Anda di halaman 1dari 150

TEKNOVASI INDONESIA

Vol. 1, No. 1, Juni 2012


ISSN : 2252-911X

Asdep Budaya Dan Etika Iptek


Deputi Bidang Kelembagaan Iptek

TEKNOVASI INDONESIA
Vol I, No.1, Mei 2012
ISSN : 2252 911X
Pembina
Menteri Riset dan Teknologi
Pengarah
Deputi Bidang Kelembagaan Iptek
Pimpinan Redaksi
Vemmie Diana Koswara
Staff Redaksi
Yety Suyeti, Suyatno, Tati H. Manurung,
Rosmaniar Dini

Alamat Redaksi
Asdep Budaya Dan Etika Iptek

Reviewer/Editor
Benyamin Lakitan (Ristek)
Carunia M. Firdausy (LIPI)
Husni Y. Rosadi (BPPT)
Siti Herlinda (DRN)
Syaikhu Usman (SMERU)
Wahyudi Sutopo (UNS)

Gedung II BPPT Lt.8


JL. M.H Thamrin 8 Jakarta Pusat 10340
Telp: 021-3169286, 021-3169276
Fax : 0213102014

Sekretariat
Octa Nugroho, Sigit Setiawan &
Tiara Elgifienda
Penerbit
Asdep Budaya dan Etika Iptek
Deputi Kelembagaan Iptek
Kementerian Riset dan Teknologi

iii

SALAM REDAKSI
Kementerian Riset dan Teknologi, selaku regulator dan fasilitator kebijakan iptek nasional
memiliki peranan penting guna mendorong terwujudnya SINas. Kesetimbangan aliran
informasi dan komunikasi yang bersesuaian diantara para aktor inovasi teknologi, baik dari sisi
pengembang maupun dari sisi pengguna teknologi di dalam SINas secara berkesinambungan
perlu terus dibangun dan dikembangkan dengan berbagai upaya.
Pembenahan SINas masih diperlukan di semua aspek, termasuk pada aspek kelembagaan,
diantaranya yaitu meliputi isu tentang: pentingnya arah dan strategi pengembangan
kelembagaan dalam rangka mewujudkan SINas; penguatan jaringan penyedia dan pengguna
iptek; memantapkan peran legislasi dalam pengaturan internal kelembagaan serta
menumbuhkan budaya dan etika dalam rangka mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi
tumbuh kembangnya SINas yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Salah satu upaya dan komitmen Kementerian Riset dan Teknologi untuk mendorong
terwujudnya SINas yang efektif, produktif dan berkelanjutan, adalah dengan menyebar
luaskan informasi terkait SINas. Untuk itu dilakukan penyusunan buku Teknovasi Indonesia
yang berisi hasil kajian/studi tentang inovasi ditinjau dari berbagai aspek.
Diharapkan informasi yang terkandung dalam buku ini dapat digunakan sebagai salah satu
acuan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam upaya memformulasikan ataupun
melaksanakan kebijakan penguatan SINas.
Teknovasi Indonesia akan terbit secara berkala dua kali dalam satu tahun. Redaksi
menerima kontribusi artikel baik dilingkungan Kementerian Riset dan Teknologi, LPNK Ristek,
maupun Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.
Masukan dan saran akan sangat bermanfaat bagi kami sebagai penyempurnaan untuk edisi
selanjutnya.

Redaksi

iv

DAFTAR ISI
Salam Redaksi................................................................................................................
Daftar Isi........................................................................................................................

i
ii

Dimensi Non Teknologi Sistem Inovasi


Benyamin Lakitan, Carunia M. Firdausy, Syaikhu Usman, Sonny Yuliar, Hasanuddin,
Vemmie D. Koswara.......................................................................................................

Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang Publik untuk Penguatan


Industri Penghasil Barang Modal Nasional
Fajar Suprapto, Sadono Sriharjo, Anita Febriyanti........................................................

39

Pemetaan Legislasi Iptek Dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi,


Dan Difusi Teknologi Pada Sistem Inovasi Nasional
Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari........................

69

Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih Teknologi


Anwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Sutanto............................

99

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Dimensi Non-teknologi Sistem Inovasi


DimensiNonteknologiSistemInovasi

a,b
c
d
e
Benyamin Lakitan
, Carunia M. Firdausy
, Syaikhu Usman
, Sonny eYuliar
,
a,b
c
d
BenyaminLakitan
,CaruniaM.Firdausy
,SyaikhuUsman
,SonnyYuliar
,Hasanuddin
f
a
Hasanuddin
, Vemmie D. Koswara
f
a
,VemmieD.Koswara

a
a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta
KementerianRisetdanTeknologi,Jakarta
b
b Universitas Sriwijaya, Palembang
UniversitasSriwijaya,Palembang
c
Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
c
LembagaIlmuPengetahuanIndonesia,Jakarta
d
d Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta
LembagaPenelitianSMERU,Jakarta
e
eInstitut Teknologi Bandung, Bandung
InstitutTeknologiBandung,Bandung
f
fUniversitas Andalas, Padang
UniversitasAndalas,Padang

Abstract
It is no possible to establish a productive and sustainable innovation system based and
focused only on research and technology development activities. It must compehensively
considerallotherinfluencingfactorssuchaseconomic,social,regulation,publicpolicy,and
political aspects. These factors may directly affect research and technology development
processesortheysignificantlyconstibuteinshapingupinnovationsystem.Slowprogressin
establishinginnovationsysteminIndonesiahasbeenassociatedmainlywithinappropriate
reseach and technology development policies that ecourage supplypush strategy and
ignorenontechologicaldimensionsoftheinnovationsystem.Therefore,amindsetchange
among innovation actors is required for ensuring new strategies could be effectively
formulated and successfully implemented. There are three fundamental changes needed:
(1)futuretechnologydevelopmentshouldbebasedandfocusedonrealneedsorproblems
(demanddriven); (2) economic, social, regulation, public policy, and political views should
beintegratedlyconsideredinestablishinginnovationsystem;and(3)Indonesiainnovation
systemshouldbedirectedtowardsatifyingdomesticmarketdemandanddesignedbased
ondomesticresources.

Abstrak
Upaya mewujudkan sistem inovasi yang produktif dan berkelanjutan tidak mungkin
dilakukan dengan hanya terfokus pada riset dan pengembangan teknologi, tetapi perlu
secara komprehensif mempertimbangkan berbagai dimensi lain yang ikut menentukan,
termasuk dimensi ekonomi, sosial, regulasi dan kebijakan publik, serta politik. Berbagai
dimensi ini dapat menjadi faktor pemengaruh langsung dalam proses pengembangan
teknologi dan dapat pula merupakan unsur pembentuk ekosistem inovasi. Kelambanan
dalammewujudkansisteminovasidiIndonesiadisinyalirkarenaselamainipengembangan
teknologinasionallebihberorientasisupplypushdanseringmengabaikanberbagaidimensi
nonteknologi.Olehsebabitu,perludilakukanperubahanmindsetagarstrategibarudapat
diformulasikan dan diimplementasikan secara efektif. Ada tiga perubahan mindset yang
dibutuhkan, yakni: (1) pengembangan teknologi perlu lebih berorientasi pada realita
kebutuhan dan persoalan (demanddriven); (2) dimensi ekonomi, sosial, regulasi dan
ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kebijakan publik, serta dinamika politik perlu diintegrasikan dalam skenario membangun
sistem inovasi; (3) sistem inovasi Indonesia perlu lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhanpasardomestikdanberbasispadapotensisumberdayadalamnegeriagarlebih
inklusifdanmandiri.

Katakunci:pertumbuhanekonomi,transformasisosial,risetdanpengembangan,
teknologi,demanddriven

1. Pendahuluan

OECD(2005)menggunakandefinisiinovasi
sebagai the implementation of a new or
significantly improved product (good or
service), or process, a new marketing
method,oraneworganisationalmethodin
business practices, workplace organisation
or external relations. Definisi inovasi ini
diposisikan sebagai definisi inovasi dalam
arti luas, karena mencakup implementasi
dari produk (barang atau jasa), proses,
metoda pemasaran, atau metoda
organisasi baru atau yang telah diperbaiki
secara signifikan, dalam praktek bisnis,
organisasi tempat kerja, atau hubungan
eksternal. Dengan demikian, dalam arti
luas, memang inovasi tak hanya berkaitan
denganteknologisemata.

Inovasi merupakan kata yang sangat


populerdan digunakandiberbagai bidang
dan/atau profesi. Keragaman pengguna
kata ini cenderung memberikan makna
ataudefinisiyangberbedatentanginovasi.
Mulaidarisebagaiungkapanringanuntuk
sesuatu yang dianggap berbeda dari yang
sebelumnya diketahui atau dilakukan,
sesuatu yang mencerminkan kreativitas,
atau kadang juga dianggap sebagai
sinonim dari invensi. Keragaman
pengertian inovasi yang beredar dalam
masyarakat
dapat
menyebabkan
kebingungan.
Dapatsajaduaataulebihindividusepakat
untuk menghargai sesuatu yang inovatif,
tetapidalambenakmasingmasingterpikir
hal yang berbeda. Ketidaksamaan
pemahaman ini tidak hanya terjadi dalam
masyarakat luas dengan latarbelakang
yang majemuk, tetapi juga terjadi antara
individu
dalam
komunitas
akademik/ilmiah. Masingmasing pakar
inovasijugamembuatdefinisidengancara
pengekspresian yang berbeda walaupun
esensipokoknyasama,sehinggadapatsaja
ditafsirkan secara berbeda oleh individu
yang sedang mencoba memahami atau
mendalamiteoriinovasi.
2

Untuk kajian ini, inovasi yang dibahas


dibatasi hanya pada inovasi teknologi,
difokuskan pada proses atau produk
barang atau jasa yang secara signifikan
telah disempurnakan atau sama sekali
berbeda dari produk barang atau jasa
serupa yang telah ada. Sebagai pembeda
dengan invensi, maka produk barang atau
jasa tersebut harus dapat memberikan
kemanfaatanbagimasyarakat.
Penegasan World Bank (2010) yang
menyatakan bahwa what is not
disseminatedorusedisnotaninnovation
2

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Namun baru sejak Solow (1957)
menemukan bahwa selain faktor kapital
dan tenaga kerja, total produktivitas dari
kedua faktor tersebut atau yang secara
tekhnis dikenal sebagai Total Factor
Productivity (TFP) memiliki kontribusi
paling penting dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Penelitian Solow
(1957) sendiri mengungkapkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat
pada awal paruh kedua abad 20 ditopang
oleh tingginya kontribusi TFP. Kontribusi
TFP yang besar tersebut terhadap
pertumbuhanekonomiterusberlanjutdan
tidak pernah tergantikan sampai saat ini,
seperti halnya di negaranegara maju di
Eropa dan beberapa negara maju Asia
terutama Jepang, Cina dan Korea Selatan.
Akibat temuan itu, pendulum strategi
pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh
berbagai negara maju berpindah dari
modelSmithkemodelSolowsampaikini.

juga diadopsi dalam kajian ini, sehingga


deskripsi inovasi yang digunakan adalah
selain baru atau secara signifikan telah
disempurnakan, juga produk barang atau
jasa tersebut juga merupakan hasil dari
aplikasiteknologi.
Produk teknologi hanya dapat disebut
sebagai inovasi jika dan hanya jika produk
tersebut digunakan. Pengguna produk
inovasi tersebut secara garis besar di
bedakan atas tiga kelompok utama, yakni
industri,
masyarakat,
dan
pemerintah.Dengan demikian, maka
keberhasilan membangun sistem inovasi
tidak hanya ditentukan oleh teknologinya
semata, tetapi juga akan ditentukan
berbagai faktor yang berkaitan dengan
(calon) penggunanya, serta ekosistem
dimana para pengguna tersebut berada.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk
memahami berbagai faktor nonteknologi
yang akan ikut menentukan keberhasilan
dalammembangunsisteminovasi.

TentusajatinggirendahnyaTFPdarimodal
dan tenaga kerja tidak datang dengan
sendirinya. Menurut Romer (1990), hal
tersebut dipengaruhi dari hasilhasil
penelitian dan pengembangan (litbang) di
satu pihak dan kualitas sumberdaya
manusia (SDM) di lain pihak. Besarnya
peranpenelitiandanpengembanganserta
kualitas SDM yang relatif tinggi tersebut
merupakan buah dari kebijakan investasi
yang padu dalam bidang sains, teknologi,
inovasi dan human capital yang dilakukan
negaranegaramajutersebut.

2. DimensiEkonomi
Keberhasilan negaranegara maju dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatanperkapitapenduduknyatelah
mendorong negaranegara berkembang
untuk mencari tahu faktor dominan
penyebab keberhasilan tersebut. Pada
pertengahan revolusi industri, faktor
dominan yang menyebabkan negara maju
berhasil mensejahterakan penduduknya
yaknidisebabkanolehfaktormodal(K)dan
tenaga kerja (L) (Smith, xxxx). Temuan ini
kemudian menjadi model utama strategi
pertumbuhan ekonomi di berbagai negara
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
penduduknyaselamabertahuntahun.

ISSN : 2252-911X

2.1. PelajarandariAsiaTimur.
Inovasi bagi negara berkembang nyaris
tidak berasal dari hasil penelitian dan
pengembangan. Kontribusi inovasi dari
hasil penelitian dan pengembangan di
3

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
negara berkembang diperkirakan hanya
mencapai20persen,sedangkan80persen
sisanya bersumber dari negara maju
(Brahmbhatt dan Hu, 2007). Di antara
negara di Asia Timur yang inovasinya
bersumber dari hasil litbangadalah Korea
Selatan, Singapore dan Cina. Bahkan
ketiga negara ini telah memiliki institusi
litbangdan jumlah paten sekelas negara
maju.Haliniantaralainkarenadanauntuk
pengembangan litbangdi ketiga negara ini
telahmenyamainegaramajuyangberkisar
antara 1,5 sampai 2 persen dari total
Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Oleh
karenaitu,tidakanehjikaketiganegaraini
mampu mencapai pertumbuhan ekonomi
tinggi dan penduduk yang lebih sejahtera
dibandingkan negara berkembang Asia
Timurlainnya.

inovasinya. Cina juga menunjukkan pola


yang serupa dimana peningkatan
kemampuan inovasi diperoleh melalui
pembelajaran teknologi pada awalnya,
dilanjutkan dengan peningkatan aktivitas
litbang yang mendukung kemampuan
inovasi. Pentingnya litbangdalam
menghasilkan inovasi dan pembelajaran
didukung oleh pemikiran Cohen and
Levinthal(1989)sepertidisebutkandiatas
bahwa : R&D itself has two faces:
Innovationandlearning.
Sebaliknya, bagi negara berkembang di
Asia Timur yang belum memiliki
kemampuan
membangun
inovasi
melaluilitbang,
sumber
inovasinya
terutama berasal dari proses adopsi dan
adaptasidari produk, proses dan metoda
yang ada. Ini artinya semua inovasi di
negara berkembang merupakan produk
baru di negara itu sendiri, tetapi tidak
merupakan produk baru pada tingkat
global. Adapun sumber dari produk baru
tersebut yakni dari perusahaan maupun
industrinegaranegaramaju.

Sebagaicontoh,peningkataninovasiKorea
Selatan yang sangat pesat dalam kurun
waktu tiga dekade (1960an sampai
dengan 1980an) yang kemudian
menempatkan Korea Selatan sebagai
bangsa yang berdaya saing tinggi, lebih
banyak ditentukan oleh pembentukan
berbagai institusi pengembang pendidikan
dan pelayanan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mendukung sektor industri
dalam melakukan pembelajaran teknologi
melaluialihteknologiasing.

Eaton dan Kortum (1996) memperkirakan


sekitar 80 persen dari inovasi yang
dihasilkannegaraberkembangberasaldari
teknologi negaranegara dalam kelompok
OECD, diluar Jepang dan Amerika. Oleh
karena itu, terobosan inovasi di negara
berkembang sangat tergantung dari
perkembangan teknologi negara maju.
Bottazi dan Peri (2005) memperkirakan
bahwa setiap kenaikan satu persen
litbangdi Amerika menghasilkan 0.35
persenkenaikanpatenbaginegaranegara
anggota OECD. Adapun akses masuk dari
inovasi teknologi negara maju ke negara
berkembang tersebut tergantung antara
lain dari perdagangan, investasi dan
bentuk kerjasama ekonomi lain baik yang

Korea Selatan yang baru pada awal tahun


1990an bertumpu pada kegiatan litbang
untukmenghasilkanilmupengetahuandan
teknologi yang mendukung kemampuan
inovasi,
perkembangannya
sangat
menakjubkan, meskipun tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketergantungan
kepada teknologi luar, terutama dari
AmerikadanJepang.
Demikian pula dengan pengalaman China
dalam
peningkatan
kemampuan
4

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
dilakukan oleh perusahaan swasta,
lembaga litbang publik, perguruan tinggi,
maupun lembaga litbang lainnya
(BrahmbhattdanHu,2007).

Ayyagari et.al. (2006) mendapatkan


beberapa korelasi dari perusahaan dalam
kelompok
ini
di
negaranegara
berkembang.Pertama,inovasidengancara
menghasilkan produk baru dari produk
yang telah ada maupun metoda inovasi di
atas cenderung dominan baik pada
perusahanyangbaruberkembangmaupun
perusahaan besar. Kedua, perusahaan
yangberadadinegaradenganpendapatan
per kapita yang relatif rendah umumnya
melakukan cara inovasi seperti ini,
sedangkan perusahaan yang berada di
negara dengan pendapatan per kapita
yang relatif tinggi cenderung melakukan
inovasi dari hasil litbangnya. Ketiga,
tingkat inovasi perusahaan memiliki
korelasi kuat dengan jenis dan besar
sumber pendanaan eskternal perusahaan.
Keempat, tingkat inovasi memiliki korelasi
yang positif dengan tingkat persaingan
yangdihadapiperusahaan.

Penelitian World Bank (2005)dalam


Brahmbhatt dan Hu(2007). menemukan
bahwa bagi negaranegara yang tingkat
kemajuan litbangnya relatif lemah, maka
upaya yang dilakukan dalam membangun
inovasi di negara tersebut adalah dengan
cara memperkenalkan produk baru atau
denganmelakukanperbaikanprodukyang
ada maupun dengan cara menghasilkan
produk baru dari produk lama yang
dihasilkan sebelumnya. Diperkirakan
perusahaan swasta atau industri yang
melakukan cara ini mencapai 40 persen
baik di negara negara berkembang Asia
Timur maupun negara berkembang
lainnya.
Perusahaan swasta di negara berkembang
Asia Timur khususnya (Cambodia,
Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand
dan Vietnam) dominan dalam melakukan
perbaikan produk dari produk yang ada.
Hal ini sebagai akibat ketergantungan
ekspornya di satu pihak dan kebutuhan
untuk merespon perubahan yang cepat
dari spesifikasi produk yang diminta oleh
pembeli. Selain itu, perusahaan
perusahaan ini juga cenderung melakukan
outsourcinguntuk beberapa bagian dari
kegiatan operasi usahanya untuk
mengurangi biaya produksi agar menjadi
lebih kompetitif. Perusahan dalam
kelompok ini diidentifikasi berasal dari
Cambodia dan Thailand, sedangkan
perusahaan di Indonesia dan Malaysia
relatif lebih sedikit yang melakukan cara
inovasisepertiini.

Adapuncaraperusahaandinegaradengan
pendapatan rendah dan sedang di Asia
Timur khususnya dalam menyerap
pengetahuan atau teknologi yang berasal
dari luar negeri umumnya didominasi
dengancaramemasukanteknologimelalui
impor mesin atau peralatan baru.
Sedangkan cara dominan kedua yakni
dengan melakukan kerjasama dengan
perusahaan dari negara maju maupun
dengan cara memperkerjakan para ahli
yang berasal dari negara maju tersebut.
Detail persentase dari perusahaan di
negara Asia Timur dengan pendapatan
rendah dan sedang berdasarkan cara
inovasiyangdilakukandisajikanpada

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Tabel1.Carainovasiyangdilakukanbeberapanegaraasiatimurdenganpendapatan
sedangdanrendah(persentase)
CaraInovasiyang
dilakukan

Cambodia

Indonesia

Malaysia

Philipina

Thailand

Ratarata

Tercakupdalam
paketpengadaan

42.1

48.7

49.9

43.0

33.1

43.4

Bekerjasama
denganrekanan

11.9

15.1

8.6

9.7

17.2

12.5

Mempekerjakan
tenagaahli

14.5

17.9

11.4

14.2

3.0

12.2

Dikembangkan
sendiri

16.1

4.7

7.2

8.3

19.4

11.1

Ditransferdari
perusahaaninduk

6.0

2.7

11.0

4.3

11.8

7.2

Dikembangkan
bersamapemasok

1.6

7.0

5.2

5.0

7.2

5.2

Lainnya

7.8

3.9

6.7

15.5

8.2

8.4

Sumber:BankDunia(2005)InvestmentClimateSurveysdalamBrahmbhattandHu(2007).

Selainmetodamembanguninovasidiatas,
terdapat empat cara lain yang dilakukan
dalammembanguninovasiyangdilakukan
di negara Asia Timur. Empat cara
dimaksud adalah memanfaatkan teknologi
impor, pembelajaran dari eksporproduk,
lisensi, dan pemanfaatan investasi
langsung asing (Foreign DirectInvestment,
FDI).Caramemanfaatkanteknologiimpor
dilakukan antara lain dengan reverse
engineering dari teknologi impor.
Sedangkan
metoda
inovasi
yang
bersumber dari pembelajaran ekspor
dilakukan antara lain dengan melakukan
kerjasama dengan konsumen di negara
negara maju khususnya dalam ekspor
peralatanmesindantransportasi.

Dalam sistem OEM (Original Equipment


Manufacturing), perusahaan pemasok
yang berasal dari negara berkembang
melakukan produksi sesuai dengan
spesifikasi rancangan yang diminta
pembeli dari luar negeri. Produk yang
dihasilkan ini kemudian dieskpor dengan
menggunakan merek sendiri melalui
saluran distribusi international. Korea
SelatandanTaiwanmerupakanduanegara
di Asia Timur yang banyak melakukan
inovasi seperti ini. Di Korea selatan,
misalnya, sebanyak 7080 persen dari
produk ekspor elektronik melakukan cara
inovasi seperti ini. Sedangkan di Taiwan
persentase produk ekspor dengan cara
inovasi seperti ini diperkirakan lebih dari
40persen.Carainovasisepertiinisemakin
6

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
gencar juga diikuti oleh perusahan
manufakturCinabelakanganini(Hobday,
1995).

saing produk teknologi nasional belum


menggembirakanditingkatglobal.
Berdasarkan kajian yang dilakukan World
Economic Forum (2010), posisi daya saing
produk teknologi pada lingkungan global
(Global
Competitiveness
Index
GCI)pada20102011 menunjukkan bahwa
Indonesiamenempatiperingkatke44dari
139 negara. Peringkat ini jauh lebih baik
dibandingkanposisidayasaingpadatahun
20092010 yang berada di peringkat 54
dari133negara(Tabel2).Terlebihlagijika
peringkat daya saing periode 20102011
tersebut dibandingkan dengan peringkat
daya saing yang dicatat pada periode
20052006. Pada periode 20052006
peringkat daya saing Indonesia berada
pada posisi 74 dari 117 negara. Di antara
negaranegara ASEAN, peringkat daya
saingIndonesiahanyalebihbaikdibanding
Filipina dan Vietnam, tetapi masih tetap
tertinggaljauhdibelakangnegaraThailand,
Malaysia,danSingapura.

Pengembangan
inovasi
dengan
memanfaatkanmasuknyainvestasiasingdi
negara Asia Timur juga tidak kalah
pentingnya. Singapura, misalnya,
membuka penanaman modal asing (PMA)
dimaksudkan
untuk
mempercepat
pembangunanteknologidinegaranya.Hal
yang sama juga dilakukan Cina dengan
penekanan melalui cara usaha patungan
(joint ventures). Begitu pula dengan
negaraAsiaTimurlainnyasepertiMalaysia,
Philipina, Indonesia dan Thailand. Namun
khusus untuk keempat negara ini, tingkat
inovasi yang dilakukan lebih rendah dan
nyaris seluruhnya berasal dari teknologi
luar negeri tanpa sentuhan teknologi
domestik(Firdausy,2010).
Dari uraian singkat tentang pengalaman
dan pelajaran di atas jelas bahwa negara
negara berkembang dengan pendapatan
per kapita rendah dan sedang di Asia
Timurbelumbanyakmenghasilkaninovasi
yang bersumber dari litbangdomestik.
Oleh karena itu, masuk akal jika tingkat
pertumbuhanekonomidinegarainisangat
rentan terhadap krisis ekonomi yang
terjadi di dalam negeri, apalagi terhadap
krisisglobal.

Namun jika perhitungan peringkat daya


saing global tersebut dilihat dari tiga pilar
yang lebih spesifik yakni kebutuhan dasar
(basic requirements), pemacu efisiensi
(efficiency enhancers) dan inovasi
(innovation and sophistication), maka
khusus untuk pilar inovasi, peringkat
Indonesia relatif jauh lebih baik
dibandingkan negara Thailand, Vietnam
dan Philipina. Peringkat Indonesia untuk
inovasi pada tahun 2009 berada pada
posisi47,sedangkanThailanddiperingkat
54, Vietnam di posisi 57 dan Philipina di
posisi 76 dari 134 negara yang disurvei.
PeringkatinovasiIndonesiaterusmembaik
sejak tahun 2007 dari ke54 (dari 131
negara) menjadi urutan ke36 pada tahun
2010(WorldEconomicForum,2010).

2.2. Potret Inovasi dan Daya Saing


Indonesia
Potret umum kemampuan inovasi di
Indonesia masih tergantung pada proses
adopsi dan adaptasi teknologi dari luar
sehingga inovasi yang dihasilkan menjadi
bersifat baru hanya di pasar domestik,
tetapi tidak di lingkungan pasar global.
Akibatnya, tidak mengherankan jika daya
ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa
kemampuaninovasinasionalsecararelatif
menunjukkan perbaikan. Namun
demikian, capaian ini masih perlu terus
ditingkatkan serta diimbangi dengan
peningkatan kapasitas adopsi para
pengguna teknologi dalam negeri, agar
dapat memberikan sumbangan nyata bagi
pembentukan
keunggulan
posisi
(positionaladvantage)Indonesiaditengah
dinamika perdagangan global saat ini.

Apalagi pada tahun 2015, Indonesia


bersama dengan 9 negara di ASEAN
lainnya akan membentuk Masyarakat
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community), sehingga persaingan di pasar
domestik akan semakin terpengaruh
dengan membanjirnya produkproduk
substitusi dari ASEAN dan negara lainnya
dengan basis teknologi yang lebih
kompetitif.

Tabel2.PeringkatDayaSaingIndonesia20092010dan20082009
GCI200910

GCI2008
09

Ranking

Skor

Ranking

5.60

United
States

5.59

Singapore

5.55

Sweden

5.51

Denmark

Finland
Germany

GCI200910

GCI200809

Ranking Skor

Ranking

19

5.00

13

24

4.87

21

Israel

27

4.80

23

China

29

4.74

30

5.46

Brunei

32

4.64

39

5.43

Thailand

36

4.56

34

5.37

Kuwait

39

4.53

35

5.37

Puerto
Rico

42

4.48

41

5.33

10

South
Africa

45

4.34

45

Netherlands 10

5.32

India

49

4.30

50

Taiwan,
China

5.20

17

54

4.26

55

Negara

Switzerland

Japan
Canada

12

Negara

Korea,
Rep.
Malaysia

Indonesia

Sumber:dicuplikdariWEF(2010)

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
teknologi ini, Malaysia telah jauh
meninggalkan Indonesia, yakni berada di
peringkat 37, dan bahkan Indonesia saat
ini berada di bawah Vietnam (peringkat
73). Oleh karena itu perhatian untuk
memperbaiki ketiga indikator di atas
diperlukan agar kemampuan inovasi dan
posisidayasaingnasionalmeningkat.

2.3. IsuIsu Penting dalam Membangun


Inovasi.
Inovasi atau TFP memegang peranan
utama dalam pertumbuhan ekonomi,
selain peranan modal dan SDM.Untuk
mendorong kemampuan inovasi nasional
tersebut, maka beberapa isu berikut ini
perlumendapatperhatian.

Kedua, isu yang menyangkut cara


membangun kemitraan inovasi secara
institusional antara kalangan akademisi
dan pemerintah dengan pihak industri.
Kondisi kemitraan inovasi semacam ini di
Indonesia belum terbangun dengan baik.
Diduga saat ini industri di Indonesia
cenderung lebih mengandalkan hubungan
individual
dibanding
hubungan
institusional.Faktainididukungolehhasil
survei inovasi industri manufaktur di
Indonesia yang dilakukan oleh LIPI (2009)
yang menunjukkan bahwa sebagian besar
kegiatan inovasi tersebut dilakukan oleh
pihak perusahaan, dan anggaran litbang
sebagianbesarbersumberdariperusahaan
itusendiri(94.9%).

Pertama, isu yang menyangkut pilihan


inovasi. Dalam konteks nasional,
penekananinovasiuntukmemperbaikiTFP
tidak dapat difokuskan hanya untuk
memperoleh atau menghasilkan produk,
proses, dan metoda baru pada tingkat
global, melainkan juga dalam pengertian
yang lebih sempit pada tingkat
perusahaan, masyarakat atau konteks
tertentu. Hal ini disebabkan karena
kemampuan inovasi atau daya saing
teknologi nasional masih relatif rendah
sehinggaupayamenghasilkaninovasipada
tingkat global relatif belum perlu untuk
diprioritaskan. Inovasi yang perlu
dikembangkan di Indonesia adalah inovasi
yang dihasilkan dengan lebih
memanfaatkan produk, proses dan
metoda
yang
berbeda
dengan
pengetahuan dan teknologi yang ada dan
dapat dimiliki, tetapi berbasis pada
sumberdayanasionaldan/ataulokal.

Dengan kegiatan dan proporsi anggaran


demikian, maka perusahaan tampak lebih
memilih menggunakan tenaga profesional
lepas dari komunitas akademisi untuk
melakukan
kegiatan
inovasi
di
perusahaannya.Meskipundemikian,tetap
masih ada beberapa kelompok industri
yang melakukan kegiatan litbang dengan
memberikan dana litbang secara
institusional kepada institusi akademik.
Indikasi ini ditunjukkan oleh ratarata
anggaran litbang perusahaan yang
dialokasikan untuk pihak lain (anggaran
ekstramural)yangrataratakurangdari25
%(LIPI,2009).

Dari hasil evaluasi komponen dalam


menetapkan indeks daya saing global
tahun 20092010, tercatat tiga indikator
yang relatif sangat buruk, yakni berada
pada peringkat di atas 80 dari 134 negara
yangdisurvei.Ketigapilardimaksudterdiri
dari
infrastruktur (peringkat 86),
pendidikan dan kesehatan (peringkat 87)
dan kesiapan teknologi (technology
readiness) yang berada pada posisi 88.
Sebagai bandingan, untuk pilar kesiapan
ISSN : 2252-911X

Ketiga, isu yang berkaitan dengan


rendahnya kualitas pendidikan atau
9

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
terbatasnyajumlahSDMdilembagalitbang
swasta atau industri dibandingkan dengan
kualitas dan ketersediaan SDM di
lembagalitbangpublik.Tingkatpendidikan
SDM di litbang publik jauh lebih baik
daripadatingkatpendidikanSDMdilitbang
perusahaan swasta (Tabel 3). Tercatat
lebih dari 34 persen peneliti di lembaga
litbang publik berpendidikan minimum
magister (strata 2), sementara hanya 3,7
persen peneliti di litbang perusahaan
swasta yang berpendidikan minimum
magister.

ini telah terjadi: (1) industri yang


dikembangkan bukanlah industri yang
membutuhkan inovasi dengan dukungan
litbangyanghandal;(2)kegiatanlitbangdi
perusahaan
dilakukan
dengan
memanfaatkan tenagatenaga akademisi
secara personal, dan hanya 25%
perusahaan swasta manufaktur yang
melakukan hubungan secara institusional
dengan universitas dan lembaga litbang
publik; dan (3) perusahaan lebih
memanfaatkan litbang di luar negeri atau
perusahaan prinsipalnya untuk melakukan
kegiatan litbang. Fenomena ini dikenal
sebagai open innovation, dimana inovasi
yang dihasilkan tidak saja mengandalkan
kemampuan
inovasi
dari
dalam
perusahaan tetapi juga dari luar
perusahaan.Dalameraglobalisasisaatini
dengan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi,
kecenderungan
open
innovationakansemakinmenguat.

Tabel3.Perbandingankualifikasipendidikan
SDMdilembagalitbangpublikdanswasta
Jenjang
Pendidikan

KomposisiSDM(%)
Litbang
Publik

Litbang
Swasta

S3

8,62

0,24

S2

25.65

3,43

S1

36,55

54,21

Diploma

29,17

42,12

Sementara itu, investasi SDM di litbang


perusahaan/swasta relatif kecil sehingga
salah satu strategi yang berpotensi untuk
dilakukan adalah difusi ilmu pengetahuan
antara lembaga litbang publikdan swasta.
Kondisi tersebut seharusnya mendorong
terjadinya mobilitas SDM antara dua
sektor tersebut untuk mendukung difusi
ilmu pengetahuan. Namun fakta di
lapanganmenunjukkanbahwahaltersebut
sulitterjadi.

Keempat,isuyangmenyangkutrendahnya
kemampuaninovasiindustridalamnegeri.
Selama 10 tahun terakhir tercatat
kemampuan inovasi industri dalam negeri
belum menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Dari hasil survei LIPI (2009) di
industri manufaktur tercatat bahwa
intensitasteknologidiindustrimanufaktur
didominasioleh industriteknologirendah,
yaknilebihdari50persendaritotalluaran
yang dihasilkan industri manufaktur (LIPI,
2009). Kondisi ini menunjukkan betapa
rendahnya anggaran litbang yang
dikeluarkan pihak industri, sementara
upaya untuk membentuk kondisi
kemitraan inovasi antara lembaga litbang
publik dan litbang industri juga belum
optimal.

Dengan kondisi SDMlitbang perusahaan


yang terbatas, maka tiga implikasi berikut

Negaranegara yang perekonomiannya


maju umumnya ditandai dengan

Sumber:LIPI(2010)

10

10

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
kemampuan
inovasi
dan
alokasi
pembiayaan litbang industri yang tinggi.
Sebagai contoh, secara nasional alokasi
dana untuk membiayai kegiatan litbang di
Jepang mencapai sekitar 3,3% GDPnya,
dimana kurang dari 0,8% saja yang
bersumber dari dana pemerintah,
selebihnya (lebih dari 2,5%) dibiayai oleh
industri. Israel sebagai negara dengan
alokasi dana litbang tertinggi (sekitar
4,25% dari GDP), juga hanya sekitar 0,6%
yang bersumber dari dana pemerintah.
Fenomenayangsamajugaterjadidisemua
negaraanggotaOECD(OECD,2011).

Salah satu caranya yakni dengan


menetapkankebijakankuotapemanfaatan
risetdalamnegeri.Halinibertujuanuntuk
secara halus memaksa industripengguna
untuk berinteraksi dengan peneliti yang
terkait dengan pengembangan produk
melalui kegiatan litbang. Kebijakan kuota
tersebut juga diharapkan mampu
membuat peneliti bersemangat untuk
melakukan riset yang aplikatif dan
bermanfaat bagi pengguna. Dengan
demikian, diharapkan akan terwujud
kondisi kebergantungan antara pengguna
denganpeneliti.

Kelima, isu yang menyangkut masalah


sinergi antara kegiatan penelitian dengan
kebutuhan industri pengguna. Interaksi
yangefektifduaarahantarapihakpeneliti
dan industri merupakan modal utama
terbentuknya sinergi dalam meningkatkan
difusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Merujuk pada konsep SINas, dimana
interaksi antar elemenelemen inovasi
menjadi fokusutama,maka interaksiyang
efektif tersebut berperan penting dalam
penguatanSINasdiIndonesia.

Isu yang juga harus menjadi perhatian


yakni berkaitan dengan kebijakan
kebijakan pendukung kegiatan litbang.
Penyusun regulasi atau kebijakan
seringkalimengabaikanaspeksosial.Salah
satunya adalah dalam rumusan kebijakan
pendidikan.
Pentingnya
perhatian
terhadap kebijakan pendidikan ini
mempengaruhi
iklim
kegiatan
pembelajaran dan penelitian di Indonesia.
Takhanyaditingkatuniversitas,kebijakan
pendidikaniniharusdiperbaikidaritingkat
pendidikan dasar, untuk menumbuhkan
budaya inovasi dan pembelajaran yang
lebih baik, terutama dalam hal
peningkatandifusiilmupengetahuanserta
penguatankapasitasadopsiinovasi.

Upaya rintisan untuk meningkatkan


interaksi dan koordinasi tersebut telah
diinisiasi, antara lain melaluiOpen Method
of Research Coordination (OMRC) di DRN,
PortalTelusurIptek(POTENSI)diBPPT,dan
Garba Rujukan Digital (Garuda) di DIKTI.
Walaupun demikian, upaya upaya
tersebut masih relatif baru dimulai
sehingga perlu sosialisasi intensifagar
dapatlebihberkembangdanbermanfaat.

3.DimensiSosial.
Pengembangan teknologi perlu dirancang
seimbang
antara
mendukung
pertumbuhan ekonomi dan menyiapkan
proses transformasi sosial, sehingga
keduanya dapatberjalan secara paralel.
Kegiatan litbang dapat dikategorikan
suksesjikamampumenghasilkanteknologi
yang secara nyata dan signifikan

Keenam, isu terkait dengan penguatan


SINas.DalamhaliniagarpenguatanSINas
terwujud dibutuhkan penguatan serta
integrasi kebijakankebijakan terkait
dengan kegiatan penelitian di Indonesia,
baik langsung maupun tidak langsung.
ISSN : 2252-911X

11

11

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
memberikan
kontribusi
terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional dan
sekaligus juga berdampak positif terhadap
kesejahteraan sosial masyarakat (Gambar
1).

Ketergantungan ini telah menjadi


perangkap yang sulit untuk keluar, karena
jika sarana produksi tidak disubsidi maka
usahatani tanaman pangan akan merugi.
Jika rugi maka tidak ada petani yang
termotivasi untuk melakukan kegiatan
usahatani tanaman pangan atau tetap
melaksanakannya tetapi hanya untuk
tujuan memenuhi kebutuhan sendiri
(subsisten), sehingga secara makro akan
meruntuhkan ketahanan pangan nasional.
Jika opsi lain yang dipilih agar usahatani
tanaman pangan menguntungkan, yakni
dengan menaikkan harga komoditas
tanaman pangan, maka jelas akan
menambah beban para konsumen dan
sangat potensial untuk mengganggu
stabilitas nasional. Ongkos politik yang
harus ditanggung oleh pemerintah
mungkinakansangatmahal.

Selanjutnya, jika teknologi yang dihasilkan


mampu
mendorong
pertumbuhan
ekonomi tetapi tidak secara paralel
mendoronglajuprosestransformasisosial,
maka pertumbuhan ekonomi tersebut
dapat menjadi bumerang, karena akan
meningkatkan
ketergantungan
masyarakat. Contoh yang mudah dilihat
adalah keberhasilan pengembangan
teknologi pertanian yang mampu
meningkatkan produksi pangan nasional,
tetapi tidak secara nyata meningkatkan
kesejehteraan
petani
sebagaimana
diindikasikandaritidakmeningkatnyaNilai
TukarPetani,maka akibatnyapetaniterus
tergantungpadasubsidipemerintahuntuk
mendapatkan sarana produksi dengan
hargaterjangkauagarusahatanitanaman
pangantidakmerugi.

Secara
teoritis,
teknologi
dapat
mendorong transformasi sosial, misalnya
jenis teknologi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kualitas layanan publik di
sektor
pemerintahan,
pendidikan,
kesehatan, dan keagamaan. Teknologi
informasi dan komunikasi dapat sangat
bermanfaat
dalam
mendorong
transparansi dan akuntabilitas instansi
pemerintah, selain untuk mendukung
peningkatan kualitas pendidikan dalam
rangka
meningkatkan
kecerdasan
intelektual dan spiritual; serta berbagai
teknologi
kesehatan
yang
dapat
meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Namun proses transformasi sosial yang
didorongolehteknologiinisecaradefacto
sangat tidak mungkin untuk diisolir dari
kemungkinan dampak tidak langsungnya
terhadappembangunanekonomi.

Tinggi

Ketergantungan

Sukses

Rendah

Pertumbuhan
Ekonomi

Gagal

Rendah

Tinggi

TransformasiSosial

Gambar1.Kuadranteknologi
berdasarkankontribusinyaterhadap
pertumbuhanekonomidantransformasi
sosial(Usman,2011)

12

12

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sering terjadi akibat: (1) introduksi
teknologi tidak memperhatikan kapasitas
adopsimasyarakatsebagaicalonpengguna
potensialnya; (2) kapasitas adopsi
penggunahanyadilihatdaridimensiteknis
semata,
dengan
mengabaikan
pertimbangan ekonomi dan sosiokultural;
(3) semua dimensi kapasitas adopsi sudah
diperhatikantetapiteknologiyangditawar
tidak mempunyai prospek untuk
memberikan keuntungan tambahan bagi
penggunanya, baik berupa keuntungan
finansial
maupun
dalam
bentuk
kemudahan dan kenyamanan dalam
melaksanakankegiatanekonomiataunon
ekonomi.

Pada akhirnya tentu selalu ada


kemungkinan bahwa teknologi yang
dikembangkan tidak mampu berkontribusi
terhadap upaya memacu pertumbuhan
ekonomi maupun mendorong proses
transformasi sosial, bahkan bukan tidak
mungkin bahwa suatu teknologi dapat
berdampak negatif secara ekonomi dan
sosial. Teknologi yang masuk kelompok
(tidak berdampak atau malah berdampak
negatif) ini layak dikategorikan sebagai
teknologiyanggagal.Kejadianinimungkin
terjadi jika proses perencanaan riset dan
pengembangan teknologi tersebut tidak
berbasis pada realita kebutuhan dan/atau
persoalan yang dihadapi masyarakat atau
negara.

Uraian tentang kendala adopsi teknologi


ini memberikan ilustrasi bahwa setiap
teknologi yang akan dikembangkan tidak
bolehhanyafokuspadadimensiteknisnya
semata,
tetapi
perlu
selalu
mengintegrasikan dimensi ekonomi dan
sosiokultural
para
pihak
yang
diproyeksikanmenjadipenggunanya,serta
juga proses pengembangan teknologi
tersebuttidakbolehdiisolirdariekosistem
dimana
ia
dikembangkan
dan
diproyeksikanakandigunakan.

3.1. Introduksiteknologiperludibarengi
dengantransformasisosial.
Pada era perdagangan yang semakin
terbuka serta didukung kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi yang
sedemikian pesat sehingga upaya
mengaksesinformasitelahmenjadimudah
dan murah, maka introduksi teknologi
hanya akan berpeluang untuk diadopsi
olehparapenggunajikateknologitersebut
handalsecarateknisdankompetitifsecara
ekonomi. Namun demikian, kalaupun
kedua dimensi keunggulan teknologi ini
(teknis dan ekonomis) telah dimiliki, tetap
saja tidak menjamin secara otomatis
bahwa teknologi tersebut akan digunakan
oleh industri, masyarakat, maupun
pemerintah.

Lakitan (2010) mengingatkan bahwa


sebuah sistem inovasi hanya dapat
diwujudkan jika: (1) informasi kebutuhan
dan persoalan yang dihadapi oleh para
pengguna teknologi dapat diterima dan
dipahami dengan tepat dan komprehensif
oleh para pengembang teknologi; dan (2)
teknologi yang dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dan/atau untuk solusi
persoalan yang dihadapi, serta sepadan
dengan kapasitas adopsi para pengguna
teknologi.

Cukup banyak contoh introduksi teknologi


ke masyarakat yang gagal akibat kealfaan
dalam
mempertimbangkan
dimensi
sosiokultural dan/atau kapasitas ekonomi
masyarakat penerimanya. Kealfaan ini
ISSN : 2252-911X

Prasayarat yang pertama membutuhkan


kepercayaan dari pihak pengguna untuk
13

13

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
3.2. Ketergantunganmasyarakatakibat
lambannyatransformasisosial.

berbagi
informasi
dengan
pihak
pengembangteknologi,dipadukandengan
sensitivitasdankesungguhanpengembang
teknologi untuk memahami kebutuhan
dan/atau persoalan para pengguna
teknologi;sedangkanprasyaratyangkedua
dimulai dengan pengembangan paket
teknologi
yang relevan terhadap
kebutuhan dan sesuai dengan kapasitas
adopsipadapenggunapotensialnya.

Jikateknologihanyamampuberkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi
tidak diimbangi dengan transformasi
sosial, maka dapat berdampak pada
meningkatnya ketergantungan masyarakat
pada sumber pengembang teknologi
tersebut untuk aplikasi selanjutnya
(Usman, 2011). Jika introduksi teknologi
tersebut difasilitasi oleh atau ada bentuk
campur tangan lainnya dari pemerintah,
maka tumpuan masyarakat untuk
keberlanjutan implementasi teknologi
tersebut akan bergantung pada peran
pemerintah. Secara kumulatif, kondisi
yang seperti ini dapat menyebabkan
akumulasi beban pemerintah yang
semakinlamaakansemakinberat.

Dengan demikian, jika mengacu pada


amanah konstitusi (Pasal 31 ayat (5)
UndangUndang Dasar 1945) yang secara
tegas menyatakan bahwa pembangunan
iptek adalah untukmemajukanperadaban
dan menyejahterakan umat manusia,
makamenjadijelasbahwapengembangan
teknologi hanya dapat disebut sukses jika
sistem inovasi juga dapat diwujudkan
sehinggamembukapeluangbagiteknologi
untuk secara langsung berkontribusi
terhadap perekonomian nasional dan
kesejahteraanrakyat.

Introduksi teknologi budidaya tanaman


pangan dalam bentuk penyediaan bibit
ungguldansaranaproduksipendukungnya
(terutama pupuk anorganik dan pestisida)
yang selama ini dilakukan pemerintah
untuk memacu peningkatan produksi
pangan nasional telah berdampak pada
sulitnya pemerintah mengurangi beban
subsidi pertanian sampai saat ini.
Walaupun tentunya ada berbagai
pertimbangan politis dan ekonomi lainnya
yang mengakibatkan sulitnya mengurangi
bebansubsidiini.

Dalam konteks saat ini, langkah utama


yangperludilakukanadalahmensejajarkan
posisi teknologi dengan kapasitas sosial
ekonomi masyarakat Indonesia, baru
setelah
itu
menata
agar
laju
perkembangan teknologi agar seiring
sejalan dengan laju proses transformasi
sosial.Ketimpanganantarakeduanyaakan
berdampak pada rendahnya efektivitas
dan efisiensi pengelolaan sumberdaya
(alam, manusia, dan pembiayaan) dalam
proses pengembangan teknologi dan
dalammendorongpertumbuhanekonomi.

Pengembangan teknologi dan penyiapan


SDM berjalan bergandengan dan saling
pengaruhsecaratimbalbalik.Kemampuan
bangsa
dalam
menguasai
dan
mengembangkan
teknologi
sangat
tergantungpadakualitassumberdayayang
dimiliki. Sebagai salah satu indikator
penaksir kualitas SDM yang umumnya
digunakan adalah jenjang pendidikan
formal ratarata dari penduduk suatu

14

14

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
negaradan/ataupersentasepopulasiyang
menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi.
Asumsi dasarnya adalah mutu pendidikan
tinggi dipelihara standarnya dan tidak
dikorbankan untuk kepentingan lain yang
bersifatnonakademik.

indikasi bahwa batuan pemerintah dalam


bentuk dukungan pembiayaan atau
pinjaman modal usaha sering dianggap
oleh komunitas penerima sebagai donasi,
sehingga dianggap tidak perlu dikelola
secara
sungguhsungguh
dan
dipertanggungjawabkan, akibatnya hanya
sedikit yang menunjukkan keberhasilan.
Sebaliknya, ada juga indikasi bahwa
kegiatan pemerintah yang diproyekkan
(Usman, 2011) sehingga misinya dalam
membangun
bangsa
atau
menyejahterakan rakyat tergerus oleh
kepentingan personal dari pihakpihak
yang terkait. Persoalan integritas dan
moraljugamerupakanisusosialyangperlu
ditransformasikearahyanglebihpositif.

Selain relevansinya dengan kebutuhan


nyata,implementasiteknologijugamutlak
membutuhkan SDM yang cakap. Negara
perlu menyiapkan tenaga kerja yang
berpengetahuancukupdanterampiluntuk
melaksanakan pekerjaan. Sertifikasi
profesidapatmenjaditooluntukmenakar
kualitas tenaga kerja, baik dari kadar
pengetahuan maupun keterampilannya,
dengan asumsi bahwa sertifikat profesi
benar mencerminkan kapasitas kerja para
pemegangnya.

Pemahaman tentang pentingnya dimensi


sosial untuk ikut diperhatikan dalam
membangun sistem inovasi nasional
diperlihatkan oleh Pemerintah Jepang.
Dalam konsepsi sistem inovasi Jepang,
terlihat jelas bahwa karakter bangsa,
tradisi, budaya, dan lingkungan sosial
menjadi fondasi paling dasar dari
bangunankonsepsisisteminovasinasional
(MEXT, 2002), baru kemudian dimensi
politik dan ekonomi yang menjadi
landasan untuk berbagai kebijakan
pemerintah untuk mendukung panggung
inovasi(Gambar2).

Transformasibudayayangdimaksuddalam
konteks padanan dari perkembangan
teknologi adalah sebagaimana yang
diilustrasikandiatasmelaluihubungandan
ketergantungan
timbalbalik
antara
keduanya, serta nilai dan norma yang ada
di dalamnya. Memahami bahwa untuk
membangun sistem inovasi dibutuhkan
baik pengembang teknologi yang kreatif
dan handal maupun para pengguna
teknologi dengan kapasitas adopsi yang
sebanding, maka isu transformasi sosial
harusnya tidak luput dari formulasi
skenario besar upaya peningkatan
kontribusi
teknologi
terhadap
pembangunan ekonomi, jika keberhasilan
yang diharapkan selain menjadi lebih
mungkin dicapai (achievable) tetapi juga
dapatdipeliharasecaraberkesinambungan
(sustainable).

3.3. Menumbuhkan teknologi yang


mengakarpadabudayasendiri.
Hasanuddin (2011) mengingatkan bahwa
transformasi budaya adalah tumbuh,
berkembang, dan maju secara dialektik
pada batang dan akar kultural sendiri,
bukan perubahan yang tercabut dari akar
kultural itu. Namun demikian, pada saat
ini,
masyarakat
telah
terlanjur

Proses transformasi sosial hampir tidak


mungkin untuk dipisahkan dari kebutuhan
untuk perubahan mindset dari semua
pihak terkait (para stakeholders). Ada
ISSN : 2252-911X

15

15

Keb
bijakanRiset,
Teknologi,d
danInovasi1((2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni
2012
minasi, mengganggap nilaai yang
terkontam
dimilikite
elahketinggalanzaman,danpada
saat bersamaan nilai kemajuan itu
u sendiri
mpumerekarraih.Jikasinyyalemen
tidakmam

yangdikemu
ukakanolehH
Hasanuddin(2
2011)
ini benar daan tersebar meluas di ne
egara
ini, maka kiita sedang mengalami
m
tragedi
sosialyangsangatserius.

Gambaar2.Karakte
erbangsa,traadisi,budaya,danlingkun
ngansebagaifondasiSiste
em
InovasiN
NasionalJepaang(MEXT,2002)

juga dikataakan bahwaa proses kreatif


tersebut kad
dang tidak mampu
m
dijelaaskan
secara siste
ematis. Ko
ondisi ini sering
s
menggiring ke arah persepsi yang
menganggap
p bahwa prod
duk proses kreatif
(misalnya karya seni)) berseberaangan
dengan pro
oduk dari kerja sistematis
berbasis logikakeilmuan (misalnyaprroduk
teknologi). Manusia pada dasaarnya
terlahir denggan kebutuhaan akan tekn
nologi
dan sekaligu
us mampu mengapresiasi seni,
karenasetiapindividuterrlahirdengan
notak
kanandanottakkiri.

Pengembangan teknologi di In
ndonesia
hendaknyya tetap berrbasis pada potensi
sumberdaaya sendiri, termasuk: (1) potensi
sumberdaaya alam yan
ng dimiliki di seluruh
wilayah nusantara,
n
(2
2) SDM yangg dididik
untuk me
engelola secara arif dan produktif
p
potensisu
umberdayaalamtersebut,,dan(3)
budaya, tradisi, dan
n karakter bangsa
sendiri dalam
d
rangka memakssimalkan
keterlibattan dan up
paya pembe
erdayaan
seluruh lapisan
l
masyyarakat. Te
eknologi
tidak boleh menggan
ntikan tradisii, tetapi
ntegrasikan dengan
teknologi perlu diin
b
dan diserasikan dengan
budaya bangsa
nilainilai luhur yang membentuk
m
karakter
bangsaIndonesia.

Teknologimemangterlah
hirdarirahim
milmu
pengetahuan
n dan lebih didorong untuk
u
memenuhi kebutuhan jasmaniah,
j
t
tetapi
manusiasejaatinyatidakp
pernahpuash
hanya
dengankenyyamananfisikksemata.Co
ontoh
sederhananyya adalah pad
da saat seseo
orang

Indonesiaa adalah baangsa yang kreatif.


Kreativitas kadang lahir tanpa melalui
prosesbe
erpikiryangssistematisataaudapat
16

16

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
nonteknologinya
masyarakat.

memutuskan untuk membeli telepon


seluler, maka pertimbangan yang muncul
dalambenakindividutersebuttidakhanya
untuk
mendapatkan
alat
untuk
berkomunikasi semata, tetapi juga ingin
punya alat yang terlihat indah dari desain
bentuk,teksturpermukaan,danwarnanya.
Selain itu, juga diharapkan tombol pada
telepon seluler tersebut lebih ergonomis
(mudah dan nyaman digunakan) dan
harganya juga terjangkau. Kesimpulannya
adalah keputusan untuk membeli produk
teknologi merupakan suatu proses yang
kompleks, tidak lagi hanya sekedar untuk
mendapatkan kehandalan teknologinya
semata. Dalam konteks ini, maka
terminologiinovasimenjadilebihrelevan.

Upaya strategis yang penting adalah


mengintegrasikan nilainilai tradisi etnik
dengan fungsi teknologis dalam setiap
kegiatan pengembangan teknologi di
Indonesiayangdidukungdengankebijakan
politikyangtepatdandiikutidenganupaya
pengawalan pada tahap implementasinya.
Catatan penting yang perlu mendapat
perhatiandalamkonteksiniadalahbahwa
nilainilai tradisi sesungguhnya tidak
bersifat statis, tidak dapat dipertahankan
selamanyapadaposisistatis,danmungkin
tidakperludipertahankanstatis.Halyang
penting adalah menjaga agar perubahan
nilai tradisi dan budaya tersebut berjalan
seiring dan harmonis dengan kemajuan
teknologi dan perkembangan peradaban
bangsadandunia.

Bangsa Indonesia memiliki budaya yang


majemuk dengan ragam yang terbentuk
darikombinasietnisdanwilayahgeografis.
Keragaman budaya ini menjadi tantangan
tersendiri dalam mengembangkan produk
teknologi agar dapat diterima pasar
domestik. Dengan demikian, walaupun
suatu produk tersebut memiliki fungsi
teknologis yang sama, namun untuk
meningkatkan kesesuaiannya dengan
preferensi konsumen maka produk
teknologi ini perlu disesuaikan muatan

selera

Untuk mempertahankan tradisi Indonesia


dalam produk teknologi nasional, maka
Hasanuddin (2011) menyarankan perlu
dilakukan sintesis nilai dan kebijakan
politikyangtepat,mecakup:(1)Revitalisasi
nilaitradisietnik,(2)AkomodasinilaiIptek,
(3) Integrasi nilai tradisi etnik dan nilai
Iptek, dan (4) Kebijakan politik
pengembanganIptek.

Inovasi tidak berakhir saat dihasilkannya


suatu produk teknologi, tetapi baru dapat
dikategorikan sebagai produk inovasi jika
produkteknologitersebuttelahdigunakan
oleh konsumen. Oleh sebab itu, agar
dapat disebut sebagai produk inovasi,
maka setiap produk teknologi harus
diperkaya dengan muatan nonteknologi
yang membentuk preferensi konsumen,
yang dapat mencakup nilai estetika, sifat
ergonomis, sesuai perilaku dan ragam
kebutuhanpengguna,sertadayabeli.

ISSN : 2252-911X

dengan

Sebuah pertanyaan yang tersisa adalah


apakah mungkin pengembangan teknologi
tidak secara nyata atau rendah
kontribusinya terhadap pertumbuhan
ekonomi
tetapi
secara
signifikan
mendorong proses transformasi sosial?
Secarateoritis,kemungkinaninidapatsaja
terjadi jika teknologi yang dikembangkan
tersebut tidak terkait dengan kegiatan
ekonomi, misalnya teknologi untuk
membantu peningkatan kualitas layanan
sosial keagamaan atau kemasyarakatan,
namun realitanya akan sangat sulit
17

17

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
upayamendapatkanpengakuanakademis,
misalnya dalam bentuk perolehan angka
kredit yang dijadikan indikator kinerja
sebagai bahan pertimbangan dalam
promosijabatanfungsional.

mengidentifikasi teknologi yang secara


khusus (fullydedicated) hanya digunakan
pada kegiatan nonekonomi ini. Hampir
selalu teknologi tersebut bisa juga
digunakan untuk kegiatan ekonomi, atau
teknologi tersebut punya varian yang
dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi,
atau secara langsung memang tidak
mendukung kegiatan ekonomi tetapi
dampak sekundernya secara nyata
berdampakpadakinerjaperekonomian.

Faktor pendorong para pengembang


teknologi untuk mempublikasikan hasil
risetnya ataupun mendaftarkan paten,
lebih termotivasi oleh perolehan angka
kredit yang terkait dengan publikasi atau
paten tersebut, sangat jarang yang
didorongolehkeinginanagarhasilrisetnya
diketahui oleh komunitas akademik dalam
bidang ilmu yang sama dan/atau para
(calon)
pengguna
potensialnya.
Kecenderungan alasan tersebut tercermin
daripilihanmediacetakdimanahasilriset
dipublikasikan,yangumumnyamerupakan
jurnal ilmiah dengan sistem seleksi yang
longgar dan distribusi terbatas. Publikasi
peneliti dan akademisi Indonesia di jurnal
internasional yang selektif (peerreviewed
ataurefereedscientificjournal)sampaisaat
ini masih sangat terbatas, jauih lebih
sedikit dibandingan peneliti di Singapura,
Malaysia,danThailand.

Sebagai contoh, teknologi informasi dan


komunikasi
dapat
membantu
meningkatkan efektivitas dan perluasan
jangkauan kegiatan dakwah atau siar
agama dimana kegiatan ini tidak terkait
secara langsung dengan ekonomi, tetapi
teknologiyangsamadapatpuladigunakan
untuk kepentingan ekonomi. Contoh
untukdampaksekunderterhadapekonomi
adalah teknologi pendukung sektor
pendidikan (atau pembangunan kualitas
SDM pada umumnya). Teknologi ini
mungkinsecaralangsungtidakberdampak
pada ekonomi tetapi dapat memacu
proses transformasi budaya, tetapi secara
tidak langsung peningkatan kualitas SDM
tersebut akan juga meningkatkan
produktivitas tenaga kerja, sehingga pada
gilirannya juga akan ikut mendorong
pertumbuhanekonomi.

Peneliti dan akademisi Indonesia terkesan


tidak terganggu dengan rendahnya
jumlahpublikasitersebut.Reputasikurang
positif secara akademik ini, ternyata tidak
jugadikompensasidenganunjukkinerjadi
sisi yang lain, misalnya hasil riset berupa
teknologi yang memberikan kemanfaatan
langsung bagi masyarakat. Sejauh ini
orientasikerjaparapengembangteknologi
Indonesia terkesan masih senjang dengan
realita kebutuhan masyarakat, industri,
maupun pemerintah sebagai tiga
kelompok utama pengguna teknologi,
sehingga sangat sedikit hasil riset dan
teknologi
yang
telah
berhasil
diadopsi
dikembangkan,
kemudian

3.4.BudayaKerjaAktorInovasiIndonesia
Orientasi kerja akademisi, peneliti,
perekayasa, dan profesi lain yang terkait
dengan pengembangan teknologi saat ini
masih
belum
sepenuhnya
untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan dan/atau
teknologi yang bermanfaat nyata bagi
masyarakat atau para pengguna teknologi
lainnya;mayoritasmasihberorientasipada
18

18

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
pengguna. Sebagai akibatnya kontribusi
teknologiterhadappertumbuhanekonomi
Indonesiajugamasihbelumkentara.

kembang sistem inovasi, baik secara


nasional maupun daerah. Namun pada
saat ini, budaya kerja birokrasi sering
dianggap kurang mendorong percepatan
adopsi teknologi nasional untuk menjadi
motor penggerak pembangunan berbagai
sektor, termasuk kelambanan dalam
proses pelayanan dan kualitas pelayanan
yangkurangmemuaskan.

Lembagabisnisdanindustripadadasarnya
tentu berorientasi pada keuntungan
ekonomi. Namun demikian, dalam
konteksmewujudkansisteminovasi,maka
karakteristik yang ingin ditonjolkan adalah
terkait dengan jenis usaha dan kebutuhan
teknologinya, perspektif komunitas ini
terhadap kelayakan teknologi nasional
untuk digunakan dalam kegiatan usaha,
dan kapasitas adopsi teknologi dari
lembagabisnisdanindustritersebut.

Ketersediaan fasilitas komunikasi dan


informasi yang semakin membaik di
pemerintahan, tidak serta merta
meningkatkan kualitas layanan publik.
Upaya mengurangi interaksi langsung
antara birokrat sebagai pelayan publik
denganmasyarakatpenggunajasalayanan
pemerintah melalui aplikasi teknologi
informasi dan komunikasi ternyata belum
efektif,
sehingga
penyalahgunaan
wewenangmasihkerapterjadiyangdapat
berdampak pada mahalnya biaya layanan
publikyangharusditanggungmasyarakat.

3.5.EtikaIlmuPengetahuandanTeknologi.

Jenis industri yang paling membutuhkan


teknologi umumnya adalah kelompok
industri manufaktur, terutama untuk
produkproduk yang sangat kompetitif
persaingannya di pasar global, misalnya
produk barang dan jasa di bidang
komunikasi dan informasi. Industri dan
bisnisdiIndonesialebihdominandisektor
perdagangan dan eksploitasi sumberdaya
alam sehingga kebutuhan teknologinya
relatif rendah. Untuk pemenuhan
teknologi tersebut, para pelaku dunia
usaha dan industri umumnya lebih
memilih teknologi yang telah dikenal
handalyangumumnyaberasaldarinegara
asing. Dalam dunia bisnis, pertimbangan
finansial hampir selalu sangat dominan,
sedangkan sikap nasionalisme dalam
konteks pemilihan teknologi yang akan
digunakan hampir selalu bukan menjadi
dasarpertimbanganutama.

Isuetikasemakinmenarikperhatiandalam
pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebagai contoh, UNESCO
membentukkomisikhususyangmenelaah
unsur etika dalam pembangunan iptek,
yakni World Commission on the Ethics of
Scientific Knowledge and Technology
(COMEST). Persoalan etika banyak
mendapat
perhatian
baik
dalam
pembangunan iptek secara umum;
maupun secara spesifik, terutama terkait
pembangunan
iptek
di
bidang
bioteknologi, antisipasi perubahan iklim,
dannanoteknologi.

Para birokrat di pemerintahan sangat


diharapkan dapat menjadi fasilitator
dan/atau
intermediator
dalam
membangun sistem inovasi, serta juga
dapat membuat kebijakan dan regulasi
yang dibutuhkan dalam menciptakan
ekosistem yang kondusif untuk tumbuh
ISSN : 2252-911X

Tugas COMEST adalah (1) Memberikan


masukan untuk program UNESCO terkait
dengan etika ilmu pengetahuan dan
19

19

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Walaupun disadari pula bahwa tidak akan
ada exhaustively accurate examination of
possibleoutcomesdantidakakanadajuga
formulakebijakanyangdapatmenetapkan
pilihanyangincontestable.Pertimbangan
etikasangatdibutuhkandalamperumusan
kebijakan yang prudent, knowledge
driven, and reflexive. Upaya menyisipkan
etika dalam kebijakan praktis dapat
dilakukan antara lain melalui pendidikan
dankegiatanpeningkatanawareness.

teknologi; (2) Sebagai forum intelektual


untukpertukaranidedanpengalaman;(3)
Mendeteksisedinimungkinperkembangan
situasi yang dapat membahayakan; (4)
Melaksanakan peran penasehat bagi
pembuat kebijakan; dan (5) Mendorong
dialog antara komunitas akademik,
pembuat kebijakan, dan masyarakat
umum.
AlvaresLaso(2011)1mengingatkanbahwa
pembangunan iptek berpotensi untuk
mendorong transformasi masyarakat,
meningkatkan kualitas hidup, dan
menyejahterakan umat manusia melalui
berbagaicara,jikakemajuaniptektersebut
berada dalam kerangka etika; sebaliknya
pembangunan
iptek
juga
dapat
mengancam
stabilitas
masyarakat,
memperburuk kondisi kehidupan, dan
menhancurkan kehidupan umat, misalnya
polusi, perubahan iklim, kesenjangan
teknologi, penggunaan bahan beracun,
dan tentu saja kerusakan akibat mesin
perang.Olehsebabitu,tantangansaatini
adalah menjadikan etika iptek sebagai
prioritasstrategi.

Pompidou (2011)2 mengingatkan bahwa


tekanan
(komersial,
kompetitif,
kelembagaan, keamanan) dan bias
sistemik dapat menghasilkan ilmu
pengetahuan yang taketis; serta dapat
menjauhkan visi ilmu pengetahuan dari
sifatnetralitasnya(takberpihak),kekuatan
integritasnya, dan orientasinya untuk
menyejahterakan umat manusia secara
keseluruhan.
Beberapakecenderunganyangterjadisaat
ini dapat menggerus etika keilmuan.
Intergritas dan netralitas merupakan citra
kelembagaan ilmiah, nilai luhur ini akan
berkemungkinan luntur jika perubahan
kelembagaan tidak diimbangi dengan
upaya menjunjung tinggi etika; dorongan
komersialisasiakanmenghambatdistribusi
kemanfaatan ilmu dan mendorong
ilmuwan untuk berprilaku nonetis; dan
meningkatnya kemungkinan kesengajaan
melakukanrisetuntuktujuandestruktif.

Sebagaicontoh,persoalanperubahaniklim
takmungkinbisadiatasidengantepatdan
memadai jika dimensi etika tidak
diperhatikan, tidak dipahami, dan tidak
disertakan dalam keputusan untuk
menyikapinya.Lebihjauh,tantangansaat
ini adalah bukan hanya sekedar
menjadikan isu perubahan iklim sebagai
isu etika, tetapi bagaimana memposisikan
etikasebagaiintidanunsuresensialdalam
setiapkebijakantentangperubahaniklim.

Isu pokok yang perlu mendapat perhatian


serius saat ini adalah memperjuangkan
agar pengembangan iptek tidak
mengabaikan
pertimbangan
etika

20

AlvaresLaso,P.2011.WelcomeAddressat
the Seventh Ordinary Session of COMEST.
Doha,912October2011

20

IntroductorystatementatGeneral
DiscussionofWorkPlanandObjectiveat
theSeventhOrdinarySessionofCOMEST.
Doha,912October2011

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
sedangkanduabutiramanahyangterakhir
(3 dan 4) merupakan petunjuk arah dan
tujuan dari pembangunan iptek, yakni
untuk memajukan peradaban bangsa dan
menyejahterakanrakyatIndonesia.

keilmuan, yakni perlu dikawal agar


memberikan dampak positif yang
maksimal bagi umat manusia dengan
tanpa diskriminasi, serta menjaga agar
tidak berdampak negatif bagi umat
manusia.

Perjalanansejarahbanyakbangsadidunia
ini menunjukkan bahwa peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan peradaban
umumnya berinteraksi secara positif.
Masyarakat yang sejahtera cenderung
mampu
mendorong
kemajuan
peradabannya; sebaliknya masyarakat
yang miskin cenderung tidak berkembang
peradabannya. Oleh sebab itu, untuk
mencapai dua tujuan yang diamanahkan
UndangUndang Dasar 1945, maka
pembangunan iptek perlu diarahkan agar
dapat secara langsung maupun tidak
langsung berkontribusi nyata terhadap
pembangunanekonomi.

4.DimensiRegulasidanKebijakan
Aspek yang paling fundamental tetapi
seringdilupakandalampembangunanilmu
pengetahuan dan teknologi adalah
amanah UndangUndang Dasar 1945,
dimana pada Pasal 31 ayat (5) dinyatakan
bahwa: Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilainilai agama dan
persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Amanah konstitusi ini tegas menyatakan
bahwa pembangunan iptek wajib: (1)
menjunjung tinggi nilainilai agama
sehingga tidak boleh ada teknologi yang
dikembangkan yang bertentangan dengan
keyakinan dan ajaran agama; (2)
memelihara dan memperkokoh persatuan
bangsa, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI); serta ditujukan untuk (3)
memajukan peradaban bangsa, sehingga
dapat dihormati dan dihargai dalam
pergaulan global; dan (4) meningkatkan
kesejahteraanumatmanusiasecaraumum
danrakyatIndonesiapadakhususnya.

Kondisi saat ini mengindikasikan bahwa


kegiatan riset dan pengembangan di
Indonesia, baik di perguruan tinggi
maupun di lembaga litbang pemerintah,
belum secara signifikan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi nasional
maupundaerah.Kegiatanrisetdilembaga
litbang industri telah berorientasi pada
kepentingan ekonomi, namun demikian
tetap masih terbatas kontribusinya
terhadap perekonomian nasional, karena
kebanyakan industri di Indonesia
menggunakanteknologiasing,baikkarena
industri tersebut merupakan anak
perusahaan asing atau multinational
company (MNC) yang melakukan
pengembangan teknologinya di luar
Indonesia maupun karena industri di
Indonesia
belum
tumbuhnya
kepercayaannya terhadap kehandalan
teknologi dalam negeri atau karena
teknologi dalam negeri secara ekonomi

Duabutiramanahyangpertama(1dan2)
merupakan warning agar pembangunan
iptektetapberadadalamkoridordantidak
bertentangan dengan ajaran agama yang
diakui di Indonesia dan harus pula selaras
dengan upaya untuk memperkokoh
persatuan bangsa dan keutuhan NKRI;
ISSN : 2252-911X

21

21

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

yang memberikan dukungan pembiayaan


kegiatan riset, yakni: (1) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2007 (PP35/2007) tentang
PengalokasianSebagianPendapatanBadan
Usaha untuk Peningkatan Kemampuan
Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi
Teknologi; dan (2) Peraturan Pemerintah
Republik IndonesiaNomor 93 Tahun 2010
(PP93/2010)tentangSumbangan
Penanggulangan
Bencana
Nasional,
SumbanganPenelitian dan Pengembangan,
Sumbangan
Fasilitas
Pendidikan,Sumbangan
Pembinaan
Olahraga,
dan
Biaya
PembangunanInfrastruktur Sosial yang
DapatDikurangkandariPenghasilanBruto.

kurang kompetitif dibandingkan dengan


teknologi serupa yang tersedia di pasar
global.

4.1. Keberpihakan
Nasional.

pada

Teknologi

Secara faktual, memang sudah terbit dan


diberlakukan
beberapa
peraturan
perundangundanganyangditujukanuntuk
mendorong pengembangan dan/atau
sebagai bentuk keberpihakan pemerintah
terhadap teknologi nasional, termasuk
memberikaninsentifkeringananpajakbagi
badan usaha yang memberikan dukungan
finansial untuk kegiatan penelitian dan
pengembanganteknologi,pembebasanbea
masuk dan cukai untuk impor barang/alat
yang akan digunakan dalam kegiatan
penelitian dan pengembangan, serta
dorongan
untuk
memaksimalkan
penggunaan produksi dalam negeri dalam
rangka peningkatan aplikasi teknologi
nasionalpadaindustridalamnegeri

Pasal6PP35/2007mengaturbahwaBadan
Usaha yang mengalokasikan sebagian
pendapatan
untuk
peningkatan
kemampuan perekayasaan, inovasi, dan
difusi teknologi dapat diberikan insentif
(ayat1),dalambentukinsentifperpajakan,
kepabeanan, dan/atau bantuan teknis
penelitian dan pengembangan (ayat 2).
Namun demikian, PP35/2007 ini belum
dapat diimplementasikan karena terganjal
pada aturan dalam peraturan pemerintah
inisendiri,yangmenyatakanbahwabesar
dan jenis insentif perpajakan dan
kepabeanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur
dalam ketentuan Peraturan Perundang
undangan di bidang perpajakan dan
kepabeanan (ayat 3). Pengaturan
sebagaimana dimaksud, karena bersifat
teknis (tentang besar dan jenis insentif)
maka diharapkan dapat ditetapkan dalam
bentuk Peraturan Menteri Keuangan
(PMK). Namun sampai sekarang PMK
dimaksudbelumterbit.Persoalaninitelah
diidentifikasi sebagai salah satu kendala
yang perlu debottlenecking oleh Komite

Namun demikian, upaya mendorong


pengembangan iptek dan pemanfaatan
produksi dalam negeri ini ternyata belum
optimal, karena umumnya badan usaha
belum termotivasi untuk memanfaatkan
regulasi tersebut. Insentif yang diberikan
pemerintahtersebutterkesanbelumcukup
atraktifdariperpektifekonomi.
Upaya pemerintah mendorong kegiatan
riset
dan
pengembangan
untuk
menghasilkan teknologi nasional dalam
rangka mewujudkan kemandirian bangsa
telah dilakukan, antara lain dengan
memberikaninsentifbagiduniausahayang
mengalokasikan sebagian dananya untuk
kegiatan riset dan pengembangan. Ada
dua peraturan pemerintah yang telah
diterbitkansebagaiinsentifbagiparapihak
22

22

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
Percepatan dan Perluasan Pembangunan
EkonomiIndonesia(KP3EI).
PP93/2010 mengatur antara lain bahwa
sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan yang dilakukan oleh
lembaga penelitiandan pengembangan di
wilayah
RepublikIndonesia
dapat
dikurangkan sampaijumlah tertentu dari
penghasilan
bruto
dalam
rangkapenghitungan penghasilan kena
pajak bagi wajib pajak (Pasal 1 butir b).
Besarnya nilai sumbangan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
untuk1(satu)tahundibatasitidakmelebihi
5% (lima persen) dari penghasilan neto
fiskalTahunPajaksebelumnya(Pasal3).
PelaksanaanteknisdariPP93/2010initelah
diaturmelaluiPeraturanMenteriKeuangan
Nomor 76/Pmk.03/2011 tentangTata Cara
Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan
Penanggulangan
Bencana
Nasional,
SumbanganPenelitiandanPengembangan,
Sumbangan
Fasilitas
Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan
Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto. Namun demikian, karena PMK ini
masihbarudiberlakukan(sejakTahunPajak
2010), maka pemberian insentif ini masih
perlu waktu untuk mengetahui apakah
akancukupmenarikbagiduniausaha.
Bentukinsentiflainnyaadalahpembebasan
bea masuk dan cukai atas impor barang
untuk
keperluan
penelitian
dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal
25 ayat (1) butir g UndangUndang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan (UU 10/1995).
UU10/1995 ini telah diubah dengan UU
17/2006, namun substansi terkait
pembebasan bea masuk dan cukai untuk
ISSN : 2252-911X

23

barang
keperluan
penelitan
dan
pengembangan
tidak
mengalami
perubahan. Selanjutnya, ketentuan
tentangpembebasanbeamasukdancukai
ini (sebagaimana diamanahkan pada Pasal
25ayat(3))telahdiaturlebihlanjutmelalui
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor : 143/KMK.05/1997
tentangPembebasanBeaMasukdanCukai
atas Impor Barang untuk Keperluan
Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan(KMK143/1997).
KMK 143/1997 mempertegas bahwa yang
dimaksud dengan barang untuk keperluan
penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan adalah barang yang benar
benar digunakan untuk memajukan ilmu
pengetahuan
termasuk
untuk
penyelenggaraan penelitian dengan tujuan
untuk mempertinggi tingkat ilmu
pengetahuan yang ada (Pasal 1).
Perguruantinggi,lembagadanbadanyang
dapat diberikan pembebasan bea masuk
dan cukai ditetapkan oleh Menteri
Keuangan(Pasal3).
Daftarlembagadanbadanyangditetapkan
berhak untuk mengajukan pembebasan
bea masuk dan cukai telah diperbarui
dengan Keputusan Menteri Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
373/KMK.04/2004 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
143/KMK.05/1997 tentang Pembebasan
Bea Masuk dan Cukai atas Barang untuk
Keperluan Penelitian dan Pengembangan
IlmuPengetahuan(KMK373/2004).Semua
Lembaga Pemerintah NonKementerian
(LPNK) yang menyelenggarakan kegiatan
penelitian dan pengembangan di bawah
koordinasi Kementerian Riset dan
Teknologisertaunitkerjastrukturalterkait

23

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA
Vol. 1, No. 1, Juni 2012
litbang di kementerian teknis telah masuk
dalamdaftarlampiranKMK373/2004.
Usahadankeberpihakanpemerintahuntuk
mendorong penggunaan teknologi atau
produk teknologi dalam negeri telah
dilakukan, misalnya sebagaimana yang
tercantum dalam Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia Nomor :
11/MInd/Per/3/2006 tentang Pedoman
TeknisPenggunaanProduksiDalamNegeri.
Pasal 2 ayat (1) Permen ini mengatur agar
Setiap pengadaan barang/jasa oleh
Departemen, Lembaga Non Departemen,
Pemerintah
Daerah
Provinsi,
Kabupaten/Kota, Badan Hukum Milik
Negara (BHMN), Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dan anak perusahaannya yang
dibiayai dengan dana dalam negeri atau
dilakukan dengan pola kerjasama antara
pemerintah dengan badan usaha, wajib
memaksimalkan penggunaan produksi
dalamnegeri.
Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 2
diterangkan
bahwa
Kewajiban
memaksimalkan penggunaan produksi
dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi wajib menggunakan
produksi dalam negeri apabila didalam
negeri sudah terdapat perusahaan yang
memiliki barang/jasa dengan penjumlahan
TKDN dan Nilai BMP mencapai minimal
40% (empat puluh persen). Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah
besarnya komponen dalam negeri pada
barang,jasadangabunganbarangdanjasa;
sedangkan manfaat perusahaan terhadap
perekonomian nasional yang dinyatakan
dengan Nilai Bobot Manfaat Perusahaan
(Nilai BMP) adalah nilai penghargaan
kepada perusahaan karena berinvestasi di
24

Indonesia, memberdayakan Usaha Kecil


termasukKoperasiKecilmelaluikemitraan,
memelihara kesehatan, keselamatan kerja
dan lingkungan (OHSAS 18000/ISO 14000),
memberdayakan lingkungan (community
development), serta memberikan fasilitas
pelayananpurnajual.
Kebijakan pemerintah yang bersifat pro
teknologi nasional ini akan efektif jika
lembaga pengembang teknologi di dalam
negeri (perguruan tinggi dan lembaga
litbang
pemerintah)
memperbaiki
kemampuan penguasaan teknologi yang
relevan dan meningkatkan sensitivitasnya
terhadap realita persoalan dan kebutuhan
industri dalam negeri. Oleh sebab itu,
maka pengembangan teknologi perlu lebih
berorientasi pada realita kebutuhan
(demanddriven). Jika prasyarat ini tidak
dipenuhi, maka kebijakan yang sudah pro
teknologi dalam negeri tersebut akan sulit
diimplementasikansecaramemuaskan.
Walaupun sudah ada beberapa produk
regulasiyangfavorableuntukmendorong
pengembangan teknologi nasional, namun
pada kenyataannya belumterlihatdampak
signifikan dari berbagai regulasi tersebut.
Gairah dan motivasi para aktor inovasi
dalamnegeriuntukmeningkatkaninvestasi
dan intensitas kegiatan litbang belum
secarakentaraterdeteksi.

4.2. KebijakanuntukMeningkatkanPeran
TeknologiNasional.
Pemahaman tentang pentingnya peran
teknologi
dalam
memajukan
perekonomian dirasakan sudah meluas di
kalangan para pembuat kebijakan publik.
Semangat untuk mendorong peran
teknologi untuk berkontribusi terhadap
pembangunanekonomijugasudahtampak

24

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
20112025 (Pasal 4 ayat 1) yang dipimpin
langsung oleh Presiden (Pasal 5 ayat 1),
serta untuk membantu pelaksanaan tugas
KP3EI telah pula dibentuk Tim Kerja. Tim
Kerja bidang SDM dan Iptek diketuai oleh
WakilMenteriPendidikanNasional.

dalam beberapa kebijakan nasional,


misalnya dalam Peraturan Presiden RI
Nomor32Tahun2011tentangMasterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20112015.
Salah satu strategi utama MP3EI adalah
penguatan kemampuan SDM dan Iptek
Nasional, selain pengembangan potensi
ekonomi melalui koridor ekonomi dan
penguatankonektivitasnasional.

Arahan strategis Presiden yang dikemas


dalam bentuk MP3EI ini perlu
diterjemahkan
oleh
masingmasing
kementerian dan LPNK menjadi rencana
kerja yang lebih teknis dan operasional
dalam lingkup tugas pokok dan fungsinya
masingmasing. Dalam konteks ini,
Kementerian Riset dan Teknologi telah
sejakawalmenetapkanprogramutamanya
untuk melakukan penguatan Sistem
Inovasi Nasional
(SINas),
dengan
mendorongagarpengembanganteknologi
lebih berorientasi pada realita kebutuhan
(demanddriven) dan persoalan teknologi
yang dihadapi oleh para pengguna
potensialnya. Selanjutnya, Kementerian
Riset dan Teknologi telah pula
menetapkanKepmenristek
No.
246/M/Kp/IX/2011tentang
Arah
Penguatan SINas untuk Meningkatkan
Kontribusi Iptek terhadap Pembangunan
Nasional.

MP3EI merupakan arahan strategis


pembangunan ekonomi untuk periode
2011 sampai 2025 dalam rangka
pelaksanaan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005
2025
dan
melengkapi
dokumen
perencanaan (Pasal 1 ayat 2 Perpres
32/2011). Selanjutnya pada Pasal 2
disebutkan bahwa MP3EI berfungsi
sebagai: (a) acuan bagi menteri dan
pimpinan lembaga pemerintah non
kementerian (LPNK) untuk menetapkan
kebijakan
sektoral
dalam
rangka
pelaksanaan percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia di
bidang tugas masingmasing, yang
dituangkan dalam dokumen rencana
strategis
masingmasing
kementerian/lembaga
pemerintah
nonkementerian sebagai bagian dari
dokumenperencanaanpembangunan;dan
(b) acuan untuk penyusunan kebijakan
percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi
dan kabupaten/kota terkait. Selanjutnya
jugadiharapkanmenjadiacuanbagibadan
usaha dalam menanamkan modal di
Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturanperundangundangan(Pasal3).

4.3. PersoalanBukanpadaKonsepsi,tapi
padaTahapImplementasinya.
Skenario besar pengembangan teknologi
nasional saat ini adalah menggunakan
kerangkaSINasyangberbasispadapotensi
sumberdaya nasional (termasuk potensi
spesifik daerah) dan diarahkan untuk
memenuhi permintaan pasar domestik.
Pilihan orientasi pengembangan teknologi
ini selaras dengan arahan Presiden untuk
menyelenggarakan pembangunan yang
bersifat inklusif dengan mengikutsertakan

UntukkoordinasipelaksanaanMP3EItelah
dibentukKomitePercepatandanPerluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI)
ISSN : 2252-911X

25

25

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sebanyak mungkin stakeholders dalam


negeri,
sehingga
memperbesar
kesempatan kerja
(projobs) dan
mendorong distribusi pendapatan yang
lebihmerata.

dibutuhkan
umumnya
merupakan
teknologi sederhana, tetapi perlu tetap
handalsecarateknisdanaffordablesecara
ekonomi.Komoditaspertaniandiproduksi
secara masif tetapi secara umum
mempunyai nilai ekonomi yang rendah,
sehingga sangat tepat jika juga
dikembangkan
teknologi
untuk
meningkatkannilaitambahhasilpertanian
tersebut, terutama teknologi yang
dibutuhkanuntukpengolahanpascapanen
untukmemproduksiprodukolahandengan
volume yang lebih kecil tapi mempunyai
nilaiekonomiyanglebihtinggi.

Pilihan skenario pengembangan teknologi


yang lebih berorientasi inward ini tentu
tidak bersifat permanen, tetapi sangat
tepatuntukfaseawaldariskenariojangka
panjang pengembangan teknologi untuk
menuju kemandirian, inklusif, dan
berkelanjutan. Selanjutnya, pilihan
teknologi yang dikembangkan perlu
disesuaikan dengan realita tingkat
penguasaan teknologi saat ini (cerminan
kualitas SDM), potensi sumberdaya alam
yang potensial untuk dikelola, dan
kebutuhan konsumen dalam negeri.
Memahami heterogenitas kebutuhan
masyarakat Indonesia saat ini, sebagai
akibat kesenjangan status sosial ekonomi
dalam masyarakat, maka spektrum
teknologi yang dibutuhkan dapat
mencakup teknologi yang sangat
sederhana (misalnya teknologi yang
dibutuhkan petani untuk budidaya
tanaman pangan) sampai teknologi maju
(misalnya teknologi informasi dan
komunikasi yang dibutuhkan masyarakat
perkotaan dengan status sosial ekonomi
menengahatas).

Konsepsi pengembangan teknologi dalam


kerangka penguatan SINas dan rencana
besar pembangunan ekonomi Indonesia
(MP3EI) merupakan dua konsepsi yang
padu satu sama lain, keduanya berbasis
pada potensi sumberdaya nasional
dan/atau potensi masingmasing koridor
ekonomi,
serta
ditujukan
untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang
pada
akhirnya
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
sebagaimanadiamanahkanolehkonstitusi.
Walaupunmungkintidaksempurna,tetapi
duakonsepsiinisudahsangattepatuntuk
menjadi acuan dalam pengembangan
teknologiIndonesia.
Persoalan berikutnya adalah apakah
konsepsi ini dapat diimplementasikan
secara konsisten oleh semua aktor yang
terkait, baik secara substansial maupun
selama perjalanan waktu menuju 2025
sebagaimana
yang

ditargetkan.
Boardman (2009) mengingatkan bahwa
tantangan manajerial yang paling

Walaupun rentang teknologi yang


dibutuhkan tersebut sangat lebar, namun
secara objektif (mengutamakan asas
inklusivitas, mandiri, dan berkelanjutan),
maka teknologi yang perlu diutamakan
adalah teknologi yang dibutuhkan oleh
sekitar41persenangkatankerjaIndonesia
di sektor pertanian3. Teknologi yang

pekerjaan utamanya di sektor pertanian,


perikanan,
dan
kehutanan
(BPS:
Perkembangan Beberapa Indikator Utama
SosialEkonomiIndonesia,Agustus2011)

Lebih dari 42,4 juta dari 111,2 juta orang


tenaga kerja Indonesia melaksanakan

26

26

ISSN : 2252-911X

KebijakanRiset,Teknologi,danInovasi1(2012):126
TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012
belum terintegrasi dengan lembaga
lembaga pengguna teknologi. Oleh sebab
itu, dalam skenario untuk menjadikannya
sebagai ISTP, maka direncanakan untuk
menghadirkan industri berbasis teknologi
dan lembaga intermediasi di kawasan ini.
Dengan kedekatan secara fisik ini
diharapkan akan memicu dan memacu
interaksi dan komunikasi antara lembaga
pengembangdanpenggunateknologiyang
difasilitasi oleh lembaga intermediasi
(Gambar4).

fundamental adalah menggiring agar


prilaku tiap individu sejalan dengan upaya
pencapaiantujuandansasaranbersama.

4.5.TransformasiInstitusional.
Idealnya interaksi dan komunikasi antara
pihak pengembang dan pengguna
teknologidapatterjalinsecaraintensifdan
produktif, sehingga aliran informasi
kebutuhan
dan
persoalan
yang
membutuhkan solusi teknologi dapat
mengalir dari para pengguna ke pihak
pengembang teknologi. Jika aliran
informasi ini tidak terjadi maka akan sulit
diharapkan bahwa teknologi yang
dikembangkan relevan dengan kebutuhan
dan sesuai dengan kapasitas adopsi para
pengguna teknologi. Yuliar (2011)
meyakini bahwa transformasi kultural dan
kelembagaan
diperlukan
untuk
memungkinkan
perluasan
interaksi
interaksi(Gambar3).

Transfromasi kultural dan kelembagaan


tidak dapat dipungkiri harus diubah,
termasuk budaya kerja di dalam lembaga
lembagalitbangdanperguruantinggiagar
lebih sensitif terhadap realita di luar
menara gading. Setiap kegiatan riset
tetapdanwajib menjunjungtinggikaedah
akademik,tetapisubstansirisetyanggarap
perlu ditingkatkan relevansinya dengan
realita kebutuhan para pengguna, serta
disesuaikandengankapasitasadopsicalon
pengguna potensial yang menjadi
sasarannya. Jika niat untuk mengubah
budayakerjainisudahtumbuh,makaakan
tumbuh pula kebutuhan untuk menjalin
komunikasi dan berinteraksi dengan lebih
intensif antara pihak pengembang dengan
penggunateknologi.

Kementerian Riset dan Teknologi telah


pula mencanangkan untuk melakukan
revitalisasi kawasan Puspiptek Serpong
menjadi
Indonesian
Science
and
Technology Park (ISTP). Pada saat ini,
kawasan puspiptek mengakomodasi
berbagai laboratorium riset sebagai
wahana pengembangan teknologi, tetapi

ISSN : 2252-911X

27

27

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 3. Memperluas interaksi dari hanya antar-pelaku litbang menjadi interaksi antara
para pelaku litbang dengan pelaku non-litbang (Yuliar, 2011)

Gambar 4. Transformasi Puspiptek menjadi I-STP (Kementerian Ristek, 2011)

28

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Perubahan kultural lainnya yang dibutuhkan


di kalangan akademisi adalah mengurangi
kebanggaan yang berlebihan terhadap
keberhasilan
menguasai
teknologi
maju yang sering tidak relevan dengan
kebutuhan masyarakat pengguna dan/
atau konsumen produk teknologi tersebut;
sebaliknya menumbuhkan kebanggan
baru jika berhasil mengembangkan
teknologi yang relevan dengan kebutuhan
dan diadopsi oleh pengguna untuk proses
produksi barang/jasa yang dibutuhkan
konsumen. Sekali lagi perlu diingat
bahwa sesuai dengan amanah konstitusi,
maka tujuan pembangunan iptek adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.

Perubahan budaya kerja membutuhkan


banyak
energi,
mungkin
pula
membutuhkan pemicu ganda pada
berbagai dimensi, karena budaya kerja
merupakan suatu sistem yang kompleks
yang terbentuk dari resultan berbagai
faktor. Perubahan budaya kerja juga
tidak dapat terjadi secara instan, karena
terkait dengan upaya mengubah mindset
individu-individu
dalam
komunitas
yang menjadi sasaran. Terhadap upaya
pembaruan budaya kerja, hampir selalu
akan ada resistensi baik yang bersifat
individual maupun secara kolektif, baik
ditunjukkan secara konfrontatif atau
frontal maupun penolakan secara halus
atau terselubung.

Untuk substansi yang sama, Yuliar (2011)


menghimbau agar kajian-kajian inovasi,
khususnya di Indonesia, perlu lebih
berbasiskan evidence, dan para peneliti
perlu menjadi bagian yang sistemik dari
pertumbuh-kembangan sistem inovasi.
Kajian dimaksud bisa dalam bentuk
participatory research dan action research.

Budaya kerja pada setiap komunitas,


etnis, suku, maupun bangsa, di satu sisi
selalu mengandung nilai-nilai yang positif
dan progresif, tetapi dari sisi lain akan ada
yang bersifat menghambat atau negatif
(resistensi) terhadap upaya perubahan.
Konsepsi pengembangan SINas di Jepang
(MEXT, 2002) mengantisipasi hal ini, yakni
dengan cara memasukkan unsur budaya
sebagai landasannya, sehingga keserasian
antara aktivitas dan produk SINas dengan
budaya masyarakat dapat dioptimalkan.

Yuliar (2011) mengingatkan bahwa


transformasi kelembagaan formal adalah
penting, tetapi perlu disertai dengan
transformasi budaya. Sesungguhnya
transformasi institusional yang bersifat
formal dan ditetapkan dalam bentuk
produk hukum yang mengikat tidak akan
membuahkan hasil yang sesuai dengan
harapan jika tidak dibarengi dengan
transformasi budaya kerja komunitas
dalam lembaga yang bersangkutan.
Namun demikian harus pula diakui bahwa
transformasi institusional yang dirancang
dengan tepat dapat memicu terjadinya
dan memacu proses perubahan budaya
kerja, walaupun tidak ada jaminan bahwa
upaya ini akan berhasil.
ISSN : 2252-911X

5. Dimensi Politik
Pada saat ini mungkin hampir semua
kebijakan
pemerintah
mengalami
distorsi akibat adanya kepentingan
politik. Walaupun intervensi politik tak
selalu negatif, namun kecenderungan
saat ini lebih banyak mengarah pada
ketidak-efektifan dalam implementasi
kebijakan (intervensi politik cenderung
menyebabkan bias sasaran kebijakan ke
kelompok tertentu secara diskriminatif
29

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

dan
menjauh
dari
kepentingan
masyarakat umum yang seharusnya
menjadi sasaran setiap kebijakan publik);
dan ketidak-efisienan dalam pengelolaan
sumberdaya,
karena
cenderung
membutuhkan extracost dalam proses
mencapai kesepakatan para pihak
terkait dalam penetapan kebijakan dan
implementasinya.
Kementerian Riset dan Teknologi telah
menetapkan kebijakan terkait arah
penguatan SINas untuk meningkatkan
kontribusi iptek terhadap pembangunan
nasional (Kepmenristek No. 246/M/Kp/
IX/2011) yang lebih mengarahkan agar
pengembangan teknologi disesuaikan
dengan realita kebutuhan (demand-driven)
dan/atau persoalan yang membutuhkan
solusi teknologi dari para pihak pengguna
teknologi, baik pemerintah, industri,
maupun masyarakat.
Secara global, kecenderungan untuk
mengubah orientasi pengembangan iptek
dari dominan bersifat supply-push atau
berbasis kesimbangan supply-demand,
menjadi lebih bersifat demand-driven
pada dekade terakhir ini sedang bergulir.
Fenomena ini didasarkan pada realita
bahwa saat ini walaupun kemajuan
teknologi berkembang pesat, tetapi
SINas pada negara-negara tersebut masih
terkendala, karena hanya sedikit teknologi
yang berhasil dikembangkan yang diadopsi
dalam proses produksi barang/jasa
yang dibutuhkan konsumen. Kontribusi
teknologi
terhadap
pertumbuhan
ekonomi belum signifikan, sebagaimana
diindikasikan dari nilai Total Factor
Productivity (TFP) yang masih rendah.
Cervantes (2011) menyebut fenomena ini
sebagai innovation paradox.

30

Pada tahun 2006, dipublikasikan laporan


dari Independent Expert Group on
LITBANG and Innovation yang ditunjuk
Uni Eropah (EU) untuk memberikan
pandangan, masukan, dan rekomendasi
tentang upaya akselerasi implementasi
inisiatif EU dalam meningkatkan kinerja
riset dan inovasi. Kelompok pakar ini
hanya terdiri dari 4 orang dan diketuai
oleh Esko Aho, mantan perdana menteri
Finlandia. Oleh sebab itu, laporan ini lebih
populer dikenal sebagai AHO Report
2006 dari pada judul laporannya, yakni
Creating an Innovative Europe.
Pada dasarnya AHO Report 2006
menyajikan strategi untuk menjadikan
negara-negara Eropah menjadi lebih
inovatif, antara lain melalui kombinasi
antara menyiapkan pasar bagi produk
barang dan jasa inovatif, pengelolaan
sumberdaya
yang
lebih
terfokus,
pembaharuan struktur finansial, serta
peningkatan mobilitas SDM, uang, dan
organisasi.1 Dengan demikian, untuk
menjadikan Eropah lebih inovatif
dibutuhkan
kebijakan
yang
lebih
komprehensif, tidak terbatas hanya pada
kebijakan litbangdan inovasi. Untuk
merealisasikan sasaran ini dibutuhkan
upaya dan komitmen yang sangat serius
dari para pemimpin politik, bisnis, dan
sosial.
1 Far greater mobility is needed at three
levels: human resources need a step change
in mobility across boundaries; financial
mobility requires an effective venture capital
sector and new financial instruments for
the knowledge-based economy; mobility in
organization and knowledge means cutting
across established structures to allow new
linkages ... (Aho Report 2006).

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Wyckoff (2011) juga menyatakan bahwa


tantangan dalam meningkatkan inovasi
akan mencakup upaya di luar iptek,
termasuk peningkatan sektor pendidikan
(relevansi dan mutu), peningkatan
intensitas kolaborasi, dan peningkatan
kapasitas soft innovation (marketing,
distribution services, and intangibles).
Peningkatan kontribusi inovasi telah
ditetapkan sebagai salah satu pilar strategi
pembangunan OECD (Sanz-Menendez,
2011). Kontribusi inovasi hanya menjadi
kenyataan jika hasil-hasil kegiatan riset
(terutama teknologi) diadopsi dan
diaplikasikan dalam proses produksi
barang dan jasa. Untuk memperbesar
peluang agar teknologi diadopsi oleh
para pengguna, maka teknologi tersebut
harus handal secara teknis dan sesuai
dengan kapasitas adopsi (teknis, finansial,
atau sosio kultural) para pengguna
potensialnya (industri, masyarakat, atau
pemerintah).
Bloch (2011) menyatakan bahwa: Supplypush innovation only works in defence
technology, and may be energy, but make
no sense for other sectors. Pernyataan ini
merupakan penegasan bahwa pendekatan
supply-push(sebagaimana yang dianut
mayoritas pelaku dan pembuat kebijakan
inovasi di Indonesia) sesungguhnya hanya
mungkin berhasil untuk teknologi hankam,
karena lembaga pengembang teknologi
dan pengguna teknologinya adalah sama,
yakni pemerintah. Realitanya, walaupun
lembaga pengembang teknologi hankam
dan pengguna teknologinya adalah
sama-sama unsur pemerintah, namun
ternyata aliran teknologi dalam sistem
inovasi hankam juga tidak selalu mengalir
lancar. Preferensi pengguna teknologi
hankam kadang lebih tertarik untuk
ISSN : 2252-911X

membeli produk teknologi hankam asing,


dibandingkan mendukung pengembangan
kemampuan
penguasaan
teknologi
hankam nasional, sehingga upaya
mewujudkan kemandirian teknologi
hankam dirasakan masih terkendala.
Shin (2011) menambahkan bahwa
kebijakan pemerintah yang dibutuhkan
adalah menyerasikan antara kebijakan
industri dengan kebijakan iptek. Korea di
era 1990-an mendorong pengembangan
industri
berbasis
pengetahuan
(knowledge-based industries) dalam
rangka meningkatkan kebutuhan industri
terhadap teknologi, yang kemudian
dilanjutkan dengan upaya meningkatkan
kapasitas
lembaga
pengembang
teknologi untuk memasok teknologi yang
dibutuhkan industri (era 2000). Tahun
2007, Korea menggabung Kementerian
Pendidikan (MoE) dengan Kementerian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MoST),
menjadi Kementerian Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Teknologi (MEST).
Memahami substansi yang terkandung
dalam berbagai sumber referensi di atas,
maka untuk mewujudkan SINas yang
efektif dan produktif, maka Indonesia
perlu merumuskan kebijakan riset
dan teknologi yang berorientasi pada
realita kebutuhan (demand-driven) dan
persoalan yang membutuhkan solusi
teknologi, sehingga lebih memperbesar
peluang bagi teknologi yang dihasilkan
untuk diadopsi oleh para pengguna
potensial, termasuk industri, pemerintah,
dan masyarakat yang berkiprah dalam
kegiatan produksi barang dan/atau jasa.
Selanjutnya peningkatan aplikasi teknologi
nasional dalam proses produksi akan
secara langsung meningkatkan kontribusi
teknologi
terhadap
pertumbuhan
31

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ekonomi, sebagaimana yang diharapkan


dalam MP3EI.
Pengembangan teknologi nasional juga
perlu mengutamakan potensi sumberdaya
dalam negeri, termasuk sumberdaya
alam, SDM, infrastruktur penunjang, dan
kemampuan pembiayaan nasional untuk
mengurangi ketergantungan terhadap
asing dan memperkokoh kemandirian
bangsa. Selain itu, pasar domestik
Indonesia yang besar harus menjadi
prioritas utama. Dengan demikian maka
produk barang dan jasa yang menjadi
target utama dalam aplikasi teknologi
adalah barang dan jasa yang dibutuhkan
di dalam negeri. Pilihan teknologi prioritas
perlu disesuaikan dengan potensi
sumberdaya nasional dan permintaan
pasar domestik. Indonesia pada saat ini
tidak perlu terlalu bersemangat untuk go
internasional.
Kebijakan iptek yang berorientasi
kebutuhan pengguna, berbasis potensi
dalam negeri, dan untuk memenuhi
permintaan pasar domestik ini perlu
mendapat dukungan politik. Dukungan
politik yang utama adalah dalam
mewujudkan
keserasiannya
dengan
kebijakan pendidikan tinggi (yang
menyediakan SDM sebagai aktoraktor inovasi), kebijakan industri (yang
mendorong pemanfaatan teknologi dan
produk barang/jasa hasil aplikasi teknologi
nasional),
kebijakan
perdagangan
(yang membatasi ekspor bahan baku
dan mendorong ekspor dalam bentuk
produk jadi, sehingga secara langsung
meningkatkan kebutuhan teknologi di
dalam negeri dalam rangka meningkatkan
nilai tambah produk ekspor).
Dukungan politik berikutnya yang
dibutuhkan adalah sinergi kebijakan
32

lintas-sektor dalam rangka mewujudkan


ekosistem SINas yang kondusif, termasuk
kebijakan
perpajakan,
ekonomi
makro, infrastruktur, ketenagakerjaan,
kesejahteraan rakyat, pertahanan dan
keamanan, serta sektor-sektor lain
yang relevan untuk masing-masing
jenis teknologi. Politik memang kadang
tidak rasional, tetapi patutlah berharap
agar deviasi dari rasionalitas tersebut
agar lebih memihak pada upaya
membangun kemandirian teknologi
nasional, demi kemajuan peradaban
bangsa dan peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia, sebagaimana yang
diamanahkan oleh konstitusi, UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat
(5): Pemerintah memajukan iptek dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
6. Analisis dan Sintesis
Mewujudkan sistem inovasi yang
efektif dan produktif ternyata harus
mempertimbangkan berbagai dimensi.
Terlalu naif jika sistem inovasi tersebut
direduksi hanya sebagai kegiatan riset
dan pengembangan teknologi, walaupun
memang riset dan pengembangan
teknologi merupakan bagian yang
sangat penting dari sistem inovasi.
Kegagalan dalam mewujudkan sistem
inovasi di beberapa negara sering
disebabkan oleh pereduksian cakupan
sistem inovasi, dengan memfokuskan
pada upaya meningkatkan kemampuan
pengembangan
dan
penguasaan
teknologi, dengan asumsi bahwa
jika teknologi dikuasai maka dengan
sendirinya dapat menjamin keberhasilan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

mewujudkan sistem inovasi nasionalnya.


Sistem inovasi terbukti tidak bisa
disederhanakan.
Sistem
inovasi
merupakan sebuah sistem yang sangat
kompleks. Walaupun demikian, sistem
yang kompleks ini dapat dibedah
menjadi bagian inti dari sistem tersebut
dan
komponen
ekosistem
yang
mempengaruhinya. Bagian inti dari sistem
inovasi melibatkan secara langsung
interaksi antara pengembang dan
pengguna teknologi yang dapat dimediasi
atau fasilitasi oleh aktor ketiga, yakni
pemerintah yang sekaligus juga dapat
membuat regulasi untuk mengatur agar
interaksi antara pengembang-pengguna
teknologi tersebut dapat bersifat
mutualistik, atau menguntungkan bagi
kedua belah pihak.
Lakitan (2010) menegaskan bahwa sistem
inovasi hanya dapat terwujud jika dua aliran
terjadi secara berkesinambungan, yakni
aliran informasi kebutuhan atau persoalan
teknologi yang dihadapi para pengguna
teknologi dapat diterima, dipahami,
dan dijadikan pertimbangan pokok oleh
para pengembang teknologi dalam
melaksanakan riset dan pengembangan
untuk menghasilkan teknologi yang sesuai
kebutuhan; selanjutnya, terjadi juga aliran
pasokan teknologi yang relevan secara
berkesinambungan dari pengembang ke
pengguna teknologi. Untuk aliran yang
kedua ini dapat terjadi, maka teknologi
yang dihasilkan harus relevan dan handal
secara teknis dan juga sesuai dengan
kapasitas adopsi pengguna teknologi
yang menjadi sasarannya.
Selama ini di Indonesia, kedua aliran
ini masih tersendat. Komunikasi dan
interaksi antara pengembang dan
pengguna teknologi masih belum intensif.
ISSN : 2252-911X

Kalaupun kadang terkesan telah ada


interaksi tersebut, tetapi pada hakikinya
umumnya hanya bersifat seremonial yang
dikemas dalam bentuk penandatanganan
Memorandum of Understanding atau
dokumen sejenisnya. Latar belakang
interaksi ini lebih sering hanya karena
kedua belah pihak ingin membangun citra
bersama. Pengembang teknologi ingin
menunjukkan (terutama kepada publik)
bahwa apa yang dilakukan telah mendapat
perhatian dari pihak dunia usaha atau
pengguna potensial lainnya; sebaliknya
pihak dunia usaha melakukannya lebih
sering dalam rangka membangun
citra bahwa perusahaannya menaruh
perhatian terhadap dunia pendidikan,
penelitian, dan pengembangan teknologi.
Faktanya, hanya sedikit sekali teknologi
nasional yang digunakan oleh industri
dalam proses produksi barang/jasa yang
dibutuhkan konsumen di Indonesia.
Kendala dalam mewujudkan sistem inovasi
yang efektif dan produktif di Indonesia
adalah pendekatan yang digunakan
dalam pengembangan teknologi, yakni
sangat dominan berorientasi supplypush. Mengembangkan teknologi terlebih
dahulu sesuai dengan kepakaran dan
keinginan para peneliti/akademisi, baru
kemudian berharap hasil pengembangan
teknologi tersebut (berupa prototipe,
model, atau bentuk lainnya) diminati
oleh para pengguna. Upaya untuk
menawarkannya pada dunia usaha juga
umumnya minimal, karena dianggap
bukan lagi tugas dan kewajiban dari
para
peneliti/akademisi.
Walaupun
untuk mengisi peran ini kemudian
dihadirkan lembaga intermediasi, namun
upaya ini tidak membuahkan hasil yang
menggembirakan. Contoh aktualnya
adalah beberapa Business Technology
33

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Center (BTC) yang dulu pernah dibentuk,


sekarang sudah tidak difungsikan lagi.
Uraian di atas menjadi fondasi dari
keyakinan bahwa perlu re-orientasi
dalam membangun sistem inovasi.
Proses re-orientasi ini hanya akan
berhasil jika terjadi perubahan mindset
di kalangan aktor inovasi, terutama pihak
pengembang teknologi.
Perubahan mindset ke arah demand-driven
menuntut para pengembang teknologi
untuk tidak lagi mengembangkan
teknologi hanya berdasarkan kepakaran
yang dimiliki dan keinginan yang didorong
oleh hasrat akademik semata. Kegiatan
pengembangan teknologi baru dilakukan
jika telah dipahami kebutuhan atau
persoalan teknologi yang dihadapi oleh
para pengguna teknologi. Pengguna
teknologi berdasarkan karakteristiknya
dapat dipilah menjadi 3 kelompok
utama, yakni dunia usaha atau industri,
pemerintah, dan masyarakat.
Kebutuhan teknologi dari dunia usaha atau
industri umumnya mempunyai corak yang
kental dengan pertimbangan ekonomi,
walaupun ada juga pertimbangan terkait
kehandalan teknis dari teknologi yang
dibutuhkan, namun kehandalan ini juga
pada dasarnya tak lepas dari perspektif
ekonomi, terutama dikaitkan dengan
mutu produk yang akan dihasilkan,
konsistensi produksi sehingga pasokan ke
pasar lebih terjamin, dan masa produktif
dari aplikasi teknologi yang akan diadopsi.
Teknologi yang ditawarkan ke dunia
usaha atau industri harus juga kompetitif
dari aspek kehandalan teknis dan harga
(terkait investasi yang perlu dikeluarkan
oleh perusahaan), karena umumnya jenis
teknologi serupa juga ditawarkan oleh
berbagai pihak kompetitor.
34

Kebutuhan
teknologi
pemerintah
cenderung bersifat spesifik, misalnya
teknologi pertahanan untuk menjaga
kedaulatan dan keutuhan wilayah;
teknologi keamanan untuk mewujudkan
rasa aman bagi rakyat dan lingkungan yang
kondusif bagi berbagai kegiatan produktif
di dalam negeri; dan teknologi untuk
mendukung upaya peningkatan kualitas
layanan publik, terutama teknologi
informasi dan komunikasi. Dimensi politik
akan sangat mempengaruhi kebutuhan
dan pilihan teknologi yang potensial
untuk diadopsi oleh pemerintah.
Sebagai pengguna teknologi, masyarakat
negara berkembang seperti Indonesia
umumnya
membutuhkan
teknologi
yang terjangkau secara ekonomi, mudah
diaplikasikan secara teknis, dan tidak
terlalu senjang secara sosio-kultural.
Ketiga dimensi pertimbangan ini secara
kumulatif akan menjadi ukuran dari
kapasitas adopsi teknologi masyarakat.
Walaupun demikian, rentang kebutuhan
teknologi masyarakat di negara manapun
akan mempunyai spektrum yang sangat
lebar sebagai akibat kesenjangan
ekonomi yang sangat tinggi antara lapisan
masyarakat kaya dan miskin.
Karakteristik masing-masing kelompok
pengguna teknologi yang diuraikan di atas
memberikan penegasan bahwa kebutuhan
teknologi akan sangat beragam dan tidak
hanya murni karena pertimbangan teknis,
tetapi juga secara nyata dipengaruhi
oleh berbagai dimensi lainnya, termasuk
dimensi ekonomi, sosio-kultural, regulasi
dan kebijakan publik, serta politik.
Dengan
demikian,
pengembangan
teknologi yang sesuai kebutuhan tidak
boleh hanya mempertimbangkan dimensi
teknisnya semata, tetapi perlu juga
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

mempertimbangkan dimensi ekonomi,


sosio-kultural, regulasi, dan politik.
Interaksi antara pengembang-pengguna
bersifat dinamis, terutama dipicu oleh
dinamika sisi kebutuhan teknologi
yang tidak mungkin dapat diisolasi dari
dinamika
perkembangan
teknologi
dan perekonomian global. Untuk
mengurangi dampak dinamika global
dan mempertimbangkan ukuran pasar
domestik Indonesia yang besar, maka
sistem inovasi Indonesia perlu lebih
berorientasi pada penguatan teknologi
nasional untuk pemenuhan kebutuhan
pasar domestik, serta berbasis pada
potensi dalam negeri.
Sudah sepatutnya, sebelum merambah
pasar global maka permintaan pasar
domestik perlu dipenuhi terlebih dahulu
dengan produk teknologi nasional
dalam rangka membangun kemandirian
bangsa. Indonesia tidak perlu meniru
strategi yang diusung oleh negara
maju dengan pasar domestik yang kecil
(misalnya negara-negara Skandinavia)
untuk lebih berorientasi global. Buat
negara dengan pasar domestik yang kecil,
maka go global adalah opsi yang tepat
untuk kesinambungan pengembangan
teknologinya, jika tidak maka cost recovery
dari kegiatan pengembangan teknologi
akan selalu defisit.
Arahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk pembangunan ekonomi
yang lebih mengutamakan pasar domestik
mempunyai dasar argumen yang kuat dan
perlu didukung dengan Sistem Inovasi
Nasional yang berkesesuaian.
Dibutuhkan kebijakan publik dan regulasi
yang tepat untuk mewujudkan sistem
inovasi Indonesia yang berorientasi dan
ISSN : 2252-911X

berbasis internal tersebut. Rasa bangga


atas kemampuan nasional perlu dipupuk
dalam sanubari setiap rakyat Indonesia,
dimana upaya ini akan menjadi lebih
mudah jika teknologi Indonesia terbukti
handal dalam memproduksi barang dan
jasa yang berkualitas, serta secara nyata
berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi yang menyejahterakan rakyat.
Kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan
mencakup untuk: (1) Meningkatkan
intensitas
dan
kualitas
interaksi
antara pengembang dan pengguna
teknologi, misalnya regulasi terkait
pemberian insentif bagi dunia usaha
atau pengguna teknologi lainnya yang
berkontribusi terhadap pembiayaan
kegiatan
pengembangan
teknologi;
dan (2) Mewujudkan ekosistem yang
kondusif bagi tumbuh-kembang sistem
inovasi, termasuk kebijakan dan regulasi
tentang makro ekonomi, keuangan dan
perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan,
infrastruktur pendukung, dan tentunya
juga kebijakan dan regulasi yang langsung
terkait pembangunan iptek.
Beberapa
kebijakan
dan
regulasi
yang saat ini telah diterbitkan dan
diberlakukanternyata belum efektif.
Kemungkinan besar karena paket insentif
yang ditawarkan kepada para pengguna
(terutama dunia usaha) yang diharapkan
ikut berkontribusi dalam pembiayaan
kegiatan
pengembangan
teknologi
masih dianggap kurang menarik. Hal
ini mungkin disebabkan karena pihak
dunia usaha melihat bahwa insentif yang
diperoleh sangat tidak sebanding dengan
besaran kontribusi yang dikeluarkan.
Pihak pemerintah yang mengeluarkan
regulasi juga terkesan lebih melihat
pemberian insentif tersebut sebagai
35

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

kehilangan sumber pendapatan negara


dan belum melihat dari perspektif jangka
panjang bahwa kemajuan teknologi akan
berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi yang pada gilirannya akan
meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah selain berfungsi sebagai
regulator, melalui kebijakan dan regulasi
yang efektif, aplikatif, dan komprehensif,
juga perlu meningkatkan perannya sebagai
fasilitator dengan menyediakan fasilitas
pengembangan teknologi, eksibisi produk
teknologi, dan lembaga intermediasi
untuk mendorong aliran informasi
kebutuhan teknologi dari pengguna
ke pengembang, serta sebaliknya
aliran paket teknologi yang relevan
dari pengembang ke (calon) pengguna
potensialnya. Untuk melaksanakan fungsi
fasilitasi ini, pemerintah tidak perlu
membentuk lembaga baru, tetapi hanya
perlu penataan ulang lembaga-lembaga
struktural maupun non-struktural yang
sudah ada dan/atau merevitalisasi
lembaga-lembaga yang terkait.
7. Rekomendasi
Berdasarkan telaah yang dilakukan,
maka dapat dirumuskan butir-butir
rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, Dalam rangka mewujudkan
sistem inovasi yang efektif dan produktif,
maka kegiatan pengembangan teknologi
harus lebih berorientasi pada realita
kebutuhan (demand-driven) dan/atau
untuk menyediakan solusi bagi persoalan
teknologi yang dihadapi oleh para

36

pengguna; serta disesuaikan dengan


kapasitas adopsi dari masing-masing
pengguna potensialnya.
Kedua, Diskripsi kebutuhan teknologi
perlu mencakup semua dimensi yang
relevan, termasuk dimensi teknis,
ekonomi, sosio-kultural, regulasi, dan
politik; karena jika dilakukan secara parsial
akan mengurangi peluang bagi teknologi
yang dikembangkan tersebut untuk
diadopsi oleh pengguna. Hal ini untuk
mempertegas pentingnya memahami
dimensi non-teknologi dari sistem inovasi.
Ketiga, Untuk mewujudkan kemandirian
bangsa dan mempertimbangkan kapasitas
pasar domestik yang besar, maka sistem
inovasi Indonesia perlu mendahulukan
upaya
pemenuhan
permintaan/
kebutuhan pasar domestik dan berbasis
pada potensi sumberdaya dalam negeri.
Pasar domestik Indonesia yang besar
merupakan daya tarik utama untuk
investasi bagi negara asing, sehingga
sangat tidak tepat jika sistem inovasi
nasional tidak diprioritaskan untuk
pemenuhan kebutuhan pasar domestik.
Keempat, Perlu disiapkan regulasi dan
kebijakan publik yang aplikatif, efektif,
dan komprehensif untuk mengawal dan
memacu tumbuh-kembang sistem inovasi
nasional. Regulasi dan kebijakan tersebut
perlu cukup menarik bagi para pihak
yang potensial untuk berkontribusi dalam
pembiayaan kegiatan pengembangan
teknologi dan pemerintah perlu lebih
melihat dari perspektif jangka panjang
prospek kontribusi teknologi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Daftar Pustaka
Ayyagari, M., A. Demiurgic-Kunt and V.
Maksimovic, 2006. Firm Innovation
in Emerging Markets: Role of
Government and Finance, the World
Bank, Washington D.C.
Bloch, D. 2011. Procurement for
Innovation in the United States.
Presented at China-OECD Roundtable
on Innovation Policies, Beijing, 18-19
October 2011
Boardman, P.C. 2009. Government
centrality to universityindustry
interactions: University research
centers and the industry involvement
of academic researchers. Research
Policy 38:15051516
Bottazi, L. and G. Peri, 2005. The
International Dynamics of R&D and
Innovation in the Short Run and the
long run, NBER Working Paper 11524.
Brahmbhatt, M. and A. Hu. 2007. Ideas
and Innovation in East Asia. World
Bank Policy Research Working Paper
No. 4403
Cervantes, M. 2011. Demand-side Policies
for Innovation: insights from the latest
OECD Work. Presented at China-OECD
Roundtable on Innovation Policies,
Beijing, 18-19 October 2011
Cohen, W.M dan D.A. Levinthal, 1989.
Innovation and Learning:the two faces
of R&D. Economic Journal 99:569-596.
Eaton, J. and S. Kortum, 1996. Trade in
Ideas: patenting and productivity in
the OECD, Journal of International
Economics 40:251-278.

ISSN : 2252-911X

Firdausy, CM., 2010. The development


of Foreign Direct Investment and
Its Impact on Firms Productivity,
Employment and Export in Indonesia,
Edward Elgar.
Hasanuddin. 2011. Transformasi Budaya
Masyarakat
Indonesia
Menuju
Bangsa Inovasi: peluang, kendala,
dan strategi. Lembaga Penelitian
Universitas Andalas, Limau Manis,
Padang, 19 Mei 2011
Hobday, M., 1995. Innovation in East
Asia: the Challenge to Japan., London,
Edward Elgar.
Kementerian Ristek. 2011. Inovasi untuk
Kesejahteraan Rakyat: Arah penguatan
SINas untuk meningkatkan kontribusi
iptek
terhadap
pembangunan
nasional. Kementerian Riset dan
Teknologi, Jakarta.
Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan
Riset dan Pengembangan untuk
Mendukung Sistem Inovasi Nasional.
Keynote speech pada seminar
Revitalisasi Kelembagaan Litbang,
Pascasarjana
Universitas
Sahid,
Jakarta, 23 November 2010
LIPI. 2009. Survei Litbang Industri
Manufaktur.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta
LIPI. 2010. Indikator Iptek Indonesia
2009. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta
MEXT. 2002. Annual Report on the
Promotion of Science and Technology.
Ministry of Education, Culture, Sport,
Science and Technology, Tokyo.

37

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

OECD. 2005. Oslo Manual. Guidelines for


Collecting and Interpreting Innovation
Data, 3rd Edition. OECD, Paris.

World Bank, 2010. Innovation Policy :


A Guide for Developing Countries.
Washington D.C.

OECD. 2011. Science, Technology, dan


Industry Scoreboard: Innovation and
growth in knowledge economies.
OECD, Paris.

World Economic Forum. 2010. The Global


Competitiveness Report 2010-2011,
WEF, Geneva.

Sanz-Menendez, L. 2011. Demand-side


Policies on Innovation: new trends
and policy issues. Presented at ChinaOECD Roundtable on Innovation
Policies, Beijing, 18-19 October 2011
Shin, T. 2011. Koreas Strategy for
Development of STI Capacity in a
Historical Perspective. Presented at
China-OECD Roundtable on Innovation
Policies, Beijing, 18-19 October 2011
Solow, R.M. 1957. Technical change and
the aggregate production function.
Review of Economics and Statistics 39
(3): 312320

Wyckoff, A. 2011. The OECD Science,


Technology, and Industry Scoreboard
2011. Presented at China-OECD
Roundtable on Innovation Policies,
Beijing, 18-19 October 2011
Yuliar, S. 2011. Isu-Isu Sosial dan Etikal
yang Relevan dengan Sistem Inovasi.
Bahan presentasi pada Workshop
tentang Transformasi Budaya :
Sebuah Tinjauan Sistem Inovasi
(Nasional) dari Perspektif Nonteknologi. Kementerian Negara Riset
dan Teknologi, Jakarta, 15 Juni 2011

Usman, S. 2011. Trasformasi Sosial: Sebuah


Tinjauan Sistem Inovasi Nasional dari
Perspektif Non-teknologi. Presentasi
di Kementerian Riset dan Teknologi,
15 Juni 2011

38

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Penyelarasan Arah Pengembangan Lembaga Litbang


Publik untuk Penguatan Industri Penghasil Barang
Modal Nasional
Fajar Supraptoa, Sadono Sriharjob, Anita Febriyanti a
a
Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta
b
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta
Abstract
Strengthening national capital goods-producing industries is a strategic action for establishing
approriate policy on R&D institutions to support the national innovation system (NIS). A survey
on governance of public R&D institutions was conducted in order to comprehend present
performance of the institutions. Collected data will be used as base for formulating policy on
R&D institutional development. In 2011, the survey were covered only public R&D institutions,
consisted of ministrial R&D agencies, non-ministrial R&D institutes, and provincial offices
responsible for R&D activities. Data collected from the survey were validated. Feedbacks
from 250 institutions were analyzed for data associated with R&D budget, human resources,
facilities, and outputs; however, after validation, only feedbacks from 204 institutions were
analyzed for their subjective perceptions on related current issues. Balance Score Card (BSC)
was used as instrument in formulating policy recommendation on improving governance
quality of R&D institutions. Results of the survey indicated that: (1) based on finance and
economic perspective, product relevance and financial capacity of public R&D institutions
were sub-optimal, but outsourcing capacity of the institutions were satisfactory; (2) based on
costumer and stakeholder perspective, R&D outputs, dissemination services, and long-term
relationships with costumers and/or stakeholders were considered low; (3) based on learning
and innovation perspective, R&D competencies and working environment were not optimal,
but supporting infrastructures were adequate; and (4) based on internal business process
perspective, operational effectivity and efficiency for supporting activities are satisfactory at
non-ministrial but not at ministrial R&D institutions, however, they were not satisfactory for
both public R&D institutions in implementation of regulations and public policies.
Abstrak
Penguatan industri penghasil barang modal nasional merupakan salah satu langkah strategis
dalam kebijakan pengembangan kelembagaan iptek untuk mendukung penguatan Sistem
Inovasi Nasional (SINas). Dalam rangka memahami kondisi lembaga litbang Indonesia pada
saat ini, dilaksanakan Survei Tatakelola Lembaga litbang yang ditujukan untuk menghimpun
data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan lembaga
litbang tersebut. Untuk tahun 2011, survei dilakukan terhadap lembaga litbang pemerintah,
yang terdiri dari Lembaga Penelitian Kementerian (LPK), Lembaga Pemerintah Non
ISSN : 2252-911X

39

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Kementerian (LPNK), dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani bidang
litbang (Bappeda/Balitbangda). Setelah dilakukan validasi, ditetapkan 250 lembaga litbang
yang datanya diproses untuk komponen objektif kondisi belanja litbang, SDM, sarana
prasarana dan keluaran; dan 204 lembaga litbang untuk komponen subjektif tentang
persepsi lembaga tentang kondisi realita saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan lembaga litbang yang difokuskan pada
peningkatan kualitas tatakelola adalah Metode Balance Score Card (BSC). Hasil analisis data
survei menunjukkan bahwa: (1) berdasarkan perspektif keuangan dan ekonomi, terindikasi
bahwa relevansi produk dan peningkatan kapasitas litbang pemerintah masih belum
optimal, tetapi kapasitas outsourcing terindikasi sudah berjalan; (2) berdasarkan perspektif
pelanggan dan pemangku kepentingan, terindikasi bahwa kesesuaian paket produk litbang,
layanan diseminasi produk, dan hubungan jangka panjang dengan pelanggan dan pemangku
kepentingan tergolong masih rendah; (3) berdasarkan perspektif pembelajaran dan inovasi
terindikasi bahwa peningkatan kompetensi dan lingkungan kerja masih belum optimal, tetapi
kondisi infrastruktur pendukung dianggap sudah memadai; dan (4) berdasarkan perspektif
proses bisnis internal terindikasi bahwa efektivitas dan efisiensi operasional kegiatan
penunjang pada lemlitbang LPK masih belum memadai, tetapi sudah cukup memadai untuk
lemlitbang LPNK, sedangkan untuk pelaksanaan regulasi dan kebijakan baik lemlitbang LPK
maupun LPNK dipersepsikan masih rendah.
Kata kunci: pengembangan kelembagaan, barang modal, industri, SINas
1. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
mempunyai peran penting bagi kemajuan
bangsa
dan
kesejahteraan
rakyat.
Peran iptek ini bisa diwujudkan, jika
iptek yang dikuasai dan dikembangkan
dapat didayagunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan/atau menjadi
solusi bagi permasalahan nyata yang
dihadapi pemerintah maupun masyarakat.
Fakta yang terjadi di berbagai negara di
dunia telah membuktikan bahwa iptek
memegang peran penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional masingmasing negara. Di Indonesia, konstitusi
dasar negara yakni Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 Pasal 31 ayat (5) telah
mengamanatkan pemajuan iptek bagi
40

peningkatan kesejahteraan rakyat. Secara


eksplisit dalam pasal tersebut diamanatkan
kepada
pemerintah
memajukan
memajukan iptek dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk memajukan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia. Pernyataan
tersebut memperlihatkan kesadaran akan
pentingnya pembentukan kemampuan
iptek sebagai salah satu sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya,
peran stategis iptek ini juga dapat dicermati
pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
yang menjadikan iptek sebagai instrumen
utama dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005
2025 pun menyatakan visi pembangunan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

nasional, yaitu menuju Indonesia yang


maju, adil, dan makmur. Pencapaian visi
tersebut dilakukan dengan menetapkan
8 (delapan) misi pembangunan, salah
satunya adalah mewujudkan bangsa yang
berdaya saing. Upaya ini dilakukan antara
lain dengan memperkuat perekonomian
yang berorientasi dan berdaya saing global,
transformasi bertahap dari perekonomian
berbasis
keunggulan
komparatif
sumberdaya alam menjadi perekonomian
yang berkeunggulan kompetitif. Di sinilah
diperlukan adanya Sistem Inovasi Nasional
(SINas) dalam peningkatan produktivitas
nasional.
Demikian pula, Master Plan Perluasan
Percepatan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang pada pertengahan
Tahun 2011 ditetapkan Pemerintah, telah
menjadikan pengembangan kemampuan
SDM dan Iptek sebagai salah satu dari tiga
pilar penyangga MP3EI. Salah satu aktor
penting dalam pengembangan iptek adalah
lembaga penelitian dan pengembangan
(litbang), baik di kementerian maupun non
kementerian. Oleh karena itu, lembaga
litbang yang selama ini telah lama berdiri di
Indonesia perlu mendapat dukungan untuk
merevitalisasi tatakelola lembaganya agar
dapat berkontribusi nyata bagi kemajuan
iptek dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Peningkatan kualitas lemlitbang sebagai
lembaga pengembang teknologi dengan
merevitalisasi tatakelolanya merupakan
salah satu isu publik yang mendesak
dalam mendukung tercapainya perkuatan
Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang
berkelanjutan. Setiap negara mempunyai
SINas dengan corak yang berbeda dan
khas, yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisinya masing-masing. Pendekatan
SINas menekankan pada aliran teknologi
ISSN : 2252-911X

dan informasi di antara manusia, lembaga,


dan institusi yang terlibat sebagai kunci
dalam proses inovasi. Esensi pokok dari
upaya mewujudkan SINas ini adalah
menjamin agar aliran teknologi dan aliran
informasi dari lembaga pengguna ke
pengembang teknologi ataupun sebaliknya
dapat berjalan lancar.
Prasyarat agar hal ini dapat terjadi adalah
pihak pengembang teknologi harus
memahami betul kebutuhan dan persoalan
yang dihadapi oleh para pengguna teknologi,
serta memiliki kapasitas yang cukup
untuk mengembangkan teknologi sebagai
solusinya. Sedangkan para pengguna
teknologi bersedia mengungkapkan secara
jelas dan utuh tentang persoalan dan
kebutuhan teknologinya, serta mempunyai
keyakinan akan kehandalan teknologi
domestik (Lakitan, 2009; 2011).
Kebijakan penguatan SINas dengan
mendorong terjadinya proses inovasi yang
berkesinambungan perlu dilakukan dengan
berangkat pada isu strategis yang terjadi
di lapangan. Tentu saja isu strategis yang
dihadapi oleh masing-masing negara dalam
penguatan SINas bersifat unik karena
kondisi yang berbeda-beda.
Khususnya di Indonesia, terdapat tiga isu
strategis bagi penguatan SINas yang telah
diidentifikasi, yakni: (1) terjadinya distorsi
kompetensi SDM antar stakeholders
SINas; (2) pembentukan jejaring kerja
(networking) iptek antar unsur-unsur
kelembagaan iptek yang belum kondusif;
dan (3) pengembangan kelembagaan
iptek yang masih belum optimal dalam
memberikan dukungan pada industrialisasi.
Secara garis besar, ketiga isu strategis
penguatan SINas tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
41

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Pertama, distorsi kompetensi SDM antar


stakeholders SINas, yakni antara lembaga
penyedia teknologi yang berkiprah dalam
penelitian,
pengembangan,
rekayasa,
dan operasional (RDEO-research, design,
engineering, operation), lembaga pengguna
teknologi
yang
mentransformasikan
teknologi menjadi produk (barang dan jasa),
lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM
dan teknologi, maupun lembaga pendanaan
menjadi isu publik dalam pembangunan
iptek menuju knowledge based economy.
Kedua, pembentukan jejaring kerja
(networking) iptek yang kondusif antar
unsur-unsur kelembagaan iptek, yakni
kecenderungan industri nasional untuk
melakukan inovasi proses dan inovasi
produk masih dominan mengandalkan
lisensi impor sehingga kemampuan litbang
industri menjadi tidak berkembang.
Hal ini menyebabkan partisipasi swasta
dalam
pengembangan,
penguasaan,
serta pemanfaatan iptek menjadi relatif
kecil sehingga pembiayaan untuk tujuan
pembangunan iptek masih menjadi beban
dari dana publik. Sumber pembiayaan
belanja litbang Indonesia sebagian besar
(>70%) masih berasal dari anggaran
pemerintah dan pelaksana litbang pun
hampir seluruhnya merupakan institusi
pemerintah.
Dari kondisi ini dapat dimengerti bahwa
aktivitas litbang di Indonesia masih
didominasi oleh sektor pemerintah,
akibatnya belum mampu memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap
pembangunan perekonomian nasional.
Ini berbeda dengan negara-negara maju
pada umumnya, dimana belanja litbang
sebagian besar bersumber dari dunia usaha
dan industri dengan pelaksana litbang juga
banyak dari dunia usaha.
42

Untuk meningkatkan kontribusi swasta


dalam
pelaksanaan
penguasaan,
pengembangan,
serta
pemanfaatan
iptek tersebut maka perlu ditingkatkan
kemitraan berbasis sinergi program (sinergi
fungsional) dengan melakukan penjajaran
antara kebutuhan industri dengan kegiatan
litbang yang dilakukan oleh lembaga
penghasil teknologi.
Dalam jangka panjang, kemitraan berbasis
sinergi program yang dilakukan tersebut
dipastikan akan mendorong pertumbuhan
ekspor industri nasional berbasis teknologi
secara
signifikan
sehingga
terjadi
peningkatan nilai ekonomi yang didapatkan
dari sumber daya alam yang ada; dan
Ketiga, pengembangan kelembagaan
iptek yang masih belum optimal dalam
memberikan dukungan pada industrialisasi
dalam
rangka
peningkatan
nilai
tambah (added value) sebagai sumber
pertumbuhan baru bagi perekonomian
nasional. Disamping itu, pengembangan
kelembagaan iptek yang dilakukan masih
belum selaras dengan arah pengembangan
industri nasional sehingga belum optimal
dalam
mendorong
pengembangan
industri yang berbasis pada peningkatan
kemampuan adopsi teknologi.
Pengembangan
kelembagaan
iptek
yang terdiri atas unsur perguruan tinggi,
lembaga litbang, badan usaha, dan
lembaga penunjang dimaksudkan untuk
mengatasi kendala yang terkait dengan
belum optimalnya pengelolaan dan
penyelenggaraan terhadap pembentukan
SDM,
penelitian,
pengembangan,
perekayasaan,
inovasi,
dan
difusi
teknologi. Pengembangan kelembagaan
iptek diharapkan mampu mewujudkan
iklim kondusif pada jejaring kerja antar
stakeholders SINas, baik pemerintah,
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

perguruan tinggi, industri, maupun


masyarakat.
Pengembangan
sumber
daya iptek yang terdiri atas keahlian,
kepakaran, kompetensi manusia dan
pengorganisasiannya, kekayaan intelektual
dan informasi, serta sarana dan prasarana
iptek perlu dilakukan sebagai faktor krusial
untuk mendukung berjalannya proses
inovasi dalam SINas.
Semua permasalahan dalam penguatan
SINas
tersebut
telah
berkembang
menjadi isu publik karena pembangunan
iptek nasional belum optimal dalam
memberikan kontribusi bagi peningkatan
daya saing industri nasional, kemandirian
bangsa, serta kesejahteraan masyarakat
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi
dasar.
Beberapa
isu
strategis
tersebut
memerlukan intervensi pemerintah dalam
bentuk kebijakan publik yang tepat. Salah
satu kebijakan publik yang perlu dilakukan
adalah pengembangan kelembagaan iptek
untuk mendukung peningkatan tatakelola
kualitas lembaga litbang nasional.
Tata kelola merupakan terjemahan dari
governance dalam bahasa Inggris. Kata
governance sendiri dalam bahasa Inggris
sering digunakan dalam banyak makna.
Di bidang manajemen, sering mendengar
istilah corporate governance. Di sektor
pemerintah, istilah good governance
merupakan istilah yang tidak asing lagi.
Sementara dalam kajian ekonomi inovasi
juga dikenal istilah network governance.
Governance dalam bahasa Inggris dapat
ditelusuri mulai dari bahasa Yunani
kybernan, gubernare dalam bahasa latin
dan governor dalam bahasa Perancis lama.
Kybernan berarti mengemudikan atau
mengarahkan (steer), menuntun (guide)
atau mengelola (govern). Jika melihat akar
ISSN : 2252-911X

kata dalam bahasa Inggris, maka padanan


yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah
tatakelola. Dalam tatakelola terkandung
pengertian
proses
mengarahkan,
menuntun dan mengelola.
Neo dan Chen (2007) menggunakan konsep
governance dengan pengertian sebagai
proses interaksi atau hubungan antara
pemerintah dan warga negara dalam
memformulasikan, mengimplementasikan
dan mengevaluasi program dan kebijakan
publik. Secara luas, kepemerintahan
mencakup aturan (rules), institusi dan
jejaring yang menentukan bagaimana
sebuah organisasi atau sebuah negara
menjalankan fungsinya. Dengan kata lain,
kepemerintahan adalah cara (manner)
pemerintah menjalankan otoritas dan
pengaruh yang dimilikinya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan kepentingan jangka panjang dari
masyarakat bekerjasama dengan semua
pemangku kepentingan.
Pengertian governance seperti digunakan
oleh Neo dan Chen (2007) bersifat makro.
Ia merupakan aturan yang mengatur
kerja bersama antar berbagai actor yang
memiliki kepentingan bersama untuk
mencapai tujuan bersama yang telah
disepakati. Dengan inti pengertian yang
sama, corporate governance adalah aturan
yang mengatur bagaimana perusahaan
atau organisasi dikelola. Hal ini menyangkut
tata kelola dalam sebuah organisasi.
Dengan demikian, tata kelola dapat
dimaknai sebagai aturan yang mengatur
berbagai actor atau organisasi pada skala
makro. Tetapi juga dapat dimaknai sebagai
aturan tata kelola dalam sebuah organisasi.
Dalam kajian ini, pengertian yang
terakhir yang menjadi perhatian, yakni
bagaimana lemlitbang sebagai sebuah
43

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

organisasi dikelola. Tata kelola dalam


organisasi sepadan pengertiannya dengan
manajemen organisasi.
2. Survei Tatakelola Lemlitbang
Dalam rangka implementasi kebijakan
publik untuk memberikan solusi atas
isu publik tersebut, maka diperlukan
data faktual kondisi terkini lemlitbang
yang ada sehingga kebijakan publik yang
diimplementasikan dapat memberikan
solusi
yang
komprehensif.
Untuk
mendukung perumusan kebijakan yang
komprehensif tersebut perlu dilakukan
kegiatan pemetaan berupa survai terhadap
lemlitbang nasional yang ada, baik di
lingkungan kementerian maupun non
kementerian. Dalam konteks kebijakan
peningkatan kualitas lemlitbang nasional,
maka kegiatan survai tersebut perlu
difokuskan pada pelaksanaan tatakelola
yang dilakukan oleh lemlitbang.
2.1. Tujuan Survei
Melalui pelaksanaan Survei Tatakelola
Lemlitbang diharapkan akan dihasilkan
berbagai data dan informasi yang
diperlukan dalam penyusunan kebijakan
pengembangan
kualitas
lemlitbang
mencakup: (1) peningkatan kemampuan
lemlitbang sehingga lemlitbang mampu
mengembangkan dan memanfaatkan
aset (tangible/intangible assets) secara
optimal; (2) peningkatan pelaksanaan
tupoksi sehingga lemlitbang mampu
menghasilkan produk yang relevan dengan
kebutuhan pengguna serta sesuai dengan
kapasitas adopsi lembaga pengguna
teknologi; (3) peningkatan diseminasi
(komersial/non komersial) produk hasil
lemlitbang sehingga mampu mendukung
44

peningkatan
sensitivitas
lemlitbang
dalam merespon kebutuhan teknologi
dan keterbukaan/keinginan dari lembaga
pengguna teknologi untuk berbagi; serta
(4) peningkatan kontribusi lemlitbang
untuk perkuatan SINas sehingga produk
lemlitbang mampu memberikan kontribusi
bagi peningkatan kemanfaatan atau
keuntungan lembaga pengguna teknologi
secara optimal.
Peningkatan kualitas lembaga-lembaga
litbang yang ada merupakan kebutuhan
mutlak dan mendesak. Untuk mengetahui
kondisi terkini lembaga-lembaga litbang
yang ada perlu dilakukan kegiatan
pemetaan terhadap lembaga/intitusi
yang ada. Melalui pelaksanaan survei
tata kelola lembaga litbang diharapkan
akan dihasilkan berbagai rekomendasi
yang mencakup pengembangan program/
kegiatan lembaga litbang, pengembangan
sumber daya litbang (SDM, infrastruktur,
dana), pengembangan proses bisnis utama
dalam mekanisme pelaksanaan tupoksi
lembaga litbang dengan berbagai Standard
Operating Procedure (SOP) pendukung,
serta pengembangan kebijakan/regulasi
nasonal sehingga berbagai proses bisnis
utama yang dilakukan dapat terintegrasi
sesuai dengan business functions dan
business area dari SINas.
2.2. Metode Survei
Survei dilakukan dengan menyebarkan
377 kuisioner kepada unit kerja
pemerintah yang terdiri dari Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK),
Lembaga Penelitian Kementerian (LPK)
dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) yang menangani bidang litbang
(Bappeda/Balitbangda). Kuisioner terdiri
dari dua bagian yakni: Bagian A, terdiri
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

dari pertanyaan yang berkaitan dengan


belanja litbang, SDM, sarana prasarana
dan keluaran; dan Bagian B, terdiri dari
serangkaian pernyataan Perspektif dimana
responden diminta untuk memberikan
persepsinya tentang pernyataan dalam
kuesioner.
Dari 377 unit kerja yang disurvei,
sebanyak 289 yang teridentifikasi
melakukan kegiatan litbang. Selanjutnya
dari 289 lembaga litbang terpilih, yang
mengembalikan kuisioner sebanyak 272
lembaga. Setelah dilakukan validasi,
hanya 250 lembaga litbang yang datanya
dapat diproses untuk kuesioner Bagian A,
dan 204 lembaga litbang untuk kuesioner
Bagian B.
Pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan rekomendasi kebijakan
pengembangan kelembagaan iptek yang
difokuskan pada peningkatan kualitas
tatakelola lemlitbang nasional adalah
Metode Balance Score Card (BSC).
Pemilihan pendekatan BSC karena BSC
dipandang sebagai analisa dan alat
untuk memperbaiki sistem pengukuran
kinerja lemlitbang. BSC dianggap mampu
menerjemahkan visi, misi dan strategi
ke dalam tindakan nyata di lapangan
(Gambar 1).
Untuk perspektif pelanggan dengan
tema strategis vitalitas lingkungan
mempunyai beberapa sasaran strategis
yakni: (1) meningkatkan keselamatan
pribadi; (2) memperbaiki transportasi;
(3) meningkatkan kualitas lingkungan;
(4) meningkatkan kesamaan dan peluang
dan (5) menyediakan pilihan pekerjaan
baru dan menarik. Dari berbagai sasaran

ISSN : 2252-911X

stategis tersebut ditetapkan indikator


kinerja terkait dengan kualitas praktik
pemerintahan
yang
telah
dicapai
mencakup: (1) tingkat kejahatan; (2)
penggunaan transportasi alternatif; (3)
memperbaiki persepsi kualitas hidup;
(4) tingkat pekerjaan di segmen industri
target; dan (5) persentase (%) penilaian
jasa dari warga yang termasuk baik atau
sangat baik.
Untuk perspektif finansial dengan tema
strategis ekonomi, efisiensi, dan integritas
fiskal mempunyai beberapa sasaran
strategis yakni: (1) mengamankan mitra
jasa atau pendanaan; (2) peningkatan
dasar pajak; dan (3) memelihara tingkat
peminjaman. Dari berbagai sasaran
stategis tersebut ditetapkan indikator
kinerja terkait dengan kualitas praktik
pemerintahan
yang
telah
dicapai
mencakup: (1) jumlah dan macam mitra
pendanaan baru; (2) pendapatan pajak; (3)
tingkat peminjaman; dan (4) pengeluaran
perkapita.
Untuk perspektif proses bisnis internal
dengan tema strategis kapasitas jasa
superior mempunyai beberapa sasaran
strategis yakni: (1) interaksi dengan
pelanggan yang lebih ringkas; (2)
mempromosikan pemecahan masalah
berbasis komunitas; dan (3) meningkatkan
produktifitas.
Dari berbagai sasaran stategis tersebut
ditetapkan indikator kinerja terkait dengan
kualitas praktik pemerintahan yang
telah dicapai mencakup: (1) waktu siklus
interaksi dengan pelanggan; (2) jumlah
dan macam solusi berbasis komunitas;
dan (3) GNP perkapita regional.

45

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 1. Advokasi Kebijakan Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang Nasional


Berbasis Metode Balance Score Card (BSC)
Untuk perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan dengan tema strategis
tenaga kerja yang termotivasi dan siap
mempunyai beberapa sasaran strategis
yakni: (1) iklim pekerjaan yang positif;
(2) kesenjangan ketrampilan yang rapat;
dan (3) manajemen informasi yang lebih
meningkat.
Aplikasi Metode BSC dalam advokasi
kebijakan publik memerlukan adaptasi
sesuai dengan lingkup kebijakan yang
akan dilakukan. Perspektif dalam Metode
BSC perlu diterjemahkan sesuai dengan
konteks kebijakan publik yang akan
diimplementasikan. Definisi dari masingmasing perspektif dan sasaran strategis
yang lebih bersifat fokus diperlukan untuk
memberikan persamaan persepsi dari
segenap stakeholders. Hal ini memudahkan
bagi pihak terkait untuk mendukung
tercapainya target dari masing-masing
indikator kinerja yang telah ditetapkan pada
46

keseluruhan sasaran strategis. Hal ini dapat


dimengerti karena advokasi kebijakan publik
akan melibatkan aktor-aktor dari berbagai
instansi pemerintah pusat dan daerah serta
berbagai pihak terkait lainnya.
Lebih lanjut, persamaan persepsi juga sangat
penting karena implementasi Metode BSC
akan memberikan informasi yang cukup
komprehensif bagi penentu kebijakan
karena informasi yang disampaikan
mencakup keseluruhan indikator kinerja
yang akan ditingkatkan. Dalam konteks
kebijakan pengembangan kelembagaan
iptek, terutama terkait dengan peningkatan
tatakelola lemlitbang nasional, maka ukuran
kinerja eksisting dari tatakelola lemlitbang
nasional dapat dilihat secara komprehensif.
Indikator-indikator dari masing-masing
tujuan yang akan dicapai pada setiap
perspektif ditunjukkan dengan ukuranukuran yang jelas sehingga kebijakan yang
akan diimplementasikan dapat memberikan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

solusi terhadap permasalahan publik yang


terjadi. Dalam konteks advokasi kebijakan
pengembangan
kelembagaan
iptek,
terutama untuk mendukung peningkatan
kualitas tatakelola lembaga litbang nasional,
maka redefinisi terhadap keempat perspektif
Metode BSC dapat disimak pada Tabel 1.
3. Tatakelola
Lembaga
Pemerintah yang Efektif

Litbang

Lembaga litbang dapat memberikan


pengaruh
yang
besar
terhadap
perkembangan teknologi dan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa
lembaga litbang memegang peran penting
dalam SINas. Meskipun demikian, banyak
lembaga litbang yang gagal berkontribusi
terhadap perkembangan ekonomi. Hal ini
disebabkan oleh dua alasan, yakni alasan
kegagalan stratejik dan operasional.
Kegagalan
stratejik
berawal
dari
kesalahpahaman tentang proses inovasi,
tentang apa peran lembaga litbang dalam
sistem inovasi. Banyak negara, terutama
negara
berkembang,
mendapatkan
kenyataan yang mengecewakan ketika
litbang yang dibangun dengan merujuk pada
model litbang di negara maju, tidak dapat
memacu daya inovasi dari perekonomian
dari negara-negara tersebut (Bell dan Pavitt,
1993).
Lembaga litbang yang berhasil di negara
maju seringkali merupakan lembaga litbang
yang melakukan riset yang berorientasi
aplikasi. Hal ini disebabkan pengguna hasil
litbang di negara maju memiliki infrastruktur
teknologi yang baik, kebutuhan teknologi di
negara maju pada umumnya mengandung
elemen riset yang dapat dipenuhi oleh
lembaga litbang. Selain itu di negara maju,
riset cenderung memiliki status yang lebih
ISSN : 2252-911X

tinggi daripada aktivitas lainnya, sehingga


ada kecenderungan untuk melakukan riset
dalam tingkat yang lebih daripada yang
diperlukan.
Kegagalan operasional dari lembaga litbang
berawal dari kegagalan dalam mengelola
lembaga litbang sebagaimana layaknya
mengelola sebuah bisnis. Pengelola lembaga
litbang seringkali tidak memiliki disiplin
pasar. Lembaga litbang lebih sering dikelola
sebagaimana layaknya riset di perguruan
tinggi. Tentu saja, menurut definisi, lembaga
litbang bukanlah sebuah bisnis. Namun
demikian, dunia bisnis telah cukup lama
mengembangkan dan berhasil menerapkan
konsep dan instrumen untuk menangani
isu seperti memahami dan segmentasi
kebutuhan pengguna, memahami dan
mengontrol biaya, bagaimana mengejar
keuntungan, dan lain sebagainya. Semua
konsep dan instrumen ini dapat dan bahkan
perlu diterapkan dalam pengelolaan
lembaga litbang. Sebagian besar elemen
yang terdapat dalam lembaga litbang yang
berkinerja baik tidak banyak berbeda dengan
elemen yang terdapat dalam perusahaan
yang terkelola dengan baik.
Oleh sebab itu, suatu lembaga litbang
seharusnya mengetahui kebutuhan pasar
atau pengguna teknologi. Lembaga litbang
harus mampu mengidentifikasi keinginan
atau kebutuhan kliennya saat ini dan
kebutuhan klien di masa mendatang.
Lembaga litbang perlu memahami ke
mana pasar bergerak dan menyesuaikan
diri sesuai dengan arah pasar; selanjutnya
lembaga litbang harus berinteraksi intensif
dengan kliennya, staf lembaga litbang
harus berinteraksi secara reguler dengan
industri untuk mengetahui kebutuhan
industri dan memahami cara berkomunikasi
dengan staf industri; dan yang tidak kalah
47

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

pentingnya adalah memiliki dan menjaga


secara konsisten systems for confidentiality,
agar terbangun rasa saling percaya antara
lembaga litbang dengan industri sebagai
mitra utamanya.

melebihi level keahlian kliennya; untuk


itu perlu membuat sistem insentif yang
tepat khususnya kriteria untuk kemajuan
jenjang karir stafnya (promosi, tingkat
otonomi staf, tanggung jawab yang jelas,
dan kompensasi yang menarik). Semua ini
Hal lain yang harus dimiliki lembaga
diperlukan untuk mendorong stafnya agar
litbang adalah mempunyai pemimpin yang
mau bekerja mencapai tujuan organisasi,
memiliki wawasan kewirausahaan dan
dan juga untuk menjamin bahwa semua staf
memahami kemampuan dan keterbatasanmau bekerjasama dalam tim secara baik;
nya, serta menyesuaikan kualitas dan jenis
dan memiliki mekanisme yang baik untuk
skill stafnya dengan kebutuhan pasar.
melahirkan ide baru dan merekrut tenaga
Jurnal Kebijakan
Riset, Teknologi, dan Inovasi 1 (2012): 48-70
Kualitas staf lembaga litbang
seharusnya
baru.
Tabel
Perspektif
Metode
Dalam
Kebijakan
Pengembangan
Kelembagaan
Iptek
Tabel1.
1. Redefinisi
Redefinisi Perspektif
Metode
BSC BSC
Dalam
Kebijakan
Pengembangan
Kelembagaan
Iptek
Perspektif

Definisi

Perspektif
Keuangan &
Ekonomi

Bagaimana strategi peningkatan kontribusi


lembaga litbang untuk perkuatan SIN
diformulasikan sehingga produk lembaga
litbang mampu memberikan kontribusi bagi
peningkatan benefit/profit lembaga
pengguna teknologi secara optimal?

Perspektif
Customers &
Stakeholders

Perspektif
Proses Bisnis
Internal

Perspektif
Pembelajaran
& Inovasi/
Pertumbuhan

Sasaran Strategis

Bagaimana strategi diseminasi


(komersial/non komersial) produk hasil
lembaga litbang diformulasikan sehingga
mampu mendukung peningkatan sensitivitas
lembaga litbang dalam merespon kebutuhan
teknologi & keterbukaan dan keinginan dari
lembaga pengguna teknologi untuk berbagi?

Bagaimana strategi pelaksanaan tupoksi


lembaga litbang diformulasikan sehingga
lembaga litbang mampu menghasilkan
produk yang relevan dengan kebutuhan
pengguna serta sesuai dengan kapasitas
adopsi lembaga pengguna teknologi?

Bagaimana Strategi Peningkatan


Kemampuan Lembaga Litbang
diformulasikan sehingga lembaga litbang
mampu mengembangkan dan
memanfaatkan aset (tangible/intangible
assets) guna mendukung 3 perspektif
lainnya?

48

4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang


4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan

Perspektif ekonomi dan keuangan merupakan

1) Peningkatan kapasitas diseminasi


2) Peningkatan kapasitas outsourcing
3) Peningkatan nilai dari customers dan
stakeholders
4) Peningkatan kapasitas R&D
1) Peningkatan kesesuaian pengemasan
produk lembaga litbang
2) Perbaikan layanan diseminasi produk
lembaga litbang
3) Peningkatan realisasi hubungan jangka
panjang dengan customers &
stakeholders
1) Peningkatan relevansi pada operasional
kegiatan inti dalam realisasi produk
2) Peningkatan nilai customers
3) Peningkatan efektifitas dan efisiensi
operasional kegiatan penunjang
4) Peningkatan efektifitas dan efisiensi
operasional pelaksanaan regulasi /
kebijakan
1) Peningkatan kompetensi stratejik
teknis & non teknis
2) Peningkatan infrastruktur pendukung
yang tepat
3) Peningkatan lingkungan kerja kondusif

ISSN : 2252-911X

eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran strategis


perspektif ini sebagaimana telah disampaikan pada
Tabel 1. Adapun ukuran kinerja dari berbagai
sasaran strategis dari perspektif ini ditunjukkan

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

4. Tafsir Pengukuran Tata Kelola Lemlitbang


4.1. Perspektif Ekonomi dan Keuangan
Perspektif
ekonomi
dan
keuangan
merupakan pespektif yang menekankan
bagaimana strategi peningkatan kontribusi
lembaga litbang untuk penguatan SINas
diformulasikan sehingga produk lembaga
litbang mampu memberikan kontribusi bagi
peningkatan benefit atau profit lembaga
pengguna teknologi secara optimal. Kondisi
eksisting dilihat dari kinerja dari sasaran
strategis perspektif ini sebagaimana telah
disampaikan pada Tabel 1. Adapun ukuran
kinerja dari berbagai sasaran strategis dari
perspektif ini ditunjukkan oleh beberapa
indikator, yakni:
Pertama, jumlah kontrak lisensi. Kontrak
lisensi merupakan informasi pemanfaatan
produk litbang dalam proses produksi oleh
lembaga pengguna teknologi yang bersifat
komersial. Jumlah kontrak lisensi merupakan
indikator kinerja keberhasilan kontribusi
lemlitbang pada proses inovasi dalam SINas
karena akan menghasilkan berbagai produk
yang bernilai ekonomi;
Kedua, jumlah spin-off. Jumlah produk
lemlitbang yang menjadi sebuah entity
busines baru merupakan indikator kinerja
keberhasilan
kontribusi
lemlitbang
pada proses inovasi dalam SINas karena
pemanfaatan produk lemlitbang sudah
dilakukan pada sistem produksi dari entity
business baru tersebut untuk menghasilkan
produk yang bernilai ekonomi dan berdaya
saing bagi kelangsungan roda bisnisnya.
Jumlah perusahaan teknopreneur baru
yang memanfaatkan produk lemlitbang
merupakan salah satu indikator kinerja yang
dapat secara langsung diukur kontribusinya
terhadap
peningkatan
perekonomian
nasional;
ISSN : 2252-911X

Ketiga, jumlah kerjasama pemanfaatan


produk litbang. Produk lemlitbang yang
terdiseminasi (komersial maupun non
komersial) ke lembaga pengguna teknologi
merupakan indikator kinerja keberhasilan
kontribusi lemlitbang pada proses inovasi
dalam SINas karena pemanfaatan produk
lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam
proses produksi yang dilakukannya.
Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan
melalui kerjasama pemanfaatan produk
dan/atau integrasi produk lemlitbang
dalam sistem produksi lembaga pengguna
teknologi.;
Keempat, jumlah produk lemlitbang yang
dimasukkan dalam inkubasi teknologi
dan bisnis melalui inkubator. Produk
lemlitbang yang masuk ke tahapan ini
juga merupakan indikator penting dalam
pelaksanaan tatakelola lemlitbang karena
mampu menghasilkan produk teknologi
yang diarahkan untuk pemanfaatan lebih
lanjut di industri atau untuk menghasilkan
perusahaan teknopreneur baru.;
Kelima, jumlah integrasi produk lemlitbang
dalam sistem produksi pada lembaga
pengguna teknologi. Produk lemlitbang
yang terdiseminasi (komersial maupun non
komersial) ke lembaga pengguna teknologi
merupakan indikator kinerja keberhasilan
kontribusi lemlitbang pada proses inovasi
dalam SINas karena pemanfaatan produk
lemlitbang oleh lembaga pengguna dalam
proses produksi yang dilakukannya.
Diseminasi produk teknologi dapat dilakukan
melalui kerjasama pemanfaatan produk
dan/atau integrasi produk lemlitbang
dalam sistem produksi lembaga pengguna
teknologi;
Keenam, jumlah publikasi produk hasil
kegiatan litbang. Publikasi yang dihasilkan
49

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

lemlitbang baik pada jurnal nasional maupun


internasional merupakan ukuran kinerja dari
Perspektif Keuangan dan Ekonomi untuk
tujuan peningkatan kapasitas diseminasi.
Dengan publikasi terhadap produk litbang
yang dilakukan maka lembaga pengguna
teknologi serta pemangku kepentingan
terkait lainnya mendapatkan informasi
secara langsung terhadap produk lemlitbang
sehingga dapat menjadi masukan untuk
pemanfaatan produk lemlitbang lebih lanjut;
Ketujuh,
jumlah
kerjasama
litbang
dengan lemlitbang lain, baik dari dalam
atau luar negeri. Jumlah kerjasama yang
terjadi merupakan indikator kinerja dari
peningkatan kapasitas outsourcing dari
lemlitbang nasional, dimana semakin
besar jumlah kerjasama yang dilakukan
menunjukkan kinerja yang lebih baik;
Kedelapan, jumlah peneliti asing yang terlibat
dalam kegiatan litbang pada lemlitbang
nasional. Jumlah peneliti asing yang
terlibat dalam kegiatan litbang merupakan
indikator kinerja dari peningkatan kapasitas
outsourcing dari lemlitbang nasional,
dimana semakin besar jumlah peneliti asing
yang terlibat menunjukkan kinerja yang
lebih baik;
Kesembilan, penjabaran visi dan misi
ke dalam tatakelola dan tatalaksana
lemlitbang. Lembaga litbang pemerintah
sebagai lembaga publik diamanati oleh
regulasi untuk menjalankan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) dalam tatakelola lembaga.
Kesesuaian pelaksanaan tatakelola dengan
keseluruhan tatalaksana di dalamnya
dengan tupoksi lembaga merupakan
indikator kinerja dari lembaga publik;
Kesepuluh,
implementasi
tatakelola
dan tatalaksana dengan menghasilkan
produk yang berorientasi pada kepuasan
50

customers dan stakeholders dengan layanan


prima. Peningkatan nilai dari customers
dan stakeholders lemlitbang merupakan
salah satu tujuan penting dari Perspektif
Keuangan dan Ekonomi karena akan
secara langsung berpengaruh terhadap
posisi tawar eksistensi lemlitbang sebagai
lembaga publik. Beberapa indikator yang
menunjukkan kinerja dari salah satu tujuan
dari perspektif ini adalah: (1) penjabaran visi
dan misi ke dalam tatakelola dan tatalaksana
lemlitbang; dan (2) implementasi tatakelola
dan tatalaksana dengan menghasilkan
produk yang berorientasi pada kepuasan
customers dan stakeholders dengan layanan
prima.
Kesebelas, dukungan kebijakan dari
Kemenristek
untuk
pengembangan
kelembagaan. Merupakan salah satu kinerja
yang perlu diukur untuk melihat kualitas
peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang
pemerintah;
Keduabelas, keselarasan antara kondisi
dan arah pengembangan program yang
dilakukan oleh lemlitbang dengan kebijakan
yang tertuang dalam UU Nomor 18 tahun
2002. Merupakan salah satu kinerja
yang perlu diukur untuk melihat kualitas
peningkatan kapasitas R&D lembaga litbang
pemerintah; dan
Ketigabelas, keselarasan antara peta jalan
program litbang dengan program nasional
yang ditetapkan pemerintah. Merupakan
salah satu kinerja yang perlu diukur untuk
melihat kualitas peningkatan kapasitas R&D
lembaga litbang pemerintah.
4.2. Perspektif Customers & Stakeholders
Perspektif customers dan stakeholders
lebih difokuskan pada bagaimana strategi
diseminasi (komersial atau non komersial)
produk hasil lemlitbang diformulasikan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sehingga mampu mendukung peningkatan


sensitivitas lemlitbang dalam merespon
kebutuhan teknologi serta keterbukaan dan
keinginan dari lembaga pengguna teknologi
untuk berbagi.
Kondisi eksisting dilihat dari kinerja
yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran
strategis, yakni: (1) peningkatan kesesuaian
pengemasan produk lembaga litbang,
(2) perbaikan layanan diseminasi produk
lembaga litbang, dan (3) peningkatan
realisasi hubungan jangka panjang dengan
customers & stakeholders.
Peningkatan kesesuaian produk lemlitbang
merupakan tatalaksana yang sangat penting
bagi keberhasilan diseminasi produk yang
dihasilkan lemlitbang. Pengemasan produk
litbang merupakan tatalaksana dengan
luaran berupa produk lemlitbang yang siap
didesiminasikan sesuai dengan kapasitas
adopsi dari lembaga pengguna teknologi
yang menjadi target market.
Perbaikan layanan diseminasi memerlukan
data-data yang sangat erat kaitannya
dengan kinerja perbaikan layanan
diseminasi produk lemlitbang berupa
data implementasi Sistem Manajemen
Mutu pada lemlitbang nasional mencakup
(1) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi
lemlitbang; (2) penerapan standar layanan
minimum; serta (3) pelaksanaan monitoring
dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca
pelaksanaan program kegiatan sehingga
dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan.
Peningkatan realisasi hubungan jangka
panjang dengan customers dan stakeholders
merupakan kinerja yang menjadi salah
satu tujuan dari Pespektif Customers dan
Stakeholders. Kinerja dari tujuan dari
perspektif ini sangat dipengaruhi oleh
penerapan kebijakan lemlitbang yang
ISSN : 2252-911X

berorientasi pada kepuasan pelanggan.


Penerapan kebijakan ini dapat diindikasikan
dengan implementasi Sistem Manajemen
Mutu, peningkatan kompetensi SDM,
peningkatan sarana dan prasarana litbang,
serta perbaikan berkelanjutan terhadap
pelaksanaan program kegiatan yang
dilakukan.
Adapun ukuran kinerja dari berbagai
sasaran strategis dari perspektif ini
ditunjukkan oleh beberapa indikator, yakni:
(a) sejauhmana Sistem Manajemen Mutu
diimplementasikan sehingga lemlitbang
mampu menghasilkan produk yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan;
(b) penerapan SOP pelaksanaan tupoksi
lemlitbang; (c) penerapan standar layanan
minimum; (d) pelaksanaan monitoring
dan evaluasi pada pelaksanaan dan pasca
pelaksanaan program kegiatan sehingga
dapat dilakukan perbaikan berkelanjutan;
dan (e) penerapan kebijakan lemlitbang
yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
4.3. Perspektif Proses Bisnis Internal
Perspektif ini difokuskan pada bagaimana
strategi pelaksanaan tupoksi lemlitbang
diformulasikan sehingga lemlitbang mampu
menghasilkan produk yang relevan dengan
kebutuhan pengguna serta sesuai dengan
kapasitas adopsi lembaga pengguna
teknologi.
Kondisi eksisting dilihat dari kinerja
yang ditunjukkan oleh beberapa sasaran
strategis, yakni: (a) peningkatan relevansi
pada operasional kegiatan inti dalam
realisasi produk; (b) peningkatan nilai
customers; (c) peningkatan efektifitas dan
efisiensi operasional kegiatan penunjang;
serta (d) peningkatan efektifitas dan
efisiensi operasional pelaksanaan regulasi/
kebijakan.
51

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Adapun ukuran kinerja dari berbagai sasaran


strategis dari perspektif ini ditunjukkan oleh
beberapa indikator, yakni:
Pertama, prosentase pemanfaatan produk
lemlitbang oleh lembaga pengguna
teknologi yang menjadi segmen pasar yang
ditargetkan. Pemanfaatan produk yang
dihasilkan oleh tatalaksana pada lemlitbang
merupakan ukuran yang penting bagi kinerja
Perspektif Proses Bisnis Internal karena
produk yang dihasilkan lemlitbang sesuai
dengan kebutuhan dari lembaga pengguna
teknologi. Ukuran kinerja dari perspektif
ini dapat dilihat prosentase pemanfaatan
produk lemlitbang oleh lembaga pengguna
teknologi yang menjadi segmen pasar
yang ditargetkan. Peningkatan persentase
produk lemlitbang yang terdiseminasi
merupakan indikasi terjadinya peningkatan
kinerja dari perspektif ini untuk tujuan
peningkatan relevansi antara lemlitbang
sebagai lembaga penghasil teknologi
dengan lembaga pengguna teknologi;
Kedua, prosentase pengembangan produk
di lemlitbang yang dilakukan berdasarkan
riset market sesuai dengan tupoksi
yang diberikan kepada masing-masing
lemlitbang. Peningkatan nilai customer
dalam pelaksanaan tatalaksana inti
merupakan ukuran yang penting bagi
kinerja Perspektif Proses Bisnis Internal
karena kegiatan realisasi produk diarahkan
sesuai dengan value yang diinginkan
oleh lembaga pengguna teknologi yang
menjadi segmen market yang ditargetkan.
Peningkatan nilai customer tersebut dapat
dicapai bilamana pelaksanaan tatalaksana
inti dari lemlitbang dilakukan berdasarkan
riset market pada lembaga pengguna
teknologi yang menjadi target market
dari produk yang akan dikembangkan.
Pengembangan
produk
lemlitbang
52

yang dilakukan berdasarkan identifikasi


kebutuhan market (market demand) atau
keinginan market (market want) maka akan
menghasilkan produk yang sesuai dengan
value yang diinginkan customer terkait;
Ketiga, hambatan dalam memperoleh
dana litbang dari hasil kerjasama.
Merupakan salah satu ukuran kinerja
lemlitbang nasional dari Perspektif Proses
Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan
efektifitas dan efisiensi operasional
kegiatan penunjang dapat diukur dengan
efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan
sumber daya keuangan yang dilakukan;
Keempat, kesesuaian sumber daya
keuangan dengan perencanaan dan target.
Merupakan salah satu ukuran kinerja
lemlitbang nasional dari Perspektif Proses
Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan
efektifitas dan efisiensi operasional
kegiatan penunjang dapat diukur dengan
efektifitas dan efisiensi dari pemanfaatan
sumber daya keuangan yang dilakukan;
Kelima, kesesuaian distribusi alokasi
anggaran dengan program kegiatan yang
direncanakan. Merupakan salah satu
ukuran kinerja lemlitbang nasional dari
Perspektif Proses Bisnis Internal untuk
tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi
operasional kegiatan penunjang dapat
diukur dengan efektifitas dan efisiensi dari
pemanfaatan sumber daya keuangan yang
dilakukan.; dan
Keenam, sejauhmana tatakelola yang
ada di lemlitbang dapat mengakomodir
kebutuhan stakeholders (pemerintah)
untuk peningkatan layanan publik
terutama yang berkaitan dengan isu-isu
nasional di bidang kesehatan, keselamatan,
keamanan nasional, dan kelestarian
lingkungan hidup. Salah satu tujuan dari
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Perspektif Proses Bisnis Internal adalah


peningkatan efektifitas dan efisiensi
operasional pelaksanaan regulasi dan
kebijakan. Ukuran kinerja dari tujuan dari
perspektif ini dapat dilihat dari sejauhmana
tatakelola yang ada di lemlitbang dapat
mengakomodir kebutuhan stakeholders
(pemerintah) untuk peningkatan layanan
publik terutama yang berkaitan dengan
isu-isu nasional di bidang kesehatan,
keselamatan, keamanan nasional, dan
kelestarian lingkungan hidup. Tatalaksana
inti dan penunjang dalam tatakelola
lemlitbang harus mampu merespon
kebutuhan ini yang biasanya bersifat top
down policy untuk menghasilkan produk
sesuai dengan isu yang terjadi.
4.4. Perspektif Pembelajaran dan

Pertumbuhan
Strategi
peningkatan
kemampuan
lemlitbang
diformulasikan
sehingga
lemlitbang mampu mengembangkan
dan memanfaatkan aset (tangible dan
intangible assets) guna mendukung 3
perspektif lainnya merupakan tujuan dari
perspektif ini. Perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan merupakan perspektif dari
Metode BSC yang merupakan instumen
untuk melihat keberlanjutan lemlitbang
dalam menjalankan tupoksi dalam jangka
panjang dengan melihat kebutuhan
sumber daya pada saat ini serta proyeksi
kebutuhan ke depan.
Tujuan dari perspektif ini difokuskan
pada peningkatan kompetensi sumber
daya serta ketersediaan sarana prasarana
pendukung dengan lingkungan kerja
yang kondusif sehingga keseluruhan
pelaksanaan tatakelola lemlitbang dapat
ditingkatkan secara berkesinambungan
untuk mendukung proses inovasi pada
SINas. Kinerja perspektif ini akan secara
ISSN : 2252-911X

langsung terkait dengan kinerja dari


perspektif lainnya sehingga ukuran-ukuran
dari kinerja perlu dilakukan secara optimal.
Perspektif ini mempunyai tiga sasaran
strategis yakni: (1) peningkatan kompetensi
stratejikteknis & non teknis; (2)
peningkatan infrastruktur pendukung yang
tepat; serta (3) peningkatan lingkungan
kerja kondusif. Adapun ukuran kinerja dari
berbagai sasaran strategis dari perspektif
ini ditunjukkan oleh beberapa indikator,
yakni:
Pertama, dukungan kebijakan untuk
peningkatan
kompetensi
SDM
di
lemlitbang.
Peningkatan
kompetensi
stratejik baik teknis maupun non teknis
dimaksudkan agar SDM lemlitbang mampu
melaksanakan tupoksi secara optimal;
Kedua, dukungan kebijakan untuk
peningkatan
infrastruktur
litbang.
Peningkatan infrastruktur pendukung yang
tepat dimaksudkan agar lemlitbang mampu
melaksanakan tupoksi dalam program
kegiatan yang dilakukan secara optimal;
Ketiga,
implementasi
SOP
yang
mengindikasikan
penerapan
Sistem
Manajemen Mutu pada lemlitbang,
terutama terkait lingkungan kerja yang
kondusif. Ukuran peningkatan lingkungan
kerja yang kondusif merupakan salah
satu indikator kinerja dari Perspektif
Pembelajaran Dan Pertumbuhan yang
perlu dipetakan kondisi eksistingnya.
Lingkungan kerja secara fisik (physical
environment) yang kondusif tempat para
pegawai/peneliti/perekayasa
bekerja
mempengaruhi motivasi bekerja, kepuasan,
pengembangan dan kinerja mereka, yang
pada akhirnya juga akan mempengaruhi
mutu produk (barang dan jasa) yang
dihasilkan oleh lemlitbang.
53

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

5. Hasil Survei Tatakelola Lemlitbang


Pemerintah

5.2. Perspektif Customers dan



Stakeholders:

Berdasarkan hasil survai terhadap lembaga


litbang pemerintah yang dilakukan pada
Tahun 2011 untuk mengeksplorasi data
dan informasi terkait dengan berbagai
indikator di atas, maka didapatkan kondisi
terkini kualitas tatakelola lembaga litbang
pemerintah ditinjau dari empat perspektif
Metode BSC. Secara garis besar, kondisi
terkini kualitas tatakelola lemlitbang
nasional berdasarkan ukuran kinerja dari
masing-masing tujuan yang akan dicapai
pada keempat perspektif Metode BSC
adalah sebagaimana berikut:

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008


s.d. 2010) kinerja Perspektif Customers
dan Stakeholder untuk tujuan peningkatan
jumlah kontrak lisensi masih relatif rendah
yakni secara agregat nasional masih
dibawah 15 kontrak. Jumlah kontrak lisensi
terbanyak dilakukan oleh Kementerian
Pertanian, sedangkan kementerian dan
lembaga non-kementerian lainnya masih
sangat terbatas (Gambar 3). Fakta ini
mengindikasikan bahwa pada tataran
legal dan komersial masih sedikit sekali
hasil kegiatan lemlitbang pemerintah yang
diminati oleh dunia usaha.

5.1. Perspektif Keuangan dan Ekonomi:


Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008
s.d. 2010) kinerja dari perspektif keuangan
dan ekonomi untuk tujuan peningkatan
kapasitas diseminasi masih relatif rendah
yakni secara agregat nasional sekitar 28%
atau masih dibawah 30% sebagai ambang
batas isu publik yang dapat menjadi
prioritas pemerintah dalam menentukan
kebijakan.
Jumlah publikasi nasional secara agregat
4190 buah atau rata-rata 1396 per tahun
(Gambar 2), serta jumlah publikasi
internasional secara agregat 447 buah
(atau 149 per tahun).
Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008
s.d. 2010) kinerja perspektif keuangan
dan ekonomi untuk tujuan peningkatan
kapasitas outsourcing dengan kerjasama
litbang nasional sejumlah 1375 kerjasama,
internasional sejumlah 307 kerjasama,
serta 115 peneliti asing mengindikasikan
kondisi peningkatan kapasitas outsourcing
yang sudah berjalan.

54

Gambar 2. Publikasi nasional lemlitbang


Tahun 2008-2010

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 3. Jumlah Kontrak Lisensi Untuk


Peningkatan Kapasitas Diseminasi
5.3. Perspektif Proses Bisnis Internal
Kondisi eksisting (pada kurun waktu
2008 s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses
Bisnis Internal untuk tujuan peningkatan
relevansi ini masih belum cukup baik
yakni produk yang didiseminasikan secara
agregat nasional sejumlah 167 produk dari
259 produk litbang yang dihasilkan atau
64% mengindikasikan bahwa pemanfaatan
produk lemlitbang nasional masih belum
optimal (Gambar 4).

Gambar 4. Produk Litbang Yang


Dimanfaatkan

ISSN : 2252-911X

Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008


s.d. 2010) kinerja Perspektif Proses Bisnis
Internal untuk tujuan peningkatan nilai
customers ini masih belum cukup baik
ditinjau dari peningkatan relevansi yang
secara agregat nasional masih sekitar
64% dimana kondisi ini mengindikasikan
bahwa pemanfaatan produk lemlitbang
nasional masih belum optimal. Untuk
tujuan peningkatan efektifitas dan efisiensi
operasional kegiatan penunjang pada
lemlitbang LPK masih relatif rendah yakni
secara agregat nasional dibawah 20%,
sedangkan lemlitbangLPNK sudah cukup
memadai yakni secara agregat diatas 30
persen. Untuk tujuan peningkatan efektifitas
dan efisiensi operasional pelaksanaan
regulasi/kebijakan menunjukkan kinerja
yang masih sangat rendah yakni dibawah
15% secara agregat nasional.
5.4. Perspektif Pembelajaran &

Pertumbuhan
Kondisi eksisting (pada kurun waktu 2008
s.d. 2010) kinerja Perspektif Pembelajaran
dan
Pertumbuhan
untuk
tujuan
peningkatan kompetensi stratejik teknis
& non teknis masih cukup rendah yakni
secara agregat masih dibawah 30 persen.
Sedangkan untuk tujuan peningkatan
infrastruktur pendukung yang tepat sudah
relatif cukup baik yakni diatas 30 persen.
Selanjutnya untuk tujuan peningkatan
lingkungan kerja kondusif relatif rendah
yakni secara agregat nasional dibawah 15
persen.
Berangkat dari kondisi eksisting tatakelola
lemlitbang nasional, menunjukkan kinerja
yang belum optimal sehingga diperlukan
kebijakan publik terkait dengan peningkatan

55

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

kualitas tatakelola lemlitbang nasional


agar mampu memberikan kontribusi pada
berlangsungnya proses inovasi secara
berkesinambungan.

Rangkuman indikator kinerja dari empat


perspektif BSC atau indikasi kualitas
tatakelola lemlitbang pemerintah selama
periode 2008-2010 disajikan pada Gambar
5.

Gambar 5. Peta kualitas eksisting tatakelola lemlitbang nasional


Kondisi eksisting tatakelola lemlitbang
nasional secara agregat ditinjau dari
ukuran-ukuran kinerja dari empat
perspektif Metode BSC berdasarkan
pada hasil Survai Litbang di Sektor
Pemerintah Tahun 2011 merupakan
masukan yang penting dalam perumusan
kebijakan pengembangan kelembagaan
yang akan dilakukan. Kondisi eksisting
dengan didukung data dan informasi yang
dihasilkan dari survei litbang di sektor
pemerintah merupakan tonggak bagi
pengembangan kelembagaan iptek yang
56

akan dilakukan, terutama terkait dengan


peningkatan kinerja dari pelaksanaan
tatakelola lemlitbang nasional.
Kondisi eksisting tatakelola dengan
ukuran-ukuran
kinerja
yang
jelas
merupakan indikator yang penting bagi
pemangku kebijakan agar dapat melihat
permasalahan faktual secara tepat
sehingga perumusan kebijakan yang
dilakukan dapat menyentuh pada akar
permasalahan yang menjadi kendala
dalam peningkatan kinerja tata kelola
lemlitbang nasional.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Advokasi
kebijakan
pengembangan
kelembagaan terutama terkait pada
tahapan
perumusan
rekomendasi
kebijakan, dilakukan berdasarkan kondisi
eksisting kualitas tatakelola lemlitbang
nasional hasil analisa ukuran kinerja dari
masing-masing tujuan pada perspektif
Metode BSC. Kondisi eksisting tersebut
memberikan gambaran secara holistik
dari kondisi kualitas tatakelola lemlitbang
nasional pada saat ini. Kondisi tersebut
merupakan suatu dashboard (panel
instrumentasi) yang memetakan kondisi
tatakelola lemlitbang nasional dalam suatu
kerangka hubungan sebab akibat yang
terefleksi pada empat perspektif Metode
BSC.
Berdasarkan kendala yang teridentifikasi
selanjutnya dicarikan enabler factors yang
memungkinkan kendala tersebut dapat
diatasi serta aksi yang perlu dilakukan
dalam implementasi advokasi kebijakan
yang dilakukan. Perumusan kebijakan
peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang
nasional dilakukan berdasarkan pada
enabler factors yang teridentifikasi serta
aksi menggunakan enabler factors tersebut.
Peta
kualitas
lemlitbang
nasional
memudahkan penentu kebijakan untuk
menentukan prioritas kebijakan yang akan
dilakukan berdasarkan data faktual yang
dihadapi di lapangan. Peta kualitas tatakelola
lemlitbang yang sudah tersegmentasi dalam
empat perspektif Metode BSC dengan tujuan
masing-masing yang ingin dicapai serta
ukuran-ukuran kinerja dari masing-masing
tujuan tersebut akan membantu pembuat
kebijakan
untuk
mengkomunikasikan
dengan berbagai pihak terkait.
Disamping
itu,
dengan
informasi
yang sudah fokus maka pemanfaatan
ISSN : 2252-911X

sumberdaya pendukung implementasi


advokasi kebijakan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai
karena kondisi eksisting pada peta kualitas
tatakelola lemlitbang nasional memberikan
informasi permasalahan yang dihadapi
secara terfokus. Dengan demikian,
penetapan target per milestone yang ingin
dicapai dalam perumusan rekomendasi
kebijakan yang dilakukan dapat ditetapkan
berdasarkan prinsip SMART-C, yaitu:
(1) bersifat specifik, dimana target dari
kebijakan yang ditetapkan terfokus pada
peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif; (2)
terukur, dimana target yang ditetapkan
dapat diukur dengan jelas, memiliki
satuan pengukuran, dan jelas pula cara
pengukurannya; (3) mampu dicapai, dimana
peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif yang
ditetapkan sebagai target dapat dicapai
pada pelaksanaan advokasi kebijakan
yang dilakukan; (4) relevan, dimana
peningkatan ukuran kinerja dari masingmasing tujuan pada setiap perspektif yang
ditetapkan sesuai dengan visi dan misi,
serta tujuan dari kebijakan pengembangan
kelembagaan yang dilakukan; (5) terikat
waktu, dimana peningkatan ukuran kinerja
dari masing-masing tujuan pada setiap
perspektif yang ditetapkan memiliki batas
waktu pencapaian yakni per milestone
yang telah ditetapkan; serta (6) perbaikan
secara kontinyu, dimana pelaksanaan
kebijakan untuk mendukung peningkatan
ukuran kinerja dari masing-masing tujuan
pada setiap perspektif yang ditetapkan
dievaluasi pencapaiannya pada setiap
check point yang ditetapkan sehingga
dapat dilakukan tindakan perbaikan
berkelanjutan.

57

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Berdasarkan pada hasil peta kualitas


lemlitbang nasional tersebut selanjutnya
dilakukan
perumusan
kebijakan
pengembangan kelembagaan iptek guna
meningkatkan kualitas kinerja tatakelola
secara berkesinambungan.
Beberapa
kebijakan
pengembangan
kelembagaan iptek yang dirumuskan,
antara lain:
Pertama,
advokasi
kebijakan
Pengembangan
Kelembagaan
untuk
Meningkatkan
Kapasitas
Diseminasi
Produk Litbang dan Adopsi Teknologi
dimaksudkan untuk mendukung terjadinya
peningkatan kontribusi lemlitbang pada
perkuatan SINas yang dilakukan dengan
mendorong terjadinya proses inovasi
melalui pemanfaatan produk litbang oleh
lembaga pengguna teknologi (pemerintah,
industri, dan masyarakat).
Adapun tujuan advokasi kebijakan
berdasarkan
rencana
aksi
yang
diperlukan, antara lain: (a) memastikan
terjadinya pemberdayaan Sentra HKI
untuk komersialisasi produk litbang;
(b) memastikan terjadinya penataan
tatakelola kelembagaan secara terfokus;
(c) memastikan terjadinya peningkatan
kapasitas adopsi lembaga intermediasi;
(d) memastikan terjadinya pengembangan
kebijakan
pendorong
komersialisasi
dan spin-off; (e) memastikan terjadinya
peningkatan kemampuan peneliti /
perekayasa dalam penulisan karya tulis
ilmiah dan ilmiah populer; (f) memastikan
terjadinya
peningkatan
kompetensi
lemlitbang dalam kajian pasar produk
litbang yang ber-HKI; (g) memastikan
terjadinya fasilitasi insentif fiskal bagi
komersialisasi produk lemlitbang dan
spin-off; (h) membentuk sentra-sentra
iptek yang fokus pada pengembangan
58

komoditas unggulan daerah dengan model


pendekatan kluster industri; (i) memastikan
terjadinya fasilitasi operasional kegiatan
konsorsium yang terbentuk; (j) memastikan
terjadinya fasilitasi insentif bagi litbang yang
berorientasi pada pengembangan industri
hilir; (k) memastikan terjadinya penerapan
standardisasi sistem manajemen mutu di
lemlitbang; (l) memastikan berjalannya
sistem penghargaan secara nasional atas
kinerja implementasi sistem manajemen
mutu di lemlitbang; (m) memastikan
penetapan topik riset yang mendapatkan
insentif secara block grant untuk isu
publik terkait; (n) memastikan terjadinya
penyelarasan antara kondisi dan arah
pengembangan program yang dilakukan
oleh lemlitbang dengan kebijakan yang
tertuang dalam UU Nomor 18 tahun 2002;
(o) memastikan terjadinya penyelarasan
antara peta jalan program litbang yang
dilakukan oleh lemlitbang dengan program
nasional yang ditetapkan pemerintah; dan
(p) memastikan terjadinya penyelarasan
antara program litbang di lemlitbang untuk
mendukung tujuan dari MP3EI (Master Plan
Peluasan dan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia).
Kedua, advokasi kebijakan Pengembangan
Kelembagaan
untuk
mendukung
Tatalaksana
Lemlitbang
dalam
Sinkronisasi Program Kegiatan Litbang
Lintas Sektor yang Berorientasi pada
Kebutuhan Lembaga Pengguna Teknologi
dimaksudkan untuk mendukung terjadinya
peningkatan sensitivitas lembaga litbang
dalam merespon kebutuhan teknologi,
keterbukaan dan keinginan dari lembaga
pengguna teknologi untuk berbagi.
Adapun tujuan advokasi kebijakan
berdasarkan rencana aksi yang diperlukan,
antara lain: (a) memastikan terjadinya
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

penataan tatalaksana lemlitbang nasional;


(b) memastikan terjadinya pengukuran
kinerja atas implementasi tatalaksana
lemlitbang nasional; (c) memastikan
terjadinya
pengembangan
sistem
penghargaan bagi pencapaian kinerja
implementasi tatalaksana lemlitbang
nasional; (d) memastikan terjadinya
penerapan
standar
pengembangan
produk litbang pada penataan tatalaksana
lemlitbang; (e) memastikan terjadinya
penataan tatalaksana lemlitbang nasional
yang berorientasi pada kepuasan customers
& stakeholders; (f) memastikan terjadinya
sinkronisasi program kegiatan litbang lintas
sektor; dan (g) memastikan terjadinya
peningkatan koordinasi dalam pelaksanaan
litbang antara lemlitbang nasional.
Ketiga, advokasi kebijakan Pengembangan
Kelembagaan
untuk
Mendukung
Peningkatan Relevansi Pengembangan
Produk Lemlitbang Nasional Terhadap
Kebutuhan dan Kapasitas Adopsi Teknologi
Lembaga Pengguna Teknologi dimaksudkan
untuk mendukung terjadinya peningkatan
relevansi antara produk yang dihasilkan
oleh lemlitbang terhadap kebutuhan serta
sesuai dengan kapasitas adopsi lembaga
pengguna teknologi.
Adapun tujuan advokasi kebijakan
berdasarkan rencana aksi yang diperlukan,
antara lain: (a) memastikan terjadinya
peningkatan relevansi pengembangan
produk di lemlitbang nasional dengan
kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologi
lembaga pengguna teknologi yang menajdi
target market; (b) memastikan terjadinya
peningkatan nilai customer dalam
pelaksanaan pengembangan produk yang
dilakukan di lemlitbang; (c) memastikan
terjadinya
fasilitasi
pengembangan
database informasi kebutuhan lembaga
ISSN : 2252-911X

pengguna teknologi yang terjamin


validitas, akurasi dan kemutakhirannya;
(d) memastikan terjadinya implementasi
Sistem Manajemen Mutu di lemlitbang;
(e) memastikan terjadinya fasilitasi
peningkatan kompetensi SDM serta sarana
dan prasarana litbang untuk mendukung
terwujudnya perbaikan berkelanjutan
terhadap pelaksanaan program kegiatan
di lemlitbang; (f) memastikan terjadinya
penataan tatalaksana inti dan pendukung
di lemlitbang dalam pelaksanaan program
kegiatan litbang; (g) memastikan terjadinya
penyelarasan antara peta jalan program
litbang yang dilakukan oleh lemlitbang
dengan program nasional yang ditetapkan
pemerintah;
dan
(h)
memastikan
terjadinya penyelarasan antara program
litbang di lemlitbang untuk mendukung
tujuan dari MP3EI (Master Plan Peluasan
dan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia).
Keempat,
advokasi
kebijakan
Pengembangan Kelembagaan Mendukung
Peningkatan Kemampuan Lembaga Litbang
dalam Pengembangan dan Pemanfaatan
Asset (tangible/intangible assets) untuk
Mendukung
Kapasitas
Diseminasi
dan Relevansi Pengembangan Produk
Litbang sesuai dengan Kapasitas Adopsi
Teknologi Lembaga Pengguna Teknologi
dimaksudkan untuk mendukung terjadinya
peningkatan
kemampuan
lemlitbang
dalam pemanfaatan dan pengembangan
asset (tangible/intangible assets) untuk
mendukung
peningkatan
kapasitas
diseminasi produk litbang sesuai dengan
kapasitas adopsi teknologi lembaga
pengguna teknologi; penataan tatalaksana
yang berorientasi pada kebutuhan lembaga
pengguna teknologi; serta peningkatan
relevansi pengembangan produk litbang
59

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sesuai dengan kapasitas adopsi teknologi


lembaga pengguna teknologi.

Nasional sebagai langkah awal sebelum


peta stratejik ditetapkan;

Adapun tujuan advokasi kebijakan


berdasarkan rencana aksi yang diperlukan,
antara lain: (a) memastikan terjadinya
peningkatan alokasi pembiayaan APBN/D
untuk peningkatan kompetensi teknis dan
non teknis dari peneliti; (b) memastikan
terjadinya pemberian prioritas kepada
peneliti dari luar Jawa untuk mendapatkan
fasilitas pembiayaan dalam peningkatan
kompetensi; (c) memastikan terjadinya
pemberian prioritas kepada peneliti wanita
untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan
dalam peningkatan kompetensi; (d)
memastikan
terjadinya
penerapan
prosedur standar dalam pemanfaatan
dan pemeliharaan fasilitas litbang; (e)
memastikan terjadinya pengembangan
program pemanfaatan fasilitas litbang untuk
meningkatkan kapasitas adopsi teknologi
dari lembaga pengguna teknologi; dan
(f) memastikan terwujudnya lingkungan
kerja yang kondusif di lemlitbang dengan
penerapan prosedur standar sehingga
pegawai/peneliti/perekayasa merasa puas
dan nyaman pada tempat kerjanya.

Langkah-2, Penetapan skala prioritas


(bobot) dari 4 Perspektif Metode BSC
beserta tujuan dari masing-masing
perspektif yang ingin dicapai beserta
ukuran kinerjanya sehingga Peta Stratejik
Metode BSC mampu mencerminkan
kepentingan
segenap
stakeholders
kebijakan pengembangan kelembagaan
Iptek Kementerian Riset dan Teknologi
(Kemenristek) dan instansi terkait serta
pengalokasian sumberdaya nasional secara
efektif dan efisien dalam pelaksanaan
advokasi kebijakan yang dilakukan.

Lebih lanjut, agar advokasi berbagai


kebijakan yang dirumuskan di atas dapat
dilakukan secara efektif dan efisien maka
perlu diformulasikan strategi implementasi
kebijakan
berbasis
pada
Metode
BSC. Strategi implementasi kebijakan
pengembangan kelembagaan iptek yang
difokuskan pada peningkatan kualitas
tatakelola lemlitbang nasional dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah-1, Penetapan visi, misi, dan tujuan
dari advokasi Kebijakan Pengembangan
Kelembagaan Iptek yang difokuskan pada
Peningkatan Kualitas Tatakelola Lemlitbang
60

Pelaksanaan
tahapan
ini
akan
menghasilkan
prioritas
terhadap
rekomendasi kebijakan yang telah
dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan
beserta rencana aksinya. Disamping itu,
penyempurnaan ukuran kinerja dari
masing-masing tujuan pada perspektif
Metode BSC juga dilakukan pada tahapan
ini dengan memperhatikan dinamika
perubahan lingkungan yang terjadi
baik internal lembaga berupa kebijakan
Kemenristek dan Restra Program Kegiatan
Kemenristek, maupun eksternal lembaga
berupa program prioritas nasional seperti
program kegiatan pada Masterplan
Perluasan dan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI);
Langkah-3, Penyusunan Peta Stratejik
Metode BSC berdasarkan hasil dari
tahapan ke-1 dan ke-2 sehingga didapatkan
peta stratejik yang komprehensif dengan
keterwakilan kepentingan dari segenap
stakeholders kebijakan pengembangan
kelembagaan Iptek yang berorientasi pada
peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang
nasional.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Langkah-4, pengembangan software


untuk pengukuran kualitas tatakelola
lemlitbang nasional secara elektronik
untuk
mendukung
implementasi
e-Government di lemlitbang (untuk
pengukuran kinerja lembaga secara
operasional) serta Kemenristek (untuk
mendukung perumusan kebijakan) dalam
rangka reformasi birokrasi. Implementasi
software Metode BSC di tingkat lembaga
litbang merupakan realisasi terhadap
implementasi
e-Government
untuk
mendukung terwujudnya tatakelola yang
baik sehingga mampu meningkatkan

kontribusi pada penguatan SINas yang


dilakukan. Implementasi software dalam
pengukuran kinerja lemlitbang nasional
juga sangat prospektif berkontribusi
pada advokasi kebijakan pengembangan
kelembagaan iptek, terutama untuk
mendukung
peningkatan
kualitas
tatakelola lembaga litbang yang lebih
operasional karena berdasarkan pada
masukan data yang mutakhir dan simultan.
Pengembangan software yang dilakukan
perlu memperhatikan user requirements
dari lemlitbang terkait maupun lingkungan
internal Kemenristek.

Gambar 6. Penyelarasan Peta Stratejik Metode BSC di Level Kemenristek dan


Lemlitbang Nasional
Langkah-5,
pelaksanaan
sosialisasi
implementasi software kepada seluruh
lemlitbang nasional beserta benefit yang
didapatkan dalam konteks pengembangan
e-Government serta peningkatan kontribusi
ISSN : 2252-911X

produk litbang yang dihasilkan dalam


proses inovasi yang berkesinambungan
dalam rangka penguatan SINas;
Langkah-6, pelaksanaan implementasi
kebijakan pengembangan kelembagaan
61

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

iptek secara berkesinambungan pada


periode transisi untuk menghantarkan
tercapainya visi, misi, dan tujuan dari
advokasi kebijakan yang dilakukan.
Agar advokasi kebijakan yang dilakukan
dapat senantiasa diperbaiki secara
berkesinambungan (continously improved)
maka perlu ditetapkan milestones untuk
check points peningkatan kualitas tatakelola
lemlitbang yang dicapai lemlitbang nasional
pada keempat perspektif Metode BSC.
Perbaikan
terhadap
sistem
dalam
implementasi kebijakan pengembangan
kelembagaan iptek ini dapat dilakukan pada
setiap tahapan, yakni tahapan ke-1 hingga
tahapan ke-5 tersebut di atas, disesuaikan
dengan kebutuhan stakeholders.
Beberapa dinamika perubahan lingkungan
internal dan eksternal yang memerlukan
penyelarasan dari peta statejik baik di level
Kemenristek maupun di level lemlitbang
nasional adalah sebagai berikut: (a) Peta
Stratejik di level Kemenristek, mencakup
Kebijakan Kemenristek, Renstra Program
Kegiatan Kemenristek, Program Prioritas
Nasional, serta dukungan kelembagaan,
sumberdaya,
jaringan,
relevansi
&
produktifitas, pendayagunaan iptek; (b)
Peta Stratejik di level lemlitbang nasional,
mencakup kepentingan dari stakeholders dan
lembaga pengguna teknologi (kebutuhan
produk litbang), rencana bisnis atau renstra
program kegiatan lembaga, serta dukungan
sumberdaya dan infrastruktur lembaga.
6. Penyelarasan Arah Pengembangan
Kelembagaan Iptek
Dengan
memperhatikan
strategi
implementasi kebijakan pengembangan
kelembagaan iptek yang difokuskan pada
peningkatan kualitas tatakelola lemlitbang
62

nasional serta dinamika perubahan


lingkungan internal dan eksternal yang
terjadi, baik di level makro maupun mikro,
maka perlu dilakukan penyelarasan arah
dalam advokasi kebijakan pengembangan
kelembagaan iptek yang akan dilakukan.
Penyelarasan kebijakan dilakukan dengan
penajaman pada penetapan visi, misi,
dan tujuan dari advokasi Kebijakan
Pengembangan Kelembagaan Iptek yang
difokuskan pada Peningkatan Kualitas
Tatakelola Lemlitbang Nasional sebagai
langkah awal sebelum peta stratejik dari
Metode BSC ditetapkan.
Penyelarasan dalam perumusan kebijakan
yang yang dilakukan tersebut perlu
berangkat dari permasalahan publik yang
berpotensi menjadi isu publik bila tidak
dilakukan intervensi pemerintah dalam
bentuk kebijakan publik.
Salah satu isu publik yang diidentifikasi
dalam survai terhadap kualitas tatakelola
lembaga litbang pemerintah adalah relatif
rendahnya relevansi antara lembaga
pengembang teknologi dengan lembaga
pengguna teknologi terutama pelaku
industri.
Kondisi ini terjadi akibat terjadinya
komunikasi yang tidak intensif antara kedua
lembaga tersebut. Komunikasi yang intensif
antara Lembaga Pengembang Teknologi
dengan Lembaga Pengguna Teknologi perlu
difasilitasi secara berkesinambungan guna
mendukung terjadinya aliran informasi
dan paket teknologi yang krusial bagi
berlangsungnya proses inovasi baik pada
Sistem Inovasi Nasional (SINas) maupun
Sistem Inovasi Daerah (SIDa).
Iklim kondusif yang memungkinkan
terjalinnya komunikasi dua arah antar
lembaga tersebut perlu dibangun sehingga
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

kebutuhan teknologi dari Lembaga


Pengguna Teknologi menjadi masukan
bagi Lembaga Pengembang Teknologi
dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan
pengembangan (litbang) yang dilakukan.
Pendekatan kegiatan litbang yang
berorientasi pada kebutuhan pasar (market
driven) berpotensi mendukung peningkatan
pemanfaatan teknologi hasil litbang
ke dalam proses produksi di Lembaga
Pengguna Teknologi. Peningkatan relevansi
antara Lembaga Pengembang Teknologi
dengan Lembaga Pengguna Teknologi
memerlukan peran aktif dari stakeholders
sehingga dapat didorong terjadinya
pergeseran paradigma dari pendekatan
technology push yang selama ini lebih
dominan dilakukan dalam pelaksanaan
kegiatan litbang menjadi technology pull
atau market driven agar teknologi yang
dihasilkan dapat didiseminasikan secara
optimal untuk mendukung berlangsungnya
proses inovasi yang berkesinambungan.
Beberapa negara juga memilih untuk
mengatur secara terpisah sistem aplikasi
riset yang pararel dengan riset dasarberorientasi universitas (akademisi) dan
riset yang berorientasi pada sosial dan
industri (Boekholt, 2010).
Dalam
perumusan
Kebijakan
Pengembangan
Kelembagaan
Iptek
untuk mendukung peningkatan relevansi
antara Lembaga Pengembang Teknologi
dengan Lembaga Pengguna Teknologi
perlu memetakan peran dari segenap
pemangku kepentingan (stakeholders)
sehingga kontribusi yang diharapkan
dalam perumusan konsep kebijakan dapat
dilakukan secara optimal.
Disamping itu, identifikasi kendala yang
dihadapi oleh masing-masing pemangku
ISSN : 2252-911X

kepentingan merupakan data faktual yang


sangat penting agar konsep kebijakan
yang dihasilkan mampu menghasilkan
solusi terhadap isu publik terkait
dengan peningkatan relevansi secara
berkesinambungan. Kendala yang dihadapi
dalam penguatan relevansi agar teknologi
yang dihasilkan dapat dimanfaatkan ke
dalam proses produksi lebih lanjut guna
menghasilkan barang modal atau barang
konsumsi merupakan permasalahan yang
kompleks dengan spektrum luas.
Kondisi ini memerlukan prioritas baik
terhadap isu publik yang terjadi, faktor
pemungkin (enablers factors) yang
perlu diperhatikan lebih lanjut guna
menyelesaikan permasalahan yang terjadi,
serta aktor yang terlibat di dalamnya agar
dapat dicarikan alternatif konsep kebijakan
yang dapat diimplementasikan lebih lanjut
sebagai solusi yang tepat.
Berkaitan dengan prioritas yang perlu
ditetapkan, maka penyelarasan arah
dalam perumusan konsep Kebijakan
Pengembangan Kelembagaan Iptek ini
dibatasi pada industri penghasil barang
modal nasional dimana advokasi kebijakan
dalam jangka panjang diharapkan mampu
menghasilkan industri barang modal
nasional yang mampu mendukung
kemandirian teknologi dari industri
nasional serta peningkatan nilai tambah
produk ekspor non migas nasional.
Justifikasi penetapan prioritas tersebut
didasarkan pada fakta bahwa impor barang
modal, bahan baku, serta bahan penolong
bagi kelangsungan roda bisnis industri
nasional terus mengalami peningkatan yang
signifikan dari tahun ke tahun. Sebagai data
awal, impor barang modal selama tahun
2010 mencapai 26,9 miliar dolar AS atau
naik 31,6 persen dari kurun yang sama tahun
63

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sebelumnya. Selama Januari-Agustus 2011


impor barang modal juga naik 14,8 persen
dari periode yang sama tahun 2010 menjadi
20 miliar dolar AS.
Bila dicermati lebih lanjut, pertumbuhan
industri
barang
modal
nasional
berkecenderungan
mengalami
pertumbuhan negatif yang sangat riskan
bagi upaya-upaya kemandirian teknologi
nasional. Demikian juga halnya dengan
impor bahan baku dan bahan penolong
industri yang juga cenderung terus
mengalami peningkatan.
Kondisi ini semakin dilematis karena
sebagaian besar bahan baku industri yang
diimpor tersebut merupakan hasil olahan
bahan baku yang didatangkan dari Indonesia.
Fakta ini menginformasikan bahwa
pengembangan industri penghasil barang
modal secara nasional masih belum mampu
mengimbangi kebutuhan industri nasional
akan barang modal untuk pelaksanaan
proses produksi yang dilakukan.
Kondisi ini juga dapat diinterpretasikan
sebagai data awal bahwa kualitas relevansi
masih belum optimal, dibuktikan dengan
produk teknologi yang dihasilkan oleh
Lembaga Pengembang Teknologi belum
mampu berkontribusi secara optimal bagi
pengembangan industri penghasil barang
modal, baik industri penghasil barang modal
eksisting maupun yang akan dikembangkan
dalam rangka kemandirian teknologi
nasional.
Disamping itu, nilai tambah (added
value) berbagai sumberdaya alam belum
dapat dinikmati secara optimal oleh
bangsa Indonesia dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang dilakukan.
Kondisi ini dibuktikan dengan rendahnya
nilai tambah produk ekspor nonmigas
64

Indonesia karena proses derivasi produk


yang bernilai ekonomi tinggi tidak dilakukan
di dalam negeri akibat mandegnya hilirisasi
industri nasional atau pendalaman struktur
industri (industry deepening). Peningkatan
nilai tambah melalui hilirisasi industri perlu
dukungan industri penghasil barang modal
yang relevan sehingga manfaat ekonomi
sumberdaya alam dapat dinikmati oleh
rakyat Indonesia secara optimal.
Guna mendukung perumusan konsep
kebijakan yang tepat dalam peningkatan
relevansi Lembaga Pengembang Teknologi
dengan Lembaga Pengguna Teknologi
diperlukan berbagai analisis, baik dalam
lingkup global maupun nasional yang
mencakup Analisa Lingkungan Global,
Analisa Lingkungan Nasional (Makro
Ekonomi
Indonesia),
Analisa
PEST
(Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi),
Analisa Pemangku Kepentingan, Analisis
Persaingan Pasar (Porters 5 Factors), serta
Analisis Internal Lembaga, baik Lembaga
Pengembang Teknologi maupun Lembaga
Pengguna Teknologi (Industri Penghasil
Barang Modal Prioritas).
Hasil analisa tersebut merupakan Kondisi
Eksisting Peta Kualitas Relevansi sebagai
dasar bagi perumusan konsep Kebijakan
Pengembangan Kelembagaan Iptek lebih
lanjut yang terfokus pada pengembangan
Industri Penghasil Barang Modal yang
diprioritaskan. Hasil analisis yang dilakukan
merupakan data yang sangat penting
bagaimana konsep kebijakan peningkatan
relevansi seharusnya dilakukan agar
dapat
diimplementasikan
dalam
advokasi kebijakan lebih lanjut secara
berkesinambungan.
Selanjutnya, dalam perumusan konsep
kebijakan yang dilakukan juga diperlukan
masukan hasil analisa lingkungan global
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

mencakup berbagai regulasi internasional


yang telah menjadi konvensi dalam
implementasi sistem perdagangan bebas
WTO. Hal ini dapat dipahami karena
Indonesia merupakan salah satu negara
yang telah meratifikasi regulasi dalam
sistem perdagangan bebas tersebut.
Dalam implementasi sistem perdagangan
bebas tersebut tidak dimungkinkan
kembali pemerintah memberikan proteksi
bagi industri nasional dalam bentuk
hambatan tarif maupun nontarif. Salah
satu strategi untuk memberikan proteksi
bagi membanjirnya produk impor ke pasar
nasional adalah implementasi standar
nasional.
Bilamana mencermati perkembangan
global yang terjadi, maka implementasi
standar nasional ini merupakan salah
satu instrumen yang menjadi perhatian
berbagai negara, baik negara maju maupun
berkembang. Disamping itu, masukan
hasil analisis dalam lingkup nasional yang
diklasifikasikan atas level makro dan
mikro. Pada tataran makro, terdapat tiga
faktor yang perlu dielaborasi lebih lanjut,
yaitu: kondisi ekonomi makro, kualitas
kelembagaan publik dalam menjalankan
fungsinya sebagai fasilitator dan pusat
pelayanan, dan kebijakan pengembangan
teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan
teknologi bagi pengembangan industri
penghasil barang modal nasional.
Sementara itu, pada tataran mikro atau
tataran bisnis, terdapat dua faktor yang
perlu diperhatikan yakni: (a) efisiensi proses
produksi pada tingkat operasionalisasi
industri penghasil barang modal, dan (b)
iklim persaingan dalam rangka menciptakan
tekanan kompetisi secara sehat yang
mampu
mendukung
pengembangan
industri penghasil barang modal nasional.
ISSN : 2252-911X

Akhirnya penyelarasan pengembangan


kelembagaan Iptek yang ditujukan untuk
mendorong
pertumbuhan
industri
penghasil barang modal nasional perlu
memperhatikan beberapa hal (Gambar 7)
sebagai berikut:
Pertama, industri penghasil barang modal
yang perlu diprioritaskan untuk mendukung
kemandirian teknologi industri nasional
eksisting serta pendalaman struktur
industri yang strategis dilakukan sebagai
sumber-sumber pertumbuhan baru bagi
perekonomian nasional;
Kedua,
pengembangan
kelembagaan
yang perlu dilakukan untuk mendukung
penguatan relevansi teknologi yang
dihasilkan oleh Lembaga Penghasil Teknologi
dalam mendukung pengembangan industri
penghasil barang modal;
Ketiga, pemetaan untuk identifikasi kendala
dan faktor pemungkin (enabler factors) yang
krusial bagi berhasilnya advokasi kebijakan
penguatan relevansi antara Lembaga
Pengembang Teknologi dengan industri
penghasil barang modal yang diprioritaskan;
Keempat, terobosan/inovasi kelembagaan
(dalam
konteks
penyegaran
dan
pengembangan
regulasi
nasional,
penguatan koordinasi lintas sektor, serta
sinergi fungsional pelaksanaan tupoksi
antar lembaga/instansi) untuk mendukung
keberhasilan advokasi kebijakan yang akan
dilakukan dalam penguatan relevansi antara
Lembaga Pengembang Teknologi dengan
industri penghasil barang modal yang
diprioritaskan; serta
Kelima, aksi awal yang perlu dilakukan
dalam rangka advokasi kebijakan penguatan
relevansi antara Lembaga Pengembang
Teknologi dengan industri penghasil barang
modal yang diprioritaskan.
65

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 7. Arah Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Iptek Untuk Penguatan Industri


Penghasil Barang Modal Nasional
Diharapkan pelaksanaan penyelarasan arah
pengembangan kelembagaan iptek yang
ditujukan untuk mendorong pertumbuhan
industri penghasil barang modal nasional
perlu memperhatikan berbagai hal
tersebut, mampu meningkatkan kualitas
tatakelola lembaga pengembang teknologi,
serta meningkatkan pemanfaatan teknologi
dalam proses inovasi di lembaga pengguna
teknologi, terutama pelaku industri
nasional untuk tujuan inovasi produk dan
proses produksi maupun peningkatan nilai
tambah produk.

66

Akhirnya, pemanfaatan berbagai data


dan informasi dari kelima hal di atas
merupakan masukan yang sangat penting
dalam penyelarasan arah perumusan
kebijakan pengembangan kelembagaan
iptek untuk mendorong pertumbuhan
industri penghasil barang modal nasional
dengan peningkatan relevansi antara
lemlitbang sebagai lembaga pengembang
teknologi dengan industri penghasil barang
modal tertentu sebagai lembaga pengguna
teknologi.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Daftar Pustaka
Bell, M., Pavitt, K. 1993. Technological
accumulation and industrial growth:
Contrasts between developed and
developing countries. Industrial and
Corporate Change 2:157-209.
Boekholt, P. 2010. The evolution of
innovation paradigms and their
influence on research, technological
development and innovation policy
instruments. In Smits et al. (eds): The
Theory and Practice of Innovation
Policy. Edward Elgar Publishing,
Cheltenham, UK.
Kaplan, R. S. and Norton, D. P. 1992. The
Balanced Scorecard: Measures that
drive ferformance, Harvard Business
Review 69 (1): 71-79.
Kaplan, R.S., Norton, D.P. 1996. Alignment:
Using the Balanced Scorecard to Create
Corporate Synergies. Harvard Business
School Pess, Boston.

Mani, S. 2002 Government Innovation and


Technology Policy: An international
comparative analysis. The United
Nations University, Tokyo.
Neo, B.S., Chen, G. 2007. Dynamic
Governance, Embedding Culture,
Capabilities and Change in Singapore.
World Scientific Publishing Co. Pte.
Ltd., Singapore
OECD. 1997. National Innovation System.
Organization for Economic Cooperation and Development, Paris
Smits, R.E., Kuhlmann, S., Shafira, P. 2010.
The Theory and Practice of Innovation
Policy. Edward Elgard Publishing,
Cheltenham, UK.
Suprapto, F. 2011. Peta Kemampuan
Litbang dan Kemampuan Disseminasi
Lembaga Litbang Pemerintah, hasil
survei Penelitian dan Pengembangan
disektor Pemerintah. Kementerian
Riset dan Teknologi, Jakarta.

Lakitan, B. 2009. Kebijakan Pengembangan


dan Implementasi Sistim Inovasi
Nasional: Pendidikan, Riset, Industri
dan Konsumen. Jurnal Dinamika
Masyarakat 8:1501-1515
Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan
Riset dan Pengembangan untuk
Mendukung Sistim Inovasi Nasional.
Keynote Speech pada Seminar
Revitalisasi Kelembagaan Litbang. Pasca
Sarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23
November 2010.

ISSN : 2252-911X

67

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan


Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi pada
Sistem Inovasi Nasional
Dadit Herdikiagung, Sakti Nasution, Agung Pambudi, Rolenta Ekasari
Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta
Abstract
Capacities in conducting research, technology development and diffusion of its products
are essensial in establishing or strengthening National Innovation System (NIS). For
implementation of these capacities, synchronized policies and regulations in related
development sectors are required, including regulations on tax and finance, science and
technology, human resource, education, infrastructure, and macro economy. All policies and
regulations have to be comprehensively and integratively synchronized in order to create
a conducive ecosystem for NIS. Efforts in identifying, mapping, and analyzing all of related
policies and regulations are needed for formulating a new, simpler, and implementable policy
and/or regulation to increase productivity of NIS.
Abstrak
Kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi di badan usaha menjadi syarat
utama dalam upaya penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas). Namun demikian, upaya ini
memerlukan sinkronisasi kebijakan dan legislasi di berbagai sektor secara lebih baik. Berbagai
kebijakan dan legislasi di bidang keuangan/perpajakan, iptek, ketenagakerjaan, pendidikan,
infrastuktur, maupun di bidang ekonomi pada umumnya merupakan enam pilar kebijakan
yang dapat memperkuat SINas.
Upaya untuk mengidentifikasikan serta melakukan analisis terhadap berbagai kebijakan
dan legislasi yang tersebar di berbagai peran dan sektor pemerintahan tersebut perlu
dilakukan. Untuk itu, Pemetaan Legislasi Iptek dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan
Difusi Teknologi pada SINas merupakan upaya dari pengembangan legislasi iptek untuk
mendapatkan rekomendasi kebijakan yang komprehensif. Adanya rekomendasi kebijakan
legislasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan kemampuan riset,
serta perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi sebagai upaya penguatan SINas.

ISSN : 2252-911X

69

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

1. Pendahuluan
Pemetaan legislasi dalam kegiatan
perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi
merupakan upaya koherensi kebijakan dan
penggalangan kompetisi dan kerjasama
untuk membangkitkan industri hasil
inovasi.Peningkatan pengelolaan dan
interaksi antar elemen pendukungnya,
seperti lembaga pengembang teknologi,
seperti
lembaga
penelitian
dan
pengembangan Lembaga Pemerintah
Non Kementerian (LPNK), kementerian,
daerah serta perguruan tinggi, maupun
melakukan interaksi ke luar dengan dunia
usaha dan industri sebagai pengguna atau
pengembang teknologi.
Upaya tersebut semestinyadapat dilakukan
sehingga inovasi dapat mewujud dalam
penyediaan barang dan jasa yang
bermanfaat bagi masyarakat. Upaya untuk
mewujudkan inovasi secara bersistem inilah
yang dapat disebut dengan penguatan
Sistem Inovasi Nasional (SINas). Pada
dasarnyapenguatan SINas dilakukan untuk
tujuan peningkatankemampuan daya
saing nasional, yaitu dengan melakukan
transformasi bertahapdari perekonomian
yang berbasis keunggulan komparatif
sumber daya alam menjadi perekonomian
kreatif yang berkeunggulan kompetitif.
Melalui penguatan SINas, berbagai aktor
yang terlibat dalam kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan iptek
diharapkan berkolaborasi dalam satu
jaringan, sehingga inovasi iptek yang
dihasilkan dapat diterapkan dalam
aktivitas keseharian dan bernilai guna bagi
masyarakat.
Namun sebagaimana diketahui kegiatan
sinergi atau kolaborasi, baik antar aktor,
maupun kelembagaan pelaku litbang,hingga
70

saat ini belumlah optimal dan masih jauh


dari harapan kita semua. Hasil penelitian
yang tidak aplikatif, keengganan badan
usaha untuk berinovasi, iklim usaha yang
tidak kondusif, ketidakmampuan produk
invensi dalam negeri berkompetisi dengan
produk serupa yang berasal dari impor,
orientasi jangka pendek,maupunkuatnya
isu sektoralisme adalah merupakan kendala
yang pada umumnya seringkali menjadi
faktor penghambatbagi upaya penguatan
SINas, termasuk upaya mendorong
peningkatan
kemampuan
kegiatan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi
badan usaha atau industri nasional.
Lembaga litbang atau perguruan tinggi,
termasuk lembaga-lembaga penelitian
yang berada di daerah,pada umumnya
masih dianggap belumbanyak memberikan
kontribusi nyata dalam meningkatkan
kemampuan daya saing nasional. Kekayaan
intelektual dan hasil litbang yang dihasilkan
lembaga litbang atau perguruan tinggi
selama ini seakan-akan belum berperan
dalam upaya peningkatan keunggulan dan
martabat bangsa. Komersialisasi, maupun
alih teknologi kekayaan intelektual dan
hasil litbang, baik dalam bentuk lisensi,
kerjasama, pelayanan jasa iptek dan
publikasi, juga masih belum dirasakan
hasilnya secara nyata dalam masyarakat.
Pada sisi lain, badan usaha dan organisasi
bisnis masih belum merasa yakin
sepenuhnya apakah produk litbang yang
dihasilkan lembaga litbang dan perguruan
tinggi dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas.
Dalam kaitan tersebut, UU Nomor 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, jauh
hari sudah mengingatkan, lembaga litbang
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

memiliki tanggung jawab mencari berbagai


invensi di bidang iptek serta menggali
potensi pendayagunaannya, sedangkan
badan usaha dan industri bertanggung
jawab mengusahakan pendayagunaan
manfaat keluaran yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi atau lembaga litbang,
ataupun kerjasama antara pengembang
dan pengguna teknologi.
Memang sudah banyak argumen yang
dipakai untuk menjelaskan tentang
mengapa interaksi dan komunikasi antara
sesama lembaga-lembaga pemerintahpun
masih terkendala.Paling tidak terdapat 2
(dua) argumen mendasar untuk menjawab
kendala intraksi dan komunikasi tersebut.
Pertama, bisa dilihat dari sisi koordinasi
dan sinergi kegiatan lintas sektor, yang
sering hanya diterjemahkan sebagai
pelaksanaan rapat koordinasi semata,
dan dengan mengadakan rapat tersebut,
dianggap bahwa kewajiban koordinasi
dan sinkronisasi telah tertunaikan.
Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan
seharusnya
berbuah
peningkatan
efektivitas pencapaian sasaran kegiatan,
efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya
(anggaran, tenaga, sarana, prasarana), dan
terbangunnya semangat kebersamaan,
tumbuhnya sikap profesionalisme, serta
semakin kokohnya jiwa nasionalisme.
Kendala yang kedua, sinkronisasi belum
optimal dari berbagai bidang secara lintas
sektor, terutama yang terkait erat dengan
kebijakan penguatan SINas. Bidang ini
mencakupkeuangan dan perpajakan, iptek,
ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur,
maupun pada bidang ekonomi pada
umumnya.
Mungkin saja karena sinkronisasi kebijakan
atau legislasi lintas sektor tersebut masih
ISSN : 2252-911X

lemah sehingga koordinasi dan sinergi


kegiatan lintas sektor juga menjadi turut
melemah. Tetapi mungkin saja hal itu
terjadi sebaliknya, karena koordinasi dan
sinergi kegiatan lintas sektor belum optimal
sehingga mengakibatkan sinkronisasi
kebijakan atau legislasi lintas sektor tadi
turut menjadi melemah. Namun apapun
terlebih dahulu yang menjadi kendalanya,
tentu upaya kolaborasi maupun kerjasama
dalam kegiatan perekayasaan, inovasi dan
difusi teknologi di antara kelembagaan
iptek harus terus dikembangkan secara
lebih intensif lagi di masa-masa mendatang.
Berkaitan dengan hal ini, RPJMN 2010 -2014
menegaskan bahwa kunci keberhasilan
implementasi penguatan SINas suatu
negara adalah koherensi kebijakan inovasi
dalam dimensi antarsektor dan lintas sektor,
intertemporal (antarwaktu); dan nasionaldaerah (interteritorial), daerah-daerah, dan
internasional. Dalam perspektif hubungan
nasional-daerah, koherensi kebijakan
inovasi dalam penguatan SINas di Indonesia
perlu dibangun melalui kerangka kebijakan
inovasi (innovation policy framework) yang
sejalan, dengan sasaran dan milestones
terukur, serta komitmen sumberdaya yang
memadai baik pada tataran pembangunan
nasional maupun daerah sebagai platform
bersama.1
Dari sisi legislasi meskipun sejauh ini
berbagai penguatan SINas sudah dilakukan
melalui berbagai instrumen kebijakan.
Namun hal tersebut dinilai belum cukup,
karena peraturan perundang-undangan
tersebut pada kenyataannya belum dapat
diterapkan. Karena, misalnya secara
1 Peraturan Peresiden Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembagunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010 2014.
71

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

substansial banyak peraturan-peraturan


yang belum terakomodir dalam peraturan
atau petunjuk teknis yang terkait.Sebagai
contoh, dalam upaya untuk meningkatkan
peran aktif kelembagaan bisnis dalam
rangka penguatan SINas dalam lingkup
kebijakan bidang iptek telah dirintis
legislasi yang cenderung mengatur
di dua sisi, sisi demand side maupun
linkage area.Kebijakan untuk mendorong
penerapan teknologi badan usaha dengan
memberikan fasilitas/insentif fiskal dan
non fiskal bantuan teknis, antara lain
melalui Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun2007 tentang Pengalokasian
Sebagian Pendapatan Badan Usaha Dalam
Peningkatan Kemampuan Perekayasaan,
Inovasi dan Difusi Teknologi. Namun
ketentuan ini belum dapat diimplementasikan secara kongkrit karena secara substansi
belum terakomodir dalam peraturan atau
petunjuk teknis terkait dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan
dan kepabeanan.
Demikian juga halnya misalnya dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan
Intelektual Serta Hasil Penelitian dan
Pengembangan oleh Perguruan Tinggi
dan Lembaga Litbang, yang menyebutkan
bahwa perguruan tinggi dan lembaga
litbang wajib mengusahakan alih teknologi
kekayaan intelektual dan hasil litbang
kepada pemerintah, pemerintah daerah,
badan usaha dan masyarakat. Namun
pengaturan yang berhubungan dengan
royalty maupun benefit sharingdi sektor
atau di bidang lain belum tersedia.
Tersebarnya kebijakan dan legislasi ke
berbagai sektor pemerintahan memerlukan
adanya identifikasi dan analisis kebijakan,
terutama untuk mengetahui seberapa
72

banyak peraturan perundang-undangan


yang terkait dengan perekayasaan,
inovasi dan difusi teknologi dalam upaya
penguatan SINas. Selain itu, perlu dilakukan
pengelompokan peraturan perundangundangan, baik yang mempengaruhi
aktivitas pengembang (supply side), atau
yangmempengaruhi pihak pengguna dalam
memutuskan penerapan iptek (demand
side), maupun yang mempengaruhi
mekanisme alih dan interaksi antara
pengembang dan pengguna (linkage area).
Dengan melihat kenyataan di atas,
sinkronisasi dan harmonisasi legislasi
menjadi agenda yang sangat penting untuk
diprioritaskan sehingga upaya mendorong
dunia usaha untuk berperan aktif dalam
kegiatan pengembangan dan adopsi
teknologi dapat diaktualisasikan.Untuk
itu, pemetaanlegislasi dapat dilakukan
dalam lingkup lintas sektor yang terkait
erat dengan penguatan SINas seperti
bidang keuangan dan perpajakan, iptek,
ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur,
dan ekonomi.Keenam bidang tersebut
merupakan enam pilar yang dianggap
sangat terkait dan mendukung kegiatan
perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi,
dan secara umum dapat dikatakan sebagai
enam pilar dalam SINas.
Permasalahan
Kunci keberhasilan implementasi penguatan
SINas di suatu negara adalah koherensi
kebijakan inovasi dalam kerangka kebijakan
penguatan SINas.Namun kenyataannya,
tersebarnya kebijakan inovasi di berbagai
sektor peran dan bidang pemerintahan
menjadikan upaya pemetaan, sinkronisasi
dan harmonisasi kebijakan dan legislasi
menjadi krusial. Upaya ini seharusnya
menjadi agenda penting dalam upaya
mendorong dunia usaha untuk berperan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

aktif dalam kegiatan penelitian dan


pengembangan. Dan selanjutnya adopsi
teknologi, perekayasaan, inovasi ataupun
difusi teknologi dapat diaktualisasikan
secara nyata dalam masyarakat.
2. Penguatan Sistem Inovasi Nasional
(SINas)
Sistem
InovasiNasional
(SINas),
sebagaimana termaktub dalam Peraturan
Presiden No. 32 Tahun 2010 tentang Komite
Inovasi Nasional, adalah suatu jaringan
rantai antara institusi publik,lembaga
riset dan teknologi, universitas serta
sektor swasta dalamsuatu pengaturan
kelembagaan yang secara sistemik dan
berjangkapanjang dapat mendorong,
mendukung, dan menyinergikankegiatan
untuk menghasilkan, mendayaguna-kan,
merekayasainovasi-inovasi di berbagai
sektor, dan menerapkan sertamendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional
agar manfaatnyata temuan dan produk
inovatif dapat dirasakan masyarakat.
Definisi SINas dalam perpres tersebut
sesuai dengan definisi yang diberikan oleh
Freeman, sebagaimana dirujuk oleh OECD
(Organisation for Economic Co-operation
and Development). Menurut Freeman,
national innovation system adalah jaringan
antara institusi publik dan swasta yang
aktivitas dan interaksinya memprakarsai,
mendatangkan,
memodifikasi,
dan
menyebarkan atau menerapkan teknologiteknologi baru.2
Keberadaan SINas yang demikian itu
sesungguhnya hendak menghubungkan
institusi atau pihak yang mengembangkan
iptek dengan institusi atau pihak yang
2 National Innovation Systems, OECD, 2007,
hal. 10.
ISSN : 2252-911X

menggunakan iptek. Oleh karena kegiatan


pengembangan iptek dalam praktiknya
banyak dilakukan oleh perguruanperguruan tinggi dan lembaga-lembaga
penelitian, sementara penggunaan iptek
dalam proses rekayasa suatu produk
dikerjakan oleh industri, maka yang
seringkali terjadi kemudian kegiatan iptek
di antara pihak pengembang dan pengguna
iptek tersebut menjadi tidak berkelanjutan.
Ini artinya aktivitas pengembangan iptek
oleh perguruan tinggi dan lembaga
penelitian cenderung berhenti pada
laporan-laporan hasil penelitian, dan
kalaupun masih ada tahapan berikutnya
biasanya berhenti pada penerbitan dalam
jurnal-jurnal ilmiah, sedangkan kegiatan
produksi di dunia industri lebih banyak
masih
mempertahankan
teknologiteknologi mapan yang sudah dikenal
sebelumnya dengan sedikit yang mau
mempertimbangkan dan mengadopsi
temuan-temuan dari kalangan perguruan
tinggi dan lembaga penelitian.
Hambatan dalam keberlanjutan kegiatan
iptek di antara lembaga pengembang
dan pengguna itulah yang dicoba di atasi
melalui penguatan SINas. Jika semula
pengembangan dan penggunaan iptek
hanya melibatkan lembaga pengembang
dan lembaga pengguna, maka melalui SINas
diupayakan adanya keterlibatan pengguna
iptek secara lebih aktif. Keterlibatan
pemerintah bukan dimaksudkan sebagai
keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan
pengembangan iptek atau penggunaan
iptek, meskipun hal ini seringkali tidak dapat
dihindari, tetapi yang lebih penting adalah
keterlibatan dalam bentuk penciptaan iklim
yang kondusif bagi keberlanjutan kegiatan
iptek serta fasilitasi keberjumpaan pihak
pengembang dan pengguna iptek. Iklim
73

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

yang kondusif bagi kegiatan iptek antara


lain berwujud dalam bentuk kebijakankebijakan yang mendukung penemuanpenemuan iptek, pengembangan industri,
dan pemanfaatan hasil-hasil penemuan
iptek oleh dunia industri.
Selain itu, SINas dalam keberlanjutan
kegiatan iptek juga didorong oleh kebutuhan
agar penelitian dan pengembangan
iptek oleh perguruan tinggi dan lembaga
penelitian lebih sesuai dengan kebutuhan
masyarakat atau industri. Sebaliknya
pula, informasi-informasi terkait dengan
kebutuhan-kebutuhan pihak pengguna
(industri atau masyarakat), diharapkan
dengan SINas menjadi tersampaikan
kepada pihak perguruan tinggi dan
lembaga penelitian. Dengan diterimanya
kebutuhan teknologi yang diperlukan
industri oleh pihak pengembang, dan pada
saat bersamaan hasil pengembangan iptek
oleh pihak pengembang juga bersesuaian
dengan kebutuhan pihak pengguna, maka
terjadilah di sana suatu kesinambungan
dalam kegiatan iptek, dari tahapan
penelitian hingga penggunaannya.
Model SINas yang merupakan jaringan
rantai antara institusi publik, lembaga riset
dan teknologi, dan masyarakat atau industri
tersebut tergambarkan sebagai berikut:

Gambar Konsepsi Dasar Sistem Inovasi


Nasional (Lakitan, 2010)
74

Dari gambar tersebut tampak bahwa


adanya keberlanjutan dari kegiatan iptek
yang diharapkan dari SINas. Bermula dari
informasi akan kebutuhan dan masalah
yang dihadapi oleh pengguna, dilakukanlah
penelitian dan pengembangan oleh
pengembang (perguruan tinggi, lembaga
penelitian). Selanjutnya temuan-temuan
yang dihasilkan melalui penelitian
dan pengembangan tersebut, karena
memiliki relevansi dengan kebutuhan
dan masalah yang dihadapi, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh pihak pengguna.
Sementara pihak pemerintah sendiri,
dalam hal SINas ini akanmeberikan
dukungandalam kebutuhan regulasi dan
fasilitasi.
Bagi Indonesia, pentingnya SINas untuk
menjembatani sisi supply dan demand
teknologi. SINas di sini akan menjadi suatu
jaringan rantai pemasok teknologi yang
mengaitkan antara institusi publik pemasok
teknologi dan sektor swasta pengguna
teknologi, sehingga manfaat nyata dari
hasil-hasil penelitian dan pengembangan
iptek dapat dirasakan masyarakat.3
3. Perekayasaan,
Teknologi

Inovasi

dan

Difusi

Sebelum dibahas masalah perekayasaan,


inovasi dan difusi teknologi, terlebih dahulu
diuraikan tentang teknologi itu sendiri.
Adanya penjelasan definisi teknologi yang
lebih awal akan memudahkan pemahaman
tentang perekayasaan, inovasi dan difusi
teknologi.
3 http://www.bppt.go.id/index.php?option=
com_content&view=article&id=397:sis
tem-inovasi-nasional-untuk-menjawabtantangan-pasar-global&catid=46:umum,
diakses 10 Juli 2011.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Dari segi istilahnya, teknologi berasal


dari kata Yunani techne, yang artinya
ketrampilan atau seni. Dari kata ini antara
lain diturunkan kata-kata teknik dan
teknologi. Teknik adalah cara, metoda, atau
kemampuan untuk memenuhi persyaratanpersyaratan keteram-pilan dalam bidangbidang tertentu. Teknologi memiliki
beberapa arti, antara lain, (1) penerapan
ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan
praktis; (2) cabang ilmu pengetahuan
mengenai penerapan tersebut; dan
(3) kumpulan semua cara dari sesuatu
kelompok sosial dalam memenuhi obyekobyek material dari kebudayaannya.4
Definisi lainnya tentang teknologi, yang
diberikan oleh Amir Pamuntjak, ialah
pengetahuan tentang pemakaian alat-alat
dalam proses pembuatan barang-barang.5
Wiratmo Sukito menyebut teknologi
sebagai teknik, atau suatu daya-upaya
sistematis, yang menggunakan penemuanpenemuan ilmiah.6
Dari sejarah evolusinya, apa yang dikatakan
sebagai teknologi sebenarnya dipahami
secara berbeda-beda oleh masyarakatnya
sesuai perkembangan teknologi itu
sendiri. M Sahari Besari mencatat, pada
mulanya terminologi teknologi dipakai
untuk menyatakan alat bantu (means)
4 H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari
Pembangunan Ilmu dan Teknologi (Jakarta:
Gramedia, 1986), hlm. 219.
5 Amir Pamuntjak, Dasar Pokok Alih
Teknologi, dalam Amir Pamuntjak, dkk.,
Sistem Paten: Pedoman Praktik dan Alih
Teknologi (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm.
6 Wiratmo Sukito, Kaum Intelektual dan
Teknokrat: Mencari Definisi, Pengantar
dalam Cendekiawan dan Politik (Jakarta:
LP3ES, cetakan kedua, 1984), hlm. xvii.

ISSN : 2252-911X

manusia dalam usaha untuk memenuhi


kebutuhannya. Pada tahap ini teknologi
merupakan benda-benda yang konkrit
(hardware), baik itu berkaitan dengan
perkakas maupun peralatan. Pemahaman
teknologi yang demikian kemudian
berubah pada masa-masa berikutnya,
bahwa teknologi, selain berbentuk bendabenda yang konkrit, juga dipahami meliputi
metode, proses, dan sistem, semisal
cara bercocok tanam, proses produksi,
dan sistem pemerintahan. Jadi di sini,
bentuk teknologi itu juga mencakup halhal yang sifatnya abstrak (software dan
brainware). Atas dasar inilah Besari
kemudian
mendefinisikan
teknologi
sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang
ditransformasikan ke dalam produk,
proses, jasa, dan struktur organisasi yang
pada dasarnya merupakan seperangkat
instrumen ekspansi kekuasaan manusia
sehingga dapat menjadi sumber daya cara
baru untuk menciptakan kekayaan melalui
peningkatan produktivitas.7
Dari berbagai uraian definisi teknologi di
atas bisa disimpulkan bahwa teknologi itu
terkait dengan teknik dan ilmu pengetahuan
ataupun penemuan-penemuan ilmiah; dan
untuk menggambarkan tingkat keterkaitan
yang tinggi, Sukito bahkan menyebutnya
sebagai teknik yang menggunakan
penemuan ilmiah. Meski demikian, pada
mulanya sebenarnya tidaklah terjadi
hubungan di antara teknik dan penemuan
ilmiah. Hanya saja, bila tidak terjadi
hubungan, maka penemuan-penemuan
ilmiah tidak akan mempunyai nilai-nilai
praktis. Adalah pendekatan industrial yang
kemudian saling mendekatkan keduanya,
7 M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara: 40
Abad Hambatan Inovasi (Jakarta: Salemba
Teknika, 2008), hlm. 146-148.
75

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sehingga lambat-laun nilai-nilai praktis


amat mempengaruhi kegiatan ilmiah.
Karena kuatnya keterpengaruhan nilainilai praktis dalam kegiatan ilmiah inilah
sehingga teknologi juga didefinisikan
sebagai penggunaan industrial dari ilmu
(industrial application of science).8

untukmenerapkan iptek yang telah ada


ke dalam produk atau proses produksi;
dan difusi teknologi adalah kegiatan
adopsi dan penerapan hasil inovasi secara
lebih ekstensif olehpenemunya dan/atau
pihak-pihak lain dengan tujuan untuk
meningkatkan daya guna potensinya.9

Keterkaitan penemuan ilmiah dan teknik,


sehingga mempunyai nilai-nilai praktis,
terbaca dengan jelas dari definisi teknologi
yang diberikan Besari di atas. Disebutnya
bahwa teknogi itu merupakan sumber daya
cara baru untuk menciptakan kekayaan
melalui peningkatan produktivitas. Hal
ini berarti proses inovasi teknologi itu
dikatakan tercapai dan berhasil apabila
telah diproduksi atau diterapkan. Oleh
karenanya, pengembangan suatu teknologi
mesti diorientasikan pada keterterapannya.

Dengan demikian, kesemua istilah


perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi
itu dimaksudkan sebagai kegiatan
memanfaatkan
atau
menggunakan
hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek). Pemanfaatan
dan penggunaan hasil-hasil penemuan
teknologi tersebut bisa berupa desain
dan rancang bangun, pengembangan
penerapannya dalam suatu produk dan
proses, maupun penerapannya dalam
kegiatan produksi.

Istilah perekayasaan, inovasi dan difusi


teknologi, pada dasarnya merupakan
istilah yang menggambarkan penerapan
dari teknologi atau hasil-hasil penemuan
di masyarakat. Sekalipun demikian,
masing-masing dari ketiga istilah tersebut
memiliki penekanan yang berbedabeda terkait pemanfaatan teknologi.
UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan
perekayasaan adalah kegiatan penerapan
iptek dalam bentuk desain danrancang
bangun untuk menghasilkan nilai,
produk, dan/atau proses produksi dengan
mempertimbangkanketerpaduan
sudut
pandang dan/atau konteks teknikal,
fungsional, bisnis, sosial budaya dan
estetika; inovasi adalah kegiatan penelitian,
pengembangan, dan/atau perekayasaan
yang
bertujuan
mengembangkan
penerapan praktis nilai dan konteks ilmu
pengetahuan yang baru, atau cara baru
8 Wiratmo Sukito, Loc. It.
76

4. Hasil Penelitian Tidak Aplikatif


Tidak
aplikatifnya
penelitian
yang
dihasilkan oleh perguruan-perguruan
tinggi dan lembaga-lembaga penelitian
merupakan masalah yang sekarang ini
sedang dihadapi dalam kegiatan penelitian
dan pengembangan iptek di dalam negeri.
Kondisi semacam ini sebenarnya tidak
menjadi persoalan apabila penelitian
tersebut termasuk sebagai penelitian
dasar. Dalam penelitian dasar, keterterapan
hasil memang bukan yang diutamakan,
melainkan penjelasan secara ilmiah
terhadap prinsip, alasan, dan mekanisme
yang mendasari fenomena atau fakta yang
diteliti. Penelitian dasar berguna dalam
mendukung penelitian lanjutan dan juga
pengembangan ilmu pengetahuan.
9 Pasal 1 butir ke 8, 9 dan 10 UU No. 18/2002
tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Iptek.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Faktor keterterapan hasil suatu penelitian


akan menimbulkan persoalan manakala
penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian terapan. Sebagai penelitian
lanjutan, penelitian terapan sudah barang
tentu menghendaki adanya invensi baru
yang dihasilkan, dan faktor keterterapan
hasilnya dengan demikian menjadi suatu
keharusan. Oleh karenanya, jelas akan
bermasalah apabila dalam penelitian yang
sifatnya terapan itu ternyata hasilnya juga
tidak bisa atau siap untuk diterapkan.
Banyak
faktor
yang
sebenarnya
memengaruhi kenapa sebagian besar
hasil penelitian tidak bisa atau siap
untuk diterapkan. Pertama, pelaksanaan
kegiatan penelitian masih didorong
oleh alasan menggugurkan kewajiban
sebagai tenaga pendidik, peneliti, atau
perekayasa. Sebagaimana contoh, setiap
pendidik di perguruan tinggi terikat kepada
Tridharma, yaitu pengajaran, penelitian,
dan pengabdian. Oleh itu penelitian
yang dilakukan juga banyak yang asal
dikerjakan. Hasil akhir yang diinginkan
adalah digunakannya hasil tersebut untuk
memenuhi syarat kenaikan pangkat saja.
Kedua, penelitian dilakukan dengan
tidak memerhatikan kebutuhan pihak
pengguna (industri). Sebagai dampaknya,
hasil dari penelitian yang dilakukan tidak
sesuai kebutuhan di pihak pengguna,
sekalipun penelitian tersebut sebenarnya
menghasilkan
invensi
yang
baru.
Kemampuan untuk mengomunikasikan
invensi yang dihasilkan seringkali perlu
lebih diperhatikan lagi.
Ketiga, invensi yang dihasilkan sering belum
dipatenkan, padahal untuk mendapatkan
jaminan perlindungan dari penyalahgunaan
pihak lain, pihak industri memerlukan
ISSN : 2252-911X

invensi yang dilindungi secara hukum, yaitu


invensi yang telah dipatenkan. Sedikitnya
jumlah paten peneliti (inventor) dalam
negeri menunjukkan belum siapnya hasil
penelitian atau invensi yang dihasilkan
untuk diterapkan atau diproduksi secara
massal. Menurut data di Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual, dari 1993-Juni
2006 hanya 212 invensi yang terdaftar di
Ditjen HKI yang berasal dari inventor dalam
negeri, dan 18.331 invensi berasal dari luar
negeri. Secara persentase, berarti invensi
dari dalam negeri hanya 1,14 persen, dan
dari luar negeri sebesar 98,8 persen.10

Gambar statistik paten 1993-2006


(http://www.dgip.go.id, 2007)
Statistik pendaftaran paten memang
tidak menggambarkan jumlah besaran
invensi. Sebab, dijumpai juga invensi
yang sebenarnya digunakan dalam
kegiatan industri tetapi oleh penemunya
tidak dipatenkan. Namun demikian,
invensi yang telah mendapatkan paten
10 Data ini diambil dari http://www.dgip.go.id
pada tahun 2007, dan sengaja ditampilkan
kembali di sini dikarenakan data yang
sekarang tersedia di laman yang sama
tidak memisahkan paten yang diajukan dan
diperoleh oleh inventor domestik dengan
inventor asing.
77

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

setidaknya menunjukkan kesiapan invensi


tersebut untuk dipakai oleh pihak lain.
Terhadap invensi yang dipatenkan itu,
hanya inventornya yang dibolehkan untuk
menggunakan invensi tersebut secara
komersial. Pihak lain hanya dibolehkan
menggunakan invensi tersebut apabila
penggunaannya tidak untuk kepentingan
komersial, semisal penggunaan dalam
penelitian. Atas dasar ini, badan usaha atau
industri tentu akan memertimbangkan
jaminan perlindungan hukum terhadap
invensi tersebut sebelum menggunakannya
dalam kegiatan produksi.
Dalam beberapa kasus dijumpai situasi
yang bertolak dari pernyataan di atas,
adakalanya suatu invensi dialihkan lebih
dulu kepada penggunanya baru kemudian
oleh penggunanya dipatenkan. Hal ini
berarti permohonan paten diajukan
bukan oleh peneliti atau pengembangnya,
melainkan oleh penggunanya. Meski
demikian, tetap saja pengguna (badan
usaha dan industri) memerlukan jaminan
hukum terhadap invensi yang akan
dipakainya.
5. Keengganan Badan Usaha untuk
Berinovasi
Permasalahan dalam penggunaan invensi
yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan
lembaga penelitian dapat disebabkan pula
faktor keengganan badan usaha. Kurangnya
minat dunia usaha maupun industri untuk
berinovasi atau menggunakan teknologi
atau invensi terbarukan merupakan
permasalahan yang termasuk dikeluhkan
Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Suharna Surapranata dalam kaitannya
dengan proses inovasi di Indonesia.
Merujuk pada survei Biro Riset Ekonomi
78

Bank Indonesia 2010, ternyata hanya 2


persen saja dari 29.469 industri besar dan
sedang yang intensif berinovasi, sedangkan
20 persen memiliki tingkat inovasi sedang
dan 78 persen lagi tingkat inovasinya
rendah.11 Oleh karena minimnya tingkat
inovasi di dunia usaha ini, maka hasil-hasil
teknologi dari pihak pengembang teknologi
banyak yang tidak terpakai.
Keengganan berinovasi tersebut antara
lain disebabkan karena sudah merasa puas
dan nyamannya badan usaha dan industri
dengan teknologi yang digunakannya.
Sebagai implikasinya, selama teknologi
yang ada tersebut masih belum sesuai
dengan kebutuhan yang diperlukan, maka
penggunaan teknologi yang lebih baru
dianggap tabu oleh sebagian kalangan di
badan usaha.
Selain itu penggunaan teknologi yang baru,
yang mesti dimulai dengan keberanian
mencoba,
dianggap
belum
tentu
memberikan keuntungan yang lebih baik
dari penggunaan teknologi yang lama.
Ini berarti masih ada keraguan dari pihak
pengguna mengenai prospek keuntungan
yang bakal diperoleh dari penggunaan
teknologi yang baru tersebut. Oleh karena
tidak mau menanggung resiko yang
ditimbulkan oleh penggunaan teknologi
yang baru itu sehingga kalangan badan
usaha dan industri menjadi enggan untuk
berinovasi dengan mencoba invensi yang
dihasilkan.
6. Komunikasi Tersumbat
Dua permasalahan yang dihadapi, yaitu
belum aplikatifnya hasil penelitian dan
11 Kompas, 30 September 2011, Inovasi di
Dunia Usaha Masih Minim.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

keengganan badan usaha untuk berinovasi


menunjukkan teknologi yang dihasilkan
dari kegiatan penelitian seringkali tidak
diketahui oleh pihak pengguna di badan
usaha dan industri, atau kalaupun diketahui
ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan.
Pada sisi lain, informasi berkenaan dengan
kebutuhan teknologi tidak tersampaikan
kepada pihak pengembang, di perguruanperguruan tinggi dan lembaga-lembaga
penelitian. Dengan demikian, pengembang
dan pengguna berjalan sendiri-sendiri
dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam
bahasa Rama Prihandana, Direktur Utama
PT Rajawali Nusantara Indonesia, saya
sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam
dunia saya, anda tidak dibutuhkan.12
Informasi mengenai apa yang dibutuhkan
oleh pengguna dan apa yang dihasilkan oleh
pengembang, dengan begitu tersumbat.
Akibatnya sudah bisa diduga, bahwa apa
yang dihasilkan oleh pihak pengembang
akan menjadi sulit untuk diterima pihak
pengguna.
Permasalahan demikian mudah ditemui,
karena memang masih jarang hasilhasil penelitian yang diupayakan untuk
diterapkan. Sebagian besar dari hasil
penelitian, kalaupun masih dianggap
perlu untuk ditindaklanjuti, kebanyakan
berhenti pada penerbitan di jurnal ilmiah,
dan sebagian lagi ada yang mengupayakan
pendaftaran paten. Meski sangat membantu
dalam memublikasikan temuan-temuan
dalam penelitian, penerbitan dalam jurnal
ilmiah sejauh ini tidak banyak membantu
12 Wawancara Kusmayanto Kadiman dengan
Rama Prihandana, Industri, Bukan Pabrik,
dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni
Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight,
2008), hal. 27.
ISSN : 2252-911X

dalam mengomunikasikannya dengan


dunia usaha dan industri. Pengguna atau
pembaca jurnal-jurnal ilmiah sejauh ini
terbatas pada kalangan akademis. Begitu
juga penyebaran jurnal ilmiah sendiri,
sebagian besar masih terbatas pada
lingkup perguruan tinggi bersangkutan,
dan kalaupun menyebar keluar biasanya
hanya di perpustakaan-perpustakaan.
Upaya untuk mengembangkan komunikasi
dapat dilakukan oleh pihak perguruan
tinggi dan lembaga litbang, maupun juga
pihak dunia usaha dan industri, atau juga
lembaga yang terpisah dari keduanya,
semisal
pemerintah
dan
lembaga
intermediasi, seperti Sentra HKI.
Keberadaan sentra-sentra HKI pada
perguruan-perguruan
tinggi
tentu
sangat
membantu
dalam
upaya
mengomunikasikan hasil-hasil penelitian
yang ada di perguruan tinggi bersangkutan
kepada dunia usaha dan industri. Namun
demikian, karena tidak semua perguruan
tinggi memiliki sentra HKI, maka upaya yang
dilakukan itu belum banyak menampakkan
hasilnya. Oleh karenanya, pemberian hibah
bagi pendirian dan pengembangan (bagi
yang sudah memiliki) sentra HKI perlu terus
dilakukan.
Selain itu, upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mempertemukan pihak
pengembang dan pengguna industri juga
perlu diintensifkan lagi. Sejauh ini sudah
dilakukan upaya semisal penyelenggaraan
pameran industri, pameran produk-produk
daerah, pameran batik, dan sebagainya.
Sebagian dari kegiatan tersebut juga
dilakukan oleh pihak-pihak swasta, terutama
asosiasi industri. Pada umumnya, kegiatankegiatan bertemakan pameran tersebut
diselenggarakan di daerah-daerah sentra
79

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

pengembangan industri. Akibatnya, di


daerah-daerah yang tingkat perkembangan
industrinya rendah cenderung jarang
diadakan pameran-pameran industri.
Padahal, dalam pemerintahan berdasarkan
otonomi daerah sekarang ini dikehendaki
adanya upaya peningkatan pengembangan
potensi di tiap-tiap daerah. Oleh karenanya,
kegiatan-kegiatan berupa mempertemukan
pengembang dan pengguna semacam
pameran, yang ditujukan untuk meningkatkan pengolahan dan pengembangan
potensi daerah, perlu diselenggarakan
secara menyebar dan bergantian di semua
daerah.

paling tidak bisa diketahui bagaimana


iktikad dan keberpihakan pemerintah
dalam mendorong tumbuhnya inovasi
teknologi.

7. Kebijakan Legislasi Perekayasaan,


Inovasi dan Difusi Teknologi

Sejauh ini berbagai fasilitas dan insentif


yang bernilai uang sudah disediakan
pemerintah untuk meningkatkan kegiatan
penelitian, pengembangan dan penerapan
teknologi, seperti insentif pembebasan
bea masuk atas impor barang yang
diperuntukkan bagi keperluan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan insentif pembebasan bea masuk
ini, yang dimungkinkan melalui UU
Kepabeanan, peneliti di dalam negeri tentu
memperoleh keringanan dan kemudahan
dalam
mendapatkan
barang-barang
kebutuhan penelitian dan pengembangan
yang harus didatangkan dari luar negeri.

Kebijakan keuangan dan perpajakan, iptek,


ketenagakerjaan, pendidikan, infrastuktur,
dan ekonomi mempunyai kaitan erat
dengan upaya mendorong perekayasaan,
inovasi, dan difusi teknologi. Keenam
bidang kebijakan tersebut merupakan
enam pilar dalam upaya penguatan SINas.
a) Keuangan dan Perpajakan
Kebijakan keuangan umumnya dimaknai
sebagai kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan.
Bidang
keuangan
yang
berkaitan
dengan penelitian, pengembangan, dan
penerapan teknologi lebih berupa fasilitas
dan insentif dari pemerintah yang dapat
dinilai dengan uang. Karena sifatnya
fasilitas dan insentif, maka ia berhubungan
dengan kemauan (will) pemerintah
dalam mendukung kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan iptek. Dari
fasilitas dan insentif yang disediakan itu,
80

Dari sisi pengembang dan pengguna


teknologi, berbagai fasilitas dan insentif
di bidang keuangan yang disediakan
pemerintah menjadi daya dorong eksternal
untuk melakukan kegiatan penelitian,
pengembangan, dan penerapan teknologi.
Sebagai daya dorong eksternal, berbagai
fasilitas dan insentif yang ada jelas ikut
memengaruhi keputusan pengembang dan
pengguna teknologi untuk lebih terlibat
dalam kegiatan pengembangan dan
penerapan teknologi.

Selain itu, insentif bagi kegiatan penelitian


dan pengembangan iptek juga diberikan
dalam bentuk pengecualian objek pajak.
Pengenaan pajak terhadap sisa lebih
yang diterima atau diperoleh badan
ataulembaga nirlaba yang bergerak
dalam
bidangpendidikan
dan/atau
bidang penelitian danpengembangan,
yang telah terdaftar pada instansiyang
membidanginya,
yang
ditanamkan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

kembalidalam bentuk sarana dan prasarana


kegiatanpendidikan dan/atau penelitian
danpengembangan. Pengecualian ini
dimungkinkan melalui UU No. 36 Tahun
2008, dan implementasinya diperjelas
dengan PP No. 93 Tahun 2010.
Insentif juga diberikan kepada pengusaha
yang menanamkan modalnya pada
bidang-bidang usaha dan daerah-daerah
tertentu, yaitu dalam bentuk pengurangan
penghasilan neto sebesar 30 persen dari
jumlah penanaman modal. Ketentuan
yang demikian tertuang dalam PP No.
1 Tahun 2007. Ketentuan serupa, yang
diatur dalam PP No. 20 Tahun 2000, juga
menyediakan fasilitas perpajakan khusus
kepada pengusaha yang melakukan
kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET). Adanya insentif
dan fasilitas semacam ini jelas menjadi
perangsang bagi dunia usaha dan industri
untuk mengembangkan usahanya pada
bidang-bidang usaha dan daerah-daerah
atau kawasan tertentu.
Dari uraian tersebut, fasilitas dan insentif
disediakan bagi pengembang dan
pengguna teknologi untuk terlibat dalam
kegiatan penelitian, pengembangan, dan
penerapan teknologi. Namun demikian,
yang masih terabaikan dari sisi insentif
itu, ialah tidak dikecualikannya dana
penelitian yang diperoleh peneliti dari
obyek yang terkena pajak penghasilan.
Padahal, besaran dari pengenaan
pajak itu jika dikumpulkan pun tidaklah
seberapa, dikarenakan alokasi anggaran
riset di Indonesia yang tersebar dalam
berbagai kementerian memang tidak
besar. Oleh karena itu, ke depannya, untuk
mendukung aktivitas riset, dana riset yang
didapatkan peneliti perlu dikecualikan
untuk dikenakan pajak.
ISSN : 2252-911X

Persoalan lainnya terkait dengan fasilitas


dan insentif riset, pengembangan, dan
penerapan iptek, ialah tersebarnya
ketentuan fasilitas dan insentif tersebut
dalam berbagai peraturan perundangundangan. Bagi pihak pengembang
maupun pengguna teknologi, keberadaan
ketentuan yang demikian itu tentu akan
merepotkan dalam memahaminya secara
utuh. Agar penggunaannya itu menjadi
mudah, maka perlu dibuatkan semacam
petunjuk pelaksanaan (juklak) teknis,
sehingga segala fasilitas dan insentif apa
saja yang bisa didapatkan dalam kegiatan
penelitian, pengembangan, dan penerapan
teknologi, menjadi mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat.
Barangkali karena ketiadaan juklak itu
sehingga petugas pelaksana sampai
kebingungan dalam melayani kegiatan
yang berkenaan dengan penelitian,
pengem-bangan
dan
penerapan
teknologi. Tertahannya lima mobil irit
bahan bakar milik Universitas Gadjah
Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung
(ITB), dan Institut 10 November Surabaya
(ITS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta,
sampai 2,5 bulan, jelas menunjukkan
bermasalahnya pelayanan masuk dan
keluar barang-barang yang digunakan
dalam penelitian dan pengembangan
iptek. Padahal, mobil-mobil tersebut
diikutkan dalam kejuaraan Shell EcoMarathon di Malaysia. Dua mobil
super irit yang diikutkan UGM bahkan
mendapatkan penghargaan inovasi teknik
terbaik satu dan tiga, sedangkan dua mobil
dari ITB masing-masing mendapatkan
peringkat kedua di kelas Urban Concept
dan communication award. Akibat
tertahannya mobil tersebut, pihak UGM
harus menyiapkan dana sebesar Rp. 120
81

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

juta untuk membayar bea sewa kontainer


selama 2,5 bulan.13
Fakta demikian menunjukkan, masalah
yang dihadapi dalam upaya meningkatkan
kegiatan penelitian, pengembangan, dan
penerapan teknologi tidak melulu pada
soal regulasi yang mengaturnya. Kesiapan
aparat dan birokrasi dalam memahami
dan melaksanakan perangkat regulasi yang
ada, justru sangat menentukan terlaksana
dan tidaknya apa yang menjadi keinginan
pembuat regulasi.
Selain itu, terkait dengan dukungan
pendanaan oleh pemerintah bagi kegiatan
penelitian dan pengembangan iptek,
pemerintah tampaknya perlu memberi
perhatian yang lebih terhadap riset-riset
dasar. Hal ini disebabkan pada riset dasar itu
tidak ada prospek nilai ekonomi yang secara
langsung diterima, kecuali hanya kepuasan
secara akademik. Karena tidak langsung
memberikan nilai tambah ekonomi,
maka riset dasar menjadi kurang menarik
perhatian bagi dunia usaha dan industri
untuk ikut mendanainya. Sedangkan pada
riset terapan, dikarenakan lebih tertuju
pada manfaat-manfaat praktisnya, maka
hasilnya pun jauh lebih bernilai secara
ekonomis dibanding riset dasar; dan
karenanya dunia usaha dan industri relatif
lebih mau terlibat, antara lain dengan
menyumbangkan dananya. Oleh karena
itulah, dukungan pemerintah terhadap
riset dasar mesti lebih diprioritaskan.
Sekalipun tidak menyumbangkan nilai
ekonomi secara langsung, tetapi dalam
jangka panjang hasil-hasil riset dasar akan
sangat berguna, termasuk dalam memandu
riset terapan.
13 Http://www.tempointeraktif.com/hg /
layanan_publik/2011/10/15/brk,2011101561505,id.html, diakses 15 Oktober 2011.
82

b) Iptek
Dalam bidang iptek, upaya optimalisasi
regulasi yang ada terus dilakukan dan
dikembangkan
untuk
mendukung
kegiatan penelitian, pengembangan,
dan penerapan iptek. Melalui UU No.
18 Tahun 2002 beserta peraturanperaturan pelaksanaannya, ditentukan
peran dan tanggung jawab tiap-tiap
unsur kelembagaan iptek. Dari perguruan
tinggi dan lembaga litbang, badan
usaha dan industri, pemerintah, sampai
lembaga penunjang, kesemuanya sudah
diarahkan peran dan tanggung jawab yang
diembannya. Bahkan, agar kesemua unsur
kelembagaan tersebut menghasilkan
kinerja yang maksimal, ditekankan pula
pentingnya suatu jaringan hubungan
interaktif, dan diarahkan pula pola
hubungan dalam jaringan tersebut.
Namun demikian, karena kegiatan
penelitian, pengembangan, dan penerapan
teknologi itu sangat bergantung pada
kemauan dan kesanggupan pihakpihak yang terlibat, maka keberadaan
legislasi tentu sekedar mengarahkan saja.
Terkecuali pada kegiatan yang, setidaknya
sebagiannya, didanai oleh pemerintah
ataupun pemerintah daerah, atau juga
diberikan fasilitas dan insentif tertentu,14
maka pemerintah tidak bisa memaksakan
14 Sebagai contoh, inventor yang telah
diberikan
paten,
oleh
pemerintah
dilindungi hak-hak eksklusifnya dalam
menggunakan invensinya itu. Di sini,
karena inventor mendapatkan fasilitas
dan insentif dari pemerintah, yaitu berupa
jaminan perlindungan dalam penggunaan
penemuannya, maka pemerintah punya
kuasa untuk memaksa inventor untuk
melaksanakan penemuannya itu di
Indonesia.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

pihak yang terlibat dalam kegiatan iptek


untuk mengembangkan atau menerapkan
teknologi tertentu. Oleh karena itu,
sekalipun UU sudah memberikan arahan
dan batasan mengenai peran dan tanggung
jawab tiap-tiap unsur kelembagaan dan
jaringan yang menghubungkan kesemua
unsur tersebut, realisasi dari arahan
petunjuk itu akan bergantung pada
kemauan dan kesanggupan masing-masing
pihak atau unsur kelembagaan.
Meski begitu, ada beberapa materi muatan
dalam perundang-undangan di bidang
iptek yang sebenarnya dapat ditingkatkan
lagi keberdayaannya sehingga berpengaruh
lebih maksimal bagi peningkatan kegiatan
penelitian, pengembangan dan penerapan
teknologi. Di antara materi muatan UU
No. 18 Tahun 2002, ialah yang berkenaan
dengan pembentukan Sentra HKI di
perguruan tinggi dan lembaga litbang.
Sebagai unit kerja yang dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pengelolaan
kekayaan intelektual di perguruan tinggi
dan lembaga litbang, Sentra HKI jelas
mempunyai kedudukan dan peran strategis
dalam upaya melindungi dan mengelola
pemanfaatan kekayaan intelektual yang
ada di suatu perguruan tinggi dan lembaga
litbang. Dalam upaya melindungi kekayaan
intelektual yang ada di perguruan tinggi
dan lembaga litbang, Sentra HKI dapat
membantu peneliti di perguruan tinggi
dan lembaga litbang bersangkutan
untuk mendapatkan hak-hak kekayaan
intelektualnya (HKI). Bagi kebanyakan
peneliti, upaya mendapatkan HKI terlalu
merepotkan. Selain itu, dalam menjalankan
fungsi pengelolaan perlindungan ini, Sentra
HKI juga akan menjadi bank data sekiranya
ada klaim-klaim dari pihak lain terhadap
kekayaan intelektual yang dikelolanya.
ISSN : 2252-911X

Sedangkan sebagai unit kerja yang


mengelola pemanfaatan teknologi yang
ada di perguruan tinggi dan lembaga
litbang, Sentra HKI dapat menjembatani
penggunaan teknologi tersebut oleh dunia
usaha dan industri. Selain memperkenalkan
teknologi yang ada itu kepada dunia usaha
dan industri, Sentra HKI dalam menjalankan
fungsi pengelolaan pemanfaatan ini juga
bisa memberikan panduan mengenai
pemanfaatan yang dapat dilakukan, dan
mengelola hak-hak (HKI) peneliti dan
perguruan tinggi dan lembaga litbang
dalam alih teknologi kepada dunia usaha
dan industri.
Oleh karena itu, untuk mendukung
perlindungan dan penerapan teknologi,
perlu diupayakan perbaikan berkenaan
dengan pembentukan dan pemberdayaan
Sentra HKI.
Di luar aspek regulasi, pemberdayaan
Sentra HKI dalam pengelolaan kekayaan
intelektual di perguruan tinggi dan lembaga
litbang perlu diupayakan dalam bentuk
dukungan pendanaan oleh pemerintah.
Hibah atau insentif pembentukan Sentra
HKI, dan berbagai stimulan yang sifatnya
penguatan kelembagaan Sentra HKI, perlu
dilakukan secara terus menerus. Hal ini
menjadi perlu dilakukan karena strategisnya
fungsi Sentra HKI dalam mendukung
penerapan teknologi, termasuk melalui
alih teknologi, sehingga keberdayaannya
perlu terus ditingkatkan.
Materi muatan lainnya yang perlu
diberdayakan lagi adalah berkenaan
dengan pembiayaan dalam kegiatan
pemanfaatan teknologi. Pasal 27 ayat (1)
UU No. 18 Tahun 2002 menegaskan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mengalokasikan anggaran sebesar
83

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

jumlah tertentu yang cukup memadai


untuk memacu akeselerasi penguasaan,
pemanfaatan, dan pemajuan iptek.
Meski ketentuan ini memberikan ruang
bagi penyediaan pendanaan riset, namun
ketentuan ini dapat pula dipandang
sebagai keraguan pembentuk UU dalam
mengatur alokasi anggaran penelitian.
Ini artinya, berapapun anggaran yang
dialokasikan pemerintah, asalkan ada,
dianggap sebagai anggaran yang cukup
memadai itu.
Barangkali karena materi muatan yang
demikian itu sehingga alokasi anggaran
penelitian dan pengembangan iptek masih
sangat kecil. Sebagaimana diungkapkan
Ketua Komite Inovasi Nasional, Zuhal, dana
riset di Indonesia termasuk yang terkecil di
dunia. Sejauh ini, porsi dana riset Indonesia
hanya 0,1 persen dari Gross Domestic
Product (GDP), dengan besaran 10 triliun
rupiah, atau 0,8 persen dari APBN. Dana
yang ada itupun tersebar dalam berbagai
kementerian.15
c) Ekonomi
Dalam bidang ekonomi yang secara
umum merupakan aktivitas manusia
atau badan usaha yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, pertukaran
dan konsumsi barang dan jasa. Beberapa
instrumen kebijakan sudah dibuat untuk
mendukung
perekayasaan,
inovasi,
dan difusi teknologi, seperti kebijakan
penanaman modal, perindustrian, paten,
UMKM, dan persaingan usaha yang sehat.
Kewajiban perusahaan penanaman modal
asing untuk menyelenggarakan pelatihan
dan alih teknologi kepada tenaga kerja
warga negara Indonesia merupakan
15 Media Indonesia, 15 Juli 2011, Kasihan,
Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia.
84

contoh kebijakan penanaman modal yang


dimaksudkan terjadinya alih teknologi.
Dalam kaitannya denga paten, ketentuan
tentang kewajiban pelaksanaan paten perlu
dibenahi lagi. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 17 UU Paten, pemegang
paten wajib melaksanakan patennya di
Indonesia. Ini berarti, semua invensi yang
didaftarkan hak patennya di Indonesia
wajib untuk diproduksi atau diterapkan
dalam kegiatan industri di Indonesia. Hal ini
jelas merupakan ketentuan yang strategis,
sebab dapat mendorong terjadinya alih
teknologi ke dalam negeri sekaligus juga
mendukung perkembangan industri di
dalam negeri. Dari telaah perimbangan
antara hak dan kewajiban, ketentuan yang
demikian merupakan bentuk perimbangan
atas kuatnya hak-hak individual yang
dimiliki oleh pemegang hak paten.
Ketentuan tentang pelaksanaan paten
sebenarnya sudah ada sejak UU Paten
pertama (UU No. 6 Tahun 1989), dan tetap
dipertahankan dalam UU Paten berikutberikutnya (UU No. 13 Tahun 1997 dan UU
No. 14 Tahun 2001). Yang berbeda antara
UU Paten yang pertama dengan UU Paten
yang berikutnya, ialah dalam hal adanya
pengecualian dari kewajiban melaksanakan
invensi tersebut. Pada UU Paten pertama,
yaitu UU Tahun 1989, disebutkan bahwa
setiap paten harus dilaksanakan. Namun
dalam UU Paten Tahun 1997, ketentuan
tentang kewajiban pelaksanaan paten ini
diberikan pengecualian, yaitu dalam hal
pelaksanaannya secara ekonomi hanya
layak dibuat dengan skala regional. Ini
artinya, dengan alasan skala produksi yang
masih regional, pemegang paten dapat
tidak melaksanakan patennya di Indonesia.
Dalam UU Paten Tahun 2001, ketentuan
serupa tetap dipertahankan, bahwa
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

pelaksanaan paten dapat dikecualikan


untuk pembuatan produk atau penggunaan
proses yang hanya layak dilakukan secara
regional. Untuk mendapatkan pengecualian
ini, di dalam UU Paten Tahun 1997 dan 2001
disebutkan harus melalui permohonan yang
disetujui oleh Direktorat Jenderal dengan
disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh
instansi yang berwenang.16
Berkaitan dengan adanya pengecualian
itu, seharusnya ditetapkan batasan jangka
waktunya. Sebab, jika pengecualian
tersebut berlangsung terus menerus
dengan tanpa batasan waktu, maka dapat
berakibat pada tidak tercapainya tujuan
dibentuknya UU Paten, yaitu terjadinya alih
teknologi (bila penemuannya berasal dari
luar negeri) dan berkembangnya industri di
dalam negeri.17
Selain itu, karena kewajiban melaksanakan
paten di Indonesia ini merupakan bagian
16 Menurut Penjelasan Ketentuan Angka 9 UU
Paten Tahun 1997 tentang Perubahan Pasal
18 UU Paten Tahun 1989 dan Penjelasan
Pasal 17 UU Paten Tahun 2001, ketentuan ini
untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi
dari pelaksanaan paten, sebab tidak semua
jenis invensi yang diberi paten dapat secara
ekonomi menguntungkan apabila skala
pasar bagi produk yang bersangkutan
tidak seimbang dengan investasi yang
dilakukan, seperti industri di bidang farmasi
dan elektronik. Apabila yang dimintakan
pengecualian dari kewajiban melaksanakan
paten tersebut terkait dengan obat atau
farmasi, maka instansi yang berwenang
adalah Departemen Kesehatan, sedangkan
bila terkait bidang elektronik maka instansi
tersebut adalah Departemen Perindustrian
dan Perdagangan.
17 M. Zulfa Aulia, Politik Hukum dalam
Pembentukan UU Paten, Tesis S2
pada Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, 2009, hal. 182-184.
ISSN : 2252-911X

dari upaya mengimbangi hak individual


yang diberikan oleh negara, maka
seharusnya juga bila dalam UU Paten
dibuatkan sistem atau lembaga yang
dapat mengawasi pelaksanaan paten
tersebut. Selama ini, sistem yang agaknya
berfungsi untuk melakukan hal itu adalah
pembayaran biaya tahunan (annual fee)
dalam pemeliharaan paten. Melalui
pembayaran biaya tahunan, sedikit banyak
akan diketahui paten yang diterapkan dan
tidak dalam kegiatan industri. Logikanya,
suatu paten yang tidak diterapkan dalam
industri tentu tidak akan dibayarkan
biaya tahunannya, karena hanya akan
menghabiskan biaya saja bila biaya tahunan
itu justru tetap dibayarkan. Namun hal ini
dapat menjadi tidak logis, karena tidak
dihindari pula suatu kenyataan bahwa
orang akan tetap mendaftarkan biaya
tahunan meski tidak memproduksinya
di Indonesia, lebih-lebih karena oleh UU
Paten yang berlaku sekarang pihak yang
bersangkutan diberikan hak eksklusif untuk
mengimpornya. Sebagai pemilik monopoli
dalam menyelenggarakan pengadaan
produk di Indonesia, maka tentu bukan
suatu hal yang memberatkan pemegang
paten bila sekedar tetap membayar biaya
tahunan.
Oleh karena itu, agar pelaksanaan paten
di Indonesia benar-benar terealisasi, dan
maksud dibentuknya UU Paten yaitu untuk
mengembangkan industri dalam negeri
juga dapat terwujud, sebaiknyalah di UU
Paten yang dibentuk ke depannya diadakan
suatu lembaga ataupun sistem yang
berfungsi mengawasi pelaksanaan paten
tersebut.
Untuk
mendukung
tumbuh
dan
berkembangnya industri di dalam negeri,
maka kegiatan mengimpor sebaiknya
85

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

tidak dimasukkan sebagai hak eksklusif,


dan kalau tetap harus dimasukkan
sebagai hak eksklusif sebaiknya diberikan
batasan mengenai impor yang dapat
dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan baru
pengecualian impor tertentu sebagai hak
eksklusif, yaitu impor produk farmasi. Ini
artinya, importasi dapat dilakukan oleh
siapa saja. Beberapa alasan yang setidaknya
dapat digunakan untuk mendukung usulan
ini adalah, pertama, importasi merupakan
kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh
karena itu, agar supaya berbagai produk
yang diimpor tersebut tidak dijual di dalam
negeri dengan harga yang tinggi, maka
sebaiknyalah jika tidak dilakukan secara
monopoli oleh pemegang hak patennya
saja. Kedua, importasi suatu produk yang
diberi paten sebenarnya pada mulanya (UU
Paten Tahun 1989) tidaklah dimasukkan
sebagai hak eksklusif. Alasan yang dipakai
saat itu adalah, bahwa unsur yang
terpenting dalam sistem paten terletak
pada aspek perlindungan hukum terhadap
pemanfaatan hak tersebut di Indonesia,
sehingga wajar bila persoalannya dipisahkan
dari masalah impor, yang seperti juga
ekspor, merupakan masalah tata niaga.18
Selain itu pemisahan ini juga diperlukan
untuk mencegah penyalahgunaan paten
dan untuk menjaga keseimbangan antara
hak dan kepentingan, serta kebutuhan
dan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya.19
Ketiga, apabila UU Paten ditelaah secara
keseluruhan, maka importasi suatu produk
sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebab,
18 Lihat Penjelasan Pasal 20 UU Paten Tahun
1989.
19 Lihat Penjelasan Pasal 21 UU Paten Tahun
1989.
86

suatu invensi yang diberikan paten di


Indonesia wajib untuk dilaksanakan pula di
Indonesia, dan apabila tidak dilaksana-kan
dalam waktu tiga tahun maka paten yang
diberikan dianggap batal demi hukum.
Dengan demikian, impor suatu produk
yang diberi paten jelas tidak diperlukan
lagi, karena produk tersebut pasti akan
diproduksi di Indonesia. Keharusan produksi
di dalam negeri ini pula yang sebenarnya
menjadi tujuan dari pembentukan UU
Paten, yaitu untuk meningkatkan dan
mengembangkan
industri
nasional.
Digolongkannya kegiatan mengimpor
sebagai hak eksklusif dalam paten, justru
bisa menyebabkan pelaksanaan paten
di dalam negeri tidak berjalan baik; dan
kalaupun tetap terlaksana, maka patut
diduga akan ada pelaksanaan paten yang
sekedar menggugurkan kewajiban UU saja,
sementara penyediaannya secara massal
tetap didatangkan dari luar negeri.20
Masalah
dalam
kegiatan
ekonomi
(produksi dan distribusi) dalam kaitannya
dengan perekayasaan, inovasi dan difusi
teknologi, ialah semakin meningkatnya
produk impor yang membanjiri pasaran
dalam negeri.21 Peningkatan produk impor
ini juga tidak lepas dari perdagangan bebas
20 M. Zulfa Aulia, Op. Cit., hal. 179-181.
21 Studi Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia yang tertuang dalam Outlook
Ekonomi Indonesia 2009-2014 menunjukkan
laju pertumbuhan impor cenderung lebih
tinggi dibanding pertumbuhan ekspor.
Pada tahun 2005 rata-rata pertumbuhan
tahunan impor 18,11 persen, lebih besar
dari ekspor, 16,86 persen. Pada tahun 2007
ekspor tumbuh 8,04 persen dan impor
8,90 persen. Begitu juga pada tahun 2008,
ekspor tumbuh 15,24 persen dan impor
15,47 persen.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

yang diikuti oleh Indonesia, sehingga upaya


menghambat, atau paling tidak menekan,
masuknya produk asing ke dalam negeri,
yang biasanya dilakukan melalui pengenaan
tarif atau pembatasan kuota, sudah tidak
dapat dilakukan lagi, karena bertentangan
dengan isi perjanjian perdagangan.
Begitu juga pembatasan pelabuhan yang
dibolehkan dalam melakukan kegiatan
impor, tampaknya juga tidak bisa menekan
masuknya produk impor.
Adanya peningkatan impor tersebut
pada satu sisi sebenarnya bisa menjadi
momentum bagi industri dalam negeri
untuk memperbaiki daya saingnya sehingga
dapat lebih kompetitif. Namun demikian,
pada sisi lain, dengan kondisi infrastruktur
yang jauh dari ideal, terutama pada jalur
transportasi dan listrik, jelas menjadi
sulit bagi industri dalam negeri untuk
bersaing secara kompetitif. Biaya yang
diperlukan untuk memenuhi infratsruktur
transportasi dan listrik itu menjadi
berlipat-lipat dari biaya yang seharusnya.
Kondisi ini pada perkembangnnya jelas
menyulitkan industri dalam negeri
untuk bersaing dengan industri dari luar
negeri, yang pada umumnya memiliki
keunggulan di dua bidang itu, di samping
keunggulan dalam bidang sumber daya
manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan
pembatasan impor, sembari di dalam
negeri sendiri dilakukan perbaikan struktur
dan infrastruktur industri. Upaya dalam
membatasi impor tersebut tentu saja tidak
dapat dilakukan dengan pembatasan kuota
atau pengenaan tarif yang tinggi, sebab
sudah tidak dibenarkan lagi dalam General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT),
di mana Indonesia merupakan bagian
dari pesertanya sehingga terikat untuk
memberlakukannya. Salah satu upaya
ISSN : 2252-911X

yang dapat dibenarkan oleh GATT, ialah


melalui tindakan pengamanan (safeguard
measures).
Apa yang disebut dengan tindakan
pengamanan adalah tindakan yang
diambil pemerintah untuk memulihkan
kerugian serius dan atau mencegah
ancaman kerugian serius dari industri
dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan
impor barang sejenis atau barang yang
secara langsung merupakan saingan hasil
industri dalam negeri dengan tujuan agar
industri dalam negeri yang mengalami
kerugian serius dan atau ancaman
kerugian serius tersebut dapat melakukan
penyesuaian struktural.22 Dalam tindakan
pengamanan industri di dalam negeri itu,
yang dapat dilakukan pemerintah adalah
menaikkan tarif masuk ataupun membatasi
kuota impor. Hal ini berarti tarif bea masuk
dan restriksi kuantitatif (kuota) masih tetap
dibenarkan untuk dikenakan, tetapi hanya
sebatas sebagai pelaksanaan tindakan
pengamanan.
Sejauh ini upaya melindungi industri dalam
negeri melalui safeguard sudah dilakukan.
Hanya saja safeguard yang dikenakan oleh
pemerintah Indonesia masih sedikit sekali,
yaitu terhadap keramik (ceramic tableware),
dextrose monohydrate, dan paku. Padahal,
dengan membludaknya produk impor
sekarang ini, termasuk pada buah-buahan
yang akhir-akhir ini sangat meresahkan
karena menyebar luas hingga pasar
tradisional, dan pada saat yang bersamaan
industri dalam negeri berkembang lamban
(sebagian pihak menyebut telah terjadi
gejala deindustrialisasi), maka patut
22 Pasal 1 butir ke-1 Keppres No. 84 Tahun
2002 tentang Tindakan Pengamanan
Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan
Impor.
87

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

diduga kalau industri dalam negeri sedang


mengalami kerugian akibat lonjakan produk
impor. Oleh karena itulah, perbaikan dalam
pengenaan safeguard perlu dilakukan oleh
pemerintah.
Masalah lainnya lagi yang berkenaan
dengan upaya meningkatkan kegiatan
perkeyasaan, inovasi dan difusi teknologi,
ialah distribusi investasi yang sekarang
berlangsung. Benar bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia relatif termasuk yang
tinggi. Demikian pula dengan investasi
secara nasional, juga menunjukkan
pencapaian yang tinggi. Namun demikian,
yang menjadi permasalahan sekarang
adalah tidak meratanya penyebaran
investasi itu. Dalam kurun waktu 10 tahun
(2000-2010), investasi yang berlangsung di
Indonesia ternyata 91,23 persen berlokasi
di Pulau Jawa, 6,79 persen di Sumatera,
sisanya menyebar ke daerah lain. Selain
itu, investasi tersebut kebanyakan berada
pada sektor sekunder, yaitu 78,15 persen,
sedangkan tersier 13,21 persen, dan primer
8,61 persen. Hal ini berarti investasi yang
berlangsung kebanyakan ada pada sektor
perdagangan, dan tidak pada kegiatan
industri (pengolahan) atau jasa.23
Berdasarkan fakta demikian, pemerintah
perlu mengupayakan penyebaran investasi
ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi
investasi di daerah atau kawasan tertentu,
justru akan semakin memperlebar
kemajuan pembangunan antar daerah.
Instrumen kebijakan sebaiknya diarahkan
pada penyebaran investasi ini. Perangkat
regulasi yang berkenaan dengan investasi
harus diarahkan pada penyebaran
investasi ke berbagai wilayah, sehingga
23 Ahmad Erani Yustika, Jebakan Investasi,
Kompas (6 Juli 2010).
88

perkembangan pembangunan juga tidak


terkonsentrasi
pada
daerah-daerah
tertentu saja.
d) Ketenagakerjaan
Dalam upaya meningkatkan kegiatan
yang berkenaan dengan perekayasaan,
inovasi, dan difusi teknologi, diperlukan
strategi kebijakan ketenagakerjaan yang
tepat. Hal ini dikarenakan dalam tahap
implementasinya nanti tenaga kerja juga
yang menentukan bagaimana kegiatan
perekayasaan, inovasi, atau difusi teknologi
dikerjakan. Dalam menyiapkan strategi
kebijakan ketenagakerjaan yang tepat itu,
tidaklah cukup upaya dilakukan sebatas
mendorong pertumbuhan investasi baru
sehingga memberikan kesempatan kerja.
Lebih dari itu, diperlukan dorongan besar
untuk menyiapkan tenaga kerja yang
memiliki etos membangun ketrampilan,
kerja keras dalam lingkup pribadi,
komunitas, dan ikatan sosial.24
Berbagai
kebijakan
ketenagakerjaan
yang ada sudah mendukung kegiatan
perekayasa-an, inovasi dan difusi teknologi.
Sebagai contoh, adanya instrumen
kebijakan yang ditujukan bagi pemberian
tunjangan jabatan perekayasa dan teknisi
penelitian dan perekayasaan, yaitu melalui
PP No. 31 Tahun 2007. Selain itu juga ada
PP No. 30 Tahun 2007, yang merupakan
instrumen kebijakan bagi tunjangan
jabatan fungsional peneliti.
Meski demikian, upaya lainnya di bidang
ketenagakerjaan yang diarahkan untuk
mendukung penelitian, pengembangan,
24 Erman Suparno, National Manpower
Strategy
(Strategi
Ketenagakerjaan
Nasional: Sebuah Upaya Meraih Keunggulan
Kompetitif Global (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009), hal. 319.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

dan penerapan teknologi, perlu terus


dilakukan.
Salah
satunya
adalah
dengan meningkatkan peran konsultan
rekayasa. Sebagaimana diketahui, dalam
pembangunan di Indonesia, terutama
semenjak orde baru, banyak digunakan
dana utang (loan) dari luar negeri.
Kebanyakan utang tersebut datang ke
Indonesia dalam bentuk rencana dan
rancangan yang sudah jadi, termasuk dalam
metode pelaksanaannya dan keterlibatan
tenaga ahli (expert) asing. Dari perspektif
inovasi, proses desain dan rekayasa beserta
nilai tambah yang berasal dari luar negeri,
atas biaya bangsa Indonesia, tentu tidak
memberikan nilai tambah dan transfer
teknologi bagi bangsa Indonesia.25
Oleh karena itulah, perlu dibuatkan aturan
yang mengharuskan desain dan rekayasa
proyek-proyek yang didanai dari utang
luar negeri berlangsung di dalam negeri,
dengan jumlah tenaga ahli yang terbatas,
dan harus dilakukan dengan kerja sama
(join operation) bersama konsultan dalam
negeri.26 Adanya aturan semacam ini
dimaksudkan agar kegiatan perekayasaan,
inovasi dan difusi teknologi itu dilakukan di
dalam negeri, sehingga nilai tambah yang
dihasilkan pun dapat dinikmati oleh bangsa
Indonesia. Aturan yang demikian juga
dimaksudkan untuk lebih memberdayakan
ahli-ahli (konsultan) dari Indonesia sendiri
untuk lebih terampil dalam kegiatan
rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, dan
semakin terlibat dalam pembangunan
nasional.
Selain itu, dalam suatu perusahaan
patungan antara mitra lokal dan mitra
asing, mesti dibuat sistem yang mendorong
25 M. Sahari Besari, Op. Cit., hal. 250-251.
26 Ibid.
ISSN : 2252-911X

mitra lokal mendapatkan pendidikan dan


pelatihan dalam penguasaan kecakapan
teknologi.27Sebab, usaha teknologi lokal
oleh mitra lokal pada suatu perusahaan
patungan,
sebagaimana
ditunjukkan
dalam studi Thee Kian Wie, ternyata lebih
terhambat dibanding pada perusahaan
nasional. Sebab, dalam suatu perusahaan
patungan, minat alih teknologi oleh
mitra asing terbatas pada kerekayasaan
produksi, yaitu pengoperasian pabrik yang
sudah ada secara mulus. Sepanjang pabrik
dapat dioperasikan secara mulus dan
menghasilkan laba yang cukup memadai,
maka penguasaan keahlian teknologi lokal
oleh para mitra lokal mendapat prioritas
yang rendah. Sedangkan pada perusahaan
nasional, upaya penguasaan keahlian
teknologi tidak hanya pada perekayasaan
produksi, tetapi juga pelaksanaan proyek
pemantapan kecakapan produksi.28
Oleh karena itu, agar supaya tenaga kerja
dalam negeri mendapatkan keahlian
teknologi, maka dalam suatu perusahaan
27 Kemampuan teknologis adalah kemampuan
untuk memanfaatkan suatu teknologi
secara efektif dan meliputi kemampuan
untuk memilih teknologi yang tepat guna
untuk menghasilkan sesuatu barang dan
untuk menjalankan proses produksi secara
efisien. Selain itu, kemampuan teknologi
juga meliputi kemampuan mengadakan
perubahan-perubahan dalam barangbarang yang dihasilkan, dalam prosesproses produksi dan dalam pengaturanpengaturan organisasi dan prosedur di
pabrik-pabrik yang diperlukan untuk
mencapai dan memeprtahankan daya saing
internasional di suatu industri. Thee Kian
Wie, Industrialisasi di Indonesia; Beberapa
Kajian (Jakarta: LP3ES, cetakan kedua,
1996), hal. 228.
28 Ibid, hal. 241-242.
89

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

patungan harus diupayakan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan


penguasaan teknologi yang ditujukan bagi
mitra dan tenaga kerja lokal.29 Dengan
upaya ini, penguasaan teknologi dalam
perusahaan patungan itu tidak semata
dikuasai oleh tenaga kerja asing, tetapi juga
tertular dan tersebar kepada tenaga kerja
domestik. Upaya ini pada masa sekarang
perlu mendapat perhatian lebih karena
relokasi perusahaan asing, dengan alasan
efisiensi produksi dan pemasaran, terus
berlangsung.
e) Infrastuktur
Dalam upaya meningkatkan kegiatan
rekayasa, inovasi dan difusi teknologi,
infrastruktur jelas berperan sangat penting.
Adanya infrastruktur yang baik dapat
mendorong aktivitas rekayasa, inovasi
dan difusi teknologi menjadi berkembang.
Sebaliknya pula, infrastruktur yang tidak
baik turut menghambat upaya penerapan
29 Upaya ini, yang disebut juga Thee Kian Wie
sebagai upaya memahami, mengasimilasi
dan menguasai teknologi, perlu dilakukan
dalam konteks proses inovasi di dalam
negeri, dikarenakan Indonesia, seperti juga
negara-negara berkembang lainnya, adalah
pengimpor teknologi dari negara-negara
maju. Oleh karenanya, upaya yang diperlukan
di sini adalah perlunya mengembangkan
kemampuan untuk menggunakan teknologi
secara efektif dan efisien. Kemampuan
atau penguasaan teknologi ini tidak bisa
dicapai secara otomatis, tapi harus dengan
upaya teknologi, yaitu investasi dari seluruh
sumber daya perusahaan yang terfokus
dan berkelanjutan. Lihat wawancara
Kusmayanto Kadiman dengan Thee Kian
Wie, Nalar Ekonomi vs Nalar Teknologi,
dalam Kusmayanto Kadiman, Simfoni
Inovasi: Cita & Realita (Jakarta: Foresight,
2008), hal. 128.
90

teknologi. Hal ini dikarenakan dukungan


infrastruktur itu akan sangat memengaruhi
biaya produksi dan biaya pengangkutan.
Apabila infrastruktur tidak baik, maka
biaya produksi menjadi membengkak dan
biaya transportasi pun meningkat. Hal ini
berdampak pada daya beli masyarakat
yang menjadi sangat rendah. Kondisi ini
kemudian diperparah dengan keharusan
produk tersebut bersaing dengan produk
serupa (like product) yang berasal dari luar
negeri. Karena keunggulan infrastruktur,
dan tentu saja bidang-bidang lainnya,
sehingga produk impor malah menjadi
lebih laku di pasaran domestik, sementara
produk dari dalam negeri tidak mampu
bersaing.
Kondisi infrastuktur itu, baik yang berkaitan
dengan transportasi maupun listrik,
menunjukkan perbedaan sangat tajam
kalau diperbandingkan antar daerah.
Di Jawa kondisinya relatif lebih bagus,
sementara di luar Jawa pada umumnya
yang relatif bagus hanya di perkotaan saja.
Padahal, untuk menunjang keberhasilan
produksi suatu teknologi, dibutuhkan
infrastruktur yang baik dari hulu hingga
hilir-nya. Ada saja di antara yang hulu dan
hilir itu yang tidak baik, akan berakibat
pada bertambahnya biaya produksi dan
pengangkutan.
Oleh karena itu, perbaikan dalam
infrastruktur menjadi sangat mendesak
dilakukan sekarang ini. Terlebih lagi
perdagangan bebas yang diikuti oleh
Indonesia sudah mulai berlaku, semisal
yang melibatkan wilayah ASEAN dan
Cina. Dalam perdagangan bebas ini,
berbagai produk domestik harus bersaing
dengan produk impor, yang relatif sudah
tidak mendapatkan halangan lagi untuk
memasuki pasaran dalam negeri, kecuali
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

tarif yang sebenarnya sudah semakin


menurun. Kalau infrastruktur tidak
diperbaiki, industri dalam negeri jelas
memikul beban yang sangat berat untuk
bisa bersaing dengan produk impor. Kalau
sudah tidak bisa bersaing, ancaman gulung
tikar menjadi sangat terbuka.

dalam membenahinya. Ketiadaan kemauan


pemerintah yang sungguh-sungguh, akan
menjadikan persoalan infrastruktur selalu
menjadi persoalan, tidak saja dalam upaya
rekayasa, inovasi dan difusi teknologi,
melainkan dalam proses pembangunan
secara keseluruhan.

Berbagai regulasi yang ada sebenarnya


sudah diarahkan untuk mendukung
kegiatan perekayasaan, inovasi dan
difusi teknologi. Kegiatan penelitian
berkenaan dengan riset dan rancang
bangun kendaraan bermotor, perkeretaapian, penerbangan, dan perkapal-an,
misalnya, jelas sangat mendukung bagi
berkembangnya aktivitas pengembangan
teknologi transportasi. Begitu juga
dengan tuntutan untuk menggunakan
komponen lokal yang sebanyak-banyaknya
dalam industri moda transportasi, juga
menunjukkan agar industri transportasi
menjadi semakin berkembang.

Infrastuktur
lainnya
yang
sangat
memengaruhi
kegiatan
penelitian,
pengem-bangan dan penerapan teknologi,
ialah berkenaan dengan fasilitas penelitian
dan pengembangan iptek. Penyediaan
fasilitas penelitian dan pengembangan
iptek yang lebih memadai, karenanya
perlu diupayakan. Terhadap pusat-pusat
penelitian yang dipunyai pemerintah, yang
memiliki kelengkapan fasilitas, sebaiknya
harus diperluas lagi penggunaannya
oleh masyarakat. Keberadaan Pusat
Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspiptek), misalnya, mesti diperluas
penggunaannya. Meski sudah ada
Peraturan Menteri Riset dan Teknologi
yang mengatur penggunaan penggunaan
Puspiptek, yaitu Permenristek No. 02/M/
PER/IV/2010, masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan Puspiptek. Oleh
karenanya, sosialisasi, semisal dalam
bentuk pameran, yang dimaksudkan untuk
mengenalkan Puspitek perlu dilakukan,
terutama di perguruan-perguruan tinggi
dan komunitas-komunitas peneliti dan
pencinta ilmu pengetahuan. Pengenalan
berbagai produk iptek yang dikelola
Puspitek dalam acara berlabelkan Ranking
1 di salah satu stasiun televisi swasta
nasional, bisa dimaknai sebagai bagian
dari upaya mengenalkan Puspitek kepada
masyarakat luas.

Persoalan utama dalam infrastruktur ini


adalah pada keseriusan pemerintah dalam
membenahi dan membangun jalur-jalur
transportasi yang semakin terintegrasi
antarwilayah. Sudah jamak diketahui,
pembangunan jalur transportasi darat
sejauh ini banyak yang asal dikerjakan,
sehingga ketahanannya hanya bertahan
sebentar. Jembatan timbang yang seperti
tidak berfungsi semakin memperparah
kualitas jalan yang memang sudah tidak
bagus. Sebagai akibatnya, tahun berganti
kejadian serupa tetap berulang. Jalan
dibangun lagi dan segera setelah itu
mengalami kerusakan.
Dengan demikian, daripada soal regulasinya,
persoalan dalam infrastruktur sebenarnya
lebih
terletak
pada
kesungguhan
pemerintah (baik pusat maupun daerah)
ISSN : 2252-911X

Adanya keterbukaan dalam aksesibilitas


pusat-pusat penelitian yang memiliki
fasilitas yang memadai itu tentu bisa
91

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

menjadi
solusi
dalam
menjawab
keterbatasan fasilitas pendukung di
sebagian besar lembaga penelitian dan
perguruan tinggi. Dalam hal ini, penelitipeneliti yang tersebar dalam berbagai
perguruan tinggi dan lembaga litbang,
dapat memanfaatkan fasilitas penelitian
yang ada di pusat-pusat penelitian yang
memadai itu.
f) Pendidikan
Anies Baswedan menggambarkan peran
penting pendidikan itu sebagai eskalator
sosial ekonomi dan sebuah instrumen
rekayasa struktural masyarakat masa
depan.30 Maju dan tidaknya suatu
masyarakat dan bangsa, secara sosial
maupun ekonomi, sangat ditentukan
oleh pendidikan yang dikembangkan di
masyarakat dan bangsa itu.
Peranan pendidikan yang demikian itu
sangat terlihat sekali dalam jenjang
pendidikan tinggi. Dalam pendidikan tinggi,
perguruan tinggi punya kewajiban untuk
menyelenggarakan kegiatan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat,
selain juga kewajiban dalam bidang
pengajaran. Ketiganya, yang merupakan
bidang yang harus diselenggarakan setiap
perguruan tinggi, dikenal sebagai tridarma
perguruan tinggi. Hanya saja memang, dari
ketiga bidang tersebut, bidang pengajaran
masih menjadi yang paling menonjol
dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Sampai-sampai dikenali
perguruan tinggi itu sebagai universitas
pengajaran
(teaching
university).
Agaknya belum terlalu lama di Indonesia
orientasi kegiatan di perguruan tinggi
diarahkan pada bidang penelitian. Istilah
30 Kompas ekstra, 25 April 2011, edisi
pendidikan.
92

universitas riset (research university),


yang sekarang ini banyak digunakan oleh
perguruan tinggi di Indonesia, belum
terlalu lama digunakan oleh perguruan
tinggi Indonesia sebagai identitasnya.
Adanya perubahan sebutan ini, setidaknya
menunjukkan perubahan orientasi dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi, dari
yang sebelumnya lebih terkonsetrasi pada
pengajaran, kemudian diarahkan untuk
mengembangkan aktivitas riset. Meskipun
juga harus dikatakan bahwa belum
banyak sebenarnya perguruan tinggi yang
berani menggunakan universitas riset
sebagai identitasnya, disebabkan kegiatan
penelitian iptek sendiri belum banyak
dilakukan.
Sekarang ini kritik terhadap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi
banyak disampaikan. Aktivitas perguruan
tinggi yang lebih banyak pada bidang
pengajaran, ditengarai telah menjadikan
perguruan tinggi kurang respon terhadap
persoalan kemasyarakatan. Oleh Saratri
Wilonoyudho dikatakan, perguruan tinggi
di Indonesia sedang mengalami krisis ide
besar.31 Salah satu bukti terjadinya krisis
ide besar ini adalah, perguruan tinggi
sampai tertipu oleh proyek blue energy
yang dimaksudkan untuk menjawab
persoalan energi di masa mendatang.
Pada masa sekarang, peluang bagi
perguruan tinggi untuk meningkatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan
iptek sebenarnya sangat terbuka.
Beralihnya
pengelolaan
sebagian
penelitian dan pengembangan iptek dari
Direktorat Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (DP2M) kepada perguruan
31 Saratri Wilonoyudho, Perguruan Tinggi
Krisis Ide Besar, Jawa Pos, 30 Juni 2008.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

tinggi dan Koordinator Perguruan Tinggi


Swasta (Kopertis), merupakan peluang
yang besar bagi perguruan tinggi
dalam meningkatkan perannya sebagai
pengembang iptek. Namun demikian,
tradisi meneliti yang tidak merata antar
perguruan tinggi, ditambah lagi dengan
banyak fasilitas penelitian yang tidak
memadai,
membuat
desentralisasi
pengelolaan penelitian dan pengembangan
iptek bisa menjadi tidak efektif. Salah
satu upaya yang perlu dilakukan
dalam mengatasi kesenjangan dalam
meneliti ini adalah dengan menugaskan
peneliti-peneliti unggul di perguruan
tinggi
berperingkat
internasional
untuk membina penelitian yang
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
tradisi penelitiannya belum berkembang
baik. Adanya pembinaan dari pihak
eksternal ini penting sekali untuk melihat
secara lebih obyektif kegiatan penelitian
yang berlangsung di suatu perguruan
tinggi, sehingga diketahui kekurangankekurangan yang perlu dibenahi.
Selain itu, penyelenggaraan magang bagi
dosen-dosen di perguruan-perguruan
tinggi yang tidak memiliki rekam penelitian
yang bagus di perguruan tinggi yang rekam
penelitiannya bagus, juga perlu dilakukan.
Upaya semacam ini setidaknya bisa
menjembatani kesenjangan kualitas antar
perguruan tinggi dalam menghasilkan
penelitian yang berkualitas. Pengalaman
yang diperoleh selama menjalani magang
tentu menjadi pengalaman berharga
ketika dosen yang bersangkutan kembali
ke perguruan tinggi asalnya. Adanya
program magang, sekaligus juga bisa
menyegarkan (refreshing) kinerja dosen
yang kebanyakan terjebak dalam suasana
rutinitas pekerjaan di lingkungannya.
ISSN : 2252-911X

Kritik yang juga sering disampaikan adalah


tidak siapnya lulusan tersebut dalam
pekerjaan praktis. Hal ini diperparah
dengan jumlah pengangguran yang tinggi,
yang sebagian besarnya merupakan
lulusan pendidikan tinggi. Kombinasi
lulusan yang tidak siap bekerja dan jumlah
lulusan yang menganggur ini menunjukkan
adanya masalah serius yang sedang
dihadapi perguruan tinggi sekarang ini.
Padahal, sebagai pendidikan profesional
(professional education), pendidikan
tinggi strata satu mengemban tugas dalam
menyiapkan lulusan yang siap bekerja.32
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam mendukung penyiapan lulusan yang
siap bekerja, ialah dengan menugaskan
peserta didik untuk magang di tempat
kerja. Sejauh ini, magang dalam masa
studi hanya dikenali dalam jurusan teknik.
Sedangkan pada jurusan lainnya, magang
dianggap tidak lumrah. Meskipun ada,
sangat sedikit fakultas hukum, misalnya,
yang menugaskan mahasiswanya untuk
magang di lembaga peradilan, kejaksaan,
kepolisian, dan lain sebagainya. Padahal,
adanya magang, sekalipun misalnya hanya
dua minggu, bisa mengenalkan peserta
didik pada dunia pekerjaan.
Oleh karena itulah, perangkat regulasi
sebaiknya disiapkan untuk mendukung
model-model kegiatan yang dapat
meningkatkan kompetensi perguruan
32 Tugas yang diemban perguruan tinggi
semacam ini tidak berlaku dalam pendidikan
srata dua dan tiga. Pada pendidikan tinggi
strata dua dan tiga, perguruan tinggi
bertugas memberikan pendidikan keilmuan
(scientific education) ketimbang pendidikan
profesional, sekalipun dalam pendidikan
keilmuan itu pasti berperan juga dalam
mendukung profesionalitas suatu profesi.
93

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

tinggi dan dosen dalam melakukan kegiatan


penelitian dan pengembangan iptek,
sekaligus juga model-model kegiatan yang
diarahkan untuk mempersiapkan peserta
didik pada dunia pekerjaan.
8. Penutup
Dari pembahasan di atas, pemetaan
legislasi iptek dalam kegiatan perekayasaan,
inovasi, dan difusi teknologi dalam upaya
penguatan
SINasmenggaris
bawahi
beberapa hal, serta kebijakan regulasi yang
diperlukan.

a. Permasalahan

dan kendala yang


dihadapi
lembaga
litbang
dan
perguruan tinggi dalam upaya
komersialisasi kekayaan intelektual
dan hasil kegiatan litbang ke sektor
industri dan dunia usaha, antara lain
adalah, hasil penelitian yang dihasilkan
banyak yang tidak siap diterapkan,
keengganan badan usaha dan industri
untuk berinovasi, dan tersumbatnya
komunikasi antara pengembang dan
pengguna teknologi sehingga berbagai
hail litbang maupun produk invensi
dalam negeri sulit bersaing dengan
produk serupa yang berasal dari impor.

b. Berbagai

produk legislatif yang


diarahkan
untuk
meningkatkan
kegiatan penelitian, pengembangan,
dan
penerapan
iptek
dapat
dikelompokkan
dalam
bidang
keuangan/perpajakan, iptek, ekonomi,
ketenagakerjaan, infrastruktur, dan
pendidikan. Dalam bidang keuangan,
kebijakan yang dibuat adalah dalam
bentuk pemberian fasilitas dan insentif
kepada pengembang dan pengguna
teknologi untuk lebih terlibat dalam

94

kegiatan rekayasa, inovasi dan difusi


teknologi. Pada bidang iptek, kebijakan
dibuat dalam bentuk penegasan peran
dan tanggungjawab tiap-tiap unsur
kelembagaan iptek, serta penciptaan
suatu jaringan hubungan interaktif.
Pada bidang ekonomi, kebijakan
dibuat untuk meningkatkan kegiatan
produksi, distribusi, pertukaran dan
konsumsi barang dan jasa. Termasuk
dalam bidang ekonomi ini adalah
kebijakan yang ditujukan untuk
menciptakan iklim yang kondusif dalam
penemuan teknologi. Pada bidang
ketenagakerjaan, kebijakan yang dibuat
ditujukan pada pemberian tunjangan
jabatan perekayasa dan teknisi
penelitian dan perekayasaan, serta
juga jabatan fungsional peneliti. Pada
bidang infrastruktur, kebijakan yang
dibuat diarahkan untuk mendukung
pengembangan teknologi transportasi,
semisal riset dan rancang bangun
kendaraan bermotor, perkeretaapian,
penerbangan, dan perkapalan. Selain
itu, di bidang infrastruktur ini kebijakan
juga ditujukan untuk mendorong
perkembangan industri transportasi,
semisal penggunaan komponen lokal
yang sebanyak-banyaknya. Di bidang
pendidikan, kebijakan yang dibuat
ditujukan untuk menegaskan tugas
dan tanggung jawab perguruan tinggi
dalam penelitian dan pengembangan
iptek.

c. Perbaikan dalam regulasi perlu terus


dilakukan untuk mendukung kegiatan
penelitian,
pengembangan
dan
penerapan teknologi. Pada bidang
keuangan, upaya regulasi yang masih
harus dilakukan adalah insentif
pengecualian dana penelitian yang
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

diperoleh peneliti sebagai bagian dari


obyek penghasilan yang dikenakan
pajak. Pada bidang iptek, upaya
regulasi yang perlu disiapkan ialah
yang berkenaan dengan pembentukan
dan pemberdayaan Sentra HKI,
serta penegasan alokasi pendanaan
penelitian oleh pemerintah. Di bidang
ekonomi, upaya regulasi yang perlu
dilakukan adalah penetapan batasan
jangka waktu dalam pengecualian
penerapan paten dikarenakan skala
produksi yang masih terbatas;
penghapusan, atau paling tidak
pembatasan, hak eksklusif inventor
dalam melakukan impor; optimalisasi
penggunaan tindakan pengamanan
(safeguard) dalam mengamankan
industri dalam negeri dari lonjakan
impor; dan distribusi investasi yang
menyebar ke berbagai daerah dan
wilayah di Indonesia. Pada bidang
ketenagakerjaan, upaya regulasi yang
perlu dilakukan adalah penegasan
pengerjaan desain dan rekayasa di
dalam negeri terhadap proyek-proyek
yang didanai pemerintah; serta
penegasan penyelenggaraan kegiatan
yang dimaksudkan untuk meningkatkan
penguasaan kecakapan teknologi oleh
mitra dan tenaga kerja lokal dalam
setiap perusahaan patungan yang
melibatkan pihak luar negeri. Di bidang

ISSN : 2252-911X

infrastruktur, upaya regulasi yang


perlu dilakukan adalah percepatan
pembangunan
infrastruktur,
baik
itu jalan, listrik, maupun fasilitas
penelitian. Di bidang pendidikan,
upaya regulasi perlu dilakukan pada
pembinaan pengelolaan penelitian di
perguruan tinggi oleh peneliti-peneliti
handal dan teruji; magang bagi dosen,
terutama dosen muda, di perguruan
tinggi yang memiliki tradisi penelitian
yang bagus; dan magang bagi peserta
didik di dunia kerja.
Oleh karena itu berbagai upaya mendorong
perkembangan
kegiatan
penelitian,
pengembangan dan penerapan teknologi
perlu dilakukan secara berkesinambungan.
Selain itu, pembentukan semacam
kebijakan-kebijakan pendukung termasuk
juga petunjuk pelaksanaaan teknis,
yang
memuat
berbagai
kebijakan
dalam penelitian, pengembangan dan
penerapan iptek, juga perlu diupayakan.
Kebijakan yang lebih operasional ini
dapat menjadi instrumen pelaksanaan
kebijakan penelitian, pengembangan dan
penerapan iptek yang tersebar ke dalam
berbagai perundang-undangan. Hal ini
akan memudahkan pemahaman berbagai
regulasi yang ada itu, semacam petunjuk
pelaksana teknis, perlu diadakan.

95

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

DAFTAR PUSTAKA
Literatur

M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara:


40 Abad Hambatan Inovasi (Jakarta:
Salemba Teknika, 2008).

Amir Pamuntjak, Dasar Pokok Alih


Teknologi, dalam Amir Pamuntjak,
dkk., Sistem Paten: Pedoman Praktik
dan Alih Teknologi (Jakarta: Djambatan,
1994).

M. Zulfa Aulia, Politik Hukum dalam


Pembentukan UU Paten, Tesis S2
pada Magister Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, 2009.

Bismar Nasution, Reformasi Hukum dalam


Rangka Era Globalisasi Ekonomi,
makalah Diskusi Pembangunan Hukum
dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,
Fakultas Hukum USU Medan, 25
September 1999.

Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia;


Beberapa Kajian (Jakarta: LP3ES,
cetakan kedua, 1996).

Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset


Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia
2009-2014.
B.J.

National Innovation Systems, OECD, 2007,


hal. 10.

Wiratmo Sukito, Kaum Intelektual dan


Teknokrat: Mencari Definisi, Pengantar
dalam Cendekiawan dan Politik
(Jakarta: LP3ES, cetakan kedua, 1984).
Surat kabar

Habibie, Penerapan Teknologi


Canggih di Negara Berkembang:
Kasus Indonesia, dalam Deliar Noer
& Iskandar Alisjahbana, Perubahan,
Pembaruan
dan
Kesadaran
Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Dian
Rakyat, 1988).

Ahmad Erani Yustika, Jebakan Investasi,


Kompas (6 Juli 2010)

Erman Suparno, National Manpower


Strategy (Strategi Ketenagakerjaan
Nasional: Sebuah Upaya Meraih
Keunggulan Kompetitif Global (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009).

Saratri Wilonoyudho, Perguruan Tinggi


Krisis Ide Besar, Jawa Pos, 30 Juni
2008.

H.Tb. Bachtiar Rifai, Perspektif dari


Pembangunan Ilmu dan Teknologi
(Jakarta: Gramedia, 1986).
Kusmayanto Kadiman, Simfoni Inovasi: Cita
& Realita (Jakarta: Foresight, 2008).
Maria Farida Idrati S, Ilmu Perundangundangan: Jenis Fungsi, dan Materi
Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

96

Kompas, 30 September 2011, Inovasi di


Dunia Usaha Masih Minim.
Media Indonesia, 15 Juli 2011, Kasihan,
Dana Riset Indonesia Terkecil di Dunia.

Website
H tt p : / / w w w. b p pt . g o . i d / i n d ex .
php?option=com_content&view=arti
cle&id=397:sistem-inovasi-nasionaluntuk-menjawab-tantangan-pasarglobal&catid=46:umum, diakses 10 Juli
2011.
Http://www.dgip.go.id, diakses pada tahun
2007 dan September 2011.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

H t t p : / / w w w.t e m p o i n t e r a k t i f. c o m /
hg/layanan_publik/2011/10/15/
brk,20111015361505,id.html, diakses
15 Oktober 2011.
Publikasi Kegiatan
www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek,
tanggal 25 April 2011 di Kementerian
Ristek.
www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek,
tanggal 24 Mei 2011 di Kalimantan
Tengah.
www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek,
tanggal 31 Mei 2011 di LPPM USU
Medan.
www.ristek.go.id, Berita Kegiatan Ristek,
tanggal 24 Juli 2011 di FH Unair
Surabaya.

ISSN : 2252-911X

97

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Peningkatan Peran Puspiptek dalam Proses Alih


Teknologi
Anwar Darwadi, Wisnu S. Soenarso, Harry Jusron, Pancara Susanto
Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta
Abstract
PUSPIPTEK has not played a significant role as establisment of National Innovation
System in Indonesia. Despite its well established R&D capacity, PUSPIPTEK has not been
successful in transfering developed technologies to industries or other users. Consequently,
financial support from industry is insignificant and PUSPIPTEK is still heavily dependent on
governments funding. However, at present, government is not placing its priority on science
and technology sector. In long run, R&D capacity of PUSPIPTEK may become stagnant or may
even be deteriorated. For stimulating role of PUSPIPTEK in technology transfer, Ministry of
Research and Technology need to formulate regulations and public policies associated with
establishment of Technology Transfer Center (TTC) as front office in accelerating diffusion of
technology and intensifying collaboration with technology users and supporting institutions.
Functions of the TTC include developing a design center, prototype development, and
productivity center. Moreover, it also allocates budget for early stages of technology transfer,
as well as for seed capital and start-up capital for a venture companies.
Abstrak
PUSPIPTEK saat ini belum berfungsi sebagai sub-sistem penting dalam sistem inovasi
nasional. Walaupun PUSPIPTEK memiliki keunggulan kompetensi iptek, bila hal ini tidak
dimanfaatkan sektor industri untuk mengembangkan usaha mereka, maka kontribusi
pembiayaan dari sektor swasta akan terbatas dan PUSPIPTEK akan sangat tergantung
pada anggaran pemerintah yang saat ini belum memposisikan pembangunan iptek
sebagai prioritas. Akibatnya, perkembangan keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK dalam
pengembangan teknologi akan stagnan atau bahkan terdeteroriasi. Untuk menstimulasi
alih teknologi dari PUSPIPTEK, Kementerian Ristek perlu memformulasikan regulasi dan
kebijakan untuk mendukung pembentukan Pusat Alih Teknologi yang berfungsi sebagai frontoffice untuk mendorong difusi teknologi dan menjalin kolabolasi dengan lembaga pengguna
teknologi dan instansi penunjang lainnya. Fungsi ini mencakup pegembangan pusat desain,
pengembangan prototipe, dan pusat produktivitas, serta untuk pembiayaan tahap awal
kegiatan alih teknologi, seed capital dan start-up capital bagi perusahaan modal ventura.
Kata kunci: sistem inovasi, techno-park, pusat alih teknologi, modal ventura

ISSN : 2252-911X

99

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

1. Pendahuluan
Ketidakcermatan Indonesia dalam berbagai
perjanjian dan kesepakatan baik di tingkat
ASEAN, APEC, dan global telah berakibat
kurangnya keleluasaan pemerintah dalam
menerapkan berbagai bentuk hambatan
tarif atau hambatan teknis perdagangan,
sehingga pelaku bisnis di Indonesia akan
berhadapan dengan persaingan bebas,
baik di pasar domestik, regional, maupun
global.
Persaingan bebas tersebut sangat
dipengaruhi oleh penguasaan sistem
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
base economy) yang menggarisbawahi
pentingnya kemampuan inovasi sebagai
faktor utama daya saing ekonomi.
Untuk dapat memperoleh keuntungan
dari persaingan tersebut, Indonesia
harus membentuk sistem ekonomi yang
efisien dan persaingan pasar yang sehat.
Pemerintah dan semua elemen bangsa
harus memiliki komitmen dan konsistensi
dalam membangun ekonomi yang
inovatif dan responsif untuk menghadapi
berbagai bentuk persaingan dan dinamika
permintaan pasar.
Upaya mewujudkan ekosistem yang
kondusif dan penerapan berbagai inisiatif
untuk menstimulasi perkembangan sistem
inovasi nasional harus dilaksanakan secara
sungguh-sungguh.
Saat ini sangat dibutuhkan berbagai
kebijakan
pemerintah
yang
dapat
menstimulasi perkembangan kemampuan
inovasi di sektor bisnis, juga dapat
mendorong efektivitas sektor penelitian
dan pendidikan dalam mengembangkan
potensi iptek serta memasok iptek ke dunia
bisnis, baik melalui penyediaan tenaga
kerja iptek, informasi ilmiah, maupun
100

penyediaan jasa iptek. Pembentukan


kapasitas inovasi di masa datang tergantung
pada perkembangan dan kualitas penelitian
di perguruan tinggi dan lembaga litbang
saat ini.
Pada tahun 1976 Menteri Riset Prof.
Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah
memprakasai pembangunan PUSPIPTEK
Serpong dengan tujuan memindahkan
pusat litbang milik LIPI, BATAN, BIG
(sebelumnya bernama Bakosurtanal),
dan LAPAN ke suatu kawasan. Hal ini
dimaksudkan agar pusat-pusat tersebut,
dengan berbagai kegiatan mereka, dapat
membentuk kemampuan riset iptek untuk
mendukung
pembangunan
nasional.
Kemudian, dengan tujuan mendukung
percepatan industrialisasi di Indonesia,
Menteri Negara Ristek Prof. Dr. Ing. B.J.
Habibie memperluas arah pengembangan
PUSPIPTEK menjadi techno-park dengan
memasukkan kawasan industri teknologi
tinggi dan kawasan pendidikan tinggi
sebagai elemen baru dalam keseluruhan
kawasan PUSPIPTEK.
Pada tahap awal proses transformasi
industri ini, PUSPIPTEK lebih berperan
sebagai unsur pendukung inovasi, namun
pada tahap lanjut proses transformasi
ini, PUSPIPTEK harus berperan dalam
posisi sentral karena perkembangan
industrialisasi pada tahap-tahap tersebut
harus dilandaskan pada kemampuan
inovasi yang sangat memerlukan dukungan
penelitian dan penguasaan iptek yang kuat.
Pelaksanaan pengembangan PUSPIPTEK
diawali dengan pembangunan kawasan
laboratorium; sedangkan pengembangan
kawasan industri dan kawasan pendidikan
tinggi sampai saat ini belum sepenuhnya
sesuai harapan.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Menteri B.J. Habibie pernah memberikan


pengarahan agar Kawasan Techno Park
Bumi Serpong Damai dan perguruan tinggi
Institut Teknologi Indonesia yang dibangun
didekat kawasan laboratorium PUSPIPTEK
diintegrasikan ke dalam pengembangan
PUSPIPTEK, namun hingga saat ini
perkembangan PUSPIPTEK dan kedua
sentra tersebut tidak terkait satu sama lain.
Pada saat ini di kawasan tersebut telah
berdiri 35 pusat litbang yang telah menelan
investasi pemerintah sebesar 500 juta
US dolar. Komposisi SDM yang bekerja
di PUSPIPTEK adalah berpendidikan S3
sebanyak 109 orang, berpendidikan S2
sebanyak 400 orang, dan berpendidikan S1
dan D3 sebanyak 2000 orang.
Walaupun
belum
semua
rencana
pengembangan
PUSPIPTEK
dapat
terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari
jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki
seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat
berfungsi sebagai sub-sistem yang penting
bagi perkembangan sistem inovasi nasional
sesuai dengan visi kedua menteri yang
memprakasai pembangunan kawasan ini.
Namun dalam kenyataannya sampai saat ini,
keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan
pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha
mereka. Pengambil keputusan di sektor
bisnis belum memandang PUSPIPTEK
sebagai aset nasional yang dapat
mendukung perkembangan dan daya saing
usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK
dari sektor swasta menjadi sangat terbatas
dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung
pada anggaran pemerintah.
Ditinjau dari investasi di Kota Tangerang
Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada indikasi
yang kuat bahwa PUSPIPTEK merupakan
aset yang menstimulasi perkembangan
industri padat teknologi di wilayah ini.
ISSN : 2252-911X

Sementara itu, para pengambil keputusan


di lingkungan pemerintah tampaknya juga
tidak lagi menempatkan PUSPIPTEK sebagai
elemen penunjang pertumbuhan ekonomi
nasional yang strategis, karena kontribusi
nyata PUSPIPTEK bagi pembangunan,
khususnya pembangunan ekonomi, tidak
signifikan, akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK
juga bukan merupakan prioritas anggaran
pemerintah.
Keadaan ini mengakibatkan sumber
pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan
iptek dan reinvestasi sarana litbang di
PUSPIPTEK menjadi terbatas, sehingga
dengan berjalannya waktu, diperkirakan
perkembangan sumber keunggulan yang
dimiliki PUSPIPTEK akan mengalami
stagnasi atau bahkan menurun.
2. Alih Teknologi
Berbagai studi ekonomi menunjukkan bahwa
inovasi adalah faktor pertumbuhan ekonomi
yang sangat penting. Bahkan para ekonom
dunia pada saat ini percaya bahwa lebih
dari 50% pertumbuhan ekonomi negaranegara maju berakar pada kemampuan
inovasi. Seperti halnya yang telah terjadi
dengan inovasi teknologi very large scale
integrated circuit (VLSI), teknologi laser,
komputer, internet, atau teknik recombinant
DNA cloning atau gene-splicing, suatu
inovasi yang telah berhasil diterima pasar
dan membuka horizon bagi perkembangan
berbagai inovasi lain, sehingga secara
keseluruhan tidak hanya membentuk nilai
tambah ekonomi dan membentuk lapangan
kerja yang besar, tetapi juga meningkatkan
produktivitas, efisiensi, dan kualitas kegiatan
ekonomi secara keseluruhan.
Kontribusi nyata ini meningkatkan
apresiasi terhadap peran dan kemampuan
101

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

penelitian perguruan tinggi dan lembagalembaga litbang, karena kemampuan ini


akan membangun landasan yang kokoh
bagi perkembangan kapasitas inovasi,
baik melalui penyediaan tenaga peneliti,
pasokan informasi ilmiah, maupun melalui
alih teknologi dan penyediaan berbagai jasa
teknologi.
Alih teknologi dalam tulisan ini dimaksudkan
sebagai pengalihan hasil penelitian ke pelaku
bisnis untuk ditransformasikan menjadi
teknologi atau produk yang memiliki
nilai komersial. Peralihan ini merupakan
faktor yang sangat penting, karena melalui
mekanisme ini terbentuk interaksi antara
dunia penelitian dengan dunia bisnis yang
seringkali akan menghasilkan terobosan
inovasi yang penting.

tinggi kepada perusahaan meningkat lebih


dari 20% dari tahun 2001 sampai 2003.
Pada tahun 2003, pendapatan bersih yang
diterima perguruan tinggi dari alih teknologi
mencapai lebih dari US $ 1,3 miliar,
meningkat dari sekitar US $ 1 miliar pada
tahun 2001 (APAX Partners, 2005).
Mengapa hal tersebut terjadi? Pertama,
bagi perguruan tinggi adanya undangundang itu memberikan kepastian hukum
dan menghilangkan berbagai bentuk
kerumitan birokrasi, sehingga mereka tidak
hanya termotivasi untuk melakukan alih
teknologi, tetapi juga bersedia menyediakan
sumberdaya untuk mempatenkan dan
menggali potensi hasil penelitian mereka
agar dapat dikomersialkan.

Saat ini berbagai negara telah menerbitkan


berbagai kebijakan untuk menstimulasi
perkembangan mekanisme alih teknologi.
Sebagai contoh, Amerika Serikat pada
tahun 1980 mengadopsi Bayh-Dole Act yang
tidak hanya memperbolehkan perguruan
tinggi melisensikan hasil litbang yang
dibiayai pemerintah kepada perusahaan
dan menikmati perolehan finansial yang
dihasilkan, tetapi juga memungkinkan
pemberian lisensi secara eksklusif kepada
perusahaan tertentu.

Bagi perusahaan, respon perguruan


tinggi tersebut memungkinkan mereka
memanfaatkan hasil penelitian yang telah
dievaluasi prospeknya dan dipatenkan
perguruan tinggi. Kemungkinan mereka
mendapatkan hak ekslusif meningkatkan
kepastian untuk mengkomersialkan hasil
penelitian perguruan tinggi walaupun untuk
itu diperlukan investasi dalam jumlah yang
besar dan dalam waktu yang cukup lama,
karena dengan demikian tidak ada pihakpihak lain yang dapat memanfaatkan hasil
penelitian yang mereka adopsi.

Dampak dari kebijakan ini sangat signifikan.


Sebelum tahun 1980, jumlah paten baru
yang didaftarkan dan diterima perguruan
tinggi hanya berkisar antara 250 350
pertahun, setelah kebijakan ini diterbitkan
terjadi peningkatan yang cukup tajam,
pada tahun 2001 didapatkan 3200 paten.
Tidak itu saja, pendapatan perguruan tinggi
juga meningkat secara substansial. Survei
dari Association of University Technology
Managers (AUTM) menunjukkan bahwa
jumlah lisensi yang diberikan perguruan

Negara-negara maju lain dan bahkan sejumlah


negara-negara berkembang juga menerapkan
berbagai kebijakan untuk menstimulasi alih
teknologi hasil penelitian. Pada tahun 2004,
Pemerintah Jerman menetapkan High Tech
Master Plan dimana elemen-elemennya
mencakup program untuk mendorong kerja
sama antara usaha kecil menengah (UKM)
dengan lembaga-lembaga penelitian publik,
dan mempromosikan university spin-off
untuk membentuk perusahaan-perusahaan
baru yang inovatif.

102

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Tahun 2003 pemerintah Perancis juga


menerbitkan Plan for Innovation yang
bertujuan menstimulasi keterkaitan antara
lembaga litbang publik dengan perusahaan,
diantaranya dengan pemberian tax credit
bagi investor yang menyediakan seed capital
bagi komersialisasi hasil penelitian.
Namun demikian fakta juga menunjukkan
bahwa alih teknologi dari perguruan
tinggi dan lembaga litbang ke dunia usaha
merupakan permasalahan yang kompleks
dan dipengaruhi berbagai faktor seperti
kondisi pasar dan sistem persaingan di
pasar domestik, kualitas tenaga iptek
dan pembiayaan litbang di sektor bisnis,
sistem permodalan khususnya permodalan
ventura, intensitas dan kualitas litbang di
sektor penelitian, dan efektivitas sistem
perlindungan kekayaan intelektual, yang
semua ini tentu dipengaruhi kebijakan
pemerintah.
Oleh karena itu, usaha untuk mendorong
alih teknologi hasil penelitian tidak dapat
hanya dilandaskan pada satu kebijakan.
Banyak permasalahan lain sebagaimana
dibahas berikut harus diatasi secara sistemik
dan konsisten.
2.1. Komersialisasi
Hasil Penelitian Alih teknologi hanya akan
terjadi bila pemilik maupun pengguna
teknologi dapat bersepakat, dimana kedua
belah pihak juga telah mengetahui akan
mendapat nilai yang jauh lebih besar dari
pada risiko yang harus mereka tanggung.
Seperti halnya dengan transaksi lain, alih
teknologi juga mengandung nilai dan risiko
bagi pihak-pihak yang terlibat.
Bagi banyak pelaku bisnis, baik sebagai
produsen maupun investor, investasi
untuk
mengkomersialisasikan
hasil
litbang mengandung ketidakpastian dan
ISSN : 2252-911X

risiko finansial yang tinggi. Beberapa


permasalahan sebagai berikut seringkali
mengakibatkan pelaku bisnis ragu-ragu
melakukan investasi.
Pertama, pengembangan hasil penelitian
menjadi teknologi atau produk baru yang
memiliki prospek komersial, memerlukan
waktu panjang dan biaya besar. Apakah
secara komersial layak dilaksanakan?
Kedua, jika layak dikembangkan menjadi
teknologi atau produk baru, apakah layak
dipasarkan? Ketiga, untuk mempertahankan
dan/atau meningkatkan pangsa pasar,
secepat apa kinerja produk tersebut
dapat ditingkatkan dan apakah biaya
produksinya dapat diturunkan? Keempat,
berapa besar investasi yang ditanamkan
untuk mengkomersialisasikan hasil litbang
tersebut agar dapat memberi keuntungan
bagi perusahaan? Kelima, apabila teknologi/
produk baru tersebut berhasil memperoleh
respon pasar yang baik, sejauhmana
kemungkinan dan secepat apa produk
tersebut dapat ditiru pihak-pihak pesaing?
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hasil
penelitian pada umumnya tidak dapat
secara langsung diterapkan dalam kegiatan
komersial. Pertama, perusahaan harus
memahami bahwa teknologi/produk baru
yang dihasilkan mempunyai keunggulan
tertentu sehingga memiliki prospek untuk
dikomersialkan. Kedua, perusahaan harus
yakin bahwa biaya dan waktu digunakan
sesuai dengan nilai komersial yang akan
didapat. Ketiga, perusahaan harus yakin
bahwa teknologi/produk yang dihasilkan
dapat diterima dan akan mendapat
respon yang baik dari pasar, sehingga
perusahaan harus melakukan litbang pasar
untuk mengetahui prospek komersial dari
teknologi/produk baru hasil dari penelitian.
Keempat, perusahaan juga harus yakin
103

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

bahwa teknologi/produk tersebut dapat di


produksi secara efisien dan bekerja secara
reliabel dalam skala komersial.
Dengan demikian, walaupun hasil
penelitian yang ditawarkan lembaga
litbang sudah dalam bentuk prototipe,
perusahaan yang ingin mengadopsinya
seringkali harus membuat prototipe
sendiri untuk memenuhi semua aspek
yang terkait dengan pelaksanaan produksi
maupun pemasaran teknologi/produk
itu; memperhatikan spesifikasi produk
yang akan diproduksi agar sesuai dengan
permintaan dan persaingan pasar; jaminan
kontinuitas pasokan semua bahan baku
yang diperlukan; perhitungan yang sangat
cermat dalam investasi yang diperlukan
untuk membangun fasilitas produksi serta
efisiensi dan reliabilitas produksi, karena
hal ini akan mempengaruhi biaya produk.
Semua aktivitas ini memerlukan waktu,
tenaga, dan biaya yang besar, ini adalah

risiko bisnis. Dalam memutuskan adopsi hasil


penelitian, perusahaan akan memperhatikan
prospek komersial dan tingkat risiko yang
terkait dengan keputusan itu.
Diawal komersialisasi, nilai komersial
dari suatu hasil penelitian masih rendah
dan akan meningkat secara perlahan
sejalan dengan pembuktian prospek
komersialnya. Ketika pembuatan prototipe
produksi berhasil dan persiapan proses
produksi berjalan dengan baik, nilai
teknologi tersebut akan meningkat secara
eksponensial. Pada tahap komersial, nilai
komersial akan terus meningkat bila pasar
memberikan respon yang positif dan
permintaan pasar akan terus meningkat.
Keadaan ini akan menurunkan tingkat
risiko, sejalan dengan kepastian prospek
komersial teknologi tersebut (Gambar
1). Ilustrasi ini menunjukkan, bahwa nilai
komersial dapat mengimbangi tingkat
risiko, bila pengembangan prototipe
berhasil dengan baik.

Gambar 1. Nilai VS Risiko Komersialisasi Teknologi (diadopsi dari APAX Partners, 2005)
104

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

2.2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang


Untuk mendorong minat pelaku bisnis,
perguruan tinggi dan lembaga litbang
seringkali
memerlukan
sumberdaya
pembiayaan dan manusia yang tidak
sedikit. Untuk mendapatkan gambaran
lebih lengkap, Gambar 2 menunjukkan
tahapan komersialisasi hasil penelitian.
2.2.1. Articulate Commercial Prospect
Merupakan
tahap
kegiatan
untuk
mengkomunikasikan prospek komersial,
tujuannya untuk memobilisasi dukungan
pembiayaan dan dukungan keahlian yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan tahap
selanjutnya.
Walaupun telah dipublikasikan, banyak
perusahaan dan investor yang tidak
memahami dan mengapresiasi manfaat
hasil penelitian, sehingga komersialisasi
hasil
penelitian
diawali
dengan
pengartikulasian prospek komersial hasil

penelitian,
untuk
ditransformasikan
ke dalam teknologi/produk komersial.
Kegiatan ini difokuskan pada pembuktian
dalam skala laboratorium, bahwa hasil
penelitian dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan teknologi/ produk baru
yang memiliki prospek pasar. Pada tahap ini
sukar diharapkan partisipasi pembiayaan
dari pelaku bisnis, baik produsen maupun
investor. Apabila perguruan tinggi atau
lembaga litbang tidak menyediakan
sumber pembiayaan mereka sendiri, akan
sulit untuk mengkomunikasikan prospek
komersial hasil litbang.
2.2.2. Validate Techno-Economic
Feasibility
Tujuan tahap ini adalah menganalisis
kelayakan teknis dan menggali berbagai
aspek komersial yang terkait dengan
komersialisasi hasil penelitian. Kegiatan,
difokuskan pada pendefinisian kinerja
dan spesifikasi teknis dari teknologi/

Gambar 2. Tahapan Komersialisasi Hasil Litbang


ISSN : 2252-911X

105

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

produk yang akan dikembangkan, validasi


kemampuan pencapaian kinerja dan
pendalaman berbagai aspek komersial
yang terkait
serta pengembangan
rencana bisnis. Tahap ini pada umumnya
memerlukan pembiayaan yang cukup
besar serta keterlibatan tenaga ahli dengan
disiplin yang berbeda-beda. Dalam tahap
ini, perguruan tinggi atau lembaga litbang
dapat berharap akan adanya pelaku bisnis
yang terlibat dan menyediakan pembiayaan
yang diperlukan, karena berbagai faktor
komersial sudah dipertimbangkan.
Namun dalam kenyataannya sangat sedikit
produsen yang bersedia mengambil risiko
untuk menginvestasikan dana mereka bagi
keperluan pembiayaan tahap ini, karena
kinerja teknis dan potensi pasar masih
sangat sukar dipastikan.
Sementara itu, pemerintah juga memiliki
posisi yang sukar untuk membiayainya
karena intervensi langsung pemerintah
pada tahap ini berpotensi mendistorsi
persaingan. Untuk mengisi kesenjangan
ini diperlukan perusahaan permodalan
ventura. Namun kenyataan kembali
menunjukkan bahwa tidak banyak
perusahaan permodalan ventura yang
tertarik karena ketidakpastian tentang:
(i) waktu yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu hasil penelitian
kedalam produk komersial dan (ii) besarnya
capital gain yang mungkin diperoleh,
banyak literatur yang menyatakan
tahap ini sebagai Valley of Death yang
mengakibatkan proses komersialisasi
hasil penelitian mengalami kegagalan.
Untuk mengatasi permasalahan ini,
berbagai negara mengembangkan skema
pembiayaan dan berbagai insentif agar
perusahaan permodalan ventura lebih
berani membiayai kegiatan tahap ini.
106

2.2.3. Develop Product Prototype


Pada tahap ini dikembangkan prototipe
produk yang akan diproduksi secara
komersial
dengan
memperhatikan
berbagai konteks komersial. Tujuan tahap
in adalah mendapatkan kepastian bahwa
produk baru yang akan diintroduksikan ke
pasar dapat diproduksi secara ekonomis
dan dapat diterima pasar. Fokus kegiatan
mencakup penetapan spesifikasi dan
pengembangan
prototipe
produk
komersial, mengkaji kelayakan produksi
ditinjau dari faktor biaya dan standar
kualitas, serta pendalaman berbagai aspek
pemasaran untuk mendapatkan kepastian
bahwa pasar akan menerima produk
tersebut.
Mengingat keterkaitan antara prototipe
produk yang dikembangkan dengan
kegiatan komersial sudah sangat erat,
dapat diharapkan sudah ada perusahaan
atau investor yang bersedia membiayai
kegiatan ini. Namun untuk hasil penelitian
bersifat fundamental dimana produk
yang dihasilkan sama sekali baru, banyak
produsen dan investor yang menganggap
ketidakpastian dan risiko pada tahap ini
masih tinggi.
2.2.4. Market Entry
Tujuan dari kegiatan ini adalah
mempenetrasi dan membentuk posisi
pasar, serta memvalidasi sejauh mana
produk itu diterima pasar. Fokus kegiatan
termasuk penyiapan sarana produksi,
pengembangan
strategi
pemasaran,
pembentukan rantai pasok serta jaringan
distribusi dan penjualan. Jika diperlukan,
pada tahap ini berbagai perbaikan kinerja
produk dan strategi pemasaran dilakukan
sesuai dengan umpan balik yang diperoleh
dari pasar.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Melalui pelaksanaan tahap ini, berbagai


faktor kelayakan produk, penerimaan
pasar dan berbagai aspek komersial lainnya
telah semakin jelas, sehingga banyak
perusahaan yang bersedia mengambil
risiko untuk membiayai kegiatan tahap ini,
walaupun untuk mempersiapkan fasilitas
produksi dan inbound & oubound logistic
diperlukan investasi yang jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan kebutuhan pada
tahap-tahap sebelumnya.
Dari uraian di atas dapat disimpul :
Pertama, untuk melaksanakan alih
teknologi, perguruan tinggi atau lembaga
litbang harus memiliki dana untuk
mengartikulasikan prospek hasil penelitian
mereka, bahkan untuk mengkaji kelayakan
tekno-ekonomi.

untuk memotivasi para peneliti, mereka


yang terkait dengan hasil penelitian
yang berhasil dialih-teknologikan perlu
pula mendapatkan sebagian dari hasil
pendapatan alih teknologi. Oleh karena
itu dalam kebijakan alih teknologi harus
secara jelas diatur bagi hasil pendapatan
alih teknologi.
2.3. Mekanisme Alih Teknologi
Jenis perusahaan yang berminat dan
mekanisme formal alih teknologi yang
dipilih, sangat dipengaruhi karakteristik
hasil litbang yang ditawarkan lembaga
litbang.
2.3.1. Teknologi yang Bersifat Perbaikan
Berjenjang

Ketiga, memenuhi keperluan di atas,


perguruan tinggi atau lembaga litbang
harus memiliki kebijakan dan prosedur
dalam menentukan kelayakan hasil
penelitian yang akan ditawarkan dan
dibiayai untuk keperluan alih teknologi,
serta menentukan sumberdaya yang perlu
dialokasikan.

Bila hasil penelitian yang ditawarkan


akan menghasilkan perbaikan berjenjang
terhadap teknologi yang telah dipergunakan
secara komersial, banyak perusahaan yang
telah menggunakan teknologi tersebut
akan tertarik mengadopsinya, karena
mereka memiliki pemahaman yang cukup
untuk menilai prospek pemanfaatan hasil
penelitian tersebut untuk meningkatkan
kinerja atau membuat generasi baru
dari produk yang telah dipasarkan. Di
samping itu, mereka telah menguasai
berbagai teknologi serta memiliki sarana
produksi dan jaringan pemasaran yang
terkait dengan produk baru yang akan
dikembangkan, sehingga tingkat risiko yang
dihadapi tidak terlalu tinggi.

Perguruan tinggi atau lembaga litbang, juga


harus dapat memanfaatkan pendapatan
alih teknologi, untuk membiayai kegiatan
penelitian lain, untuk membiayai kegiatan
yang diperlukan untuk mendukung alih
teknologi termasuk memobilisasi berbagai
tenaga ahli yang diperlukan, atau untuk
berbagai keperluan lain. Dipihak lain

Mekanisme yang sering digunakan adalah


lisensi, dengan mekanisme ini perusahaan
mendapatkan hak untuk memanfaatkan
suatu hasil litbang dengan imbalan
tertentu, baik dalam bentuk transfer
fee atau royalty, atau keduanya. Lisensi
dapat bersifat eksklusif atau non-ekslusif.
Eksklusif, bila lembaga penelitian memberi

Kedua, perguruan tinggi atau lembaga


litbang, harus memiliki sumber daya
manusia dari berbagai disiplin dan mampu
menggalang kerja sama antar mereka untuk
menggali prospek teknologi dan ekonomi
hasil penelitian agar dapat didifusikan
kepada pengguna.

ISSN : 2252-911X

107

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

hak eksklusif kepada perusahaan tertentu


untuk memanfaatkan suatu hasil penelitian,
sehingga lembaga tidak dapat memberikan
hasil penelitian kepada pihak lain. Hak
eksklusif dapat dibatasi berdasarkan
kelompok produk, segmen pasar, atau
wilayah pasar tertentu. Lisensi bersifat noneksklusif, memberi peluang kepada lembaga
penelitian secara bebas memberikan
hasil penelitian kepada siapa saja. Pada
umumnya perusahaan menginginkan hak
eksklusif, bila investasi untuk menggali nilai
komersial hasil penelitian itu cukup besar.
Sebaliknya, ikatan lisensi yang bersifat noneksklusif bila hasil penelitian diperlukan
untuk mengembangkan berbagai penemuan
lain yang memiliki prospek komersial yang
menjanjikan.
2.3.2. Hasil Litbang yang Bersifat
Fundamental
Banyak perusahaan yang ragu-ragu
mengadopsi hasil penelitian apabila hasil
penelitian tersebut bersifat fundamental
dimana teknologi/produk dihasilkan sama
sekali baru, karena mereka tidak memiliki
gambaran dan referensi tentang prospek
komersial hasil penelitian tersebut. Di
negara-negara maju alih teknologi hasil
penelitian yang semacam ini banyak
terkait dengan perusahaan baru (startup company) yang khusus dibentuk untuk
menggali dan memanfaatkan potensi
komersial dari teknologi tersebut.
Oleh karena hasil penelitian yang bersifat
fundamental masih memerlukan berbagai
pengembangan
untuk
menghasilkan
prototipe yang andal serta dapat diproduksi
secara ekonomis dalam skala komersial,
keterlibatan peneliti pengembang teknologi
tersebut merupakan faktor keberhasilan
yang sangat penting. Bahkan banyak dari
108

perusahaan tersebut dibentuk peneliti yang


turut mengembangkan teknologi tersebut
sehingga mekanisme ini sering disebut
sebagai spin-off atau spin-out.
Imbalan bagi perguruan tinggi atau
lembaga litbang sering berbentuk ekuitas
perusahaan itu. Apabila bisnis yang
dibangun perusahaan itu berhasil, nilai
saham perusahaan dapat meningkat sangat
tinggi sehingga lembaga litbang yang
terkait akan memperoleh capital gain yang
besar pada saat saham yang dimilikinya
dilepas ke pasar.
Hambatan utama dari mekanisme ini
adalah permodalan. Faktor pendukung
keberhasilan modalitas alih teknologi ini
adalah: (i) perusahaan yang terkait memiliki
keyakinan atas keberhasilan komersial dari
hasil litbang yang dipergunakan walaupun
prospek pasarnya sangat tidak pasti; (ii)
perusahaan tersebut sangat fokus dan
memiliki kemampuan untuk mengatasi
berbagai permasalahan teknis yang dihadapi
dan melaksanakan pengembangan lebih
lanjut.
Lisensi dan spin-off merupakan mekanisme
alih teknologi yang bersifat formal, dimana
perguruan tinggi dan lembaga litbang
memberi perusahaan tertentu hak untuk
memanfaatkan dan mengkomersialisasikan
hasil penelitian mereka.
Di samping kedua mekanisme tentu
masih ada bentuk-bentuk alih teknologi
yang lebih informal, seperti pemanfaatan
hasil penelitian yang telah dipublikasikan
perusahaan atau kerja sama antara
perguruan tinggi atau lembaga penelitian
dengan perusahaan untuk mengembangkan
hasil penelitian lebih lanjut. Untuk keperluan
ini, banyak negara yang mengembangkan
berbagai bentuk insentif dan program untuk
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

mempromosikan pengembangan konsorsia


litbang, yaitu suatu badan hukum (baik
bersifat laba atau nirlaba) yang dibentuk
bersama-sama sejumlah perguruan tinggi,
lembaga litbang dan perusahaan untuk
mendorong pengembangan lebih lanjut
hasil-hasil penelitian. Kegiatan litbang pada
organisasi ini pada umumnya disponsori
perusahaan-perusahaan yang menjadi
anggota serta pemerintah. Bagi perusahaan,
keikutsertaan mereka akan memberi akses
dan prioritas untuk memanfaatkan teknologi
yang dikembangkan konsorsia.

2.4. Kapasitas Absorbsi Perusahaan


Dalam mengembangkan diri, setiap
perusahaan
menghadapi
berbagai
tantangan (Gambar 3). Pada umumnya
pelaku bisnis memahami bahwa hasil
penelitian perguruan tinggi dan lembaga
litbang
perlu
dimanfaatkan
untuk
mengatasi tantangan tersebut. Namun
untuk memanfaatkan hasil penelitian,
mereka harus memiliki kemampuan
mengatasi
berbagai
permasalahan
yang terkait dengan komersialisasi hasil
penelitian itu.

2.3.3. Pelayanan Teknologi


Perguruan tinggi maupun lembaga litbang,
pada umumnya juga menyediakan berbagai
bentuk pelayanan teknologi, seperti jasa
enjiniring, jasa pengujian, peningkatan
kinerja proses atau sistem manajemen
produksi. Bahkan banyak perguruan tinggi
di negara maju yang menyediakan sebagian
lahan mereka untuk mengembangkan
kawasan inkubasi dimana perusahaanperusahaan pemula dapat memanfaatkan
jasa teknologi yang disediakan serta para ahli
dan sarana yang dimiliki perguruan tinggi
untuk mengembangkan usaha mereka.
Adanya pelayanan teknologi tersebut
sangat
membantu
perkembangan
mekanisme
spin-off.
Seperti
telah
dibahas, pada umumnya perusahaan
spin-off memiliki keterbatasan modal
sehingga adanya jasa teknologi tersebut
dapat mengurangi kebutuhan investasi
peralatan
laboratorium,
komputasi,
dan pengujian untuk mengembangkan
prototipe produk yang akan mereka
komersialkan. Perusahaan spin-off juga
dapat memanfaatkan para ahli di berbagai
bidang enjiniring, produksi dan manajemen
yang dimiliki perguruan tinggi.
ISSN : 2252-911X

Gambar 3. Tantangan Perkembangan


Pelaku Bisnis (Diadopsi dari EISDISR,
2001).
Kemampuan perusahaan mengkomersial
kan hasil penelitian, sangat dipengaruhi
sejumlah faktor (Gambar 4).
Pertama, perusahaan harus memiliki
informasi tentang berbagai perkembangan
teknologi yang terkait dengan arena
bisnisnya, serta sejauh mana perkembangan
tersebut akan mempengaruhi permintaan
dan persaingan pasar. Hanya dengan
informasi
tersebut,
mereka
dapat
menganalisis prospek komersial hasil
penelitian.
109

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 4. Kapasitas Inovasi Perusahaan (KRT, 2008)


Kedua, perusahaan harus memiliki
kompetensi litbang, enjinering, logistik,
produksi,
dan
pemasaran
untuk
memastikan keberhasilan komersialisasi
hasil penelitian, mulai dari menguji
keandalan teknologi yang dikembangkan
dari hasil penelitian, membuat prototipe
produk yang akan diproduksi, serta
mempersiapkan produksi dan pemasaran
produk tersebut.
Ketiga, kondisi endowments yang mereka
miliki, seperti sumber dana, brand image
dan loyalitas pelanggan, serta efisiensi dan
efektivitas jaringan pemasok dan distribusi,
juga merupakan faktor penting untuk
memastikan keberhasilan inovasi yang
mereka kembangkan.
Keempat, kondisi lingkungan internal
perusahaan, seperti strategi, struktur
pengambilan
keputusan,
sistem
manajemen, sistem informasi, dan faktor
manusia yang mempengaruhi interaksi
110

ketiga faktor di atas, juga merupakan faktor


yang krusial, karena melalui interaksi,
kelayakan produk yang akan dihasilkan,
produksi dan pasokan bahan baku, serta
pemasaran dan distribusi dapat dikaji
secara menyeluruh.
Seiring peningkatan kualitas dan interaksi
faktor-faktor tersebut, meningkat pula
kemampuan perusahaan mengendalikan
risiko inovasi, tanpa kemampuan ini,
investasi komersialisasi hasil litbang yang
dilakukan memiliki kemungkinan kegagalan
cukup besar sehingga risiko yang dihadapi
akan tinggi pula.
3. Perspektif Kebijakan Pemerintah
Pelaku bisnis Indonesia harus memperkuat
diri untuk menghadapi persaingan bebas, di
pasar domestik, regional, maupun global.
Hal ini dilakukan dengan meningkatkan
kemampuan inovasi dan kemampuan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

menghasilkan produk teknologi tinggi.


Hal ini digarisbawahi Dr. William F. Miller
dari Stanford University yang menyatakan
bahwa apabila pada paradigma globalisasi
yang lama perusahaan memperkuat
basis ekspor mereka dengan cara
melakukan investasi di negara-negara
yang menyediakan faktor produksi yang
murah, pada paradigma globalisasi baru
yang mulai berkembang pada periode
1980-90 sasaran investasi mereka bergeser
ke negara-negara yang menyediakan
lingkungan yang subur bagi kegiatan
inovasi karena dengan demikian mereka
dapat mengakses tenaga ahli dan spesialis
serta kapasitas litbang yang berkualitas
tinggi, dapat memanfaatkan alih teknologi
dari perguruan tinggi dan lembaga litbang
publik, dapat berpartisipasi dalam jaringan
inovasi, dan dapat mendayagunakan
infrastruktur perkembangan teknologi
tinggi.
Studi UNIDO (November 2000)
Indonesia: Strategy for Manufacturing
Competitiveness, mejabarkan bahwa
daya saing industri manufaktur Indonesia
mengalami penurunan sejak pertengahan
dekade 1990 sebelum krisis moneter
1997 terjadi. Keadaan itu tergambar oleh
terjadinya penurunan drastis tingkat
pertumbuhan ekspor dari 30% pertahun
pada awal dekade itu menjadi hanya sekitar
7%. Empat produk ekspor utama yaitu
plywood, textile, garments, dan footware
mengalami stagnasi.
Dengan
demikian
sebelum
krisis,
industri manufaktur telah menunjukkan
ketidakmampuan menghadapi perubahan
persaingan yang terjadi karena adanya
globalisasi
dan
liberalisasi
produk
manufakturing.

ISSN : 2252-911X

Sejumlah kondisi penyebab melemahnya


daya saing industri manufaktur Indonesia,
adalah :
Pertama, munculnya negara kompetitor
baru yang menawarkan biaya produksi
yang lebih murah, sehingga menurunkan
harga internasional bagi produk ekspor
utama Indonesia.
Kedua,
ketidakmampuan
produsen
Indonesia mereduksi biaya produksi
untuk mengimbangi pesaingnya (China
dan negara-negara lain) karena tingginya
tingkat ketergantungan pada impor input
produksi.
Ketiga, basis ekspor Indonesia sangat
tergantung pada jenis produk yang sempit
dan sasaran pasar ekspor yang sangat
terbatas.
Keempat, industri barang modal di
Indonesia tidak berkembang, sehingga
kebutuhan peralatan dan permesinan
produk tergantung pada impor (berbeda
dengan China dan India).
Kelima, tidak terjadinya pendalaman
teknologi (technology deepening) dalam
kegiatan produksi. Berbeda dengan banyak
negara-negara lain yang setara, di Indonesia
kontribusi output industri teknologi rendah
(paper, printing, textiles, garments, food,
beverages, tobacco, wood products &
furniture) mengalami kenaikan, sedangkan
industri teknologi menengah (rubber &
plastic products, simple fabricated metal
products, petroleum refinery & products,
non-metalic mineral products) dan industri
teknologi tinggi (office & computing
equipments, drugs, consumer electronics &
communication equipments, motor vehicles
& other transport equipment, machinery,
chemicals) mengalami penurunan.
111

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat


disimpulkan tiga kegagalan utama, yaitu
(a) kegagalan mengembangkan rantai
pasok, (b) kegagalan mendiversifikasi basis
kegiatan manufaktur, dan (c) kegagalan
pelaksanaan pendalaman teknologi.
Sejumlah faktor yang mempengaruhi
kegagalan tersebut adalah sebagai berikut:
(a) tidak adanya jaringan productivity
centers & technical institutes yang dapat
secara efektif menyediakan dukungan
bagi perusahaan manufakturing untuk
memperbaiki proses produksi serta
meningkatkan sofistikasi produk; (b)
lemahnya minat perusahaan besar dan
PMA untuk membina perkembangan
rantai pasok; (c) lemahnya kemampuan
litbang dan enjiniring perusahaan untuk
mengadopsi kemajuan teknologi; dan (d)
tidak adanya visi strategis tentang kemana
Indonesia akan memposisikan dirinya
dalam melaksanakan industrialisasi.
Keadaan tersebut semakin memburuk
pada saat Indonesia mengalami krisis
1997. Krisis moneter yang diikuti gejolak
sosial dan perubahan politik menimbulkan
ketidakpastian lingkungan usaha, sehingga:
(a) banyak perusahaan industri manufaktur
yang mengalami krisis keuangan karena
harus menghadapi beban hutang yang
berat; (b) terjadi relokasi sebagian investasi
asing ke negara-negara lain; dan (c) aliran
foreign direct investment (FDI) menurun
secara tajam.
Sebagai bagian dari program restrukturisasi
ekonomi yang dikembangkan bersama IMF,
Indonesia harus membuka pasar domestik
seluas-luasnya. Dalam kondisi industri
manufaktur yang sangat lemah pada saat
itu, banjir impor mulai dari textile dan
footware sampai ke sepeda motor, mobil,
dan produk-produk elektronik konsumer
112

tidak dapat dibendung. Persaingan


yang sangat keras dan ketidaksiapan
perusahaan industri manufaktur dalam
negeri mengakibatkan terjadinya proses
deindustrialisasi.
Pada saat ini Indonesia telah berhasil
mengatasi berbagai dampak krisis 1997
dan bahkan telah memiliki daya tahan
menghadapi krisis finansial global yang
terjadi baru-baru ini. Namun apakah
gambaran yang diuraikan studi UNIDO itu
telah berubah?
Indikator iptek 2009 yang diterbitkan
LIPI menunjukkan bahwa perkembangan
industri manufaktur di Indonesia, baik
ditinjau dari output, nilai tambah, dan
produktivitasnya masih sangat didominasi
industri manufaktur yang menghasilkan
produk teknologi rendah. Dari buku
Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan
Indonesia 2010, menunjukkan bahwa sejak
tahun 2001 hingga 2009, jumlah paten
yang terdaftar di Kantor Paten Amerika
Serikat yang berasal dari Indonesia, telah
tertinggal dengan cepat dibandingkan
dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Hal ini mengindikasikan bahwa faktor
inovasi dalam perkembangan bisnis di
Indonesia telah tertinggal dari negaranegara tetangga. Keadaan ini juga dapat
dilihat dari perilaku produsen di Indonesia
yang masih saja mengharapkan berbagai
bentuk proteksi pemerintah dalam
menghadapi persaingan dari negaranegara lain agar daya saing mereka di pasar
domestik dapat bertahan.
Dalam kondisi yang demikian, seharusnya
pemerintah
memberikan
perhatian
dan prioritas yang tinggi pada usaha
untuk mengatasi permasalahan yang
menghambat kemajuan alih teknologi.
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Intervensi pemerintah harus dilaksanakan


secara holistik, saling mendukung, dan
dengan tahapan yang terencana agar dapat
diperoleh dampak yang maksimal dengan
dampak negatif seminimal mungkin.
Untuk merencanakan intervensi yang
tepat, pemerintah harus memahami
sisi pengguna yaitu perusahaan, sisi
penyedia yaitu perguruan tinggi dan
lembaga litbang, serta fungsi pendukung
yang mempengaruhi. Intervensi yang
dipergunakan
untuk
mengkoreksi
permasalahan pada umumnya merupakan
kombinasi dari sejumlah instrumen baik
yang bersifat eksplisit yang memang
diarahkan untuk mengatasi berbagai
permasalahan alih teknologi dan implisit
yang sebenarnya tidak diarahkan untuk
mengatasi permasalahan alih teknologi,
akan tetapi dampaknya mempengaruhi
perkembangan alih teknologi.
3.1. Dunia Usaha - Sisi Pengguna
Perkembangan alih teknologi tentu juga
tergantung pada kemampuan dan sudut
pandang pihak penerima, yaitu pelaku
bisnis. Keputusan suatu perusahaan untuk
melakukan inovasi sangat ditentukan
oleh strategi, kompetensi inti, dan sistem
operasi perusahaan tersebut (Gambar 5).
Tentunya, ketiga hal tersebut sangat
dipengaruhi
perspektif
perusahaan
tersebut terhadap persaingan dan peluang
pasar serta pengaruh teknologi bagi daya
saing dan posisi pasar mereka. Apabila
dari prespektif pasar, persaingan hanya
dapat dimenangkan jika mereka memiliki
keunggulan teknologi, inovasi merupakan
faktor penting dalam strategi perusahaan.
Demikian pula, apabila dari prespektif
kemajuan teknologi, siklus hidup produk
yang mereka pasarkan tidak dapat lagi
ISSN : 2252-911X

dipertahankan dalam waktu yang cukup


lama, inovasi untuk mengembangkan
produk generasi baru merupakan faktor
strategi yang penting. Mekanisme pertama
(pull) biasanya menghasilkan inovasi
yang bersifat berjenjang, sedangkan
pada mekanisme kedua (push) dihasilkan
perubahan yang drastis.
Dengan kompetensi inti yang dimiliki,
mereka
akan
mengidentifikasi,
memilih,
mengadopsi,
melindungi,
dan mendayagunakan teknologi untuk
mengembangkan inovasi yang diperlukan
dengan mempertimbangkan berbagai
faktor operasional, termasuk produksi,
distribusi, dan jasa purna jual.
Ulasan di atas menunjukkan bahwa
kapasitas absorbsi perusahaan dalam
memanfaatkan hasil penelitian merupakan
interaksi berbagai fungsi bisnis yang ada
dalam perusahaan. Melalui interaksi
tersebut ditentukan prospek dan kelayakan
tekno-ekonomi serta berbagai bentuk risiko
yang terkait dengan pemanfaatan hasil
penelitian ke dalam kegiatan komersial.
Berdasarkan hasil pertemuan dengan
sejumlah pengusaha produsen untuk
memahami pandangan mereka terhadap
kegiatan dan hasil penelitian yang
dilaksanakan lembaga litbang pemerintah,
para
pengusaha
pada
umumnya
menyatakan
bahwa
mereka
tidak
mengalokasikan anggaran litbang secara
memadai karena menganggap investasi
litbang memiliki risiko dan ketidakpastian
yang cukup tinggi, karena sarana dan biaya
litbang yang mahal, juga karena jumlah
tenaga peneliti yang berkualitas terbatas,
serta lemahnya dukungan regulasi dan
insentif pemerintah (Kementerian Negara
Riset dan Teknologi (2009).
113

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Gambar 5. Model Inovasi (Phaal et al., 2001)


Dalam mengatasi permasalahan tersebut,
diperlukan dukungan lembaga penelitian,
namun para pengusaha juga menyatakan
bahwa dukungan lembaga litbang tidak
dapat diandalkan, hal ini dikarenakan:
Pertama, banyak hasil penelitian yang
tidak prospektif secara komersial, karena
tidak memperhatikan kebutuhan pasar,
teknologi out-of-date atau re-invent the
wheel, tidak mempertimbangkan faktor
ekonomi, dan tidak memperhatikan
standardisasi; dan
Kedua, jasa lembaga litbang tidak
profesional, karena (i) lembaga litbang
tidak memiliki kebijakan dan prosedur yang
rinci dan transparan, sehingga legalitas
dan tanggung jawab kerja sama dengan
lembaga litbang tidak jelas, (ii) lembaga
litbang mengabaikan permasalahan HKI,
dan (iii) waktu dan biaya pelaksanaan
114

kegiatan tidak dapat diandalkan karena


manajemen lembaga litbang tidak
menerapkan sistem pengendalian dan
monitoring yang memadai sehingga
keandalan pelaksanaan kegiatan sangat
tergantung pada individual peneliti.
Pandangan para pengusaha tersebut
setidak-tidaknya mengindikasikan bahwa
banyak perusahaan di Indonesia, tidak
melakukan investasi litbang secara
memadai, sehingga kompetensi inti
mereka di bidang teknologi tidak akan
berkembang dengan baik. Mereka lebih
melandaskan perkembangan diri mereka
pada biaya produksi yang rendah serta
kekuatan pemasaran dan distribusi. Akar
masalah dari keadaan itu adalah persepsi
mereka terhadap tingkat risiko investasi
litbang.
Selain itu, komersialisasi hasil penelitian
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

harus ditinjau dari perspektif sebagai


berikut: (i) pada tingkat kompetensi yang
dimiliki saat ini akan sukar bagi perusahaan
menilai prospek dan mengatasi berbagai
permasalahan
komersialisasi
hasil
penelitian, dan (ii) apabila keadaan itu tidak
diimbangi kepercayaan yang kuat terhadap
lembaga litbang, praktis komersialisasi
hasil penelitian akan mengalami stagnasi.
Dalam keadaan demikian tentu berakibat
tarikan kebutuhan alih teknologi menjadi
sangat lemah.
3.2. Lembaga Litbang - Sisi Penyedia
Sesuai dengan pandangan Menteri
Sumitro Djojohadikusumo, pemerintah
berharap,
lembaga
litbang
dapat
menyediakan teknologi yang diperlukan
untuk meningkatkan perkembangan
dan pembangunan, khususnya bidang
ekonomi. Perlu diingat bahwa kegiatan
penelitian di lembaga-lembaga penelitian,
hanya akan menimbulkan dampak ekonomi
bila hasilnya digunakan perusahaan untuk
mengembangkan bisnis mereka.
Berdasarkan forum diskusi antar para
peneliti dari lembaga-lembaga penelitian
pemerintah
dan
universitas
yang
diselenggarakan Kementerian Riset dan
Teknologi (Kementerian Negara Riset
dan Teknologi, 2009), para peneliti
berpandangan bahwa sesuai dengan misi
lembaga, orientasi kegiatan mereka lebih
pada tujuan ilmiah, penelitian cukup pada
skala laboratorium, bila menghasilkan
prototipe, hanya untuk pembuktian
kebenaran hipotesa ilmiah.
Ukuran utama
adalah publikasi
hasil penelitian
karena sudah
umumnya tidak
ISSN : 2252-911X

kinerja para peneliti


ilmiah, sehingga banyak
tidak dapat dipatenkan
dipublikasikan. Peneliti
terlalu peduli prospek

komersial dalam kegiatan mereka, karena


beranggapan bahwa hal itu merupakan
tugas pelaku bisnis. Para peneliti juga
mempermasalahkan bahwa pada saat
ini tidak banyak perusahaan yang
memiliki kemampuan inovasi, sehingga
banyak perusahaan hanya menggunakan
teknologi siap pakai.
Anggaran pemerintah yang sangat
terbatas dan kaku, mengakibatkan hasil
penelitian tidak dapat dikembangkan
lebih lanjut dan tidak dapat memenuhi
permintaaan perusahaan secara responsif.
Berbagai kondisi ini, mengakibatkan
peneliti sukar memenuhi ekspektasi para
pengusaha. Para peneliti berharap adanya
fungsi intermediasi untuk menjembatani
kesenjangan ekspektasi tersebut.
Namun karena fungsi tersebut tidak
ada,
para
peneliti
beranggapan,
perusahaan tidak memiliki keinginan
untuk mengembangkan kerja sama
dengan mereka. Demikian pula kurangnya
pemihakan pemerintah kepada produk
yang
menggunakan
hasil
litbang.
Inilah sebagian dari penyebab tidak
berkembangnya interaksi antara lembaga
litbang dan perusahaan.
Walaupun argumentasi dunia usaha dan
lembaga litbang berbeda, namun kedua
belah pihak mengakui adanya kesenjangan
ekspektasi yang mengakibatkan kerja sama
antar mereka tidak berkembang. Kondisi
ini tidak dapat begitu saja berubah karena
akar masalahnya adalah silang perspektif:
Pertama, para peneliti beranggapan
produk mereka adalah pembuktian
ilmiah dalam skala laboratorium,
sedangkan para pengusaha menilai hasil
penelitian peneliti tidak prospektif secara
komersial.
115

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Kedua, para peneliti menganggap


publikasi ilmiah sangat penting karena
merupakan ukuran kinerja utama mereka,
sedangkan para pengusaha menilai hal ini
menutup peluang untuk memiliki HKI
secara ekslusif.

tinggi belum melakukan penelitian secara


komprehensif. Namun pada saat ini telah
banyak perguruan tinggi yang memiliki
kemampuan penelitian yang setara
bahkan lebih baik daripada lembagalembaga tersebut.

Ketiga, para peneliti beranggapan,


perusahaan
hanya
menginginkan
teknologi siap pakai yang tidak mudah
mereka penuhi secara responsif karena
hambatan
pembiayaan,
sedangkan
para pengusaha yang mengukur prospek
komersial hasil penelitian dengan time
to market dan time to profitability,
menilai keadaan tersebut sebagai
profesionalisme jasa lembaga litbang
yang lemah.

Dalam keadaan yang demikian sebaiknya


lembaga-lembaga litbang pemerintah
mengkaji ulang posisi keberadaan
mereka. Seperti perguruan tinggi,
lembaga litbang pemerintah adalah
sebagai elemen murni masyarakat ilmiah
sehingga tugas utama mereka adalah
memberikan kontribusi kemajuan iptek?
Apakah bukan sebagai pemasok teknologi
bagi pelaku bisnis agar daya saing dan
nilai tambah Indonesia dapat diperkuat,
dan dengan demikian titik berat tugas
mereka adalah menggali manfaat
kemajuan iptek untuk dikembangkan
menjadi pasokan teknologi yang dapat
dipergunakan pelaku bisnis.

Apabila silang perspektif tersebut


diletakkan pada kerangka tahapan
komersialisasi hasil litbang sebagaimana
telah diuraikan terdahulu, dimana para
pelaku bisnis hanya mau memberikan
komitmen pada tahap pengembangan
prototipe produk, yaitu setelah kelayakan
teknis dan ekonomis dapat dibuktikan,
tampaknya interaksi antara lembaga
litbang dan perusahaan akan sulit
diharapkan terjadi.
Permasalahan
lain
yang
perlu
mendapatkan perhatian adalah akar
masalah dari perspektif para peneliti
tersebut,
yaitu
persepsi
mereka
tentang
misi
lembaga.
Walaupun
memang lembaga-lembaga tersebut
dikelompokkan sebagai lembaga litbang,
perlu dipertanyakan mengapa pemerintah
perlu mengembangkan lembaga-lembaga
itu. Apakah urusan penelitian tidak
dapat diserahkan pada perguruan tinggi?
Mungkin saja pada saat lembaga-lembaga
itu dibentuk, kebanyakan perguruan
116

Kalau pandangan Menteri Sumitro


Djojohadikusumo dan Menteri B.J. habibie
dipahami secara mendalam, tampaknya
mereka menginginkan opsi yang terakhir
yaitu sebagai pemasok teknologi bagi
kegiatan ekonomi.
Dalam beberapa kesempatan diskusi
dengan sejumlah pimpinan lembaga
litbang pemerintah, dapat dirasakan bahwa
mereka sebenarnya juga berpandangan
yang sama. Jika demikian sebenarnya
lembaga-lembaga
tersebut
harus
berfungsi sebagai intermediasi yang
menjebatani dunia ilmiah dengan dunia
komersial. Mengapa para peneliti yang
turut dalam diskusi menyatakan fungsi
tersebut tidak ada? Dan mengapa pula
lembaga litbang tidak mengembangkan
kebijakan dan prosedur jasa dan alih
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

teknologi yang jelas dan transparan untuk


mengurangi ketidakpastian yang dihadapi
perusahaan yang akan mengkomersialkan
hasil penelitian mereka?
Sesungguhnya, saat ini lembaga litbang
berkepentingan
meningkatkan
alih
teknologi hasil penelitian mereka. Seperti

diilustrasikan pada Gambar 6, hampir


semua lembaga litbang merasakan alokasi
anggaran pemerintah untuk alih teknologi
tidak memadai, juga tidak mendapatkan
prioritas, akibatnya lembaga litbang
tidak dapat mempersiapkan tahapan alih
teknologi secara baik.

Gambar 6. Faktor Alih Teknologi bagi Lembaga Litbang (KRT, 2009)


Dalam keadaan dimana perusahaan tidak
memiliki kompetensi dan sumberdaya
teknologi yang kuat, dapat dipastikan
perusahaan tidak akan tertarik dengan hasil
litbang sehingga tidak banyak dari hasil
kegiatan lembaga litbang dikomersialkan.
Dengan demikian pembiayaan kegiatan
lembaga litbang menjadi sangat tergantung
pada pembiayaan pemerintah. Sementara
itu, pemerintah tidak akan memberikan
prioritas anggaran bagi kegiatan lembaga
ISSN : 2252-911X

litbang karena tidak memberikan dampak


ekonomi yang memadai atau setidaknya
terukur.
Dalam keadaan yang demikian, lembaga
litbang dapat terjerat dalam keadaan
sebagai berikut: (i) anggaran lembaga
litbang akan semakin terbatas dan kinerja
lembaga litbang akan secara bertahap
menurun, sehingga semakin tidak menarik
pelaku bisnis; (ii) lembaga litbang semakin

117

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

tidak terekspos pada permasalahan bisnis


sehingga semakin tidak memprioritaskan
alih teknologi.
3.3. Perusahaan Spin-off
Perusahaan spin-off dalam tulisan ini
adalah perusahaan baru yang dibentuk
oleh atau melibatkan pelaku litbang untuk
komersialisasi hasil litbang. Di negara
maju, perusahaan ini mendapatkan
perhatian pemerintah karena perusahaan
tersebut berkembang menjadi perusahaan
dengan pendapatan jutaan bahkan miliar
dollar dalam waktu yang relatif singkat.
Ambil saja contoh Google yang berdiri
pada tahun 1998 oleh Larry Page dan
Sergey Brin, keduanya adalah mahasiswa
doktoral dari Stanford University, dalam
waktu 10 tahun telah menjadi perusahaan
dengan pendapatan sebesar $ 21,7 miliar
dengan jumlah pegawai lebih dari 19.000
orang. Demikian pula Cisco yang didirikan
tahun 1984 oleh suami istri Len Bosack dan
Sandra Lener, keduanya juga dari Stanford
University, pada tahun 2008 pendapatan
mereka mencapai $ 39,5 miliar dengan
pegawai lebih dari 66.000. Dapat dilihat
bahwa keberhasilan perusahaan jenis
ini tidak hanya memberikan kontribusi
ekonomi yang signifikan namun juga
menyediakan lapangan kerja yang besar,
khususnya bagi teknolog dan spesialis.
Walaupun berbentuk perusahaan, akar
pertumbuhan perusahaan spin-off berada
di lingkungan perguruan tinggi dan
lembaga litbang. Perusahaan spin-off pada
umumnya didirikan karena peneliti dan
lembaga yang memiliki hasil penelitian
yakin bahwa hasil penelitian itu dapat
memiliki potensi komersial yang sangat
tinggi, namun tidak ada produsen yang
tertarik untuk mengadopsinya.
118

Keberhasilan
perusahaan
spin-off
memerlukan prasyarat sebagai berikut:
Pertama, hasil penelitian yang akan
dikomersialkan
harus
berpotensi
dikembangkan menjadi teknologi atau
produk yang memiliki nilai pasar yang
tinggi. Karenanya kekayaan intelektual
tersebut
merupakan
satu-satunya
aset perusahaan yang berharga, harus
diproteksi agar perusahaan lain tidak
dapat menggunakan khususnya bila
keberhasilan komersialnya terbukti.
Kedua, keikutsertaan peneliti utama dalam
perusahaan ini, untuk mengembangkan
hasil penelitian lebih lanjut, juga karena
diperlukan keahlian dan komitmen yang
kuat.
Ketiga,
permodalan
tidak
hanya
diperlukan untuk menggali dan validasi
kelayakan tekno-ekonomi hasil penelitian,
namun juga untuk mempersiapkan dan
melaksanakan produksi, pemasaran,
distribusi, dan penjualan.
Keempat, keberadaan tim manajemen
yang memiliki kualifikasi baik karena
kesediaan
investor
menyediakan
permodalan
tidak
semata-mata
dilandaskan pada prospek komersial hasil
penelitian yang akan dikapitalisasi, namun
juga pada kemampuan perusahaan
mengelola
manajemen
perusahaan,
finansial, pemasaran, dan penjualan.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa
peran lembaga dimana penelitian
dilakukan sangat penting, tanpa dukungan
kebijakan lembaga tersebut tidak mungkin
bagi para peneliti memanfaatkan hasil
penelitian mereka dan terlibat secara
langsung dalam pembentukan dan
pengembangan perusahaan spin-off.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Untuk mendapatkan dukungan investor,


perusahaan
harus
menggali
dan
memvalidasi kelayakan tekno-ekonomi
hasil penelitian yang akan dikomersialkan.
Perlu pula dipertimbangkan bahwa
kekuatan perusahaan pada kompetensi
teknologi,
sedangkan
kemampuan
manajemen bisnis, pemasaran dan
distribusi sangat terbatas. Oleh karena itu,
tanpa adanya dukungan pembiayaan dan
keahlian sangat sukar bagi perusahaan ini
memperoleh dukungan investor.
Pertumbuhan
dan
perkembangan
perusahaan spin-off sangat penting bagi
perkembangan ekonomi di Indonesia,
sehingga layak mendapatkan perhatian,
karena: (a) kelompok perusahaan ini
membentuk wira usaha baru yang
inovatif; (b) keberhasilan perusahaan ini
kebanyakan dilandaskan pada terobosan
inovasi yang mendapatkan sambutan pasar
secara luas karena menawarkan nilai-guna
yang tinggi; (c) semakin banyak perusahaan
semacam ini akan memperbesar lapangan
kerja bagi para teknolog dan tenaga kerja
spesialis untuk mengembangkan karier di
bidang mereka, sementara itu pada saat ini
mereka kurang mendapatkan penghargaan
sehingga banyak yang berpindah profesi;
dan (d) perkembangan perusahaan ini
juga akan meningkatkan tarikan pasar bagi
hasil litbang. Apabila, perusahaan jenis
ini dapat tumbuh dan berkembang secara
baik, dapat dipastikan transformasi menuju
masyarakat berbasis pengetahuan akan
lebih cepat tercapai.
3.4. Fungsi Pendukung
Permasalahan hubungan antara penyedia
dan pengguna hasil penelitian juga sangat
dipengaruhi berbagai bentuk fungsi
pendukung yang dalam konteks tulisan
ISSN : 2252-911X

ini dimaksudkan sebagai kegiatan dan


fungsi pihak-pihak yang bukan penyedia
dan pengguna dalam suatu transaksi alih
teknologi, namun usaha mereka sangat
mempengaruhi keberhasilan transaksi
tersebut. Di bawah ini akan dibahas
beberapa fungsi pendukung yang sangat
penting, walaupun disamping itu masih
banyak lagi fungsi pendukung yang cukup
penting.
3.4.1. Modal Ventura
Definisi modal ventura bermacam-macam,
namun sesuai dengan konteks tulisan ini
dapat dipergunakan definisi Investopedia
yang mendefinisikan modal ventura sebagai
dana yang disediakan para investor bagi
perusahaan baru atau perusahaan kecil
yang menjanjikan prospek pertumbuhan
yang tinggi. Permodalan ini merupakan
sumber dana yang sangat penting bagi
perusahaan baru yang tidak memiliki akses
ke perbankan karena tidak memiliki aset
yang dapat digunakan sebagai kolateral.
Dana yang disediakan biasanya berbentuk
ekuitas, bukan pinjaman, walaupun
sering pula dikombinasikan dengan
pinjaman yang dapat dikonversi menjadi
ekuitas (convertible loan) atau bentukbentuk pinjaman lain. Pengembalian
dana yang ditanamkan diperoleh dengan
menjual saham yang dimiliki, baik melalui
mekanisme IPO, akuisisi, atau lainnya.
Permodalan ini terkait dengan risiko yang
tinggi dan ekspektasi keuntungan yang
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
investasi lain. Oleh karena itu, perusahaan
modal ventura hanya akan tertarik apabila
perusahaan yang dimodali memiliki
prospek untuk tumbuh secara cepat
dalam waktu 57 tahun, sehingga nilai
saham perusahaan tersebut mengalami
119

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

peningkatan
dilepaskan.

yang

besar

pada

saat

Untuk mengamankan investasinya, di


samping penyediaan modal perusahaan,
modal ventura sering pula menyediakan
tenaga ahli atau bahkan menempatkan
wakilnya dalam manajemen perusahaan
yang dimodalinya. Walaupun demikian,
tingkat kegagalan investasi perusahaan
modal ventura pada umumnya sangat
tinggi. Namun bagi investasi yang berhasil
dapat diperoleh keuntungan yang sangat
tinggi sehingga tidak hanya dapat menutupi
kerugian dari investasi yang gagal bahkan
dapat melipatgandakan uang penyandang
dananya antara 300% sampai 1000%.
Permodalan yang disediakan perusahaan
modal ventura dapat mencakup sejumlah
tahapan investasi sebagai berikut:
(a) Seed Capital yang jumlahnya tidak
terlalu besar untuk mengembangkan
prototipe komersial, membiayai riset
pasar, dan membiayai pengembangan
sistem manajemen perusahaan;
(b) Start-up Capital yaitu dana investasi
untuk
mempersiapkan
produksi
dan mengintroduksikan produk ke
pasar, serta mengembangkan strategi
dan pemasaran untuk memperluas
penetrasi pasar;
(c) Early stage capital yaitu investasi
yang diperlukan untuk meningkatkan
kapasitas produksi serta memperbaiki
produktivitas dan efisiensi perusahaan
agar break-even point dapat dicapai;
(d) Expansion Capital yaitu investasi yang
diperlukan perusahaan yang telah
mapan untuk memperluas pasarnya;
dan

120

(e) Late Stage Capital yaitu investasi yang


diperlukan perusahaan yang sudah
memiliki posisi pasar yang kuat untuk
melaksanakan restrukturisasi agar
nilai perusahaan mereka meningkat,
khususnya bagi keperluan IPO.
Permodalan tersebut, khususnya seed
capital dan start-up capital memiliki peran
yang sangat penting bagi perusahaan spinoff yang pada tahap tersebut tidak memiliki
akses perbankan, baik karena tidak memiliki
aset yang dapat dijadikan kolateral atau
dianggap berisiko tinggi. Namun perlu
dipertimbangkan kemungkinan hambatan
bahwa perusahaan modal ventura sangat
selektif, tidak hanya dalam memilih
perusahaan yang akan dimodali namun
juga dalam memilih sektor industri yang
akan dimasuki. Pada umumnya mereka
akan lebih tertarik pada sektor industri
yang mengalami pertumbuhan yang tinggi.
Dengan demikian tidak semua bisnis
perusahaan spin-off memiliki kesesuaian
dengan target investasi perusahaan modal
ventura.
Selain itu, walaupun seed capital atau startup capital yang biasanya jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan kebutuhan investasi
pada tahap-tahap lain, keberhasilan
investasi tersebut sangat tidak pasti. Oleh
karena itu, biasanya perusahaan modal
ventura sangat berhati-hati untuk masuk
area ini, walaupun modal pada tahap
tersebut sangat diperlukan perusahaan
spin-off.
Di Indonesia jumlah perusahaan modal
ventura masih sangat terbatas, biasanya
perusahaan ini belum menganggap
komersialisasi hasil litbang sebagai target
investasi. Perusahaan modal ventura besar
pada umumnya mentargetkan investasi
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

mereka untuk keperluan expansion


capital dan late stage capital. Sedangkan
perusahaan modal ventura yang dibentuk
untuk membiayai perkembangan UKM
pada umumnya lebih menyukai perusahaan
yang memiliki pasar yang pasti, walaupun
tingkat keuntungannya terbatas. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada saat
ini masih sangat sukar bagi perusahaan
spin-off mendapatkan akses permodalan.
3.4.2. Pusat Desain dan Pengembangan
Prototipe
Di berbagai negara maju, pemerintah pada
umumnya menyediakan pendanaan bagi
perguruan tinggi untuk mengembangkan
pusat desain dan pengembangan prototipe.
Fungsi pusat ini adalah menyediakan jasa
desain enjinering serta pengembangan
dan pengujian prototipe yang memenuhi
standar industri.
Pusat ini harus memiliki ahli desain dan
rekayasa yang mendalami standar yang
umum diterapkan di bidang industri yang
dilayaninya dan memahami berbagai faktor
produksi termasuk ketersediaan bahan
baku, aliran proses produksi, dan biaya
produksi yang harus dipertimbangkan
dalam desain produk.
Disamping itu, harus pula memiliki
kebijakan dan menerapkan perlindungan
kerahasiaan informasi yang diberikan
pelanggannya karena pengguna jasa pusat
ini harus membuka ide inovasinya dan
bahkan berbagai detail yang diperlukan
untuk pelaksanaan desain produk.
Walaupun tujuan utamanya membantu
perusahaan-perusahaan kecil menengah
mengembangkan berbagai inovasi, karena
pusat tersebut memiliki fasilitas dan
tenaga ahli rekayasa yang baik, tidak jarang

ISSN : 2252-911X

dari mereka yang memiliki pelanggan


perusahaan-perusahaan besar.
Keberadaan
pusat
desain
dan
pengembangan prototipe tidak hanya
dapat meringankan investasi dan biaya
harus dikeluarkan perusahaan dalam
mengembangkan inovasi, namun juga
dapat
mempercepat
penyelesaian
pengembangan produk sehingga dapat
menyingkat time to market entry.
Bagi
perusahaan
kecil,
khususnya
perusahaan spin-off, pusat ini merupakan
faktor yang penting, karena perusahaan
tidak perlu mengembangkan sendiri sarana
desain, rekayasa dan pengujian yang
investasinya cukup besar untuk merancang
dan mengembangkan produk yang akan
dipasarkan.
3.4.3. Pusat Produktivitas
Pusat ini berfungsi membantu industri
kecil merancang proses produksi dan
mengembangkan sistem manajemen
produksi yang baik, atau mencarikan solusi
bagi berbagai permasalahan produksi.
Jasa pusat ini antara lain adalah sebagai
berikut: Industrial Engineering, Operations
Scheduling and Control, Quality System,
Supply Chain Management.
Jasa pusat ini dapat dimanfaatkan semua
perusahaan produsen, besar atau kecil.
Bagi perusahaan spin-off jasa pusat ini
sangat berguna pada saat perusahaan
mempersiapkan produksi (tahap market
entry) serta pada tahap-tahap selanjutnya
pada saat perusahaan meningkatkan
kapasitas produksi, produktivitas, dan
efisiensi perusahaan. Seperti halnya
dengan pusat desain dan pengembangan
prototipe, pada saat ini pengembangan
pusat ini juga tidak mendapat perhatian
dari pemerintah Indonesia.
121

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

3.5. Instrumen Intervensi


Pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa alih teknologi hasil penelitian
yang sebagian besar dibiayai pemerintah
tidak mungkin berkembang dengan baik,
karena sisi pengguna dan sisi penyedia
serta fungsi pendukung yang diperlukan
untuk memfasilitasi hubungan antara sisi
pengguna dan sisi penyedia, tidak cukup
siap mendorong alih teknologi. Pemerintah
harus mengintervensi keadaan tersebut
agar anggaran litbang pemerintah dapat
secara efektif meningkatkan PDB dan
memperkuat daya saing ekonomi nasional,
bahkan mendorong transformasi kegiatan
bisnis di Indonesia agar lebih berorientasi
pada pengembangan kemampuan inovasi.
Beberapa instrumen kebijakan sangat
diperlukan untuk mengintervensi keadaan
tersebut.
3.5.1. Legalitas Pemanfaatan Kekayaan
Intelektual Milik Pemerintah
Oleh karena hampir semua kegiatan
penelitian yang dilakukan pusat-pusat
litbang pemerintah di biayai melalui
anggaran pemerintah, hasil penelitian
pusat-pusat tersebut pada dasarnya
merupakan aset pemerintah. Oleh karena
itu legalitas pemanfaatan aset pemerintah
itu perlu diatur.
Saat ini telah ada peraturan perundangundangan yang mengatur pemilikan dan
alih teknologi hasil penelitian yang dibiayai
oleh pemerintah, yaitu: (a) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem
Nasional
Penelitian,
Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi; dan (b) Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Alih
Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil
Kegiatan Penelitian dan Pengembangan
122

oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga


Penelitian dan Pengembangan.
UU-18/2002 Pasal 16 menjabarkan prinsip
pengaturan alih teknologi sebagai berikut:
Pertama, perguruan tinggi dan lembaga
litbang wajib mengusahakan alih teknologi
kekayaan intelektual serta hasil kegiatan
penelitian dan pengembangan, yang
dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah
kepada badan usaha, pemerintah, atau
masyarakat, sejauh tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan peraturan
perundang-undangan;
Kedua, apabila sebagian biaya kegiatan
penelitian dan pengembangan tersebut
dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah
dan/atau pemerintah daerah, pengalihan
teknologi
dilaksanakan
berdasarkan
perjanjian yang telah diatur sebelumnya
dengan pihak lain tersebut; dan
Ketiga, perguruan tinggi dan lembaga
litbang pemerintah berhak menggunakan
pendapatan yang diperolehnya dari hasil
alih teknologi dan/atau pelayanan jasa
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengembangkan diri.
UU-18/2002
menyatakan
bahwa
pelaksanaan Pasal 16 tersebut harus diatur
lebih lanjut oleh peraturan pemerintah.
PP-20/2005 yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Pasal 16 UU-18/2002
antara lain mencakup sejumlah ketentuan
sebagai berikut:
Pertama, hasil litbang perguruan tinggi dan
lembaga litbang yang dibiayai sepenuhnya
oleh pemerintah/pemerintah daerah
merupakan kekayaan intelektual milik
pemerintah/ pemerintah daerah [Pasal 5
(1)];
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Kedua, hasil litbang perguruan tinggi dan


lembaga litbang yang dibiayai sebagian
oleh pemerintah/pemerintah daerah
dan sebagian oleh pihak lain merupakan
kekayaan intelektual milik pemerintah/
pemerintah daerah dan pihak lain yang
bersangkutan secara bersama, yang diatur
melalui perjanjian antara perguruan tinggi
dan lembaga litbang dengan pihak-pihak
yang membiayai sebagian kegiatan litbang
tersebut [Pasal 5 (2) & (3)];
Ketiga, pemilikan kekayaan intelektual
di atas tidak menghilangkan hak bagi
pelaksana kegiatan penelitian, perguruan
tinggi, dan lembaga litbang untuk
memperoleh pengakuan dan imbalan atas
kekayaan intelektual tersebut [Pasal 7];
Keempat, pengelolaan kekayaan intelektual
milik pemerintah/pemerintah daerah
dilimpahkan kepada perguruan tinggi dan
lembaga litbang, termasuk pengupayaan
untuk mendapatkan perlindungan hukum
atas kekayaan intelektual tersebut [Pasal
10 dan Pasal 11 (1)];
Kelima, alih teknologi kekayaan intelektual
dapat dilakukan secara komersial atau nonkomersial melalui mekanisme [Pasal 14 dan
Pasal 20] lisensi, kerjasama, pelayanan jasa
iptek atau publikasi;
Keenam, alih teknologi secara nonkomersial diarahkan untuk [Pasal 15]: (a)
mendorong penguasaan dan pemanfaatan
iptek yang diperlukan oleh masyarakat,
daerah, dan Negara; (b) mendorong
terciptanya temuan-temuan iptek yang
berguna bagi masyarakat, daerah, dan
Negara; serta (c) mendorong badan usaha
kecil dan menengah;
Ketujuh, penerima alih teknologi kekayaan
intelektual milik pemerintah/pemerintah

ISSN : 2252-911X

daerah diutamakan bagi mereka yang


bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta memiliki
kemampuan
untuk
memanfaatkan
kekayaan intelektual tersebut untuk
kepentingan masyarakat dan negara [Pasal
13]; dan
Kedelapan, dalam hal kekayaan intelektual
tersebut dimiliki bersama antara pihak
pemerintah atau pemerintah daerah
dengan pihak lain, maka masing-masing
pihak memiliki hak untuk [Pasal 9 (1) &
(2)]: (a) mendapatkan pemilikan kekayaan
intelektual tersebut sesuai dengan proporsi
kontribusi yang telah disepakati; (b)
mendapatkan prioritas memperoleh lisensi
atau menggunakannya untuk kepentingan
litbang: (c) mendapatkan imbalan atas
kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai
dengan proporsi kontribusi yang telah
disepakati; dan (d) memperoleh royalti atau
imbalan sesuai dengan proporsi kontribusi
yang telah disepakati apabila kekayaan
intelektual tersebut dimanfaatkan salah
satu pihak untuk keperluan komersial.
Kesembilan, walaupun pembiayaan alih
teknologi pada dasarnya dibebankan dan
menjadi tanggung jawab pihak penerima
kekayaan intelektual yang dimaksud,
pemerintah serta pihak-pihak lain dapat
pula membiayai atau ikut serta membiayai
alih teknologi [Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal
37];
Kesepuluh, perguruan tinggi dan lembaga
litbang pemerintah berhak menggunakan
pendapatan
alih
teknologi
untuk
mengembangkan diri [Pasal 38 dan Pasal
39]: (a) meningkatkan anggaran penelitian
dan pengembangan; (b) memberikan
insentif untuk meningkatkan motivasi
dan kemampuan invensi (c) memperkuat
123

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

kemampuan pengelolaan dan alih


teknologi; (d) melakukan investasi untuk
memperkuat sumber daya iptek; (e)
meningkatkan kualitas dan memperluas
jangkauan alih teknologi dan pelayanan
jasa iptek; dan (f) memperluas jaringan
kerja sama dengan lemabag-lembaga lain
yang berkaitan dengan tugas dan tanggung
jawabnya.
Kesebelas, perguruan tinggi dan lembaga
litbang wajib membentuk unit kerja yang
bertanggung jawab dan mempunyai
tugas melaksanakan pengelolaan dan alih
teknologi kekayaan intelektual, sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan oleh
perguruan tinggi dan lembaga litbang
[Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19].
Seperti halnya dengan Bayh-Dole Act, UU18/2002 dan PP-20/2005 memberikan
mandat dan mendorong perguruan tinggi
dan pusat litbang untuk menyelenggarakan
alih teknologi. Produk hukum ini tidak
mengatur apakah lisensi yang dimaksud
dapat diberikan secara eksklusif, demikian
pula dengan pemilikan ekuitas sebagai
imbalan alih teknologi melalui mekanisme
spin-off, namun pengaturan yang termuat
sudah cukup dan lengkap untuk dijadikan
landasan bagi pusat-pusat tersebut untuk
mengembangkan kebijakan dan fungsi
pengelolaan alih teknologi, termasuk
pembentukan unit kerja yang bertanggung
jawab dan mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan dan alih teknologi.
Kedua produk peraturan perundangundangan di atas merupakan instrumen
yang bersifat ekspilist, sehingga dapat secara
langsung mempengaruhi perkembangan
alih teknologi. Namun kedua produk
peraturan perundang-undangan tersebut
belum dapat dilaksanakan secara efektif
124

karena pada Pasal 39 sampai Pasal 47 diatur


berbagai hal yang terkait dengan tanggung
jawab dan pemanfaaatan pendapatan alih
teknologi, yang pelaksanaannya harus
ditentukan lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan, dan sampai saat ini pengaturan
tersebut belum diterbitkan.
3.5.2. Anggaran Iptek
Kebijakan ini juga merupakan instrumen
kebijakan yang bersifat eksplisit sehingga
akan secara langsung mempengaruhi
perkembangan iptek di Indonesia.
Walaupun di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang dan Pembangunan Jangka
Mengah pemerintah memberikan garis
besar tentang tujuan, lingkup, dan struktur
anggaran iptek, dalam kenyataannya
pelaksanaan panduan tersebut tidak
effektif.
Pertama,
panduan
tersebut
tidak
dijabarkan lebih lanjut ke dalam strategi
pembiayaan kegiatan iptek yang secara
komprehensif menjabarkan berbagai
fungsi perkembangan iptek dan keterkaitan
antar fungsi-fungsi itu, mengidentifikasi
permasalahan
yang
menghambat
perkembangan fungsi-fungsi tersebut dan
berbagai faktor yang mempengaruhinya,
serta prioritas pembiayaan pemerintah
untuk mengatasi permasalahan dan
mengkoreksi faktor-faktor tersebut.
Kedua, mekanisme penyusunan anggaran
dapat dikatakan bersifat bottom-up
sehingga dengan adanya kelemahan
di atas, pemanfaatan anggaran iptek
menjadi cenderung spread thin, sporadis
tanpa pola tertentu, karenanya tidak
menghasilkan daya dorong yang cukup
kuat untuk mempengaruhi perkembangan
sektor ekonomi.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Dalam menyusun strategi pembiayaan


kegiatan
iptek
tersebut,
perlu
dipertimbangkan sejumlah inisiatif yang
sangat mempengaruhi perkembangan
iptek, khususnya alih teknologi :
Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan
dan penelitian dasar di perguruan tinggi
yang merupakan fondasi perkembangan
kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. perguruan tinggi harus mampu
menyiapkan tenaga kerja dengan latar
belakang iptek dan memiliki kemampuan
litbang yang baik, menghasilkan berbagai
publikasi ilmiah yang bermutu, dan harus
mampu berfungsi sebagai simpul dalam
jaringan peneliti internasional untuk
mengikuti dan mengakses kemajuan ilmu
pengetahuan diberbagai negara.
Pengalaman di negara-negara maju,
menunjukkan bahwa banyak penelitian
dasar di perguruan tinggi dapat
dikembangkan menjadi berbagai inovasi
yang menghasilkan terobosan pasar dan
memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perkembangan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu
mengalokasikan anggaran yang memadai
untuk meningkatkan kualitas penelitian
dasar di perguruan tinggi, tidak hanya
untuk membiayai kegiatan mereka, namun
juga untuk meningkatkan kualitas sarana
penelitian yang dibutuhkan.
Sebaiknya
pengalokasian
anggaran
dilakukan melalui mekanisme kompetisi
dengan proses seleksi yang ketat. Walaupun
demikian, mekanime pengusulannya harus
bersifat bottom-up, agar tidak membatasi
kebebasan akademis yang merupakan pilar
penting bagi perkembangan perguruan
tinggi.

ISSN : 2252-911X

Hal ini tidak dapat dirasakan dalam jangka


pendek, namun perlu diterapkan secara
sungguh-sungguh karena: (a) kualitas
tenaga kerja yang dihasilkan secara
bertahap namun pasti akan mempengaruhi
orientasi dan kemajuan semua bidang
pembangunan, khususnya iptek; dan (b)
kualitas kemampuan dan hasil penelitian
lembaga ini tidak hanya memungkinkan
lembaga ini meningkatkan kerjasama
ilmiah dengan institusi ilmiah internasional,
namun dapat pula menjadi daya tarik bagi
perusahaan internasional untuk melakukan
investasi litbang di Indonesia.
Kedua, memposisikan lembaga litbang
pemerintah sebagai pemasok teknologi
agar kualitas dan daya saing kegiatan
ekonomi di Indonesia dapat ditingkatkan.
Alokasi anggaran bagi lembaga ini perlu
distrukturkan sedemikian rupa agar terjadi
keseimbangan yang baik antara pembiayaan
penelitian dan pembiayaan alih teknologi,
termasuk untuk pembentukan unit kerja
yang bertanggung jawab dan mempunyai
tugas melaksanakan pengelolaan dan alih
teknologi kekayaan intelektual (Pusat Alih
Teknologi) sebagaimana dimaksud dalam
PP-20/2005.
Kinerja mereka sebaiknya tidak hanya diukur
berdasarkan publikasi ilmiah dan paten
yang dihasilkan, namun juga berdasarkan
keberhasilan melaksanakan alih teknologi
hasil penelitian mereka ke sektor ekonomi.
Lembaga tersebut juga harus dipacu
untuk memperbesar pendapatan alih
teknologi agar keterbatasan anggaran
pemerintah tidak menjadi bottle-neck
perkembangannya.
Ketiga, menstimulasi kerjasama litbang
antara perguruan tinggi dan lembaga
litbang dengan perusahaan. Kerjasama ini
125

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

sangat diperlukan untuk menumbuhkan


kemampuan inovasi, karena: (a) kerja sama
itu akan mengekspos perguruan tinggi dan
lembaga litbang terhadap permasalahan
yang dihadapi perusahaan, dan dilain
pihak (b) kerjasama tersebut dapat
mempengaruhi pandangan perusahaan
terhadap nilai hasil kegiatan penelitian.
Pada saat ini, perusahaan kurang berminat
membiayai kerja sama dengan perguruan
tinggi dan lembaga litbang, sementara
itu dengan keterbatasan anggaran sukar
diharapkan lembaga litbang bersedia
mengalokasikan sebagian anggaran mereka
untuk membiayai kerjasama itu.
Ketersediaan anggaran pemerintah yang
khusus dialokasikan untuk membiayai
kerjasama penelitian antara lembaga
litbang dengan perusahaan sangat
diperlukan untuk mengatasi hambatan
tersebut. Seperti halnya dengan anggaran
untuk penelitian dasar di perguruan tinggi,
pengalokasian anggaran ini sebaiknya
dilakukan secara kompetitif dengan menitik
beratkan dampak tekno-ekonomi yang
dihasilkan.
Keempat, untuk mengatasi stagnasi alih
teknologi, pemerintah perlu menyediakan
anggaran untuk membiayai pelaksanaan
tahapan alih teknologi. Pada kondisi
sekarang, pembiayaan tersebut setidaktidaknya perlu mencakup tahap-tahap
articulate commercial prospect, validate
techno-economic feasibility, dan develop
prototype. Dua tahapan pertama masih
perlu dibiayai sepenuhnya pemerintah.
Untuk menjamin efektivitas anggaran
ini, pengalokasiannya harus diterapkan
secara kompetitif dengan menitik beratkan
dampak
tekno-ekonomi.
Sedangkan

126

untuk pembiayaan tahap pengembangan


prototipe dapat diterapkan mekanisme
dana pendamping dan dapat dikaitkan
dengan pembiayaan kerjasama antara
perguruan tinggi, lembaga litbang, dan
perusahaan. Sedangkan untuk keperluan
pembentukan
perusahaan
spin-off
pembiayaan dapat disalurkan melalui
perusahaan modal ventura.
Kelima, investasi pengembangan pusat
desain dan pengembangan prototipe dan
pusat sangat diperlukan, sehingga pantas
mendapatkan tingkat prioritas yang tinggi.
Sebenarnya berbagai pusat di PUSPIPTEK
telah memiliki sebagian dari fasilitas dan
tenaga ahli yang diperlukan.
Dengan dorongan pembiayaan pemerintah,
PUSPIPTEK dapat membangun kedua
pusat tersebut. Pengalokasian anggaran
ini juga perlu diterapkan secara kompetitif
dengan memperhatikan kesiapan lembaga
pengusul mempersiapkan pusat-pusat
tersebut. Usulan yang didukung lebih dari
satu lembaga perlu diutamakan agar terjadi
sinergi antar lembaga-lembaga tersebut.
Keenam, mendorong perusahaan modal
ventura membiayai alih teknologi.
Sesungguhnya peran perusahaan modal
ventura sebagai fungsi pendukung
pembentukan
dan
pengembangan
perusahaan spin-off sangat penting. Oleh
karena itu, pemerintah perlu memberikan
insentif agar mereka mulai melihat alih
teknologi sebagai objek investasi yang
prospektif.
Dalam hal ini pemerintah dapat
menyediakan pendanaan yang dapat
dipergunakan perusahaan modal ventura
sebagai seed capital.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

3.5.3. Instrumen Perpajakan


Seperti juga telah dibahas, alih
teknologi juga dipengaruhi kemampuan
inovasi
perusahaan
karena
yang
mentransformasikan
hasil
penelitian
menjadi inovasi (teknologi atau produk
memiliki nilai komersial) adalah perusahaan
dan tanpa kemampuan ini akan sulit bagi
perusahaan mentransformasikan hasil
penelitian.
Oleh karena itu, banyak negara yang
menerapkan berbagai instrumen kebijakan
untuk mendorong perusahaan melakukan
litbang. Penerapan insentif perpajakan
telah terbukti sangat efektif di berbagai
negara apabila insentif tersebut cukup
signifikan dan tidak memerlukan berbagai
birokrasi yang rumit.
Pemerintah Australia, Kanada, Singapura
dan Malaysia, tidak hanya memberikan
insentif perpajakan yang menarik, namun
juga mengkomunikasikan insentif tersebut
secara ekstensif. Karena instrumen ini
juga secara langsung diarahkan untuk
menstimulasi investasi litbang, maka dapat
dikelompokkan sebagai instrumen eksplisit.
Australia membedakan perusahaan dalam
tiga kelompok, yaitu perusahaan besar
nasional, perusahaan kecil menengah, dan
perusahaan asing dengan menerapkan
tax deduction (pengurangan terhadap
pendapatan kena pajak) yang berbedabeda. Kanada membedakan dalam 2
kelompok yaitu perusahaan besar dan
asing serta perusahaan kecil menengah.
Insentif perpajakan yang diterapkan
adalah tax credit (pengurangan terhadap
pajak yang harus dibayarkan) baik yang
bersifat refundable atau non-refundable.
Singapura menerapkan tax deduction bagi

ISSN : 2252-911X

dua kelompok, yaitu perusahaan besar


dan kecil tanpa membedakan kepemilikan.
Perbedaannya, bagi perusahaan besar
pengurangan tersebut dihitung berdasarkan
biaya litbang yang dikeluarkan sedangkan
bagi perusahaan kecil menengah terhadap
pendapatan kena pajak.
Singapura juga memberikan insentif
yang menarik bagi perusahaan start-up
yang merugi untuk periode 3 tahun sejak
didirikan. Sedangkan Malaysia menerapkan
tax deduction yang agresif, khususnya bagi
perusahaan yang mendapatkan status
pionir karena mengkomersialisasikan hasil
penelitian yang dibiayai pemerintah.
Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat,
baik negara berkembang maupun negara
maju, memberikan insentif perpajakan
yang sangat menarik bagi perusahaan
nasional, juga perusahaan asing agar
mereka mau melakukan litbang. Ilustrasi
besarnya subsidi yang diterima perusahaan
melalui insentif perpajakan untuk setiap
dolar biaya R&D yang dikeluarkan dapat
dilihat di Gambar 7.

Gambar 7. Tax Subsidy per $1 of R&D


(OECD, 2007).

127

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Negara-negara tersebut menerapkan


insentif perpajakan tidak hanya untuk
menstimulasi perusahaan melakukan
litbang agar kemampuan inovasi dan
daya saingnya meningkat sehingga akan
memperkuat pertumbuhan ekonomi,
namun juga untuk memastikan transformasi
menuju knowledge base society agar
berjalan efektif.
Pemerintah
perlu
mempelajari
kemungkinan mengembangkan insentif
perpajakan yang cukup agresif apabila
Indonesia tidak ingin tertinggal semakin
jauh.
3.6. Faktor Pasar
Pasar merupakan faktor yang sangat penting
bagi perkembangan kemampuan inovasi
yang pada akhirnya akan mempengaruhi
alih teknologi dari perguruan tinggi dan
lembaga litbang. Sejumlah faktor pasar
yang hampir pasti akan menghambat
inovasi, antara lain:

Ketiga, switching costs Faktor ini terkait


dengan biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan untuk berpindah dari suatu
teknologi ke teknologi lain. Biaya ini
dapat berbentuk penggantian peralatan,
investasi sistem dan sarana produksi, atau
pembentukan keahlian yang diperlukan
untuk memproduksi teknologi baru.
Keputusan perusahaan untuk mengadopsi
suatu hasil litbang sangat dipengaruhi oleh
perimbangan antara ekspektasi keuntungan
yang mungkin diperoleh dengan switching
costs yang harus dikeluarkan. Apabila untuk
menerapkan hasil penelitian tersebut
perusahaan harus mengeluarkan switching
costs yang besar sedangkan ekspektasi
keuntungan yang mungkin diperoleh tidak
terlalu signifikan, dapat dipastikan mereka
tidak akan tertarik pada hasil penelitian itu.

Pertama, Greshams law Apabila pembeli


tidak memperoleh informasi untuk
membandingkan nilai dan harga suatu
produk, produk yang memiliki superioritas
teknologi tidak mampu menyaingi produk
yang memiliki harga lebih murah walaupun
berkualitas rendah;

Keempat, network externality Faktor ini


terkait dengan keadaan dimana pengguna
suatu teknologi memperoleh manfaat lebih
apabila teknologi tersebut dipergunakan
secara luas. Fenomena ini juga akan
mempengaruhi keputusan pengguna
teknologi untuk berpindah ke teknologi
lain. Fenomena ini menjelaskan mengapa
posisi pasar PC-Windows yang telah
dipergunakan secara luas sukar digoyahkan
teknologi lain yang lebih superior.

Kedua, barrier to entry Apabila hambatan


untuk memasuki pasar besar misalnya
struktur pasar bersifat oligopoli karena
dikuasai sejumlah perusahaan besar,
akan sangat sukar bagi perusahaan
spin-off mempenetrasi pasar. Dengan
demikian inovasi sangat tergantung pada
perusahaan-perusahaan yang telah berada
di pasar. Apabila mereka tidak melakukan
inovasi, perkembangan inovasi pasti
terhambat.

Kelima, market focus Suatu inovasi yang


berhasil memperoleh respon pasar yang
signifikan pada umumnya akan mendorong
berbagai inovasi lain, baik yang merupakan
penyempurnaan atau perluasan aplikasi
untuk berbagai keperluan. Apabila
perkembangan inovasi tersebut sangat
beragam dan tidak membentuk fokus
pasar yang baik, skala ekonomi yang cukup
besar sukar terbentuk dan tingkat harga
teknologi tersebut sukar ditekan sehingga

128

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

perkembangan pasar inovasi tersebut


menjadi lambat.
Memang dalam mengembangkan kebijakan
pasar, pemerintah harus sangat berhatihati agar tidak mendistorsi persaingan
atau faktor-faktor pasar lain yang justru
merugikan perkembangan ekonomi secara
menyeluruh.
Namun tentunya banyak instrumen
kebijakan yang cukup aman diterapkan
pada saat ini seperti beberapa contoh di
bawah ini:
Apabila struktur pasar memang secara
natural bersifat oligopoli karena untuk
bertahan perusahaan harus memiliki skala
ekonomi yang besar seperti halnya di
industri telekomunikasi atau penerbangan,
pemerintah perlu mendorong agar
perusahaan
perusahaan
tersebut
mengembangkan kemampuan inovasi misalnya dengan menyediakan insentif
perpajakan yang menarik bagi pembiayaan
penelitian dan pengembangan. Dengan
demikian perkembangan industri semacam
ini akan semakin sehat dan kebutuhan
perusahaan-perusahaan di dalamnya
terhadap hasil penelitian perguruan tinggi
dan lembaga litbang juga akan meningkat
pula.
Walaupun
jarang
mendapatkan
perhatian para penyusun kebijakan
iptek,
standardisasi
mempengaruhi
perkembangan
inovasi
dan
difusi
teknologi. Standardisasi adalah suatu
proses dimana pihak-pihak yang memiliki
kepentingan berbeda dan bahkan bersaing
satu dan lainnya, menyepakati persyaratan
teknis suatu produk atau teknologi yang
terkait dengan kepentingan mereka.
Seperti telah dibahas, difusi suatu inovasi

ISSN : 2252-911X

dipengaruhi switching costs dan network


externality. Apabila kedua fenomena
pasar ini berinteraksi, pasar akan terkunci
(lock-in) pada teknologi/produk tertentu.
Standardisasi, baik pada tingkat nasional
maupun internasional dapat mengurangi
permasalahan ini.
Permasalahan yang paling umum terjadi
dan menghambat penetrasi pasar suatu
inovasi, khususnya yang dilakukan
perusahaan spin-off, karena mereka
belum memiliki jaringan pemasaran
yang kuat. Apabila pasar atau segmen
pasar yang cukup besar menghargai nilai
suatu inovasi dan bersedia membayar
walaupun harganya relatif mahal, potensi
keberhasilan inovasi akan lebih besar.
Sebagai contoh, berbagai inovasi pada
pesawat telefon selular dapat dengan
cepat mempenetrasi pasar Indonesia,
karena ada segmen yang cukup besar yang
bersedia membayar harga tinggi untuk fitur
inovatif yang ditawarkan produsen Nokia,
Samsung, atau Blackberry. Dan karena
struktur pasarnya mendekati kompetisi
yang sempurna, kesempatan itu dapat
dimanfaatkan Nexian suatu perusahaan
papan bawah untuk menjadi follower yang
sukses.
Dalam hal ini sebenarnya pemerintah
dapat membantu perusahaan spin-off
mengintroduksi produk mereka karena
pemerintah memiliki segmen pasar yang
besar. Setelah masyarakat memahami nilai
dari produk tersebut, perusahaan dapat
melakukan penetrasi segmen pasar yang
lain. Namun instrumen ini perlu diterapkan
secara hati-hati agar tidak merugikan
pemerintah dan mendistorsi persaingan
pasar.

129

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

4. Alih Teknologi di PUSPIPTEK


Permasalahan alih teknologi pusat-pusat
di lingkungan PUSPIPTEK terkait dengan:
(a) kesiapan PUSPIPTEK dan (b) minat dan
kesiapan pelaku bisnis melaksanakan alih
teknologi. Karena tantangan utamanya
adalah meningkatkan dampak ekonomi
pembiayaan litbang pemerintah, maka yang
harus dibuktikan bukan berapa banyak uang
yang dapat diterima pusat-pusat PUSPIPTEK
dari transaksi alih teknologi, melainkan
berapa banyak dan berapa besar kegiatan
ekonomi yang dapat dibentuk. Dengan
demikian, pengertian kesiapan PUSPIPTEK
harus diartikan kemampuan menarik
minat dan memberikan dukungan bagi
pelaku bisnis apapun tingkat kemampuan
mereka saat ini, dan berapapun kecilnya
kemungkinan berhasil. Selanjutnya akan di
bahas berbagai faktor penting yang terkait
dengan permasalahan tersebut.
4.1. Kebijakan Alih Teknologi PUSPIPTEK
Alih teknologi di PUSPIPTEK melibatkan
kepentingan pusat-pusat yang memiliki
hasil
penelitian,
perusahaan
yang
memanfaatkan hasil litbang, perusahaan
produsen atau spin-off, serta investor yang
menyediakan permodalan alih teknologi.
Oleh karena itu, harus ada kebijakan
pemerintah yang dapat menjembatani
kepentingan-kepentingan ini.
Kebijakan yang diperlukan adalah yang
terkait dengan keperluan pusat-pusat dan
para peneliti mempersiapkan alih teknologi.
Aspek ini antara lain mencakup: (a) legalitas
alih teknologi; (b) pendanaan khususnya
untuk
mengkapitalisasi
pelaksanaan
tahap-tahap awal proses alih teknologi;
(c) mobilisasi tenaga ahli yang diperlukan
untuk mengevaluasi nilai komersial hasil

130

penelitian mereka; dan (d) pengurusan


paten hasil penelitian atau teknologi yang
dikembangkan dari hasil penelitian.
Di pihak lain, kebijakan dan fungsi tersebut
terkait pembentukan hubungan bisnis
dengan perusahaan yang diharapkan
mau mengadopsi hasil penelitian, atau
yang mungkin memodali perusahaan
spin-off. Aspek ini antara lain mencakup:
(a) legalitas dan akuntabilitas transaksi
alih teknologi; (b) dukungan dan insentif
untuk mempersiapkan komersialisasi hasil
penelitian; (c) dan khusus bagi perusahaan
spin-off, permodalan untuk pengembangan
usaha.
4.1.1. Legalitas Alih Teknologi
Baik bagi lembaga litbang dan pelaku bisnis,
legalitas alih teknologi hasil penelitian yang
dibiayai pemerintah sebagaimana telah
diatur dalam UU-18/2002 dan PP-20/2005,
sangat penting agar pemanfaatan aset
pemerintah tersebut tidak menimbulkan
permasalahan hukum. Legalitas tersebut
juga merupakan faktor yang sangat penting
bagi kepastian investasi pelaku bisnis.
Namun sebagaimana telah dibahas, UU18/2002 dan PP-20/2005 hanya dapat
diterapkan secara efektif apabila Menteri
Keuangan telah menerbitkan peraturan
tentang
perencanaan,
pengelolaan,
dan pelaporan alih teknologi yang
merupakan tangung jawab lembaga
litbang. Pengaturan pelaksanaan itu perlu
pula mempertimbangkan bahwa proses
alih teknologi harus dilaksanakan dalam
sejumlah tahapan yang mengandung
ketidakpastian keberhasilan yang tinggi.
Pelaksanaannya
memerlukan
proses
pembentukkan saling kepercayaan antar
pihak-pihak terlibat yang tidak mudah

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

dan memerlukan interaksi yang ekstensif.


Prosedur pelaksanaan yang terlalu kaku,
apalagi mempersyaratkan proses formal
yang tidak sesuai dengan tahapan alih
teknologi, akan sangat menghambat
pelaksanaan alih teknologi.
Permasalahan lain yang terkait dengan
legalitas alih teknologi adalah keterlibatan
peneliti dalam perusahaan spin-off.
Perkembangan perusahaan spin-off sangat
diperlukan bagi ekonomi nasional karena
di samping dapat meningkatkan daya
guna hasil penelitian, perusahaan itu akan
memperkuat kelompok perusahaan dan
wirausaha yang inovatif.
Kemungkinan
perusahaan
spin-off
mengalami kegagalan pada umumnya
besar sehingga tidak banyak peneliti
yang bersedia mempertaruhkan karier
mereka
untuk
mencoba
menjadi
entrepreneur. Oleh karena itu, diperlukan
peraturan kepegawaian pemerintah yang
memungkinkan mereka mendapatkan
cuti panjang untuk mengembangkan
perusahaan spin-off tanpa takut kehilangan
status kepegawaian.
Sebenarnya,
peraturan
kepegawaian
pemerintah telah memiliki aturan cuti
diluar tanggungan negara yang dapat
dipergunakan sebagai dasar. Namun
agar sesuai dengan keperluan alih
teknologi sejumlah pengaturan yang
dapat mengurangi risiko peneliti tersebut
sangat diperlukan, seperti halnya dengan
kepastian status kepegawaian, masa kerja,
kenaikan pangkat reguler, serta pendapatan
pada masa cuti tersebut.
4.1.2. Kelembagaan Alih Teknologi
Untuk memfasilitasi alih teknologi perlu
dikembangkan instrumen kelembagaan

ISSN : 2252-911X

sebagai berikut: (a) Pusat Alih Teknologi


yaitu unit kerja yang bertanggung jawab
dan mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan dan alih teknologi kekayaan
intelektual sebagaimana dipersyaratkan
PP-20/2005; (b) Pusat Desain dan
Pengembangan Prototipe; dan (c) Pusat
Produktivitas sebagaimana telah dibahas
terdahulu.
4.1.2.1. Pusat Alih Teknologi
Interaksi antara penyedia, pengguna, dan
investor yang melibatkan berbagai bidang
keahlian memerlukan koordinasi yang baik.
Keberadaan unit kerja yang bertanggung
jawab dan mempunyai tugas memfasilitasi
alih teknologi sangat diperlukan. Tanpa
unit kerja tersebut, pelaksanaan tahapan
alih teknologi tidak akan terorganisir secara
rapih, dan seringkali menyebabkan pihakpihak yang terkait mengalami frustasi.
Perlu diingat bahwa pusat-pusat litbang
di lingkungan PUSPIPTEK memiliki induk
organisasi yang berbeda-beda. Sesuai
dengan UU-18/2002 dan PP-20/2005
yang diberikan mandat oleh pemerintah
untuk mengelola, melaksanakan, dan
memanfaatkan pendapatan alih teknologi,
adalah lembaga pelaksana penelitian, yang
dalam konteks ini adalah induk organisasi
pusat-pusat litbang tersebut. Dengan
demikian pilihannya adalah apakah unit
kerja tersebut dibentuk di lingkungan
PUSPIPTEK atau di lingkungan induk
organisasi masing-masing.
Pilihan tersebut perlu dikembalikan pada
tujuan pembentukan PUSPIPTEK sesuai
dengan visi dari para pemarkasanya. Prof.
Dr. Sumitro Djojohadikusumo memprakasai
pembangunan PUSPIPTEK dengan tujuan
agar pusat-pusat litbang yang ada di
lingkungan beberapa lembaga pemerintah
131

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

non kementerian dapat dipindahkan


ke suatu kawasan, sehingga pusatpusat tersebut dengan kelangsungan
identitasnya
masing-masing
dapat
secara bersama-sama dan bersinergi
membentuk kemampuan penelitian,
ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk
mendukung
pelaksanaan
Program
Pembangunan Nasional.
Tujuan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie
memasukkan industri teknologi tinggi
dan pendidikan tinggi sebagai elemen
dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK
adalah agar terbentuk interaksi dan kerja
sama antara unsur-unsur sistem inovasi
nasional, sehingga sebagai suatu kesatuan
sistem dapat berkembang secara pesat
melalui sejumlah tahapan transformasi.
Keberadaan unit kerja alih teknologi
dapat merupakan salah satu bentuk
ikatan yang memperkuat interaksi dan
sinergi yang dimaksud para pemarkasa
PUSPIPTEK. Apabila kebijakan dan unit
kerja yang dimaksud dibentuk lembaga
induk masing-masing dari pusat-pusat
tersebut, akan terbentuk silo-silo sehingga
keberadaan pusat-pusat tersebut dalam
suatu kawasan tidak akan meningkatkan
interaksi dan sinergi antar mereka.
Dengan pertimbangan tersebut, unit
kerja alih teknologi harus dibentuk di
lingkungan PUSPIPTEK. Oleh karena itu,
salah satu pokok kebijakan yang dimaksud
adalah pembentukan Pusat Alih Teknologi
dengan tugas pokok memfasilitasi dan
mendukung alih teknologi hasil penelitian
pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK.
Namun, pilihan ini hanya akan berjalan
secara efektif apabila mendapatkan
dukungan dari setiap organisasi induk dari
pusat-pusat tersebut.
132

Pusat ini harus mampu memberikan


nilai tambah yang cukup signifikan bagi
pusat-pusat di lingkungan PUSPIPTEK dan
organisasi induknya. Peran Kementerian
Riset dan Teknologi untuk menggalang
dukungan
dan
mengkoordinasikan
pelaksanaannya juga sangat diperlukan.
Agar Pusat ini dapat memberikan nilai
tambah yang signifikan, beberapa fungsi
di bawah harus mampu dilaksanakan (a)
membangun kerja sama dengan organisasi
induk dari pusat-pusat penelitian di
PUSPIPTEK untuk memastikan legalitas
proses alih teknologi yang dilaksanakan
sesuai dengan UU-18/2002 dan PP20/2005; (b) meneliti pasar teknologi dan
mengevaluasi prospek hasil penelitian
untuk dipatenkan dan dikomersialkan;
(c) mengembangkan dan memelihara
hubungan
dengan
pelaku
bisnis,
baik produsen maupun investor; (d)
memfasilitasi pelaksanaan tahapan alih
teknologi, termasuk aplikasi paten hasil
penelitian yang potensial serta penyediaan
pembiayaan dan tenaga profesional yang
diperlukan; (e) mengkomunikasikan dan
mempromosikan prospek komersial
hasil litbang serta melakukan valuasi
untuk memperkirakan nilai hasil litbang
tersebut; (f) memfasilitasi negosiasi
dan transaksi antara organisasi induk
pusat-pusat
PUSPIPTEK
dengan
perusahaan produsen, spin-off, dan
investor;
(g)
mengkoordinasikan
dukungan jasa teknologi yang diperlukan
untuk
mengembangkan
prototipe
dan mempersiapkan produksi; (h)
memfasilitasi pengelolaan perjanjian
alih teknologi, termasuk pemantauan
pelaksanaan
alih
teknologi
dan
pendapatan lisensi; dan (i) memfasilitasi
pemenuhan semua ketentuan yang
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

ditetapkan dalam UU-18/2002 dan PP20/2005.


Untuk membiayai semua fungsi di atas
diperlukan
dukungan
pembiayaan
pemerintah. Di samping itu, pusat ini perlu
mendapatkan bagian dari pendapatan
alih teknologi yang diperoleh pusatpusat litbang di lingkungan PUSPIPTEK
dan organisasi induk mereka, baik dalam
bentuk prosentasi hasil lisensi atau dalam
bentuk success fee. Untuk berhasil, Pusat
Alih Teknologi perlu mengembangkan
strategi
untuk
memfokuskan
pengembangan organisasi tersebut agar
tidak tersebar kesegala arah.
Uraian elemen strategi yang perlu
dikembangkan adalah arena, vehicles,
differentiators, dan stages (Gambar 8).
Langkah pertama adalah penentuan arena
yang menggambarkan fokus alih teknologi
yang akan ditangani. Mengingat kondisi
pasar pada setiap industri berbeda-

beda, pada tahap awal sebaiknya arena


yang akan ditangani tidak terlalu luas
sehingga pembentukkan kompetensi
dapat difokuskan dan keterbatasan
dana serta sumber daya lain dapat
dimanfaatkan seefektif mungkin. Sektor
industri yang dipilih sebaiknya relatif
terbuka untuk penetrasi inovasi dan
memiliki pasar yang cukup besar sehingga
dampak ekonomi yang terbentuk cukup
signifikan. Sektor industri yang struktur
pasarnya monopolistik tidak mudah
dipenetrasi karena pasar inovasi hanya
terbatas pada beberapa perusahaan
dan prospek perusahaan spin-off sangat
kecil atau bahkan tidak ada. Sebaliknya,
apabila struktur pasar bersifat persaingan
sempurna, juga tidak terlalu prospektif
karena skala ekonomi pelaku pasar
pada kondisi pasar yang demikian pada
umumnya kecil, sehingga kurang mampu
membiayai dan menangani komersialisasi
hasil litbang.

Gambar 8. Strategi Pusat Alih Teknologi (Hambrick dan Frederickson, 2001)


ISSN : 2252-911X

133

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Demikian pula, kompetensi pusat litbang


di PUSPIPTEK untuk menghasilkan
teknologi yang unggul harus merupakan
faktor yang dipertimbangkan dalam
pemilihan target industri. Gambar 9
menunjukkan salah satu metoda untuk
menganalisis arena alih teknologi. Bila
prospek pasar menjanjikan dan PUSPIPTEK
memiliki keunggulan yang kuat, sebaiknya
sektor industri tersebut dipilih sebagai
arena yang akan dikapitalisasi Pusat Alih
Teknologi. Apabila PUSPIPTEK memiliki
kompetensi yang unggul sedangkan
prospek pasarnya tidak baik, perlu
dicarikan aplikasi pada sektor industri lain
yang memiliki pasar yang lebih prospektif.
Demikian pula, apabila prospek pasar
baik, sedangkan kompetensi PUSPIPTEK
tidak terlalu kuat, prospek tersebut perlu
dikomunikasikan kepada pusat litbang
terkait untuk memperbaiki kualitas litbang
mereka. Sedangkan apabila prospek pasar
tidak baik dan PUSPIPTEK tidak memiliki
kompetensi yang kuat, sebaiknya sektor
industri tersebut tidak dipilih. Pada
tahap awal sebaiknya fokus alih teknologi
diutamakan bagi hasil penelitian yang
relatif siap dikomersialkan dan memiliki
keunggulan yang prospektif.
Setelah arena ditentukan, langkah
berikutnya
adalah
menentukan
pendekatan
untuk
mengembangkan
kemampuan alih teknologi. Memang
pada akhirnya kemampuan internal untuk
menyelenggarakan alih teknologi harus
dibangun, namun perlu diingat bahwa
kompetensi yang diperlukan adalah
menjembatani perspektif penelitian dan
bisnis.

134

Gambar 9. Analsis Arena Alih Teknologi


Untuk
mengembangkan
kompetensi
yang memenuhi kebutuhan perspektif
bisnis, akan terlalu lama apabila hanya
mengandalkan tenaga ahli internal, oleh
karena itu dalam strategi Pusat Alih
Teknologi PUSPIPTEK, harus ditentukan
wahana agar organisasi dapat sesegera
mungkin memfasilitasi alih teknologi
secara profesional, apakah dengan
merekrut tenaga ahli eksternal yang telah
berpengalaman menangani investasi di
sektor swasta, atau mengembangkan
aliansi dengan perusahaan konsultan yang
telah dikenal di dunia bisnis.
Elemen differentiators tidak kalah
pentingnya, karena pusat alih teknologi
harus membentuk citra yang berbeda
dari organisasi pemerintah lain yang pada
perspektif pelaku bisnis memiliki sistem
birokrasi yang rumit - berliku-liku, dan
bahkan dirasakan sebagai ketidakpastian
apabila terkait dengan investasi. Citra yang
harus dibentuk adalah suatu organisasi
profesional yang memahami perspektif

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

bisnis serta dapat diandalkan dan akuntabel.


Hanya dengan demikian, pusat ini dapat
mengembangkan jaringan kerjasama
dengan produsen dan perusahaan modal
ventura.
Elemen lain yang juga sangat penting
adalah menentukan berbagai inisiatif yang
saling berkaitan untuk mengembangkan
diri sebagai fasilitator alih teknologi, serta
tahapan pengembangannya. Penetapan
inisiatif dan tahapan tersebut tentu sangat
dipengaruhi pilihan arena dan wahana
sebagaimana
diuraikan
sebelumnya.
Namun pada dasarnya ada sejumlah
langkah yang harus dilakukan untuk
menjembatani dunia penelitian dan dunia
bisnis:
Pertama, membakukan kerja sama dengan
organisasi induk pusat-pusat PUSPIPTEK,
termasuk menyepakati berbagai ramburambu yang terkait dengan pemanfaatan
dan alih teknologi hasil penelitian organisasi
tersebut serta pendapatan alih teknologi
yang dihasilkan;
Kedua, mengembangkan kriteria dan
prosedur serta membentuk komite untuk
menentukan hasil penelitian yang akan
dikapitalisasi komersialisasinya;
Ketiga,
memfasilitasi
pelaksanaan
tahap pertama dan kedua alih teknologi
serta mempersiapkan informasi untuk
mengkomunikasikan
prospek
teknoekonomi hasil penelitian kepada produsen
atau investor;
Keempat, membentuk jaringan dan forum
komunkasi dengan para pelaku bisnis; dan
Kelima, mengembangkan model bisnis dan
model operasi transaksi alih teknologi,
termasuk mendapatkan dukungan jasa

ISSN : 2252-911X

teknologi untuk mempersiapkan prototipe


dan sistem produksi. Pada akhirnya semua
elemen strategi tersebut harus dituangkan
kedalam rencana bisnis dan model finansial
yang solid. Walaupun motif utama pusat ini
seharusnya bukanlah uang melainkan lebih
pada dampak ekonomi kegiatan litbang,
namun untuk melaksanakan semua
kegiatan pada setiap tahapan alih teknologi
pusat ini harus memiliki anggaran yang
cukup, baik dari pemerintah maupun dari
pendapatan alih teknologi.
4.1.2.2. Pusat Desain dan Pengembangan
Prototipe dan Pusat Produktivitas
Sebenarnya
PUSPIPTEK
memiliki
sebagian besar sarana dan tenaga ahli
untuk mengembangkan kedua pusat ini.
Namun sarana dan tenaga ahli tersebut
tersebar di sejumlah pusat dan PUSPIPTEK
tidak memiliki fungsi atau organisasi
yang diperlukan untuk merajut sumber
daya tersebut menjadi jasa desain dan
pengembangan prototipe produk dan
jasa produktivitas sistem produksi. Untuk
keperluan tersebut di PUSPIPTEK perlu
dikembangkan front-office sumber daya
tersebut, agar dapat diintegrasikan untuk
membentuk jasa tersebut.
Fungsi front-office yang dimaksud,
mencakup sejumlah fungsi sebagai berikut:
(a) Prototype Design untuk menterjemahkan
ide dan karakteristik produk yang
diajukan perusahaan pengadopsi hasil
litbang ke dalam desain produk dengan
mempertimbangkan input dari fungsi di
bawahnya; (b) Production Assessment
untuk menterjemahkan desain produk ke
dalam berbagai faktor produksi seperti
aliran proses, efisiensi, dan biaya produksi.
Fungsi ini juga memberikan umpan balik
kepada fungsi di atas agar diperoleh desain
135

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

yang dapat diproduksi dengan kualitas


dan biaya sebaik mungkin; (c) Prototype
Development untuk merealisir desain di
atas menjadi prototipe produk. Fungsi ini
juga akan memvalidasi berbagai aspek yang
terkait dengan produk dan proses produksi,
serta memberi umpan balik kepada kedua
fungsi di atas; dan (d) Performance Testing
untuk menguji karakteristik prototipe itu
untuk memastikan kesesuaiannya dengan
karakteristik yang diajukan perusahaan
(Gambar 10).

Gambar 10. Fungsi Front Office


Oleh karena pelaksanaan fungsi di atas
menggunakan sarana dan tenaga ahli
yang dimiliki pusat-pusat litbang di
lingkungan PUSPIPTEK, front-office harus
memiliki payung kerja-sama dengan
pusat-pusat tersebut untuk memastikan
komitmen manajemen pusat-pusat itu
mendapatkan alokasi sumber daya dan
mengkoordinasikan semua kegiatan yang
diperlukan.

136

4.2. Pembiayaan Alih Teknologi


Sebagaimana dibahas pada bagian
terdahulu, pembiayaan alih teknologi
merupakan faktor yang krusial baik yang
terkait dengan pelaksanaan tahap-tahap
awal alih teknologi maupun dengan
permodalan bagi perusahaan spin-off.
4.2.1. Pembiayaan tahap awal proses alih
teknologi
Pada umumnya para pelaku bisnis tidak
tertarik membiayai tahap-tahap awal
proses alih teknologi dimana prospek
suatu hasil litbang dikomersialisasikan
masih harus di artikulasikan dan divalidasi.
Setelah mereka yakin tentang prospek
komersial dari suatu hasil litbang, mereka
mungkin tertarik terlibat dan membiayai
tahap pengembangan protipe dan tahap
pemasaran produk yang dihasilkan kepasar.
Pembiayaan tahapan awal proses alih
teknologi perlu disediakan Pusat Alih
Teknologi PUSPIPTEK, baik yang diperoleh
melalui anggaran pemerintah maupun
pendapatan alih teknologi. Kemungkinan
untuk
mendapatkan
pembiayaan
pemerintah cukup besar, karena hingga
saat ini pemerintah tidak membatasi
pengajuan anggaran untuk keperluan
ini, terlebih bila pemanfaatan anggaran
tersebut sepenuhnya dilaksanakan sebagai
kegiatan internal organisasi pemerintah.
Dengan
demikian
permasalahannya
terletak pada kebijakan prioritas anggaran
PUSPIPTEK yang merupakan bagian
anggaran Kementerian Riset dan Teknologi
serta perjanjian antara Pusat Alih Teknologi
PUSPIPTEK dengan organisasi induk pusatpusat litbang yang ada di PUSPIPTEK.

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

4.2.2. Pembiayaan tahap lanjut proses alih


teknologi
Bila potensi tekno-ekonomi telah tervalidasi
dan prospek komersial dari suatu hasil
litbang telah cukup meyakinkan, partisipasi
dari pelaku bisnis untuk membiayai
kegiatan tahap-tahap selanjutnya dapat
diharapkan. Kesediaan mereka tidak hanya
dipengaruhi kualitas dan kelengkapan
informasi yang dapat disediakan Pusat Alih
Teknologi PUSPIPTEK, namun sejauhmana
mereka merasa nyaman untuk berbisnis
dengan pusat ini.
Pusat Alih Teknologi PUSPIPTEK harus
memiliki staf profesional dengan berbagai
latar belakang pendidikan dan pengalaman
yang diperlukan untuk memahami dan
berkomunikasi dengan pelaku bisnis. Oleh
karena time to market dan time to
profitability merupakan faktor penting
bagi pelaku bisnis, pusat ini juga harus
mampu menjembatani liku-liku birokrasi
di lingkungan organisasi pemerintah yang
seringkali mengakibatkan suatu urusan
menjadi berkepanjangan dan menjadi
sukar dipastikan.

yang jumlahnya tidak terlalu besar untuk


mengembangkan prototipe komersial,
membiayai riset pasar, dan membiayai
pengembangan
sistem
manajemen
perusahaan. Bila prospek pasar cukup
baik,
diperlukam
start-up
capital
untuk mempersiapkan produksi dan
mengintroduksikan produk ke pasar, serta
mengembangkan strategi dan pemasaran
untuk memperluas penetrasi pasar.

Gambar 11. Perkembangan Perusahaan


spin-off (Murphy dan Edwards, 2003)

Permodalan bagi perusahaan spin-off


merupakan permasalahan yang sangat
menghambat keberhasilan, karena mereka
tidak memiliki aset yang dapat dijadikan
kolateral sebagai syarat mendapatkan
pinjaman dari perbankan, dengan demikian
mereka tergantung pada permodalan yang
disediakan perusahaan modal ventura atau
investor lain.

Bila pasar menunjukkan respon yang baik,


diperlukan modal tambahan (early stage
capital) untuk meningkatkan kapasitas
produksi, memperbaiki produktivitas dan
efisiensi produksi, dan memperluas pasar
agar break-even point dapat segera dicapai.
Untuk perusahaan modal ventura atau
investor lain, keuntungan dari investasi
yang ditanamkan biasanya diperoleh dari
capital gain pada saat perusahaan tersebut
melepaskan sahamnya (exit), baik melalui
mekanisme IPO atau akuisisi.

Gambar
11
memberikan
ilustrasi
perkembangan
perusahaan
spin-off.
Perusahaan ini memerlukan seed capital

Oleh karena itu, mereka juga menyediakan


expansion capital untuk memperluas pasar
perusahaan itu, dan late stage capital

4.2.3. Permodalan bagi perusahaan spinoff

ISSN : 2252-911X

137

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

yaitu investasi yang diperlukan perusahaan


yang sudah memiliki posisi pasar yang
kuat untuk melaksanakan restrukturisasi
agar nilai perusahaan mereka meningkat
dan siap ditawarkan ke pasar modal baik
melalui mekanisme IPO atau akuisisi.
Gambar 11, juga menunjukkan tiga ukuran
waktu, yaitu (i) time to market yaitu
waktu yang diperlukan mulai dari seed
capital diberikan sampai produk yang
dikembangkan diluncurkan ke pasar, (ii)
time to profitability yaitu waktu antara
seed capital diberikan sampai perusahaan
mulai memperoleh keuntungan usaha, dan
(iii) time to exit yaitu tenggang waktu yang
diperlukan sampai perusahaan itu siap
melaksanakan IPO. Di samping peningkatan
nilai perusahaan, ketiga ukuran ini sangat
penting bagi perusahaan modal ventura
dan investor.
Walaupun saat ini di Indonesia telah ada
sejumlah perusahaan kapital ventura,
perusahaan-perusahaan tersebut belum
menganggap komersialisasi hasil litbang
sebagai investasi yang prospektif dan
memiliki kelayakan bisnis. Oleh karena itu,
disamping perlu mengalokasikan sejumlah
dana untuk membiayai tahap-tahap awal
proses alih teknologi, pemerintah juga perlu
mengembangkan berbagai bentuk insentif
bagi perusahaan kapital ventura agar
mereka menjadi lebih tertarik melakukan
investasi pada perusahaan spin-off. Salah
satu bentuk insentif adalah menyediakan
pendanaan seed capital dan start-up
capital, walaupun nilai investasi pada tahap
ini lebih jika kecil dibandingkan dengan
kebutuhan permodalan untuk tahaptahap berikutnya, namun mengandung
ketidakpastian tinggi yang oleh investor
dianggap sebagai faktor risiko yang tidak

138

kecil. Agar insentif dari pemerintah ini


dapat bergulir, dana pemerintah itu dapat
diberikan dalam bentuk pinjaman dengan
tingkat bunga yang serendah mungkin.
Walaupun investasi yang disediakan untuk
early stage, expansion, dan late stage
capital jauh lebih besar, kepastian bisnis
dari perusahaan yang dimodali telah cukup
jelas sehingga risiko yang terkandung dapat
lebih diperhitungkan (calculated risks).
Bahkan pada tahap-tahap ini perusahaan
modal ventura dapat mengkombinasikan
modal yang mereka miliki dengan pinjaman
bank agar biaya modal yang ditanamkan
lebih murah.
5. Kesimpulan
Walaupun
belum
semua
rencana
pengembangan
PUSPIPTEK
dapat
terlaksana secara lengkap, jika ditinjau dari
jumlah pusat iptek dan SDM yang dimiliki
seharusnya saat ini PUSPIPTEK telah dapat
berfungsi sebagai sub-sistem yang penting
bagi perkembangan sistem inovasi nasional
sesuai dengan visi kedua menteri yang
memprakasai pembangunan kawasan ini.
Namun dalam kenyataannya sampai saat ini,
keunggulan Puspiptek tidak dimanfaatkan
pelaku bisnis untuk mengembangkan usaha
mereka. Pengambil keputusan di sektor
bisnis belum memandang PUSPIPTEK
sebagai aset nasional yang dapat
mendukung perkembangan dan daya saing
usaha, sehingga pendapatan PUSPIPTEK
dari sektor swasta menjadi sangat terbatas
dan PUSPIPTEK menjadi sangat tergantung
pada anggaran pemerintah.
Ditinjau dari investasi di Kota Tanggerang
Selatan (lokasi PUSPIPTEK), tidak ada
indikasi yang kuat bahwa PUSPIPTEK

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

merupakan aset yang menstimulasi


perkembangan industri padat teknologi di
wilayah ini. Sementara itu, para pengambil
keputusan di lingkungan pemerintah
tampaknya juga tidak lagi menempatkan
PUSPIPTEK sebagai elemen penunjang
pertumbuhan ekonomi nasional yang
strategis,
karena
kontribusi
nyata
PUSPIPTEK bagi pembangunan, khususnya
pembangunan ekonomi, tidak signifikan,
akibatnya pembiayaan PUSPIPTEK juga
bukan merupakan prioritas anggaran
pemerintah. Keadaan ini mengakibatkan
sumber pembiayaan bagi pelaksanaan
kegiatan iptek dan reinvestasi sarana
litbang di PUSPIPTEK menjadi terbatas,
sehingga dengan berjalannya waktu,
diperkirakan
perkembangan
sumber
keunggulan yang dimiliki PUSPIPTEK akan
mengalami stagnasi atau bahkan menurun.
Untuk mengatasi keadaan tersebut
Kementerian Riset dan Teknologi perlu
melakukan
langkah-langkah
untuk
mengintervensi keadaan tersebut. Di
samping meningkatkan pelayanan teknologi
sebagaimana telah dilaksanakan berbagai
pusat teknologi di PUSPIPTEK, kemampuan
alih teknologi perlu mendapatkan prioritas
karena mekanisme dapat menjadi daya
dorong untuk meningkatkan kemampuan
inovasi dan daya saing perekonomian
nasional. Dalam merancang intervensi
tersebut, perlu diperhatikan sejumlah
faktor sebagai berikut:
Pertama, alih teknologi adalah suatu
transaksi yang hanya akan terjadi bila para
pelaku transaksi, baik pemilik maupun
pengguna teknologi, dapat mencapai
kesepakatan. Seperti halnya dengan
transaksi lain, alih teknologi mengandung
nilai dan risiko bagi pihak-pihak yang

ISSN : 2252-911X

terlibat. Kesepakatan tersebut tentunya


hanya terjadi bila pihak-pihak yang
melakukan transaksi beranggapan bahwa
melalui transaksi tersebut mereka dapat
memperoleh nilai yang jauh lebih besar
dari risiko yang harus mereka tanggung.
Kedua, bagi banyak pelaku bisnis, apakah
mereka produsen maupun investor,
investasi untuk mengkomersialisasikan
hasil litbang mengandung ketidakpastian
dan risiko finansial yang tinggi.
Ketiga, alih teknologi perlu dilaksanakan
melalui sejumlah tahapan, mulai dari
mengartikulasikan prospek komersial dari
hasil litbang yang akan ditawarkan pada
pelaku bisnis, memvalidasi kelayakan
tekno-ekonomi dari teknologi atau
produk yang akan dikembangkan dari
hasil litbang tersebut, dan pengembangan
prototipe teknologi/produk itu dengan
memperhatikan faktor pasar dan produksi.
Melalui
tahapan-tahapan
tersebut
ketidakpastian dan tingkat risiko pelaku
bisnis yang akan mengadopsi atau investor
yang akan membiayai komersialisasi hasil
litbang itu semakin dapat dikurangi.
Keempat, pada tahap awal, pada umumnya
pelaku bisnis belum berminat membiayai,
karena
ketidakpastian
keberhasilan
komersialisasi hasil litbang masih sangat
tinggi, sehingga PUSPIPTEK perlu memiliki
anggaran untuk membiayainya. Pada
tahap mana pelaku bisnis bersedia
menginvestasikan dana mereka untuk
komersialisasi hasil litbang, sangat
tergantung pada kapasitas absorbsi
perusahaan memanfaatkan hasil penelitian
yang merupakan interaksi berbagai fungsi
bisnis yang ada dalam perusahaan.
Kelima, pihak investor yang dapat
diharapkan membiayai komersialisasi hasil
139

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

litbang pada umumnya adalah perusahaan


modal ventura yang memiliki pemahaman
tentang prospek komersial dari hasil
penelitian serta dapat memperhitungkan
investasi
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan tahap-tahap tersebut di
atas, serta risiko yang dihadapi.
Saat ini, banyak perusahaan di Indonesia
tidak memiliki kapasitas absorbsi yang
kuat, sehingga belum memasukkan alih
teknologi hasil penelitian dalam strategi
bisnis mereka, serta masih beranggapan
bahwa
lembaga
litbang
kurang
profesional. Demikian pula perusahaan
modal ventura yang ada, pada umumnya
belum
menganggap
investasi
alih
teknologi merupakan prospek bisnis yang
menjanjikan. Oleh karena itu, pemerintah
perlu
mengembangkan
berbagai
instrumen kebijakan untuk menstimulasi
alih teknologi hasil penelitian. Instrumen
kebijakan tersebut harus secara holistik
mencakup sisi penyedia dan pengguna
hasil penelitian, serta berbagai fungsi
pendukung. Instrumen yang dimaksud
dapat berbentuk:
Pertama, peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan legalitas pemanfaatan
hasil litbang yang merupakan kekayaan
intelektual milik pemerintah dan yang
mengatur partisipasi para peneliti di
lembaga litbang dan perguruan tinggi
pemerintah
dalam
pembentukan
perusahaan spin-off. Untuk keperluan
ini Kementerian Riset dan Teknologi
mengusahakan agar Surat Keputusan
Menteri Keuangan yang terkait dengan PP20/2005 dapat segera diterbitkan.
Kedua, kebijakan anggaran iptek untuk:
(i) meningkatkan kualitas pendidikan
dan penelitian dasar di perguruan tinggi,
140

(ii) memposisikan lembaga litbang


pemerintah sebagai rantai pasok teknologi,
(iii) menstimulasi kerja sama antara
lembaga litbang dan perguruan tinggi
dengan pelaku bisnis, (iv) mengatasi
hambatan alih teknologi karena faktor
pembiayaan, (v) pengembangan pusat
desain dan pengembangan prototipe serta
pusat produktivitas, dan (vi) mendorong
perusahaan
modal
ventura
untuk
membiayai investasi alih teknologi.
Ketiga, instrumen perpajakan untuk
menstimulasi perusahaan mengembangkan
kemampuan litbang dan meningkatkan
investasi mereka bagi kegiatan litbang dan
inovasi.
Di samping itu, pemerintah perlu
mendorong lembaga-lembaga litbang,
khususnya yang merupakan induk
organisasi pusat-pusat iptek di lingkungan
PUSPIPTEK untuk :
Pertama, meninjau kembali posisi mereka
sebagai unsur yang diharapkan dapat
mempercepat transformasi sektor bisnis
agar dapat melandaskan daya saing pada
kemampuan inovasi.
Kedua, mengembangkan kebijakan alih
teknologi, termasuk (i) pembentukan
pusat alih teknologi serta memfasilitasi
dan mendorong pusat ini mengembangkan
berbagai kemampuan untuk berinteraksi
dan membentuk kepercayaan pelaku
bisnis, baik produsen, investor, maupun
perusahaan konsultan yang dapat
memfasilitasi alih teknologi; (ii) menetapkan
kebijakan
pemanfaatan
pendapatan
alih teknologi agar dapat menstimulasi
perkembangan pusat alih teknologi,
memotivasi peneliti, serta mendorong
kegiatan dan peningkatan sarana penelitian
di lingkungannya; (iii) mengalokasikan
ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

anggaran untuk pelaksanaan tahap-tahap


awal proses alih teknologi; membangun
komunikasi dua arah dengan produsen
dan perusahaan modal ventura; dan (iv)
memfasilitasi pembentukan perusahaan
spin-off, termasuk partisipasi para peneliti
lembaga itu dalam perusahaan tersebut.
Khusus untuk menstimulasi alih teknologi
dari PUSPIPTEK, Kementerian Riset dan
Teknologi perlu mengembangkan kebijakan
khusus, yaitu:

Kedua, membentuk fungsi front-office agar


kemampuan yang ada di PUSPIPTEK dapat
dikoordinasikan untuk mengembangkan
pusat desain dan pengembangan prototipe
serta pusat produktivitas.
Ketiga, menyediakan anggaran, baik yang
dialokasikan bagi Pusat Alih Teknologi
untuk membiayai tahap awal alih teknologi,
maupun untuk seed capital dan start-up
capital bagi perusahaan modal ventura.

Pertama, membentuk Pusat Alih Teknologi


dan menggalang dukungan dari lembagalembaga induk dari pusat-pusat iptek yang
ada di PUSPIPTEK.

ISSN : 2252-911X

141

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Daftar Pustaka
Allott, S., 2006. From science to growth:
What exactly is the mechanism by
which scientific research turns into
economic growth. Lecture delivered
at Hughes Hall, Cambridge, 6th March
2006. Downloadable via http://www.
trinamo.com/news/articles.htm.
Asisten Deputi Bidang Perkembangan
Sipteknas. 2008. Laporan Akhir
Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Tahun
2008. Kementerian Negara Riset dan
Teknologi, Jakarta
Asisten Deputi Bidang Perkembangan
Sipteknas. 2009. Laporan Akhir
Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Tahun
2009. Kementerian Negara Riset dan
Teknologi, Jakarta
Association of Universities and Colleges
of Canada. 2001. Commercialization
of University Research. Viewed 31
August
2008,
<http://www.aucc.
ca/_pdf/english/reports/2001/
commerc_05_25_e.pdf>.
Aubert, J.E., 2004. Promoting Innovation
In Developing Countries: A Conceptual
Framework. World Bank, July 2004
AusIndustry and Australian Taxation Office.
2010. Guide to the R&D Tax Concession,
Part A - Introduction, Version 4.3
AusIndustry and Australian Taxation Office.
2008. Guide to the R&D Tax Concession,
Part B Research and Development
Activities, Version 4.2, July 2008

142

Council on Governmental Relations. 1999.


The Bayh-Dole Act: A Guide to the
Law and Implementing Regulations.
<http://www.ucop.edu/ott/bayh.html>
Dhanani, S., 2000. Indonesia: Strategy for
Manufacturing Competitiveness. Vol.
II Main Report, UNDP/UNIDO Project
No. NC/INS/99/004, United Nations
Industrial Development Organization,
Jakarta, November
Foreign Affairs and International Trade
Canada. 2010. Invest in Canada - Do Your
Research in Canada: It Pays Off. Viewed
29 June 2010. <http://investincanada.
gc.ca/eng/publications/rd-tax-creditfact-sheet.aspx>
Hambrick, D. C., Fredrickson J. W., 2005.
Are you sure you have a strategy?.
Academy of Management Executive
19:5562
Hulbert, J. M., Capon, N. and Piercy. N.
F., 2009. Total integrated marketing:
breaking the bounds of the function.
New York: Free Press
Kitagawa, F and Wigren, C., 2010.
From Basic Research to Innovation:
Entrepreneurial Intermediaries for
Research Commercialization at Swedish
Strong Research Environments,
Paper no. 2010/02, Centre for
Innovation, Research and Competence
in the Learning Economy (CIRCLE), Lund
University-Sweden
Minshall, T. H. W., W. Wicksteed, C. Druilhe,
A. Kells, M. Lynskey and J. Siraliova,
2005. The role of spin-outs within

ISSN : 2252-911X

TEKNOVASI INDONESIA Vol. 1, No. 1, Juni 2012

university research commercialisation


activities: Case studies from 10 UK
universities. Proceedings of the
2005 Annual High Tech Small Firms
Conference, University of Manchester
Business School. Pages: 185-201
Murphy, L. M. & Edwards, P. L., 2003.
Bridging the Valley of Death
Transitioning from Public to Private
Sector Financin., Golden CO: National
Renewable Energy Laboratory
Phaal, R and Farrukh, CJP and Probert,
DR., 2004. A framework for supporting
the management of technological
knowledge. International Journal of
Technology Management 27:1-15.
Stine, Deborah D., 2009. Science and
Technology Policy,aking: A Primer.
Washington, Congressional Research
Service, 38 p. (CRS-RL34454)
Tornatzky, L.G., 2000. Building State
Economies by Promoting UniversityIndustry Technology Transfer. National
Governors Association: Washington
D.C.
The Economist Intelligence Unit. 2005.
Understanding Technology Transfer.
APAX Partners, London
The Economist Intelligence Unit. 2002.
Double Helix: Entrepreneurship and
Private Equity. APAX Partners, London
Warda, J., 2007. Generosity of Tax
Incentives, presentation at the TIP
Workshop on R&D Tax Treatment in
OECD Countries: Comparisons and
Evaluations, Paris, 10 December 2007.

ISSN : 2252-911X

143

Anda mungkin juga menyukai