Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT SKENARIO I


ADUH, TELINGAKU BAU !

KELOMPOK XII
Agil Noviar
Arina Sabila H
Dessy Rachmawati

G0012056

Dicky Maulana Lazuardi

G0012060

Meda Mitasari
Nanda Eka Sejati
Masyola
Alexander
M. Mardiya Algifahri
Reinita Vany

G0012176

Soraya
Nopriyan

TUTOR : SINU ANDHI JUSUF, dr., M.Kes


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO I
Aduh, telingaku bau !
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter
umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental
dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga
pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek,
disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu.
Satu tahun yang lalu, telinga akanan keluar cairan kental, jernih yang sebelumnya
didahului demam, batuk dan pilek. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika
batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan : perforasi sub total
dengan sekret mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat : sekret
seromukus, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan : mukosa
hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa
istilah dalam skenario
a. Granuloma
Sekumpulan makrofag yang dikelilingi oleh sebukan limfosit
b. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan rongga hidung bagian dalam dengan menggunakan
spekulim hidung baik melalui nares anterior atau nasofaring
c. Livide
Berubah warna, agak kebiru-biruan
d. Perforasi subtotal / sentral
Perforasi membran timpani di bagian pars tensa namun bagian tepi
membran timpani masih intake/utuh dengan sekitarnya
e. Otoskopi
Pemeriksaan THT (telinga, hidung, dan tenggorokan) dengan
menggunakan otoskop untuk melakukan inspeksi maupun auskultasi
pada telinga
f. Mukopurulen
Mukus yang bercampur dengan nanah/purulen
2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana fisiologi dan anatomi dari sistem pendengaran ?
b. Mengapa telinga kanan pasien mengeluarkan cairan kuning, kental dan
berbau busuk ?
c. Mengapa pasien mengeluh telingnya berdenging ?
d. Mengapa pada pasien terjadi gengguan pendengaran disertai kepala
pusing ?
e. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit satu tahun yang lalu
dengan keluhan yang diderita pasien saat ini ?
f. Apakah ada hubungan antara pekerjaan, usia, dan jenis kelamin dengan
keluhan saat ini ?
g. Mengapa penyakit telinga pasien sering kambuh-kambuhan ?

h. Mengapa pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan perforasi


sub total dengan sekret mukopurulen dan granuloma ?
i. Mengapa bisa tampak sekret seromukus, konka hipertrofi dan livide
pada pemeriksaan rinoskopi anterior ?
j. Mengapa pada pemeriksaan pharing didapatkan mukosa hiperemi ?
k. Bagaimana rposedur pemeriksaan rinoskopi anterior dan otoskopi ?
l. Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat untuk pasien ini ?
m. Apakah diagnosis banding keluhan yang diderita saat ini ?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan
sementara mengenai permasalahan
Analisis dari masalah yang kami temui antara lain :
a. Anatomi Telinga
Secara anatomis, organ telinga/auris dibagi menjadi 3, antara lain:
a.
b.

Auris externa, meliputi auricula dan meatus acusticus externus


Auris media, meliputi cavitas tympanica, ossicula auditiva, tuba
auditiva eustachii, musculus tensor tympani et stapedius, aditus ad

c.

anthrum
Auris interna, meliputi apparatus acusticus (cochlea) dan apparatus
vestibular (vestibulum, utriculus, sacculus, canalis semicircularis)

1) Auris Externa
Struktur bangunan yang ada meliputi:
a) Auricula (Daun telinga)
Tersusun dari cutis dan cartilagines elastica, dan difiksasi oleh
musculii et ligamenta, berfungsi untuk menangkap suara dengan
jumlah lebih besar, hal ini bisa dipahami karena struktur
anatomisnya memberikan perbedaan yang cukup signifikan
mengenai

penangkapan

intensitas

suara

yang

lebih

besar

dibandingkan bila tidak mempunyai auricula. Mendapat innervasi


dari cabang-cabang dari plexus cervicalis II-III, n.mandibularis,
n.facialis, dan n.vagus

Gambar 1. Struktur Auricula (Hansen, J.T ,2010)


b) Meatus acusticus externus
Dengan panjang kurang lebih sekitar 2,5 cm, berfungsi untuk
menyalurkan suara yang ditangkap oleh auricula ke membrana
tympanica untuk diteruskan ke auris media, terdiri atas 2 pars,
yakni:
- Pars cartilaginea, menempati 1/3 lateral, tersusun atas cutis,
cartilaginea, glandula sebasea et ceruminosa, yang berperan
memproduksi cerumen yang berfungsi untuk menolak
serangga, menghambat pertumbuhan mikroorganisme, dan
meminimalisir terjadinya infeksi
- Pars ossea, menempati 2/3 medial, tersusun atas cutis dan
osteum
Mendapat innervasi sebagian besar dari n.mandibularis dan
n.vagus, sebagian kecil dari n.facialis dan n.glossopharyngeus.

Gambar 2. Struktur Meatus Acusticus Eksternus (Hansen, J.T ,2010)


c)

Membrana Tympanica
Antara auris externa dan auris media dibatasi oleh membrana

tympanica, yang berfungsi menyerap suara yang kemudian


diteruskan ke ossicula auditiva. terdiri dari 4 kuadran (supero
anterior, infero anterior, supero posterior, infero posterior) Dapat
menjadi indikator terjadinya otitis media, ditandai dengan adanya
bulging melalui struktur cone of light (bagian dari membrana di
kuadran infero anterior yang mengkilat) yang membesar. Untuk
tindakan drainase sekret di auris media bisa dilakukan miringotomi
di kuadran infero posterior.

Gambar 3. Struktur Membrana Tympanica (Hansen, J.T ,2010)

2) Auris Media
Struktur bangunan yang ada meliputi:
a) Ossicula auditiva
Berfungsi untuk menghantarkan

suara

dari

membrana

tympanica ke fenestra ovale di auris interna (melalui ligamentum


anulare stapediale, penghubung antara ossicula dengan fenestra
ovale) dengan lebih cepat karena penghantaran lebih cepat bila
melalui ossicula dibandingkan dengan melalui udara di cavitas
tympanica yang tidak ada ossicula. Terdiri atas os malleus, os incus

dan os stapes (sesuai urutan dari lateral), yang dimana akan


membentuk 2 articulatio (articulatio incudomallearis yang bertipe
sellaris dan articulatio incudostapedialis yang bertipe globoidea).

Gambar 4. Bangunan pada ossicula auditiva (Hansen, J.T ,2010)


b) Cavitas tympanica
Suatu ruang tempat dimana terdapat ossicula auditiva, aditus
ad anthrum, dan tuba auditiva Eustachii, terdapat 6 batas, antara
lain:
- Anterior: terdapat ostium tympanicum tuba auditiva Eustachii
(pintu masuk ke tuba auditiva Eustachii), musculus tensor
-

tympani
Posterior: terdapat aditus ad anthrum, penghubung cavitas

tympanica dengan anthrum mastoideum


Lateral: terdapat membrana tympanica
Medial: terdapat promontorium, pendesakan dari basis cochlea,

fenestra ovale dan fenestra rotundum


Superior: terdapat tegmen tympani, yang membatasi antara

cavitas tympanica dengan fossa cranii media


Inferior: terdapat lapisan tulang tipis yang membatasi cavitas
tympani dengan BSVJI (Bulbus Superius Vena Jugularis

Interna)
c) Musculus tensor tympani et stapedius

Musculii ini berperan dalam meredam suara menjadi lebih


rendah, hal ini sangat membantu di saat kita mendengar suara yang
terlalu keras.
d) Tuba auditva Eustachii
Suatu saluran penghubung cavitas tympanica dengan dunia
luar (dalam hal ini ruangan di pharynx)

Gambar 5. Tuba Auditiva Eustachii (Hansen, J.T ,2010)


e) Aditus ad anthrum
Penghubung antara cavitas tympanica dengan anthrum
mastoideum, bila terjadi otitis media dan sekretnya masuk melalui
aditus ad anthrum ke anthrum mastoideum dan ke cellulae
mastoidea maka bisa menimbulkan manifestasi klinis mastoiditis.
3) Auris Interna
Struktur yang ada meliputi:
a) Orificium aqueductus vestibuli, pintu masuk menuju saluran
aqueductus vestibuli yang kemudian berakhir di apertura
canaliculi vestibuli, yang di mana kemudian akan berhubungan
dengan spatium subarachnoidale.
b) Apparatus acusticus, berfungsi untuk menyalurkan suara yang
nantinya akan diubah jadi impuls untuk diteruskan ke jaras
saraf menuju sistem saraf pusat untuk menimbulkan persepsi
suara. Organ yang berperan di sini adalah cochlea, mempunyai
fenestra ovale sebagai pintu masuk, fenestra rotundum sebagai
pemantul suara, scala media yang berisi endolimfe dan

organon corti, scala vestibuli dan scala tympani yang berisi


cairan

perilimfe.

Scala

vestibuli

dan

scala

tympani

berhubungan melalui suatu lubang yang disebut helicotrema,


bertujuan agar ada rambatan getaran suara secara bolak-balik
dari scala vestibuli ke scala tympani lalu balik lagi ke scala
vestibuli, yang nantinya akan menggetarkan organon corti di
scala media, sehingga akan menimbulkan terjadinya impuls
untuk diteruskan ke sistem saraf pusat untuk menimbulkan
persepsi suara.
c) Apparatus vestibular, struktur bangunan yang ada antara lain:
- Vestibulum
- Reseptor statis, terdiri atas macula sacculus dan utriculus,
berperan dalam respons percepatan linear, baik secara
-

horizontal maupun vertikal


Reseptor dinamis, terdiri atas canalis semicircularis (anterior,
posterior, dan lateral), masing memiliki crista ampullaris,
berperan dalam respons terhadap gerak angular dan rotational

Gambar 6. Labyrinthus Membranaceus (Derrickson, B et al, 2012)


b. Keluhan telinga berdenging
Telinga berdenging atau tinitus merupakan suara bising di telinga
seperti deringan, dengung, raungan atau bunyi klik yang berasal dari

10

kepala/telinga tanpa adanya sumber suara dari luar. Tinitus ini terjadi
akibat adanya gangguan pada sel-sel rambut yang terdapat di organ
corti. Beberapa faktor pencetus tinitus antara lain :
Usia lanjut
Infeksi : otitis media, meningitis, dan sifilis
Pekerjaan dengan polusi suara yang berlebihan
Meikamentosa : obat antibiotik golongan aminoglikosid,
salisilat, anti inflamasi non steroid, loop diuretics, dan obat

obatkan kemoterapi.
Neurologis : trauma kepala, whiplash, sklerosis multipel,
vestibular schwannoma, dan tumor cerebellopontine angle

Klasifikasi Tinitus
a) Tinitus Subjektif dimana bunyi hanya didengar oleh penderita
(Kennedy, 2010).
Tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh
proses iritatif atau perubahan degeneratif traktus auditorius
mulai dari sel-sel rambut getar koklea sampai pusatsaraf
pendengaran.
b) Tinnitus Objektif dimana bunyi terdengar pada penderita dan
pemeriksa (Kennedy, 2010).
Jenis ini bersifat vibratorik, berasal dari transmisi vibrasi
sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar telinga.
Umumnya

disebabkan

oleh

kelainan

vaskular,

sehinggatinnitusnya berdenyut mengikuti denyut jantung.


Tinnitus berdenyut ini dapat dijumpai pada pasien dengan
malformasi ateriovena, tumor glomus jugular dan aneurisma.
c. Mekanisme cairan kuning, kental dan berbau busuk keluar dari telinga
Pengeluaran cairan kuning, kental dan berbau busuk dari telinga
merupakan tanda adanya infeksi pada telinga yang menyebabkan
perforasi membran timpani (kronis). Sehingga epitel kulit dari liang
telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani masuk ke telinga
tengah dan membentuk kolesteatoma yang kental dan berbau busuk.
d. Keluhan gangguan pendengaran dan kepala pusing

11

Gangguan pendengaran yang dikeluhkan pasien berhubungan


dengan faktor membran timpani yang telah mengalami perorasi. Pada
kondisi normal, membran timpani ini akan bergerak keluar masuk untuk
merespon perubahan tekanan yang dihasilkan oleh gelombang suara di
permukaan luarnya. Membran timpani berfungsi sebagai resonator yang
menghasilkan ulang getaran dari sumber suara dan meneruskannya ke
manubrium malleus. Ketika membran timpani mengalami perforasi
maka suara yang masuk ke auris eksterna tidak dapat disalurkan secara
adekuat ke auris media sehingga muncul gangguan pendengaran.
Kepala pusing bisa juga disebut vertigo. Vertigo ini disebabkan
oleh infeksi yang menyebar dari auris media hingga mencapai auris
interna. Pada auris interna terdapat organ reseptor keseimbangan yang
bereaksi terhadap perubahan gravitasi. infeksi yang mencapai auris
media dapat merubah konsentrasi dalam cairan endolimfe pada organ
keseimbangan ini sehingga otak tidak mendapat informasi perubahan
posisi tubuh yang sedang terjadi dan memunculkan gejala pusing.
e. Hubungan keluhan dengan usia, jenis kelamin dan pekerjaan
Keluhan berulang yang dialami pasien sangat berhubungan dengan
pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan. Dalam pekerjaannya, pasien
akan sering berkontak dengan polusi dan infeksi saluran pernapasan
atas yang dapat menyebar hingga menyebabkan peradangan pada
telinga tengah. Selain itu, kemungkinan proses higiene dan perbaikan
nutrisi pada pasien sangat kurang, sehingga penyakit yang diderita
cenderung kambuh-kambuhan. Sedangkan untuk usia dan jenis kelamin
tidak terlalu berpengaruh.
f. Interpretasi pemeriksaan otoskopi berupa perforasi membran timpani
dan granuloma
Proses terbentuknya granuloma menandakan bahwa proses infeksi
sudah kronis, sehingga sel-sel limfosit dan sekret mukopurulen
terakumulasi di telinga tengah. Hal ini menyebabkan tekanan di
telingah tengah terus meningka sehingga terjadi iskemia yang berlanjut

12

nekrosis jaringan di sekitar membran timpani sehingga lama kelamaan


membran timpani mengalami perforasi.

g. Prosedur pemeriksaan Rinoskopi anterior dan otoskopi


Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rongga hidung bagian
dalam dari depan menggunakan spekulum hidung. Otoskop dapat
digunakan untuk melihat bagian dalam hidung terutama untuk mencari
benda asing. Spekulum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan
hati-hati dan dibuka setelah spekulum berada di dalam dan waktu
mengeluarkannya jangan ditutup dulu di dalam, supaya bulu hidung
tidak terjepit. Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterioe,
konka inferior, konka media, konka superior, serta meatus sinus
paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan.
Pemeriksaan otoskopi dilakukan dengan memasukkan otoskop ke
dalam telinga. Prosedurnya dengan menarik daun telinga ke atas dan ke
belakang, sehingga liang telinga akan menjadi lebih lurus dan akan
mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga dan membran
timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa
telinga kanan dan sebaliknya. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari
kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi
pasien.
h. Penyebab mukosa hiperemis, konka hipertrofi, livide dan keluar sekret
seromukus
Pada pemeriksaan pharing, mukosa yang hiperemis merupakan
tanda dari proses inflamasi. Alergen ini berasal dari infeksi saluran
nafas atas yang dapat semakin memperparah infeksi di telinga tengah
melalui saluran tuba auditiva. Pada proses inflamasi ini, respon imun
akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah setempat sehingga
akan tampak kemerah-merahan (hiperemis). Sedangkan pada rinoskopi
anterior, tampak sekret seromukus, konka hipertrofi dan livide
merupakan tanda klinis dari rinitis alergi. Dimana inflamasi pada

13

hidung ini akan melepaskan mediator histamin yang akan menyebabkan


kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi sehingga terjadi
sekresi mukus yang berlebihan. Selain itu, akibat serangan infeksi yang
terus-menerus berlangsung akan menyebabkan proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa , sehingga tampak konka yang menebal
(hipertrofi) dan kebiru-biruan (livide).
4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan-permasalahan secara
sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3
Sering pilek
Remaja

Hidung tersumbat

Demam, batuk dan pilek


Satu tahun yang lalu

Telinga kanan keluar


cairan kental dan jernih

Telinga keluar cairan kunin, kental


dan berbau busuk
Saat ini

Telinga berdenging
Pendengaran terganggu
Kepala pusing

Pemeriksaan
otoskopi

Pemeriksaan
rinoskopi anterior

Pemeriksaan
pharing

Pemeriksaan
penunjang

Diagnosis Banding :
1. Otitis Media Supuratif Kronis
2. Otitis Media Akut

3. Rinitis Vasomotor

4. Rinitis Alergi

14

Hipotesis sementara dari diskusi kami, bahwa pasien saat ini mengalami
otitis media supuratif kronik akibat otitis media akut yang diderita satu tahun yang
lalu.
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
a. Bagaimanakah fisiologi pendengaran dan mekanisme penghantaran
suara pada manusia?
b. Apakah perbedaa n antara rinitis alergi dengan rinitis vasomotor ?
c. Bagaimana penatalaksanaan, pemeriksaan penunjang, prognosis dan
komplikasi dari otitis media akut dan otitis media supuratif kronis ?
d. Bagaimanakah proses perjalanan penyakit dari rinitis alergi ke otitis
media akut hingga otitis media supuratif kronis ?
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)
Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok
secara individu.
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali
informasi baru yang diperoleh
Dari langkah enam kami mendapatkan hasil sebagai berikut :
A. Fisiologi Pendengaran dan mekanisme penghantaran suara
Proses mendengar adalah salah satu mekanisme yang luar biasa
dalam tubuh manusia. Melalui organ pendegaran inilah, gelombang
gelombang udara yang halus akan dikonversi menjadi berbagai macam
suara yang khas dengan berbagai frekuensi dan amplitudo. Amplitudo
berpengaruh pada keras lemahnya suatu bunyi sedangkan frekuensi
berpengaruh pada tinggi atau rendahnya suatu bunyi. Gelombang suara
pada awalnya, akan ditangkap oleh kita melalui auris eksterna yang
terdiri dari auricula dan meatus accusticus eksternus. Peran utama auris
eksterna adalah lokalisasi suara. Struktur auricula yang khas

15

menyebabkan gelombang suara akan terlokalisisasi untuk kemudian


diteruskan ke meatus accusticus eksternus. Di meatus accusticus
eksternus akan terjadi proses resonansi yang frekuensinya dapat
mencapai 3000 Hz. Selanjutnya gelombang bunyi akan ditangkap oleh
membran tympani . Efektivitas transmisi suara oleh membran tympani
ini dipengaruhi oleh kekakuan membran (stiffness), resistensi
(damping), dan massa. Setelah suara mencapai membran tympani, maka
proses transmisi berlanjut kedalam auris media yang terdiri dari
membran tympani itu sendiri, ossicula auditiva, cavum tympani, tuba
auditiva eustachii, serta musculus tensor tympani dan musculus
stapedius. Auris media pada kondisi normal seluruhnya terisi oleh
udara, sedangkan nanti pada auris interna, berisi cairan. Melalui
pergerakan cairan tersebutlah, akan terjadi perubahan energi mekanik
menjadi energi elektrokimia yang kemudian dikonversi menjadi energi
suara. Karena udara memiliki densitas yang jauh lebih rendah
dibandingkan densitas cairan, maka diperlukan mekanisme khusus
sehingga transmisi gelombang bunyi bisa berjalan efektif, proses inilah
yang disebut dengan impedance matching yang sangat bergantung pada
ossicula auditiva (terdiri dari malleus, incus, dan stapes) . Kehilangan
ossicula auditiva ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan
mendengar hingga 60 dB, atau 1000 kali lebih kecil dari kemampuan
mendengar secara normal. Mekanisme penghantaran ossicula auditiva
ini disebut dengan penghantaran ossiculer / ossicular coupling,
sedangkan apabila penghantaran tanpa melalui struktur ini disebut
penghantaran akustik/penghantaran udara (accoustic coupling), dimana
udara menggetarkan langsung auris interna melalui perantara fenestra
rotundum . Penghantaran suara juga bisa melalui tulang, sehingga
apabila seseorang menutup daun telinga, suara masih bisa di dengar,
prinsip ini paling banyak dipakai untuk alat bantu dengar, yang
diletakkan di prosessus mastoideus. Susunan ossicula auditiva yang
khas mampu menghasilkan transmisi gelombang yang efektif, hal ini

16

terjadi

karena terdapat faktor rasio area (area ratio) dan rasio

pengungkit (lever ratio) pada os tersebut.

Gambar 7. A. Area ratio B. Lever ratio (Paul et al, 2010)


Rasio area terbentuk dari perbandingan antara luar permukaan
membran tympani dengan basis stapes. Membran tympani 18 kali lebih
luas dibandinkan stapes. Sehingga dengan tekanan yang sama, maka
gaya yang dihasilkan di stapes akan jauh lebih besar dibandingkan
dengan di membran tympani, dari rasio ini bunyi dapat diperkuat
sebesar 20 db . faktor selanjutnya, lever ratio

terbentuk karena

perbedaan panjang dari manubrium mallei dengan crus longum os


incus. Manubrium mallei 1,3 kali lebih panjang dari crus longung os
incus, sehingga dengan gaya yang kecil yang mengenai manubrium

17

mallei akan menghasilkan gaya yang lebih besar pada crus longum os
Incus. Eergi gelombang yang telah dikonversi menjadi lebih besar pada
auris media selanjutnya diteruskan menuju auris interna. Seperti yang
telah disebutkan auris interna terdiri dari sistem vestibuler yang
dijalankan oleh canalis semicircularis, utriculus, sacculus, dan sistem
cochlar yang berfungsi untuk mendengarkan yang terdiri dari cochlea.
Cochlea berbentuk seperti siput, dan didalamnya dibagi menjadi 3
ruangan yang disebut scala yakni scala vestibuli, scala media, dan scala
tympani. Antara scala vestibuli dengan scala media akan dibatasi oleh
membrana reissner, sedangkan antara scala media dan tympani akan
dibatasi oleh membrana basilaris. Didalam scala vestibuli dan tympani
berisi cairan perilimfe (tinggi natrium rendah kalium). Sedangkan
didalam scala media berisi endolimfe ( rendah natrium tinggi kalium),
dimana komposisi yang khas dari endolimfe tersebut menghasilkan
gradien elektrokimia sekitar +60 mV s.d +100 mV dengan perilimfe
dan

disebut

dengan

potensial

endocochlearis.

Potensial

ini

dipertahankan oleh struktur yang disebut stria vascularis yang


mengandung banyak kanal ion. Di dalam scala media juga terdapat
struktur yang disebut organ korti yang sangat penting sebagai tempat
konversi energi mekanik ke energi elektrokimia. Di struktur tersebut
terdapat banyak sel rambut , sel rambut dalam (Inner hair cells) dan sel
rambut luar (outer hair cells) . didalam sel rambut ini terdapat
stereocillia yang tersusun khas. Stereocillia tersusun berbaris dengan
tinggi yang tidak sama. Antara stereocillia yang pendek dengan yang
tinggi dihubungkan oleh filamen elastis yang disebut tip link. Filamen
ini berfungsi untuk membuka dan menutup kanal ion kalium yang
terdapat pada stereocillia ketika bergerak akibat adanya stimulus
gelombang (gambar 8)

18

Gambar 8. tip link, untuk membuka dan menutup kanal ion


kalium (Paul et al, 2010)
Terbukanya kanal ion kalium akan menyebabkan sel rambut
terdepolarisasi yang selanjutnya menyebabkan terbukanya kanal ion
calsium yang terdapat bagian basolateral dari sel rambut. Masuknya ion
Ca menyebabkan terdorongnya vesikel yang berisi neurotransmitter
menuju synaptic cleft antara sel rambut dengan serabut saraf sensorik
auditorik. Jaras pendengaran mulai dari cochlea hingga ke nucleus
choclearis, bersifat tonotopikal, yakni spesifik pada range frekuensi
tertentu, sehingga suara yang memiliki frekuensi tertentu ditangkap
oleh membrana basilaris tertentu, sel rambut tertentu, dan serabut saraf
auditoris tertentu pula.
Energi hasil transduksi oleh sel rambut selanjutnya dibawa oleh
serabut saraf aferen auditoris menuju ke ganglion spirale yang terdapat
di kanalis rosenthal. Manusia memiliki sekitar 30.000 ganglion spirale.
Di dalam ganglion spirale terdapat dua jenis sel, yakni sel ganglion tipe
I yang bermielin dan ganglion tipe 2 yang tidak bermielin. Sel tipe I
berjumlah 90% dari total sel di ganglion tersebut. Saraf auditoris

19

selanjutnya berjalan menuju ke badan saraf kedua yakni nuchleus


cochlearis. Nuchleus cochlearis dalamnya terdapat banyak sel dengan
berbagai tipe, dengan jaras proyeksi yang berbeda beda menjuju ke
kompleks olivaris superior, nuclei lemnicus lateral, dan nucleus
colliculus inferior. Distribusi sel sel tersebut menyebabkan nucleus
cochlearis dibagi menjadi beberapa subbagian, nucleus cochlearis
dorsal, nucleus cochlearis ventroanterior, dan nuchleus cochlearis
ventroposterior.
Dari nucleus cochlearis, serabut proyeksi selanjutnya menyilang
menuju contralateral colliculus inferior (stria dorsalis, stria intermedia,
stria ventralis) , dan sebagian kecil tetap berjalan ipsilateral. Selain
menuju

ke

colliculus

inferior,

nuchleus

cochlearis

juga

memproyeksikan serabutnya menuju kompleks olive superior. Didalam


kompleks ini, terjadi integrasi informasi untuk menganalisa lokalisasi
suara dan meningkatkan persepsi informasi suara melalui summasi dan
binaurial squelch. Summasi adalah proses dimana informasi dari kedua
telinga diintegrasikan sehingga suara yang didengar oleh dua telinga
lebih besar daripada satu telinga. Sedangkan binaurial squelch
meningkatkan fokus perhatian pada suara tertentu pada saat terjadi
banyak sumber suara (misal ditengah keramaian). Informasi suara akan
selanjutnya menuju corpus geniculatum mediale di thalamus melalui
proyeksi dari colliculus inferior. Selanjutnya oleh corpus geniculatum
mediale, informasi akan diproyeksikan menuju cortex cerebri di area
lobus temporal, tepatnya pada area 41 (area primer) dan 22, 42 (area
sekunder/asosiasi).

Selain menuju ke area primer dan sekunder,

sebagian serabut saraf menuju ke amygdala. Inilah alasan mengapa


stimulasi musik tertentu mempengaruhi perasaan tertentu pula.

20

B. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan
sifat berlangsungnya,yaitu:
a.
b.

Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat

berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini


digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
a.

Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu

b.

atau kurang dari 4 minggu.


Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau
lebih dari 4 minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi

dibagi menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).
Etiologi Rinitis Alergi

21

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan


predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams,
Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak
sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae

dan

Dermatophagoides

pteronyssinus,

jamur,

binatang

peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.


Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet
serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban
udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca.
Patofisiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

22

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,


makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akanmenangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,

23

juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi


pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Gejala Klinis
Gejala klinik rinitis alergi yaitu serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari

24

atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintanggaris hitam melintang
pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema, mukosa
hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak
mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media
serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur.
Diagnosis Rinitis Alergi
1.
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakr imasi).

25

Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama


atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam,
hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3.

Pemeriksaan Penunjang
a.

In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau

meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio


imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

26

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau


urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan
pelengkap.

diagnosis, tetap
Ditemukannya

berguna

eosinofil

sebagai

dalam

pemeriksaan

jumlah

banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)


mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati,
2002).
Penatalaksanaan Rinitis Alergi
Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi. Sedangkan secara penatalaksanaan
simtomatis dapat berupa Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai

27

adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada


reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid
dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal
adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).
Selain itu tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior)
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat

(Roland,

McCluggage,

Sciinneider,

2001).

Sedangkan

imunoterapi - jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.


Desensitasi

dan

hiposensitasi

membentuk

blocking

antibody.

Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung


lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).
Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

28

a.

Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited


mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia

b.
c.

epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.


Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau
lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh
proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi
mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,
2006).

C. Rinitis Vasomotor
Rhinitis adalah keadaan dimana hidung tiba-tiba mengeluarkan
ingus, bersin-bersin, dan tersumbat. Jika gejala ini tidak disebabkan oleh
flu atau alergi, maka disebut rhinitis non-alergi, dan salah satu tipenya
disebut dengan nama rhinitis vasomotor (Orban, et al., 2008).
Penyebab rhinitis vasomotor adalah idiopatik, tetapi beberapa hal
bisa memacu munculnya gejala, seperti udara kering, polusi, alcohol, obatobat yang memacu saraf parasimpatik atau menghambat kerja simpatis,
makanan pedas, dan emosi yang berlebihan (Orban, et al., 2008).
Penyebab yang paling dipercaya adalah akibat aktivitas saraf parasimpatis
di hidung. Seperti kita ketahui, saraf parasimpatis menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah dan merangsang sekresi kelenjar, sehingga
hidung akan membengkak dan keluar sekret. Sebaliknya, saraf simpatis
menyebabkan vasokonstriksi dan menghambat kerja kelenjar (Boies, et al.,
1989).

29

Penatalaksaan untuk rhinitis vasomotor adalah dengan menghindari


hal-hal yang sekiranya memacu timbulnya gejala rhinitis tersebut, seperti
yang telah disebutkan di atas. Selain itu bisa diberikan dekongestan
(Orban, et al., 2008). Salah satu contoh dekongestan adalah promethazine,
bisa diberikan per oral, topical, maupun disemprotkan dengan spray.
D. Klasifikasi Otitis media
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga

tengah,

tuba

eustachius,

antrum

mastoid

dan

sel-sel

mastoid.Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi otitis media.


Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif (= otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis
media musinosa, otitis media efusi (OME)). Pembagian tersebut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini. (Djaafar ZA dkk, 2007)

Gambar: Skema pembagian otitis media


Masing-masing golongan memiliki bentuk akut dan kronis, yaitu
otitis media supuratif akut (Otitis Media Akut (OMA) dan otitis media
supuratif kronik (OMSK). Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi
otitis media serosa akut (barotrauma=aerotitis) dan otitis media serosa
kronik. Selain itu terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis
media adhesiva. (Djaafar ZA dkk, 2007). Berikut bagan klasifikasi otitis
media berdasarkan gejala.

30

Gambar: Skema pembagian otitis media berdasarkan gejala

E. Otitis Media Akut


Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh
terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama
dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman
masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Kuman penyebab
utama OMA adalah bakteri piogenik, seperti streptokokkus hemolitikus,
stafilokokus aureus, dan lain-lain.
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga
tengah, yaitu:
a. Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani
akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang
tampak normal atau berwarna suram.
b. Stadium Hiperemis

31

Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian


atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis
disertai edem.
c. Stadium Supurasi
Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol
(bulging) ke arah liang telinga luar.
d. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
e. Stadium Resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi
dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. (Djafaar ZA dkk, 2007)
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit
berbeda yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium
supurasi; 4. stadium penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi. (Bhargava
KB, 2005)

Patofisiologi OMA
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan
tubuh.

Sumbatan

pada

tuba Eustachius merupakan faktor utama

penyebab terjadinya penyakit ini.

Dengan terganggunya fungsi tuba

Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga


tengah sehingga kuman

masuk

dan terjadi peradangan.

Gangguan

fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di

32

telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi.


Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin

sering

anak-anak

terserang

ISPA,

makin besar

kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA


dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar,
dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam
perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding
orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke
telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan
terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar,
penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun.
Diagnosis OMA
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:
a) Penyakitnya muncul mendadak (akut);
b) Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan

adanya

salah

menggembungnya

satu

gendang

di

antara

telinga,

terbatas

tanda berikut:
/tidak

adanya

gerakan gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang


gendang telinga, cairan yang keluar dari telinga;
c) Adanya tanda

gejala peradangan telinga tengah,

yang

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:


kemerahan

pada

gendang

telinga, nyeri

telinga

yang

anamnesis

dan

mengganggu tidur dan aktivitas normal.


Diagnosis
pemeriksaan fisik

OMA dapat
yang

ditegakkan

cermat.

Gejala

dengan
yang

timbul

bervariasi

bergantung pada stadium dan usia pasien. Pada anak anak umumnya
keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada riwayat

33

infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau orang


dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan
telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi,
anak

gelisah

dan

sukar

tidur,

diare, kejang-kejang

dan

sering

memegang telinga yang sakit.


Beberapa

teknik

pemeriksaan

dapat

digunakan untuk

menegakkan diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik,


timpanometri,
adanya

dan

gendang

timpanosintesis.Dengan
telinga yang

otoskop

menggembung,

dapat

dilihat

perubahan

warna

gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram,


serta cairan di liang telinga.

Gambar 9. Otitis media akut, tampak membran timpani eritem dan


bulging. (yolazenia, 2012)
Penatalaksanaan OMA
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada
stadium oklusi, pengobatan terutama bertujuan untuk membuka
kembali tuba eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Untuk itu diberikan obat tetes hidung. Selain itu sumber infeksi
harus diobati. Antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit adalah
kuman, bukan oleh virus atau alergi.

34

Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung


dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah golongan penisilin
atau ampisilin. Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotik,
idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila memran timpani masih
utuh. Pada stadium perforasi sering terlihat banyak sekret yang keluar
san terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang
diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotika yang adekuat. Pada stadium resolusi, maka membran
timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi
membran timpani menutup.

F. Otitis Media Supuratif Kronis


Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di
telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang
keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer, kental, bening atau berupa nanah.
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
1) Tipe tubotimpani
2) Tipe atikoantral
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau
pars tensa dan terbatas pada mukosa saja, biasanya tidak terkena
tulang.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi
tuba eustachius, infeksi saluran atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah,
disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat
perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous.

35

Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel,


metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan muko
siliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi berdasarkan aktivitas
sekret yang dikeluar:
a. Penyakit aktif: OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum
timpani secara aktif
b. Penyakit tidak aktif (tenang ): Keadaan kavum timpani terlihat
basah atau kering
2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya.
Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flaksida dan khasnya
dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya
keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu
massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari
lapisan epitel bertatah yang telah nekrotik.
Bentuk perforasi membran timpani adalah : 1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan
postero-superior, kadang-kadang sub total. 2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari
anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan
sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior
berhubungan dengan kolesteatom. 3. Perforasi atik Terjadi pada pars
flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.
Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatom yang
terbentuk

tanpa

didahului

oleh

perforasi

membran

timpani.

Kolesteatom timbul akibat proses invaginasi dari membran timpani


pars flaksida akibat adanya tekanan negatif pada telinga tengah karena
adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatom yang terjadi
pada daerah atik atau pars flaksida.

36

Secondary acquired cholesteatoma terbentuk setelah perforasi


membran timpani. Kolesteatom terjadi akibat masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke
telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa
kavum timpani karena iritasi infeksi yang berkangsung lama (teori
metaplasi) (Djafaae ZA dkk, 2007). Pembagian lain adalah otitis
media supuratif kronis dengan kolesteatoma dan tanpa kolesteatoma
(Kenna and Latz, 2006).
Gejala Klinis
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti
air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus
dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan
mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah
sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi
dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK
stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang
sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat kepingkeping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi
dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah
kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran

37

Ini

tergantung

dari

derajat

kerusakan

tulang-tulang

pendengaran. Biasanya di jumpai tuli konduktif namun dapat pula


bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan
sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke
fenestraovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif
kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran
masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif
berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga
ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara
hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan
dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela
bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya
labirinitissupuratif. Bila terjadinya labirinitissupuratif akan terjadi
tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi
kokhlea.
3. Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila
ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri
dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman
pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi
mungkin oleh adanya otitiseksterna sekunder. Nyeri merupakan

38

tanda

berkembang

komplikasi

OMSK

seperti

Petrositis,

subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.


4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang
serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah
terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh
kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan
tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar
membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam
labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa
terjadi akibat komplikasiserebelum.
Pemeriksaan Penunjang
i)

Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya

didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli


sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas.sistim
penghantaran suara ditelinga tengah.Paparela, Brady dan Hoel
(1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli
sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke
dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga
menyebabkan

penurunan

ambang

hantaran

tulang

secara

temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung


basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan
pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang
berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan
(audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan

39

membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada


frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen
dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang
pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran:
-

Normal: -10 dB sampai 26 dB

Tuli ringan: 27 dB sampai 40 dB

Tuli sedang: 41 dB sampai 55 dB

Tuli sedang berat: 56 dB sampai 70 dB

Tuli berat: 71 dB sampai 90 dB

Tuli total: lebih dari 90 dB.


Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi

konduktif dan fungsi kohlea Dengan menggunakan audiometri


nada murni pada hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur,
biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,
dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah
untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini,
observasi berikut bias membantu:
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak
lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan

rangkaian

tulang-tulang

pendengaran

menyebabkan

tuli konduktif 30-50 dB apabila disertai

perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran di belakang
membran yang masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65
dB.

40

4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli


bagaimanapun

keadaan

hantaran

tulang,

menunjukan

kerusakan kohlea parah. Pemeriksaan audiologi pada OMSK


harus

dimulai

oleh

penilaian

pendengaran

dengan

menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur


dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada tuli
konduktif bilateral dan tuli campur (Boesoirie S, 2007).
ii)

Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit

telinga kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan


manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya
mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan
pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi
kesan kolesteatoma. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa
digunakan adalah:
1. Proyeksi

Schuller,

yang

memperlihatkan

luasnya

pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini


berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi
sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang
skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli
bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior
telinga

tengah.Akan

tampak

gambaran

tulang-tulang

pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah


kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang
piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan
kanalis

auditorius

interna,

vestibulum

dan

kanalis

41

semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam


potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya
pembesaran akibat kolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara
longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini
dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat
menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom,
ada atau tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa
kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal.
Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan
hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu
seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior
menunjukan adanyapenyakit mastoid.
iii) Bakteriologi
Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan
dari mulainya infeksi akut, bakteriologi yang ditemukan pada
sekret yang kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis
media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK
adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus.
Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H.
influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada
OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah
Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan
berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam
hal ini penyebab biasanya adalah pneumokokus, streptokokus, atau
hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan ini agak
berbeda. Karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih
sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi
(Ballenger JJ, 1997).

42

Penatalaksanaan OMSK
a. OMSK Tipe Aman
Pengobatan OMSK tipe aman berprinsip pengobatan
konservatif atau dengan medikamentosa. Pengobatan OMSK
tipe aman secara konservatif, yaitu :
1.

Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural


toilet)
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang

tidak

sesuai

untuk

perkembangan

mikroorganisme,

karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi


perkembangan mikroorganisme.
Cara pembersihan liang telinga (aural toilet) :

Aural toilet secara kering ( dry mopping).


Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril,
setelah

dibersihkan

dapat

di

beri

cairan

untuk

antibiotik berbentuk serbuk.

Aural toilet secara basah ( syringing)


Telinga

disemprot

dengan

membuang debris dan nanah, kemudian dengan


kapas

lidi

steril

dan

diberi

serbuk

antibiotik.

Aural toilet dengan pengisapan ( suction toilet)


Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan
bantuan mikroskopis operasi adalah metode
yang

paling

dilakukan

populer

saat

ini.

pengangkatan

Kemudian
mukosa

yangberproliferasi dan polipoid sehingga sumber


infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi d r a i n a s e
yang baik dan resorbsi mukosa.
2 . P e m b e r i a n An t i b i o t i k

43

Penggunaan antibiotik topikal dilakukan


setelah dilakukan irigasi untuk membersihkan
s e k r e t t e r l e b i h d a h u l u . Mengingat p e m b e r i a n
obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai
t e l i n g a t e n g a h , m a k a t i d a k dianjurkan antibiotik
yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya
tidak lebih dari 1minggu. Cara pemilihan antibiotik
yang

paling

baik

adalah

dengan

berdasarkan

kultur kuman penyebab dan uji resistensi


Tabel 1. pilihan antibiotic sistemik dalam pengobatan OMSK

b. OMSK tipe Bahaya


Prinsip terapi OMSK tipe bahaya adalah pembedahan, yaitu
mastoidektomi

dengan

atau

tanpa

timpanoplasti.

Terapi

konservatif dengan medikamentosa hanya sementara sebelum


dilakukan pembedahan. Apabila terdapat abses subperiosteal
retroaurikular, maka insisi abses sebaiknya dilakukan sebelum
mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik
operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis
kronis, baik tipe aman maupun tipe bahaya, antara lain :
1.

Mastoidektomi sederhana

44

Operasi ini bertujuan agar infeksi tenang dan telinga


tidak berair lagi. Tindakan dalam operasi ini adalah
pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik.
2.

Mastoidektomi radikal
Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua
jaringan

patologik

dan

mencegah

komplikasi

ke

intracranial. Pada operasi ini dilakukan eradikasi penyakit


pada telinga tengah dan mastoid, serta termasuk seluruh
membran timpani dan tulang-tulang pendengaran (kecuali
tatakan stapes), dan menutup tuba eustachius. Dinding
batas antara liang telinga luar dan telinga tengah, dengan
rongga mastoid diruntuhkan, sehingga menjadi satu
ruangan.
3.

Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi Bondy)


Operasi ini adalah membuang semua jaringan
patologik dari rongga mastoid, namun masih menyisakan
sedikit bagian dari tulang-tulang pendengaran dan membran
timpani untuk mempertahankan pendengaran yang masih
ada.

4.

Miringoplasti
Pada operasi ini dilakukan rekonstruksi hanya pada
membran timpani. Operasi ini bertujuan untuk menutup
defek pada membran timpani. Pendekatan pada telinga
dapat

jadi transkanal,

endaural,

atau

retroaurikular.

Transkanal membutuhkan lebih sedikit pembedahan dan


mempercepat penyembuhan. Endaural dapat meningkatkan
paparan telinga dengan jaringan lunak lateral atau
pertumbuhan berlebih kartilago, tetapi paparan minimal.
Retroaurikular membutuhkan insisi kulit eksternal, tapi bisa
mendapatkan paparan maksimal.

45

5.

Timpanoplasti
Rekonstruksi yang dilakukan pada operasi ini tidak
hanya pada membran timpani, tapi juga rekonstruksi pada
tulang pendengaran. Operasi ini bertujuan untuk readikasi
penyakit dari telinga tengah dan untuk rekonstruksi
mekanisme pendengaran, dengan atau tanpa grafting
membran

timpani.

Sebelum

dilakukan

rekonstruksi,

dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa


mastoidektomi, yang bertujuan membersihkan jaringan
patologis.
Terdapat lima tipe timpaniplasti yang digunakan
untuk pembedahan telinga tengah dan pembedahan
mastoid, yaitu:
Tipe 1

penutupan

sederhana

dari

perforasi

membran timpani tanpa rekonstruksi rantai osikular


TIpe 2

: rekonstruksi osikular yang melibatkan

maleus, inkus, ataupun keduanya. Kepala stapes masih


intak.
Tipe 3

: peletakan graft membran timpani di kepala

stabes
TIpe 4

: terjadi ketika kepala stapes tidak ada tetapi

tatakan bawahnya ada. Tatakan bawah stapes adalah di


luar dari cavitas mastoid, dan graft diletakan di seluruh
cavitas telinga tengah yang tersisa, termasuk jendela
bulat.

Tipe 5

: disebut juga operasi fenestrasi. Termasuk

membuat fenestra dalam kanalis semisirkularis lateral


dan meletakan graft di atasnya. Penatalaksanaan ini
jarang dilakukan sekarang.

46

Komplikasi OMSK
a.

Komplikasi di telinga tengah


1.

Gangguan konduktif
Gangguan pendengaran konduktif dapat disebabkan oleh

otitis media kronik. Jika membrana timpani utuh, terdapat udara


dalam telinga tengah, dan bila rangkaian osikula terputus, maka
akan timbul tuli konduktif maksimum 60 dB. Derajat tuli konduktif
sendiri tidak selalu berkorelasi dengan beratnya penyakit, karena
jaringanpatologi juga mampu menghantarkan suara ke fenestra
ovalis. Ketulian sensoneurina dapat disebabkan otitis media akut
maupun maupun kronik. Setiap kali ada infeksi dalam telinga
tengah, terutama bila dibawah tekanan, maka ada kemungkinan
produk

- produk infeksi akan menyebar melalui membrana

fenestra rotundum ke telinga dalam, mengakibatkan ketulian


sensorineural. Infeksi biasanya hanya terbatas pada lengkung basal
koklea, yaitu bagian yang tidak rutin diuji pada pemeriksaan
pendengaran. Namun dengan berjalannya waktu, ketulian dapat
meluas sehingga akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini
menekankan pentingnya terapi yang lebih agresif gua mencegah
kemungkinan ketulian sensorineural permanen pada pasien
pasien otitis media akut yang tidak menyembuh dalam 48 jam
dengan terapi antibiotik yang sesuai.
2.

Paralisis saraf fasialis


Saraf fasialis dapat mengalami cedara pada otitis media

akut maupun kronik. Padda kasus otitis akut, saraf terkena kibat
kontak langsung denga materi purulen. Dengan adanya celah

47

celah tulang alami yang menyebabkan hubungan antara saraf


dengan telinga tengah , maka produk produk infeksi toksi dapat
menimbulkan paralisis wajah. Pengobatan berupa miringotomi luas
an segera, pengambilan biakan, dan antibiotika intravena yang
sesuai. Jika tidak terjadi penyembuhan, maka dapat diindikasikan
untuk eksplorasi bedah.
Otitis kronik dapat menyebabkan paralisis fasialis dengan
mekanisme berbeda. Jaringan granulasi atau kolesteatoma di dekat
saraf akan melepaskan produk produk toksik yang dapat
menekan saraf. Pengbatan dengan antibiotika tidak dapat
menghentikan

atupun

menjinakan

proses

in,

dan

terapi

pembedahan perlu dilakukan secepatnya.A


b. Komplikasi di telinga dalam
1. Fistula labirin dan labirinitis
Otitis media kronik terutama dengan koleastoma, dapat
menimbulkn destruksi labirin vestibulum. Suatu fissula pada
labirin memungkinkan penyebarn infeksi ke telinga dalam,
menimbulkan labirinitis yang akan menyebabkan ketulian. Pasien
dengan fistula biasanya mengalami vertigo di samping gejala
gejala lain.
2. Labirinitis supuratif
Dapat disebabkan karena adanya perluaa dalam fistula,
suatu infeksi yang menyerang fenetra rotundum, atau meningitis
akibat otitis media. Labiriniis generalisata dapat menyerang
seluruh bagian rongga telinga dalam, menimbulkan vertigo berat
dan akhirnya ketulian yang lengkap.jika terlokalisir dapat
menimbulkan gejala gejala dan disfungsi koklearatau vestibular
saja. Labirinitis diakibatkan perluasan infeksi ke dlam ruang
perilimfatik. Terdapat dua bentuk labirinitis: serosa, dimna toksin
kimia menimbulkan disfungsi, dan supuratif, dimana pus
menginvasi dan menyebabkan destruksi telinga dalam. Pada kedua

48

kasus sangat penting untuk meringankan infeksi dengan jalam


pembedhan elinga tengah dan mastoid yang tepat,
c. Komplikasi ekstradural
1. Petrosis
Hampir sepertiga tulang temporal memiliki sel sel udara
dalam apeks petrosa. Sel sel ini menjadi terinfeksi melalui
perluasan langsung dari infeksi telinga tengah dengan mastoid.
Terdapat berbagai jalur penyebaran infeksi ke tulang petrosa.
Petrositis menjadi nyata bilamana timbul kelemahan saraf kranialis
ke-6 pada pasien dengan otitis media. Sering kali bersamaan
dengan nyeri akibat iritasi saraf kranialis ke-5. Meskipun demikian,
petrositis dapa pula terjadi tanpa trias klasik tersebut, terutama pada
pasien yang terus mengalami supurasi atau nyeri setelah
pembedahan yang sesuai.
2. Tromboflebitis sinus lateralis
Invasi infeksi pada sinus sigmoideus dalam perjalanannya
melalui mastoid, menimbulkan tromboflebtis sinus lateralis.
Fragmen fragmen kecil trombus akan pecah, menciptakan
semburan embolit yang infeksius. Demam, yang tak dapat
dijelaskan oleh temuan lainnya merupakan tanda dari invasi yang
pertama. Demam cenderung berfluktuasi dan setelah penyakit
berkembang penuh, terbentuk pola septik. Sering kali dengan
menggigil.
3. Abses ekstradural
Abses ekstradural adalah suatu kumpulan pus diantara dura
dan tulang yang menutupi rongga masoid tau telinga tengah. Abses
ini seringkali menyertai otitis media supuratif kronik dengan
jarinan granulasi atau kolesteatoma, serta erosi tegen pada daerah
ini. Gejala gejala anara lain nyeri telinga tengah dan kepala yang
berat.
4. Abses subdural

49

Suatu abses subdural dapat timbul akibat perluasan


langsung suatu tromboflebitis melalui saluran vena. Gjalanya
antaralain : demam, nyeri kepala, dan timbul koma pada pasien
dengan otitis media supuratif kronik.temuan sistem saraf pusat
antaralain berupa bangkitan kejang, hemiplegia, dan tanda kernig
positif.
d. Komplikasi sistem saraf pusat
1. Meningitis
Merupakan komplikasi intrakranial terlazim dari otitis
media supuratif baik akut maupun kronik, dan dapat terbatas atau
generalisata. Gambaran klinis meningitis antara lain, kaku kuduk,
suhu meningkat, mual dan muntah, dan nyeri kepala. Pada kasus
lanjut dapat timbul koma dan delirium.
2. Abses otak
Sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis, dapat
timbul di fossa cranii posterior, atau pada lobus temporal di foss
cranii media. Terbentuk sebagai akibat perluasan langsung infeksi
telinga atau tromboflebitis
3. Hidrosefalus otitik
Kelainan ini berupa peningkatan tekanan intrakraialdengan
temuan cairan serebrospinal yang normal. Dapat menyertai suatu
infeksi telinga kronik atau akut. Gejalanya adalah, nyeri kepala
yang hebat yang menetap, diplopia, pandangan kabur, mual dan
muntah.
G. Perjalanan Penyakit dari Rinitis Alergi-OMA-OMSK
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase

50

Lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/ APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA II
membentuk

komplek

peptida

MHC

kelas

II

yang

kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan
sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen
yang sama, maka IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk terutama histamin. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Sel
mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

51

berhenti disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8
jam setelah pemaparan. Ini disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Lambat.
Pada reaksi ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
serta peningkatan sitokin. Timbul gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi pada
granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Bila alergi yang berulang ulang, dikarenakan epitel penyusun yang
sama antara cavum nasi dan tuba auditiva inflamasi dapat menyebar ke
dalam tuba Eustachius. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor
penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius
terganggu, pencegahan invasi kuman kedalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi
peradangan. Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat dari infeksi
dapat dibagi atas 5 stadium dimulai dari stadium oklusi, stadium
presupurasi, stadium supurasi, stadium perforasi hingga stadium resolusi.
Namun pada pasien ini tidak terjadi stadium resolusi yang adekuat.
Pada skenario pasien mengeluarkan cairan kuning, kental, dan
berbau busuk, satu tahun yang lalu telinga kanan keluar cairan kental
jernih yang sebelumnya didahului demam, batuk, dan pilek. Terdapat
riwayat kambuh kambuhan terutama jika batu dan pilek. Sehingga
kemungkuninan pasien menderita rinitis alergi, kemudian menyebabkan
otitis media serosa, karena kuman tumbuh menjadi otitis media akut, dan
karena kambuh kambuhan menjadi otitis media supuratif kronik.
Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah
terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman
tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-

52

ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi.
Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu
(1) adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga
tengah berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di
faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk
jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid (4) gizi dan
higiene yang kurang.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan yang dilakukan, pasien ini


diduga mengalami penyakit otitis media supuratif kronis. Perjalanan penyakit
pasien saat ini bermula dari penyakit rinitis alergi yang diderita sejak remaja
kemudian berlanjut satu tahun yang lalu mengalami otitis media akut akibat invasi
kuman ke telinga tengah melalui tuba eustachius yang terganggu. Karena proses
resolusi dari perforasi membran timpani yang tidak sempurna menyebabkan
infeksi kuman dari lingkungan luar ke dalam telinga tengah terus-menerus
berlangsung hingga pasien kemungkinan mengalami otitis media supuratif kronis
saat ini. Beberapa faktor yang menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media supuratif kronis ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak
adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang)
atau higiene buruk.

BAB IV
SARAN
Setelah melakukan diskusi tutorial untuk skenario III Blok Kardiovaskuler,
kami mengalami beberapa hambatan, antara lain, kurang memahami tujuan
pembelajaran dan menentukan LO, mengalami kendala dalam memahami
artikel/referensi yang didapat sehingga menimbulkan bias, kurang dapat mengatur
waktu dalam diskusi tutorial, dan banyak pendapat yang pada dasarnya sama
namun tetap disampaikan tanpa menyeleksinya terlebih.
Untuk itu kami harus lebih banyak membaca literatur, terutama literatur
dalam bahasa Inggris sehingga ke depannya diskusi lebih menarik dan berjalan
seperti yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, GL, Boies, LR, Higler, PA. 1989. Boies Fundamentals of Otolaryngology.
6th ed. Philadelphia, Pa: W.B Saunders Company
Benjamini E., Coico R., Sunshine G., 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed.
John Wiley & sons. Available from: URL http:// www.wiley.com. Diakses
7 September 2014
Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. A short textbook of ENT diseases. 7th
edition. Mumbai: USHA publication; 2005. p.45-50.
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group. World
Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. J
allergy clinical immunol : S147-S276.
Derrickson, B, Tortora, G.J (2012). Principles of Anatomy and Phisiology 13th
Edition. John Wiley & Sons, Inc.
Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI; 2007. p.65-77.
Donaldson JD. Acute Otitis Media. Updated Oct 28, 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com. Accessed February 6, 2012
Durham SR, 2006. Mechanism and Treatment of Allergic Rhinitis, In: Kerr AG,
ed,Scott-

Browns

Otolaryngogoly,

Sixth

Edition,

Vol,

4,

ButterworthHeinemann, London: pp. 4/6/1-14.


Hansen, J.T (2010). Netters Clinical Anatomy 2nd Edition. Elsevier Inc.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam BukuAjar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: FKUI

Kenna MA, Latz AD, 2006. Otitis Media and Middle Ear Effusion, In Bailey. BJ,
Johnson JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery-.
Otolaryngology. 4 th
Mulyarjo, 2006.

Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada

Simptom, Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan


Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan
Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan Septorinoplasti,
Malang:pp10, 2, 1-18.
Orban, NT, Saleh H, Durham SR. 2008. Allergic and Non-allergic Rhinitis, In:
Adkinson, NF, Bocher BS, Busse WW, et al., ads. In: Middletons Allergy
Principles and Practices. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Mosby.
Paul W.Flint, et al. 2010. Cummings Otoaryngology Head & Neck Surgery. 5th
Ed. Chapter 129. Pp 1838-1849. USA : Mosby Inc
Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai