Disusun oleh:
dr. Anastasia Asylia Dinakrisma
NPM:
Narasumber / Penguji:
dr. Ida Ayu Kshanti, SpPD-KEMD
Ilustrasi Kasus
Laki-laki usia 42 tahun masuk UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri perut bagian kanan
dan kiri bawah, seperti ditusuk-tusuk lama kelamaan menjalar ke seluruh perut sejak 1 hari
SMRS. Keluhan dirasakan mendadak, disertai mual namun tidak muntah. Nyeri tidak
dipengaruhi makanan maupun perubahan posisi. Demam tidak ada, BAK dan BAB sebelumnya
normal.
Pada hari perawatan kedua di RS, pasien mengeluh diare > 10 kali per hari isi air lebih
banyak dari ampas, dengan lendir namun tidak ada darah, jumlah kurang lebih -1/2 gelas akua
tiap kali diare. Keluhan mual ada, namun tidak ada muntah. Pasien merasa lebih sering haus,
BAK biasa warna kuning jernih. Keluhan demam disangkal. Pasien merasa lemas namun tidak
disertai lemah sesisi, bicara pelo maupun mulut mencong, tidak ada keluhan nyeri otot, namun
ada rasa kesemutan pada tangan dan kaki . Pasien merasa pusing berputar jika berubah posisi
dari tidur ke duduk atau dari posisi duduk ke posisi berdiri. Riwayat pingsan atau sinkop
disangkal. Pasien merasa lebih mengantuk dari biasanya namun kontak masih adekuat. Nafsu
makan biasa, makan habis 1 porsi per hari.
Tiga bulan SMRS pasien mengeluh seluruh badan kemerahan muncul bintik merah yang
gatal, seluruh badan dan wajah bengkak, pasien berobat ke dokter kulit RSCM dan
RSF
dikatakan menderita sindrom hiper IgE, sejak itu diberikan metilprednisolon mulai Juni 2014
hingga 23 Juli 2015, awalnya pasien minum Metilprednisolon (MP) dengan dosis 3x12 mg
selama 2 minggu, lalu diturunkan bertahap hingga 1x1 tab per hari, total MP sekitar 13 strip @4
mg. Setelah minum MP, keluhan gatal, kemerahan dan bengkak membaik, kemudian muncul
bekas berupa bercak-bercak berwarna kehitaman pada seluruh tubuh, kulit kering dan kadang
masih gatal. Setelah berhenti berobat, pasien beraktivitas seperti biasa. Keluhan lebih sering
mengantuk, mual muntah , penurunan nafsu makan, penurunan berat badan disangkal. Keluhan
sakit kepala, gangguan penglihatan disangkal.
Pasien menderita asma sejak usia 4 tahun, rutin menggunakan obat inhaler, terakhir
Symbicort digunakan jika serangan. Serangan kurang dari 1 kali dalam sebulan, tidak ada
serangan di malam hari. Serangan asma terakhir Januari 2015, diberikan obat MP selama 2
minggu. Sejak 4 tahun hingga usia 17 tahun asma sering kambuh , kira-kira 2-3 kali sebulan, tiap
kali lelah, dingin atau terkena debu, sering diberikan obat minum racikan tiap kali serangan.
2
Sejak usia 17 tahun hingga sekarang, serangan berkurang, kurang dari 1 kali serangan dalam
sebulan, terkontrol dengann obat semprot. Hingga tahun 2006 berat badan pasien 96 kg, namun
turun menjadi 80 kg tahun 2012. Nafsu makan agak menurun. Pada tahun 2007 pasien
mengalami keluhan BAK tidak tuntas kadang-kadang disertai nyeri BAK. Keluhan BAK
berpasir, keluar batu atau berdarah disangkal. Pasien didiagnosis memiliki batu ginjal dan
dilakukan ESWL, sejak saat itu keluhan masih ada namun berkurang.
Sejak tahun 2009-2014 pasien beberapa kali dirawat karena badan sering lemas,
dikatakan mengalami hiponatremia, hipokalemia dan hipoglikemia. Pasien sempat dirawat di
ICU.
Tahun 2012, pasien juga dikatakan mengalami gangguan ginjal dengan ditandai oleh
peningkatan ureum dan kreatinin. Dari USG didapatkan kista ginjal, berobat rutin ke RSF,
diberikan obat Aminoral, asam folat, CaCO3, bicnat . Riwayat hipertensi, diabetes mellitus
disangkal.
Terdapat riwayat penyakit asma pada kakak pasien, hipertensi pada ayah dan ibu pasien.
Riwayat penyakit ginjal pada keluarga disangkal. Pasien belum menikah, pendidikan lulus S1,
bekerja sebagai guru. Riwayat merokok ada 1-2 bungkus per hari sejak 30 tahun lalu, berhenti 3
bulan lalu. Minum alkohol, penggunaan narkoba suntik dan promiskuitas disangkal. Penggunaan
obat herbal atau obat warung lain disangkal.
Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 12 Agustus 2015, pasien kompos mentis, sakit
sedang, Tekanan darah 70/40 mmHg, dengan frekuensi nadi 80x/menit, suhu 36.80C, Frekuensi
pernapasan 16x/menit. . Saat follow up pada tanggal 18 Agustus 2015, tekanan darah pada posisi
tidur 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, sedangkan tekanan saat posisi duduk 100/70, nadi 80
kali/menit, kuat angkat. Indeks massa tubuh pasien normal dengan berat badan 62 kg, tinggi
badan 165 cm(IMT 22. 77 kg/m2).
Pada pemeriksaan fisik mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, tidak ada
eksoftalmos. Pemeriksaan leher JVP normal, tidak ditemukan pembesaran tiroid maupun KGB
colli. Pemeriksaan paru dan jantung dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
perut datar, lemas, hati dan limpa tidak teraba, nyeri tekan daerah epigastrium, tidak didapatkan
defans muskular, bising usus meningkat, ballottement ginjal negative, nyeri ketok sudut
kostofrenikus kanan kiri negatif. Pada ekstremitas akral hangat, tidak ada edema, kulit cenderung
kering, didapatkan lesi plak hiperpigmentasi ukuran lentikular hingga numular generalisata di
3
seluruh tubuh disertai skuama halus. Pemeriksaan Laboratorium di UGD (11/8/15) didapatkan
Hb 16,3 g/dl, Hematokrit 49, lekositosis 22.300/L, trombosit 252.000/L, SGOT 22 U/L,
SGPT 16 U/L, peningkatan ureum dan kreatinin (Ur/Cr: 75/3.1 mg/dl, Egfr:23.5), gula darah
sewaktu 53 g/dl, hiponatremia 119 mmol/l, hipokalemia 2.73 mmol/L, Klorida 85 mmol/L,
osmolalitas darah hitung 253.4 mosm/kgH2O (hipoosmolal). Kadar kortisol darah pagi
15.27g/L (4.3-22.4g/L),
tekanan darah mulai normal. Tabel perkembangan pasien selama rawat inap,berupa parameter
tekanan darah, balans cairan dan pemeriksaan elektrolit serial dapat dilihat pada Lampiran 1.
DISKUSI
Hormon kortisol yang merupakan salah satu hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks
adrenal, selain aldosteron dan androgen, mempunyai peran penting dalam berbagai fungsi seluler
, terutama yang berhubungan dengan respon terhadap stress. Insufisiensi hormon ini
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, oleh karena itu diagnosis dini
merupakan hal yang penting.
1, 2
yang jarang, namun insufisiensi adenal yang berhubungan dengan penggunaan glukokortikoid
cukup sering terjadi. Di Inggris, prevalensi pemakaian glukokortikoid pada orang tua sekitar
2.5% sedangkan di Amerika Serikat sekitar 1.2%. Diperkirakan insiden pasien dengan gejala
klinis insufisiensi adrenal sekitar 25 per 1 juta dan prevalensi 200 per 1 juta. 1, 3
Biosintesis kortisol
Hormon kortisol dihasilkan di korteks adrenal, yakni di zona fasikulata dan zona retikularis,yang
diregulasi oleh ACTH. Prekursor dari hormon ini adalah kolesterol, 80% diantaranya adalah
LDL (Low-density lipoprotein). Di dalam korteks adrenal kolesterol diubah menjadi
pregnenolone di mitokondria, melibatkan CYP11A. Pregnenolone kemudian ditranspor keluar
mitokondria untuk memulai proses sintesis kortisol. Proses sintesis kortisol sendiri melibatkan
berbagai enzim dalam retikulum endoplasmik. Dalam keadaan normal tanpa stress, sekresi
kortisol tubuh berkisar antara 8-25 mg/hari, dengan rata-rata 9.2 mg/hari.2
Sintesis dan sekresi dari hormon steroid di korteks adrenal diregulasi oleh ACTH, yang
terikat pada reseptor membran plasma dan mengaktivasi adenylyl cyclase dan cyclic adenosine
monophosphate (CAMP) sehingga kasksade intraseluler fosfoprotein kinase dan proses
steroidogenesis dapat terjadi.2
Sekresi kortisol dipengaruhi oleh kontrol neuroendokrin, yakni (1) sekresi episodic dan
irama sirkadian ACTH, (2) respon stress dari aksis Hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA),dan (3)
feedback negatif dari kortisol terhadap sekresi ACTH. 2, 4
5
penggunaan steroid dosis tinggi, yakni metilprednisolon dengan dosis 3x12 mg diturunkan
perlahan hingga 1x4 mg selama lebih dari 5 minggu atas indikasi sindrom IgE, disertai riwayat
penggunaan steroid jangka panjang sebelumnya untuk pengobatan asma.
Patofisiologi insufisiensi adrenal sekunder
Defisiensi ACTH merupakan penyebab utama dari penurunan sekresi kortisol dan androgen
plasma. Sekresi aldosteron biasanya masih normal, kecuali pada kasus tertentu. Pada stadium
awal, basal ACTHdan kortisol masih dapat dipertahankan normal, namun respon ACTH dan
kortisol terhadap stress mulai menurun. Lama kelamaan penurunan ACTH basal menyebabkan
atrofi zona fasikulata dan retikularis sehingga produksi kortisol basal menurun. Pada stadium ini
aksis HPA mengalami gangguan sehingga respon terhadap stimulus eksogen ACTH pun akan
menurun.(Gambar 1)
6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk diagnosis definitif. Pada insufisiensi adrenal,
diperlukan evaluasi fungsi dari aksis HPA. Pemeriksaan kortisol plasma basal dan kadar kortisol
bebas urin biasanya normal-rendah dan tidak bisa digunakan untuk mengekslusi diagnosis.
Karena pemeriksaan kadar kortisol plasma dan urin yang kurang sensitif, setiap pasien dengan
kecurigaan insufisiensi adrenal dilakukan tes stimulasi ACTH. Kecuali pada keadaan krisis
adrenal, pemeriksaan ini dapat ditunda setelah kondisi stabil.
Pemeriksaan tes stimulasi ACTH dilakukan dengan memberikan tetracosactin, suatu
sintesis ACTH dengan kadar 250g. Kemudian diperiksa kortisol plasma pada menit ke 0 dan ke
30. Respon normal jika kadar kortisol plasma puncak > 20g/L. Tes ini dapat dilakukan
kapanpun dan dapat dilakukan pada pasien dalam terapi pengganti steroid jangka pendek (dan
tidak menggunakan hidrokortison). Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan insufisiensi adrenal
primer maupun sekunder. Untuk membedakan insufisiensi primer atau sekunder, diperlukan tes
kadar ACTH plasma. Pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer, kadar plasma ACTH
melebihi normal atas (> 52 pg/L , biasanya > 200 pg/L). Sedangkan pada insufisiensi adrenal
sekunder, kadarACTH dapat normalatau kurang dari 10 pg/L.2
Jika hasil tes stimulasi ACTH normal, insufisiensi adrenal primer dapat disingkirkan.
Namun insufisiensi adrenal sekunder belum dapat disingkirkan dan membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut, seperti tes Metyrapone atau tes insulin-hipoglikemia. 2 Tes insulin hipoglikemia
dilakukan dengan cara pemberian suntikan insulin dengan dosis 0.1 0.15 U/kgBB iv ,
kemudian diukur plasma kortisol pada menit ke 0, 30,45, 60, 90 dam 120. Pada subjek yang
normal, plasma kortisol pucak akan melebihi 18g/dl. Tes ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan jantung, epilepsi dan hipopituarism berat. Pada pasien dengan penyakit kritis,
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah basal kortisol atau tes stimulasi ACTH. Kadar kortisol
kurang dari 15g/dl menunjukkana danya insufisiensi glukokortikoid, sedangkan nilai lebih dari
33 g/L dapat menyingkirkan adanya gangguan aksis HPA.4
Bagan pendekatan diagnosis insufisiensi adrenal dapat dilihat pada Gambar 2.
Tatalaksana
Insufisiensi adrenal akut merupakan suatu keadaaan gawat darurat sehingga tatalaksana segera
harus dilakukan tanpa menunggu diagnosis definitif. Namun idealnya sampel darah untuk
pemeriksaan ACTHdan kortisol dilakukan sebelum pemberian steroid.
Pada pasien akut, dilakukan pemberian hidrokortison 100 mg iv tiap 6-8 jam. Jika pasien
syok diberikan cairan salin normal 1 L atau 2-3 L dalam 1 jam. Dalam keadaan hipoglikemia
dapat diberikan tambahan Dextrose 50 g/L. Selain mengatasi keadaan akut, perlu dilakukan
identifikasi dan tatalaksana penyebab terjadinya krisis adrenal akut, seperti infeksi. Setelah 24
jam, dosis hidrokortison dapat diturunkan menjadi 50 mg im tiap 6 jam, kemudian dilanjutkan
dengan oral 40 mg pagi, 20 mg malam, dan diturunkan menjadi 20 mg pagi, 10 mg malam pada
hari berikut.
Terapi pengganti glukokortikoid jangka panjang diberikan dengan tujuan mengikuti
sekresi kortisol normal/ fisiologis tubuh. Dosis yang dianjurkan adalah hidrokortison 25-30
mg/hari, dibagi 2 dosis dengan dosis lebih besar di pagi hari, lebih kecil di malam hari (jam 6
pagi dan jam 6 malam). Adekuasi terapi pada insufisiensi adrenal primer dapat diukur dengan
pemeriksaan kortisol dan ACTH serial. Namun, pada insufisiensi sekunder, belum ada parameter
laboratorium baku, sehingga parameter klinis seperti perbaikan gejala klinis, peningkatan berat
badan dan tekanan darah menjadi acuan. Efek samping seperti penurunan densitas massa tulang
dapat terjadi pada pemberian hidrokortison dosis > 25 mg/hari akibat dari peningkatan aktivitas
IGF 1 untuk klirens kortisol.
Pada keadaan stress fisik seperti demam atau infeksi dosis steroid dapat dinaikkan dua
kali lipat dosis harian. Jika sediaan hidrokortison tidak tersedia, dapat diberikan glukokortikoid
kerja pendek atau menengah setara dengan dosis hidokortison. Tabel konversi glukokortikoid
dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Pada pasien untuk mengatasi keadaan insufisiensi adrenal akut, yakni hipotensi,
hipoglikemia dan hiponatremia, diberikan larutan Salin NaCl 0.9% loading 1 liter dalam 1 jam,
dilanjutkan dengan Larutan Dextrose 10% 500 ml tiap 8 jam dan NaCl 3% 500 cc/ 24 jam untuk
mengatasi keadaan hipoglikemia dan hiponatremia. Untuk mengatasi hipoglikemia akut
dijalankan protokol hipoglikemia. Dikarenakan tidak tersedianya preparat hidrokortison,
diberikan metilprednisolon dengan dosis 1x125 mg iv(kebutuhan pada keadaan stress 400-600
mg hidrokortison = 4/20 x600 = 120 mg MP), diberikan selama 3 hari hingga keadaan stress
teratasi, kemudian diturunkan menjadi 1x 62.5 mg 2 hari kemudian stop.
Hipokalemia pada pasien memerlukan perencanaan diagnosis lebih lanjut dengan
pemeriksaan elektrolit urin 24 jam, bersamaan dengan elektrolit darah (untuk menentukan
transtubular potassium gradient (TTKG) ) dan AGD. Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk
mencari etiologi hipokalemia berulang pada pasien. Untuk mengatasi hipokalemia, pada pasien
diberikan cairan NaCl0.9% dan KCl 25 meq/8 jam, diikuti pemberian KSR 3x600 mg dengan
target kalium > 3meq/L. ( penurunan 1 meq/L = 200 meq total kehilangan tubuh). Kebutuhan
penggantian kalium (3-2.7)x200 meq/L = 60 meq/L( 25 meq larutan KCl/ 8 jam).6
Follow up
11
Pemulihan dari keadaan supresi aksis HPA pada penggunaan steroid jangka panjang
biasanya membutuhkan waktu 6-9 bulan, di mana sekresi CRH mulai normal, dan dalam
beberapa minggu kemudian ACTH mulai meningkat hingga nilai di atas normal dan proses
steroidogenesis dapat pulih. Selama fase pemulihan ini pasien masih dapat mengalami gejala
defisiensi glukokortikoid sehingga diperlukan terapi pengganti glukokortikoid jangka panjang
dengan kadar fisiologis, yakni hidrokortison 20-35 mg/hari atau prednisolone 7.5 mg/hari selama
beberapa minggu, kemudian diturunkan 1 mg/hari tiap 2-4 minggu disesuaikan dengan keadaan
klinis pasien.Untuk hidrokortison pengurangan dosis 2.5 mg/hari tiap minggu hingga 10
mg/hari.4, 7 Pemberian steroid di malam hari harus dihindari untuk mencegah supresi ACTH pagi
hari. Setelah 2-3 bulan penurunan dosis, evaluasi aksis HPA dapat dilakukan dengan tes stimulasi
ACTH atau tes hipoglikemia. Jika hasil pemeriksaan ini normal, terapi steroid dapat
dihentikan.Tabel menunjukkan rekomendasi terapi pengganti steroid jangka panjang.4
Pada pasien, pemberian prednisone untuk terapi pengganti jangka panjang dapat
diberikan atas indikasi berdasarkan evaluasi klinis, seperti
adanya
12
LAMPIRAN 1
Tabel 1. Parameter perkembangan pasien selama rawat inap
Parameter
Tekanan
darah
Elektrolit
Na
K
Cl
Balans
Urin
IWL
Minum
IVFD
BALANS
11/8
70/40
12/8
75/50
14/8
100/80
15/8
110/80
16/8
110/80
17/8
120/80
18/8
120/80
119
2.73
86
113
2.72
84
118
3.71
90
129
3.2
98
129
3.11
103
134
2.99
101
130
3.05
99
1600
600
700
1500
0
1600
600
2000
1700
+1500ml
1100
600
1100
500
-100 ml
1200
600
1300
0
-500 ml
1300
600
1100
1000
+200ml
REFERENSI
13
1.
Anat Ben-Shlomo JM, Stephanie M. Gwin, Annika K. Khine, Ning-Ai Liu. Clinical factors
associated with biochemical adrenal-cortisol insufficiency in hospitalized patients. Am J
Med. 2014;127:8.
2.
David G. Gardner DS MA, David C. Aron,Martina L. Badell. Greenspan's Basic & Clinical
Endocrinology, Ninth Edition ;Glucocorticoids and adrenal androgens. 2011.
3.
4.
Sterwart P KN, editor. William Textbook of Endocrinology 12th edition; The Adrenal
Cortex: Elsevier Saunders; 2011.
5.
7.
14