Kepala Sekolah Dan Optimalisasi Kompetensi
Kepala Sekolah Dan Optimalisasi Kompetensi
Memang yang saya urai di atas terkesan sangat ideal, dan saya sungguh menyadari bahwa
yang ideal itu tidak mungkin 100% dapat dicapai, ya harapannya; setidaknya jangan
terlampau jauh dari kategori itu-lah!
http://mmursyidpw.wordpress.com/download/
Petisi
Pesan untuk Dewan Direktur Bank Pembangunan Asia (ADB): Agar tidak
menyetujui ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resource Management
Investment Program) sampai terjadi perbaikan-perbaikan yang terukur.
Dokumen-dokumen pelindung dan persiapan proyek tidak sesuai dengan
kebijakan-kebijakan ADB sendiri. Resiko sosial jauh lebih besar daripada
potensi keuntungan dari rencana hutang ini.
ADB dan Sungai Citarum
Sungai Citarum adalah salah satu daerah aliran sungai (DAS) penting di
Indonesiam yang berlokasi di Jawa Barat. DAS ini seluas lebih dari 13,000
Km persegi, yang merupakan ruang hidup bagi 10 juta penduduk. DAS
Citarum adalah merupakan pemasok 80 persen kebutuhan air bersih bagi
penduduk Jakarta, sumber air irigasi bagi 240,000 hektar sawah dan
pertanian, serta sumber energi listrik sebesar 1,400 MW.
Dengan maksud untuk mengatasi tantangan rumit dalam pengelolaan
sumber air Citarum, ADB menawarkan paket bantuannya yang dinamai
Integrated Citarum Water Resource Management Investment Project/
Proyek Investasi Pengelolaan Lingkungan dan sumber-sumber Air yang
Terintegrasi (ICWRMIP). Program ini bermaksud untuk menawarkan
pengintegrasian sumber-sumber air dengan pengelolaan lingkungan di DAS
Citarum yang akan menuju pada konservasi air dan alokasinya. ICWRMIP
memiliki berbagai proyek yang meliputi pengelolaan daerah aliran sungai,
pertanian pasokan air dan pasokan energi.
Dengan pendanaan lebih dari US$ 600 juta, ICWRMIP adalah proyek
pertama ADB yang menggunakan metode Multi-tranche Financing Facility
(MFF), yang akan berjalan selama 15 tahun. ADB telah menandatangani
perjanjian dengan pemerintah Indonesia untuk Bantuan Teknis persiapan
ICWRMIP. 4 Desember 2008, Dewan direktur ADB dijadwalkan untuk
menyetujui proyek proyek berikut yang menjadi bagian pendanaan
ICWRMIP, yaitu:
Program - Project 1
Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) adalah jaringan masyarakat sipil di
Jakarta dan Jawa Barat yang melakukan pemantauan persiapan proyek
ICWRMIP sejak Pebruari 2008. ARUM telah membangun kontak dengan
pengelola proyek di ADB dan Bappenas sebagai usaha untuk mendapatkan
informasi atas rencana ICWRMIP ini. ARUM telah melakukan penilaian
kolektif atas ICWRMIP berdasarkan misi pencari-fakta, pertemuan dengan
tim pengelola proyek ADB, meninjau dokumen-dokumen proyek, studi
materi lain yang relevan termasuk kebijakan-kebijakan ADB. Juga
melakukan pengujian integrated water resource management (IWRM),
strategi jender, dan anti korupsi dari ICWRMIP dan resiko-resikonya.
Tujuan dari penilaian (assessment) ini adalah untuk mengidentifikasikan
potensi dampak dari ICWRMIP, terutama fase I, terhadap penghidupan
mereka yang langsung maupun tidak langsung terkena dampak.
Rencana Penggusuran (Resettlement Plan) dalam fase I hutang: penuh
resiko
isu-isu kepemilikan
Tidak ada kompensasi yang layak, dan ukuran-ukuran bantuan
rehabilitasi dan pemulihan penghidupan (LRP).
Tidak ada jaminan restorasi penghidupan kepada masyarakat yang
terkena dampak, mengingat adanya kesenjangan dalam ukuran-ukuran
bantuan tersebut. Strategi persiapan sosial tidak jelas dan tidak dapat
diterima.
dan kabur. LRP tidak memiliki tujuan dan rencana spesifik untuk
meningkatkan atau setidaknya memperbaiki kapasitas produktif mereka,
termasuk untuk petani yang akan terkena dampak yang tidak memiliki hak
atas penggunaan lahan.
Mengenai praktik transparansi dan konsultasi
Tidak memadainya keterbukaan informasi bagi publik dan konsultasi,
terutama bagi keluarga yang terkena dampak dan pemerintah-pemerintah
daerah.
Mengenai strategi IWRM, jender dan anti-korupsi
kebijakan Jender ADB. Dokumen itu gagal untuk melihat mekanisme yang
mewajibkan setiap pimpinan proyek dan penasehat proyek untuk melihat
komponen penting dari isu jender dan pembangunan. Jika proyek ini terus
berlangsung tanpa penilaian yang dalam atas kebutuhan yang berbeda dan
dampak dari proyek terhadap perempuan, kebijakan jender ADB dan IPSA
(Penilaian awal sosial dan kemiskinan), ini berarti ketimbang
mempromosikan keberlanjutan, proyek ini malah akan memiskinkan
perempuan yang hidup di sepanjang kanal tersebut.
kepentingan serta komunitas yang ada di hulu dan hilir, bukan rehabilitasi
Tarum Kanal Barat.
Tuntutan Kami
Karena ICWRMIP tidak cukup mendapat dukungan dari masyarakat dan
pemangku kepentingan, dan mengingat resiko politik serta pemiskinan yang
tinggi, Dewan Direktur ADB harus sungguh-sungguh mempertimbangkan
untuk menarik investasinya di MFF-ICWRMIP kecuali dilakukan
penilaian-ulang yang signifikan, bermakna, kuat dan meluas terhadap
seluruh rencana program. Jika Dewan tetap melakukan persetujuannya
tanpa melakukan penilaian-ulang, ini membuktikan bahwa Dewan
menyetujui program yang jelas melanggar kebijakan perlindungan ADB
dan kebijakan lainnya serta prosedur-prosedur operasional lainnya.
Kami menuntut agar Dewan Direktur ADB harus segera menunda
persetujuan MFF-ICWRMIP dan Fase 1 proyek pada 4 Desember, 2008
sampai terjadinya perbaikan-perbaikan yang signifikan dari proyek yang
tunduk pada kebijakan ADB sendiri, dan praktik-praktik terbaik
berdasarkan standar internasional. Dokumen-dokumen penting yang
dihasilkan proyek ini harus terbuka untuk publik, dan menjadi subyek untuk
dikonsultasikan ke para pemangku kepentingan, dan kepada masyarakat
yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak.
Tugas utama sekarang bukanlah tentang penyuntikan dana tetapi
meneguhkan agar terjadinya tata pemerintahan sumber-sumber daya sungai
citarum yang layak. Kami meyakini bahwa rencana program ini akan
berujung pada buruknya hutang (bad debt), yang membebankan rakyat
Indonesia dengan pinjaman yang tidak menjamin akses berkesinambungan
terhadap sungai Citarum. ICWRMIP adalah inisiatif yang didisain oleh para
teknokrat yang dapat menghambat inisiatif pemerintah daerah dan
masyarakat dalam mengelola sumber daya publik mereka.
Jakarta, 2 Desember
Penandatangan Petisi:
Indonesia
4.
5.
6.
Indonesia
7.
8.
9.
Indonesia
10.
16.
Indonesia
17.
(GARPU) Indonesia
18.
21.
23.
24.
25.
26.
29.
Aceh-Indonesia
34.
35.
Indonesia
36. Athoillah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Surabaya-Indonesia
37.
40.
41.
Indonesia
42.
Indonesia
43.
44.
47.
48.
49.
50.
Supartono, KIKIS-Indonesia
51.
52.
Indonesia
53.
54.
55.
60.
65.
66.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
Indonesia
77.
78.
83.
Indonesia
84.
85.
Indonesia
86.
Indonesia
89.
93.
94.
Justice-Indonesia
97.
98.
101.
102.
Sulawesi, Indonesia
106.
110.
(LMND), Indonesia
112.
115.
116.
Sulawesi- Indonesia
117. Yayasan Lembaga Konsumen, Sulsel-Indonesia
118. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)- Indonesia
119. Abdul Gofur, GAPPRI, Indonesia
120.
121.
122.
Indonesia
123.
124.
125.
126.
129.
130.
Utara- Indonesia
131.
Utara, Indonesia
135. Abdul Sani, SBCM-SBSU, Indonesia
136.
137.
138.
139.
Indonesia
142.
143.
Nasional, Indonesia
144.
145.
SUMUT), Indonesia
146.
147.
Indonesia
148.
149.
150.
Indonesia
152.
153.
154.
155.
156.
Java, Indonesia
159.
Indonesia
160. Ayi Zakaria, Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), West Java,
Indonesia
161. Yayan, Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), West Java,
Indonesia
162.
Indonesia
163.
Java, Indonesia
International
166.
167.
168.
169.
(CIRA), Nepal
170.
171.
172.
Malaysia
173. Vimalbhai, Matu Peoples Organization, India
174. Wilfred Dcosta, Indian Social Action Forum - INSAF, India
175.
India
176. Water & Energy Users' Federation-Nepal (WAFED), Nepal
177.
178.
179.
180.
development, Pakistan
183.
11.11.11, Belgium
Akademisi
184.
193.
194.
195.
I Wayan Suwardana
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
Pengertian Optimalisasi
Dalam matematika dan ilmu komputer, optimasi atau optimalisasi mengacu pada pemilihan
elemen terbaik dari beberapa set alternatif yang tersedia.
Dalam kasus yang paling sederhana, ini berarti memecahkan masalah-masalah dimana orang
berusaha untuk meminimalkan atau memaksimalkan fungsi dengan sistematis memilih nilainilai variabel integer atau real dari dalam set yang diperbolehkan.
http://oktavita.com/pengertian-optimalisasi.htm
perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang
sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada
dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha
pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia.
Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000)
mengemukakan bahwa educational change depends on what teachers do
and think. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan
pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada what teachers do
and think . atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi
guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya
masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu
ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan
kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa
kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan
kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang
komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan
bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari
peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan
sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan pendidikan.
B.
Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003)
mengemukakan bahwa competency has been defined in the light of actual
circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari
Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992)
(2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul
terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala
sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan
kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifatsifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4)
berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang
stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru
lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang
disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam
upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah
hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru
akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan
menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan
diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia
bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut,
(3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4)
pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu
hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosiopsiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari
pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E.
Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan
peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat
menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan
berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat
akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya,
termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses
pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Oleh:AKHMAD SUDRAJAT
Pemikiran Maslow tentang Teori Hierarki Kebutuhan Individu sudah dikenal
luas, namun aplikasinya untuk kepentingan pendidikan siswa di sekolah
tampaknya belum mendapat perhatian penuh. Secara ideal, dalam rangka
pencapaian
perkembangan
diri
siswa,
sekolah
seyogyanya
dapat
Menyediakan ruangan kelas dengan kapasitas yang memadai dan temperatur yang
tepat
Menyediakan ruangan dan lahan untuk istirahat bagi siswa yang representatif.
Guru dapat menampilkan ciri-ciri kepribadian : empatik, peduli dan intereres terhadap
siswa, sabar, adil, terbuka serta dapat menjadi pendengar yang baik.
Guru lebih banyak memberikan komentar dan umpan balik yang positif dari pada
yang negatif.
Guru dapat menghargai dan menghormati setiap pemikiran, pendapat dan keputusan
setiap siswanya.
Guru dapat menjadi penolong yang bisa diandalkan dan memberikan kepercayaan
terhadap siswanya.
Ketika harus mendisiplinkan siswa, sedapat mengkin dilakukan secara pribadi, tidak
di depan umum.
Mengembangkan iklim kelas dan pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa dapat
saling menghormati dan mempercayai, tidak saling mencemoohkan.
Berusaha melibatkan para siswa dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait
dengan kepentingan para siswa itu sendiri.
Menyediakan kesempatan kepada para siswa untuk berfikir filosofis dan berdiskusi.
d. Estetik
Melibatkan siswa dalam proyek atau kegiatan self expressive dan kreatif
Terbuka atas saran dan kritik yang disampikan oleh atasan, teman
sejawat, bawahan, dan pihak lain atas pelaksanaan suatu tugas pokok dan
fungsi.
B. Kompetensi Manajerial
1.Mampu menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan
perencanaan:
3.Mampu memimpin guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya
manusia secara optimal:
4.Mampu mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya
manusia secara optimal:
Mampu melaksanakan rekrutmen dan seleksi guru dan staf sesuai tingkat
kewenangan yang dimiliki oleh sekolah
5.Mampu
mengelola
sarana
dan
promosi
prasarana
guru
sekolah
dan
staf
dalam
sesuai
rangka
preventif
penghargaan
dan
pelaksanaannya
Memiliki pemahaman yang komprehensif dan tepat, dan sikap yang benar
tentang esensi dan tugas profesional guru sebagai pendidik
Mampu
mengelola kegiatan
pengembangan
sumber dan
alat
pembelajaran di sekolah dalam mendukung pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan
keuangan
yang
sesuai
Mampu mengelola administrasi akreditasi sekolah sesuai dengan prinsipprinsip tersedianya dokumen dan bukti-bukti fisik
11.Mengelola
unit
layanan
khusus
sekolah
dalam
mendukung
kegiatan
12.Mampu
menerapkan
prinsip-prinsip
kewirausahaan
dalam
menciptakan
(kreatif,
inovatif,
dan
13.Mampu menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif bagi pembelajaran
siswa:
Mampu menerjemahkan
pengembangan sekolah
15.Terampil
dalam
data
memanfaatkan
base
untuk
kemajuan
merencanakan
teknologi
program
informasi
bagi
Mampu memanfaatkan
manajemen sekolah
16.Terampil
mengelola
teknologi
kegiatan
informasi
produksi/jasa
dan
dalam
komunikasi
mendukung
dalam
sumber
Memahami peraturan-peraturan
standar pengawasan sekolah
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
C. Kompetensi Supervisi
1. Mampu melakukan supervisi sesuai prosedur dan teknik-teknik
yang tepat:
Mampu melakukan supervisi bagi guru dengan menggunakan teknikteknik supervisi yang tepat
D. Kompetensi Sosial
1.Terampil bekerja sama dengan orang lain berdasarkan prinsip yang
saling menguntungkan dan memberi manfaat bagi sekolah:
Mampu bekerja sama dengan sekolah lain dan instansi pemerintah terkait
dalam rangka pengembangan sekolah
Sumber :
http://www.tendik.org/
Guru dalam Pendidikan Islam Kategori : Pendidikan | Oleh: Imam Suprayoga | Tgl posting:
21/07/2009 | Jumlah komentar: 0
Sementara orang menganggap bahwa pendidikan Islam adalah sebatas proses belajar mengajar
terkait dengan ilmu tertentu. Seringkali pendidikan Islam dirumuskan dalam pengertian yang sangat
sempit. Pendidikan hanya dimaknai sebatas kegiatan mendapatkan pengetahuan tentang cara-cara
ibadah dalam pengertian sederhana. Oleh karena itu, ayat-ayat al Quran maupun hadits nabi yang
terkait dengan pendidikan dianggap berjumlah sedikit saja. Seolah-olah al Quran tidak banyak
memperhatikan pendidikan.
Saya sangat berbeda dengan pemikiran itu. Saya berpandangan bahwa sesungguhnya al Quran dan
hadits nabi secara keseluruhan adalah pendidikan. Tidak ada sepotong ayat al Quran pun yang tidak
memiliki kaitan atau nuansa pendidikan. Oleh karena itu memilah-milah adanya ayat pendidikan dan
ayat-ayat al Quran yang bukan pendidikan adalah kurang tepat. Dan sungguh, adalah keliru yang
mendasar.
Al Quran diturunkan ke muka bumi agar dibaca dan dipahami oleh manusia, agar manusia
menempuh jalan yang benar, tidak sesat dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Al
Quran ditegaskan sebagai al-huda, at-tibyan, al-furqon, al-rahmah, al-syifa, dan lain-lain, yang
semua itu arahnya adalah untuk menjadikan manusia berkualitas, ialah memiliki akal yang cerdas,
hati yang lembut, akhlak mulia, dan memiliki ketrampilan sebagai bekal hidupnya.
Sehingga al Quran itu sendiri secara keseluruhan adalah berisi tentang pendidikan.
Kitab suci yang diturunkan oleh Allah berupa al Quran agar diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Al Quran menjadi sebuah jalan hidup yang benar dan lurus, dan menyelamatkan. Jika al
Quran dijadikan pegangan maka kebahagiaan itu akan diraih, mulai hari ini di dunia hingga nanti di
akherat. Sebagai contoh implementasi al Quran adalah kehidupan Rusulullah, yang disebut sebagai
hadits Nabi. Oleh karena itu, ditegaskan bahwa sepanjang manusia berpegang pada al Quran dan
hadits Nabi maka akan selamat hidupnya, dan sebaliknya tidak tersesat.
Oleh karena itu, semestinya pendidikan Islam dipahami sebagai upaya membentuk manusia unggul
melalui al Quran dan hadits Nabi. Pemahaman seperti ini, membawa kita pada pengertian yang luas.
Pendidikan Islam tidak sebatas berupa kegiatan belajar mengajar di kelas, atau kuliah di kampus.
Kalau pun tokh itu semua disebut pendidikan, sesungguhnya adalah bagian kecil dari lingkup
pendidikan itu sendiri.
Dalam pendidikan Islam, guru seharusnya benar-benar menjadi uswah, bukan hanya sebatas
sebagai penyampai informasi atau pengetahuan. Pendidikan menurut Islam bukan hanya sebatas
kegiatan menstransfer informasi atau ilmu pengetahuan, melainkan lebih dari itu ialah meliputi
kegiatan menstransfer kepribadian. Terkait dengan ini, guru sesungguhnya bukan sembarang
pekerjaan. Melainkan, adalah pekerjaan yang palakunya memerlukan persyaratan, baik terkait
dengan akhlak, pengetahuan dan ketrampilan.
Guru yang tugasnya menstrasfer kepribadian -----akhlak, spiritual, ilmu dan ketrampilan, tidak akan
bisa dibentuk secara mendadak, dengan bekal seadanya. Guru atau ulama adalah pewaris Nabi.
Maka guru adalah manusia yang terpilih, yang memiliki kelebihan dari yang lain. Tugas sebagai guru
tidak sederhana. Posisi mulia ini semestinya memang dipersiapkan secara matang.
Guru semestinya dipilih dari sekian banyak orang yang mencalonkan diri, dan diambil yang
memenuhi syarat. Inilah guru yang mulia, sebagai pewartis Nabi itu. Tugas guru bukan sebatas
penyampai mata pelajaran ke sana kemari,------dari satu kampus ke kampus berikutnya.
Semestinya kita harus jujur, jika bangsa Indonesia yang saat ini belum bangkit, dan bahkan justru
bebannya bertambah adalah sebagai akibat dari mempercayakan guru kepada orang-orang yang
bukan semstinya. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Sebagai contoh
sederhana, kita harus pahami bahwa jika kita tidak pintar silat, bukan kemudian hanya menyalahkan
para muridnya sulit diajari silat, lapangan latihan yang kurang lengkap, tetapi hal itu disebabkan,
selama itu ia salah tatkala memilih guru silat.
Guru yang lembek akan menghasilkan lulusan yang lembek pula. Oleh karena itu memperbaiki
bangsa ini tidak akan mungkin bisa ditempuh hanya dengan waktu lima tahunan sebagaimana yang
dituntut banyak orang. Memperbaiki bangsa harus ditempuh melalui pendidikan.
Sedangkan meningkatkan pendidikan harus dimulai dari upaya-upaya meningkatkan kualitas guru.
Para guru atau pendidik bukan sebatas sebagai pekerja, melainkan sebagaimana seorang Nabi
adalah sebagai penyampai wahyu dan sekaligus tauladan kehidupan dalam lingkup yang luas dan
menyeluruh. Inilah tugas guru yang amat strategis dan mulia. Wallahu alam.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan
sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran
normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah pada era reformasi ini sangat serius
menangani bidang pendidikan, karena dengan menerapkan sistem pendidikan yang baik serta
ditunjang pula oleh guru yang bermutu dan profesional diharapkan muncul generasi penerus
bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang dilandasi oleh semangat keberagamaan
Penyelenggaraan pendidikan pada hakekatnya memiliki tujuan utama untuk
menghasilkan dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu pula
menghasilkan lulusan dan anak didik yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Untuk dapat
melakukan hal itu, sekolah-sekolah tidak akan bisa menghindari diri dari berbagai tantangan
masa depan yang sulit sekali untuk diramalkan, serta selalu mengalami perubahan. Oleh
karena itu, dunia pendidikan di Indonesia juga akan menghadapi ketidakpastian akibat dari
adanya perubahan-perubahan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, lembagalembaga pendidikan Islam ikut merasakan dampaknya. Perubahan-perubahan yang terjadi
yang mempunyai dampak negatif di masa depan tidak akan memiliki pola yang jelas.
Dengan
diterapkannya
reformasi
pendidikan
pada
lembaga-lembaga
sekolah
merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk
mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia
untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang, dan ini menjadi pertimbangan
bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk meresponsnya. Melalui reformasi pendidikan,
pendidikan harus berwawasan masa depan yang bisa memberikan jaminan bagi perwujudan
hak-hak asasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal
guna kesejahteraan hidup rakyat Indonesia di masa depan.
Menjadi Guru yang Bermutu
Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.[1] Dalam proses
pendidikan di sebuah sekolah, misalnya sekolah Islam, guru memegang tugas ganda yaitu
sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan
pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing
dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, mandiri, dan
berakhlak mulia. Syaiful Bahri Djamarah dalam Psikologi Belajar berpendapat bahwa baik
mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga
profesional.[2] Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya
dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu
pendidikan di suatu lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan yang
dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Zainal Aqib, guru merupakan
faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, karena guru
merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar.[3] Lebih lanjut dia menyatakan
bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu suatu proses
pendidikan di lembaga pendidikan Islam.[4] Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau
kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan. Kompetensi
profesional guru dalam hal ini guru lembaga pendidikan Islam, termasuk Madrasah Ibtidaiyah
negeri maupun swasta di wilayah Jakarta masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes
Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama yang bekerja sama
dengan Pusat Penilaian Pendidikan pada Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai
kompetensi guru di wilayah Jakarta hanya mencapai 42,25 %. Angka ini masih relatif jauh di
bawah standar nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75 %.
Sikap, Mutu, dan Profesionalisme Guru
Pada dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor dari dalam
guru itu sendiri, yakni bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan yang diemban.
Sedangkan faktor luar yang diprediksi berpengaruh terhadap kompetensi profesional seorang
guru, yaitu kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pemimpin guru
di lembaga pendidikan, termasuk sekolah-sekolah Islam.
Sikap guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan
yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada guru
tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap
guru terhadap pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut dalam menjalankan aktivitas
kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, maka sudah
barang tentu guru akan menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan
pendidik di lembaga pendidikan Islam dengan penuh rasa tanggung jawab.
Demikian pula sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap negatif terhadap
pekerjaannya, pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas
belaka. Untuk itu, amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif dan profesionalisme guru
terhadap pekerjaan, mengingat peran guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini
lembaga pendidikan Islam amatlah sentral.
Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya
terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang
memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan menampilkan persepsi
dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaan-nya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang
pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan
memiliki kompetensi profesionalisme yang tinggi.[5]
Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru
bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor
eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, normanorma, dan berbagai hambatan
maupun dorongan yang ada dalam masyarakat.[6]
Lembaga pendidikan sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang
masing-masing baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan keja sama
untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah sumber daya manusia
yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf, peserta didik atau siswa, dan orang tua
siswa. Tanpa mengenyampingkan peran dari unsur-unsur lain dari lembaga pendidikan Islam,
kepala sekolah dan guru merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam
menentukan keberhasilan pendidikan di sebuah lembaga pendidikan Islam. Keberhasilan
suatu lembaga pendidikan pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan
seorang kepala sekolah dan profesionalisme gurunya.[7]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan
dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.[8] Dalam
hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk menyelenggarakan
pendidikan di sekolah, guru harus bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Guru
diharapkan menjadi inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas keberhasilan pendidikan
Islam merupakan hal yang signifikan bagi keberhasilan lembaga pendidikan Islam.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa: kebehasilan seorang dalam mendidik merupakan
prestasi atau sumbangan yang amat berharga, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang
terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Mutu pendidikan pada sebuah
lembaga pendidikan islam ditentukan oleh faktor profesionalitas, sifat dan keterampilan,
perilakuguru dalam mengajar serta mendidik anak muridnya. Menurut Wahjosumidjo, agar
fungsi guru sekolah berhasil dalam memberdayakan segala sumber daya lembaga pendidikan
Islam untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang guru yang memiliki
kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan
pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan.[9]
Kemampuan profesional seorang guru sebagai penyelenggara pendidikan yaitu
bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif,
sehingga dapat melaksanakan suasan pembelajaran dengan baik dan peserta didik dapat
belajar dengan tenang.[10] Di samping itu, guru dituntut untuk dapat bekerja sama dengan
guru-guru lainnya serta atasannya, dalam hal ini kepala sekolah. Kepemimpinan kepala
sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan prasarana dan kurang
memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru sering melalaikan
tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral.[11] Hal ini dapat menumbuhkan sikap
yang negatif dari seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya
berimlikasi terhadap mutu pendidikan dan prestasi siswa di sekolah.
Guru sebagai ujung tombak dalam penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan
Islam secara keseluruhan, dan kepala sekolah sebagai pemimpin formal pendidikan di
sekolahnya harus bersinergi dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Dalam
suatu lingkungan pendidikan di sekolah Islam misalnya, guru bertanggung jawab penuh
untuk mengelola dan memberdayakan para murid agar terus meningkatkan kemampuan
intelektualnya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu,
maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja dalam berbagai bidang kegiatan
pendidikan, serta dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan
meningkatkan kompetensi profesionalnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan
pendidikan profesionalisme guru terhadap pekerjaannya merupakan faktor yang cukup
menentukan tingkat kompetensi dan mutu guru. Sehingga dapat diasumsikan bahwa masih
rendahnya kompetensi profesional guru dalam hal ini guru lembaga pendidikan Islam di
wilayah Jakarta disebabkan oleh kompetensi profesional guru itu sendiri yang rendah,
kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan sikap guru yang negatif terhadap
pekerjaannya. Ini juga berimplikasi pada mutu pendidikan yang dilaksanakan di lembaga
pendidikan tersebut. Dengan demikian mutu guru sebagai ujung tombak dalam
penyelenggaraan pendidikan akan sangat menentukan mutu pendidikan yang dilaksanakan di
sekolahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal.
Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya: Cendekia. 2002.
Nata, Abuddin.
Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo. 2001.
Pranarka, A.M.W.
Tinjauan Kritikal Terhadap Upaya Membangun Sistem Pendidikan Nasional Kita,
dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto. Mencari Strategi Pengembangan
Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT. Grasindo. 1991.
Tilaar, H.A.R.
Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
Walgito, Bimo.
Psikologi Sosial, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2001.
Wahjosumidjo.
Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada. 2002.
Arni Hayati, S.Pd. adalah alumni Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan STKIP Arrahmaniyah
Depok.
[1]A.M.W. Pranarka, Tinjauan Kritikal Terhadap Upaya Membangun Sistem Pendidikan Nasional
Kita, dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional
Menjelang Abad XXI (Jakarta: PT. Grasindo, 1991), h. 64.
[2]Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 74.
[3]Zainal Aqib, Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran (Surabaya: Cendekia, 2002), h. 22.
[4]Ibid., h. 32.
[5]H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 4.
[6]Bimo Walgito, Psikologi Sosial, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), h. 115-116.
[7]Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 349.
[9]Ibid., h. 431.
[10]Qomari Anwar dan Syaiful Sagala, Profesi Jabatan: Kependidikan dan Guru Sebagai Upaya
Menjamin Kualitas Pembelajaran (Jakarta: UHAMKA Press, 2004), h. 119.
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=61
Oleh: Bunyamin
Abstrak
Dalam kehidupan modern sekarang ini telah terjadi distorsi nilai rohaniyah, seolaholah nilai kemanusiaan telah mati, alat-alat diubah menjadi tujuan, produksi dan
konsumsi barang-barang menjadi tujuan hidup, sekarang ini banyak manusia
menjadi sangat sulit untuk tergetar hatinya ketika disebut nama Allah SWT, tidak lagi
merasa takut apabila disebutkan tentang azab neraka, ini menunjukkan bahwa
pendidikan tidak dapat membawa barokah dalam kehidupan manusia, padahal
sesungguhnya sebuah pendidikan harus dapat menghidupkan kehidupan spiritual
manusia, menumbuhkan suara kemanusiaan dan ketuhanan dalam suara batinnya, di
samping mengembangkan manajerial untuk memenuhi kebutuhan obyektifnya.
Konsepsi keimanan dan ketaqwaan belum dijabarkan kedalam pengertian
operasional kependidikan sehingga belum dapat diinternalisasikan melalui berbagai
potensi kejiwaan yaitu potensi psikologis yang bercorak berkeselarasan antara akal
kecerdasan dengan perasaan yang melahirkan prilaku yang akhlakulkarimah dalam
hidup berbangsa dan bernegara.
Pendahuluan
guru yang ideal dan sempurna, sehingga nilai-nilai Islam dapat dengan baik ditransfer kepada
murid.
Nabi Muhammad SAW. Sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga
beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau
senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah SWT. dan syariatNya sehingga
terpelihara fitrah manusia melalui pembinaan diri setahap demi setahap, penyatuan
kecenderungan hati dan pengarahan potensi menuju derajat yang lebih tinggi, lewat cara
seperti itulah beliau membawa masyarakat kepada kebangkitan dan ketinggian derajat.
Pembahasan
A. Pengertian Metode Pendidikan Islam
Salah satu komponen penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan dalam
mencapai tujuan adalah ketepatan menentukan metode, sebab tidak mungkin materi
pendidikan dapat diterima dengan baik kecuali disampaikan dengan metode yang tepat.
Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian
tujuan, tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efesien dan
efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani metodos, kata ini
terdiri dari dua suku kata yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai
tujuan.[2] Jika metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti
metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang
sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi Islami, selain itu metode
dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan
ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.[3]
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu
polipragmatis dan mono pragmatis. Polipragmatis bilamana metode mengandung
kegunaan yang serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi
tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat tergantung
pada si pemakai atau pada corak, bentuk, dan kemampuan dari metode sebagai alat,
sebaliknya monopragmatis bilamana metode mengandung satu macam kegunaan untuk
satu macam tujuan. Penggunaan mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan
kebermaknaan menurut kondisi sasarannya mengingat sasaran metode adalah manusia,
sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran
jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia.
Oleh karena itu metode yang diterapkan oleh seorang guru, baru berdaya guna dan
berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
ditetapkan. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna bila ia mengandung nilai
nilai yang intrinsik dan eksrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional
dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan
pendidikan Islam.[4]
Dari rumusan-rumusan di atas dapat di maknai bahwa metode pendidikan Islam
adalah berbagai macam cara yang digunakan oleh pendidik agar tujuan pendidikan dapat
tercapai, karena metode pendidikan hanyalah merupakan salah satu aspek dari
pembelajaran, maka dalam menentukan metode apa yang akan digunakan, harus selalu
mempertimbangkan aspek aspek lain dari pembelajaran, seperti karakter peserta didik,
tempat, suasana dan waktu .
1.
Beberapa prilaku Nabi Muhammad SAW. yang menjadi uswah hasanah antara
lain :
a. Tentang Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kedudukannya seperti itu, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah
menganggap dirinya lebih besar dan lebih hebat dibandingkan dengan orang lain,
ia tidak gila penghormatan dari orang lain, ia hidup dan berpakaian seperti orang
paling miskin, ia duduk dan makan bersama-sama dengan masyarakat (termasuk
budak dan hamba sahaya), tidurnya beralaskan tikar yang terbuat dari pelepah
daun kurma, sehingga ketika ia bangun dari tidurnya masih nampak goresangoresan tikar di pipinya.
Kerendahan hati adalah salah satu sifat teragung Nabi Muhammad SAW. Dia
mencapai derajat tertinggi setiap harinya, dia terus bertambah rendah hati dan
tunduk kepada Allah SWT. Satu ketika Nabi Muhammad menggambarkan tentang
bagaimana seharusnya seorang beriman hidup di dunia, dalam kata-katanya yang
sangat pendek namun penuh makna, seperti Hadis riwayat Ahmad, Muslim dan
Turmuzi dari Abu Hurairah berikut ini :
Dunia itu penjara bagi orang yang beriman dan syurga bagi orang kafir
b.
Bersedekahlah hai Bilal, jangan engkau takut dari (Allah) yang mempunyai
Arsy menjadi berkekurangan (miskin)
c.
Nabi Muhammad SAW. tidak saja menjadi contoh dalam persoalanpersoalan yang besar, tetapi dalam hal-hal yang dianggap tidak begitu penting
oleh sebagian besar manusia, Rasulullah SAW. tetap saja merupakan sosok yang
patut diteladani. Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW.
adalah sosok manusia yang tidak pernah tertawa terbahak-bahak seperti layaknya
kebanyakan orang, apabila menemui sesuatu yang lucu atau dalam keadaan
gembira suka tertawa terbahak-bahak dalam waktu yang cukup lama, sampaisampai sakit perutnya karena tertawa tersebut.
Rasulullah SAW. tidak pernah tertawa kecuali terseyum, senyum Rasulullah
SAW. sangat mempesona, penuh dengan makna dan menjadikan dirinya semakin
berkharisma, jika ia terlanjur tertawa maka Rasulullah segera menutupkan tangan
ke mulutnya.Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir ibn Samurah ra. ia berkata :
Adalah Rasulullah SAW. Itu lama diamnya, sedikit tertawanya
d.
atau orang yang di bawah pimpinannya, karena untuk menjaga kehormatan dan
kehebatannya, tetapi Nabi Muhammad SAW. sebagai pemimpin umat yang hakiki,
tidaklah demikian, beliau tidak khawatir akan hilangnya kehormatan dan
kehebatan dirinya lantaran tertawa dan senda gurau itu. Bahkan senda gurau yang
bersih, yang benar, yang pantas dan yang sopan itu menambahkan keeratan
perhubungan beliau dengan para sahabatnya.[9]
e.
Hadis di atas sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW. tidak pernah menyakiti
orang lain dengan perkataannya, sekalipun kepada orang yang lebih rendah
daripadanya, Anas ibn Malik merasa sangat tersanjung, karena Rasulullah SAW.
tidak pernah mencela pekerjaannya.
2.
mengandung bahaya dan perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau
siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT., atau
akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW. dalam rangka menyampaikan pendidikan kepada
masyarakat terkadang dengan ungkapan yang bersifat pemberian rangsangan
(targhib) atau dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat ancaman (tarhib), kedua sifat
ungkapan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW. semata-mata sebagai sebuah strategi,
agar pesan-pesan pendidikan dapat sampai kepada obyek pendidikan.
Beberapa bentuk dari targhib dan tarhib yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
antara lain adalah :
a.
Bentuk-bentuk Targhib (rangsangan)
1) Rangsangan untuk mau menolong antar sesama
Hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah ;
Barang siapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesulitan kesulitan
hari kiamat, maka hendaklah dia meringankan beban orang yang susah,
atau mengapus utangnya.
3.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang dapat melakukan analisa
seperti yang dilakukan oleh Najib Khalid di atas, karena kemampuan orang dalam
menangkap pesan-pesan sangat tergantung kepada kecerdasannya, akan tetapi
tanpa melakukan analisa seperti yang dilakukan Najib Khalid sekalipun
perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. sangat bisa dipahami oleh
umat manusia walaupun hanya garis besarnya saja.
Perumpamaan-perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. jika
dimaknai dengan kesungguhan akan banyak ditemukan kandung hikmah yang
sangat dalam, sehingga kalimat-kalimat singkat dan sederhana yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW. tersebut mengandung banyak makna tetapi dapat dicerna
dengan baik oleh siapapun yang mendengarkannya.
4.
5.
Penutup
Islam memandang bahwa segala fenomena alam ini adalah hasil ciptaan Allah dan
sekaligus tunduk kepada hukum hukumNya, oleh karena itu manusia harus dididik agar
mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dalam hukum Allah tersebut. Manusia harus
mampu mengorientasikan hidupnya kepada kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik
ciptaan alam raya serta mengaktualisasikan hukum hukum Allah melalui tingkah laku
dalam kegiatan hidupnya.
Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam mengandung prinsip-prinsip moralitas yang
memandang manusia sebagai pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai moral agama
dalam hidupnya. Oleh karena dengan tanpa nilai-nilai tersebut kehidupannya akan
menyimpang dari fitrah Allah yang mengandung nilai Islam yaitu doktrin Islam itu sendiri
yang harus dijadikan dasar dari proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Jadi
dengan demikian pola dasar yang membentuk dan mewarnai sistem pendidikan Islam adalah
pemikiran konseptual yang berorientasi kepada nilai-nilai keimanan, nilai-nilai kemanusiaan,
serta nilai-nilai moral (akhlak) yang secara terpadu membentuk dan mewarnai tujuan
pendidikan Islam, sedangkan usaha pencapaian tujuan pendidikan sesuai dengan pola dasar
tersebut berlangsung dalam satu strategi pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=56
Mengajar Dengan Hati Kategori : Pendidikan | Oleh: Komaruddin Hidayat | Tgl posting:
27/07/2010 | Jumlah komentar: 0
SAYA berharap kolom ini bisa menjadi tip bagi guru atau praktisi pendidikan, tapi
sesungguhnya juga bagi kita semua, bahwa komunikasi akan efektif kalau dilakukan dengan
sepenuh hati.
Artinya, hatinya penuh dengan ketulusan dan kesungguhan. Pekerjaan apa pun yang tidak
menyertakan hati akan terasa hambar. Hati ini di sini memiliki konotasi positif, hati yang
bening sesuai dengan kodratnya. Bagi seorang guru, ketika datang ke sekolah setidaknya
mesti memiliki tiga bekal primer. Pertama, mesti siap dengan materi yang akan diajarkan.
Tanpa kesiapan dan penguasaan materi, apa yang hendak disampaikan kepada siswa? Ini juga
berlaku bagi seorang dosen.
Terlebih ketika menghadapi siswa atau mahasiswa yang kritis, guru atau dosen yang miskin
penguasaan materi pasti akan ketahuan dan menurunkan wibawanya di depan kelas. Guru
atau dosen yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang siswa atau mahasiswanya. Hanya
saja cara belajarnya berbeda. Namun, prinsipnya, guru atau dosen yang berhenti belajar
berarti dia juga harus berhenti mengajar.
Hubungan guru-murid jauh berbeda dari hubungan antara montir dan kendaraan rusak yang
hendak diperbaiki. Sehebat-hebat dan semahal-mahal harga mobil mutakhir, tak akan mampu
mengalahkan kepintaran montirnya sekalipun gajinya rendah karena mobil adalah benda
mati, tidak tumbuh dan tidak berkembang. Namun, yang dihadapi seorang guru adalah anakanak dengan potensi besar dan bakat berbeda-beda.
Anak-anak datang dengan mimpi, cita-cita besar, dan membawa harapan orang tuanya untuk
membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu seorang guru, termasuk orang
tua,mesti menjadi pendengar dan pemerhati yang baik bagi anak-anak. Mesti selalu
menambah wawasan tentang perkembangan psikologi anak dan berbagai temuan metode
yang baru dan cocok untuk diterapkan pada anak-anak. Bekal kedua bagi seorang guru ketika
masuk kelas adalah keterampilan menerapkan metode pembelajaran yang tepat, efektif, dan
menyenangkan.
Saya sendiri punya pengalaman, pernah memperoleh seorang dosen yang ilmunya dalam dan
luas dalam mata kuliah yang dipegang, tetapi mengajarnya kurang efektif. Tidak menarik dan
tidak efisien. Miskin dalam aspek metodenya.Jadi guru yang baik bukan saja yang menguasai
materi ajar, tapi tak kalah penting adalah metode pengajarannya tepat sehingga anakanak
akan senang menerimanya.
Dalam sebuah penelitian psikologi pembelajaran disebutkan, jika suasana belajar
menyenangkan, daya serap anak akan meningkat, bahkan berlipat. Coba saja perhatikan,
belajar bahasa sambil menyanyi hasilnya akan lebih baik ketimbang model hafalan yang
menjemukan. Ini berlaku terutama bagi anak-anak.Anak-anak biasanya lebih cepat pintar
diajar guru privat profesional ketimbang diajar orang tua sendiri yang mudah marah-marah
tidak sabaran.
Dalam suasana bosan dan tegang, otak akan menciut,daya serapnya sedikit. Berdasarkan
prinsip di atas, maka terkenal konsep joyful learning. Sebuah pembelajaran yang
menyenangkan, tetapi bukan berarti santai, tidak serius.Yang ditekankan adalah metodenya
menyenangkan agar materi yang telah disiapkan terserap secara optimal. Sejalan dengan
konsep ini, ruang kelas pun hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga terasa indah dan
nyaman.
Ruang kelas yang semrawut dan warna cat temboknya kusam akan memengaruhi pikiran dan
hati siswa juga ikut semrawut. Bekal ketiga, di samping penguasaan materi dan metode,
adalah kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk
ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan vibrasi cinta kepada anak-anak. Mengajar
tanpa hati akan terasa hambar. Anak-anak pun tidak akan mendengarkan dengan hati.
Kita semua pasti punya pengalaman, guru-guru yang mengajar dengan hati pasti kesannya
akan lebih mendalam sekalipun telah berlalu puluhan tahun. Oleh karena itu, pandaipandailah mengatur dan menjaga hati. Ketika dari rumah atau di jalanan muncul rasa kesal,
misalnya, maka ketika kaki menginjak halaman sekolah mesti mampu menata hati agar rasa
kesal itu tidak terbawa masuk ruangan kelas. Mengajar dengan hati kesal pengaruhnya akan
dirasakan langsung oleh anak-anak.
Akan dirasakan oleh teman-teman sejawat. Pengaruhnya akan terlihat pada air mukanya,
pada tutur katanya, dan pada perilakunya yang ujungnya proses dan suasana pembelajaran
tidak efektif. Oleh karena itu, penting sekali seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi dan psikologi komunikasi. Bahwa dalam komunikasi yang berlangsung tidak sekadar
tukar-menukar kata dan ide, tetapi faktor emosi juga akan sangat memengaruhi.(*)
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=288
Esensi Pendidikan Kategori : Pendidikan | Oleh: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo | Tgl posting:
22/05/2009 | Jumlah komentar: 0
Perbincangan tentang pendidikan, akhir-akhir ini hanya mengarah di seputar besarnya APBN untuk
pendidikan, buku teks, sarana pendidikan yang kurang memadai, Ujian Nasional, gaji guru. Masih
terkait di seputar itu, akhir-akhir ini dibicarakan tentang serifikasi guru dan dosen, dan telah
disetujuinya oleh DPR UU-BLU dan selanjutnya ditanda tangani oleh Presiden sebagai UndangUndang RI nomor 9 pada tanggal 16 Januari 2009 yang lalu.
Hal yang sesungguhnya lebih esensial terkait dengan persoalan pendidikan, tetapi justru kurang
banyak mendapatkan perhatian, adalah tentang hasil atau produk pendidikan dalam pengertian yang
lebih dalam. Orang biasanya belum peduli terhadap makna pendidikan yang sesungguhnya itu. Jika
pendidikan itu dimaksudkan adalah sebagai upaya melakukan perubahan pada diri seseorang, maka
ternyata belum banyak pihak yang mempertanyakan sesungguhnya apa yang sudah berubah pada
diri seorang anak tatkala telah menyelesaikan program pendidikan pada jenjang tertentu. Sudah
menjadi kebiasaan, bahwa setelah dinyatakan lulus, para siswa melakukan pesta, dengan cara yang
belum tentu sesuai dengan nilai-nilai pendidikan, misalnya dengan melakukan kebut-kebutan di jalan
raya, melakukan corat-coret di baju seragam dan lain-lain yang kurang pantas.
Keadaan seperti itu, lembaga pendidikan tidak berkuasa mencegahnya. Hal yang bisa dilakukan
hanyalah mengurangi terjadinya gejala yang tidak pantas itu. Misalnya, mengirim laporan hasil ujian
ke rumah masing-masing siswa. Atau menyerahkannya langsung kepada orang tua. Selain itu
meminta bantuan pihak kepolisian untuk mengamankan berbagai kegiatan para siswa yang baru
dinyatakan lulus itu yang sekiranya dianggap merugikan. Hingga perlu melibatkan pihak keamanan
segala, karena tidak jarang ekspresi kegembiraan para siswa yang baru dinyatakan lulus,
membahayakan orang lain.
Hal seperti itu sesungguhnya sangat kontradiktif dari makna pendidikan yang susungguhnya.
Pendidikan dimaksudkan untuk mengantarkan para siswa memiliki akhlak yang luhur, cerdas, trampil,
percaya pada diri sendiri, maka dengan ekspresi kegembiraan yang melebihi batas itu justru
menunjukkan bahwa esensi pendidikan menjadi hilang, tidak membekas. Pendidikan seolah-olah
hanya mengantarkan para anak didik mendapatkan selembar ijazah. Padahal ijazah tersebut
semestinya dijadikan petunjuk atau simbol bahwa tujuan pendidikan telah selesai.
Persoalan lainnya, dapat dilihat dan dirasakan bahwa tatkala para siswa dihadapkan pada kehidupan
nyata di tengah-tengah masyarakat, ternyata masih gagap . Mereka setelah lulus, tidak sedikit yang
belum mampu beradaptasi dan menjawab persoalan kehidupannya sendiri di tengah masyarakat.
Sekalipun sudah lulus perguruan tinggi, sementara mereka masih harus menganggur, kesulitan
mencari pekerjaan. Sebagai alternatif yang bisa dipilih, mereka bekerja apa saja yang bisa dilakukan,
walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang diperolehnya. Atau, jika
ada jalan mereka ikut pergi ke luar negeri mencari pekerjaan di sana.
Dari selintas gambaran itu, seolah-olah masih ada jarak yang sedemikian jauh antara apa yang
diprogram di sekolah dengan tuntutan di tengah masyarakat. Di sekolah diajarkan tentang biologi,
fisika, kimia, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan ilmu sosial, tetapi ternyata seolah-olah mata
pelajaran tersebut belum ada rerevansinya dengan kehidupan nyata di masyarakat. Para siswa telah
dinyatakan lulus ujian, baik ujian sekolah atau ujian nasional. Tetapi, apa yang didapat itu ternyata
belum bisa dijadikan bekal hidupnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan kemudian menjadi sebatas agenda atau jadwal kehidupan yang harus dilalui oleh setiap
anak bangsa, tetapi masih minus makna atau esensi yang sebenarnya. Pendidikan terasa belum
berhasil mengantarkan siswa agar mampu hidup di tengah masyarakat. Akhirnya, pendidikan baru
sebatas sebagai pemenuhan kewajiban, dan sebaliknya belum benar-benar berhasil mengantarkan
siswa menjalani hidupnya secara mandiri dan bertanggung jawab.
Persoalan-persoalan tersebut, rasanya belum mendapatkan perhatian secara cukup oleh mereka
yang berwenang dan apalagi masyarakat luas. Pendidikan yang seharusnya mengantarkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik, berakhlak mulia, berwawasan luas dan memiliki ketrampilan
dan seterusnya, ternyata rumusan indah itu belum semua berhasil dicapai. Sayangnya, kegagalan
dari aspek yang justru bersifat esensial atau inti pendidikan tersebut belum banyak dirasakan oleh
kalangan luas. Pada umumnya orang masih sedemikian percaya dengan ijazah, sekalipun selembar
kertas yang dianggap penting itu sesunguhnya belum tentu bermakna apa-apa.
Tulisan singkat dan sederhana ini bukan dimaksudkan mengajak agar tidak mempercayai lembaga
pendidikan yang sudah ada, melainkan ingin mengintakan kembali pada pembaca tentang pesan
pendidikan yang sesungguhnya. Tatkala berbicara pendidikan, semestinya dipahahami secara kritis
dan mendalam makna pendidikan yang paling dalam itu, sehingga selanjutnya menjadi kekuatan
pendorong terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan sesungguhnya bukan hanya sebatas kegiatan mempelajari mata pelajaran -----biologi,
kimia, fisika, bahasa dan lain-lain, lebih dari itu dimaksudkan adalah untuk memperkaya,
menumbuhkan dan bahkan mengubah jiwa, pikiran dan ketrampilan si terdidik. Pendidikan bukan
hanya sebatas rangkaian program yang harus dilewati oleh semua warga negara. Tetapi pendidikan
memiliki tujuan terkait dengan kehidupan anak manusia pada masa depannya. Setelah melewati dan
mengikuti program yang disebut dengan istilah pendidikan itu, maka yang seharusnya dipertanyakan
adalah dampak apa, atau apa sesungguhnyha yang telah berubah pada diri si terdidik setelah
mengikuti proses pendidikan, serta apa makna apa yang telah diperolehnya dari serangkaian proses
itu untuk kehidupan mereka itu. Pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab bersama tatkala kita
memikirkan tentang esensi pendidikan yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=219
pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal,
keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan
oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda
menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara
mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia
melalui pendidikan.
Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih
progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama
sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai
salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni
2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut
pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.
Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah
pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah
dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang
salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas
ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi
empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut
muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang
secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI
memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal
yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).
Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara
tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara
eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal
tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan
jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang
sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat
dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup
mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat
spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama
tertentu menjadi tidak perlu.
Peguruan Swassta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan
terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi
perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47
dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi
VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut perguruan swasta. Tentang bantuan
pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang.
UU No. 2/1989 menyebut Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku dan naskah
pembahasan Komisi VI menyebut Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat
bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku (kursif dari penulis).
Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di
lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa
jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar
dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.
Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara
eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi,
dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah
KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD
Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini
berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian
membaik.
Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu
pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita
semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi
VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki
perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan
sebagainya.(gg)
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=200
dari
Dirawat
mengemukakan tentang
pemikiran
usaha-usaha
sekolah
untuk
mencapai
tujuan-tujuan
instruksional
dan
non
instruksional.
Hal
serupa
sebagai
proses
sosial, mengemukan
tiga
jenis
(1)
keterampilan
teknis,
yakni
keterampilan
yang
dalam
menyelesaikan
tugas-tugas
tertentu;
(2)
pihak,
Fred
keterampilan
Luthans (1995)
yang
dibutuhkan
mengemukakan
oleh
seorang
lima
jenis
manajer,
Communication
skill
merupakan
keterampilan
manajer
yang
lisan,
tulisan
maupun
non
verbal.
Keterampilan
yang
berkenaan
merupakan
dengan
keterampilan
pengembangan
iklim
informasi
dan
pengalaman
kerja,
penilaian
dan
penyesuaian
bahan-bahan
pembelajaran.
yang mendorong
seluruh
warga
sekolah
untuk
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=126
Koran Tempo
Opini
lulusan sekolah dasar (55,21 persen) dan sekolah menengah pertama (19,39
persen).
Hal ini berarti "mutu" sebagian besar pekerja Indonesia masih
rendah.Berdasarkan data BPS yang dipublikasikan pada Desember 2009
tersebut dapat disimpulkan, walaupun tingkat pengangguran menurun dari
8,4 persen pada Agustus 2008 menjadi 7,9 persen pada Agustus 2009,
jumlah penganggur masih cukup besar, yaitu hampir mencapai 9 juta orang
pada Agustus 2009. Jumlah tersebut menurun dibanding pada Agustus 2008
sebanyak 9,39 juta orang. Di sisi lain, data setengah pengangguran terpaksa
meningkat secara konsisten dari Agustus 2008 sampai Agustus 2009, yaitu
dari 14,9 juta menjadi 15,4 juta orang. Hal ini merupakan fenomena
menarik dari sisi ekonomi karena jumlah peningkatan setengah
pengangguran terpaksa, yaitu sekitar 500 ribu orang pada periode setahun
terakhir, hampir sa-ma dengan jumlah penurunan pengangguran terbuka
sebesar 390 ribu orang pada periode yang sama. Jadi masih diperlukan
berbagai usaha agar mereka dapat sepenuhnya bekerja, tidak lagi berstatus
penganggur terbuka maupun setengah penganggur terpaksa.
Pemerintah Indonesia dapat mendorong percepatan peningkatan mutu dan
keselarasan dengan dunia kerja melalui dua hal berikut. Pertama,
menyediakan dana pendidikan yang secara efektif dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Pada pendidikan sekolah secara formal, tingkat
efektivitas dana pendidikan untuk program wajib belajar dapat diukur
dengan peningkatan angka partisipasi kasar untuk semua tingkat
pendidikan. Pada pendidikan nonformal dan informal, tingkat efektivitas
dapat diukur dengan peningkatan, keterampilan para pekerja. Sehingga
secara keseluruhan, peningkatan dana pendidikan diharapkan secara efektif
dapat menurunkan tingkat pengangguran.Kedua, mengembangkan
kurikulum pendidikan agar sesuai dengan kompetensiyang dibutuhkan oleh
dunia usaha sehingga selaras dengan dunia kerja. Dengan demikian,
diharapkan para lulusan dapat segera memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kompetensinya. Hal ini tidak hanya kurikulum sekolah, namun juga
bagi paket belajar untuk pendidikan kesetaraan tingkat SD, SMP, dan SMA,
homeschoolmg, maupun lembaga pelatihan/kursus.
Pihak pengusaha dan masyarakat luas juga perlu secara efektif
meningkatkan mutu pendidikan melalui pertama, pengembangan lembaga
pendidikan swasta, baik berupa sekolah (yaitu pendidikan formal) maupun
berupa pendidikan nonformal dan informal. Hal ini antara lain dapat
dilakukan swasta dengan mendorong pengusaha untuk menggunakan dana
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk pengembangan pendidikan
secara keseluruhan, yaitu membangun sekolah maupun pendidikan
nonformal dan informal.
Kedua, mendorong pengusaha agar membelanjakan dana untuk tujuan riset
dan pengembangan sehingga mampu men-dorong pembangunan teknologi
yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia. Ketiga,
mendorong kesadaran masyarakat luas akan pentingnya "belajar sepanjang
hidup", yaitu berupa kemampuan berbahasa asing; kemampuan teknologi
informasi dan komunikasi (komputer, penggunaan Internet); serta
kemampuan pemahaman finansial, yaitu mampu melakukan alokasi belanja
untuk kebutuhan jangka pendek dan alokasi investasi keuangan untuk
kebutuhan jangka panjang; khususnya di pasar uang dan modal.
Pemerintah Indonesia sudah menyediakan anggaran pendidikan yang cukup
besar, 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yaitu pada
tahun anggaran 2010 (RAPBN-P) diusulkan sekitar Rp 221,4 triliun, lebih
besar dari APBN-P 2010 yang berjumlah Rp 209 triliun. Jumlah
pengeluaran pendidikan ini dapat meningkat lebih besar lagi di masa yang
akan datang jika pemerintah Indonesia dapat meningkatkan sisi penerimaan
pajak dan bukan pajak.Diperlukan peningkatan akuntabilitas publik dana
pendidikan agar anggaran yang besar ini dapat meningkatkan jumlah dan
mutu pekerja yang berkualitas. Antara lain dapat dilakukan melalui
pertama, proses perencanaan harus efektif terhadap tujuan meningkatkan
mutu sekaligus keselarasan dengan kebutuhan di pasar tenaga kerja serta
didukung oleh proses monitoring dan evaluasi yang efektif terhadap target
kinerja.
http://bataviase.co.id/node/187844