Anda di halaman 1dari 15

ELEKTROKONVULSIF THERAPHY

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

IMAM TRI SUTRISNO


RIFANTIKA PUSPITASARI
NOVIE PRAWITANINGSIH
APRILYA PUSPITA SARI
MIFTACHUL JANNAH
ENGGAR RATNA KUSUMA
RAFIKA ROSYDA
FITRIANI

131311123064
131311123068
131311123069
131311123070
131311123071
131311123072
131311123073
131311123081

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
1.1
Latar Belakang.............................................................................................................3
1.2
Tujuan Umun...............................................................................................................4
1.3
Tujuan Khusus.............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................5
1

2.1
Definisi........................................................................................................................5
2.2
Indikasi........................................................................................................................5
2.3
Kontraindikasi.............................................................................................................6
2.4
Efek Samping..............................................................................................................7
2.5
Frekuensi dan Jumlah..................................................................................................7
2.6
Prosedur Terapi............................................................................................................8
2.7
Reaksi Penderita..........................................................................................................9
2.8
Stimulus Listrik dan Kejang........................................................................................9
2.9
Peran Perawat Dalam Pelaksanaan ECT...................................................................10
2.9
Peran Perawat Dalam Pelaksanaan ECT...................................................................11
BAB III.....................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................15
Kesimpulan...........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................16
Lampiran..................................................................................................................................16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Gangguan mental merupakan kekalutan mental, kekacauan mental, penyakit mental

atau gangguan mental. Banyak sekali jenis-jenis gangguan jiwa, salah satunya adalah
2

skizofrenia . Menurut World Health Organization (WHO) dalam, skizofrenia mempengaruhi


24 orang diseluruh dunia, mempengaruhi 7 per 1000 populasi dewasa, sebagian besar pada
kelompok umur 15 35 tahun. Lebih dari 50% pasien skizofrenia tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat dan 90% diantaranya terdapat pada negara berkembang (Nasrullah,
2009). Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada
usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun sudah menderita
skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2
juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah
penderita skizofrenia (Arif, 2006).
Skizofrenia merupakan gangguan yeng menyebabkan kerusakan kemampuan daya
ingat dan kehilangan kesadaran, maka

sering muncul dalam bentuk waham maupun

halusinasi. Individu yang menderita kerusakan otak tidak sanggup menyimpan informasi baru
dalam ingatan atau sering disebut terjadi kerusakan pada memori jangka pendek (working
memory), tetapi mereka dapat mengingat informasi yang telah lama. Salah satu terapi yang
paling efektif untuk memperbaiki working memeori pada pasien skizofrenia adalah dengan
terapi elektrokonvulsif. Working memory atau memori kerja pada penderita skizofrenia
mengalami perkembangan setelah diberikan terapi elektrokonvulsi. Memori kerja yang
semula tidak bekerja, subyek tidak mengingat akan hal-hal yang terjadi pada dirinya, sering
mengamuk, sering berbicara sendiri, bicara ngelantur, tertawa sendiri, setelah diberikan terapi
electroconvulsi (ECT) mengalami perkembangan pada memori kerjanya yaitu beberapa jam
setelah terapi subyek sudah bisa mengenali identitasnya, berkomunikasi lancar dengan
individu di lingkungannya, komunikasi verbalnya sudah terarah, dapat mengucapkan kata
yang bersinambungan dan sudah dapat melakukan aktifitasnya sendiri dan sudah bisa
mengingat hal-hal yang baru saja subyek lakukan. Misalnya sudah bisa mengingat bahwa dia
sudah meminum obat, dia sudah makan, sudah mandi, dan sudah sholat. (Handriyani, 2006).
Oleh karena itu, kita harus mengetahui lebih lanjut mengenai Terapi Elektrokonvulsif ini.
Dan kita sebagai perawat harus mengetahui peranan apa saja dalam pelaksanaan ECT ini.
1.2

Tujuan Umun
Diketahuinya Terapi Elektrokonvulsif dan peran perawat dalam prosedur ECT

1.3

Tujuan Khusus
1.
2.
3.
4.

Mengetahui pengertian ECT


Mengetahui jenis-jenis ECT
Mngetahui indikasi pelaksanaan ECT
Mengetahui kontraindikasi pelaksanaan ECT
3

5. Mengetahui efek samping pelakanaan ECT


6. Mengetahui prosedur pelaksanaan ECT
7. Mengetahui peran perawat dalam pelaksanaan ECT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
ECT adalah singkatan dari Electro Convulsive Therapy. Terapi elektrokonvulsif ini

merupakan salah satu terapi modalitas. ECT merupakan suatu terapi pemberian aliran listrik
yang dapat memberi serangan kejang grand mal melalui elektroda yang dipasang di pelipis
agar mendapat efek terapeutik (Towsend, 2010). Kejang tersebut dimodifikasi dengan
penggunaan anastetik intravena dan relaksan otot sebelum . ECT unilateral mencegah sekuela
amnesia untuk kejadian jangka pendek. Pusat pengaturan mekanisame memori jangka pendek
kemungkinan besar terdapat di hemisfer serebri dominan. Oleh karena itu, ECT dipasang di
hemisfer kanan untuk mengurangi gangguan memori. (Brooker, 2008).
2.2

Indikasi

Ada beberapa hal lain yang merupakan indikasi ECT yaitu:


1. Gangguan Depresi Mayor
Gangguan ini digunakan jika pasien tidak berespon terhadap obat antidepresan. Tetapi
sebagian besar dokter memilih untuk melakukan penanganan ini hanya setelah upaya
terapi obat tidak berhasil. Semakin banyak jumlah gambaran depresi yang khas,
4

semakin besar kemungkinan respon yang baik terhadap terapi elektrokonvulsif.


(Davies, 2009)
2. Gangguan Skizofrenia
Skizofrenia merupakan indikasi paling penting bagi ECT, tetapi untuk jenis yang
menahun hasilnya kurang memuaskan, yang paling baik ialah pada jenis gaduhgelisah katatonik dan stupor katatonik. Pada jenis paranoid hasilnya kurang baik dan
yang paling kurang baik ialah pada jenis hebefrenik dan simplex (Maramis, 2004).
Skizofrenia merupakan gangguan yeng menyebabkan kerusakan kemampuan daya
ingat dan kehilangan kesadaran, maka sering muncul dalam bentuk waham maupun
halusinasi. Memori kerja yang semula tidak bekerja, subyek tidak mengingat akan
hal-hal yang terjadi pada dirinya, sering mengamuk, sering berbicara sendiri, bicara
ngelantur, tertawa sendiri, setelah diberikan terapi electroconvulsi (ECT) mengalami
perkembangan pada memori kerjanya yaitu beberapa jam setelah terapi subyek sudah
bisa mengenali identitasnya, berkomunikasi lancar dengan individu di lingkungannya,
komunikasi verbalnya sudah terarah, dapat mengucapkan kata yang bersinambungan
dan sudah dapat melakukan aktifitasnya sendiri dan sudah bisa mengingat hal-hal
yang baru saja subyek lakukan. Misalnya sudah bisa mengingat bahwa dia sudah
meminum obat, dia sudah makan, sudah mandi, dan sudah sholat. (Handriyani, 2006)
3. Gangguan Afektif tipe Mania
Terapi ini sangat efektif pada klien mania yang sangat hiperaktif serta beresiko
mengalami keletihan fisik dan untuk individu yang sangat ingin bunuh diri
(Townsend, 2009). Pasien dengan keinginan bunuh diri yang aktif tidak mungkin
menunggu antidepresan bekerja (Tomb, 2004)
2.3

Kontraindikasi

Meskipun ECT ini sangat bersepon baik dalam beberapa gangguan mental, akan tetapi ada
beberapa hal yang tidak boleh dilakukan pada klien dengan kasus-kasus tertentu antara lain:
1. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Tidak digunakan jika ada TIK karena tumor otak, infeksi SSP. ECT dengan singkat
meingkatkan resiko TIK dan herniasi tentorium (Townsend, 2010). Kontra indikasi
mutlak ialah tumor otak, karena listrik yang masuk mempertinggi permeabilitas
kapiler otak sehingga terjadi edema. Hal ini dapat menjadi fatal pada tumor otak yang
meninggi, karena terjadi inkarserasio (terjepitnya batang otak atau bagian otak lain).
(Maramis, 2004)
5

2. Riwayat Penyakit Jantung


Yang dimaksud seperti infark miokard, aneurisme aorta, gagal jantung hipertensi
berat. Hal ini dapat menyebabkan aritmia yang akan berakibat fatal jika klien
mempunyai kelainan kardiovaskuler (Townsend, 2010).
3. Peyakit Tulang
Osteoporosis, osteoartritis, atau fraktur. Jadi dekomprensasi jantung dan aneurisma
aorta serta penyakit tulang dengan bahaya fraktur merupakan kontra indikasi untuk
ECT, tetapi boleh diberi saja bila dipakai suntikan obat pelepas otot, sehingga tidak
terjadi konvulsi (Maramis, 2004).
4. Kehamilan
Untuk dan kehamilan bukan merupakan kontra indikasi. Akan tetapi, harus diingat
bahwa biarpun tidak terjadi kelahiran sebelum waktunya, anak di dalam rahim dapat
saja terganggu bila ibu mengalami hipoksia karena apnea sesudah konvulsi. Suatu hal
lain ialah bahwa biarpun dengan ECT terjadinya abortus atau partus sebelum
waktunya tidak lebih banyak daripada tanpa ECT, bila hal itu terjadi sesudah ECT,
kita dapat saja dipersalahkan oleh pasien atau keluarganya. (Maramis, 2004)
2.4

Efek Samping
Tidak jarang terjadi luxasio, fraktur atau robekan otot. Paling sering terjadi
luxasio pada rahang atau fraktur kompresi pada vertebra. Luxasio rahang direposisi
sesudah konvulsi berhenti, waktu otot-otot masih lemas dan pasien belum sadar.
Biasanya terjadi apnea. Bila ini berlangsung agak lama, dan bibir serta muka sudah
sianosis, maka dapat dilakukan bantuan nafas. Sebaiknya sebelum ECT, tidak dapat,
diminta pasien bernafas dalam-dalam (hiperventilasi) selama kira-kira 1-2 menit
supaya hipoksia tidak terlalu berat.
Tak jarang timbul sakit kepala setelah ECT, tetapi ini tidak berat dan
berlangsung kira-kira setengah hari. Bila perlu dapat diberi analgetik. Selalu terjadi
amnesia dan tidak jarang juga amnesia anterograd sesudah ECT, tetapi penderita baik
kembali sesudah satu atau beberapa hari.
Kebingungan sesudah konvulsi kadang-kadang hebat, pasien dapat menjadi
sangat gelisah, agresif atau destruktif. Ia harus diawasi saja oleh beberapa orang dan
biasanya sesudah beberapa menit atau paling paling lama 10 menit ia sudah tenang
kembali. Jika seorang pasien sesudah ECT yang pernah bereaksi tenang bisanya
selanjutnya ia akan tenang juga. Jika ia mengalami kebingungan post-konvulsi,
6

selanjutnya ia akan gelisah juga sesudah ECT. Kita tidak dapat mengetahui lebih
dahulu bagaimana cara pasien akan bereaksi. Jadi, bila pasien itu berbadan besar dan
kuat, maka untuk keamanan semua pihak, sebaiknya kita siap dengan beberapa orang
yang kuat waktu ECT pertama (Maramis, 2004).
2.5

Frekuensi dan Jumlah


Tergantung pada keadaan penderita, ECT dapat diberi :
1.

Secara "blok" : 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari

2.

2-3 kali seminggu

3.

ECT "maintenance" : sekali tiap 2-4 Minggu

4.

Sebelum jaman obat psikotropika, ECT diberi paling sedikit 12x, bila perlu
sampai 20x, tetapi sekarang bila diberikan bersama obat psikotropik, maka
ECT dihentikan setelah pasien menunjukkan perbaikan yang jelas (tidak usah
sampai 12x) dan dilanjutkan dengan obat saja (Maramis, 2004).

2.6

Prosedur Terapi
Ada prosedur dalam ECT (Maramis, 2004), yaitu :
1.

Sebelum pemberian ECT penderita diperiksa badannya dengan teliti, terutama


jantung dan paru. tulang punggung juga perlu mendapat perhatikn yang istimewa.

2.

Penderita harus puasa supaya jangan sampai muntah dan tersedak saat ia tak sadar
(bahaya pneumonia)

3.

Kandungan kemih dan rektum perlu dikosongkan supaya ia tak mengotori dirinya
dan tempat tidur bila terjadi inkontenensia

4.

Gigi palsu yang dapat dilepaskan harus dilekuarkan, juga benda-benda lain yang
ada leaps di dalam mulut (premen, dan sebagainya)

5.

Penderita berbaring terlentang lurus di atas permukaan yang datar dan agak keras;
pakaian yang ketat (sabuk, kutang, dan sebagainya) dilonggarkan

6.

Bagian kepala yang akan ditempelkan elektroda dibersihkan (umpamanya dengan


alkohol) supaya minyak kulit hilang sehingga tidak terlalu menahan aliran listrik.
Tempat untuk elektroda ialah daerah antara os. Frontalis dan os. Temporalis
dengan tulang tengkorak yang tipis dan tidak terdapat banyak rambut. Daerah ini
kemudian dubasahkan dengan bahan penghantar aliran listrik (umpamanya air
garam atau pasta khusus)
7

7.

Di antara rahang atas dan bawah di tempat gigi-gigi yang masih kuat (biasanya di
antara molares) diberi bahan yang lunak (umpamanya sepotong kain yang dilipat)
yang harus digigit oleh penderita. Harus diperhatikan bahwa bibir atau pipi tidak
terjepit.

8.

Dagu penderita ditahan supaya mulut jangan sampai terbuka besar waktu fase
tonik dan klonik, sehingga timbul bahaya luxasio rahang atau lidahnya tergigit.

9.

Badan penderita tidak perlu ditahan. Awas akan lengan penderita yang dapat
memukul karena tiba-tiba terjadi flexi pada permulaan fase tonik. Ekstremitas
dapat dipegang, tetapi tidak boleh terlalu keras seperti hendak menahan konvulsi (
bahaya, robekan otot, fraktur, dan luxasio).

10. Elektroda ditekan dengan kekuatan yang sedang pada tempatnya, rambut tebal
dikesampingkan sepadat-padatnya.
2.7

Reaksi Penderita
Konvulsi yang timbul mirip serangan epilepsi jenis grand mal dengan fase
tonik kira-kira 10 dt diikuti oleh fase klonik yang lebih lama (30 - 40 dt). Sesudah
fase klonik timbul fase relaksasi otot dengan pernafasan yang dalam dan keras.
Kepala penderita dimiringkan agar ia tidak sadar selama kira - kira 5 menit, lalu pelan
- pelan dalam waktu 5-10 menit kesadaran timbul kembali.Banyak penderita menjadi
sangat bingung sesudah konvulsi, jika tidak diganggu mungkin sampai 1 jam lebih.
Beberapa penderita menjadi sangat bingung sesudahnya (bingung post konvulsi).
Mereka harus dijaga baik-baik agar jangan sampai mereka jatuh dan melukai dirinya
sendiri (Maramis, 2004).

2.8

Stimulus Listrik dan Kejang


Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan
kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar
25-60 detik dengan menggunakan jumlah energy listrik terkecil. Sejumlah peralatan
ECT memungkinkan penentuan energy stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus
dipertahankan serendah mungkin.
Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus
adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya. Jika tidak
terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi berulang pada intensitas
8

stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung kurang dari 25 detik,
stimulus harus diulang sekali. Jika hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek,
maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus diberikan stimulu ketiga. Jika
stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus
diakhiri. Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang,
maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi
stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen (Guze, 2010)
2.9

Peran Perawat Dalam Pelaksanaan ECT


1. Pemberi asuhan keperawatan
Memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia klien yang hendak
menjalankan ECT. Seperti membantu klien mengosongkan kandung kemih dan
rektum, mengingatkan puasa, dan memeriksa badan klien sebelum tindakan
ECT. Terutama setelah ECT, perawat bisa menenangkan klien jika klien tampak
kebingungan.
2. Advokat pasien / klien
Menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan dalam
pengambilan persetujuan atau penolakan atas tindakan ECT yang diberikan
kepada pasien.
3. Pendidik / Edukator
Membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan tentang manfaat
tindakan ECT, hal yang harus dilakukan klien, dan efek samping ECT agar klien
maupun kelurganya tidak salah pengertian tentang terapi ini karena efek
sampingnya bisa terjadi berbagai hal yang mungkin saja bisa mengancam jiwa
klien.
4. Koordinator
Mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi klien yang hendak
melakukan tindakan ECT. Perawat mengatur kapan klien akan melaksanakan
ECT. Bukan hanya obat seperti antibiotik saja yang harus di berikan tepat
waktu, tetapi ECT juga harus di berikan secara tepat waktu dan dosis. pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat
terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien
5. Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat sebagai mitra kerja dokter sangat diperlukan
9

klien saat melakukan tindakan ECT ini. Peawat bisa memberikan injeksi obat
relaksan pada kondis tertentu pasien sebelum mekalsanakan ECT.
6. Konsultan
Tempat konsultasi klien dan keluarganya jika klien terdapat kontraindikasi
seperti tumor otak, penyakit jantung dan sebagainya. Klien berhak berkonsultasi
terapi yang dilakukan selain ECT, yaitu terapi modalitas lainnya seperti terapi
kelompok atau terapi keluarg.
7. Peneliti
Mengadakan penelitian pada pasien pasien dengan terapi ECT baik dengan
indikasi maupun konra indikasi. Disini perawat sangat memegang peran penting
untuk melakukan penelitian lebih lanjut lagi dalam penatalaksanaan
keperawatan pada tindakan ECT terutama menguangi efek samping ECT
dengan tindakan keperawatan.

2.10

Asuhan Keperawatan
I. PRE ECT
PENGKAJIAN
1. Pengkajian Psikologis
Dukungan mental agar pasien tidak takut dengan tindakan yang akan dilakukan.
Menjelaskan hal-hal yang akan dilakukan pada pasien trauma yang pertama kali
mendapatkan tindakan ECT.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi TD, nadi, pernafasan.
Keadaan rambut dan kulit pasien
Pemeriksaan rambut, gigi geligi.
Pengosongan Vesica urinaria dan rectum.
Timbang berat badan.
3. Pemeriksaan penunjang diagnostik
EKG, EEG, dan pemeriksaan laboratorium.
PERAN PERAWAT
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan
mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
1. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai
berikut:
a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
10

c. Kain kasa
d. Cairan Nacl secukupnya
e. Spuit disposibel
f. Obat SA injeksi 1 ampul
g. Tensimeter
h. Stetoskop
i. Slim suiger
j. Set konvulsator
2. Persiapan klien
a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang
akan dilakukan.
b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
c. Siapkan surat persetujuan
d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin
dipakai klien
f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT
h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.
i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum
ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan
sekresi gastrointestinal.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
INTERVENSI
1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga
2. Kaji derajat kecemasan
3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengeksplorasikan perasaannya
4. Berikan dukungan mental pada klien dan keluarganya
5. Berikan penjelasan tentang ECT pada klien dan keluarga sebelum dilakukan ECT
6. Tanyakan kembali pada klien dan keluarganya tentang ECT
II. INTRA ECT
Pelaksanaan.
a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan
cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan,
seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai
untuk menghasilkan koma ringan.
11

c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari
kemungkinan kejang umum.
d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel.
e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira
Nacl.
f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus
kain dimasukkan dan klien diminta menggigit
g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan
dilapisi kain
h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti
gerak kejang
i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer
berhenti dan dilepas
j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang
(menahan tidak boleh dengan kuat).
k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma
l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
m. Kepala dimiringkan
n. Observasi sampai klien sadar
o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan prosedur tindakan
INTERVENSI
1. Atur posisi klien
2. Observasi TTV
3. Pantau saturasi oksigen pada alat oksimetri
4. Berikan terapi oksigenasi
5.Pertahankan kelancaran jalan nafas
III. POST ECT
Tahapan evaluasi merupakan tahapan akhir dari penatalaksanaan tindakan ECT, disini
perawat berperan dalam pemberian asuhan kepearwatan pasca ECT baik secara
konvensional dan pre-medikasi.
Adapun asuhan keperawatan yang diberikan antara lain :
a. Mengkaji tingkat kesadaran & mengontrol tanda-tanda vital
b. Miringkan kepala pasien
c. Catat dan laporkan efeksamping yang timbul.
d. Kolaborasi dengan dokter
e. Lakukan tindakan sesuai dengan order dokter
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko trauma berhubungan dengan prosedur tindakan
12

INTERVENSI
1. Atur posisi klien post ECT
2. Tahan dagu dengan benar saat mulut terbuka
3. Jaga di samping klien bila perlu fiksasi
4. Ciptakan lingkungan yang aman, hindarkan pasien dari alat-alat yang berbahaya.
5. Berikan pengaman pada tempat tidur
6. Pantau TTV

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ECT adalah singkatan dari Electro Convulsive Therapy. Terapi elektrokonvulsif ini
merupakan salah satu terapi modalitas. ECT merupakan suatu terapi pemberian aliran
listrik agar mendapat efek terapeutik (Towsend, 2010). Ada beberapa indikasi yaitu :
Gangguan depresi mayor, gangguan skizofrenia, dan gangguan afektif tipe mania.
Namun ada juga beberapa kontraindikasi yaitu : peningkatan tekanan intrakranial,
riwayat penyakit jantung, penyakit tulang, kehamilan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Arif, I.S. (2006). Skizofrenia (Memahami dinamika keluarga pasien). Bandung: Refika
Aditama
.
Brooker, Chris (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC
Davies, T. 2009. ABC Kesehatan Mental. Jakarta:EGC
Guze, Barry MD. 2010. The Handbook of Psychiatry. Jakarta: EGC.
Hibbert, A, Godwin, A, Dear, F. 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Jakarta : EGC
Hndriyani, Baiq Suprayanti. 2006.Working Memory Pasca Terapi Electroconvulsi (ECT)
Pada Penderita Skizofrenia Manic Depresif (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Pusat
Mataram) Jurnal : Mataram
Maramis , W. F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press
Sains dan Teknologi. 2005. Pengobatan Mengejutkan, Terapi Electroconvulsive. Jurnal :
London dari http://search.proquest.com/docview/224016694?accountid=31533
Stevens, Cheryl. 2009 ECT debat: Bahaya, atau terapi yang efektif?. Jurnal:Amerika Serikat
dari http://search.proquest.com/docview/269037022?accountid=31533
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta:EGC
14

Tomb, A.David. 2004, Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta : EGC


Townsend, Mary. 2009. Buku saku diagnosis keperawatan psikiatri. Jakarta : EGC
Townsend, Mary. 2010. Buku saku diagnosis keperawatan psikiatri. Jakarta : EGC

15

Anda mungkin juga menyukai