Anda di halaman 1dari 12

catatan co - asistant

penyakit jantung reumatik

asti mayang pratiwi


g 501 08 025

departemen ilmu kesehatan anak


fakultas kedokteran universitas tadulako
rumah sakit umum daerah undata
palu
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada
kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang
1

dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Demam rematik akut
adalah sinonim dari demam rematik dengan penekanan akut, sedangkan yang dimasuk demam rematik
inaktif adalah pasien-pasien dengan demam rematik tanpa tanda-tanda radang. 1,2,3,4
Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung rematik, merupakan jenis
penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak
insiden demam rematik terdapat pada kelompok 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah
usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Prevalensi demam rematik atau penyakit jantung rematik yang
diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin,
Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan
prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000 anak sekolah.4
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001 yang diterbitkan
tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000
penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.5
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai
0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam
rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan
akibat dari demam rematik.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEMAM REMATIK AKUT
2.1.1 Etiologi
Demam rematik akut disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai sekuel dari infeksi
streptokokus grup A pada faring tetapi bukan pada kulit. Tingkat serangan demam rematik akut setelah
infeksi streptokokus bervariasi tergantung derajat infeksinya, yaitu 0,3 sampai 3 persen. Faktor predisposisi
yang penting meliputi riwayat keluarga yang menderita demam rematik, status sosial ekonomi rendah
(kemiskinan, sanitasi yang buruk), dan usia antara 6 sampai 15 tahun (dengan puncak insidensi pada usia 8
tahun).7
2.1.2. Patologi
Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada jantung, otak, sendi dan
kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai pankarditis, dengan miokarditis sebagai bagian yang
paling utama. Saat ini, diketahui bahwa komponen katup yang mungkin sama atau lebih penting
dibandingkan keterlibatan otot jantung maupun pericardium. Pada miokarditis rematik, kontraktilitas
miokard jarang mengalami kerusakan dan kadar troponin serum tidak mengalami peningkatan. Pada
penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada
permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan
tertariknya korda tendineae).7,8
Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami kerusakan
dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis. Badan Aschoff yang
ditemukan pada otot jantung atrium merupakan salah satu tanda khas pada demam rematik. Badan Aschoff
terdiri dari lesi-lesi peradangan yang disertai dengan pembengkakan, serat kolagen yang berfragmen, dan
perubahan jaringan penyambung, yang saat ini dianggap sebagai sel miokardium yang mengalami nekrosis.7

2.1.3. Manifestasi Klinis


Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria tersebut dibagi
menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala minor, dan (3) bukti pemeriksaan yang
mendukung adanya infeksi streptokokus grup A.5,7,8 Lihat tabel 2.1.
Karditis
Poliartritis
Gejala Mayor
Khorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Temuan klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik
Arthralgia
Demam
Gejala Minor
Temuan laboratorium:
Peningkatan reaktan fase akut ( laju pengendapan eritrosit, protein
C-reaktif)
Pemanjangan interval PR
Kultur tenggorok atau pemeriksaan antigen streptokokus hasilnya
Bukti yang mendukung
adanya infeksi
(+)
streptokokus grup A
Peningkatan titer antibodi streptokokus
Tabel.2.1 Kriteria Jones
Kriteria Mayor
1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satusatunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat
menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik
dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau
perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif.
Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali,
sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada
keadaan yang lebih berat. 5
2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan
gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendisendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu
pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang
tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu
sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi
(monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor. Selain itu, agar dapat digunakan
sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor,
seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau
antibodi anti Streptokokus lainnya yang tinggi.5
3

3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi
tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi.
Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim
terjadi pada perempuan. Korea Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian
penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak
ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara
lambat, sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea
mulai timbul.5,7
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan
tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk
bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga
dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota
gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat
sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat
dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini
hanya ditemukan pada kasus yang berat.5

Gambar 2.2 Eritema marginatum


5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah
ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang
padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa
milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat
karditis.5,7

Gambar 2.3 Nodul Subkutan

Gambar 2.4 Manifestasi klinis demam rematik akut


Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila
tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama.
Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap
seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau
bahkan tidak terdiagnosis.5,7
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan
gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular
lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia
tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria
mayor.5
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya mencapai 39C, terutama jika
terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama
beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat
dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding
yang bermakna.5
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif,
serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda
reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan
satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga
meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak
meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap
darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila
protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut dapat
dipertanyakan. 5,8
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem
konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan
gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang
juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik.5,7
Bukti yang mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rematik,
sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat
5

apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun,
dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut.5
Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan
positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat
mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut.5
2.1.4. Diagnosis
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan minimal dua gejala
mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan
adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua
gejala minor. Arthralgia atau pemanjangan interval PR tidak dapat digunakan sebagai gejala minor ketika
menggunakan karditis dan arthritis sebagai gejala mayor. Tidak adanya bukti yang mendukung adanya
infeksi streptokokus grup A merupakan peringatan bahwa demam rematik akut mungkin tidak terjadi pada
pasien (kecuali bila ditemukan adanya khorea). Murmur innocent (Stills) sering salah interpretasi sebagai
murmur dari regurgitasi katup mitral (MR) dan oleh karenanya merupakan penyebab yang sering dari
kesalahan diagnosis dari demam rematik akut. Murmur dari MR merupakan tipe regurgitan sistolik (berawal
dari bunyi jantung I) sedangkan murmur innocent merupakan murmur dengan nada rendah dan tipe ejeksi.7
Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:
1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam rematik.
2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang datang ke tenaga medis setelah
berbulan-bulan dari onset serangan demam rematik.
3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak memenuhi kriteria Jones.
2.1.5. Diagnosis Banding
Arthritis reumatoid juvenile sering didiagnosis sebagai demam rematik akut. Temuan klinis yang
mengarah ke arthritis reumatoid juvenile antara lain : keterlibatan dari sendi-sendi kecil di perifer, sendisendi besar terkena secara simetris tanpa adanya arthritis yang berpindah, kepucatan pada sendi yang
terkena, tidak ada bukti infeksi streptokokus, perjalanan penyakit yang lebih indolen, dan tidak adanya
respon awal terhadap terapi salisilat selama 24 sampai 48 jam.7
Penyakit vaskular kolagen (systemic lupus erythematosus ; SLE, penyakit jaringan penyambung
campuran); arthritis yang reaktif, termasuk arthritis poststreptococcal; serum sickness; dan infeksius arthritis
(seperti gonokokus), kadang-kadang perlu dibedakan.7
Infeksi virus yang disertai arthritis akut (rubella, parvovirus, virus hepatitis B, herpesvirus,
enterovirus) lebih sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit-penyakit hematologi seperti anemia sel sabit
dan leukemia, dianjurkan untuk tetap dipikirkan sebagai diagnosis banding. 7
Hanya karditis yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jantung. Tanda klinis ringan dari
karditis menghilang secara cepat dalam jangka waktu mingguan, tetapi pada pasien dengan karditis berat
baru hilang setelah 2-6 bulan. Khorea secara bertahap berkurang setelah 6 sampai 7 bulan atau lebih lama
dan biasanya tidak menimbulkan sekuel neurologis yang permanen.7
2.1.6. Penatalaksanaan
Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan darah lengkap, reaktan fase akut (LED,
protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer anti streptolisin O (dan titer antibodi kedua, terutama pada pasien
dengan khorea), foto Rontgen, dan elektrokardiografi. Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan untuk
menjelaskan apakah terjadi kerusakan pada jantung : pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi dan Doppler
yang biasa dilakukan.5,7
6

Penisilin benzathine G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan secara intramuskular, diberikan untuk
eradikasi streptokokus. Pada pasien yang mempunyai alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan
dosis 40 mg/kgBB perhari dalam dua sampai empat dosis selama 10 hari. Terapi anti-inflamasi atau supresi
dengan salisilat atau steroid tidak boleh diberikan sampai ditegakkannya diagnosis pasti.
Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada pasien dan orang
tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah infeksi streptokokus
berikutnya. Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian profilaksis untuk menangani endokarditis
infektif.5,7,9
Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala dan berkisar dari seminggu
(untuk arthritis) hingga beberapa minggu untuk karditis berat. Tirah baring diikuti periode untuk ambulasi di
dalam rumah dengan durasi bervariasi sebelum anak diperbolehkan untuk kembali ke sekolah. Aktivitas
bebas diperbolehkan bila laju endap darah sudah kembali ke normal, kecuali pada anak dengan kerusakan
jantung yang cukup berat. Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2.2 5,7
Hanya arthritis

Carditis ringan*

Karditis
sedang**

1-2 minggu

3-4 minggu

4-6 minggu

1-2 minggu

3-4 minggu

4-6 minggu

Tirah baring

Ambulasi indoor

*
**
***

Karditis
berat***
Selama masih
adanya gagal
jantung kongestif
2-3 bulan

Tabel 2.2 Durasi tirah baring dan ambulasi indoor


kardiomegali diragukan
kardiomegali ringan
kardiomegali yang nyata atau gagal jantung

Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam rematik akut sudah
didiagnosis. Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin saja sebagai anti inflamasi
direkomendasikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB perhari yang dibagi dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar
salisilat yang adekuat di dalam darah adalah sekitar 20-25 mg/100 mL. Dosis ini dilanjutkan selama 4
sampai 8 minggu, tergantung pada respon klinis. Setelah perbaikan, terapi dikurangi secara bertahap selama
4-6 minggu selagi monitor reaktan fase akut. 7
Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi secara bertahap selama
lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti
yang mendukung arthritis pada demam rematik akut. Pemberian prednisone ( 2 mg/kgBB perhari dalam 4
dosis untuk 2 sampai 6 minggu ) diindikasikan hanya pada kasus karditis berat. 5,7
Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi setengah duduk
(orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis berat dengan onset akut. Digoksin digunakan
dengan hati-hati, dimulai dengan setengah dosis rekomendasi biasa, karena beberapa pasien dengan karditis
rematik sangat sensitif terhadap pemberian digitalis. Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai 12
jam, jika terdapat indikasi. 7
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan emosional. Terapi
medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G 1,2 juta unit, sebagai awalan eradikasi
streptokokus dan juga setiap 28 hari untuk pencegahan rekurensi, seperti pada pasien dengan gejala rematik
lainnya. Tanpa profilaksis sekitar 25% pasien dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang menjadi
penyakit katup jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada kasus yang berat, obat-obatan
berikut dapat diberikan : fenobarbital (15-30 mg setiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg
7

dan ditingkatkan setiap 8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam valproat, klorpromazine, diazepam, atau
steroid.5,7
2.1.7. Prognosis
Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan prognosis. Perkembangan
penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya kerusakan jantung pada saat pasien
pertama datang, menunjukkan lebih besarnya kemungkinan insiden penyakit jantung residual.
2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup meningkat pada setiap
kekambuhan.
3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung pada serangan awal dapat
menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering membaik ketika diikuti dengan terapi
profilaksis. 7
2.1.8. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi penisilin selama 10 hari untuk
faringitis karena streptokokus. Namun, 30% pasien berkembang menjadi subklinis faringitis dan oleh karena
itu tidak berobat lebih lanjut. Sementara itu, 30% pasien lainnya berkembang menjadi demam rematik akut
tanpa keluhan dan tanda klinis faringitis streptokokus.7,8,9
b. Pencegahan sekunder
Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea dan pada pasien dengan tidak
adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan pasien menderita demam remati akut harus diberikan
profilaksis. Sebaiknya, pasien menerima profilaksis dalam jangka waktu tidak terbatas. Lihat tabel 2.3 7
Kategori
Demam rematik tanpa karditis

Durasi
Minimal selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun,
yang mana lebih lama
Demam rematik dengan karditis tetapi tanpa Minimal 10 tahun atau hingga dewasa, yang mana
penyakit jantung residual (tidak ada kelainan katup) lebih lama
Demam rematik dengan karditis dan penyakit Minimal 10 tahun sejak episode terakhir dan
jantung residual (kelainan katup persisten)
minimal sampai usia 40 tahun, kadang-kadang
selama seumur hidup
Tabel 2.3 Durasi profilaksis untuk demam rematik
2.2 PENYAKIT JANTUNG REMATIK
2.2.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat yang
sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap
akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat
menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 5,8
Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari demam rematik. Lesi
pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari fibrin dan sel-sel darah di sepanjang perbatasan dari
satu atau lebih katup jantung. Katup mitral paling sering terkena, selanjutnya diikuti oleh katup aorta;
manifestasi ke jantung-kanan jarang ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya peradangan, verrucae akan
8

menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan berulang dari demam rematik, verrucae baru
terbentuk di bekas tempat tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda tendinea
menjadi terkena.8

Gambar 2.5 Vegetasi pada katup jantung


2.2.2 Patofisiologi
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan Streptokokus beta
hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptokokus secara hipotetif akan menyebabkan
kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai berikut (1) Streptokokus grup A akan
menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen Streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada
hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan bereaksi dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan
hospes yang secara antigenik sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan
antara antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi tesebut bereaksi dengan
jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. 5

Gambar 2.3 Patofisiologi penyakit jantung rematik


Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan jantung khususnya
mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal
ini mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat sistolik sehingga mengakibatkan
penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini
mengakibatkan penurunan curah sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi
ventrikel kiri, peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding atrium sehingga
terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah hal ini mengakibatkan kongesti vena
9

pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri
pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.5,7
2.2.3 Pola Kelainan Katup
1. Insufisiensi mitral
Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang biasanya meliputi kehilangan
beberapa komponen katup dan pemendekan serta penebalan korda tendineae. Selama demam rematik akut
dengan karditis berat, gagal jantung disebabkan oleh kombinasi dari insufisiensi mitral yang berpasangan
dengan peradangan pada perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium. Oleh karena tingginya
volume pengisian dan proses peradangan, ventrikel kiri mengalami pembesaran. Atrium kiri berdilatasi saat
darah yang mengalami regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan kongesti
pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri. 8,10
Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada pasien dengan insufisensi
mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih dari separuh pasien dengan insufisiensi mitral akut
tidak lagi mempunyai murmur mitral setelah 1 tahun. Pada pasien dengan insufisiensi mitral kronik yang
berat, tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan berkembang menjadi
gagal jantung kanan. Insufisiensi mitral berat dapat berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses
rematik yang progresif, onset dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif. 8,9
2. Stenosis Mitral
Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis pada cincin mitral, adhesi
komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan muskulus papilaris. Stenosis mitral yang signifikan
menyebabkan peningkatan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis,
peningkatan rersistensi vaskuler di paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta hipertrofi atrium
dan ventrikel kanan yang kemudian diikuti gagal jantung kanan.8
3. Insufisiensi Aorta
Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup aorta menyebabkan distorsi
dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari darah menyebabkan volume overload dengan dilatasi dan
hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dengan insufisiensi aorta lebih sering terjadi daripada
insufisiensi aorta saja. Tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan tekanan diastolik semakin rendah. Pada
insufisiensi aorta berat, jantung membesar dengan apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur timbul segera
bersamaan dengan bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik
sering terdengar karena adanya peningkatan stroke volume. 8
4. Kelainan Katup Trikuspid
Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut. Insufisiensi trikuspid
lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi
trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur
holosistolik yang meningkat selama inspirasi. 8,10
5. Kelainan Katup Pulmonal
Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan temuan terakhir pada
kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda
arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi
serta Doppler.8
2.2.4 Penatalaksanaan Operatif
10

a. Mitral stenosis
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi indikasi
intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah
(valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian katup.8
b. Insufisiensi Mitral
Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita insufisiensi mitral
masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan
sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan
katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan
penggantian katup (mitral valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan
untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita
dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge
dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagulan untuk selamanya. 5,8
c. Stenosis Aorta
Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien tanpa
gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan tindakan
bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasienpasien yang dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia,
adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik
75 mmHg harus dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik
kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien
menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn
teknik Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua
membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan
risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gagal
jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian
katup perlu dilakukan memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan
tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila
dibandingkan dengan memakai katup sintetis.5
d. Insufisiensi Aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk koagulan,
serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak
membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita
insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita
insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%.
Penderita dengan katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.5,7
2.2.5 Prognosis
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila
karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit
demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang.
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah
jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan
bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. 5
11

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang
digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan
reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.
Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung rematik, merupakan jenis penyakit
jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda.
Pada penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya
vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus
dan tertariknya korda tendineae). Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat
mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan
pulmonalis.
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan minimal dua gejala
mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan
adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua
gejala minor.
Penatalaksanaan pada demam rematik maupun penyakit jantung rematik antara lain tirah baring,
eradikasi streptokokus, pemberian obat anti-inflamasi, pencegahan primer dan sekunder serta tindakan
operatif pada kelainan katup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagnosis, penatalaksanaan dan
gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM Bagian 1K Anak, Jakarta 1978-1981. Maj Kes
Mas 1986; XVI (4): 240-48.
2. Wahab AS. Penanganan Demam Rematik pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat 1989; V (5): 196203
3. World Health Organization. WHO program for the prevention of rheumatic fever/rheumatic heart
disease in 16 developing countries: report from Phase 1(1986-90). Bull WHO 1992; 70(2): 213-18
4. Koshi G, Benjamin V, Chenan G. Rheumatic fever and rheumatic heart disease in rural South Indian
children. Bull WHO 1981; 59 (4): 599-603
5. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's Principles of Internal
Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book. 2005 : 1977-79
6. Soeroso S dkk. Tinjauan Prevalensi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di
Indonesia. Dalam: Sastrosubroto H. dkk (ed). Naskah Lengkap Simposium dan Seminar Kardiologi
Anak. Semarang. 27 September 1986: 1-11
7. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008
8. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson Textbook of Pediatric. 18th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. p.1961-63
9. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002. 599-613.
10. Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 613-27

12

Anda mungkin juga menyukai