Spondilitis Tuberkulosis-TB Tulang
Spondilitis Tuberkulosis-TB Tulang
ABSTRAK
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit
yang relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini. Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut dimana
deformitas kifosis dan kecacatan neurologis sudah relatif ireversibel. Pemberian obat anti-tuberkulosis adalah pilihan pengobatan awal yang
terbaik pada fase awal. Pembedahan pada spondilitis tuberkulosis dilakukan hanya pada kasus melanjut, dengan variasi teknik yang beragam,
bergantung pada jenis kasus yang didapatkan. Pembedahan anterior dengan instrumentasi adalah teknik yang paling sering dilakukan dan
dikaji. Namun, karena diagnosis dini spondilitis tuberkulosis yang sulit, maka pembedahan tetap merupakan penatalaksanaan yang umum.
Kata kunci: tuberkulosis, spondilitis, anti-tuberkulosis, kifosis, instrumentasi, pembedahan anterior
ABSTRACT
Tuberculous spondylitis is M. tuberculosis infection of the spine; its clinical course is relatively indolent. Patient frequently diagnosed at late
phase with irreversible kyphosis and neurological deficit. Oral anti tuberculosis agents are treatment of choice at early phase; surgery is reserved
for advanced cases with various techniques. Anterior approach with instrumentation is the most common procedure. Zuwanda, Raka Janitra.
Diganosis and management of tuberculous spondylitis.
Key words:
PENDAHULUAN
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa
disebut sebagai spondilitis tuberkulosis (TB),
sangat berpotensi menyebabkan morbiditas
serius, termasuk defisit neurologis dan
deformitas tulang belakang yang permanen,
oleh karena itu diagnosis dini sangatlah
penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit
ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik
lainnya.1 Diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah
terjadi deformitas tulang belakang yang berat
dan defisit neurologis yang bermakna seperti
paraplegia.2,3
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa jumlah
kasus TB baru terbesar terdapat di Asia
Tenggara (34 persen insiden TB secara global)
Alamat korespondensi
email: aminkmink87@gmail.com
661
TINJAUAN PUSTAKA
HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 50 persen
kasus baru TB di Amerika Serikat adalah HIV
positif.10
PATOFISIOLOGI
Patologi TB paru
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk
melalui saluran napas dan akan menimbulkan
fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini
disebut fokus primer (fokus Ghon). Kuman
kemudian akan menyebar secara limfogen
dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal
dan limfadenitis regional. Gabungan dari
fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis
regional disebut sebagai kompleks primer. Jika
sistem imun penderita tidak cukup kompeten
infeksi akan menyebar secara hematogen/
limfogen dan bersarang di seluruh tubuh
mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital,
kulit, getah bening, osteoartikular, hingga
endometrial.11,12
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran
secara hematogen/limfogen melalui nodus
limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis
di luar tulang belakang yang sebelumnya
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi
biasanya berasal dari fokus primer di paru,
sedangkan pada orang dewasa berasal dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).12
Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral Batson.8
662
TINJAUAN PUSTAKA
yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil,
malaise, berkurangnya berat badan atau
berat badan tidak sesuai umur pada anak
yang merupakan gejala klasik TB paru juga
terjadi pada pasien dengan spondilitis TB.9
Pada pasien dengan serologi HIV positif,
rata-rata durasi dari munculnya gejala awal
hingga diagnosis ditegakkan adalah selama
28 minggu.20 Apabila sudah ditemukan
deformitas berupa kifosis, maka patogenesis
TB umumnya spinal sudah berjalan selama
kurang lebih tiga sampai empat bulan.15
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen
penderita.10 Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular
dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri
radikuler menandakan adanya gangguan
pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi, namun manifestasinya
lebih berbahaya karena dapat menyebabkan
disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus
terganggu, pernapasan terganggu dan timbul
sesak napas (disebut juga Millar asthma).8
Umumnya gejala awal spondilitis servikal
adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak
spesifik.21
663
TINJAUAN PUSTAKA
akordion (concertina), sehingga disebut juga
concertina collapse (gambar 3).1
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis
awal yang paling sering dilakukan dan berguna
untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.27
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik
pada bagian anterior badan vertebra dan
osteoporosis regional. Penyempitan ruang
diskus intervertebralis menandakan terjadinya
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran
fusiformis.27
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess.27 Namun, sayangnya
sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess
dengan baik (gambar 2).28 Dengan proyeksi
lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam (gambar 3).1,29
2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas
sklerosis tulang, destruksi badan vertebra,
abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis (gambar 4).
CT myelography juga dapat menilai dengan
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak
tersedia pemeriksaan MRI.26 Pemeriksaan
ini meliputi penyuntikan kontras melalui
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu
dilanjutkan dengan CT scan.27
Selain hal yang disebutkan di atas, CT
scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan
luas kerusakan jaringan tulang.27 Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan
MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
664
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk
menilai jaringan lunak. Kondisi badan vertebra,
diskus intervertebralis, perubahan sumsum
tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan
ini.26,30 Untuk mengevaluasi spondilitis TB,
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial,
dan sagital yang meliputi seluruh vertebra
untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.8,18
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
perbaikan jaringan. Peningkatan sinyalT1 pada sumsum tulang mengindikasikan
pergantian jaringan radang granulomatosa
oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis.31 Bagaimana
membedakan spondilitis TB dari spondilitis
lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada
bagian diagnosis diferensial setelah ini.
4. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk
mencari massa pada daerah lumbar. Dengan
pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak
dan volume abses/massa iliopsoas yang
mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.8
Bone scan pada awalnya sering digunakan,
namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif
pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone
scan sangat tidak spesifik dan ber-resolusi
rendah. Berbagai jenis penyakit seperti
degenerasi, infeksi, keganasan dan trauma
dapat memberikan hasil positif yang sama
seperti pada spondilitis TB.
Pencitraan dengan 67Gadolinium diketahui
berguna untuk mendeteksi infeksi TB
diseminata.1 Penggunaan pencitraan ini masih
belum lazim pada spondilitis TB.
Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis
Untuk memastikan diagnosis secara pasti,
perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau
aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan
secara perkutan dan dipandu dengan CT
scan atau fluoroskopi.1,19 Spesimen kemudian
TINJAUAN PUSTAKA
dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan
histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan
asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA
positif pada 6089 persen kasus.1,9
Studi histologi jaringan penting untuk
memastikan diagnosis jika kultur negatif,
pewarnaan
BTA
negatif,
sekaligus
menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Temuan histologi pada infeksi TB jaringan
adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma
epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis
kaseosa.27 Sel epiteloid adalah sel
mononuklear yang mem-fagositosis basil
tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman
pada sitoplasmanya.8 Granuloma epiteloid
dapat ditemukan pada 89 persen spesimen
yang merupakan gambaran khas histologi
infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah
dilaporkan pada beberapa kasus.
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan
diagnosis, biopsi bedah yang diikuti dengan
kultur dapat dipertimbangkan.9 biopsi bedah
umumnya dilakukan pada keadaan dimana
biopsi jarum sangat berbahaya dan tidak
menghasilkan spesimen (dry tap).
Kultur umumnya memerlukan waktu yang
relatif lama, yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya
diikuti dengan uji resistensi OAT.8 Spesimen
yang cocok untuk dijadikan kultur adalah
organ-organ dalam, tulang, pus, cairan
sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang
dapat digunakan adalah media berbasis
telur, seperti media Lowenstein-Jensen
dan media berbasis cairan, seperti BectonDickinson dan BACTEC TM. Pajanan pasien
dengan fluorokuinolon sebelumnya akan
memperlambat pertumbuhan kultur hingga
2 minggu.8
Pemeriksaan laboratoris
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
digunakan untuk mendeteksi DNA kuman
tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang
memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini
sangat akurat dan cepat (24 jam), namun
memerlukan biaya yang lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip
kerja PCR adalah memperbanyak DNA kuman
secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi
meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10
hingga 1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas
sekitar 8098 persen dan spesifisitas 98
persen.8
Diagnosis Diferensial
Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis
TB adalah nyeri punggung nonspesifik,
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis
yang sering menjadi alasan penderita untuk
datang berobat. Karena itu, pemikirian
kemungkinan diagnosis banding harus
didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk
membedakan spondilitis TB dari penyakit
lainnya, karena terapi dini yang tepat dan
akurat dapat mengurangi angka disabilitas
dan morbiditas pasien.30
Spondilitis piogenik adalah salah satu
penyakit dengan presentasi gejala yang
serupa dengan spondilitis TB dan tidak
mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat.
Spondilitis piogenik umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus,
dan Pneumococcus.30 Secara epidemiologi,
spondilitis piogenik lebih sering menyerang
usia produktif, sekitar usia 3050 tahun.
Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik
dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya
penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif
spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak,
jumlah kasus baru spondilitis TB semakin
berkurang dengan penggunaan OAT.
Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang
lebih akut dengan gejala yang hampir sama
665
TINJAUAN PUSTAKA
Keluhan yang sering berupa nyeri punggung
belakang yang kronis progresif yang tidak
spesifik, hal inilah yang menyebabkan
neoplasma spinal sulit dibedakan dengan
spondilitis TB.24 Adanya riwayat keganasan di
tempat lain dapat membantu penegakkan
diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung
tingkat lesi, muncul jika tumor sudah menekan
epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra
dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi
akibat destruksi badan vertebra/ fraktur oleh
invasi tumor dengan diskus yang bebas dari
kerusakan. MRI belum dapat secara pasti
menyingkirkan atau memastikan diagnosis
tumor spinal. Semua temuan-temuan MRI
spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor
spinal.
Fraktur kompresi
badan
vertebra
berpotensi menyebabkan deformitas kifotik
disertai gangguan neurologis dengan
derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan
kekuatan yang besar untuk membuat badan
vertebra yang bersangkutan retak, kecuali
jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau
penggunaan steroid jangka panjang. Contoh
klasik trauma yang menyebabkan fraktur
kompresi seperti jatuh dari ketinggian
dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan
mobil juga dapat menyebabkan dampak
serupa. Mekanisme fleksi-kompresi biasanya
menyebabkan fraktur kompresi dengan
bagian anterior mengecil (wedge-shaped)
dengan derajat kerusakan bagian tengah dan
posterior yang bervariasi. Medula spinalis
segmen torakal lebih sering mengalami
cedera karena merupakan segmen yang
paling panjang dibandingkan segmen
lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya
yang lebih sempit dengan vaskularisasi
yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan
temuan klinis dan adanya riwayat trauma
yang bermakna dikombinasikan dengan ada/
tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis
atau usia tua.
Pada negara dengan insidens bruselosis
cukup tinggi, spondilitis bruselosis
merupakan diagnosis diferensial yang utama.
Demam, keringat dingin dan nyeri sendi
adalah gejala yang lebih sering ditemukan
pada spondilitis bruselosis, sementara
gangguan neurologis dan deformitas lebih
banyak ditemukan pada spondilitis TB.
Sakroiliitis dan diskitis lebih sering didapatkan pada pasien spondilitis bruselosis.35
666
Gambaran Klinis
Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonus
pada ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
II. Ringan
III. Moderat
IV. Berat
Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit sensorik di atas 50 persen,
dan gangguan sfingter.
Gambaran klinikoradiologis
Durasi
perjalanan
penyakit
I. Pre-destruktif
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral, hiperemia tampak pada skintigrafi, MRI < 3 bulan
menunjukkan edema sumsum tulang.
Penyempitan ruang diskus, erosi paradiskal. MRI memperlihatkan edema dan 24 bulan
kerusakan korteks vertebra, CT scan menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
39 bulan
624 bulan
V. Kifosis berat
>2 tahun
Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.
Tipe
Lesi
Penatalaksanaan
IA
IB
II
Kolaps vertebra
Cold abscess
Kifosis
Deformitas stabil, dengan/ tanpa
defisit neurologis
Angulasi sagital < 20
1.
Penatalaksaan no II
+ instrumentasi anterior/
posterior
III
2.
3.
Contoh
Diadaptasi dari: Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and
guide for surgical treatment of spinal tuberculosis.38
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis diferensial lainnya yang perlu
dipertimbangkan antara lain: spondilitis
jamur yang dapat ditemukan pada pasienpasien dengan inkompetensi imun36, mielitis
transversa, sarkoidosis, dan reumatoid artritis.9
KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan
beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit,
prognosis dan tatalaksana.
Gambaran neurologis
A. Complete
Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5
B. Incomplete
Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi neurologis dan segmen S4-5
C. Incomplete
Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, dan lebih dari separuh otot kunci* di bawah
segmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3
D. Incomplete
E. Normal
Sindrom Klinis
Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom Medula anterior, Sindrom Medula Sentral,
Sindrom Konus Medularis.
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5), ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8),
abduksi kelingking (T1), fleksi tungkai (L2), ekstensi lutut (L3), dorsofleksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfleksi kaki
(S1). Pemeriksaan segmen S4 5 adalah dengan menilai kontraksi sfinger ani volunter dan dan sensasi perianal.
Tabel 5 Dosis Rekomendasi OAT pada anak (di bawah 12 tahun) dan dewasa.43
Dosis mg/kgBB (dosis maksimum)
Obat
Harian
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
INH
1020
2040
15
2040
15
RIF
1020
10
1020
10
1020
10
PRZ
1530
1530
5070
5070
5070
5070
ETB
1525
1525
50
50
2530
2530
SM
2040
1218
2530
2530
2530
2530
INH, isoniazid, RIF, rifampisin, PRZ, pirazinamid, ETB, etambutol, SM, streptomisin.Dosis berdasarkan berat badan harus
disesuaikan pertambahan berat badan. Semua pasien yang menerima dosis intermiten harus dipantau langsung terapinya.
PRZ dan SM tidak dipakai pada wanita hamil. ETB tidak disarankan untuk pasien anak karena sulit diobservasi fungsi
visualnya.
667
TINJAUAN PUSTAKA
World
Health
Organization
(WHO)
menyarankan
kemoterapi
diberikan
setidaknya selama 6 bulan.43 British Medical
Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan
kemoterapi OAT selama 6 9 bulan.2 Untuk
pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat
servikal, dan dengan defisit neurologis
belum dapat dievaluasi, namun beberapa
ahli menyarankan durasi kemoterapi selama
912 bulan.2
The Medical Research Council Committee
for Research for Tuberculosis in the Tropics
menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa
pengobatan.9 Selama dua bulan pertama
(fase inisial), obat-obat tersebut dapat
dikombinasikan
dengan
pirazinamid,
etambutol dan streptomisin sebagai obat lini
pertama. Hal ini senada dengan penelitian
Karaeminogullari dkk19 yang mengobati
pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin
dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan
hasil yang memuaskan.
Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus
resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai
OAT lini kedua antara lain: levofloksasin,
moksifloksasin,
etionamid,
tiasetazon,
kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin,
klaritomisin dan lain-lain.
Adakalanya kuman TB kebal terhadap
berbagai macam OAT. Multidrug resistance TB
(MDR-TB) didefinisikan sebagai basil TB yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin.44
Spondilitis MDR-TB adalah penyakit yang
agresif karena tidak dapat hanya diterapi
dengan pengobatan OAT baku. Regimen
untuk MDR-TB harus disesuaikan dengan
hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya
bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi
berhasil.44 Adapula rekomendasi terbaru
untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan
kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu
dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif
melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT injeksi
untuk periode minimal selama 6 bulan,
3) kuinolon, 4) sikloserin atau etionamid,
5) antibiotik lainnya seperti amoksisilin
klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian
OAT setidaknya selama 1824 bulan.45
The United States Centers for Disease Control
merekomendasikan pengobatan spondilitis
668
2. Pembedahan
Dengan
berkembangnya
penggunaan
OAT yang efektif, terapi pembedahan relatif
ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama
pada spondilitis TB. Pilihan teknik bedah tulang
belakang pada spondilitis sangat bervariasi,
namun pendekatan tindakan bedah yang baku
dan empiris masih belum ada. Setiap kasus harus
dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien
yang direncanakan dioperasi, kemoterapi tetap
harus diberikan, minimal 10 hari sebelum
operasi OAT harus sudah diberikan.41 Kategori
regimen OAT yang diberikan disesuaikan jenis
kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori
masing-masing.8,11
Tindakan bedah yang dapat dilakukan
pada spondilitis TB meliputi drainase abses;
debridemen radikal; penyisipan tandur
tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur
tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/
fiksasi, baik secara anterior maupun posterior;
dan osteotomi.
a. Indikasi dan Kontraindikasi
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada spondilitis TB
secara umum sebagai berikut: 1) defisit
neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia.
2) deformitas tulang belakang yang tidak
stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis
progresif (30 untuk dewasa, 15 untuk anakanak). 3) tidak responsif kemoterapi selama
4 minggu. 4) abses luas. 5) biopsi perkutan
gagal untuk memberikan diagnosis.41,42,48 6)
nyeri berat karena kompresi abses.47
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan
lebih awal mengingat potensi kecacatan yang
akan terjadi. Jika mengikuti klasifikasi GATA
yang telah dijelaskan diatas, maka intervensi
bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB
hingga GATA III.38 Sementara itu, satu-satunya
kontraindikasi pembedahan pada pasien
spondilitis TB adalaha kegagalan jantung dan
paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan
paru harus ditangani terlebih dahulu untuk
menyelamatkan jiwa pasien.1
b. Pemilihan pendekatan pembedahan
tulang belakang
Pemilihan pendekatan pembedaan spondilitis
TB bergantung pada banyak hal. Hal-hal tersebut antara lain: kemampuan dan pengalaman ahli bedah, ketersediaan instrumen, personel
anestesi, dan komorbid pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan secara anterior lebih sering
digunakan karena dapat mencapai abses
yang umumnya berada di anterior vertebra.
Selain itu, dengan pendekatan anterior, ahli
bedah tidak perlu membuang/ memotong
bagian vertebra segmen posterior sehingga
vertebra relatif utuh. Pendekatan anterior
juga baik digunakan jika diputuskan untuk
memasang tandur dari tulang iga, sehingga
tidak perlu melakukan insisi di dua tempat.42
Pendekatan anterior efektif untuk kasus
dengan defisit neurologis, lesi multi-level,
atau abses yang luas.14
Di sisi lain, pendekatan anterior kurang baik
jika dilakukan pada spondilitis TB multi-level
dalam mengoreksi deformitas kifotik.49 Pada
keadaan ini, kombinasi dengan pendekatan
posterior untuk instrumentasi posterior
diperlukan, baik melalui operasi tunggal
atau dua operasi.47 Prosedur operasi tunggal
untuk dua pendekatan dapat dilakukan dan
ditujukan untuk mengurangi durasi operasi
dan mengurangi manipulasi tulang belakang
yang relatif tidak stabil.47
Sementara itu pendekatan posterior lebih
diutamakan pada kasus dimana segmen
posterior vertebra lebih rusak daripada
segmen anterior, kasus dimana thorakotomi
sangat berbahaya mengingat komorbiditas
seperti penyakit jantung/ paru.42 Sumber lain
mengatakan bahwa pendekatan posterior
lebih menguntungkan dari segi koreksi
kifosis dan pemasangan implan, namun
sering tidak adekuat dalam melakukan
dekompresi medula spinalis, debridemen,
dan atau evakuasi abses.49
Pendekatan secara anterolateral ekstrapleural
memberikan paparan lapangan kerja yang
baik secara anterior maupun posterior,
memungkinkan dekompresi secara anterior
dan penyisipan tandur tulang secara anterior/
posterior. Teknik ini memiliki morbiditas
lebih rendah dibandingkan teknik lainnya
yang menggunakan dua kali pembedahan,
namun teknik ini memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi.50
c. Pembedahan drainase abses
Setelah terjadi pembentukan abses (cold
abscess) dan degenerasi setidaknya dua
diskus, maka drainase harus dilakukan. Abses
dapat menekan medula spinalis sehingga
terjadi gangguan neurologis. Tindakan
669
TINJAUAN PUSTAKA
dilaksanakan, kolumna posterior diperpendek
untuk mengoreksi kifosis, jika perlu, distabilisasi
dengan Hartshill rectangle dan sublaminar wire.
Kemudian penyisipan tandur tulang anterior/
posterior dilakukan. Nilai rata-rata kifosis preoperatif sebesar 49,08 dan nilai rata-rata
kifosis post-operatif sebesar 25o. Sebanyak
37 pasien mengalami resolusi sempurna dari
defisit neurologis dalam waktu 11 74 bulan.
Fusi spinal terbentuk dalam empat bulan
untuk satu badan vertebra dan delapan
bulan untuk dua badan vertebra.
d.3. Dekompresi transpedikular
Pendekatan transpedikular memungkinkan
akses anterior dan posterior melalui insisi
tunggal. Teknik ini dikatakan tidak cukup
baik untuk kasus dengan destruksi vertebra
yang luas, dimana diperlukan debridemen
anterior luas dan rekonstruksi dengan tandur
tulang.14
d.4.
Pembedahan dengan
pendekatan posterior saja
Pada kasus tertentu, pendekatan posterior saja
dapat digunakan untuk mengangani pasien
spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi
dan instrumentasi posterior operasi tunggal
tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak
bergantung pada pemberian OAT untuk
mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini
tidak dapat digunakan pada kasus dengan
defisit neurologis, abses di bagian anterior,
atau lesi di banyak tingkat.14
d.5.
Osteotomi dan reseksi
kolumna vertebra
Jika telah terjadi deformitas kifotik yang sangat
kaku dan tajam, harus dilakukan osteotomi
untuk meningkatkan fleksibilitas vertebra.
Osteotomi
dekanselasi
transpedikular
dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga
2030 persen pada satu tingkat. Namun
tindakan ini memiliki angka komplikasi yang
tinggi termasuk perdarahan dan gangguan
neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari
anterior dan posterior.
Wang dkk melaporkan penelitian pada
sembilan pasien dengan spondilitis TB,
dengan kifosis hingga 90o dengan tektik
osteotomi transpedikular egg-shell dan reseksi
kolumna vertebra multi-level. Seluruh pasien
mengalami fusi dan perbaikan neurologis,
dengan koreksi rata-rata kifosis 100o menjadi
16o.54
670
TINJAUAN PUSTAKA
lansia telah mengalami osteoporosis. Pendekatan bedah yang dapat memberikan waktu
operasi lebih singkat sangat direkomendasikan
mengingat toleransi pasien lansia yang lebih
rendah terhadap operasi. Pendekatan posterior
operasi tunggal direkomendasikan oleh Zhang
dkk, jika memang pendekatan anterior tidak
dibutuhkan sekali. Penelitian Zhang dkk
mengungkapkan bahwa pendekatan posterior
operasi tunggal memiliki angka komplikasi
yang lebih rendah.58
3. Imobilisasi Pasca-operasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi
morbiditas pasien. Dengan instrumentasi,
kebutuhan imobilisasi semakin berkurang
sehingga pasien dapat cepat mencapai
status ambulatorik. Jenis imobilisasi spinal
tergantung pada tingkat lesi. Pada daerah
servikal dapat diimobilisasi dengan jaket
Minerva; pada daerah vertebra torakal,
torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat
diimobilisasi menggunakan body cast jacket.
Sedangkan pada lumbal bawah, lumbosakral,
dan sakral dilakukan imobilisasi dengan body
jacket atau korset dari gips yang disertai
dengan fiksasi salah satu sisi panggul.12
a. Tirah baring, Imobilisasi, dan
Fisioterapi
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat
pula berupa tirah baring disertai dengan
pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa
imobilisasi. Tindakan ini biasanya dilakukan
pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak
tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup
untuk melakukan operasi tulang belakang,
atau bila terdapat permasalahan teknik
operasi yang dianggap terlalu berbahaya.
Jenis imobilisasi yang dilakukan sama dengan
imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan
sebelumnya. Imobilisasi dilakukan setidaknya
selama enam bulan.12
Tirah baring diikuti dengan pemakaian gips
untuk melindungi tulang belakang pada
posisi ekstensi, terutama pada keadaan akut
atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan
untuk imobilisasi spinal, mengurangi kompresi
medula spinalis dan progresi deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung hingga empat minggu. Alwali
dkk melaporkan bahwa imobilisasi dengan
custom-made spinal jacket bersamaan dengan
kemoterapi dapat menjadi alternatif jika
tindakan bedah tidak bisa dilakukan.29
671
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbells Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
2.
Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.
3.
Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.
4.
WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing. WHO Report 2005. WHO/HTM/TB/2005.411.
5.
Agarwal P, Rathi P, Verma R, Pradhan CG: Tuberculous spondilitis: `Global lesion. Special issues on Tuberculosis. Bombay Hospital Journal. 1999.
6.
Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
7.
Ozol D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra and rib involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.
8.
Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.
9.
Infectious and noninfectious inflammatory disease affecting the spine. Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000.
c. 9 h.325 335.
10. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5
12. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
13. Australian Doctors International website. Terserida pada URL: http://poppy.enoch.com.au/adiv2/picture_gallery.php?id_gallery=7.au
14. Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal tuberculosis. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:353357. DOI 10.1007/s00264-011-1292-9.
15. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127136.
16. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadels Textbook of Resporatory Medicine. 4th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.
17. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 468.
18. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management. Eur Spine J (2009) 18:10961101.
19. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery. Orthopedics. January
2007. Vol. 30. No.1.
20. Papavramidis TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S, Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J Med Case Reports. 2007; 1: 152.
21. Li YW, Fung YW. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain. Hong Kong j. emerg. med. Vol. 14(2) Apr 2007.
22. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Potts paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria.
Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1; 2007: 22 25
23. Savvidou C, Triantopoulou, Chatziioannou, Papailiou, et al. A rare radiological appearance of lumbar tuberculous vertebral osteomyelitis. Eur J Orthop Surg Traumatol (2010) 20:313316.
DOI 10.1007/s00590-009-0563-2.
24. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.
25. Pertuiset E, Beaudreuil J, Liote F, et al. Spinal tuberculosis in adults. A study of 103 cases in a developed country, 1980-1994. Medicine (Baltimore). Sep 1999;78(5):309-20.
26. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004. Vol 45(9); 439.
27. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3
28. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) 195 201.
29. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003; Vol. 8 (1): 17-22.
30. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32 (2008) 303309.
31. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et al. Magnetic Resonance evaluation of tubercular lesion in spine. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:261269.
32. Hidalgo JA. Pott Disease. [Online]. 2008 Aug 29 [cited 2009 Aug 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
33. Muzaffar T, Shaifuzain AR, Imran Y, Noor Haslina MN. Hematological changes in Tuberculous spondilitis patients at the hospital universiti sains malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. Vol 39 No. 4 July 2008.
34. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun JY. Discrimination of Tuberculous Spondilitis from Pyogenic Spondilitis on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 1410.
35. Kurtaran B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series. Infectous Diseases in Clinical Practice.
May 2008. Vol.16,No.3.
36. Son JM, Jee WH, Jung CK, Kim SI, Ha KY. Aspergillus Spondilitis involving the Cervico-Thoraco-Lumbar Spine in an Immunocompromised Patient: a Case Report. Korean J Radiol 8(5),
October 2007.
37. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt
Indon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).
38. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro AR. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics
(SICOT) (2008) 32:127133
39. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classification. Page updated: 03/24/2009. Available from: URL:http://wiseyoung.wordpress.com/2008/12/19/spinal-cord-injury-levels-andclassification.
40. McKinley W. Spinal Cord Injury: Neurological examination, Classification and Prognosis. Tersedia pada: URL:http://www.pmr.vcu.edu/presentations/pps/ASIA_pres.pps.
41. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.
42. Kaptigau WM, Koiri JB, Kevau IH, Rosenfeld JV. Surgical Management of Spinal tuberculosis in Papua New Guinea. PNG Med J 2007. Mar-Jun;50(1-2):25-32.
43. Hazra A, Laha B. Chemotherapy of Osteoarticular Tuberculosis. Indian J Pharmacol. February 2005, Vol 37, Issue 1:5-12.
44. Cherifi S, Guillaume MP, Peretz A. Multidrug-resistant Tuberculosis Spondilitis. Acta Clinica Belgica, 2000; 55-1.
45. Li L, Zhang Z, Luo F, Xu J, et al. Management of drug-resistant spinal tuberculosis with a combination of surgery and individualised chemotherapy: a retrospective analysis of thirty-five
672
TINJAUAN PUSTAKA
patients. International Orthopaedics (SICOT) (2012) 36:277283.
46. Quarta L, Corrado A, Melillo N, Trotta A, et al. Combined Effect of Nerindronate and spesific antibiotic therapy in a case of tuberculous spondylodiscitis. Rheumatol Int 2008:495498.
47. Mak KC, Cheung KMC. Surgical treatment of acute TB spondylitis: indications and outcomes. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2455-0. Publikasi online: 16 August 2012.
48. Jain AK. Tuberculosis of the spine. Clin Orthop Relat Res. Jul 2007;460:2-3.
49. Qureshi MA, Khalique AB, Afzal W, Pasha IF, Aebi M. Surgical Management of contiguous multilevel thoracolumbar tuberculous spondylitis. Eur Spine J. DOI 10.1007/s00586-012-2459-9.
50. Jain AK, Dhammi IK, Prashad B, Sinha S, Mishra P. Simultaneous anterior decompression and posterior instrumentation of the tuberculous spine using an anterolateral extrapleural
approach. J Bone Joint Surg (Br). 2008 Nov; 90(11):1477-81.
51. El-deen MA. Surgical management of Dorsolumber Tuberculous spondilitis in adults. Pan Arab J Orth Trauma. Vol (8) No. (1)/ January 2004.
52. Benli IT, Acaroglu E, Akalin S, Kis M, Dumar E, Un A. Anterior radical debridement and anterior instrumentation in Tuberculosis spondilitis. Eur Spine J (2003)12: 224234.
53. Cavusoglu H, Kaya RA, Turkmenoglu ON, Tuncer C, Colak I, Aydin Y. A long-term follw up study of anterior tibial allografting and istrumentation in the management of thoracolumbar
tuberculous spondilitis. J Neurosurg spine 2008 8:30-38.
54. Wang Y, Zhang Y, Zhang X, et al. Posterior only multilevel modified vertebral column resection for extremely severe Potts kyphotic deformity. Eur Spine J 18(10):14361441.
55. Zhang H, Lin M, Shen K, Ge L, et al. Surgical management fot multilevel noncontiguous thoracic spinal tuberculosis by single-stage posterior transforaminal, thoracic debridement, limited
decompression, interbody fusion, and posterior instrumentation (modified TIFF). Arch Orthop Trauma Surg (2012) 132:751757. DOI: 10.1007/s00402-012-1473-z.
56. Kandwal P, Garg B, Upendra BN, Chowdhury B, Jayaswal A. Outcome of minimally invasive surgery in the management of tuberculous spondylitis. Indian Journal of Orthopedics (March
2012). Vol. 46. Issue 2.
57. Pershin AA, Mushkin AI. Vertebral column growth in children after surgical correction of severe kyphosis in tuberculosis spondilitis. Probl Tuberk Bolezn Legk.2008;(12):45-7.
58. Zhang HQ, Li JS, Zhao SS, Shao YX, et al. Surgical management for thoracic spinal tuberculosis in the elderly: posterior only versus combined posterior and anterior approaches. Arch
Orthop Trauma Surg. DOI 10.1007/s00402-012-1618-0, Published online: 6 October 2012.
60. Nas K , Kemaloglu MS, evik R, Ceviz A, Necmioglu S, Bkte Y. The results of rehabilitation on motor and functional improvement of the spinal tuberculosis. Joint Bone Spine. Vol. 71. Issue
4. July 2004. p. 312-316.
673