aerob (lebih

menyenangi jaringan dengan kandungan oksigen tinggi), tidak membentuk spora, berukuran

panjang 1-4 m dan tebal 0,3- 0,6 ꭎm. Sebagian besar penyusun dinding bakteri ini adalah

asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan

arabinomannan. Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil

tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi

sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut

sebagai kuman batang tahan asam.

Patofisiologi

Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeski tuberkulosa tulang brlakang berasal dari fokus primer di

paru-
paru. Sementara pada orang dewasa, pemyebaran terjadidari focus ekstrapulmoner (usus,

ginjal, dan tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostal atau lumbal yang

memberikan suplai darah kedua vertebrata yang berdekatan , yaitu setengah bagian bawah

vertebrata diatasnya dan bagian atas vertebrata dibawahnya atau melalui pleksus batsons

yang mengelilingi kolumna vertebralis sehingga menyebabkan banyak vertebrata yang

terkena.

Kumar, 2010 dalam Mutaqim 2008 membagi perjalanan penyakit ini kedalam 4 stadium :

a. Implantasi

Bakteri berada didalam tulang dan daya tahan tubuh inang akan menurun, bakteri

akan berduplikasi dan membentuk koloni selama 6-8minggu. Pada umumnya keadaan

ini akan terjadi di vertebra sentral.

b. Destriksi awal

Terjadi penyempitan ringan pada diskus, yang berlangsung selama 3-6minggu

c. Destruksi lanjut

Kolabs vertebra dan berbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin,

masa ini terjadi 2-3bulan pasca destruksi awal

d. Gangguan neurologis

Tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi. Gangguan ini ditemukan 10%

dari seluruh komplikasi spondylitis tuberkolosis.

Manifestasi

 Berat badan menurun selama 3 bulan berturut –turut tanpa sebab jelas

 Demam lama tanpa sebab jelas

 Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang yang tidak sakit

 Bantuk lebih dari 30 hari

 Diare berulang yang sulot sembuh dan terdapat benjolan di abdomen serta tanda –

tanda cairan di abdomen


Penatalaksanaan

Bertujuan untuk mengeradikasi bakteri penyebab, mencegah dan mengobati defisit

neurologis dan memperbaiki kifosis.

1. Konservatif

a. Medikamentosa

Terapi obat anti TB / OAT lini pertama sebagai terapi utama yang diberikan

dengan menggunakan regimen yang sama dengan TB Paru akan tetapi dengan

jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

b. Imobilisasi

Dengan tirah baring atau gips badan atau disebut dengan body cast, dilakukan

pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia fasilitas dan ketrampilan

yang cukup untuk melakukan operasi radikan spinal anterior atauun terdapat

masaah teknih yang membahayakan. Tujuannya adalah untuk mencegah

pergerakan dan mengurangi deformitas dan kompresi lebih lanjut.

c. ROM

Range of motion pada anggota gerak dilakukan dengan tujuan untuk mencegah

kontrkatur dan atrofi otot.

2. Non konservatif

Indikasi pembedahan dalam kasus spondylitis yaitu jika terdapat :

- Defisit neurologis

- Abses paravertebra

- Instabilitas tulang belakang akibat deformitas kifosis

- Terapi dengan obat tidak memberikan hasil yang diharapkan

Bila prosedur pembedahan terlambat dilakukan mak akan menimbulkan kifosis yang

lebih parah dan dapat menyebabkan gangguan sisitem respirasi dan paraplegia.
Beberapa cara pembedahan

 Dekompresi posterior dengan penggabungan autograft tulang

 Dekompresi anterior dengan penggabungan autograft tulang

 Gabungan dari kedua metode tersebut

 Laminektomi, merupakan prosedur utama akan tetapi sebaiknya dihidari karena eksisi

lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu – satunya struktur

prnunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di interior.

 Poslateral endoscopic

debridement Asuhan Keperawatan

Pengkajian

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari

pasien, meliputi keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat

penyakit keluarga atau lingkungan.

2. Pemeriksaan fisik

Dengan focus pada B6 ( Bone )

1) Inspeksi, Kurvutra tulang belakang mengalami deformitas (Kifosis) terutama

pada spondylitis tuberculosis daerah vertebra lumbalis, hamper tidak terlihat

deformitas, tetapu terlihat adanya abses pada daerah bokong dan pinggang.

Pada spondylitis tuberculosis daerah servikal, terdapat kekakuan leher.

2) Palpasi Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang

terdapat adanya gibbus pada area tulang yang mengalami infeksi. Adanya

nyeri tekan pada daerah spondylitis.

3) Perkusi Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri.


4) Auskultasi Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan

kelainan.

Demografi

Menurut WHO, pada tahun 2020 sekitar 9,9 juta orang menderita TB yang setara dengan

127 kasus per 100.000 populasi. Secara geografis, kasus TB paling banyak terjadi pada

Asia Tenggara (43%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), sisanya Mediterania Timur

(8,3%), Amerika (3%) dan Eropa (2,3%). Indonesia (8,4%) memiliki kasus TB paling

banyak ketiga setelah India (24%) dan Filipina (11%). Pada kasus pasien dengan

tuberkulosa, terlibatnya tulang dan sendi terjadi kurang lebih pada 10% kasus.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium, yaitu :

1) Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis

2) Uji mantoux positif

Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan Mycobacterium

3) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional

4) Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Pemeriksaan foto thoraks melihat adanya tuberkulosis paru

b. Foto polos vertebra

c. Pemeriksaan foto dengan zat kontras

d. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi

e. Pemeriksaan MRI

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Kronis ( D.0078 )

2. Defisit Nutrisi ( D.0019 )


Intervensi Keperawatan

1. Manajemen Nyeri ( I.08238 )

2. Manajemen Nutrisi ( I.03119 )


A. Askep Glomerulonefritis dan Askep Urolithiasis (Presentasi)
1. Askep Glomerulonefritis
A) Pengertian
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal yang
disebabkan oleh peradangan saringan kecil yang terdapat dalam
ginjal yang disebut glomeruli.Fungsi glomeruli adalah untuk
membuang sisa-sisa metabolisme tubuh dan mengeluarkan
kelebihan cairan dari aliran darah melalui urin. Pada orang yang
menderita glomerulonefritis, fungsi ginjal sebagai organ
pembuangan zat zat sisa metabolisme dan cairan yang penting ini
sudah tidak ada, akibat proses peradangan pada glomeruli sehingga
terjadi penumpukkan sisa metabolisme dan cairan di dalam tubuh.
Kondisi glomerulonefritis pada masing-masing pasien dapat
berbeda-beda.Ada yang mengalami serangan glomerulonefritis
secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat (pada umumnya
disebut glomerulonefritis akut) dan ada yang mengalami serangan
dalam waktu yang lama (glomerulonefritis kronis).Selain itu,
penyakit ini juga bisa berkembang pesat sehingga mengakibatkan
kerusakan ginjal dalam beberapa minggu atau bulan dan tidak
jarang berakhir dengan gagal ginjal.(Lana Yusria, 2016)

B) Etiologi
Glomerulonefritis dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti
(Karyudiani and Susanti, 2019):
 Infeksi
- Glomerulonefritis pasca streptokokus.
- Endokarditis bakterial.
- Infeksi virus
 Penyakit Kekebalan
- Lupus
- Sindrom Goodpasture.
- Nefropati Ig.A.
 Vaskulitis
- Poliartritis
- Granulomatosis dengan polyangitis
 Kondisi yang cenderung menyebabkan luka parut pada
glomeruli
- Tekanan darah tinggi
- Penyakit ginjal diabetes (nefropati diabetik)
- Glomerulosklerosis segmental fokal
- Glomerulonefritis berhubungan dengan kanker
tertentu

C) Patofisiologi
Mekanisme patogenesis yang mendasari semua jenis
glomerulonefritis dimediasi oleh sistem imun, melalui jalur
humoral maupun jalur sel aktif.Respon inflamasi di glomerulus
menjadi pemicu timbulnya fibrotik di glomerulus. Target
kerusakan yang dimediasi sistem imun bervariasi sesuai dengan
jenis glomerulonefritis. Misalnya, glomerulonefritis yang
berhubungan dengan staphylococcus menunjukkan deposit
komplemen IgA dan C3 (Khalighi et al., 2018).
Salah satu targetnya adalah membran basal glomerulus itu
sendiri atau beberapa antigen yang terperangkap di dalamnya,
seperti pada penyakit pasca- streptokokus.Reaksi antigen-antibodi
tersebut dapat bersifat sistemik, seperti pada lupus eritematosus
sistemik (SLE) atau nefropati IgA. Di sisi lain, pada vaskulitis
pembuluh darah kecil; alih-alih reaksi antigen-antibodi, reaksi
imun yang diperantarai sel adalah yang diperantarai sel adalah
penyebab utama. Di sini, limfosit T dan makrofag membanjiri
glomeruli dengan hasil kerusakan.Peristiwa awal ini menyebabkan
aktivasi jalur inflamasi umum, yaitu sistem komplemen dan
koagulasi.Sitokin pro-inflamasi dan produk pelengkap, pada
akhirnya, menghasilkan proliferasi sel glomerulus.

D) Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul pada penderita glomerulonefritis bergantung
kepada jenis penyakit ini, apakah akut atau kronis. Gejala yang
umumnya muncul, antara lain adalah (Hebert,2013) (Lana Yusria,
2016):
 Urine yang berbuih dan berwarna kemerahan
 Hipertensi
 Pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, dan perut
 Kelelahan
 Frekuensi buang air kecil berkurang
 Munculnya cairan di paru-paru yang menyebabkan batuk.

E) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis mencakup:
 Gagal ginjal
 Hipertensi enselopati
 Sindrom nefrotik
 Gagal jantung kongestif
 Edema pulmoner.
Manifestasi yang umum terjadi adalah dispnea, demam dan
infiltrat alveolar bilateral pada radiografi dada dan dapat
menimbulkan distress pernafasan (Çaltik Yilmaz and Akyüz,
2014).

F) Penatalaksanaan
 Istirahat selama 1-2 minggu
 Modifikasi diet
 Pembatasan cairan dan natrium
 Pembatasan protein bila BUN meningkat
 Antibiotika
 Anti hipertensi
 Pemberian diuretik furosemid intravena (1 mg/kgBB/kali)
 Bila anuria berlangsung lama (5-7hari) dianjurkan dialisa
peritoneal atau hemodialisa (Nuari & Widayati, 2017)

G) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
 LED (Laju Endap Darah) meningkat.
 Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia
(retensi garam dan air).
 Pemeriksaan urin menunjukkan jumlah urin
menurun, Berat jenis urine meningkat.
 Hematuri makroskopis ditemukan pada 50% pasien,
ditemukan Albumin (+). eritrosit (++), leukosit (+),
silinder leukosit, eritrosit, dan hialin.
 Albumin serum sedikit menurun, komplemen serum
(Globulin beta- IC) sedikit menurun. Ureum dan
kreatinin meningkat 6.
 Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali
kalau infeksi streptococcus yang mendahului hanya
mengenai kulit saja.
 Uji fungsi ginjal nonnal pada 50% pasien.
b. Test gangguan kompleks imun
c. Biopsi ginjal

H) Pengkajian Fokus
1. Genitourinaria
a. Urine berwarna coklat keruh
b. Proteinuria
c. Peningkatan berat jenis urine
d. Penurunan haluaran urine
e. Hematuria
2. Kardiovaskular
a. Hipertensi ringan
3. Neorologis
a. Letargi
b. Iritabilitas
c. Kejang
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia
b. Muntah
c. Diare
5. Mata, telinga, hidung dan tenggorokan
a. Edema periorbital
6. Hematologi
a. Anemia sementara
b. Azotemia
c. Hiperkalemia
7. Integument
a. Pucat
b. Edema menyeluruh

I) Diagnosa Keperawatan
a. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan cairan di tandai
dengan adanya edema pada kedua tungkai bawah, pernafasan
cepat dan dalam
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam
diharapkan hipervolemia teratasi dengan kriteria hasil :
- Edema pada kedua tungkai bawah menurun
- Frekuensi nafas normal
- Tekanan darah normal
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hipertensi di
tandai dengan pasien tampak anemis, kulit kering dan bersisik,
tekanan darah tinggi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam
diharapkan perfusi perifer tidak efektif meningkat dengan
kriteria hasil :
- Warna kulit pucat menurun
- Turgor kulit membaik
- Tekanan darah normal

B. Askep Gangguan Sistem Perkemihan: BPH & TURP Syndrome


1. BPH
A) Pengertian
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium
uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran
ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan
suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki
dengan usia rata-rata 50 tahun (Prabowo dkk, 2014).
Menurut Mansjoer (2016), Benigna Prostat Hiperplasia merupakan
pembesaran kelenjar prostat karena hiperplasia progresifdari sel – sel
grandular ataupun sel – sel stroma dari jaringan prostat.

B) Etiologi BPH
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
 Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengalami hyperplasia.
 Ketidakseimbangan esterogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif.
Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone
estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini yang
memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
 Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast
growth factor dan penurunan transforming growth factor
beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga
akan terjadi BPH.
 Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
 Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi
sel transit dan memicu terjadi BPH.

C) Tanda dan Gejala BPH


Menurut Hariono, (2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
 Gejala Obstruktif
- Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan
sering kali disertai dengan mengejan.
- Intermittency, yaitu terputus – putusnya aliran
kencing yang disebabkan oleh ketidak mampuan
otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
- Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada
akhir kencing.
- Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan
kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu
untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
- Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil
dan terasa belum puas
 Gejala Iritasi
- Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang
sulit di tahan.
- Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi
dari biasanya dapat terjadi pada malam dan siang
hari.
- Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing

D) Klasifikasi
Klasifikasi Menurut Tjahjodjati et al (2017), BPH terbagi dalam 4
derajat sesuai dengan gangguan klinisnya, yaitu:
 Derajat I, ditemukan penonjolan prostat 1–2cm, sisa urin
kurang dari 50 cc, pancaran lemah, nokturia, berat ± 20
gram.
 Derajat II, keluhan miksi terasa panas, disuria, nokturia
bertambah berat, suhu badan tinggi (menggigil), nyeri
daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih
teraba, sisa urin 50–100cc dan beratnya ± 20–40gram.
 Derajat III, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas
sudah tidak teraba, sisa urin lebih 100 cc, penonjolan
prostat 3–4cm dan beratnya 40 gram.
 Derajat IV, inkontinensia, prostat lebih dari 4 cm, beberapa
penyulit ke ginjal seperti gagal ginjal, hidronefrosis

E) Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi perlahan. Pada tahap
awalsetelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli –
buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalandetrusor disebut fase kompensasi. Apabila keadaan
berlanjut, makadetrusor menjadi lelah lalu dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. (Purnomo, 2016)
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras kencing terputus - putus, hal itu
mengakibatkan pasien sulit memulai berkemih. Gejala iritasi
jugamenyertai obstruksi urin, vesika urinaria mengalami iritasi dan
urin tertahan di dalamnya sehingga pasien merasa kandung kemih
tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek, dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak (urgency) dan
nyeri saat berkemih (disuria). (Purnomo, 2016)

F) Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat (2016) komplikasi BPH adalah :
 Retensi urin akut terjadi apabila buli - buli menjadi
dekompensasi.
 Infeksi saluran kemih
 Involusi kontraksi kandung kemih
 Refluk kandung kemih
 Hidroureter dan hidronefrosis terjadi karena produksi urin
terus berlanjut maka akan mengakibatkan tekanan
intravesika terus terjadi peningkatan
 Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
 Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga
dapat terbentuk batu endapan dalam buli – buli Batu ini
akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut bila terjadi
refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
 Hernia atau hemoroid lama - kelamaan dapat terjadi
dikarenakan pada waktu miksi pasien harus mengedan.

G) Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
 Terapi Medikamentosa
- Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin,
afluzosin.
- Penghambat enzim, misalnya finasteride
- Fitoterapi, misalnya eviprostat
 Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan
bedah meliputi:
- Prostatektomi
o Prostatektomi suprapubis, adalah salah satu
metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam
kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari
atas.
o Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
o Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik
yang lebih umum di banding pendekatan
suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung
kemih.
- Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara
memasukkan instrumen melalui uretra.
- Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat
uretra menggunakan resektroskop dimana resektroskop
merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra

H) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
 Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan
tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan
dalam rectum dan prostat.
 Ultrasonografi (USG)
 Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar
prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urine.
 Urinalisis dan Kultur Urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan
RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan
adanya pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014).
 DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil
adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah
merahnya.
 Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini
sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi
dari BPH.
 PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna
atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.
 Prostat spesifik antigen (PSA) bersifat spesifik tetapi tidak
spesifik kanker. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai
bagaimana perjalanan penyakit BPH selanjutnya. Nilai PSA
>4ng/mL merupakan indikasi tindakan biopsy prostat.
Rentang normal nilai PSA sebagai berikut :
- 40 – 49 tahun: 0 - 2,5ng/mL
- 50 – 69 tahun: 0 - 3,5ng/mL
- 60 – 69 tahun: 0 - 4,5ng/mL
- 70 – 79 tahun: 0 - 6,5ng/mL

I) Pengkajian Fokus
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain :
a. Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada BPH untuk mengevaluasi adanya
tanda obstruksi atau tanda infeksi
b. Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan
perkusi untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda
infeksi
c. Genitalia eksterna
Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis, tumor penis serta
urethral discharge
d. Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) adalah salah
satu pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk memperkirakan adanya pembesaran
prostat, konsistensi prostat dan adanya nodul yang merupakan
salah satu tanda dari keganasan prostat. Pada pemeriksaan
colok dubur dilakukan untuk menilai tonus sfringter ani dan
reflex bulbokanervous yang dapat menunjukkan adanya
kelainan pada lengkung reflex di daerah sacral
J) Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Eliminasi Urine berhubungan dengan penurunan
iritasi kandung kemih ( D.0040)
b. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ( D.0080 )
c. Risiko Distres Spiritual berhubungan dengan sakit kronis(
D.0100 )

2. TURP Syndrome
A) Pengertian
Sindrom TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat
lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop
merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra
yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy
menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu
rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi munculnya sensasi nyeri
(Haryono, 2012)
B) Factor Resiko
Insiden TURP syndrome terjadi antara 0,5-8% dengan tingkat
mortalitas 0,2-0,8%. Padasatu penelitian menunjukkan morbiditas dan
mortalitas pasien yang menjalani TURP tidak berhubungan dengan
lama operasi, kecuali ketika operasi berlangung lebih dari 150 menit.
TURP syndrome lebih sering terjadi jika ukuran kelenjar prostat
besar, terjadi kerusakankapsul prostat selama pembedahan, dan
tekanan hidrostatik tinggi dari cairan irigasi. Kelenjar prostat yang
besar kaya akan jaringan vena sehingga memungkinkan absorpsi
cairan irigasi intravaskular. Kerusakan kapsul prostat selama
pembedahan memungkinkan masuknya cairan irigasi ke dalam ruang
periprostatik dan retroperitoneal. Tekanan hidrostatik cairan irigasi
merupakan penentu yang penting dalam kecepatan absorpsi cairan
irigasi
C) Patofisiologi
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila
sinus vena terbuka secara dini ataubila operas berlangsung lama. Rata-
rata diperkirakan terjadi penyerapan 20 cc cairan permenit atau kira –
kira1.000-1.200cc pada 1 jam pertama operasi, sepertiga bagian di
antaranya diserap langsung ke dalam sistem vena. Dan hal ini akan
menimbulkan hiponatremia dilusional.
Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi
dipengaruhi beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan
irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka, lama reseksi/paparan dan
perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang
rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan
semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam
sistem sirkulasi.

D) Manifestasi Klinis
TURP syndrome bersifat multifaktorial, diawali dengan absorpsi
cairan irigasi yang menyebabkan perubahan kardiovaskular, sistem
saraf pusat, dan metabolik. Gambaran klinis bervariasi sesuai dengan
tingkat keparahannya dan dipengaruhi tipe irigan yang
digunakanan,faktor pasien, dan faktor pembedahan. Manifestasi klinis
ini terutama diakibatkan oleh kelebihan cairan sirkulasi, intoksikasi
air, dan toksisitas zat yang terkandung dalam cairanirigasi. TURP
syndrome dapat terlihat 15 menit setelah reseksi dimulai hingga 24
jam postoperasi.
Tanda yang paling awal muncul adalah rasa menusuk dan sensasi
terbakar pada daerahwajah dan leher disertai letargi, pasien gelisah dan
mengeluh sakit kepala. Tanda yang selalu muncul adalah bradikardia
dan hipotensi arterial. Distensi abdomen sekunder terhadapabsorpsi
cairan irigasi melalui perforasi kapsul prostatik juga dapat terjadi.
Ada periode postoperasi selanjutnya, dapat terjadi mual dan
muntah, gangguan penglihatan, kedutan dan kejang fokal atau umum,
serta perubahan kesadaran dari konfusiringan hingga koma. Penyebab
gangguan sistem saraf pusat ini berhubungan dengan hiponatremia,
hiperglisinemia, dan atau hiperamonemia. Hiponatremia dapat terjadi
ketikamenggunakan semua jenis cairan irigasi, tetapi hiperglisinemia
dan hiperamonemia terjadiketika menggunakan glisin sebagai cairan
irigasi

E) Komplikasi
 Gagal napas
Disebabkan oleh pertukaran gas yang tidak adekuat karena
oedem paru
 Gagal jantung
Terjadi hiponatremia – aritmia jantung – gagal jantung
 Gagal ginjal akut
Disebabkan oleh aliran darah ke ginjal menurun akibat curah
jantung menurun karena overload cairan.
F) Pencegahan
 Membatasi waktu operasi < 1 jam
 Melakukan operasi secara hati-hati untuk meminimalkan sinus-
sinus vena yang terbuka
 Memposisikan irrigation bag maksimal 60 cm diatas area
pembedahan
 Menggunakan cairan irigan yang hangat

G) Penatalaksanaan TURP Syndrome


 Terminasi segera operasi.
 Berikan furosemid, 20 mg IV.
 Berikan oksigen melalui nasal kanul atau face mask.
 Jika terjadi edema pulmoner, dapat dilakukan intubasi trakeal
dan ventilasi tekanan positif dengan oksigen.
 Periksa darah untuk analisa gas darah dan natrium serum.
 Jika natrium serium rendah dantanda klinis hiponatremia terlih
at, berikan saline hipertonik (3-5%) IV. Kecepatan pemberian
saline hipertonik sebaiknya tidak melebihi100 ml/jam. Pada
sebagian besar kasus di butuhkan tidak lebih dari 300 ml
untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian saline hipertonik
dapat mengurangi edema serebral, mengekspansi volume
plasma, mengurangi edema selular, dan meningkatkan ekskresi
urinari tanpa meningkatkan total ekskresi zat terlarut.
 Jika terjadi kejang, dapat diberikan agen antikonvulsan jangka
pendek sepertidiazepam 5-20 mg atau midazolam 2-10 mg IV.
Jika kejang tidak berhenti, dapat ditambah barbiturat atau
fenitoin 10-20 mg/kg IV. Relaksan otot dapat diberikan juga.
 Jika terjadi edema pulmoner atau hipotensi, perlu dilakukan
monitoring hemodinamik invasif.
 Jika terjadi kehilangan darah signifikan, dapat diberikan
packed red blood cell

H) Diagnosa Keperawatan
 Pre operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi
mekanik, pembesaran prostat, dekompensasi otot
destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari
terminal saraf, distensi kandung kemih, infeksi urinaria,
efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran
prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi,
perubahan status kesehatan. kekhawatiran tentang
pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur
bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
 Intra operasi
a. Hipotermi berhubungan dengan pemajanan lingkungan,
penggunaan zat anastesi
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan
terjadinya sianosis, perdarahan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan terputusnya
jaringan

Lana Yusria, R. S. (2016). Diagnosis Dan Manajemen Glomerulonefritis Kronik. Jurnal


Kedokteran Muhammadiyah Surakarta, 259–272.
Kardiyudiani dan Susanti, 2019. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta : Pustaka Baru
Nuari, N. A., & Widayati, D. (2017). Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublisher.
Harmilah. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Pustaka Baru Press.
Silalahi, M. K. (2020). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Batu
Saluran Kemih Pada di Poli Urologi RSAU dr . Esnawan Antariksa. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 12(2), 205–212.
Zamzami, Z. (2018). Penatalaksanaan Terkini Batu Saluran Kencing di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru, Indonesia. Jurnal Kesehatan Melayu, 1(2), 60.
https://doi.org/10.26891/jkm.v1i2.2018.60-66
Mulyanti, D. dan S. (2019). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Urologi. Yogyakarta: Andi.
Haryadi, D. (2020). Ct-Scan Non Kontras Pada Pasien Batu Saluran Kemih. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 284–291. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.272
Tjahjodjati et al., (2017). Panduan Penatalaksanaan Klinis : Pembesaran Prostat Jinak (Benign
Prostatic Hyperplasia/BPH)Edisi 3 Vo. 31. Retrieved from
http://inlislite.dispusip.jakarta.go.id/dispusip/opac/detail-opac?id=94753
Haryono, Rudi. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
RANGKUMAN KMB 3

1. ASUHAN KEPERAWATAN LEUKIMIA


A. Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah
satu jenis sel darah putih dengan menyingkirkan jenis sel lain. leukemia diturunkan dari bahasa Yunani leukos dan
aima yang berarti “putih” dan “darah” yang mengacu pada peningkatan abnormal dari leukosit. Peningkatan tidak
terkontrol ini akhirnya menimbulkan anemia, infeksi, trobositopenia, dan pada beberapa kasus menyebabkan
kematian.
B. Etiologi dari leukemia belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi penyebab dari leukemia,
diantaranya : sel darah putih yang kemungkinan berproliferasi secara tidak terkendali sebagai penyebab tersering,
kemudian karena radiasi, zat kimia, gangguan imunologik, virus dan factor genetik. Sampai saat ini, leukemia
merupakan salah satu penyakit dengan angka kematian yang tinggi. Adanya mediastinal massa dan infiltrasi ke CNS
merupakan faktor yang memperburuk perjalanan penyakit ini.
C. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh
Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemi juga merusak
produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk
menyuplai oksigen pada jaringan (Sue E. Hueter, 2017).Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan
mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi
perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur termasuk
translokasi (penyusunan kembali),delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal
(Sue E. Hueter, 2017). Leukemia terjadi jika proses pematangan dari sistem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan
penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahangenetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi
ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempatdari sel-sel yang
menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati,
limpa, kelenjar getah bening, ginjal,dan otak (Sue E. Hueter, 2017).
D. Tanda dan Gejala
Gejala leukemia menurut Morrison, Candis dan Hesdorffer, Charles S., (2012), antara lain : Mudah lelah dan
badan terasa lemas, terlihat pucat dan mengalami penurunan berat badan yang drastis tanpa disadari, Demam,
keringat dingin di malam hari, hilangnya nafsu makan, dan atau infeksi berat, Memar dan mudah berdarah,
kelenjar getah bening membengkak, Nyeri tulang atau sendi dan nyeri di perut bagian atas, Sesak napas dan
jantung berdebar-debar
E. Komplikasi
Penyakit leukemia dapat menyebabkan berbagai komplikasi, diantaranya yaitu: Kelelahan (fatigue), Pendarahan
(bleeding), Rasa sakit (pain), Pembesaran Limpa (splenomegali), Stroke atau clotting yang berlebihan (excess
clotting), Infeksi, Kematian
F. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium (Bakta, 2018)
2) Cairan cerebrospinal (Bakta, 2018
G. Penatalaksanaan
1) Program terapi : kemoterapi
2) Pengobatan imunologik
3) Radioterapi
4) Transplantasi Sumsum Tulang
5) Terapi Suportif
H. Pathway

I. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada leukimia adalah intoleransi aktifitas, hipotermia, resiko defisit
nutrisi, resiko perdarahan
J. Rencana keperawatan pada diagnosa keperawatan intoleransi aktifitas adalah manajemen energi, untuk diagnosa
keperawatan dipotermia rencana keperawatannya adalah manajemen hipertermi. Sedangkan diagnosa keperawatan
resiko defisit nutrisi rencana keperawatannya adalah manajemen nutrisi, dan untuk resiko perdarahan rencana
keperawatannya adalah pencegahan perdarahan
DAFTAR PUSTAKA

Arita murwani. (2008). Pengantar konsep dasar keperawatan, Edisi : 1, Fitramaya : Yogyakarta

Bakta, I Made. (2018). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.

Desmawati. (2013). Sistem Hematologi dan Imunologi. Edited by D. Juliastuti. Jakarta: Penerbit In Media.

Lanzkowsky P. Iron deficiency anemia. Dalam: Lanzkowsky P, Lipton JM, Fish JD, penyunting. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-6. New York: Churchill;2016.h.69-83.

Morrison, Candis & Hesdorffer, Charles S. (2012). Patients’ Guide to Leukemia (Panduan untuk Penderita Leukemia). Penerjemah:
Cisya Dewantara. Jakarta: PT Indeks

Nurarif, Amin H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction.

Padila. (2013) Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indicator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Sue E. Hueter, Kathryn L. McCance, Valentina L. Brashers, Neal S. Rote. 2017. Buku Ajar Patofisiologi. Singapore: Elseiver.

Sharon L. Lewis, RN, PhD, FAAN; Shannon Ruff Dirksen, RN, PhD, FAAN; Margaret McLean Heitkemper, RN, PhD, FAAN; dan
Linda Bucher, RN, PhD, CEN, CNE. 2014. Medical-Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problems,
Ed:9. Mosby: Elseiver.

WHO. 2019. Kematian Akibat Leukemia di Indonesia.


2. KONSEP EKG
A. Jenis Irama EKG
1) SA Node : Irama Sinus
Menyebabkan irama reguler (normal), gelombang P yang bulat, dan kompleks QRS yang sempit (normal)
2) Atria : Irama Atrial
Menyebabkan gelombang P yang ireguler dan kompleks QRS masih normal
3) AV Node : Irama Junctional
Kompleks QRS normal, tanpa didahului gelombang P atau gelombang P terbalik atau gelombang P dibelakang
kompleks QRS
4) Purkinje Fibers : Irama idioventrikuler
Tidak ada gelombang P, kompleks QRS melebar dan ireguler
B. Elektrokardiografi
1) Pengertian
Elektrokardiografi adalah ilmu yg mempelajari aktivitas listrik jantung.
Elektrokardigram (EKG) adalah suatu grafik yg menggambarkan rekaman listrik jantung.
2) Fungsi EKG
EKG mempunyai fungsi diagnostik diantaranya :
a) Aritmia jantung
b) Hipertrofi atrium dan ventrikel
c) Iskemik dan infark miokard
d) Efek obat-obatan seperti ( digitalis, anti aritmia dll )
e) Gangguan keseimbangan elektrolit khususnya kalium
f) Penilaian fungsi pacu jantung
3) Penempatan Elektrode
Ekstremitas lead pada kedua tangan dan kaki, searah telapak tangan
Prekordial lead pada dada:
- V1 = ICS IV pinggir sternum kanan
- V2 = ICS IV pinggir sternum kiri
- V3 = antara V2 dan V4
- V4 = ICS V mid clavicula line
- V5 =Ant.Axilla line sejajar V4
- V6 = Mid axilla line sejajar V4
4) Kertas EKG
Kertas EKG merupakan kertas grafik yang merupakan garis horizontal dan vertikal dengan jarak 1mm ( kotak kecil
Garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5mm disebut ( kotak besar ).
Garis horizontal menunjukan waktu,
1mm = 0,04 dtk, 5mm = 0,20 dtk.
Garis vertikal Menggambarkan voltage,
dimana 1mm = 0,1 mv
sedangkan
setiap 5 mm =0,5 mv.
a) EKG NORMAL
b) Gelombang P
Gelombang P yang normal
Lebar kurang dari 0,12 detik Tinggi kurang dari 0,3 mili Vol
Selalu positif di lead II
Selalu negatif di lead AVR
c) Gelombang QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel.
Gelombang QRS yang normal: Lebar tidak lebih dari 0,12 detik Tinggi tergantung lead

Gelombang Q
Gelombang Q adalah gelombang kebawah pertama pada gelombang QRS. Gelombang Q yang normal lebarnya
tidak lebih dari 0.04 detik dan dalamnya tidak melebihi1/3 tinggi gelombang R. Gelombang Q yang abnormal
disebut gelombang Q Pathologis

Gelombang R adalah gelombang ke atas pertama pada gelombang QRS.


Gelombang R umumnya positif di lead I, II, V5 dan V6. Di lead AVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil atau tidak
ada sama sekali.
Gelombang S adalah gelombang ke bawah setelah gelombang R
Di lead AVR dan V1 gelombang S terlihat dalam, dari V2 ke V6 akan terlihat makin lama makin menghilang
atau berkurang dalamnya.
Komplek QRS

Dinding Ventrikel Kanan lebih tipis dari Ventrikel Kiri


Gaya-gaya listrik Ventrikel Kiri lebih kuat
V1 dan V2 : kompleks ventrikel kanan
V5 dan V6 : kompleks ventrikel kiri
d) Gelombang T
Merupakan gambaran proses repolarisasi ventrikel.
Umumnya gelombang T positif di lead I, II, V3 -V6 dan terbalik di AVR

e) Gelombang U
Adalah gelombang yang timbul setelah gelombang T dan sebelum gelombang P berikutnya.
Penyebab timbulnya gelombang U masih belum diketahui namun diduga Akibat repolarisasi lambat sistem
konduksi interventrikel
5) Menwntukan Irama Jantung
Untuk menentukan irama jantung, perhatikan Lihat dari puncak gelombang R, perhatikan jarak R ke R atau dari
gelombang P ke P.
R R R R R R R R R

Reguler) jika tidak sama maka tidak teratur (Irreguler)


6) Menentukan Frekuensi Jantung
Tentukan satu gelombang R /
P
Cari puncak gelombang R / P berikutnya.
Hitung jarak antara R pertama dan kedua dalam ukuran kotak besar ( begitu juga gelombang P )
. a. 300 .
Jumlah kotak besar antara R – R

b. 1500 .
Jumlah kotak kecil antara R – R
c. Ambil EKG strip sepanjang 6 detik, hitung jumlah QRS kemudian dikalikan 10.
Atau ambil EKG 12 detik, hitung jumlah QRS kemudian dikalikan 5.
7) Cara Hitung HR
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

A. PENGERTIAN
Acute Kidney Injury atau Acute Renal Failure (ARF) adalah fungsi ginjal yang
menurun secara tiba-tiba (penurunan GFR [Glomerular Filtration Rate]) dan terjadi hampir
dalam hitungan jam atau hari. Acute Kidney Injury biasanya secara mendadak tanpa didahului
dengan gejala penurunan fungsi ginjal. Kasus yang banyak terjadi adalah ketika pasien
bekerja berat, berolah raga, stress, dan sebagainya, tiba-tiba muncul gejala Acute Kidney
Injury ini. Gejala biasanya baru teridentifikasi di rumah sakit yang berupa oliguria (output
urin dalam 24 jam kurang dari 400 cc [Cubic centimeter]), azotemia progresif dan disertai
kenaikan ureum dan kreatinin (Diyono & Mulyanti, 2019).
B. ETIOLOGI
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa berdasarkan etiologi dan proses
terjadinya Acute Kidney Injury, dapat diklasifikasikan menurut tahapan kerusakan ginjal
sebagai berikut :
1. Pre-Renal Acute Kidney Injury
Pre-renal merupakan kelainan fungsional tanpa adanya kelainan histologik atau
morfologik pada nefron. Acute Kidney Injury pre-renal adalah keadaan paling ringan
yang berlangsung secara cepat dan jika perfusi ginjal ini segera diperbaiki maka fungsi
ginjal akan dapat kembali normal (reversible) Namun, bila hipoperfusi ginjal tidak segera
diperbaiki, maka akan menimbulkan terjadinya Nekrosis Tubular Akut (NTA).
Penyebab terjadinya Acute Kidney Injury pre-renal adalah semua faktor atau kondisi
yang menyebabkan penurunan jumlah darah yang sampai ke ginjal sehingga terjadi
hipoperfusi renal. Kondisi yang dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal atau renal antara
lain :
a. Penurunan Volume Vaskular
b. Kenaikan Kapasitas Vaskuler
c. Penurunan Curah Jantung
2. Intrarenal
Acute Kidney Injury yang disebabkan oleh kerusakan atau penyakit primer dari ginjal
yang menyebabkan Acute Tubuler Necrosis. Gangguan ginjal ini mencakup masalah
seperti yaitu :
a. Infeksi
Glomerulonefritis merupakan infeksi yang dapat menyebabkan penurunan filtrasi
glomerulus.
b. Crush Injury
Trauma hebat dan luas pada otot dan jaringan lunak dapat menyebabkan peningkatan
myoglobulin (pelepasan protein akibat kerusakan otot yang berkaitan dengan
hemoglobulin) merupakan toxic atau racun bagi nefron.
c. Reaksi Transfusi Berat
Hati-hati dengan tindakan transfusi karena jika terjadi kesalahan dan menyebabkan
reaksi transfusi berupa hemolisis kemudian menyebabkan peningkatan konsentrasi
darah menuju ginjal, maka ginjal akan sulit di filtrasi.
d. Obat-obatan Obat merupakan zat kimia di mana ginjal sebagai jalan pengeluaran
racun yang ada pada obat. Beberapa obat yang mempunyai sifat toksik terhadap ginjal
(nefrotoxic) bila diberikan dalam jumlah berlebihan. Obat khususnya golongan
Nonsteroidal Anti-inflammantory Drugs (NSAIDs) dan ACE (Angiotensin-
Converting Enzyme) inhibitors mempunyai efek antara yang secara mekanisme
autoregulasi dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal renal dan iskemik renal.
e. Racun/Zat Kimia Ada beberapa zat kimia beracun yang apabila masuk ke dalam
tubuh baik secara inhalasi ataupun ingesti dapat merusak fungsi ginjal. Zat tersebut
diantaranya arsen, merkuri, asam jengkolat dan sebagainya.
3. Post-Renal
Acute Kidney Injury post-renal adalah suatu keadaan di mana pembentukkan urin
sudah cukup, tetapi aliran urin di dalam saluran kemih terhambat. Penyebab yang paling
sering adalah obstruksi saluran kemih karena batu, penyempitan/striktur, dan pembesaran
prostat. Namun, postrenal juga dapat terjadi akibat proses ekstravasasi.
C. PATOFISIOLOGI
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa perubahan patologi yang mendasari
Acute Kidney Injury adalah terjadinya Nekrosis Tubulus Akut. Kondisi ini mengakibatkan
deskuamasi sel tubulus nekrolit dan bahan protein lainnya. Kemudian membentuk silinder
dan menyumbaat lumen tubulusl sehingga tekanan intratubuler meningkat. Tekanan
intratubulus yang meningkat menyebabkan gangguan filtrasi glomerulus sehingga GFR
menurun. Obstruksi tubulus merupakan faktor penting pada ARF (Acute Renal Failure) yang
disebabkan oleh logam berat. Etilen glikol atau iskemia berkepanjangan. Pada keadaan sel
endotel kapiler glomerulus dan/atau sel membran basalis mengalami perubahan sehingga luas
permukaan filtrasi menurun mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi glomerulus.
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa secara umum faktor-faktor yang
terlibat dalam proses potagenesis ARF diawali dengan adanya gangguan iskemia atau
nefrotoksin yang ada pada tubulus atau glomerulus sehingga menurunkan aliran darah ke
ginjal. Acute Kidney Injury yang kemudian bersifat menetap dapat terjadi melalui beberapa
akibat cedera awal. Masih banyak hal yang belum diketahui mengenai patofisiologi ARF.
Selain itu, masih banyak yang harus diteliti lebih jauh untuk mengetahui hubungan antara
beberapa faktor yang memengaruhinya. Tahapan Acute Kidney Injury secara patologi
berlangsung melalui 4 tahap sebagai berikut:
1. Tahap Inisiasi Tahap dimana ginjal mulai mengalami penurunan ginjal. Pada tahap ini
biasanya pasien belum merasakan gejala yang berarti. Rata-rata pasien mengeluh badan
yang tiba-tiba terasa lemas, nyeri sendi, kadang diikuti nyeri pinggang hebat bahkan
sampai kolik abdomen. Serangan ini berlangsung selama beberapa saat, jam atau beberapa
hari.
2. Fase Oliguri-Anuri
Volume urin (<400 sampai 500ml/24 jam) ditandai dengan peningkatan konsentrasi urin
yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal. Terdapat penurunan fungsi ginjal dengan
peningkatan retensi nitrogen, peningkatan BUN, ureum dan kreatinin.
3. Fase Diuretik
Dimulai ketika dalam waktu 24 jam volume urin yang keluar mencapai 500 ml dan
bahkan mulai normal. Berakhir ketika BUN serta serum kreatinin tidak bertambah lagi.
Pada tahap ini perawat harus terus mengobservasi kondisi pasien, karena kadang pasien
dapat mengalami dehidrasi yang ditandai dengan peningkatan ureum
4. Fase Penyembuhan (recovery)
Walaupun kerusakan nefron bersifat irreversible, namun apabila kerusakan belum
berlangsung lama dan segera di perfusi dengan baik maka Acute Kidney Injury dapat
dicegah agar tidak berlanjut dan nefron dapat berfungsi kembali. Biasanya proses ini
berlangsung beberapa bulan (tiga bulan sampai dengan satu tahun) namun, kadang-kadang
terjadi jaringan parut yang tidak selalu menyebabkan ginjal kehilangan fungsi.
D. MANIFESTASI KLINIK
Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa manifestasi klinik pada Acute Kidney
Injury menurut yaitu :
1. Pernafasan seperti pernafasan kussmaul, efusi pleura dan pneumonia.
2. Saraf seperti sakit kepala, kelelahan, perubahan status mental.
3. Kardiovaskular seperti anemia (nomochromic, normocytic), hipertensi, disritmia.
4. Perkemihan seperti perubahan volume dan komponen tergantung penyebab dan perubahan
ekskresi karena obat-obatan.
5. Kulit seperti oedema mata, tangan atau kaki dan memar.
6. Darah seperti asidosis, hiperkalemia, BUN, meningkat, dan serum kreatinin meningkat.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi
yang meliputi hal-hal sebagai berikut dialisis, koreksi hiperkalemi, terapi cairan dan diet
rendah protein tinggi karbohidrat serta koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan
dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi Acute Kidney Injury yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka. Koreksi
hiperkalemi ialah peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian enema.
Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
interstinal (Muttaqin & Sari, 2014).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Setelah ada kecurigaan adanya penurunan fungsi renal, maka pemeriksaan penunjang segera
harus dilakukan untuk mengetathui penyebab penurunan fungsi renal. Kecepatan peeriksaan
lanjutan ini ikut berperan penting dalam penatalaksanaan ARF dan mencegah terjadinya CHF
(Congestive Heart Failure). Pemeriksaan penunjang difokuskan pada faktor etiologi pre-renal,
intrarenal, atau post-renal. Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa pemeriksaan yang
sering dilakukan menurut yaitu:
Diyono & Mulyanti. 2019. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Urologi. Yogyakarta : Andi.
1. Hematologi, biasanya akan terjadi peningkatan ureum, kreatinin, BUN, hipokalemia,
hipokalsemia, anemia.
2. USG (Ultrasound Sonography) untuk mengetahui kemungkinan faktor post-renal seperti
batu atau tumor saluran kemih.
3. Radiologi (BNO [Blass Nier Overzicht] – IVP [Intra Venous Pyelography], Cystogram),
dilakukan jika dengan USG hasilnya tidak begitu jelas.
4. Arteriogram, dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab pre-renal, misalnya oclusi
arteri renalis.
G. KOMPLIKASI
Odema paru terjadi karena gagal jantung kongestif. Keadaan ini terjadi akibat ginjal
tidak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup. Posisi pasien setengah duduk
agar cairan dalam paru dapat di distribusi ke vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di
berikan diuretik kuat (furosemide injeksi). Aritmia terjadi karena efek dari hiperkalemia yang
mempengaruhi kelistrikan jantung. Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia dan
asidosis). Penurunan kesadaran terjadi karena perubahan perfusi dan penurunan aliran darah
ke otak. Infeksi terjadi karena retensi sisa metabolisme tubuh dalam peredaran darah (BUN,
kreatinin). Anemia, terjadi akibat penurunan produksi eritropoietin sehingga eritrosit yang
dihasilkan juga akan berkurang (Nuari & Widayanti, 2017).
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Doenges (2014), mengatakan bahwa diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada
pasien dengan Acute Kidney Injury adalah sebagai berikut :
1. Hipervolemia berhubungan dengan mempengaruhi mekanisme regulator (gagal ginjal)
dengan retensi (GFR), pemasukkan lebih besar dari pengeluaran, oliguria, oedema
jaringan umum, peningkatan berat badan, perubahan status mental, penurunan Hb/Ht,
gangguan elektrolit, kongestif paru pada foto dada.
2. Resiko penurunan curah jantung ditandai dengan faktor resiko meliputi kelebihan cairan,
perpindahan cairan, defisit cairan, ketidak seimbangan elektrolit, efek uremia pada otot
jantung.
3. Resiko defisit nutrisi ditandai dengan faktor resiko meliputi katabolisme protein,
peningkatan kebutuhan metabolik, anoreksia, mual/muntah, ulkus mukosa mulut.
Keletihan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik/pembatasan diet,
peningkatan kebutuhan energi.
4. Resiko infeksi ditandai dengan faktor resiko meliputi depresi pertahanan imunologi
(sekunder terhadap uremia).
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. PENGERTIAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) . (Nuari dan Widayati, 2017).
Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten (berlangsung
lebih dari 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan Glomerular Fitration Rate (GFR)
dengan angka GFR lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2 (Prabowo dan Pranata, 2014).
B. ETIOLOGI
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju
filtrasiglomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR).
Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkaniskemik
ginjal dan kematian jaringan ginajl.
2. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis
3. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yangberasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.
4. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi
lemakmeningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal
danberlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati
amyloidosisyang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada
dindingpembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
C. PATOFISIOLOGI
Kondisi gagal ginjal disebabkan oleh 3 faktor pemicu yaitu pre renal, renal dan post
renal. Pre renal berkaitan dengan kondisi dimana aliran darah ke ginjal mengalami penurunan.
Kondisis ini dipicu oleh hypovolemia, vasokontriksi dan penurunan cardiac output. Dengan
adanya kondisi ini maka GRF (Glomerular Filtation Rate) akan mengalami penurunan dan
meningkatnya reabsorbsi tubular. Untuk faktor renal berkaitan dengan adanya kerusakan pada
jaringan parenkin ginjal. Kerusakan ini dipicu oleh trauma maupun penyakit-penyakit pada
ginjal itu sendiri. Sedangkan faktor post renal berkaitan dengan adanya obstruksi pada saluran
kemih, sehingga akan timbul stagnasi bahkan adanya refluks urine flow pada ginjal. Dengan
demikian beban tahanan/resistensi ginjal akan meningkat dan akhirna mengalami kegagalan
(Prabowo & Pranata, 2014).
Gagal ginjal terjadi setelah berbagi macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal
yang mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun.
Dimana perjalanan klinis gagal ginjal kronik dibagi dalam tiga stadium. Pertama, menurunnya
cadangan ginjal, Glomerular Filtration Rate (GRF) dapat menurun hingga 25% dari normal.
Kedua, insufisiensi ginjal, pada keadaan ini pasien mengalami poliuria dan nokturia, GFR
10% sampai 25% dari normal, kadar keratin serum dan BUN sedikit meningkat di atas
normal. Ketiga, penyakit ginjal stadium akhir/End Stage Renal Disease (ESRD) atau sindrom
uremik, yang ditandai dengan GFR kurang dari 5 atau 10 ml/menit, kadar serum keratin dan
BUN meningka tajam. Terjadi kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang
dinamakan sindrom uremik memengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Price & Wilson, 2015).
D. KLASIFIKASI DAN PENATALAKSANAAN TERAPI
Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit dimana laju filtrasi glomerolus (LFG)
menurun dan tidak dapat diuba atau reversibel yang terbagi menjadi 5 klasifikasi sesuai
dengan jumlah nefron yang masih berfungsi (Ervina et al., 2015). Dikutip dari Clinical
Practiceguidelines On Chronic Kidney Disease terdapat 5 stadium pada penyakit ginjal
berdasarkan nilai LFG-nya, yaitu:

Stadiu Deskripsi Terapi


m
1 Kerusakan ginjal dengan LFG Pengobatan primer
normal/meningkat dan kondisi
(<90ml/menit/1,73m2) komorbiditas
2 Kerusakan ginjal dengan sedikit Menekan laju
penurunan LFG (60-89 ml/menit/1,73 kejadian PGK
m2)
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan Evaluasi dan
sedang LFG (30-59 ml/menit/1,73 m2) pengobatan
komplikasi
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan Persiapan
besar LFG (15-29 ml/menit/1,73 m2) transplantasi ginjal
5 Gagal ginjal, LFG < 15 ml/menit/1,73 Terapi pengganti
m2 ginjal

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut adalah pemeriksaan penunjang menurut Prabowo dan Pranata (2014) yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis CKD :
1. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan keratin plasma.
2. Urinalisasi
Dilakukan untuk menapis ada atau tidaknya infeksi ginjal atau perdarahan aktif akibat
infamasi pada jaringan ginjal.
3. Ultrasonografi Ginjal
Memberikan informasi yang mendukung menegakkan diagnosis gagal ginjal.
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu denganterapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatifadalah
mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankankeluhan-keluhan
akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolismesecara optimal, dan
memelihara keseimbangan cairan elektrolit. Beberapatindakan konservatif yang dapat
dilakukan dengan pengaturan diet pada pasiendengan gagal ginjal kronik diantaranya yaitu :
1. Diet rendah protein : Diet rendah protein . Jumlah protein yangdiperbolehkan
kurang dari 0,6 g protein/Kg/hari dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) kurang dari 10
ml/menit.
2. Terapi diet rendah Kalium : Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40-80
mEq/hari.
3. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Aturan umum untuk asupan cairanadalah keluaran urine dalam 24 jam ditambah 500 ml
yang mencerminkankehilangan cairan yang tidak disadari.
4. Kontrol hipertensi : Pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal
kronik,keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung
tekanandarah sering diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.
5. Mencegah dan tata laksana penyakit tulang ginjal : Hiperfosfatemia dikontroldengan obat
yang mengikat fosfat seperti aluminium hidroksida (300-1800mg) atau kalsium karbonat
pada setiap makan.
6. Deteksi dini dan terapi infeksi : Pasien uremia harus diterapi sebagai pasienimunosupresif
dan terapi lebih ketat.
7. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal : Banyak obat-obatan yang harusditurunkan
dosisnya karena metaboliknya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal.
8. Deteksi dini dan terapi komplikasi : Awasi dengan ketat
kemungkinanensefalopati uremia, perikarditis, neuropati perifer, hiperkalemia
yangmeningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam
jiwa,kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialisis.
9. Teknis nafas dalam : Breathing exercise atau teknis nafas dalam bertujuanuntuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangiudara yang terperangkap
serta mengurangi kerja bernapas.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada gagal ginjal kronik stadium akhir yaitupada LFG
(Laju Filtrasi Glomerulus) kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebutdapat berupa :

1. Hemodialisa :
2. CAPD (Continuous Ambulatory Peritonial Dyalisis) :
Indikasi dialisis peritonial yaitu :
a. Anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun).
b. Pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskuler
c. Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukanhemodialisis.
d. Kesulitan pembuatan AV shunting.
e. Pasien dengan stroke.
f. Pasien gagal ginjal terminal dengan residual urin masih cukup.
g. Pasien nefropati diabetik disertai morbidity dan co-mortality.
3. Transplantasi ginjal : Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yanglebih
disukai untuk pasien gagal ginjal stadium akhir.
G. KOMPLIKASI
Menurut pendapat Karinda et al., (2019), pada fungsi ginjal yang lebih rendah,
penyakit ginjal kronik yang progresif dapat menimbulkan beberapa komplikasi dengan
prevalensi dan intensitas yang lebih tinggi. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi
antara lain:
a. Penyakit kardiovaskular
b. Hipertensi
c. Anemia
d. Kelainan mineral tulang
e. Diabetes melitus
f. Gangguan elektrolit
g. Asidosis metabolic
H. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GGK
Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada klien dengan CKD:
1. Biodata Tidak ada spesisfikasi khusus untuk kejadian CKD, namun laki-laki sering
mengalami resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat.
2. Keluhan utama Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria,
penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasiventilasi, anoreksia, mual
dan muntah, diaforesis, fatigue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh
karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal
mengalami kegagalan filtrasi.
3. Riwayat penyakit sekarang Keluhan yang dikemukakan sampai dibawa ke RS dan masuk
ke ruang perawatan, komponen ini terdiri dari PQRST yaitu:
P : Palliative merupakan faktor yang mencetus terjadinya penyakit, hal yang meringankan
atau memperberat gejala, klien dengan gagal ginjal mengeluh sesak, mual dan muntah.
Q : Qualitative suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan. Rasa sesak akan membuat
lelah atau letih sehingga sulit beraktivitas.
R : Region sejauh mana lokasi penyebaran daerah keluhan. Sesak akan membuat kepala
terasa sakit, nyeri dada di bagian kiri, mual-mual, dan anoreksia.
S : Serverity/Scale derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut. Sesak akan
membuat freukensi napas menjadi cepat, lambat dan dalam.
T :Time waktu dimana keluhan yang dirasakan, lamanya dan freukensinya, waktu tidak
menentu, biasanya dirasakan secara terus-menerus.
4. Riwayat penyakit dahulu Chronic Kidney Disease (CKD) dimulai dengan periode gagal
ginjal akut dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit
terdahulu akan menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat ISK, payah jantung,
penggunaan obat yang bersifat nefrotoksis, BPH dan lain sebagainya yang mampu
mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang langsung
mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes mellitus, hipetensi, batu saluran
kemih (urolithiasis).
5. Riwayat kesehatan keluarga Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun,
sehingga silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun,
pencetussekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian
penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut herediter. Kaji pola kesehatan
keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat
sakit.
6. Riwayat Psikososial Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping
adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan psikososial terjadi
pada waktu klien mengalami perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses
dialisa. Klien akan mengurung diri dan lebih banyak berdiam diri (murung). Selain itu,
kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang dikeluarkan selama proses pengobatan, sehingga
klien mengalami kecemasan.
7. Pola aktivitas sehari
a. Polanutrisi Kaji kebiasaan makan, minum sehari-hari, adakah pantangan makanan atau
tidak, frekuensi jumlah makan dan minum dalam sehari. Pada pasien gagal ginjal
kronik akan ditemukan perubahan pola makan atau nutrisi kurang dari kebutuhan
karena klien mengalami anoreksia dan mual/muntah.
b. Pola Eliminasi Kaji kebiasaan BAB dan BAK, frekuensinya, jumlah, konsistensi, serta
warna feses dan urine. Apakah ada masalah yang berhubungan dengan pola eleminasi
atau tidak, akan ditemukan pola eleminasi penurunan urin, anuria, oliguria, abdomen
kembung, diare atau konstipasi.
c. Pola istirahat tidur Kaji kebiasaan tidur, berapa lama tidur siang dan malam, apakah
ada masalah yang berhubungan dengan pola istirahat tidur, akan ditemukan gangguan
pola tidur akibat dari manifestasi gagal ginjal kronik seperti nyeri panggul, kram otot,
nyeri kaki, demam, dan lain-lain.
d. Personal Hygiene Kaji kebersihan diri klien seperti mandi, gosok gigi, cuci rambut,
dan memotong kuku. Pada pasien gagal ginjal kronik akan dianjurkan untuk tirah
baring sehingga memerlukan bantuan dalam kebersihan diri.
e. Aktifitas Kaji kebiasaan klien sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Apakah klien mandiri atau masih tergantung dengan orang lain. Pada pasien gagal
ginjal kronik biasanya akan terjadi kelemahan otot, kehilangantonus, penurunan
rentang gerak.
(Prabowo dan Pranata, 2014).
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran menurun
sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat. Pada
pemeriksaan TTV sering dipakai RR meningkat (tachypneu), hipertensi/hipotensi
sesuai dengan kondisi fluktuatif.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi asidosis/alkalosis
respiratorik maka kondisi pernapasan akan mengalami patologis gangguan. Pola
napas akan semakin cepat dan dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh
mempertahankan ventilasi (Kussmaull).
2) Sistem kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal kronis salah
satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi di atas ambang kewajaran
akan mempengaruhi volume vaskuler. Stagnansi ini akan memicu retensi natrium
dan air sehingga akan meningkatkan beban jantung.
3) Sistem pencernanaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit (stress effect),
sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan diare.
4) Sistem hematologi
Biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT>3 detik, palpitasi
jantung,gangguan irama jantung, dan gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan
semakin parah jika zat sisa metabolisme semakin tinggi dalam tubuh karena tidak
efektif dalam ekresinya. Selain itu, pada fisiologis darah sendiri sering ada
gangguan anemia karena penurunan eritropoetin
5) Sistem Endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronis akan
mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan hormon reproduksi. Selain itu,
jika kondisi gagal ginjal kronis berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus,
maka akan ada gangguan dalam sekresi insulin yang berdampak pada proses
metabolisme.
6) Sistem neuromuskuler
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan sirkulasi
cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan terjadinya disorientasi
akan dialami klien gagal ginjal kronis.
7) Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi, sekresi,
reabsorpsi dan ekskresi), maka manifestasi yang paling menonjol adalah
penurunan urine output <400ml/hari bahkan sampai pada anuria (tidak adanya
urine output).
8) Sistem integumen
Anemia dan pigmentasi yang tertahan menyebabkan kulit pucat dan berwarna
kekuningan pada uremia. Kulit kering dengan turgor buruk, akibat dehidrasi dan
atrofi kelenjar keringat, umum terjadi. Sisa metabolik yang tidak dieliminasi oleh
ginjal dapat menumpuk di kulit, yang menyebabkan gatal atau pruritus. Pada
uremia lanjut, kadar urea
9) Sistem muskuloskeletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka berdampak pada
proses demineralisasi tulang, sehingga resiko terjadinya osteoporosis tinggi.
(Prabowo dan Pranata, 2014)
9. Data Psikososial
a. Body image : Persepsi atau perasaan tentang penampilan diri dari segi ukuran dan
bentuk.
b. Ideal diri : Persepsi individu tentang bagaimana dia harus berperilaku berdasarkan
standar, tujuan, keinginan, atau nilai pribadi.
c. Identitas diri : Kesadaran akan diri sendiri yang sumber dari observasi dan penilaian
diri sendiri.
d. Peran diri : Perilaku yang diharapkan secara social yang berhubungan dengan fungsi
individu pada berbagai kelompok.
10. Data sosial dan budaya
Pada aspek ini perlu dikaji pola komunikasi dan interaksi interpersonal, gaya hidup, faktor
sosio kultur serta keadaan lingkungan sekitar dan rumah.
11. Data spiritual
Mengenai keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penerimaan terhadap penyakitnya,
keyakinan akan kesembuhan dan pelaksanaan sebelum atau selama dirawat.
12. Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium atau radiologi perlu dilakukan untuk memvalidasi dalam
menegakkan diagnose sebagai pemeriksaan penunjang. Menurut Padila, 2012 data
penunjang pada pasien CKD adalah sebagai berikut:
a. Laboratorium Ureum kreatinin biasanya meninggi biasanya perabandingan antara
ureum dan kreatinin kurang 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, pengobatan steroid, dan obstruksi saluraan kemih.
Perbandingan ini berkurang, ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein
dan tes klirens kreatinin yang menurun. Terjadi asidosis metabolic dengan kompensasi
respirasi menunjukan pH menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal ginjal.
b. Radiologi Foto polos abdomen untuk melihat bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstuksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab
itu penderita diharapkan tidak puasa.
c. Ultrasonografi (USG) Gambaran dari ultrasonografi akan memberikan informasi yang
mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada klien gagal ginjal
biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain itu,
ukuran dari ginjal pun akan terlihat.
d. Renogram Untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular,
parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG Untuk melihat kemungkinan : hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
13. Analisa data Analisa data adalah kemampuan kognitif perawat dalam pengambilan daya
pikir dan penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan pengetahuan,
pengalaman, dan pengertian tentang substansi ilmu keperawatan dan proses penyakit.
(Muttaqin, 2011).
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada klien dengan Chronic Kidney Deases (CKD)
adalah: (Nurarif dan Kusuma, 2015)
1. Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, penurunan curah jantung,
penrunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat. (Nanda-I Diagnosis Keperawatan:
Definisi dan Klasifikasi, 2018) (Nurarif dan Kusuma, 2015).
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi cairan dan
natrium, dan diet berlebih. (Nanda-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi,
2018) (Nurarif dan Kusuma, 2015).
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebuthan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membran mukosa mulut. (Nanda-I
Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi, 2018) (Nurarif dan Kusuma, 2015).
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah.
(Nanda-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi, 2018) (Nurarif dan Kusuma,
2015).
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritas, gangguan status metabolik
sekunder. (Nanda-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi, 2018) (Nurarif dan
Kusuma, 2015).
6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perlemahan aliran darah
keseluruh tubuh. (Nanda-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi, 2018)
(Nurarif dan Kusuma, 2015).

Anda mungkin juga menyukai