Anda di halaman 1dari 159

B

BPSDM-BJ

ISSN: 2442-4846

Jurnal

BR
ILIAN JAYA

BPSDM-BJ

PENDIDIKAN

Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi

JURNAL
CAKRAWALA
PENDIDIKAN

Vol. 2 No. 1 Hal. 401- 552

Januari 2016

ISSN: 2442-4846

CAKRAWALA PENDIDIKAN
Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi
ISSN: 2442-4846
Cakrawala Pendidikan memuat hasil penelitian, gagasan, dan tinjauan ilmiah serta resensi
buku- buku pendidikan. Jurnal ini terbit setahun tiga kali, pada bulan Januari, Mei, dan
September. Redaksi mengundang para guru, dosen, widyaiswara, peneliti, dan praktisi
pendidikan untuk mengirimkan hasil penelitian dan gagasanya ke jurnal ini.

Ketua Penyunting
Sekretaris Penyunting
Penyunting Pelaksana
Mitra Bestari

Anggota Penyunting

Pelaksana Tata Usaha

: Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum.


: Hasan Zainuri, M.Pd.
: Memed Sudaryanto, M.Pd.
: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. (FKIP Universitas Sebelas Maret)
Sukarmin, M.Si., Ph.D. (FKIP Universitas Sebelas Maret)
Syarifah Inayati, M.Si. (FKIP Universitas Sebelas Maret)
Imam Baehaqi, M.Hum. (Universitas Negeri Semarang)
: Chat Ulya, M.Pd. (FKIP UNS)
Andi Wicaksono, M.Pd. (IAIN Surakarta)
Muhammad Lahir, M.Pd. (IKIP PGRI Pontianak)
Anang Sudigdo, M.Pd. (PGSD UST Yogyakarta)
Samuel B.T. Simorangkir, M.Pd. (Univ. Nomensen Medan)
: Yuli Kusumawati, S.S.
Muhammad Kavit, A.Md.

Alamat Redaksi:
Graha Yuma Perkasa Group
Jl. Samudra Pasai No. 49, Lt. 2, Kleco RT 02/01, Kadipiro, Surakarta 57136
Email: bpsdm.bj@gmail.com Narahubung: 081391423540

Diterbitkan:
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Brilian Jaya (BPSDM-BJ)
Kota Surakarta

Langganan tiga edisi dalam satu tahun Rp. 180.000, ditambah biaya pengiriman
sesuai dengan alamat yang dituju, biaya langganan dapat ditransfer
Ke rekening bank BNI cabang nusukan 0338489167 a.n. Muhammad Kavit.

DAFTAR ISI

Media Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Kelas XI SMA Negeri 7 Pontianak


Mai Yuliastri Simarmata
401 - 409
Peningkatan Kualitas Pembelajaran PKn melalui Metode Contextual Teaching
and Learning pada Siswa Kelas XI IPS 1 Semester 2 SMAN 1 Pulokulon Tahun
Pelajaran 2014/2015
Endang Setiyowati

410 - 419

Pemakaian Bahasa Masyarakat Pontianak di Berbagai Ranah atau Konteks


(Kajian Sosiolinguistik)
Al Ashadi Alimin

420 - 429

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa melalui Metode Eksperimen Mata


Pelajaran Biologi Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun
Pelajaran 2014/2015
Indri Yuniarti

430 - 438

Analisis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini (Kajian Feminisme)


Adisti Primi Wulan

439 - 451

Pemanfaatan Media Gambar Berseri dalam Metode Mind Mapping untuk


Meningkatkan Keterampilan Menulis Narrative Text pada Siswa Kelas XI IPA 3
SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014/2015
Puji Lestari

452 - 461

Pemilihan Kode dalam Masyarakat Bilingual Melayu Sambas di Kota Pontianak


dalam Lingkungan Pendidikan (Studi Kasus dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMK Al-Madani Pontianak, Kalimantan Barat)
Eti Ramaniyar

462 - 470

Penerapan Model Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) untuk Meningkatkan
Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Materi Bangun Datar Segiempat pada Siswa
Kelas VII A SMP Negeri 1 Pulokulon Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015
Condro Kuncorowati
471 - 479
The Effect of Applying Word Webbing Technique on The Students Ability in Writing
Descriptive Paragraph at The Teacher Training Faculty of Nommensen
University Pematangsiantar
Eben Pasaribu
480 - 488
Peningkatan Keterampilan Kreasi Gerak pada Kreativitas Berkarya melalui
Metode Jigsaw dan Video Tari Nusantara di Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1
Pulokulon Tahun Pelajaran 2014/2015
Rita Sudarwahyuni

489 - 498

Fonologi Bahasa Dayak Desa Empaci, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang


Melia

499 - 508

Upaya Meningkatkan Kemampuan Membacakan Teks Berita melalui Media Surat


Kabar Siswa Kelas XI MAN 2 Madiun
Kasmini

509 - 520

Peningkatan Keterampilan Membaca melalui Metode Cooperative Integrated


Reading and Composition pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Siantan
Tahun Pelajaran 2010/2011
Mesterianti Hartati

521 - 532

Trilogi (Ideologi, Demokrasi, dan Globalisasi) Konsep Marxis dalam Sajak-sajak


Kegelisahan Hidup Karya Putu Oka Sukanta
Ika Ariati

533 - 541

Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Proposal dengan Model Numbered


Head Together pada Siswa Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar
Muhammad Zikri Wiguna, Sarwiji Suwandi, Budhi Setiawan

542 - 552

MEDIA PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA DI KELAS XI


SMA NEGERI 7 PONTIANAK

Mai Yuliastri Simarmata


Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP PGRI Pontianak
Alamat korespondensi: maisimarmata@yahoo.com

ABSTRACT
This study aims to explain the Indonesian media learning, especially learning speaking skills in
class XI SMA 7 Pontianak. The method used in this research is descriptive method. Forms of
research is qualitative, which is a form of research by analyzing the data obtained from the study.
The use of qualitative research on the election form media learning speaking skills is intended
to determine the ability of teachers in selecting instructional media in conducting teaching
and learning activities. The research data was obtained through interviews and observation or
direct observation of instructional media speaking skills contained in the teacher made lesson
plans. The results showed that the media used by teachers among other examples exciting
experience of a book or newspaper, examples of articles and books, text instance drama, as
well as resource persons from various circles. The media is in conformity with the theme, point
of learning, as well as the characteristics of the medium itself. The media used can provide
innovation and motivation for students. In addition, the strategy used by teachers when using
the media to help students in learning.
Keywords: media, learning Indonesian, speaking skills

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan media pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya
pembelajaran keterampilan berbicara di kelas XI SMA Negeri 7 Pontianak. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Bentuk penelitian yang digunakan
adalah kualitatif, yaitu suatu bentuk penelitian dengan cara menganalisis data-data yang
diperoleh dari hasil penelitian. Penggunaan bentuk penelitian kualitatif terhadap pemilihan
media pembelajaran keterampilan berbicara dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan
guru dalam memilih media pembelajaran dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Data penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan observasi atau pengamatan secara
langsung terhadap media pembelajaran keterampilan berbicara yang termuat dalam rencana
pembelajaran yang dibuat guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang digunakan
guru antara lain contoh pengalaman menarik dari buku atau surat kabar, contoh artikel dan buku,
contoh teks drama, serta narasumber dari berbagai kalangan. Media tersebut sudah sesuai
dengan tema, butir pembelajaran, serta karakteristik media itu sendiri. Media yang digunakan
dapat memberikan inovasi dan motivasi bagi siswa. Selain itu, strategi yang digunakan guru
saat menggunakan media membantu siswa dalam belajar.
Kata kunci: media, pembelajaran Bahasa Indonesia, keterampilan berbicara

PENDAHULUAN
Dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia, mata pelajaran Bahasa Indonesia
sangat penting. Hal ini karena peran bahasa
Indonesia yang sangat strategis, yakni
sebagai bahasa pengantar pendidikan dan
bahasa nasional. Oleh karena itu, mutu
pengajaran Bahasa Indonesia sangat

kuat berpengaruh atas mutu pendidikan


nasional dan kekentalan kesatuan dan
persatuan bangsa. Hal tersebut dipertegas
lagi oleh Depdiknas (2003: 1) bahwa
standar kompetensi mata pelajaran Bahasa
Indonesia
berorientasi
pada
hakikat
pembelajaran bahasa, bahwa belajar bahasa
adalah belajar berkomunkasi dan belajar

401

sastra adalah belajar mengahargai manusia


dan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa untuk berkomunkasi dalam bahasa
Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis,
serta menimbulkan penghargaan terhadap
hasil hasil ciptaan manusia.
Ada gejala bahwa minat pembelajar
Bahasa Indonesia menurun sehingga
pengajar perlu memberi terapi. Oleh karena
itu, pengajar harus bisa membuat pembelajar
menyenangi pelajaran Bahasa Indonesia.
Apabila telah muncul rasa senang, maka
minat belajar akan meningkat. Minat belajar
yang tinggi dapat meningkatkan prestasi
belajar. Untuk itu, pengajar hendaknya
memberdayakan dirinya untuk lebih aktif,
kreatif, dan inovatif demi pembelajarnya.
Sikap ini perlu diterapkan pada materi,
sumber belajar, dan media pembelajaran.
Pengajar perlu mengembangkan materi,
mengemas dan menyajikan materi secara
lebih menarik dengan berbagai teknik dan
strategi, serta mengembangkan berbagai
sumber dan media pembelajaran, jangan
hanya terpancang dan mentransfer bahan
dari buku wajib ke pembelajar. Tanpa
pengembangan kegiatan belajar mengajar,
pembelajar akan cepat bosan.
Pengajaran keterampilan berbicara
tidak terlepas dari berbagai komponen
yang saling berhubungan satu dengan yang
lain. Komponen-komponen itu, antara lain
siswa, guru, tujuan, materi, media, metode,
dan evaluasi (penilaian). Memang perlu
diakui bahwa masih ada guru yang merasa
tidak perlu menggunakan media dalam
pengajaran bahasa Indonesia. Padahal
media pembelajaran sangat penting dalam
proses belajar mengajar karena dapat
memberikan motivasi dalam belajar.
Media bagi guru adalah alat bantu
untuk mempelancar proses belajar mengajar
agar waktu, jarak, dan ruang dapat teratasi.

402

Selain itu, proses belajar mengajar lebih


menarik,
penyampaian
materi
dapat
diseragamkan,
proses
belajar
dapat
terjadi di mana saja, kualitas belajar dapat
ditingkatkan, dan pengajaran pun bisa lebih
menarik. Guru diharapkan dapat merancang
media pembelajaran dengan sebaikbaiknya. Media pembelajaran berfungsi
sebagai alat bantu mengajar dalam proses
belajar mengajar keterampilan berbicara
sehingga tujuan yang ingin dicapai oleh guru
dapat berhasil dengan baik. Diharapkan
dengan media yang dipersiapkan guru dapat
mempermudah guru dalam menyampaikan
materi dan dapat meningkatkan minat belajar
siswa terhadap pembelajaran keterampilan
berbicara.
Berdasarkan pengalaman penulis
selama penelitian di lapangan, penulis masih
menemukan rendahnya tingkat kemampuan
siswa dalam hal keterampilan berbicara.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
di kelas, masih ditemukan kesulitan siswa
untuk mengembangkan dan mengemukakan
ide dan pendapat secara lisan. Hal ini terlihat
pada waktu guru menyuruh siswa bertanya,
tidak ada satu pun siswa yang mau bertanya.
Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan
guru dalam memilih media yang digunakan
dalam kegiatan pembelajaran berbicara.
Beberapa alasan penulis memfokuskan
penelitian ini pada media pembelajaran
keterampilan berbicara di kelas XI SMA
Negeri 7 Pontianak sebagai berikut.
Pertama, pemilihan media pembelajaran
yang digunakan guru dalam kegiatan belajar
mengajar merupakan salah satu komponen
yang turut berpengaruh dalam menunjang
tercapainya tujuan pengajaran keterampilan
berbicara siswa selama ini berdasarkan
pengalaman penulis masih rendah. Kedua,
objek penelitian ini difokuskan pada jenjang
SMA Negeri 7 Pontianak kelas XI didasari
pertimbangan bahwa masih banyak siswa
yang tingkat keterampilan berbicaranya

kurang. Dengan dasar tersebut penulis


berharap dapat mengetahui penyebab
kurangnya keterampilan berbicara siswa.
Penelitian ini membahas kesesuaian
kriteria yang digunakan oleh guru dalam
pemilihan
media,
keterkaitan
media
pembelajaran, dan strategi yang digunakan
guru dalam menerapkan media pembelajaran
dalam proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia aspek keterampilan berbicara.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan dan pertimbangan bagi guru
Bahasa Indonesia, khususnya dalam memilih
dan menggunakan media pembelajaran
keterampilan berbicara.
Pengertian Media Pembelajaran
Menurut Soeparno (1988: 1), media
adalah suatu alat yang dipakai sebagai
saluran (channel) untuk menyampaikan suatu
pesan (message) atau informasi dari suatu
sumber (resource) kepada penerimanya
(receiver). Selanjutnya menurut Robinson
(1988: 69), media pengajaran merupakan
sarana yang membantu belajar, terutama
melalui indra pendengaran dan penglihatan.
Sarana ini menolong atau membantu
proses belajar mengajar. Sarana ini dapat
mempercepat proses pembelajaran murid
dan dapat membuat pengajaran menarik dan
relatif lebih mudah.
Keuntungan
Pembelajaran

Penggunaan

Media

Ada
beberapa
keuntungan
menggunakan media pembelajaran. Menurut
Harjanto (2003: 245 - 246), keuntungan
menggunakan media pengajaran sebagai
berikut. Pertama, guru dapat memperjelas
penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat
verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis
atau lisan belaka. Kedua, guru dapat
mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan
daya indra. Ketiga, dengan menggunakan
media pendidikan secara tepat dan

bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak


didik. Keempat, dengan sifat yang unik
pada setiap siswa, ditambah lagi dengan
lingkungan dan pengalaman yang berbeda,
sedangkan kurikulum dan materi pendidikan
ditentukan sama untuk setiap siswa, maka
guru akan banyak mengalami kesulitan
bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri.
Menurut Subyakto-Nababan (1993:
207), keuntungan penggunaan alat atau
media sebagai berikut. Pertama, memberi
kesempatan kepada pelajar untuk berlatih
secara mandiri di dalam maupun di luar ruang
kelas. Kedua, meringankan/membantu/
melengkapi peran guru. Ketiga, memberi
model yang tetap (tidak berubah) kepada
pelajar, khususnya kalau rekaman berisi
ulangan-ulangan yang banyak dan intonasiintonasi tertentu. Keempat, mendengarkan
suara beberapa orang penutur asli di kelas
sehingga pelajar dapat membedakan suara
orang wanita, pria, anak, pemuda dengan
segala ragamnya. Kelima, merekam suara
pelajar agar dapat digunakan oleh guru
dalam mengevaluasi penguasaan BT dan
oleh pelajar untuk mengevaluasi hasil
produksi diri sendiri.
Fungsi Media Pembelajaran
Media pendidikan digunakan dalam
proses belajar mengajar pada dasarnya
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
dan interaksi edukatif antara guru dan siswa
di kelas. Soeparno (1988: 5) mengatakan
tujuan utama penggunaan media ialah agar
pesan atau informasi yang dikemukakan
dapat diserap sebanyak mungkin oleh
murid sebagai penerima informasi. Belajar
yang efektif harus dimulai dari pengalaman
langsung atau pengalaman konkret menuju
pengalaman yang lebih abstrak. Belajar
akan lebih efektif jika dibantu dengan media
pendidikan.
Media
merupakan
bagian
dari
komponen pengajaran. Menurut Miarso,

403

dkk. (1986: 51) media mempunyai nilai-nilai


praktis berupa kemampuan/keterampilan
yang berfungsi untuk 1) membuat konkret
konsep yang abstrak; 2) membawa objek
yang berbahaya atau sukar didapat ke dalam
lingkungan belajar, seperti binatang buas;
3)menampilkan objek yang terlalu besar,
seperti pasar; 4) menampilkan objek yang
tidak dapat diamati dengan mata telanjang,
seperti kuman; 5) mengamati gerakan yang
terlalu cepat;
6) memungkinkan siswa berinteraksi
langsung
dengan
lingkungannya;
7)
memungkinkan keseragaman pengamatan
dan persepsi bagi pengalaman belajar
siswa; 8) memberi kesan perhatikan
individual untuk seluruh anggota kelompok
belajar; 9) menyajikan informasi belajar
secara konsisten dan dapat diulang
maupun disimpan menurut kebutuhan; 10)
menyajikan pesan atau informasi belajar
secara serempak; 11) mengatasi batasan
waktu maupun ruang; dan 12) mengontrol
arah maupun kecepatan belajar siswa.
Kriteria
dalam
Pembelajaran

Pemilihan

Media

Penggunaan media pendidikan dalam


pembelajaran
keterampilan
berbicara
sangat menunjang keberhasilan siswa
belajar. Hal itu karena menggunakan media
berarti membangkitkan perhatian siswa,
memotivasi siswa, menumbuhkan perhatian
yang sama, memperoleh pengalaman yang
nyata, serta membangkitkan siswa dalam
belajar. Media pembelajaran bermanfaat
untuk memperlancar proses interaksi antara
guru dan siswa yang pada gilirannya akan
membantu siswa belajar secara optimal.
Sebelum proses belajar mengajar
berlangsung, guru harus memilih media
pembelajaran yang digunakan. Menurut
Harjanto (2003: 239), ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan guru dalam menggunakan

404

media pendidikan untuk mempertinggi kualitas


pengajaran. Pertama, guru perlu memiliki
pemahaman media pendidikan, antara
lain jenis dan manfaat media pendidikan,
kriteria memilih dan menggunakan media
pendidikan, menggunakan media sebagai
alat bantu mengajar, dan tindak lanjut
penggunaan media dalam proses belajar.
Kedua, siswa, guru terampil membuat media
pendidikan sederhana untuk keperluan
pengajaran, terutama media. Ketiga, gras,
beberapa media tiga dimensi, dan media
proyeksi. Pengetahuan dan keterampilan
dalam menilai keefektifan penggunaan
media dalam proses pengajaran. Menilai
keefektifan media pendidikan penting bagi
guru agar guru bisa menentukan apakah
penggunaan media mutlak diperlukan atau
tidak selalu diperlukan.
Jenis-jenis Media Pembelajaran
Media pendidikan beraneka ragam,
dari benda asli atau duplikatnya dan dapat
pula dalam bentuk sederhana, seperti papan
anel, papan tali, papan magnetis, berupa
kertas, kartu kata atau kalimat yang terbuat
dari karton dan dapat pula dalam bentuk
mewah, seperti radio, televisi, lm, dan
OHP. Sehubungan dengan hal itu, Robinson
(1988: 81) mengemukakan ada beberapa
alat bantu mengajar yang dioperasikan
secara elektronis, antara lain 1) gramafon
atau fonograf; 2) reel-to reel tape recorder;
3) cassette recorder; 4) slide proyektor; 5)
overhead proyektor (OHP); 6) loop proyektor;
7) proyektor 8 mm dan super 8mm; 8)
proyektor 16 mm.
Miarso, dkk. (1986: 53) membagi media
pendidikan menjadi beberapa jenis. Pertama,
media audio visual gerak merupakan media
yang paling lengkap, yaitu menggunakan
kemampuan audio, visual, dan gerak. Kedua,
media audio visual diam merupakan media
kedua dari segi kelengkapan kemampuannya
karena ia memiliki semua kemampuan yang

ada pada golongan sebelumnya, kecuali


penampilan gerak. Ketiga, media audio semi
gerak memiliki kemampuan menampilkan
suara disertai gerakan titik secara linear,
jadi tidak dapat menampilakn gerakan nyata
secara utuh.
Keempat, media visual gerak memiliki
kemampuan seperti golongan pertama,
kecuali penampilan suara. Kelima, media
visual diam mempunyai kemampuan
menyampaikan informasi secara visual, tetapi
tidak dapat menampilakn suara maupun
gerak. Keenam, media audio adalah media
yang hanya memanipulasikan kemampuankemampuan suara semata. Ketujuh, media
cetak merupakan media yang hanya mampu
menampilkan informasi berupa huruf angka
dan simbol-simbol verbal tertentu saja.
Pengertian Keterampilan Berbicara
Dalam keterampilan berbahasa, dikenal
ada empat keterampilan, yaitu keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Keterampilan berbicara merupakan
keterampilan yang kedua dari empat
keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan
(1986), berbicara adalah kemampuan
mengucapkan
bunyi-bunyi
artikulasi
atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan, serta menyampaikan pikiran
gagasan, dan perasaan. Tidak dipungkiri
bahwa keterampilan berbicara seseorang
dapat mempermudah penyampaian ide
kepada orang lain, baik secara individual
maupun kelompok karena manusia adalah
makhluk sosial yang selalu mengadakan
interaksi antara yang satu dengan yang lain.
Tujuan
Pengajaran
Berbicara

Keterampilan

Tujuan yang akan dicapai oleh siswa


harus berdasarkan tuntutan kurikulum
yang berlaku, sebab kurikulum merupakan
pedoman guru dalam melaksanakan

program pendidikan yang telah ditetapkan


sebelumnya.
Tujuan
pengajaran
keterampilan berbicara pada dasarnya tidak
dapat dipisahkan dengan tujuan pengajaran
bahasa Indonesia secara umum, yaitu
agar siswa mampu menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dalam
berbagai peristiwa, baik secara lisan maupun
tulisan, serta mempunyai sikap yang positif
terhadap bahasa Indonesia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa indikator yang disusun harus
menggunakan kata-kata yang operasional
(dapat diukur), perilaku yang dimunculkan
berbentuk hasil belajar yang memunculkan
hanya satu jenis perilaku yang secara
keseluruhan berorientasi pada siswa.
Dengan memperhatikan kriteria-kriteria
dalam perumusan indikator di atas, akan
memberikan hasil yang baik dalam upaya
guru merencanakan pengajaran untuk
menentukan pemilihan materi yang akan
diajarkan.
Metode
Pengajaran
Keterampilan
Berbicara
Dalam
proses
pembelajaran
keterampilan berbicara, metode digunakan
oleh guru untuk mengajarkan materi kepada
siswa agar dapat memusatkan perhatiannya
terhadap materi yang diberikan. Setiap
pengajaran
selalu
disertai
dengan
penggunaan metode. Tujuan dari metode
tersebut adalah agar tujuan pengajaran yang
telah dirumuskan dapat tercapai dengan
baik.
Dalam interaksi belajar mengajar,
terdapat beberapa cara penyajian materi
pelajaran agar proses dapat berjalan dengan
baik dan berhasil semaksimal mungkin sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Cara penyajian materi pelajaran
disebut juga dengan metode pengajaran.
Menurut Semi (1990: 105), metode adalah
suatu prosdur untuk mencapai suatu tujuan
yang telah ditetapkan.

405

Dari
pendapat
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa metode mengajar
adalah cara yang digunakan guru dalam
menyajikan materi pelajaran untuk mencapai
tujuan pengajaran yang telah ditetapkan.
Ada beberapa hal yang berkenaan dengan
metode yang digunakan guru dalam
menyampaikan materi pelajaran, misalnya
metode tanya jawab, diskusi, ceramah,
simulasi, dan demontrasi.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
Bentuk penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu
bentuk penelitian dengan cara menganalisis
data-data yang diperoleh dari hasil
penelitian. Menurut Moleong (2002: 6),
penggunaan bentuk penelitian kualitatif
terhadap pemilihan media pembelajaran
keterampilan berbicara dimaksudkan untuk
mengetahui kemampuan guru dalam memilih
media pembelajaran dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar, dalam hal ini
keterampilan berbicara di kelas XI SMA
Negeri 7 Pontianak. Data dalam penelitian
ini adalah hasil observasi dan wawancara,
serta pengamatan secara langsung terhadap
media pembelajaran keterampilan berbicara
oleh guru kelas XI yang termuat dalam
rencana pembelajaran yang dibuat guru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian analisis data ini diuraikan
data yang didapat dari lapangan yang
dilakukan peneliti terhadap kegiatan guru
Bahasa Indonesia di kelas XI SMA Negeri
7 Pontianak dalam mengajar di kelas.
Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan
wawancara dengan guru Bahasa Indonesia
SMA Negeri 7 Pontianak yang mengajar di
kelas XI sesuai dengan permasalahan yang
diteliti. Data dianalisis sesuai dengan urutan
permasalahan penelitian. Penganalisisan

406

data
dilakukan
secara
kontekstual.
Maksudnya, media pembelajaran aspek
keterampilan berbicara keberadaannya
dilihat atau digambarkan sebagai suatu
komponen yang berkaitan.
Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
yang Digunakan Guru dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan
Berbicara
Media pembelajaran Bahasa Indonesia
aspek keterampilan berbicara yang digunakan
oleh guru Bahasa Indonesia di kelas XI SMA
Negeri 7 Pontianak, yaitu media yang dapat
dilihat (contoh pengalaman menarik dari buku
atau surat kabar, contoh artikel dan buku,
serta contoh teks drama). Selain itu, media
yang dapat dilihat juga didengar (berupa
narasumber dari berbagai kalangan). Media
yang digunakan sudah dicantumkan dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Data tersebut diperkuat pada saat observasi
langsung dalam kelas.
Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek keterampilan berbicara tentang
menceritakan pengalaman atau kejadian
yang dilihat. Media yang digunakan guru
adalah contoh pengalaman menarik dari buku
atau surat kabar. Media yang digunakan guru
sudah tepat dengan kompetensi dasar yang
diajarkan. Ketepatan media yang digunakan
guru selain sesuai dengan karakteristik
(tema, butir pembelajaran, jumlah siswa,
ruang, metode, dan tujuan), juga merupakan
suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Dalam pemanfaatan
media, harus sesuai dengan karakteristik
penggunaan media tersebut, serta adanya
relevansi dengan butir pembelajaran.
Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek keterampilan berbicara media contoh
pengalaman menarik dari buku atau surat
kabar yang digunakan guru sudah sangat
tepat karena strategi yang digunakan tepat
pula. Hal ini dilihat dari tugas yang dikerjakan
siswa tentang menceritakan pengalaman

atau kejadian yang dilihat terlaksana


dengan baik. Selain itu, guru dapat menarik
kesimpulan berdasarkan media contoh
pengalaman menarik dari buku atau surat
kabar terhadap pembelajaran Bahasa
Indonesia aspek keterampilan berbicara
dikarenakan media yang digunakan sama.
Ini berarti strategi yang digunakan guru
juga tepat sebab metode, teknik, materi,
dan tujuan sama, walaupun dilaksanakan di
kelas yang berbeda.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
aspek keterampilan berbicara tentang
menyampaikan uraian tentang topik-topik
tertentu dari hasil membaca (artikel atau
buku). Guru menggunakan media contoh
artikel dan buku. Media yang digunakan
guru sudah tepat dengan kompetensi dasar
yang diajar oleh guru. Ketepatan media
yang digunakan guru selain sesuai dengan
karakteristik (tema, butir pembelajaran,
jumlah siswa, ruang, metode, dan tujuan).
Ketepatan tersebut juga sesuai dengan
kriteria pemilihan media pembelajaran.
Selain keterampilan berbicara, siswa
juga memperoleh keterampilan membaca
dan menulis karena dalam satu kegiatan
belajar mengajar guru menerapkan strategi
pembelajaran terpadu.
Pembelajaran Bahasa Indonesia aspek
keterampilan berbicara tentang memerankan
drama. Guru menggunakan media contoh
teks drama. Media yang digunakan guru
sudah tepat dengan kompetensi dasar
yang diajar oleh guru. Ketepatan media
yang digunakan guru selain sesuai dengan
karakteristik (tema, butir pembelajaran,
jumlah siswa, ruang, metode, dan tujuan).
Praktik memerankan drama merupakan
suatu kegiatan yang menuntut keberanian
dan keterampilan berbicara yang baik.
Kegiatan ini sangat tepat untuk melatih
keterampilan berbicara siswa. Untuk media
yang digunakan guru, penulis menilai sangat
tepat karena tanpa adanya contoh teks

drama siswa akan kesulitan untuk membuat


sebuah teks drama. Dengan adanya contoh
teks drama, siswa akan terbantu. Dalam hal
ini, contoh teks drama sebagai alat bantu
memperjelas dan memudahkan pemahaman
materi yang disampaikan guru.
Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
aspek keterampilan berbicara tentang
berwawancara dengan narasumber dari
berbagai kalangan. Guru menggunakan
media narasumber dari berbagai kalangan.
Media yang digunakan guru sudah tepat
dengan kompetensi dasar yang diajar oleh
guru. Ketepatan media yang digunakan guru
selain sesuai dengan karakteristik (tema,
butir pembelajaran, jumlah siswa, ruang,
metode, dan tujuan). Dalam pembelajaran
materi ini, guru melakukan pemodelan
terlebih dahulu bersama siswa. Pertama,
siswa diwawancarai oleh guru, setelah itu
guru berperan sebagai media, khususnya
sebagai narasumber yang memberikan
informasi. Pada kegiatan inti yang menjadi
narasumber antara lain, kepala sekolah,
guru BP, dan guru wali kelas. Menurut
penulis, para narasumber tersebut sangat
tepat untuk melatih kemampuan berbicara
siswa. Siswa merasa tertantang dengan
kegiatan wawancara tersebut sehingga
dapat membangkitkan minat dan motivasi
belajar siswa.
Keterkaitan
Media
Pembelajaran
yang Digunakan Guru dengan Materi
Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Penjabaran materi pelajaran mestinya
berdasarkan kerangka yang terdapat dalam
kurikulum. Guru harus mampu menjabarkan
materi pelajaran secara berbobot dan sesuai
dengan kebutuhan, guru harus menguasai
materi yang akan diajarkan secara luas,
mendalam, dan sistematis. Kemudian, guru
dapat menyajikan materi pelajaran dengan
menyiapkan media yang dapat melancarkan
dan memudahkan siswa dalam menerima

407

materi yang disampaikan guru dan proses


belajar mengajar dapat berjalan dengan baik.
Keterkaitan media yang digunakan
dalam proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia aspek keterampilan berbicara
sebenarnya sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan. Keterkaitan yang dimaksud
adalah di dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar. Dengan media, guru dapat
memotivasi siswa. Hal ini berarti media
yang digunakan guru dapat memberikan
rangsangan agar daya pikir siswa dalam
mengembangkan ide-idenya tergambar
dengan tepat, seolah-olah seperti melihat hal
yang sebenarnya.
Media-media yang digunakan guru
dalam proses belajar mengajar Bahasa
Indonesia aspek keterampilan berbicara
sudah berkaitan dengan materi yang
disampaikan guru. Adapun media-media
yang digunakan guru dalam pembelajaran
keterampilan berbicara, antara lain contoh
pengalaman menarik dari buku atau surat
kabar, contoh artikel dan buku, contoh
teks drama, dan narasumber dari berbagai
kalangan. Keempat media yang digunakan
guru sudah tepat untuk membantu dalam
penyampaian materi. Misalnya, media contoh
pengalaman menarik dari buku atau surat
kabar. Media ini sudah berkaitan dengan
materi yang disampaikan guru karena contoh
cerita yang ditampilkan dapat membuat
siswa lebih mudah dalam mengembangkan
ide untuk membuat sebuah cerita.
Strategi yang Digunakan Guru dalam
Menerapkan Media Pembelajaran dalam
Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia
Aspek Keterampilan Berbicara
Adapun strategi yang digunakan guru
dalam menerapkan media pembelajaran
aspek keterampilan berbicara sebagai
berikut.

408

1. Media contoh pengalaman menarik dari


buku atau surat kabar
Media ini ditampilkan guru dengan
bantuan media OHP sehingga guru
membuat transparan terlebih dahulu.
Sebelum media ini ditampilkan, guru
menjelaskan tentang OHP tersebut
sehingga siswa mengetahui media yang
digunakan. Contoh pengalaman menarik
ditampilkan guru, kemudian siswa
mengamati cerita yang mereka lihat.
Setelah itu, guru melakukan tanya jawab
dengan siswa tentang materi yang akan
dipelajari. Adapun cerita yang diambil
guru berjudul Salah Memegang.
2. Media contoh artikel dan buku
Media contoh artikel ditampilkan guru juga
dengan bantuan media OHP sehingga
guru membuat transparan terlebih
dahulu. Contoh artikel ditampilkan guru,
kemudian siswa mengamati artikel yang
ditampilkan. Setelah itu, guru melakukan
tanya jawab dengan siswa tentang materi
yang akan dipelajari serta menjelaskan
kompetensi yang harus mereka capai.
Selanjutnya, guru membagi siswa dalam
beberapa kelompok. Adapun artikel yang
diambil guru berjudul Alangkah Indah
Ketertiban Itu.
3. Media contoh teks drama
Media contoh teks drama ini juga
ditampilkan guru dengan bantuan
media OHP sehingga guru membuat
transparan terlebih dahulu. Sebelum
media ini ditampilkan, guru menjelaskan
tentang OHP karena media ini digunakan
di kelas yang berbeda sehingga guru
harus menjelaskannya lagi. Dengan
penjelasan tersebut, diharapkan siswa
mengetahui media yang digunakan.
Contoh teks drama ditampilkan guru,
kemudian siswa mengamati contoh
teks drama yang ditampilkan. Setelah
itu, guru melakukan tanya jawab

dengan siswa tentang materi yang akan


dipelajari serta menjelaskan kompetensi
yang harus mereka capai Selanjutnya,
guru membagi siswa dalam beberapa
kelompok. Adapun contoh drama yang
diambil guru berjudul Majalah Dinding.
4. Media narasumber dari berbagai
kalangan
Untuk media narasumber dari berbagai
kalangan, guru melakukan pemodelan
terlebih dahulu bersama siswa, setelah
itu baru dipraktikkan. Guru sebagai
narasumber dan siswa melakukan
wawancara kepada guru. Setelah
melakukan pemodelan, guru melakukan
tanya jawab dengan siswa seputar
materi pembelajaran. Pada kegiatan
inti pembelajaran, guru menentukan
narasumber untuk mempermudah siswa
dalam belajar, antara lain kepala sekolah,

guru BP, dan wali kelas yang akan siswa


wawancarai.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan
di atas, dapat diambil simpulan sebagai
berikut. Pertama, kriteria pemilihan media
yang digunakan guru dalam pembelajaran
bahasa Indonesia aspek keterampilan
berbicara sudah sesuai dengan tema
dan butir pembelajaran karena dapat
menimbulkan motivasi siswa untuk belajar.
Kedua, keterkaitan media pembelajaran
yang digunakan guru dalam proses belajar
mengajar Bahasa Indonesia sangat erat
sebab media yang digunakan dapat
memberikan inovasi dan motivasi bagi
siswa. Ketiga, strategi yang digunakan guru
saat menggunakan media membantu siswa
dalam belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Harjanto. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Miarso, Yusufhadi, dkk.. 1986. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom Dikbud
dan Rajawali.
Moleong, Lexy J.. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Robinson, d.n. Adjai.1988. Asas-Asas Praktik Mengajar. Jakarta: Bhratara.
Semi, M. Atar. 1990. Rancangan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Intan Pariwara
Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tarigan, H. G.. 1986. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angka
Bandung.

409

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN PKN MELALUI METODE


CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA SISWA
KELAS XI IPS 1 SEMESTER 2 SMA N 1 PULOKULON
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Endang Setiyowati
SMA Negeri 1 Pulokulon
endan9.wati@gmail.com / 081325691649

ABSTRACT
This study aims to determine the application of Contextual Teaching and Learning in improving
the quality of the process and the quality of learning outcomes Civics in class XI IPS 1 SMAN 1
Pulokulon Semester 2 Academic Year 2014/2015. This study consisted of two cycles. Each cycle
there are four stages, which consisted of action planning, action, observation, and reection.
The subjects were students of class XI IPS 1 SMAN 1 Pulokulon the Academic Year 2014/2015
the number of 35 students. Data obtained through observation, testing, and documentation.
The data analysis technique used is descriptive qualitative analysis. The results showed the
following results. 1) The application of cooperative learning CTL (Contextual Teaching and
Learning) can improve the quality of learning civics. In the rst cycle the percentage of active
students in learning by 80% and increased to 94.2% in the second cycle. 2) Implementation of
the learning CTL (Contextual Teaching and Learning) can improve learning outcomes Civics. In
the rst cycle of students learning completeness percentage is 74.2% and increased to 91.4%
in the second cycle.
Keywords: CTL, Civics learning, the quality of learning

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran Contextual Teaching and
Learning dalam meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil belajar PKn pada siswa kelas
XI IPS 1 SMA Negeri 1 Pulokulon Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian ini yang
terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdapat empat tahapan, yang terdiri dari perencanaan
tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan reeksi. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas XI IPS 1 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Ajaran 2014/2015 dengan jumlah 35 siswa.
Data diperoleh melalui pengamatan, tes, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan hasil sebagai
berikut. 1) Penerapan pembelajaran kooperatif CTL (Contextual Teaching and Learning)
dapat meningkatkan kualitas proses belajar PKn. Pada siklus I persentase keaktifan siswa
dalam pembelajaran sebesar 80% dan meningkat menjadi 94,2% pada siklus II. 2) Penerapan
pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan hasil belajar
PKn. Pada siklus I persentase ketuntasan belajar siswa adalah 74,2% dan meningkat menjadi
91,4% pada siklus II.
Kata kunci: CTL, pembelajaran PKn, kualitas belajar

PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia diharapkan
dapat mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang memiliki komitmen
kuat dan konsisten untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

410

Upaya yang dapat dilakukan adalah


menyelenggarakan program pendidikan
yang memberikan berbagai kemampuan
sebagai seorang warga negara melalui
berbagai mata pelajaran, salah satunya
Pendidikan Kewarganegaraan

Keberhasilan pendidikan dapat dilihat


dari hasil belajar siswa dalam prestasi
belajarnya. Kualitas dan keberhasilan
belajar siswa sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan ketepatan guru memilih
dan menggunakan metode pengajaran. Oleh
sebab itu, guru harus memiliki strategi agar
siswa dapat belajar secara efektif dan esien
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Guru harus memiliki kompetensi pengelolaan
pembelajaran yang mencakup penyusunan
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi
belajar, serta pelaksanan tindak lanjut hasil
penilaian.
Pembelajaran
PKn
sebenarnya
mempunyai peran yang sangat penting.
Mata pelajaran PKn diharapkan mampu
membentuk siswa yang ideal memiliki
mental yang kuat sehingga dapat mengatasi
permasalahan yang akan dihadapi. Selama
ini
proses
pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
masih
mengunakan
paradigma lama, di mana guru memberikan
pengetahuan kepada siswa yang pasif. Guru
mengajar mengunakan metode konvensional,
yaitu metode ceramah sehingga kegiatan
belajar mengajar (KBM) menjadi monoton
dan kurang menarik perhatian siswa. Kondisi
seperti itu mengakibatkan siswa menjadi pasif
dan hanya sebagai pendengar. Ketidakaktifan
siswa dalam pembelajaran ini berdampak
pada tingkat pemahaman siswa pada materi
menjadi rendah. Pemahaman yang rendah
mengakibatkan siswa mengalami kesulitan
ketika memecahkan masalah yang diberikan
oleh guru dan hal ini juga berdampak pada
hasil belajarnya yang rendah.
Untuk meningkatkan pemahaman
siswa terhadap materi, guru harus selalu
melakukan inovasi dan improvisasi mengenai
strategi pembelajaran di kelas. Strategi
pembelajaran tersebut disesuaikan dengan
kondisi dan kemampuan para peserta didik.
Hasil pengamatan penulis menunjukkan

bahwa partisipasi siswa kelas XI IPS 1 SMA


Negeri 1 Pulokulon dalam mengikuti pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan masih sangat
rendah. Hanya ada beberapa siswa yang
terlihat antusias dalam mengikuti pelajaran.
Keadaan ini menyebabkan prestasi belajar
mereka secara klasikal rendah. Dari hasil
reeksi awal, diperoleh data bahwa banyak
siswa yang merasa tidak senang dengan
metode yang diterapkan guru selama ini.
Mereka menginginkan adanya perubahan
sehingga mereka merasa tertarik untuk
mengikuti pelajaran.
Dari reeksi awal, didapat data
sebagai berikut. Sebanyak 50% (16
siswa) tidak senang dengan metode yang
diterapkan selama ini dan menginginkan
adanya perubahan metode yang lebih
menyenangkan. Sebanyak 56,25% (19
siswa) menyatakan tidak puas terhadap
hasil ulangan yang diperoleh. Siswa
menilai bahwa metode yang selama ini
diterapkan tidak memotivasi mereka untuk
lebih aktif. Hal inilah yang diperkirakan
menjadi penyebab rendahnya kualitas hasil
belajar siswa dalam mengikuti pelajaran.
Lebih dari 50% siswa mengatakan bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
pelajaran yang membosankan. Keadaan
ini segera direspons secara positif dengan
mencari alternatif model pembelajaran yang
efektif, yang membuat siswa aktif mengikuti
pelajaran dan mudah memahami materi
pelajaran.
Dalam penelitian tindakan kelas
ini, penulis berupaya mengkaji masalah
yang dipandang sering
muncul dalam
pembelajaran PKn, khususnya yang ada di
dalam kelas karena proses pembelajaran
di dalam kelas pada umumnya merupakan
gambaran nyata dari kegiatan persekolahan.
Penelitian terhadap proses pembelajaran
ini diyakini pula oleh asumsi bahwa dalam
proses pembelajaran yang baik akan

411

memiliki pengaruh atau signikan terhadap


hasil pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran PKn yang
erat sekali hubungannya dengan kegiatan
dan kehidupan masyarakat, penulis mencoba
memperbaiki pembelajaran PKn pada materi
Hubungan Internasional dan Organisasi
Internasional.
Untuk
meningkatkan
hasil pembelajaran penulis mencoba
menggunakan metode Contextual Teaching
and Learning (CTL). Metode Contextual
Teaching and Learning adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat monerapkannya dalam
kehidupan mereka. Hal itu dimaksudkan
agar siswa mudah memahami dan menerima
materi yang disampaikan guru, yang secara
tidak langsung memberi penekanan agar
siswa memperhatikan penjelasan guru dan
pada akhirnya siswa akan lebih memahami
konsep Hubungan Internasional. Penerapan
metode Contextual Teaching and Learning
(CTL) diharapkan mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran PKn siswa kelas XI
IPS 1.
1. Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan kegiatan yang paling
pokok dalam keseluruhan proses pendidikan
di sekolah. Hal ini berarti bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan,
banyak bergantung pada bagaimana proses
belajar yang dialami oleh siswa. Slameto
(2010: 2) berpendapat bahwa belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
berinteraksi dengan lingkungan.
Perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang sangatlah banyak, baik sifat

412

maupun jenisnya. Oleh karena itu, sudah


tentu tidak setiap perubahan dalam diri
seseorang merupakan perubahan dalam
arti belajar. Perubahan tingkah laku dalam
pengertian belajar mempunyai ciri-ciri,
antara lain: a) perubahan itu terjadi secara
sadar; b) perubahan dalam belajar bersifat
kontinu dan fungsional; c) perubahan dalam
belajar bersifat positif dan aktif; d) perubahn
dalam belajar bukan bersifat sementara;
e) perubahan dalam belajar bertujuan atau
terarah; f) perubahan mencakup seluruh
aspek tingkah laku.
Bell-Gredler
(dalam
Wiraputtra,
2003) menyatakan bahwa belajar adalah
proses yang dilakukan olah manusia untuk
mendapatkan aneka ragam competencies,
skill, attitudes, yang diperoleh secara bertahap
dan berkelanjutan, mulai dari masa bayi
sampai masa tua melalui rangkaian proses
belajar sepanjang hayat. Sedangkan Gagne
(dalam Slameto, 2003: 13) memberikan dua
denisi. a) Belajar ialah suatu proses untuk
memperoleh motivasi dalam pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku.
b) Belajar adalah penguasaan pengetahuan
atau keterampilan yang diperoleh dari
instruksi.
Dari pengertian tersebut di atas,
dapat kita ketahui bahwa belajar adalah
suatu proses perubahan perilaku, baik
perubahan yang menyangkut pengetahuan,
keterampilan, maupun sikap. Seseorang
dikatakan telah mengalami peristiwa belajar
jika ia mengalami perubahan dari tidak
tahu menjadi tahu, dari tidak berkompenten
menjadi kompenten.
Istilah pembelajaran merupakan istilah
baru yang digunakan untuk menunjukkan
kegiatan yang dilakukan oleh guru dan
siswa. Gagne, Briggs, dan Wager (dalam
Wiraputtra, 2003) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah serangkaian kegiatan
yang dirancang untuk memungkinkan
terjadinya proses belajar pada siswa. Istilah

pembelajaran mengacu pada segala kegiatan


yang berpengaruh langsung terhadap proses
belajar siswa.
2. Pendekatan Contextual Teaching and
Learning
Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) merupakan konsep belajar
yang dapat membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dari konsep tersebut, ada
tiga hal yang harus dipahami. Pertama,
menekankan kepada proses keterlibatan
siswa untuk menemukan materi. Artinya,
proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks metode kontekstual
tidak mengharapkan siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi lebih pada proses
mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.
Kedua, metode kontekstual mendorong
agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi
kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting
sebab dengan dapat mengorelasikan materi
yang ditemukan dengan kehidupan nyata,
tidak hanya bagi siswa materi itu akan
bermakna secara fungsional, tetapi materi
yang dipelajarinya juga akan tertanam erat
dalam memori siswa sehingga tidak akan
mudah dilupakan.
Ketiga, metode kontekstual mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan. Artinya, metode kontekstual
tidak hanya mengharapkan siswa dapat
memahami materi yang dipelajarinya, tetapi
juga bagaimana materi pelajaran itu dapat

mewarnai perilakunya dalam kehidupan


sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks
metode kontekstual bukan untuk ditumpuk
di otak kemudian dilupakan, akan tetapi
sebagai bekal mereka dalam mengarungi
kehidupan nyata.
Secara garis besar, langkah-langkah
penerapan pembelajaran contextual teaching
and learning (CTL) sebagai berikut.
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan
sendiri, dan mengonstruksi sendiri
pengetahuan
dan
keterampilan
barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar
dalam kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran.
f. lakukan reeksi di akhir pertemuan.
g. lakukan penilaian yang sebenarnya
dengan berbagai cara.
3. Kualitas Belajar
Masih rendahnya kualitas belajar
siswa dapat diketahui dari indikator kualitas
proses dan hasil belajar. Menurut Kusumah
& Dwitagama (2010: 73), indikator kualitas
proses pembelajaran dapat dilihat dari
aktivitas dan interaksi belajar mengajar.
Sedangkan
indikator
kualitas
hasil
pembelajaran, dapat dilihat dari perasaan
puas, rasa ingin tahu, prestasi, dan produk
belajar yang dihasilkan siswa.
Dalam artikel ini, kualitas proses
belajar yang diamati adalah keaktifan siswa
dan hasil belajar yang dimaksud adalah
prestasi kognitif, afektif, dan kepuasan siswa
terhadap pembelajaran.

413

a. Kualitas Proses Belajar


Menurut Sujana (2009: 59 - 62),
dalam menilai proses belajar mengajar,
terdapat beberapa kriteria yang biasa
digunakan, antara lain sebagai berikut.
1) Konsistensi belajar mengajar
dengan kurikulum
Kurikulum adalah program
belajar mengajar yang telah ditentukan
sebagai acuan apa yang seharusnya
dilaksanakan. Keberhasilan proses
belajar mengajar dilihat dari sejauh
mana acuan tersebut dilaksanakan
secara nyata dalam bentuk dan
aspek-aspek yang melikputi: a)
tujuan-tujuan pengajaran; b) bahan
pengajaran yang diberikan; c) jenis
kegiatan yang dilaksanakan; d) cara
melaksanakan setiap jenis kegiatan;
e) peralatan yang digunakan untuk
masing-masing kegiatan; dan f)
penilaian yang digunakan untuk
setiap tujuan.
2) Keterlaksanaannya oleh guru
Dalam hal ini adalah sejauh
mana
kegiatan
dan
program
yang telah direncanakan dapat
dilaksanakan oleh guru tanpa
mengalami hambatan dan kesulitan
yang berarti. Dengan demikian, apa
yang direncanakan dapat diwujudkan
sebagaimana
seharusnya.
Keterlaksanaan ini dapat dilihat
dalam hal a) mengondisikan kegiatan
belajar siswa; b) menyiapkan sumber,
alat, dan perlengkapan belajar, (3)
waktu yang disediakan untuk kegiatan
belajar mengajar; c) memberikan
bantuan dan bimbingan belajar
kepada siswa; d) melaksanakan
penilaian proses dan hasil belajar
siswa; dan e) menggeneralisasikan
hasil belajar mengajar saat itu dan
tindak lanjut untuk kegiatan belajar
mengajar berikutnya.

414

3) Keterlaksanaannya oleh siswa


Dalam hal ini, dinilai sejauh
mana siswa melakukan kegiatan
belajar sesuai dengan program
yang telah ditentukan guru tanpa
mengalami hambatan dan kesulitan
yang berarti. Keterlaksanaan oleh
siswa dapat dilihat dalam hal a)
memahami dan mengikuti petunjuk
yang diberikan guru; b) siswa
turut serta melakukan kegiatan
belajar; c) tugas-tugas belajar
dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya; d) memanfaatkan sumber
belajar yang disediakan guru; dan e)
menguasai tujuan-tujuan pengajaran
yang telah ditetapkan guru.
4) Motivasi belajar siswa
Keberhasilan proses belajar
mengajar dapat dilihat dalam motivasi
belajar yang ditunjukkan oleh para
siswa pada saat melaksanakan
kegiatan belajar mengajar. Hal ini
dapat dilihat dalam hal a) minat dan
perhatian belajar siswa terhadap
pelajaran; b) semangat siswa untuk
melakukan tugas-tugas belajarnya;
c) tanggung jawab siswa dalam
mengerjakan tugas-tugas belajarnya;
dan d) reaksi yang ditunjukkan siswa
terhadap stimulus yang diberikan
guru.
5) Keaktifan siswa dalam kegiatan
belajar
Penilaian
proses
belajar
mengajar, terutama adalah melihat
sejauh mana keaktifan siswa
dalam mengikuti proses belajar
mengajar. Keaktifan siswa dapat
dilihat dalam hal a) turut serta dalam
melaksanakan tugas belajarnya; b)
terlibat dalam pemecahan masalah;
c) bertanya pada siswa lain atau guru
terhadap masalah yang dihadapinya;
d) melaksanakan diskusi kelompok
sesuai dengan bimbingan guru; e)

menilai kemampuan diri dan hasilhasil yang diperolehnya; f) melatih


diri dalam menyelesaikan soal atau
masalah sejenis; dan g) kesempatan
menerapkan apa yang telah diperoleh
dalam menyelesaikan tugas atau
persoalan yang dihadapinya.
Menurut Fajri, dkk. (2003: 36),
keaktifan adalah kegiatan, kesibukan
dalam bekerja atau berusaha. Kata
keaktifan memiliki persamaam arti
dengan aktivitas. Klasikasi aktivitas
belajar, meliputi: a) visual activies,
misalnya membaca, memperhatikan
gambar demonstrasi, percobaan; b)
oral activities, misalnya menyatakan,
merumuskan, bertanya, memberi
saran, mengeluarkan pendapat,
mengadakan wawancara, diskusi,
interupsi; c) listening activities,
misalnya menguraikan, percakapan,
diskusi, musik, pidato; d) writing
activities, misalnya menulis cerita,
karangan, laporan, angket, menyalin;
e) drawing activities, misalnya
menggambar,
membuat
grak,
peta, diagram; f) motor activities,
misalnya
melakukan
percoban,
membuat
konstruksi,
model
mereparasi, bermain, berkebun,
dan berternak; f) mental activities,
misalnya menanggapi, mengingat,
memecahkan soal, menganalisis,
melihat hubungan, dan mengambil
keputusan; g) emotional activities,
misalnya menaruh minat, merasa
bosan,
gembira,
bersemangat,
bergairah, berani, tenang, dan gugup
(Sardiman, 2010: 101).
Yamin (2007: 84) sependapat
dengan
Sardiman
yaitu
ada
delapan aktivitas belajar siswa
seperti diatas, akan tetapi yang
dimaksud oral activities, misalnya
siswa mengemukakan fakta, ide,
pendapat,
gagasan,
bertanya,

maupun menjawab pertanyaan.


Artikel ini hanya mengambil empat
aspek kegiatan siswa, meliputi visual
activities, oral activities, listening
activities, dan writing activites.
6) Interaksi Guru dengan Siswa
Interaksi guru dengan siswa
berkenaan dengan komunikasi atau
hubungan timbal balik antara siswa
dengan guru atau siswa dengan siswa
dalam melakukan kegiatan belajar.
Hal ini dapat dilihat dalam a) tanya
jawab antara guru dengan siswa
atau antara siswa dengan siswa;
b) bantuan guru terhadap siswa
yang melakukan kegiatan belajar
mengajar, baik secara individual
maupun kelompok; c) dapatnya
guru dan siswa tertentu dijadikan
sumber belajar; d) keberadaan
guru senantiasa berperan sebagai
fasilitator dan adanya kesempatan
mendapat umpan balik secara
berkesinambungan.
7) Kemampuan
guru
dalam
mengajar
Kemampuan guru dalam
mengajar
merupakan
puncak
keahlian guru yang profesional
karena guru menerapkan semua
kemampuan yang telah dimilikinya
dalam
pengajaran.
Beberapa
indikator dalam menilai kemampuan
guru, antara lain: a) menguasai bahan
pelajaran yang disampaikan kepada
siswa; b) terampil berkomunikasi
dengan siswa; c) menguasai kelas
sehingga
dapat
mengendalikan
siswa; d) terampil menggunakan
alat dan sumber belajar siswa; dan
e) terampil mengajukan pertanyaan,
baik lisan maupun tulisan.
b. Kualitas Hasil Belajar
Belajar adalah sebuah proses di
mana hasil dari proses belajar adalah

415

perubahan tingkah laku, kecakapan, dan


berbagai sifat. Hasil dari proses belajar
tersebut dapat dinilai melalui evaluasi.
Menurut Nana (2009: 22), hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Dari uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman
belajar yang tampak pada perubahan
tingkah lakunya. Hasil belajar selalu
dinyatakan dalam bentuk tujuan-tujuan
(khusus) perilaku.
Gagne (dalam Slameto, 2010:
93)
mengungkapkan
bahwa
ada
lima macam kemampuan manusia
yang merupakan hasil belajar, antara
lain: 1) keterampilan intelektual yang
merupakan hasil belajar terpenting; 2)
strategi kognitif, mengatur cara belajar
dan berpikir seseorang, termasuk
kemampuan memecahkan masalah; 3)
informasi verbal; 4) kemampuan motorik
yang diperoleh di sekolah; 5) sikap dan
nilai yang berhubungan dengan arah
serta intensitas emosional yang dimiliki
seseorang. Dalam sistem pendidikan
nasional,
rumusan
kompetensi
didasarkan pada klasikasi hasil belajar
dari Bloom, yang secara garis besar
dibagi menjadi tiga ranah, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor (Nana, 2009: 22
- 23).
Ismail (2006: 171) menyebutkan
bahwa
kepuasan
belajar
siswa
merupakan hasil belajar. Variasi metode
dan media merupakan faktor penting
penentu
keberhasilan
pengajaran.
Sedangkan menurut Rahayu (2009: 45),
perasaan senang setelah pembelajaran,
efektivitas, esiensi media dan metode
yang digunakan
adalah indikator
kepuasan siswa terhadap pembelajaran
yang diterapkan.

416

Hasil
belajar
siswa
dapat
digunakan untuk memotivasi siswa,
memperbaiki
dan
meningkatkan
kualitas pembelajaran oleh guru. Selain
itu, pemanfaatan hasil belajar untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pembelajaran harus didukung oleh
siswa, guru, kepala sekolah, serta orang
tua siswa (Depdiknas, 2003: 21). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa
fungsi hasil belajar bagi siswa adalah
sebagai indikator pencapaian tujuan
pembelajaran dan umpan balik bagi
guru dalam rangka peningkatan kualitas
proses pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan
Kelas
(Classroom
Action
Research), yang terdiri dari dua siklus. Setiap
siklus terdapat empat tahapan, yang terdiri
dari perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan reeksi. Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS 1 SMA
Negeri 1 Pulokulon Tahun Ajaran 2014/2015.
Data diperoleh melalui pengamatan, tes,
dan dokumentasi. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Awal
Pada pembelajaran PKn kelas XI. IPS
1 sudah biasa dikondisikan berkelompok
sehingga
untuk
materi-materi
yang
memerlukan kerja kelompok, guru tidak perlu
lagi membentuk kelompok. Dari 35 siswa,
dibagi menjadi 6 kelompok sehingga tiap
kelompok berjumlah 5 - 6 siswa. Sebelum
penelitian tindakan kelas ini, materi pokoknya
adalah Hubungan Internasional.
Pembelajaran berlangsung menarik
karena guru mengarahkan siswa untuk
menghubungkan
materi
hubungan
internasional dengan kehidupan seharihari. Bagi sebagian siswa, ini merupakan

pengalaman yang menarik. Namun, masih


ada siswa yang kurang aktif dalam kerja
kelompok, bahkan ada kelompok yang
kurang serius berinteraksi dengan teman
satu
kelompoknya sehingga
mereka
lamban dalam memahami materi tersebut.
Baru sekitar 62,8% siswa yang aktif dalam
tiap kelompoknya. Ada siswa yang hanya
melihat temannya bekerja, ada pula siswa
yang kurang percaya diri. Mereka yang
maju presentasi maupun bertanya hanya
siswa-siswa tertentu. Kurang aktifnya siswa
ini berakibat pada rendahnya ketuntasan
belajar kelas. Dari 35 siswa, siswa yang
nilainya di atas nilai KKM sebanyak 23 siswa
atau 65,7%.
2. Siklus 1
a. Perencanaan
Berdasarkan kondisi awal di atas,
maka rencana pembelajaran di siklus I
menggunakan pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL)
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
belajar PKn agar terasa lebih menyenangkan,
meningkatkan motivasi siswa, kerja sama,
dan keaktifan siswa semakin meningkat.
Dengan demikian, pembelajaraan Contextual
Teaching and Learning (CTL) ini diharapkan
mampu meningkatkan aktivitas dan hasil
pembelajaran materi Hubungan Internasional
b. Tindakan
Siklus pertama dilaksanakan dalam
dua kali pertemuan, yaitu tanggal 11 dan 18
Februari 2015 di kelas XI IPS 1 SMA Negeri 1
Pulokulon. Setiap pertemuan, waktunya 2 jam
pelajaran, yaitu 2x45 menit, dengan materi
Hubungan Internasional. Tindakan yang
dilakukan adalah pendekatan pembelajaran
Contextual Teaching and Learning
Langkah-langkah yang dilakukan guru
dalam pembelajaran Contextual Teaching
and Learning pada siklus I ini sebagai berikut.
1) Guru memberi apersepsi dan motivasi; 2)

guru menyampaikan tujuan pembelajaran


yang akan dicapai; 3) guru menjelaskan
pembelajaran dengan model Contextual
Teaching and Learning (CTL); 4) siswa
berkelompok; 5) guru membagikan lembar
kerja kelompok kepada masing-masing
kelompok; 6) masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya
di depan kelas dengan alokasi waktu sekitar
15 menit; 7) guru memberi penghargaan
pada kelompok dengan hasil terbaik; 8) guru
dan siswa bersama-sama mengevaluasi
kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan;
9) guru memberi evaluasi materi Hubungan
Internasional
Pada siklus I pertemuan pertama,
sebelum presentasi materi oleh guru
pembelajaran, pembelajaran diawali dengan
pembentukan kelompok. Pembentukan
kelompok didasarkan pada keheterogenan,
tiap kelompok terdiri dari siswa berkemampuan
tinggi, rendah, laki-laki maupun perempuan.
Dari 35 siswa dibagi dalam 6 kelompok, setiap
kelompok beranggotakan 5 - 6 siswa. Siswa
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya
di depan kelas tentang materi hubungan
internasional. Kelompok lain memberikan
tanggapan dan pertanyaan dengan antusias
dan kelompok yang memperoleh prestasi
terbaik mendapat penghargaan dilakukan
evaluasi individu
c. Observasi
Berdasarkan pengamatan terhadap
berlangsungnya proses pembelajaran PKn
pada materi Hubungan Internasional yang
telah dilakukan pada siklus I, diperoleh
gambaran hasil tentang siswa cukup baik
memperhatikan pelajaran, yaitu sekitar
30 dari 35 siswa yang hadir, yaitu 85,7%,
namun keaktifan siswa selama pembelajaran
belum maksimal, yaitu sekitar 28 dari 35
siswa yang hadir, yaitu 80%. Motivasi dan
kegairahan dalam mengikuti pembelajaran
(meyelesaikan tugas mandiri atau tugas
kelompok), yaitu 28 dari 35 siswa sekitar 80%.

417

Berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan


bahwa 26 dari 35 siswa yang memperoleh
nilai di atas batas KKM, yaitu sekitar 74,2%. .
d. Reeksi
Dari hasil observasi pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL)
dapat direeksikan pada siklus I adalah
bahwa siswa masih ada yang lebih suka
untuk berpikir sendiri, kurang tertarik untuk
berbagi ide, gagasan, atau pendapat
dengan temannya. Sebagian siswa belum
terbiasa dengan kondisi belajar dengan
menggunakan pembelajaran Contextual
Teaching and Learning, tetapi ada juga yang
lebih senang dan antusias dalam belajar. Hal
ini mengakibatkan belum maksimalnya hasil
belajar siswa, yaitu nilai siswa masih banyak
yang belum mencapai nilai KKM. Oleh
karena itu, perlu pelaksanaan siklus II untuk
meningkatkan pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL).
3. Siklus II
a. Perencanaan
Untuk
memperbaiki
kelemahan
dan
mempertahankan
keberhasilan
yang telah dicapai pada siklus I, maka
pada pelaksanaan siklus II dapat dibuat
perencanaan sebagai berikut. 1) Memberikan
motivasi kepada kelompok siswa agar
lebih aktif lagi dalam pembelajaran; 2) guru
lebih intensif membimbing kelompok siswa
yang mengalami kesulitan; 3) memberikan
penghargaan kepada siswa (reward).
b. Tindakan
Tindakan pada siklus II dilaksanakan
dalam dua pertemuan, yakni tanggal 25
Februari 2015 dan 11 Maret 2015. Setiap
pertemuan waktunya 2 jam pelajaran, yaitu
2x45 menit, mulai jam ke 5 dan 6, yaitu pukul
10.30 - 12.00 WIB. Rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang digunakan pada
siklus II sama dengan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) pada siklus I karena
pembelajaran ini adalah pengulangan siklus

418

I yang telah dilaksanakan sebelumnya,


dengan maksud untuk meningkatkan
pembelajaran siswa.
Pada pelaksanaan siklus I yang
telah dilakukan ternyata masih terdapat
kelemahan dalam kegiatan proses belajar
mengajar, seperti siswa masih kurang aktif,
siswa masih kurang motivasi, siswa masih
kesulitan mengerjakan tugas, masih kurang
adanya interaksi guru dengan siswa sehingga
perlu dilakukan tindakan pemecahannya.
Tindakan yang perlu ditempuh adalah 1)
guru memberi umpan balik (reward) kepada
siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran
dan mau mengerjakan tugas yang diberikan
guru dengan serius dan sungguh-sungguh;
2) mencari cara agar siswa lebih tertarik
dan memperhatikan pembelajaran; 3) dalam
pembelajaran, sebaiknya harus banyak
interaksi dua arah; 4) perlu ada bimbingan
pada siswa saat mengerjakan tugas sehingga
siswa lebih memahami; 5) sebaiknya juga
memberi balikan dan penguatan pada siswa
tentang hasil tugasmya.
c. Hasil Observasi
Berdasarkan pengamatan peneliti,
lewat kegiatan belajar mengajar yang telah
dilaksanakan pada siklus II, diperoleh hasil
sebagai berikut. Siswa memperhatikan
pelajaran dengan baik, yaitu sekitar 33 dari
35 siswa yang hadir 94,2%, keaktifan siswa
selama pembelajaran sekitar 32 dari 35
siswa yang hadir, yaitu 91,4%. Motivasi dan
kegairahan dalam mengikuti pembelajaran
(meyelesaikan tugas mandiri atau tugas
kelompok), yaitu 31 dari 35 siswa sekitar
88,5%. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
33 dari 35 siswa memperoleh nilai di atas
batas KKM, yaitu sekitar 94,2%.
d. Reeksi
Dari hasil observasi, reeksi pada
proses pembelajaran siklus II adalah siswa
aktif bekerja sama dan diskusi dalam
kelompok. Siswa mulai lancar dalam
berkomunikasi dengan bahasa ilmiah. Hal

ini berakibat pada hasil pembelajaran yang


semakin meningkat, seperti perolehan
nilai di atas KKM mencapai 94,2% yang
menunjukkan daya serap klasikal telah
tercapai sehingga pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL)
tepat
digunakan untuk pembelajaran materi
hubungan internasional
e. Pembahasan
Dari hasil pelaksanaan siklus I dan
siklus II, secara ringkas dapat dideskripsikan
dalam tabel berikut.
Tabel 1. Data Aktivitas Siswa yang Relevan
dengan Pembelajaran
No

Indikator

Ketercapaian
Siklus I Siklus II

Untuk keaktifan siswa

80%

91,4%

Motivasi dan
kegairahan
dalam mengikuti
pembelajaran (
meyelesaikan tugas
mandiri atau tugas
kelompok )

80%

88,5%

85,7%

94,2%

74,2%

94,2%

Memperhatikan
pelajaran dengan baik
Untuk aspek
pengetahuan
tercapainya nilai batas
tuntas (KKM= 78)

Dari tabel di atas, dapat dinyatakan


bahwa terjadi peningkatan pada indikator
yang telah ditetapkan dari hasil pelaksanaan
siklus I dan siklus II. Berdasarkan pengamatan
selama proses pembelajaran, keaktifan
siswa mengalami peningkatan dari siklus
I ke siklus II sebesar 11,4%. Peningkatan
kemampuan siswa yang berani bertanya dan
mengemukakan pendapat sebesar 8,6%,
peningkatan motivasi dan kegairahan dalam
mengikuti pembelajaran 8,5%, peningkatan
interaksi siswa dalam mengikuti diskusi
kelompok sebesar 9,4%. Hasil evaluasi
siklus II menunjukkan bahwa 33 dari 35 siswa
memperoleh nilai di atas batas KKM, yaitu
sekitar 94,2%. Dari hasil evaluasi, aspek
kognitif pada materi Hubungan Internasional
mengalami peningkatan sebesar 20%.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning dapat
meningkatkan Kualitas pembelajaran PKn
materi hubungan internasional siswa kelas
XI IPS 1 SMA Negeri 1 Pulokulon.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Pedoman Pengembangan Instrumen dan Penilaian Ranah Psikomotor
(Unpublised). Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Fajri, E. M. Zul, dkk.. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Utama.
Ismail, Adang. 2006. Education Games. Yogyakarta: Nuansa Aksara.
Kusuma, Wijaya & Dwitagama, Dedi. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT
Indeks.
Nana, Sudjana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rahayu, Evin Tri. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Kolaboratif Disertai Metode Number
Heads Together dalam Meningkatkan Hasil Belajar Biologi. Skripsi, FKIP Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Wiraputtra, Udin S.. 2003. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

419

PEMAKAIAN BAHASA MASYARAKAT PONTIANAK DI BERBAGAI


RANAH ATAU KONTEKS (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)

Al Ashadi Alimin
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP-PGRI Pontianak
Jalan Ampera Pontianak 78116
dj_ashadi@yahoo.co.id

ABSTRAK
This article provides the variations of language usage in various contexts by the society in
Pontianak. The purposes of this research are: 1. to describe the variations of language that
exist in the society, and 2. the existence of code switching and code mixing in language use.
The method of this research is descriptive qualitative, object of this research is utterances that
have been transcribed into text. The data collections method used listening and free listening
technique. The result of the analysis showed the existence variation of Malay language with
Sambasnese dialect, Ketapang dialect, Pontianak dialect, Dayaknese language, Javanese
language, Indonesian slang and foreign language. The existence of code switching and code
mixing was in form of the sentence from Malay Pontianak language to Indonesian language.
The forms of code mixing that exist is in form of words from local language, foreign language
and Indonesian slang.
Keywords: society language use, language variation, code switching, code mixing

ABSTRAK
Artikel ini memuat analisis variasi pemakaian bahasa di berbagai ranah atau konteks oleh
masyarakat Pontianak. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan variasi-variasi bahasa
yang muncul dari pemakaian bahasa; dan 2) ragam alih dan campur kode yang muncul dari
pemakaian bahasa. Metode yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan objek penelitian
berupa pertuturan yang telah ditranskrip dalam bentuk teks dengan metode pengumpulan data
menggunakan teknik simak dan teknik simak bebas libat cakap. Hasil analisis menunjukkan
bahwa varasi bahasa yang muncul meliputi variasi bahasa Melayu dialek Sambas, bahasa
Melayu dialek Ketapang, bahasa Melayu dialek Pontianak, bahasa Dayak, bahasa Jawa,
bahasa Prokem, serta bahasa asing. Ragam alih dan campur kode yang muncul adalah alih
kode yang berwujud kalimat dari bahasa Melayu Pontianak ke dalam bahasa Indonesia. Wujud
campur kode yang muncul adalah campur kode berwujud kata dari bahasa daerah, bahasa
asing, serta bahasa prokem.
Kata kunci: pemakaian bahasa masyarakat, variasi bahasa, alih dan campur kode.

PENDAHULUAN
Komunikasi yang berlangsung dalam
masyarakat bahasa merupakan tempat atau
media untuk mengungkapkan ide, gagasan,
isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya.
Peristiwa komunikasi yang berlangsung
antara pembicara kepada pendengar
merupakan suatu peristiwa yang sangat
majemuk. Dalam hal ini, bahasa sebagai alat
komunikasi yang mempunyai peranan sangat
penting. Begitu pentingnya bahasa, sehingga

420

kajian tentang bahasa yang dihubungkan


dengan faktor sosial merupakan suatu kajian
yang sangat menarik. Hal ini disebabkan
oleh luasnya objek penelitian yang menarik
dan dapat terus dikaji.
Penelitian ini memfokuskan pada
pemakaian bahasa masyarakat Pontianak
di berbagai ranah atau konteks. Secara
rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1)
mendeskripsikan bentuk variasi bahasa
yang terdapat dalam pemakaian bahasa

masyarakat Pontianak? 2) mendeskripsikan


ragam alih dan campur kode yang terkandung
dalam pemakaian bahasa masyarakat
Pontianak?
Pada kenyataannya bahasa adalah
kaya
raya
dengan
keanekaragaman
perwujudannya. Perwujudan bahasa itu
sangat luasnya sehingga variasi-variasi itu
seakan tanpa batas (Alwasilah, 1989: 65).
Terjadinya keragaman atau kevariasian
bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh
para penuturnya yang tidak homogen, tetapi
juga karena kegiatan interaksi sosial yang
mereka lakukan sangat beragam.
Beberapa pengertian mengenai variasi
bahasa, seperti pendapat Suwito (1991:
34) bahwa variasi bahasa merupakan
sejenis ragam bahasa yang pemakainnya
disesuaikan dengan fungsi dan situasi, tanpa
mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang
berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Pendapat lain mengenai variasi bahasa
menurut Soeparno (2002: 71) adalah bentukbentuk bagian atau varian dalam bahasa
yang masing-masing memiliki pola-pola yang
menyerupai pola umum bahasa induknya.
Sementara itu, menurut Chaer & Agustina
(2010: 62), variasi bahasa dipandang
sebagai bentuk-bentuk bagian atau varian
dalam bahasa yang masing-masing memiliki
pola yang menyerupai pola umum bahasa
induksinya.
Berdasarkan beberapa pengertian
pendapat ahli di atas, disimpulkan bahwa
variasi bahasa adalah keanekaragaman
bahasa yang dipakai penutur bahasa yang
tidak jauh berbeda dengan bahasa induknya
akibat berbagai faktor yang mempengaruhi
peristiwa tutur tersebut. Keragaman atau
kevariasian bahasa ini bukan hanya
disebabkan oleh para penuturnya yang
tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan
interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam

Faktor-faktor yang mempengaruhi


variasi bahasa menurut Fishman (Chaer &
Agustina, 1995: 204) adalah lokasi, topik,
dan partisipan; seperti keluarga, tetangga,
teman, transaksi pemerintahan, pendidikan,
pekerjaan, dan sebagainya. Fenomena
pemakaian bahasa tersebut tidak terlepas
dari penggunaan berbagai jenis kode
kebahasaan yang disesuaikan dengan
berbagai faktor, baik kebahasaan dan
nonkebahasaan. Berikut ini akan dipaparkan
teori alih dan campur kode.
Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa di dalam masyarakat
dwibahaswan. Menurut Suwandi, 2008: 86;
Saddhono, 2012: 78, di dalam masyarakat
dwibahasawan, hampir tidak mungkin
seorang penutur menggunakan satu
bahasa secara mutlak tanpa sedikitpun
memanfaatkan bahasa lain. Alih kode
merupakan salah satu aspek tentang
saling ketergantungan bahasa di dalam
masyarakat multilingual. Pendapat serupa
juga diutarakan oleh Chaer & Agustina (2004:
107) bahwa alih kode dipandang sebagai
peristiwa penggantian bahasa dari bahasa
satu ke bahasa yang lain, dari ragam satu ke
ragam yang lain atau perubahan dari situasi
resmi ke situasi santai. Hal senada diutarakan
oleh Iqbal, dkk. (2011: 15), alih kode sebagai
fenomena beralih penutur dari satu bahasa
ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau
percakapan. Lebih lanjut, Iqbal menegaskan
kedwibahasaan mengakibatkan tumpang
tindih (percampuran) penggunaan unsur
sistem bahasa satu dengan sistem bahasa
lainnya.
Berdasarkan
beberapa
pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan alih kode adalah
pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain
atau pertukaran dari satu variasi bahasa ke
bahasa variasi bahasa lain dalam bahasa
yang sama, ataupun pertukaran dari satu
gaya bahasa satu ke gaya bahasa yang

421

lain dalam bahasa yang sama. Berdasarkan


sifatnya, alih kode dapat dibedakan menjadi
dua, alih kode intern dan alih kode ekstern
(Saddhono, 2012: 79). Alih kode intern
dimaksudkan sebagai alih kode yang terjadi
antarbahasa daerah dalam satu bahasa
nasional, sedangkan alih kode ektern
merupakan alih kode yang terjadi antara
bahasa asli dengan bahasa asing.

alih bahasa, yaitu isi dari pembicaraan,


keformalan sebuah pembicaraan, para
pendengar, dan keefektifan dari pesan yang
disampaikan. Selain itu, Hoffman dan Troike
(Apriana, 2006: 38 - 39) juga menyatakan
faktor
penyebab
terjadinya
campur
kode, yaitu mencakup alasan seseorang
dalam melakukan campur kode. Mereka
menyatakan,

Dalam peristiwa tutur, campur kode juga


sering digunakan. Pengertian campur kode
menurut Nababan (1991:32) adalah suatu
keadaan berbahasa lain (speech act atau
discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa yang menuntut pencampuran
bahasa. Dalam keadaaan yang demikianlah,
menurut Nababan hanya kesantaian penutur
dan/atau kebiasaannya yang dituruti.
Pendapat lain mengenai campur kode, yaitu
dari Thelander (Chaer & Agustina, 2004: 115)
menjelaskan bahwa apabila suatu peristiwa
tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa,
yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa
campuran (hybrid clauses, hybrid pharases),
dan masing-masing klausa atau frasa itu
tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri,
maka peristiwa yang terjadi adalah peristiwa
campur kode.

There are ten reasons why people mix


or switch their languages. They are: 1)
talking about a particular topic; 2) quoting
somebody else; 3) being emphatic
about something; 4) sentence llers or
sentence connectors; 5) repetition used
for clarication; 6) intention of clarifying
the speech content for interlocutor; 7)
expressing group identity; 8) softening or
strengthening request or command; 9)
real lexical need; and 10) for the sake of
efciency. All those factors and reasons
are used in the analysis.

Berdasarkan pendapat beberapa para


ahli, dapat dinyatakan bahwa pengertian
campur kode adalah penggunaan unsurunsur lain atau ketergantungan bahasa
ketika memakai bahasa tertentu yang
saling dibutuhkan. Peristiwa campur kode
disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi, seperti yang dikemukakan
oleh Hoffman, Hamers, dan Blanc (Apriana,
2006: 38 - 39) bahwa ada beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya alih
dan campur bahasa, They are: 1) the
content of the conversation; 2) the formality
of the conversation; 3) the participants;
and 4) the effectiveness of the message.
Menurut mereka, faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya campur atau

422

Ada 10 alasan seseorang mengalih atau


mencampur bahasa, yaitu 1) membicarakan
mengenai topik tertentu; 2) mengutip
pembicaraan orang lain; 3) mempertegas
sesuatu; 4) pengisi dan penyambung
kalimat; 5) perulangan untuk mengklarikasi;
6) bermaksud untuk mengklarikasi isi
pembicaraan kepada lawan bicara; 7)
menunujukkan identitas suatu kelompok; 8)
memperhalus atau mempertegas permintaan
atau perintah; 9) kebutuhan leksikal; dan 10)
keesiensian suatu pembicaraan.
Dengan demikian, campur kode
dapat dibagi menjadi enam jenis, yaitu
penyisipan unsur-unsur yang berwujud
kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud
frasa, penyisipan unsur-unsur yang berwujud
bentuk baster, penyisipan unsur-unsur yang
berwujud kata ulang, penyisipan unsurunsur yang berwujud ungkapan atau idiom,
dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud
klausa. Selanjutnya, faktor penyebab
terjadinya campur kode mencakup alasan

seseorang dalam melakukan campur


kode, yaitu membicarakan mengenai
topik tertentu, mengutip pembicaraan
orang lain, mempertegas sesuatu, pengisi
dan penyambung kalimat, perulangan
untuk mengklarikasi, bermaksud untuk
mengklarikasi isi pembicaraan kepada
lawan bicara, menunujukkan identitas suatu
kelompok, memperhalus atau mempertegas
permintaan atau perintah, kebutuhan leksikal,
dan keesiensian suatu pembicaraan.

Andi

Ari
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebuah
penelitian
lapangan
(eld
research)
menggunakan metode deskriptif melalui
pendekatan sosiolinguistik. Data dalam
penelitian ini berupa pertuturan atau dialog
percakapan yang telah ditranskrip dalam
bentuk teks dengan sumber data dalam
penelitian adalah penutur yang melakukan
percakapan pada saat perekaman data
penelitian. Subjek dalam penelitian ini bersifat
purposive sampling. Data dikumpulkan
dengan metode simak atau penyimakan
selanjutnya dianalisis menggunakan metode
padan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pontianak memiliki berbagai suku
dan etnis yang multikultural, dalam interaksi
percakapan sehari-hari, pemakain kode oleh
masyarakat tutur sangat bervariasi.
1. Analisis Data 1
Konteks: tiga orang mahasiswa
sedang duduk-duduk di kontrakan B5 Danau
Sintarum sedang membicarakan rencana
pulang ke kampung halaman.
Andi : Teg, bile kau nak balik ke
Singkawang. (kapan mau pulang ke
Singkawang)
Tegi : Ndak taulah An, sian libornye maseh
tok be. Kau bile nak balik? (kurang
tahu juga An, belum ada libur. Kamu

Andi

Ari
Tegi

kapan pulang?)
: Rencaneku nak balik hari Jumat itok.
Dah lamak juak daan balik tok e, kau
nak balik ndak? Mun kau balik, serate
jak kite baliknye
hari
Jumat
itok. Cemane, oke? (rencanaku mau
pulang hari Jumat ini. Sudah lama
tidak pulang ni, kamu mau pulang
tidak? Kalau kamu pulang samasama kita, hari jumat ini, bagaimana,
oke?)
: Andi, bahasa apa yang kalian
gunakan. Aku tidak mengerti apa
yang kalian bicarakan.
: Ohitu bahasa Melayu Sambas.
Aku dengan Tegi rencananya mau
pulang ke Singkawang hari jumat ini.
: Begitu toh ceritanya. Berarti minggu
ini weekend-nya di Singkawang ya.
: Pastinya

a. Analisis Variasi Bahasa Melayu


Analisis bahasa Melayu berwujud kata
balik, ndak, daan, dah.
1) Penggunaan kata Balik dalam
bahasa Melayu, yang bermakna
pulang dalam bahasa Indonesia,
terdapat beberapa variasi seperti
[balek], [balEk]. Penggunaan kata ini
konsisten pada wilayah atau daerah.
Kata balik yang digunakan dalam
percakapan di atas adalah bahasa
Melayu dialek Sambas, sedangkan
kata [balek], dan [balEk] sering
digunakan oleh masyarakat yang
berdomisili di wilayah Pontianak
atau sering disebut bahasa Melayu
dialek Pontianak.
2) Pemakaian kata ndak dan dan daan.
Kata ndak dan daan dalam bahasa
Indonesia bermakna tidak. Dalam
bahasa melayu Pontianak, memiliki
beberapa variasi lain seperti [Indak],
[tadak]. Pemakaian kata ndak
merupakan bentuk pemenggalan
dari kata indak, begitu juga kata

423

daan merupakan sebuah variasi


kata dari bahasa Melayu. Biasanya
kosakata ini banyak digunakan oleh
masyarakat Melayu dialek Sambas.
Penggunaan kata tadak merupakan
variasi bahasa Melayu dialek
Pontianak yang sering digunakan
terbatas pada daerah Pontianak.
3) Pemakain kata dah. Kata dah dalam
bahasa Indonesia bermakna sudah,
merupakan bentuk pemenggalan
kata udah. Pemakaian kata dah
dalam pertuturan dengan tujuan
komunikatif
agar
tujuan
dan
maksud tuturan lebih cepat tercapai
dibandingkan jika harus memakai
bentuk percakapan lengkap.
b. Analisis Alih Kode dan Campur Kode
Campur kode yang terdapat pada
pertuturan data 1 berasal dari bahasa
daerah lain dan bahasa asing.
Perhatikan kata, seperti oke, toh, dan
weekend. Pemakain kata toh merupakan
serpihan partikel bahasa Jawa yang
berfungsi untuk menegaskan maksud
pembicaraan, sedangkan pemakaian
kata oke (ia) dan weekend (akhir pekan)
merupakan serpihan unsur bahasa
Inggris. Tujuan penggunaan kata
tersebut menunjukkan nilai prestise atau
gengsi dari penuturnya. Hal ini tampak
bahwa identitas sosial penutur adalah
kaum terpelajar yang mengerti bahasa
Inggris.
Alih kode dapat dilihat pada pada data
1 dialog percakapan ke 4, 5, 6, dan 7.
Pada percakapan tersebut Andi dan Tegi
beralih kode dari Bahasa Melayu Dialek
Sambas ke Bahasa Indonesia karena
kedatangan orang ketiga yaitu Ari yang
tidak mengerti dengan bahasa yang
digunakan mereka.

424

2. Analis Data II
Konteks: komunikasi terjadi antara
Piktor (Dayak) dan Addul (Melayu) yang
terjadi di salah satu toko tempat penjualan
sembako pada pagi hari.
Piktor : Apa y2ang maok kau beli Dul?
(apa yang mau kau beli Dul)
Addul : Ini maok beli ikan kerring (ini mau
membeli ikan kering)
Piktor : Berapa harganya nean? (berapa
harganya ini?)
Addul : Sehibu satu ons (seribu satu ons)
a. Analisis Variasi Bahasa
Analisis bahasa difokuskan pada kata
maok dan sehibu.
1) Penggunaan kata maok dalam
bahasa Melayu yang bermakna ingin
dalam bahasa Indonesia, terdapat
beberapa variasi penyebutan seperti
[mau], [maOk]. Penggunaan variasi
kata [mau] dan [maOk] digunakan
dalam percakapan sehari- hari sering
digunakan oleh masyarakat yang
berdomisili di wilayah Pontianak
atau sering disebut bahasa Melayu
dialek Pontianak.
2) Penggunaan
kata
sehibu.
Masyarakat
Melayu
Pontianak
sering memakai kata seribu atau
sribu untuk menyebut nominal
uang seribu rupiah. Penyebutan
sehibu di dalam bahasa Melayu
Pontianak
merupakan
bentuk
yang jarang digunakan. Terjadinya
variasi penyebutan akibat adanya
interferensi bahasa daerah lain, yaitu
bahasa Dayak. Hal ini karena dalam
berkomunikasi dengan mitra tutur
kelompok etnis lain, dalam kasus
ini berkomunikasi dengan tetangga
yang beretnis Dayak, mereka tidak
menggunakan bahasa Indonesia
ataupun bahasa Dayak, akan tetapi
menggunakan
Bahasa
Melayu
Pontianak. Hal ini disebabkan

kepasifan antara penutur terhadap


bahasa lawan tutur. Mereka lebih
memilih
menggunakan
bahasa
yang netral, yakni Bahasa Melayu
Pontianak.
b. Analisis Alih Kode dan Campur Kode
Konteks komunikasi yang terjadi antara
Piktor dan Addul yang tidak saling
mendominasi bahasa, di antaranya
karena
pengetahuan
yang
pasif
mengenai bahasa mitra tutur. Mereka
saling memahami namun tidak dapat
mengucapkan secara aktif.
Pertuturan di atas terdapat campur kode
dari bahasa Dayak, yaitu nean. Makna
kata nean dalam bahasa Indonesia
adalah ini. Pemakaian kata tersebut
dalam pertuturan disebabkan penutur
tidak fasih berbahasa Melayu sehingga
untuk mengesienkan pembicaraan
agar komunikatif, penutur memilih
menggunakan bahasa pertama B1 yang
lebih dikuasainya.
3. Analis Data III
Konteks: Percakapan terjadi suatu
sore di pinggir jalan, Dedi akan bermain bola,
saat di perjalanan bertemu dengan sahabat
akrabnya Andi. Pertuturan menggunakan
bahasa melayu Dialek Ketapang.
Andi : Maok kemane kau te, jang ? (Mau
kemana kamu, jang? sebutan anak
laki-laki)
Dedi : Aku te maok maen bola, Di. Kau
mau ikot ndak. (Aku mau bermain
sepak bola, di. Kau mau ikut ndak?)
Andi : Ayom, jang. Kebetolan, aku te ndak
ade kegiatan. Bagusnye te aku ikut
kau, jang! (ayolah, jang.kebetulan,
aku tidak ada kegiatan(sibuk).
Baiknya aku ikut(main bola) kau, jang
!)
Dedi :
Ooh..........aoklah
yok
lah
kite langsong kelapangan jak.

(Oooh..........ayolah, sekarang kita


langsung ka lapangan .)
Andi : Yok lah, jang. (ayo, jang)
a. Analisis Variasi Bahasa
Analisis bahasa difokuskan pada kata te,
ayom, yok, jang, aok, dan maen.
1) Pemakain partikel te. Partikel
te merupakan unsur yang tidak
memiliki makna jika tidak melekat
pada kata lain. Variasi partikel lain
yang terdapat dalam bahasa Melayu,
seperti be, bE, dan am berfungsi
sebagai penegas atau memberikan
tekanan pada kata tertentu yang
dituturkan.
2) Pemakaian kata ayom dan yok.
Kata ayom dan yok dalam bahasa
Indonesia bermakna ayo, merupakan
variasi kata dari bahasa Melayu
dialek Ketapang. Pemakaian kata
ayom biasanya banyak digunakan
oleh masyarakat Melayu Ketapang.
3) Pemakaian
kata
jang.
Kata
jang dalam bahasa Indonesia
bermakna sapaan untuk anak
laki-laki. Sapaan ini dipakai oleh
masyarakat penutur bahasa Melayu
Ketapang. Pemakaian sapaan ini
tidak mengenal tingkatan, biasanya
dipakai untuk menyapa teman
sebaya atau menyapa orang yang
lebih muda dari penutur. Variasi lain
untuk menyapa lawan bicara dalam
bahasa Melayu, misalnya budak
(orang kedua tunggal) sapaan dalam
bahasa Melayu Pontianak. Bahasa
melayu Sambas mengenal beberapa
sapaan, seperti along (anak pertama
-- dipakai untuk persona pertama
dan kedua tunggal), angah (anak
kedua -- dipakai untuk persona
pertama dan kedua tunggal), ude,
uning usu, dan sebagainya.
4) Pemakain kata aok. Kata aok dalam
bahasa Indonesia bermaksa iya,

425

merupakan bentuk variasi lain dari


kata ye, dan iye . Pemakaian kata
aok dalam pertuturan digunakan
untuk orang yang sebaya, untuk
pertuturan dengan orang yang lebih
tua atau lebih dihormati biasanya
menggunakan kata iye.
5) Pemakaian kata maen. Kata maen
dalam bahasa Indonesia bermakna
main. Dalam bahasa Melayu
Pontianak, variasi kata maen lebih
sering digunakan. Variasi lain yang
memiliki makna yang sama adalah
kata maing. Kata maing lebih banyak
dipakai oleh masyarakat Melayu
Sambas.
b. Analisis Alih Kode dan Campur Kode
Konteks komunikasi yang terjadi antara
Andi dan Dedi, keduanya memiliki
kemampuan berbahasa ibu, yaitu
bahasa Melayu dialek Ketapang yang
setara sehingga di dalam pertuturan
tidak ditemukan alih dan campur kode
ke luar bahasa lain selain bahasa utama,
yaitu bahasa Melayu dialek Ketapang.
4. Analis Data IV
Konteks: Pertuturan terjadi di Gor
Pangsuma Pontianak sekitar pukul 17.00.
Kode yang dipakai dalam pertuturan adalah
Bahasa Gaul Anak Remaja Pontianak. Topik
pembicaraan mengenai awal pertemuan
dan perkenalan. Seperti biasanya, Andi dan
Rian suka nongkrong, mereka berdua asyik
bercerita, tiba-tiba datang dua orang cewek
menghampiri mereka. Penutur: Andi, Rian,
Tita, dan Intan.
Intan : hai,,,,,, (hai)
Andi dan Rian: (diam saja, dengan cueknya)
Tita
: ih,,, kok, jaim gitu seh (mengapa
diam)
Intan : garink deh (tidak lucu)
Andi
: eh,,,, kalian tuh cemat jangan sok
ciamiklah. (Kalian itu cewek matrai,
jangan sok baguslah)

426

Intan

: ih,, songong abis she. (ih,


banyak tingkah sih)
Rian
: ada apa kalian ke sini?
Tita
: pengen kenalan, biar bisa tase
sama kamu. (ingin berkenalan biar
bias bermesraan dengan kamu)
Andi
: CDMA (capek deh males ah).
Intan : jangan gitu lah,,, kita cuma pegen
jadi sahabat kalian. (jangan seperti
itulah, kami hanya ingin menjadi
sahabat kalian)
Rian
: owh,,,,, leh juga. (oh.. boleh juga)
Tita
: makaci, kita jadi bersahabat.
(terima kasih, kita jadi bersahabat)
Rian
: kalo gitu kita capcus jak yuks..
(kalau seperti itu mari kita pulang)
Serempak: okey lah,,,, (baiklah)
Secara empirik, bahasa dan kosakata
prokem mengacu pada permasalahan seharihari para ABG. Bahasa prokem mereka bisa
diadopsi dari kehidupan keluarga, keadaan
sekolah dan atau perguruan tinggi, serta
masalah-masalah kenakalan remaja. Wujud
pemakaian bahasa prokem di kalangan
anak muda Pontianak sering diungkapkan
dalam bentuk kata ganti orang, masalah
seks, narkotik dan obat-obatan sejenis, serta
minuman keras atau istilah kekerabatan.
Maraknya bahasa prokem di kalangan ABG,
termasuk anak muda yang ada di Pontianak,
dengan sendirinya merubah pengertian
bahasa prokem itu sendiri. Kini bahasa
prokem berubah menjadi bahasa kode atau
sandi yang hanya ABG kelompok tertentu
yang mengerti. Berikut ini akan dipaparkan
analisis pemakain bahasa prokem yang
digunakan oleh komunitas anak muda yang
ada di Pontianak.
a. Analisis Variasi Bahasa
Analisis bahasa difokuskan pada kata
dan frasa jaim, gitu, garink, cemat,
ciamik, songong, tase, CDMA, she, leh,
deh, makaci.
1) Pemakaian kata jaim. Kata jaim
merupakan bahasa gaul atau

prokem yang dipakai oleh penutur


masyarakat Melayu Pontianak,
khususnya anak muda. Munculnya
variasi bahasa gaul di dalam
pertuturan kalangan anak muda
menunjukkan bahwa persingungan
unsur
bahasa
lain
sehingga
menyebabkan berbagai fenomena
kebahasaan seperti interferensi
dan pergeseran bahasa. Jaim
adalah singkatan dari kata jagaimage yang merupakan suatu perilaku
untuk menyembunyikan sikap yang
sebenarnya dengan mengharapkan
orang lain menganggap subjek
sebagai seseorang yang memiliki
kepribadian yang tenang dan
berwibawa.
2) Pemakaian kata gitu. Kata gitu
sebenarnya merupakan singkatan
dari kata begitu dalam bahasa
Indonesia. Munculnya variasi kata
gitu tidak terlepas dari pengaruh
penggunaan
bahasa
gaul
di
kalangan anak muda, termasuk anak
muda yang ada di Pontianak. Variasi
lain yang umum dipakai adalah, gitu
lho dan gitu sich atau gitu sih.
3) Pemakaian kata garing. Kata garing
merupakan variasi dari bahasa gaul
atau bahasa alay. Makna kata garing
mengandung maksud sesuatu hal
yang tidak lucu tetapi dipaksakan
untuk lucu. Kata garing sebenarnya
berasal dari bahasa Sunda yang
memiliki arti kering, oleh masyarakat
pengguna bahasa gaul atau bahasa
alay berubah makna dari makna
kering menjadi hal yang tidak lucu.
Kemudian, karena sering digunakan
dalam pembicaraan, akhirnya kata
inipun populer.
4) Pemakaian kata cemat. Kata cemat
merupakan singkatan dari kata
cewek matre. Penggunaan akronim
cemat oleh pengguna bahasa

5)

6)

7)

8)

gaul dan bahasa alay ditujukan


untuk cewek yang mementingkan
kekayaan atau harta dalam bergaul
atau memilih pasangan.
Pemakaian kata ciamik. Kata ciamik
memiliki relasi dengan bahasa
dialek Surabaya, yaitu kata ciamik
soro/mantab jaya berarti enak luar
biasa (bahasa Jawa standar: enak
pol/enak banget). Bisa juga ciamik
berasal dari penggalan suku kata
cia singkatan dari cita rasa, dan mix,
yang dalam bahasa Inggris artinya
campur. Pemakain kata ciamik
dalam konteks pertuturan di atas
bermakna bagus, kalimat jangan sok
ciamik artinya jangan sok bagus.
Pemakain kata songong. Kata
songong biasa digunakan untuk
menyebut seseorang yang sombong
dan cenderung merendahkan orang
lain, jadi tarafnya lebih tinggi dari
sombong. Makna lain kata songong,
yaitu bodoh atau tidak pintar. Dalam
konteks pertuturan di atas, makna
kata songong adalah sombong
dituturkan Intan kepada lawan
tuturnya Andi dan Rian. Munculnya
variasi bahasa songong juga tidak
terlepas dari pemakaian bahasa
prokem di kalangan anak muda
Pontianak.
Pemakaian kata tase. Kata tase
memiliki makna bermesraan atau
menggoda. Variasi bahasa gaul tase
berasal dari bahasa Inggris tease,
artinya menggoda. Penggunaan
kata tase pada konteks pertuturan
biar bisa tase sama kamu bermakna
bermesraan dengan seseorang.
Pemakaian kata CDMA. Kata CDMA
sebenarnya adalah sebuah singkatan
dari bahasa gaul, yaitu capek deh
males ah, makna ungkapan tersebut
adalah sudah capek, malas ah.
Variasi prokem bahasa gaul berupa

427

singkatan ini jarang dimengerti oleh


masyarakat umum, hanya komunitas
tertentu yang mengerti maksud yang
disampaikan penutur dalam tuturan
tersebut.
9) Pemakain kata she, leh, deh.
Pertama, kata she atau sih pada
konteks pertuturan berikut. Ih,,,
kok, jaim gitu she, Songong abis
she bermakna Sebenarnya. Kedua,
pemakaian kata leh merupakan
variasi dari kata boleh dalam bahasa
Indonesia. Ketiga, deh/dah asalnya
dari kata sudah yang diucapkan
singkat menjadi deh/dah atau udah.
Namun dalam konteks tersebut,
deh/dah ini sebagai penekanan atas
pernyataan.
10) Penggunaan kata makaci. kata
Terima kasih yang oleh anak
bawah lima tahun dengan gaya
cadelnya disebut Makaci, oleh
anak ABG diubah menjadi Macaci.
Kata makaci merupakan sebuah
prokem dari bahasa gaul remaja.
Penggunaan kata makaci dalam
konteks pertuturan diatas adalah
ucapan terima kasih Rita kepada
Rian untuk persahabatan yang
mereka jalin.
b. Analisis Alih Kode dan Campur Kode
Konteks komunikasi yang terjadi pada
pertuturan antara Andi, Rian, Intan, dan
Tita di atas menggunakan kode utama
yaitu bahasa prokem atau sering disebut
bahasa gaul yang dipakai anak-anak
muda. Karakteristik bahasa prokem
yang digunakan oleh penutur bahasa di
atas sangat beraneka ragam, berbagai
bahasa berkumpul menjadi satu atau
seperti bahasa gado-gado.
Campur kode yang terdapat pada
pertuturan data IV berasal dari bahasa
daerah lain dan bahasa asing. Perhatikan
serpihan bahasa daerah, seperti

428

kata jaim, gitu, garink, cemat, ciamik,


songong, CDMA, she, leh, deh, makaci,
capcus. Penjelasan mengenai asal
kata, makna kata dan fungsinya dapat
dilihat pada pembahasan bagian analisis
variasi bahasa di atas, sedangkan tujuan
pemakaian kata tersebut bertujuan untuk
menunjukan nilai prestise atau gengsi
dari penuturnya. Hal ini tampak bahwa
identitas sosial penutur adalah anakanak muda yang gaul.
Pemakain kata tase, okey merupakan
campur kode atau serpihan partikel
bahasa asing yang berfungsi untuk
menegaskan maksud pembicaraan.
Selain itu, pemakaian kata tersebut
bertujuan untuk menunjukan nilai
prestise atau gengsi dari penuturnya.
Hal ini tampak bahwa identitas sosial
penutur adalah anak-anak muda yang
gaul sehingga bahasa prokem, yaitu
bahasa gaul merupakan kode yang
sengaja dipilih di dalam komunitas
tersebut.
PENUTUP
Berdasarkan analisis dan pembahasan
di atas, dapat diambil beberapa simpulan.
Pertama, variasi bahasa yang muncul pada
pemakaian bahasa masyarakat Pontianak di
berbagai ranah atau konteks adalah variasi
bahasa Melayu dialek Sambas, bahasa
Melayu dialek Ketapang, bahasa Melayu
dialek Pontianak, bahasa Dayak, bahasa
Jawa, bahasa prokem atau bahasa gaul serta
bahasa asing berupa bahasa Inggris. Kedua,
alih kode dan campur kode yang muncul
pada saat pemakaian bahasa masyarakat
Pontianak di berbagai ranah atau konteks
adalah alih kode yang berwujud kalimat
dari bahasa melayu Pontianak ke dalam
bahasa Indonesia. Wujud campur kode yang
muncul pada pertuturan adalah campur kode
berwujud kata dari bahasa daerah, bahasa
asing, serta bahasa prokem.

DAFTAR PUSTAKA
Apriana, A.. 2006. Mixing and Switching in SMS Messages. Malang: State University of Malang.
Chaedar, Alwasilah A.. 1989. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
______. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
______. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Iqbal, N.A.. 2011. Sosiolinguistik: Teori dan Praktik. Surabaya: Lima-lima Jaya.
Nababan. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Saddhono. Kundharu. 2012. Pengantar Sosiolinguistik: Teori dan Konsep. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Serba Linguistik (Mengupas Pelbagai Praktik Bahasa). Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Suwito. 1991. Sosiolinguistik. Surakarta: UNS Press.

429

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA


MELALUI METODE EKSPERIMEN MATA PELAJARAN BIOLOGI
KELAS XI IPA 1 SMA NEGERI 1 PULOKULON
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Indri Yuniarti
SMA Negeri 1 Pulokulon

ABSTRACT
This study aims to determine the application of learning to the experimental method in improving
the quality of the process and student achievement in class XI IPA 1 SMAN 1 Pulokulon the
academic year 2014/2015. This research is a class action (Classroom Action Research), which
consists of two cycles. There are four stages of each cycle, which consists of action planning,
action, observation, and reection. The subjects were students of class XI IPA 1 SMAN 1
Pulokulon the school year 2014/2015. Data obtained through observation, daily tests, document
review, and documentation. The data analysis technique used is descriptive qualitative analysis.
The results showed that 1) Implementation of the learning using the experimental method can
enhance the activity and skills of students in the use of practical tools. In the rst cycle the
percentage of active students in learning by 86% and increased to 89% in the second cycle. (2)
The application of the experimental method of learning can improve students skills in the use
of tools and reading lab results. In the rst cycle of students learning completeness percentage
by 73% and increased to 85% in the second cycle.
Keywords: experimental methods, teaching biology, academic achievement

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran dengan metode
eksperimen dalam meningkatkan kualitas proses dan prestasi belajar siswa kelas XI IPA 1 SMA
Negeri 1 Pulokulon tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan
kelas (Classroom Action Research), yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklusnya terdapat
empat tahapan, yang terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi,
dan reeksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Pulokulon tahun
pelajaran 2014/2015. Data diperoleh melalui observasi, ulangan harian, kajian dokumen,
dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Penerapan pembelajaran menggunakan metode
eksperimen dapat meningkatkan keaktifan dan keterampilan siswa dalam penggunaan alat
praktikum. Pada siklus I persentase keaktifan siswa dalam pembelajaran sebesar 86% dan
meningkat menjadi 89% pada siklus II. (2) Penerapan pembelajaran metode eksperimen dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam penggunaan alat dan pembacaan hasil praktikum.
Pada siklus I persentase ketuntasan belajar siswa sebesar 73% dan meningkat menjadi 85%
pada siklus II.
Kata kunci: metode eksperimen, pembelajaran biologi, prestasi belajar

PENDAHULUAN
Pendidikan bangsa Indonesia saat
ini masih jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan pendidikan bangsa Asia lainnya.
Perkembangan dan kemajuan sebuah
bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya

430

manusia yang dimilikinya. Sumber daya


manusia yang berkualitas sangat diperlukan
dalam pembangunan bangsa, khususnya
pembangunan di bidang pendidikan. Sumber
daya manusia yang berkualitas akan menjadi
tumpuan utama agar suatu bangsa dapat

berkompetisi. Peningkatan kualitas tersebut


dapat dipacu secara tepat lewat pendidikan
formal. Sekolah sebagai salah satu lembaga
formal merupakan salah satu wahana
dalam membangun sumber daya manusia
yang berkualitas. Dalam konteks inilah,
mata pelajaran biologi diharapkan dapat
membantu dalam membangun sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi.

telah menguasai materi pembelajaran


yang disampaikan. Tingkat penguasaan
siswa terhadap materi pelajaran biasanya
dinyatakan dengan nilai. Nilai tes yang dicapai
para siswa pada mata pelajaran Biologi dari
40 anak yang tuntas hanya beberapa anak
saja. Upaya untuk meningkatkan hasil belajar
siswa yang lebih baik dengan menerapkan
metode pembelajaran eksperimen.

Pelajaran biologi merupakan salah


satu pelajaran yang pada dasarnya bertujuan
untuk mempelajari pemahaman tentang
makhluk hidup dan lingkungan. Selain itu,
biologi merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang dapat memunculkan kreativitas dalam
proses penemuan suatu produk. Selama
ini, pembelajaran biologi di tingkat SMA
cenderung masih kurang, karena kurangnya
pemahaman siswa terhadap istilah-istilah
yang sangat banyak pada mata pelajaran
Biologi. Hal ini bisa dilihat dari pencapaian
nilai atau hasil belajar siswa yang masih
rendah. Tentunya hal ini menandakan tingkat
keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran
biologi pada jenjang pendidikan SMA masih
rendah.

Melalui
penerapan
metode
eksperimen,
para
siswa
diharapkan
bisa saling membantu, kerja sama, dan
meningkatkan toleransi ataupun tenggang
rasa sesama teman. Selain itu, diharapkan
dari pengalaman pembelajaran melalui
metode eksperimen, memungkinkan siswa
melakukan percobaan untuk membuktikan
sendiri suatu pernyataan yang dipelajari.
Harapannya, semua siswa dapat dengan
mudah memahami materi pelajaran. Hal ini
sejalan dengan penelitian Supriyanti yang
menunjukkan bahwa penerapan metode
eksperimen mampu meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran Bologi.
Dengan demikian, penulis menerapkan
metode pembelajaran eksperimen untuk
meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI
IPA 1 SMAN 1 Pulokulon tahun pelajaran
2014/2015.

Begitu juga di SMA Negeri 1 Pulokulon


kelas XI IPA 1. Ternyata pada proses
pembelajaran Biologi hanya beberapa siswa
yang aktif. Cara belajar siswa yang kurang
aktif berdampak pada rendahnya hasil belajar
siswa .Ini bisa dilihat dari hasil belajar siswa
pada materi Sistem Pencernaan Makanan
Manusia. Siswa yang tuntas hanya 8 siswa
dan siswa yang belum tuntas sebanyak
32 siswa. Hal ini dikarenakan siswa sulit
memahami materi Biologi, yang di dalamnya
banyak istilah-istilah Latin.
Secara umum, penggunaan metode
dalam
proses
pembelajaran
adalah
memperlancar interaksi antara guru dengan
siswa sehingga kegiatan pembelajaran akan
efektif dan esien, serta dapat memperjelas
pemahaman terhadap materi pembelajaran.
Pembelajaran dikatakan berhasil bila siswa

1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas yang
disengaja dilakukan oleh individu agar terjadi
perubahan kemampuan diri. Dengan belajar,
anak yang tadinya tidak mampu melakukan
sesuatu menjadi mampu melakukan sesuatu
itu, atau anak yang tadinya tidak terampil
menjadi terampil. Belajar adalah suatu
proses yang kompleks, yang terjadi pada
semua orang dan berlangsung seumur hidup
sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat
(Sadiman, 1986 : 1).
Dalam pengertian yang sangat luas,
Wolkfolk (1993) menegaskan bahwa belajar
terjadi ketika pengalaman menyebabkan

431

suatu perubahan pengetahuan dan perilaku


yang relatif permanen pada individu.
Syamsudin (1981) mendenisikan bahwa
belajar adalah perubahan yang menghasilkan
perubahan perilaku dan pribadi. Dari denisi
di atas, empat kata kunci di balik denisi kata
belajar adalah perubahan, pengetahuan,
perubahan perilaku pribadi, permanen
dan pengalaman. Jika dirumuskan, belajar
merupakan perilaku dan pribadi yang
bersifat permanen, perubahan pengetahuan,
perubahan
tersebut
dapat
bersifat
penambahan atau pengayaan pengetahuan,
perilaku atau kepribadian.
2. Metode Mengajar
Mengajar-belajar adalah kegiatan gurumurid untuk mencapai tujuan tertentu. Diduga,
makin jelas tujuan, makin besar kemungkinan
ditemukan metode penyampaian yang paling
serasi. Namun, tidak ada pegangan pasti
tentang cara mendapatkan metode mengajar
yang paling tepat. Tepat tidaknya suatu
metode baru terbukti dari hasil belajar siswa.
Jadi yang dapat diketahui adalah hasil atau
produknya. Joni (1993) menyatakan bahwa
metode sebagai cara kerja yang bersifat
relatif umum yang sesuai untuk mencapai
tujuan tertentu. Dengan demikian, metode
dapat diartikan dalam sebagai cara/jalan
menyajikan/melaksanakan kegiatan untuk
mencapai tujuan.
3. Metode Eksperimen
Sagala (2006) menyatakan bahwa
eksperimen adalah percobaan untuk
membuktikan suatu pertanyaan atau
hipotesis tertentu. Eksperimen dapat
dilakukan pada suatu laboratorium atau
di luar laboratorium. Sedangkan metode
eksperimen dalam pembelajaran adalah
cara penyajian bahan pelajaran yang
memungkinkan siswa melakukan percobaan
untuk membuktikan sendiri suatu pertanyaan
atau hipotesis yang dipelajari. Dalam

432

proses pembelajaran dengan metode


eksperimen, siswa diberi kesempatan untuk
mengalami sendiri atau melakukan sendiri,
mengikuti proses, mengamati suatu objek,
menganalisis, membuktikan, dan menarik
kesimpulan sendiri tentang suatu objek,
keadaan atau proses tertentu. Peranan guru
dalam metode eksperimen adalah memberi
bimbingan agar eksperimen itu dilakukan
dengan teliti sehingga tidak terjadi kekeliruan
atau kesalahan.
a. Tujuan
Apa tujuan metode eksperimen?
Metode eksperimen bertujuan agar
1)
Siswa
mampu
menyimpulkan
fakta-fakta, informasi atau data yang
diperoleh; 2) Siswa mampu merancang,
mempersiapkan, melaksanakan, dan
melaporkan percobaannya; 3) Siswa
mampu menggunakan logika berpikir
induktif untuk menarik kesimpulan
dari fakta , informasi atau data yang
dikumpulkan melalui percobaan; 4)
Siswa mampu berpikir sistematis, disiplin
tinggi, hidup teratur, dan rapi.
b. Alasan
penggunaan
metode
eksperimen
Beberapa alasan penggunaan
metode eksperimen, antara lain: 1) Dapat
menumbuhkan cara berpikir rasional dan
ilmiah; 2) Dapat memungkinkan siswa
belajar secara aktif dan mandiri; 3) Dapat
mengembangkan sikap dan perilaku
kritis, tidak mudah percaya sebelum ada
bukti- bukti nyata.
c. Kekuatan dan kelemahan metode
eksperimen
1) Kekuatan metode eksperimen
a) Membuat siswa percaya
pada kebenaran kesimpulan
percobaannya
sendiri
daripada menurut cerita orang
atau buku.
b) Siswa aktif mengumpulkan
fakta , informasi atau data

yang
diperlukan
melalui
percobaan yang dilakukan.
c) Dapat
digunakan
untuk
melaksanakan
prosedur
metode ilmiah dan berpikir
ilmiah.
d)

e)

Hasil belajar dikuasai siswa


dengan baik dan tahan lama
dalam ingatan.
Menghilangkan verbalisme.

2) Kelemahan metode eksperimen


a) Memerlukan peralatan dan
bahan
percobaan
yang
lengkap
b) Dapat menghambat lajunya
pembelajaran
sebab
eksperimen
umumnya
memerlukan waktu lama.
c) Kesalahan dalam eksperimen
akan
berakibat
pada
kesalahan kesimpulan.
d) Belum tentu semua guru dan
siswa menguasai metode
eksperimen.
d. Cara Mengatasi Kelemahan Metode
Eksperimen
Bagaimana cara menguasai
kelemahan
metode
eksperimen?
Ada beberapa cara untuk mengatasi
kelemahan metode eksperimen, antara
lain: 1) Guru harus menjelaskan secara
gamblang hasil yang ingin dicapai
dengan eksperimen; 2) Guru harus
menjelaskan
prosedur
eksperimen,
bahan-bahan
eksperimen
yang
diperlukan, peralatan yang diperlukan
dan cara penggunaannya, variabel yang
perlu dikontrol, dan hal yang perlu dicatat
selama eksperimen; 3) Mengawasi
pelaksanaan eksperimen dan memberi

bantuan jika siswa mengalami kesulitan; 4)


Meminta setiap siswa melaporkan proses
dan hasil eksperimennya, membandingbandingkan, dan mendiskusikannya
untuk mengetahui kekurangan dan
kekeliruan yang mungkin terjadi.
4. Pengertian Prestasi
Kebutuhan untuk prestasi adalah
mengatasi hambatan, melatih kekuatan,
serta berusaha melakukan sesuatu yang
sulit dengan baik dan secepat mungkin.
Prestasi adalah hasil yang telah dicapai
seseorang dalam melakukan kegiatan,
Gagne menyatakan bahwa prestasi belajar
dibedakan menjadi lima aspek, yaitu
kemampuan intelektual, strategi kognitif,
informasi, verbal, sikap, dan keterampilan.
Menurut Bloom (dalam Arikunto, dkk., 2006),
hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek,
yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Prestasi belajar dapat diukur melalui
tes yang sering dikenal dengan tes prestasi
belajar . Menurut Anwar (2005: 8 - 9)
mengemukakan tentang tes prestasi belajar
bila dilihat dari tujuannya, yaitu mengungkap
keberhasilan seseorang dalam belajar.
Prestasi belajar merupakan suatu
masalah sangat penting dalam sejarah
kehidupan manusia karena sepanjang
rentang kehidupan manusia, manusia selalu
mengejar prestasi menurut bidang dan
kemapuannya masing-masing. Bila demikian
halnya, prestasi belajar dalam kehidupan
manusia pada tingkat dan jenis tertentu
dapat memberikan kepuasan tertentu pula
pada manusia. Khususnya mereka yang
berada pada bangku sekolah, menurut Arin
(1990: 3 - 4), prestasi belajar baik memiliki
beberapa fungsi, antara lain:
a. sebagai indikator kualitas dan
kuantitas ilmu pengetahuan yang
telah dikuasai anak didik;
b. sebagai lambang pemuasan hasrat
ingin tahu;

433

c. sebagai bahan informasi dalam


inovasi. Asumsi bahwa prestasi
belajar dapat dijadikan pendorong
bagi anak didik dalam meningkatkan
ilmu pengetahun dan teknologi dan
berperan sebagai umpan balik dalam
menigkatkan mutu pendidikan;
d. sebagai indikator interen dan
ekstern di suatu institusi pendidikan.
Indikator interen berarti bahwa
belajar dapat dijadikan indikator
tingkat produktivitas dalam institusi,
kurikulum yang digunakan relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan
anak didik. Indikator ekstern dalam
arti bahwa tinggi rendahnya prestasi
belajar dapat dijadikan indikator
dalam tingkat kesuksesan anak
didik dalam masyarakat. Asumsinya
adalah bahwa kurikulum yang
digunakan relevan dengan kebutuhan
pembangunan masyarakat;
e. Dapat dijadikan sebagai indikator
daya serap (kecerdasan anak didik).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Awal
Kelas XI IPA 1 SMAN 1 Pulokulon
pada tahun pelajaran 2014/2015 jumlah
siswanya sebanyak 40 siswa, yang terdiri
dari 14 siswa putra dan 26 siswa putri. Dari
40 siswa, sebagian besar menganggap
mata pelajaran Biologi termasuk pelajaran
yang sulit. Maka dari sekian banyak siswa,
hanya sebagian kecil siswa yang memahami
pelajaran Biologi dan sebagian besar
siswa menyatakan kesulitan memahami
materi pelajaran Biologi. Setiap dilakukan
tes evaluasi hanya beberapa siswa yang
memiliki nilai tuntas.
Rendahnya prestasi belajar Biologi
disebabkan oleh banyak permasalahan,
antara lain cara belajar siswa yang kurang
tepat, kebanyakan siswa belajar biologi
dengan menghafal tapi tidak dipahami

434

sehingga lebih mudah lupa dan cepat


hilang. Selain itu, cara penyampaian
guru menggunakan metode yang kurang
tepat. Hal ini terlihat pada pembelajaran
Biologi kelas XI IPA1 yang lebih banyak
mendengarkan penjelasan dari guru. Guru
masih menggunakan metode ceramah.
Sebelum penelitian tindakan kelas ini,
materi pokoknya adalah macam- macam zat
makanan. Dengan menggunakan metode
ceramah untuk awal pelajaran, anak-anak
masih aktif dan memperhatikan guru karena
materinya menarik, yaitu macam-macam
zat makanan yang ditemukan di keseharian
mereka. Tetapi pada jam pelajaran kedua,
anak-anak mulai kurang memperhatikan, ada
yang menguap, ada yang mulai berbicara
dengan teman, ada yang bertopang dagu,
dan mulai menaruh kepalanya di meja. Siswa
yang aktif maupun yang bertanya hanya
siswa-siswa tertentu. Kurang aktifnya siswa
ini berakibat pada rendahnya ketuntasan
belajar kelas. Dari 40 siswa, siswa yang
nilainya di atas nilai KKM baru 20 siswa atau
50%.
2. Siklus 1
a. Perencanaan
Berdasarkan kondisi awal di
atas, maka rencana pembelajaran di
siklus I digunakan pembelajaran dengan
metode eksperimen. Dari 40 siswa,
dikelompokkan menjadi 8 kelompok,
masing-masing kelompok beranggotakan
5 siswa. Tiap kelompok diberi tugas yang
sama melakukan percobaan kandungan
gizi makanan. Dengan menggunakan
metode eksperimen diharapkan siswa
lebih antusias dalam mengikuti proses
belajar mengajar dan lebih mudah
dalam memahami materi kandungan
zat gizi pada makanan. Selain itu, dapat
meningkatkan kerja sama antarsiswa.
Metode eksperimen ini diharapkan

mampu meningkatkan hasil pembelajaran


materi sistem pencernaan makanan.
b. Tindakan
Tindakan siklus I dilaksanakan
satu kali pertemuan, yaitu pada 3
Februari 2015 di kelas XI IPA 1 SMA
Negeri I Pulokulon. Satu kali pertemuan
ini waktunya 3 jam pelajaran, yaitu 3 x 45
menit. Guru sebagai peneliti melakukan
tindakan sesuai dengan RPP dan rekan
guru sebagai observer mengamati dan
mendokumentasikan kegiatan siswa.
Langkah-langkah yang dilakukan guru
dalam pembelajaran kandungan zat
gizi pada makanan dengan metode
eksperimen pada siklus 1 ini sebagai
berikut. 1) Guru memberikan apersepsi
dan motivasi; 2) Guru menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai;
3) Guru mempresentasikan materi
kandungan gizi pada zat makanan; 4)
Guru menjelaskan cara kerja praktikum uji
makanan; 5) Siswa berkelompok; 6) Siswa
mulai melakukan praktikum uji makanan;
7) Siswa mencatat hasil praktikum dan
mendiskusikan dengan kelompoknya;
8) Siswa mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya; 9) Guru dan siswa
bersama-sama mengevaluasi kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan; 10)
Guru memberi evaluasi materi sistem
pencernaan.
Tiap
kelompok
melakukan
percobaan sesuai dengan petunjuk
praktikum.
Setiap
kelompok
mendiskusikan tugas yang diberikan guru
berkaitan dengan hasil percobaannya.
Setiap kelompok wajib menyelesaikan
uji zat gizi pada makanan yang telah
ditentukan. Karena banyaknya makanan
yang diuji dalam praktikum ini, diperlukan
kerja sama dan kekompakan tiap
anggota kelompok, karena tiap anggota
kelompok bertanggung jawab terhadap
kesuksesan kelompok tersebut. Setelah

waktu yang ditentukan untuk praktikum uji


zat gizi pada makanan, setiap kelompok
berdiskusi.
Setelah
mendapatakan
hasil diskusi masing-masing kelompok
membacakan hasil diskusi di depan
kelas. Siswa merangkum hasil diskusi
berdasarkan
kesimpulan
bersama.
Setelah itu, dilakukan evaluasi individual.
c. Observasi
Dari hasil pengamatan, diperoleh
bahwa siswa cukup baik memperhatikan
pelajaran, yaitu sekitar 35 dari 40
siswa, namun keaktifan siswa selama
pembelajaran belum maksimal. Keaktifan
siswa dilihat dari lima indikator. 1)
Siswa yang bertanya pada guru, yaitu
sebesar 78,9%; 2) siswa yang menjawab
pertanyaan, yaitu sebesar 84,5%; 3) siswa
yang aktif melakukan praktikum sebesar
86%; 4) siswa yang aktif berdiskusi
87,9%; 5) siswa yang maju mengerjakan
soal sendiri 90,9%. Dari pengamatan
apek psikomotorik siswa, diperoleh: 1)
siswa mampu menggunakan alat dengan
baik, yaitu 34 siswa dari 40 siswa (85%);
2) siswa teliti dalam pembacaan hasil
percobaan dengan baik, yaitu 32 siswa
dari 40 siswa (80%). Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa 29 dari 40 siswa
yang memeperoleh nilai di atas batas
KKM, yaitu 73%.
d. Reeksi
Dari hasil observasi, reeksi
proses pembelajaran pada siklus I
sebagai berikut. Siswa sebelumnya
tidak belajar ataupun membaca cara
kerja praktikum sehingga siswa kurang
memahami cara kerja praktikum uji
makanan. Selain itu, siswa kurang
konsentrasi
dalam
melaksanakan
praktikum uji makanan. Karena jumlah
makanan yang diujikan cukup banyak,
terkadang siswa salah dalam memberi
perlakuan terhadap bahan makanan
yang diuji. Akibatnya, kelompok tersebut

435

harus mengulang percobaan lagi dan


itu memakan waktu.Setelah praktikum
selesai, diadakan evaluasi dan diketahui
hasil belajar siswa belum maksimal
karena siswa yang belum mencapai
KKM sebanyak 11 dari 40 siswa. Dengan
pencapaian KKM 73%, meski ada
beberapa kekurangan, namun jika dilihat
dari jumlah siswa yang memperoleh
nilai di atas KKM mencapai 73%, yang
menunjukkan daya serap klasikal telah
tercapai berarti pembelajaran dengan
metode eksperimen tepat digunakan pada
sistem pencernaan untuk mengetahui
kandungan gizi makanan.

3. Siklus 2
a. Perencanaan
Untuk mengatasi masalah pada
siklus I, guru merubah sedikit pola
pemberian masalah pada praktikum
selanjutnya. Pada siklus II guru mengambil
materi selanjutnya, yaitu sistem respirasi
(pernapasan) dengan uji praktikum
pada sistem respirasi serangga. Pada
praktikum ini guru merancangnya dengan
lebih sedikit perlakuan pada bahan
praktikum, yaitu serangga.
b.

Tindakan
Tindakan pada siklus II pada materi
sistem respirasi dilaksanakan dalam satu
kali pertemuan, yakni tanggal 3 Maret
2015, waktunya 3 jam pelajaran, yaitu 3
x 45 menit. Siklus II pembelajaran sistem
respirasi dengan metode eksperimen.
Pembelajaran pada siklus II ini sebagai
berikut. 1) Guru memberi apersepsi dan
motivasi; 2) guru menyampaikan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai; 3)
guru mempresentasikan materi sistem
respirasi dilanjutkan dengan tanya jawab
seputar materi; 4) guru menjelaskan
cara kerja praktikum uji makanan; 5)
siswa berkelompok; 6) siswa mulai

436

melakukan praktikum uji makanan; 7)


siswa mencatat hasil praktikum dan
mendiskusikan dengan kelompoknya;
8) siswa mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya; 9) guru dan siswa
bersama-sama mengevaluasi kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan; 10)
guru memberi evaluasi materi sistem
respirasi.
c. Hasil Observasi
Berdasarkan
pengamatan,
diperoleh bahwa siswa memperhatikan
pelajaran dengan baik, yaitu sekitar 38
dari 40 siswa. Keaktifan siswa dilihat
dari 5 indikator. 1) Siswa yang bertanya
pada guru sebesar 85%; 2) siswa yang
menjawab pertanyaan, yaitu sebesar
88%; 3) siswa yang aktif melakukan
praktikum sebesar 87,9%; 4) siswa yang
aktif berdiskusi 90,9%; 5) siswa yang
maju mengerjakan soal sendiri 93,9%.
Dari pengamatan apek psikomotorik
siswa, diketahui 1) siswa mampu dalam
menggunakan alat dengan baik, yaitu 36
dari 40 siswa (89%); 2) siswa teliti dalam
pembacaan hasil percobaan dengan
baik, yaitu 35 dari 40 siswa (87%). Hasil
evaluasi menunjukkan bahwa 34 dari
40 siswa yang memperoleh nilai di atas
batas KKM, yaitu 85%.
d. Reeksi
Berdasarkan hasil pengamatan,
diperoleh
bahwa
dalam
proses
pembelajaran, siswa aktif bekerja sama,
mengamati dan diskusi dalam kelompok,
siswa mulai lancar dalam menggunakan
alat dan lebih teliti dalam melakukan
praktikum
sehingga
pembacaan
hasil praktikum siswa juga lebih teliti.
Pada siklus II ini masih ada beberapa
kelemahan, yakni dalam pengamatan
gerakan larutan eosin memerlukan
waktu agak panjang. Hal ini tergantung
pada serangga yang dipilih sehingga
waktu untuk percobaan serangga yang

kedua lebih sedikit. Meski ada beberapa


kekurangan, namun jika dilihat dari jumlah
siswa yang memperoleh nilai di atas
KKM mencapai 89%, yang menunjukkan
daya serap klasikal telah tercapai, berarti
metode eksperimen tepat digunakan
untuk pembelajaran materi sistem
respirasi.

4. Pembahasan
Hasil pelaksanaan siklus I dan siklus II
secara ringkas dapat dideskripsikan dalam
tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Tindakan Ditinjau dari
Indikator Keberhasilan Proses dan Hasil
Pembelajaran.
Indikator Kinerja
Untuk keaktifan siswa
a. Siswa yang bertanya
pada guru
b. Siswa yang menjawab
pertanyaan
c. Siswa yang aktif dalam
praktikum
d. Siswa yang aktif
berdiskusi
e. Siswa yang menulis
hasil pemecahan
masalah
Untuk aspek psikomotorik
a. Siswa mampu dalam
penggunaan alat
b. Siswa teliti dalam
pembacaan hasil
percobaan
Untuk aspek pengetahuan,
tercapainya
nilai
batas
tuntas (KKM = 78)

Siklus I Siklus II
86%
89%
78,9%

85%

84,5%

88%

86%

87,9%

87,9%

90,9%

90,9%

93,9%

83%

88%

85%

89%

80%

87%

73%

85%

Dari Tabel 1., dapat dinyatakan bahwa


terjadi peningkatan pada indikator yang telah
ditetapkan dari hasil pelaksanaan siklus
I dan siklus II. Berdasarkan pengamatan
selama proses pembelajaran, keaktifan
siswa mengalami peningkatan, dari siklus I

ke siklus II mengalami peningkatan sebesar


3%. Peningkatan kemampuan penggunaan
alat praktikum sebesar 4% dan kemampuan
dalam pembacaan hasil praktikum sebesar
7%. Dari hasil evaluasi aspek kognitif pada
materi sistem pencernaan dan sistem
respirasi, diperoleh kenaikan sebesar 12%.
Dari hasil analisis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa metode eksperimen
dapat meningkatkan keterampilan siswa
dalam menggunakan alat laboratorium dan
pembacaan hasil praktikum pada materi
sistem pencernaan dan sistem respirasi
siswa kelas XI IPA 1 SMAN 1 Pulokulon.
Peningkatan keaktifan diikuti dengan
peningkatan pengetahuan sesuai dengan
pendapat Fajri, yang menyatakan bahwa
keaktifan siswa dalam pembelajaran
menentukan prestasi belajar siswa.
Dalam penelitian ini, keaktifan siswa
meningkat dari siklus I ke siklus II dengan
penerapan metode eksperimen pada
pembelajaran. Selain pengetahuan, hasil
belajar lainnya adalah sikap dan tingkah
laku. Hasil penelitian ini menunjukkan sikap
dan tingkah laku siswa setelah belajar
dengan metode eksperimen juga mengalami
peningkatan. Hasil ini sesuai dengan teori
Winkel. Belajar adalah perubahan dari
belum mampu ke arah sudah mampu dan
prosesnya berlangsung dalam jangka waktu
tertentu dinyatakan (Winkel, 2009: 56).
Jadi, belajar merupakan suatu proses yang
hasilnya berupa perubahan tingkah laku.
Belajar dapat digolongkan dalam belajar
kognitif, belajar sensorik-motorik, dan belajar
dinamika afektif. Menurut Winkel (2009),
hasil belajar merupakan semua perubahan di
bidang-bidang tersebut, yang mengakibatkan
manusia berubah dalam sikap dan tingkah
lakunya. Hasil belajar dapat dinilai dari aspek
pengetahuan, keterampilan atau motorik,
dan afektif atau sikap.

437

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saifudin. 2005. Pembelajaran dan Prestasi. Jakarta: PT Raja Grando Persada.
Arin, Zainal. 1990. Membelajarkan Anak. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi; Suhardjono; Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Joni, Raka. 1993. Pendekatan Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud.
Sadiman, Arif. 1986. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Sagala. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta.
Syamsudin, Abin. 1981. Psikologi Kependididkan. Bandung: CV IKIP Bandung.
Winkel, W. S.. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.
Wolkfolk, Anita E.. 1993. Educatial Psycology, Fifth Edition, Baton Allyu and Bacom. Jakarta:
UI Press.

438

ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI


(KAJIAN FEMINISME)

Adisti Primi Wulan


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
IKIP-PGRI Pontianak Jl Ampera No.88 Pontianak
primiwulan@gmail.com

ABSTRACT
This study aimed to describe the study of feminism that focuses on gender inequality in the
form of marginalization, subordination, stereotyping, violence, and workload experienced by
female characters in the novel Tarian Bumi works Rusmini Oka. The method used is descriptive
method qualitative forms and approaches is the approach of radical feminism. Based on the
analysis of data, then the resulting conclusions as follows. 1) The form of gender inequality
in the form of marginalization in this novel comes from peoples habits and customs; 2) the
form of gender inequality in the form of subordination in the novel Tarian Bumi works Rusmini
Oka showed condescension position of women by men; 3) the form of gender discrimination
in the form of stereotypes depicted through quotations related to tagging with the given rules
of a people who are often born out of habit or custom; 4) the form of gender inequality in the
form of violence in this novel consists of two forms of the physical and non-physical or mental
psychological; 5) the form of gender discrimination in the form of workload occur in women,
especially in this novel stems from the belief that women have a nurturing nature and diligent.
Key words: feminism, gender discrimination, novel

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kajian feminisme yang berfokus pada
ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan
beban kerja yang dialami tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif bentuk kualitatif dan pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan feminisme radikal. Berdasarkan hasil analisis data, maka
dihasilkan simpulan sebagai berikut. 1) Bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi dalam
novel ini berasal dari kebiasaan masyarakat maupun adat istiadat; 2) bentuk ketidakadilan
gender berupa subordinasi dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini menunjukkan adanya
sikap merendahkan posisi kaum perempuan oleh kaum laki-laki; 3) Bentuk ketidakadilan
gender berupa stereotipe tergambar melalui kutipan yang berkaitan dengan penandaan
dengan adanya aturan yang diberikan suatu kaum yang seringkali lahir dari kebiasaan maupun
adat istiadat; 4) bentuk ketidakadilan gender berupa kekerasan dalam novel ini terdiri atas dua
bentuk, yakni sik maupun nonsik atau mental psikologis seseorang; 5) bentuk ketidakadilan
gender berupa beban kerja terjadi pada kaum perempuan, khususnya dalam novel ini bermula
dari adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin.
Kata kunci: feminisme, ketidakadilan gender, novel

PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan gambaran
kehidupan
bermasyarakat,
memang
selayaknya dapat dinikmati, dipahami,
dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sastra bukan merupakan
suatu komunikasi praktis, melainkan suatu

komunikasi yang mengandung unsur seni


dan unsur kreativitas. Oleh sebab itu,
bila hendak berbicara tentang sastra, kita
mesti berbicara tentang seni (Semi, 2012:
65). Novel mengungkapkan penghayatan
semua hal tentang kehidupan masyarakat
dengan penuh kesungguhan melalui sarana

439

kestrukturan, yang di antaranya berupa


amanat.
Hal tersebut senada dengan yang
diungkapkan oleh Cook (Suyitno, 2014:
33 - 34), novel sebagai prosa naratif
bersifat imajiner mengandung kebenaran
yang
mendramatisasikan
hubunganhubungan antarmanusia secara virtual,
yang penyaringan objek ceritaan dan
pemrosesannya dilakukan secara selektif.
Feminisme merupakan suatu gerakan kaum
perempuan yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum perempuan dan
laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua
aspek kehidupan, baik dalam bidang politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.
Ketidakadilan gender adalah bentuk
perbedaan
perlakuan
berdasarkan
alasan
gender,
seperti
pembatasan
peran, penyingkiran atau pilih kasih yang
mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas
pengakuan hak asasi, persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya,
dan sebagainya. Alasan peneliti memilih
novel sebagai objek yang dianalisis sebagai
berikut. Pertama, novel merupakan satu di
antara bentuk karya sastra yang sebagian
besar objek penceritaannya menyampaikan
tentang kehidupan manusia sehingga akan
mudah diterima oleh masyarakat pembaca.
Kedua, novel berisi suatu kejadian yang luar
biasa karena dari suatu kejadian itu terjadi
konik mengakibatkan perubahan jalan
hidup pelakunya sehingga novel sangat
menarik untuk dianalisis dengan berbagai
pendekatan. Ketiga, novel merupakan
bacaan yang banyak diminati oleh berbagai
kalangan, buktinya banyak lm yang sukses
diminati publik yang awalnya beranjak dari
novel-novel populer.
Alasan peneliti memilih novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini sebagai objek
penelitian sebagai berikut. Pertama, novel ini
sangat terbuka menggambarkan kehidupan

440

perempuan di kalangan masyarakat Bali.


Novel ini merupakan satu di antara sekian
banyak novel yang menggambarkan
kehidupan perempuan Bali yang penuh
dengan konik. Novel ini menggambarkan
sosok
perempuan
Bali
yang
gigih
menghadapi perjuangan hidup, sabar, dan
berani menghadapi segala konsekuensi
yang akan didapatkan jika berani mengambil
keputusan untuk menentang tradisi di
masyarakat. Kedua, novel ini memfokuskan
pada pencampuran cerita yang mengaitkan
kehidupan perempuan dengan diskriminasi
kasta dan penggambaran seksualitas. Ketiga,
banyak pendapat positif serta penghargaan
yang diberikan untuk novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini ini sehingga peneliti
merasa tertarik untuk melakukan penelitian
secara lebih dalam terhadap novel ini.
Alasan peneliti memilih Oka Rusmini
sebagai seorang sastrawan yang karyanya
patut untuk dianalisis lebih dalam antara
lain karena beberapa hal. Pertama, karena
Oka Rusmini adalah pembawa deru
feminisme sastra Indonesia periode 2000an. Oka Rusmini bernama lengkap Ida Ayu
Oka Rusmini. Perempuan yang lahir di
Jakarta, 11 Juli 1967 ini sejak tahun 1983
hijrah ke Bali untuk menjadi saksi Bali
dan perempuannya yang penuh dengan
perubahan. Kedua, karya-karyanya banyak
memperoleh penghargaan, beberapa di
antaranya adalah cerita pendeknya Putu
Menolong Tuhan, terpilih sebagai cerpen
terbaik Majalah Femina 1994. Noveletnya,
Sagra, memenangi cerita bersambung
terbaik Majalah Femina 1998. Ketiga, banyak
komentar-komentar positif yang dilontarkan
oleh para pembaca untuk novel karya Oka
Rusmini yang ini.
Alasan peneliti memilih fokus masalah
pada ketidakadilan gender dalam penelitian
ini sebagai berikut. Pertama, karena
ketidakadilan gender terlahir karena adanya
pelestarian budaya patriarki, oleh sebab

itulah laki-laki lebih berkuasa daripada kaum


perempuan, baik di lingkungan masyarakat
ataupun di lingkungan rumah tangga, yang
mengakibatkan perempuan mengalami
diskriminasi. Kedua, ketidakadilan gender
didasari pemahaman para laki-laki yang
menganggap perempuan adalah mahluk
yang lemah sehingga tidak dipercaya untuk
mendapatkan peran sama sekali.
Penelitian
ini
difokuskan
pada
ketidakadilan gender yang dialami tokoh
perempuan dalam novel Tarian Bumi karya
Oka Rusmini. Hal tersebut dikarenakan
penulis ingin mengetahui dan mengungkap
bentuk
marginalisasi,
subordinasi,
stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang
dihadapi oleh tokoh perempuan. Satu di
antara pendekatan yang dapat digunakan
untuk mengkaji karya sastra adalah melalui
pendekatan feminisme. Fokus penelitian
secara umum adalah tentang feminisme
yang terjadi pada tokoh perempuan dan
secara khusus tentang ketidakadilan gender
dalam bentuk marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang
dialami tokoh perempuan dalam novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini.
Ada beberapa penelitian sebelumnya
yang berkaitan dengan novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini atau yang berkaitan
dengan kajian feminisme yang fokus
kepada ketidakadilan gender. Pertama,
penelitian terhadap novel Tarian Bumi karya
Oka Rusmini pernah dilakukan oleh Rany
Mandrastuty dari Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tahun 2010. Penelitian Rany
Mandrastuty berjudul Novel Tarian Bumi
Karya Oka Rusmini: Kajian Feminisme.
Simpulan dari penelitian tersebut, yaitu a)
unsur-unsur struktural dalam novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini, meliputi tema, alur,
latar, tokoh, penokohan, dan amanat; b) gur
tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini adalah gur perempuan

Bali yang hidup dalam kebudayaan Bali yang


patriarki; c) perjuangan tokoh perempuan
dalam mewujudkan feminisme dalam novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Perempuan
seringkali dihadapkan pada persoalan yang
cukup rumit yang diakibatkan oleh situasi
hubungan laki-laki dengan perempuan yang
tidak sejajar.
Kedua, penelitian terhadap kajian
feminisme yang fokus kepada ketidakadilan
gender pernah dilakukan oleh Heri Aprilianto
dari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang pada tahun 2005. Skripsi
Heri Aprilianto berjudul Tokoh Utama
Wanita dalam Pandangan Gender pada
Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning
Pranoto. Simpulan dari penelitian tersebut,
yaitu 1) tokoh utama wanita dalam novel
Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto
adalah Sumirah; 2) jenis gender tokoh utama
wanita dalam novel Wajah Sebuah Vagina
karya Naning Pranoto, meliputi gender
difference, gender gap, genderization,
gender identity; 3) ketidakadilan gender yang
dialami tokoh utama wanita dalam novel
Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto
adalah ketidakadilan yang berupa stereotip,
marginalisasi
perempuan,
kekerasan
terhadap perempuan, dan subordinasi
pekerjaan perempuan.
Ketiga, penelitian yang berkaitan
dengan novel Tarian Bumi dengan kajian
feminisme juga pernah dilakukan oleh
Dara Windiyarti yang merupakan seorang
peneliti sastra pada Balai Bahasa Surabaya
pada tahun 2008. Simpulan dari penelitian
1) diskriminasi kelas sangat jelas dalam
perbedaan peran, status, dan posisi antara
kelas yang berkuasa, Brahmana dengan
kelas yang tidak memiliki kuasa, Sudra.
Demikian pula dengan diskriminasi gender
yang selalu muncul dalam kalangan
bangsawan maupun kalangan orang
kebanyakan. 2) Pemberontakan perempuan
dalam diskriminasi kelas dan gender dalam

441

novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini tidak


sepenuhnya memihak kepada golongan yang
lemah, yakni Sudra maupun perempuan.
Hubungan
penelitian
dengan
pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pelajaran pada SMA kelas XI semester I
dengan Standar Kompetensi (SK) membaca:
7. Memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan. Kompetensi
Dasar (KD) 7.2 menganalisis unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/
novel terjemahan. Indikator Pencapaian
Kompetensi, yaitu 1) menganalisis unsurunsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema,
penokohan, sudut pandang, latar, dan
amanat) novel Indonesia; 2) menganalisis
unsur-unsur
ekstrinsik
dan
intrinsik
(alur, tema, penokohan, sudut pandang,
latar, dan amanat) novel terjemahan; 3)
membandingkan unsur-unsur ekstrinsik dan
intrinsik novel terjemahan dengan novel
Indonesia.
Novel, sebagai salah satu bentuk
cerita rekaan merupakan sebuah struktur
yang kompleks. Oleh karena itu, untuk
memahaminya, novel tersebut harus
dianalisis, Hill (Sugihastuti & Suharto, 2013:
44). Kata novel berasal dari kata Latin
novellus yang diturunkan pula dari kata
novies yang berarti baru. Dikatakan baru
karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis
sastra lainnya, seperti puisi, drama, dan
sebagainya, maka jenis novel ini muncul
kemudian (Tarigan, 2011: 167).
Novel merupakan sebuah karya
sastra yang tidak dapat dibaca selesai
dalam sekali duduk karena panjangnya
sebuah novel secara khusus cukup untuk
mempermasalahkan karakter, peranan sosial
tokoh, dan pandangan hidup tokoh dalam
perjalanan waktu. Novel juga merupakan
salah satu bentuk karya sastra ksi yang
menyampaikan permasalahan kehidupan
secara kompleks. Pengarang mampu

442

mengarang sebuah karya sastra ksi,


termasuk novel dengan baik dan biasanya
tema yang diangkat diambil dari kehidupan
yang pernah pengarang alami sendiri,
orang lain yang pengarang lihat dan dengar,
ataupun hasil imajinasi pengarang.
Unsur intrinsik terdiri atas tema, tokoh
dan penokohan, alur (plot), latar, sudut
pandang, dan amanat. Tema menurut Stanton
dan Kenny (Santosa & Wahyuningtyas,
2011: 2) adalah makna yang dikandung
dalam sebuah cerita. Abrams (Santosa &
Wahyuningtyas, 2011: 3) memaparkan tokoh
cerita adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif atau drama yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Penokohan
menurut Jones (Soa & Sugihastuti, 2003:
15) adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
Alur (plot) merupakan unsur ksi yang
penting. Menurut Stanton (Soa & Sugihastuti,
2003: 14) alur (plot) adalah keseluruhan
sekuen peristiwa-peristiwa. Latar adalah
landas tumpu, merupakan penyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams
dalam Santosa & Wahyuningtyas, 2011: 7).
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan cerita. Menurut Stanton (Soa
& Sugihastuti, 2003: 20), posisi yang
merupakan dasar berpijak kita untuk
melihat peristiwa dalam cerita disebut sudut
pandang. Amanat di dalam sebuah cerita
kadang-kadang diketahui secara eksplisit,
yakni berupa suatu ajaran atau petunjuk
yang ditunjukan langsung kepada pembaca.
Gender itu bukanlah ciptaan Tuhan,
tetapi hanya ciptaan masyarakat. Masyarakat

berprasangka bahwa di balik jenis kelamin


ada gender dan ternyata prasangka itu
berbeda pada masyarakat di suatu tempat
dengan masyarakat di tempat lain (Sugihastuti
dalam Santosa & Wahyuningtyas, 2011:
29). Gender adalah istilah yang merujuk
pada seperangkat karakteristik yang
dipandang manusia sebagai hal-hal yang
membedakan antara laki-laki dan wanita
dari hal-hal biologis, seperti jenis kelamin,
sampai peran sosial dan identitas gender.
Ketidakadilan gender adalah berbagai
bentuk tindak ketidakadilan atau diskriminasi
yang bersumber pada keyakinan gender,
di mana terjadi ketidaksetaraan di depan
hukum, ketidaksetaraan peluang, dan
ketidaksetaraan dalam hak bersuara.
Proses
marginalisasi
yang
mengakibatkan kemiskikan sesungguhnya
banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan
negara yang menimpa kaum laki-laki dan
kaum perempuan, yang disebabkan oleh
berbagai kejadian, misalnya penggusuran,
bencana alam atau proses eksploitasi.
Namun, ada salah satu bentuk pemiskinan
atau satu jenis kelamin tertentu, dalam hal
ini perempuan, disebabkan oleh gender.
Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk,
tempat dan waktu, serta mekanisme proses
marginalisasi kaum perempuan karena
perbedaan gender tersebut. Dari segi
sumbernya, bisa berasal dari kebijakan
pemerintah, keyakinan tafsiran agama,
keyakinan tradisi dan kebiasaan, atau
bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih,
2013: 13).
Pandangan gender yang terjadi
di dalam masyarakat ternyata bisa
menimbulkan
subordinasi
terhadap
perempuan. Fakih (2013: 15) menjelaskan
adanya anggapan bahwa perempuan
itu irasional atau emosional sehingga
perempuan tidak bisa tampil memimpin
dan berakibat pada munculnya sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi yang

tidak penting dan subordinasi karena gender


tersebut terjadi dalam segala macam bentuk
yang berbeda dari tempat ke tempat dan
waktu ke waktu di Jawa.
Stereotipe
adalah
pencitraan,
penggambaran kepada seseorang atau
kelompok yang berasal dari persepsi atau
anggapan yang salah. Banyak sekali
stereotipe yang terjadi di masyarakat
yang dilekatkan kepada umumnya kaum
perempuan sehingga berakibat menyulitkan,
membatasi, memiskinkan, dan merugikan
kaum perempuan.
Kekerasan
terhadap
perempuan
merupakan salah satu bentuk kejahatan
yang menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensi diri secara
wajar. Kekerasan dapat berupa perilaku
kasar sehingga menyebabkan suatu
yang mencemaskan, rasa takut sehingga
berdampak pada sesuatu yang tidak
menyenangkan. Adapun pendapat menurut
Fakih (2013: 17), kekerasan (violence)
adalah serangan atau invansi (assault)
terhadap sik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Kekerasan terhadap
sesama manusia pada dasarnya berasal
dari berbagai sumber, namun salah satu
kekerasan terhadap satu jenis kelamin
tertentu disebabkan oleh anggapan gender.
Kekerasan yang disebabkan oleh bias
gender ini disebut gender-related violence.
Adanya anggapan bahwa kaum
perempuan bersifat memelihara dan rajin,
serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah
tangga, membawa akibat semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung
jawab kaum perempuan. Konsekuensinya,
banyak perempuan yang harus bekerja keras
untuk menjaga kebersihan dan kerapian
rumah tangganya, mulai dari membersihkan
dan mengepel lantai, memasak, mencuci,
mancari air untuk mandi, hingga memelihara
anak. Menurut Fakih (2013: 21) di kalangan
keluarga miskin, beban yang sangat berat ini

443

harus ditanggung oleh perempuan sendiri.


Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut
harus bekerja, maka ia memikul beban kerja
ganda.
Kajian feminisme diangggap sebagai
suatu bentuk politik yang bertujuan untuk
mengintervensi dan mengubah hubungan
kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki
dan perempuan. Goefe (Soa & Sugihastuti,
2003: 23) mengungkapkan bahwa feminisme
merupakan suatu teori tentang persamaan
antara laki-laki dan perempuan di bidang
politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak
serta kepentingan perempuan. Berdasarkan
hal tersebut, feminisme sebagai jembatan
untuk menuntut persamaan hak perempuan
dan laki-laki. Feminisme dipandang sebagai
sebuah gerakan di dalam gerakan umum
untuk menimbulkan martabat, kebebasan,
dan kesetaraan, bukan saja di antara
manusia, melainkan juga di antara semua
makhluk yang mendiami bumi ini (Baidhawy,
1997: 4).
Beberapa perspektif feminime radikal
digambarkan
bahwa
wanita
ditindas
oleh
sistem-sistem
sosial
patriarkis,
yakni
penindasan-penindasan
yang
paling mendasar. Penindasan berganda,
seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah,
heteroseksisme, dan kelas-isme, terjadi
secara signikan dalam hubungannya
dengan penindasan patriarkis. Agar wanita
terbebas dari penindasan, perlu mengubah
masyarakat yang berstruktur patriarkis.
Menurut Jagger dan Rothanberg (Moore &
Ollenburger, 2002: 27), para teoretisi feminis
radikal menujukkan sifat-sifat mendasar
penindasan wanita lebih besar daripada
bentuk-bentuk penindasan lain (ras, kelas)
dalam berbagai hal.
1) Secara historis, wanita merupakan
kelompok pertama yang ditindas; 2)
penindasan wanita ada di mana-mana, dalam
semua masyarakat; 3) penindasan wanita

444

adalah bentuk penindasan yang paling sulit


dilenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan
melalui perubahan-perubahan sosial lain,
seperti penghapusan kelas masyarakat;
4) penindasan wanita menyebabkan
penderitaan yang paling berat bagi korbankorbannya, meskipun penderitaan ini
barangkali berlangsung tanpa diketahui; 5)
penindasan wanita memberikan suatu model
konseptual untuk memahami semua bentuk
penindasan lain.
Tujuan penelitian ini secara umum
adalah mendeskripsikan analisis novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini (kajian
feminisme). Adapun tujuan khusus dari
penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan
bentuk
ketidakadilan
gender
berupa
marginalisasi yang dialami tokoh perempuan
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini;
2) mendeskripsikan bentuk ketidakadilan
gender berupa subordinasi yang dialami
tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini; 3) mendeskripsikan
bentuk
ketidakadilan
gender
berupa
stereotipe yang dialami tokoh perempuan
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini;
4) mendeskripsikan bentuk ketidakadilan
gender berupa kekerasan yang dialami tokoh
perempuan dalam novel Tarian Bumi karya
Oka Rusmini; 5) mendeskripsikan bentuk
ketidakadilan gender berupa beban kerja
yang dialami tokoh perempuan dalam novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Moleong
(2014:
11)
mengemukakan
bahwa data dalam metode deskriptif yang
dikumpulkan adalah berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu
disebabkan oleh adanya penerapan metode
kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap
apa yang sudah diteliti. Data yang berupa

kutipan yang diperoleh akan dideskripsikan


apa adanya sehingga akan diketahui tentang
ketidakadilan gender dalam novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini.
Bentuk penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Bentuk penelitian kualitatif adalah
suatu penelitian yang hasil dari penelitian
tersebut akan diuraikan dan disimpulkan
dalam bentuk kata-kata bukan dalam bentuk
angka-angka. Hal tersebut sesuai dengan
konsep dasar penelitian kualitatif. Bogdan
dan Taylor (Moleong, 2014: 4) mendenisikan
metode kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan feminisme
Radikal,
perempuan-perempuan
Bali
seringkali mengalami berbagai penindasan
yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Di
dalam beberapa perspektif feminisme
radikal, digambarkan bahwa wanita ditindas
oleh
sistem-sistem
sosial
patriarkis,
yakni
penindasan-penindasan
yang
paling mendasar. Penindasan berganda
seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah,
heteroseksisme, dan kelas-isme, terjadi
secara signikan dalam hubungannya
dengan penindasan patriarkis.
Sumber data penelitian ini adalah
novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semua kutipan novel baik yang berupa
kata, frasa, kalimat, maupun paragraf dalam
novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini,
yang mana keseluruhan data yang dipilih
dan digunakan adalah data-data yang
berkaitan dan sesuai dengan masalah yang
diangkat pada penelitian feminisme dalam
novel ini yang menggambarkan bentukbentuk ketidakadilan gender yang berupa
marginalisasi,
subordinasi,
stereotipe,
kekerasan, dan beban kerja.

Teknik pengumpulan data yang


digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
studi dokumenter dan studi dokumentasi.
Teknik studi dokumentasi adalah teknik
pengumpulan data dan informasi melalui
pencarian dan penemuan bukti-bukti
(Afuddin & Saebani, 2012: 141). Teknik
dokumentasi ini peneliti dapat memperoleh
informasi bukan dari sebagai narasumber,
tetapi mereka memperoleh informasi dari
macam-macam sumber tertulis atau dari
dokumen yang ada pada informan dalam
bentuk peninggalan budaya, karya seni, dan
karya pikir. Sedangkan studi dokumenter
adalah mengumpulkan dokumen dan datadata yang diperlukan dalam permasalahan
penelitian, lalu ditelaah secara intens
sehingga dapat mendukung dan menambah
kepercayaan
dan
pembuktian
suatu
kejadian. Teknik studi dokumenter dilakukan
dengan cara menelaah karya sastra. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara
mengklasikasikan bagian-bagian yang
menjadi objek penelitian dalam penelitian
ini, khususnya kajian feminisme yang fokus
pada ketidakadilan gender dalam novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
Alat pengumpul data yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah manusia, yaitu peneliti sendiri
sebagai alat atau instrumen utama.
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
cukup rumit. Ia sekaligus merupakan
perencana, pelaksana pengumpulan data,
analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia
menjadi pelapor hasil penelitiannya (Moleong,
2014: 168). Peneliti kualitatif sebagai human
instrument berfungsi menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber
data, melakukan pengumpulan data, menilai
kualitas data, analisis data, menafsirkan data,
dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Pengecekan terhadap keabsahan data
perlu dilakukan agar data yang diperoleh
benar-benar objektif sehingga hasil penelitian

445

dapat
dipertanggungjawabkan.
Guna
menjamin validitas data yang akan diperoleh
dalam penelitian ini, maka peningkatan
validitas akan dilakukan dengan beberapa
cara, yakni dengan melihat kecukupan
referensi, menggunakan teknik triangulasi,
dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi.
Teknik analisis data adalah suatu
proses mengatur urutan data, menyusunnya
ke dalam suatu pola, kategori, maupun
satuan uraian dasar. Menurut Sugiyono
(2014: 91), analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung. Menurut Milles dan
Huberman (Sugiyono, 2014: 91), aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara
terus-menerus sampai tuntas sehingga
datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis
data meliputi beberapa tahap. Pertama,
reduksi data, yaitu bagian dari analisis, yang
berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting,
dicari tema dan polanya. Dengan demikian
data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Dalam penelitian ini, reduksi data yang
dilakukan adalah dengan merangkum datadata yang telah diperoleh, yang berkaitan
dengan permasalahan ketidakadilan gender,
memfokuskan dan memberikan gambaran.
Kedua, penyajian data. Setelah data
direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif,
penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan
antarkategori, dan sejenisnya. Menurut Miles
dan Huberman (Sugiyono, 2014: 95), yang
paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah teks
yang bersifat naratif. Dengan menyajikan
data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan

446

kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah


dipahami tersebut. Pada tahap ini peneliti
akan menyajikan data yang diperoleh dan
digambarkan sesuai dengan permasalahan
yang ada pada novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini.
Ketiga,
penarikan
simpulan
dan verikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara dan
akan berubah bila tidak ditemukan buktibukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel. Pada penelitian ini masuk pada
tahap penarikan kesimpulan peneliti akan
memaparkan kesimpulan yang diperoleh
dari hasil reduksi dan penyajian data pada
tahap sebelumnya, yakni kesimpulan atas
permasalahan ketidakadilan gender dalam
novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Data
Bagian analisis data adalah bagian
mengumpulkan serta mengklasikasikan
data berdasarkan wujud aspek penelitian,
yakni kajian feminisme yang sesuai dengan
penelitian ini. Klasikasi tersebut berfokus
pada ketidakadilan gender, yang berupa
marginalisasi,
subordinasi,
stereotipe,
kekerasan, dan beban kerja yang dialami
oleh tokoh perempuan dalam novel Tarian
Bumi karya Oka rusmini. Setiap analisis
masing-masing fokus permasalahan akan
ditampilkan pula kutipan-kutipan novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini yang menjadi
sumber penelitian. Kutipan-kutipan yang
ditampilkan adalah kutipan yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini
dan sebagai bukti adanya kajian feminisme
yang berfokus pada ketidakadilan gender

yang dipermasalahkan dalam novel Tarian


Bumi karya Oka Rusmini.
2. Analisis Ketidakadilan Gender dalam
Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
Berdasarkan hasil deskripsi di atas,
diperlukan penjelasan tentang pemerolehan
hasil dari penelitian ini. Prasangka gender
ditimbulkan oleh anggapan yang salah
kaprah terhadap jenis kelamin dan gender.
Di masyarakat, selama ini terjadi peneguhan
pemahaman yang tidak pada tempatnya
mengenai gender. Apa yang disebut gender
karena dikonstruksi secara sosial budaya
dianggap sebagai kodrat Tuhan Fakih
(Sugihastuti & Suharto, 2013: 206).
Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
mengisahkan tentang kehidupan seorang
perempuan sudra yang bernama Luh Sekar.
Dia memiliki ambisi untuk menikah dengan
lelaki brahmana karena bosan hidup dalam
kemiskinan dan tidak memiliki kedudukan
di masyarakat, khususnya masyarakat Bali.
Perjuangan Luh Sekar menikah dengan
seorang bangsawan Brahmana tidak mudah,
ia akan melakukan apa saja. Luh Sekar
menceritakan semuanya kepada Luh Kenten.
Luh Kenten diam-diam menyukai Luh Sekar
padahal mereka sama-sama perempuan.
Luh Kenten akan merestui pernikahan Luh
Sekar dengan Ida Bagus asalkan Luh Sekar
bersedia tidur dengannya.
Untuk mewujudkan keinginannya itu,
ia mengawali langkahnya menjadi seorang
penari dan tidak henti berdoa kepada para
Dewa agar keinginannya terwujud. Akhirnya,
ambisinya untuk menikah dengan lelaki
brahmanapun terwujud. Namun tanpa
disadarinya, setelah itu banyak hal yang
harus ditanggung oleh Luh Sekar maupun
keluarganya karena telah berani menikah
dengan seorang laki-laki dari bangsawan
Brahmana yang tidak sederajat dengannya.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
yang merupakan permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini, meliputi


marginalisasi,
subordinasi,
stereotipe,
kekerasan, dan beban kerja yang dialami oleh
tokoh perempuan dalam novel ini. Bentuk
ketidakadilan ini muncul dari kebiasaan
maupun tradisi masyarakat yang ada di
lingkungan Bali dan hal tersebut tidak hanya
terjadi di lingkungan masyarakat, melainkan
juga terjadi di lingkungan keluarga.
Bentuk ketidakadilan gender yang
terjadi berupa berikut ini. Pertama,
marginalisasi
yang
terdapat
dalam
novel ini merupakan suatu proses yang
mengakibatkan pemiskinan pada kaum
perempuan dalam bidang ekonomi yang
disebabkan oleh keyakinan tradisi dan
kebiasaan masyarakat yang dialami oleh
kaum perempuan. Hal tersebut tergambar
dalam kutipan dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini ini. Kedua, subordinasi
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
tergambar melalui kutipan dalam novel yang
menunjukkan adanya sikap merendahkan
posisi kaum perempuan oleh kaum lakilaki. Proses subordinasi yang banyak
terdapat dalam novel ini adalah perlakuan
memandang rendah kaum perempuan.
Ketiga, stereotipe tergambar melalui
kutipan yang berkaitan dengan penandaan
dengan adanya aturan yang diberikan suatu
kaum, yang seringkali lahir dari kebiasaan
maupun adat istiadat, misalnya kaum
perempuan Sudra dan kaum perempuan
Brahmana, masing-masing memiliki aturan
dan pandangan tersendiri yang diberikan
oleh suatu masyarakat sejak zaman dahulu.
Keempat, kekerasan dalam novel ini terdiri
atas dua bentuk, yakni sik maupun nonsik
atau mental psikologis seseorang. Kekerasan
terhadap sesama manusia dalam novel ini
pada dasarnya berasal dari berbagai sumber.
Namun, salah satu kekerasan terhadap satu
jenis kelamin perempuan disebabkan oleh
bias gender.

447

Kelima, beban kerja terjadi pada kaum


perempuan, khususnya dalam novel ini,
bermula dari adanya anggapan bahwa kaum
perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala
rumah tangga. Hal tersebut berakibat bahwa
semua pekerjaan domestik rumah tangga
menjadi tanggung jawab kaum perempuan
sehingga
banyak
kaum
perempuan
yang harus bekerja keras untuk menjaga
kebersihan rumah tangganya, mulai dari
membersihkan dan mengepel lantai,
memasak, mencuci, mencari air untuk mandi
hingga memelihara anak.
PENUTUP
Berikut merupakan simpulan dari
penelitian ini yang membahas mengenai
kajian feminisme dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini, yang fokus kepada
ketidakadilan gender. Pertama, ketidakadilan
gender yang pertama dianalisis dalam novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini adalah
bentuk marginalisasi yang dialami oleh tokoh
perempuan dalam novel ini. Marginalisasi
yang terdapat dalam novel ini merupakan
suatu
proses
yang
mengakibatkan
pemiskinan pada kaum perempuan dalam
bidang ekonomi yang disebabkan oleh
keyakinan tradisi dan kebiasaan masyarakat
yang dialami oleh kaum perempuan. Hal
tersebut tergambar dalam kutipan dalam
novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini.
Marginalisasi yang dilakukan oleh kaum
laki-laki atas kaum perempuan seperti
yang dialami oleh perempuan Sudra yang
harus menanggung segala keperluan dan
beban hidup keluarga karena suatu hal
atau peristiwa yang dilakukan oleh anggota
keluarga laki-laki dalam hidup mereka.
Karena marginalisasi, kaum perempuan
tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi
juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat
atau kultur, dan bahkan negara.

448

Kedua, ketidakadilan gender yang


kedua berupa subordinasi. Anggapan
bahwa perempuan irrasional atau emosional
menyebabkan perempuan dianggap tidak
bisa tampil memimpin yang berakibat
munculnya sikap menempatkan perempuan
pada posisi yang tidak penting. Subordinasi
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
tergambar melalui kutipan dalam novel yang
menunjukkan adanya sikap merendahkan
posisi kaum perempuan oleh kaum lakilaki. Proses subordinasi yang banyak
terdapat dalam novel ini adalah perlakuan
memandang rendah kaum perempuan
karena pendidikan ataupun pergaulan dan
banyak peristiwa yang seringkali menjadikan
kaum laki-laki sebagai prioritas utama.
Proses tersebut seringkali terjadi antara
kaum perempuan Sudra dengan kaum lakilaki Sudra, Brahmana, ataupun asing.
Ketiga, ketidakadilan gender yang
ketiga berupa stereotipe atau pelabelan
yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya
Oka Rusmini. Stereotipe, yakni penandaan
atau pelabelan yang diberikan pada suatu
kelompok tertentu. Stereotipe ini seringkali
berdampak merugikan dan menimbulkan
ketidakadilan. Dalam novel ini, stereotipe
tergambar melalui kutipan yang berkaitan
dengan penandaan dengan adanya aturan
yang diberikan suatu kaum yang seringkali
lahir dari kebiasaan maupun adat istiadat,
misalnya kaum perempuan Sudra dan kaum
perempuan Brahamana, masing-masing
memiliki aturan dan pandangan tersendiri
yang diberikan oleh suatu masyarakat sejak
zaman dahulu.
Selain itu, stereotipe juga terdapat
dalam kasta ataupun adat istiadat, seperti
penandaan yang diberikan oleh adat istiadat
kepada seorang perempuan Sudra yang
menikah dengan laki-laki Brahmana, maka
banyak hal atau peraturan yang harus ditaati
yang bersifat membebani baik sik maupun

mental perempuan tersebut. Penandaan


juga banyak diberikan oleh kaum perempuan
Sudra, yakni mereka dianggap memiliki
derajat yang lebih rendah dibandingkan
dengan perempuan Brahamana. Ada
banyak lagi bentuk-bentuk stereotipe yang
merupakan penandaan atau pelabelan.
Dengan adanya stereotipe tersebut, akan
timbul dampak negatif bagi kaum perempuan
yang menjadi korban atau kelompok tertentu
yang diberikan pelabelan tersebut.
Keempat, ketidakadilan gender yang
keempat berupa kekerasan yang dialami
oleh tokoh perempuan dalam novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini. Kekerasan dalam
novel ini terdiri atas dua bentuk, yakni sik
maupun nonsik atau mental psikologis
seseorang. Kekerasan terhadap sesama
manusia dalam novel ini pada dasarnya
berasal dari berbagai sumber, namun salah
satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin
perempuan yang disebabkan oleh bias
gender. Pada dasarnya kekerasan gender
disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan
yang ada dalam masyarakat. Kekerasan
yang terdapat dalam novel ini antara lain
kekerasan bentuk perkosaan yang terjadi
jika seseorang melakukan paksaan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa
kerelaan yang bersangkutan, seperti yang
dialami oleh beberapa perempuan dari kaum
sudra.
Kekerasan dalam bentuk pornogra,
yakni pelecehan terhadap kaum perempuan
di mana tubuh perempuan dijadikan objek
demi keuntungan seseorang. Dalam novel
ini ditunjukkan pada kutipan seorang
suami yang menjadikan tubuh istrinya
sebagai konsumsi publik, yakni dengan
melukis maupun membuat video istrinya
dalam keadaan tanpa busana. Kekerasan
terselubung, yakni dalam bentuk memegang
atau menyentuh bagian tubuh perempuan
dengan pelbagai cara dan kesempatan
tanpa kerelaan di pemilik tubuh, seperti yang

dialami oleh beberapa perempuan sudra dan


bagi perempuan penari joget. Kekerasan
terakhir yang berbentuk nonsik atau mental
psikologis, yakni tergambar dalam bentuk
sindiran, makian, ataupun penghinaan.
Bentuk kekerasan terjadi antara
kaum laki-laki pada kaum perempuan
yang dilakukan oleh kaum laki-laki Sudra
atau Brahmana kepada kaum perempuan
Sudra atau Brahmana pula. Dalam analisis
kekerasan ini, khususnya pada nonsik atau
mental, tidak hanya terjadi antara kaum
perempuan dan laki-laki saja, namun juga
terjadi sesama kaum perempuan. Kekerasan
non sik tersebut berupa penyindiran maupun
penghinaan dengan kata-kata kasar yang
secara terang-terangan ditujukan kepada
korbannya.
Kelima, ketidakadilan gender yang
kelima berupa beban kerja yang dialami oleh
tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini. Beban kerja terjadi pada
kaum perempuan, khususnya dalam novel ini
bermula dari adanya anggapan bahwa kaum
perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala
rumah tangga berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab kaum perempuan sehingga
banyak kaum perempuan yang harus
bekerja keras untuk menjaga kebersihan
rumah tangganya, mulai dari membersihkan
dan mengepel lantai, memasak, mencuci,
mencari air untuk mandi hingga memelihara
anak.
Di kalangan keluarga miskin, seperti
pada kaum Sudra di Bali, beban yang sangat
berat ini harus ditanggung oleh perempuan
sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan
tersebut harus bekerja untuk mencari biaya
hidup keluarga, maka ia dikatakan memikul
beban kerja ganda. Beban kerja dalam novel
tergambar melalui kutipan dalam novel yang
menjelaskan adanya bentuk beban kerja yang
dialami kaum perempuan, seperti anggapan

449

bahwa perempuan Bali adalah perempuan


yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan.
Mereka terbiasa dengan kerja kasar dan
keras. Hal tersebut menyebabkan kaum
laki-laki lebih leluasa untuk bersantai karena
semua kebutuhan dan keperluan hidup telah
terpenuhi oleh kaum perempuan.
Adapun saran yang dapat penulis
kemukakan dalam penelitian ini sebagai
berikut. Bagi pembaca, peneliti berharap
agar pembaca tidak hanya terhibur
setelah membaca novel, namun juga
dapat memahami konsep gender yang
sesungguhnya dan dapat memahami konik
melalui bentuk-bentuk ketidakadilan gender
yang seringkali terdapat dalam masyarakat
maupun dalam lingkungan keluarga melalui
konik yang digambarkan oleh pengarang
dalam karya sastranya. Bagi para guru dan
pengajaran Bahasa Indonesia, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi guru
dalam menambah materi yang berawal dari
pembahasan novel Indonesia maupun novel
terjemahan beserta unsur-unsur yang ada

di dalamnya, serta dapat mengidentikasi,


menganalisis, serta membandingkan unsurunsur pembangun sebuah karya sastra.
Bagi siswa, penelitian yang berkaitan
dengan kajian feminisme ini hendaknya
dapat dimanfaatkan secara lebih baik untuk
menambah wawasan yang berkaitan dengan
bidang kebahasaan dan sastra Indonesia.
Siswa dapat memahami unsur-unsur
pembangun karya sastra, khususnya yang
terdapat dalam novel. Dari hasil analisis yang
dikemukakan peneliti, siswa dapat memahami
bentuk-bentuk penggambaran watak setiap
tokoh dalam upaya penyelesaian masalah
yang berkaitan dengan ketidakadilan gender
yang terjadi di dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat. Bagi peneliti lain,
penelitian ini hendaknya dapat memberikan
tambahan referensi berkaitan dengan kajian
feminisme yang fokus kepada ketidakadilan
gender serta dapat dijadikan acuan, bekal
atau sumbangan informasi untuk melakukan
penelitian yang sama tentang kajian
feminisme dalam sebuah novel pada masa
yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin. 1997. Wacana Teologi Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mandrastuty, Rany. 2010. Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian Feminisme. Skripsi
(Tidak Diterbitkan), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Moleong, Lexy J.. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moore. H. A. & Ollenburger. J. C.. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saebani, A. B. & Afuddin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Santosa, W. H. & Wahyuningtyas, Sri. 2011. SASTRA: Teori dan Implementasi. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Semi, Atar, M.. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Soa, Adib & Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Bandung: Katarsis.

450

Sugihastuti & Suharto. (2013). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suyitno. 2014. Kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Tarigan, H. G.. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Windiyarti, Dara. 2008. Pemberontakan Perempuan Bali terhadap Diskriminasi Kelas dan
Gender: Kajian Feminis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini. Balai Bahasa Surabaya,
Surabaya.

451

PEMANFAATAN MEDIA GAMBAR BERSERI DALAM METODE MIND


MAPPING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS
NARRATIVE TEXT PADA SISWA KELAS XI IPA 3 SMA NEGERI 1
PULOKULON TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Puji Lestari
SMA Negeri 1 Pulokulon
pujilestari13680@gmail.com

ABSTRACT
This classroom action research using media images beamed in Mind mapping methods with
the aim to improve students writing skills of narrative text in class XI IPA 3 SMAN 1 Pulokulon
in the school year 2014/2015. This study is a Class Action Research, which consists of two
cycles. There are four stages of each cycle consisting of planning, action, observation, and
reection. Subjects were students of class XI IPA 3. The data obtained through observation,
interviews, observation, writing tests, and documentation. The data analysis technique used is
descriptive qualitative analysis. The results showed that: (1) Use of media images beamed in
mind mapping method can increase motivation seen in the increase in the activity. In the rst
cycle, the percentage of active students in learning is 64.10% and increased to 76.92% in the
second cycle. (2) Utilization of media images beamed in mind mapping method can improve
the writing skills of narrative text. In the rst cycle of student learning outcomes completeness
percentage is 74.36% and increased to 84.62% in the second cycle.
Keywords: media images beamed, mind mapping, narrative text

ABSTRAK
Penelitian tindakan kelas ini memanfaatkan media gambar berseri dalam metode mind
mapping untuk meningkatkan keterampilan menulis narrative text pada siswa kelas XI IPA
3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan kelas (Classroom Action Research). yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklusnya
terdapat empat tahapan, yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan
reeksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 3. Data diperoleh melalui pengamatan,
wawancara, observasi, tes menulis, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan hasil berikut. 1) Pemanfaatan
media gambar berseri dalam metode mind mapping dapat meningkatkan motivasi, yang
terlihat pada peningkatan keaktifan siswa. Pada siklus I persentase keaktifan siswa dalam
pembelajaran sebesar 64,10% dan meningkat menjadi 76,92% pada siklus II. 2) Pemanfaatan
media gambar berseri dalam metode mind mapping dapat meningkatkan keterampilan menulis
narrative text. Pada siklus I persentase ketuntasan hasil belajar siswa sebesar 74,36% dan
meningkat menjadi 84,62% pada siklus II.
Kata kunci: media gambar berseri, mind mapping, narrative text

PENDAHULUAN
Bahasa Inggris menjadi salah satu
bahasa internasional yang dipakai oleh
sebagian besar penduduk dunia. Kemajuan
teknologi
berpengaruh
besar
pada
perkembangan dunia pendidikan. Untuk
mengaksesnya, diperlukan pemahaman

452

dan kemampuan menggunakan bahasa


Inggris. Berkomunikasi berarti memahami
dan mengungkapkan informasi, pikiran,
perasaan, serta mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya.
Berkomunikasi bisa dilakukan secara
lisan maupun tulisan. Belajar bahasa

Inggris mengacu pada empat keterampilan


berbahasa, yaitu listening (mendengarkan),
speaking (berbicara), reading (membaca),
dan writing (menulis).
Kegiatan belajar mengajar akan
berhasil apabila keempat keterampilan
tersebut dikuasai oleh siswa. Selain itu, tentu
harus didukung oleh sarana dan prasana
yang baik, kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan siswa, tenaga pendidik yang
profesional, gedung sekolah yang memadai,
dan sebagainya.
Meskipun sarana prasana sudah
disediakan, namun masalah pendidikan
masih sering terjadi. Secara umum, siswa
memiliki beberapa kelemahan dalam belajar
bahasa Inggris, baik itu pada salah satu
keterampilan atau keempat keterampilan
itu. Menulis adalah salah satu keterampilan
berbahasa yang sangat penting. Kemampuan
menulis yang baik akan mendukung
siswa dalam mengapresiasikan ide-ide
cemerlangnya.
Sebenarnya menulis adalah aktivitas
yang menyenangkan. Namun, terkadang
siswa mengalami kebuntuan ide saat
memulai sebuah kalimat atau menutup
sebuah paragraf. Bahkan, siswa mengalami
kecemasan dan keraguan tentang tulisannya
sendiri, apakah tata bahasanya sudah betul,
apakah susunan teksnya sudah sesuai dan
tidak meloncat-loncat, apakah kosakatanya
sudah cukup banyak, dan sebagainya.
Ternyata kesulitan siswa seperti itu juga
dialami oleh siswa SMA Negeri 1 Pulokulon
pada umumnya, khususnya kelas XI IPA 3.
Masalah lain yang dihadapi siswa,
di antaranya mereka sering mengeluh dan
mungkin tidak tertarik untuk mendapatkan
tugas menulis. Bahkan, mereka hanya
diam berpikir lama sekali untuk sekadar
memulai menulis judul. Ada pula yang
memulai menulis tetapi dengan awalan yang
kurang tepat. Misalnya secara tatabahasa,
kebanyakan siswa masih lemah, apalagi

untuk melanjutkan menuangkan ide yang


lebih jauh lagi. Penggunaan kosakata yang
bervariasi juga cenderung tidak banyak
dilakukan siswa. Selain itu, keruntutan
atau susunan paragraf juga banyak yang
meloncat-loncat. Artinya, siswa menulis
terkadang tidak sesuai dengan generic
structure dari teks itu sendiri. Hal tersebut
menunjukkan rendahnya keaktifan siswa
dalam pembelajaran, terutama untuk
keterampilan menulis sehingga tentu itu
berdampak pada rendahnya prestasi belajar
siswa.
Berdasarkan hasil belajar siswa pada
ulangan menulis narrative text di kelas XI
IPA 3 dengan jumlah siswa 39, menunjukkan
kurang dari 70% siswa mencapai KKM
walaupun untuk keterampilan menulis
sebenarnya mudah bagi siswa jika siswa
tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan
dalam menulis.
Melihat masalah yang dihadapi siswa
dalam menulis narrative text seperti itu,
penulis mencoba mencari jalan keluar
dengan memanfaatkan media gambar
berseri dalam metode mind mapping (peta
pikiran) untuk memudahkan siswa dalam
menulis narrative text. Pemetaan konsep
menurut Martin (dalam Trianto, 2009: 157)
merupakan inovasi baru yang penting
untuk membantu anak menghasilkan
pembelajaran bermakna dalam kelas. Peta
konsep menyediakan bantuan visual konkret
untuk
membantu
mengorganisasikan
informasi sebelum informasi tersebut
dipelajari. Dengan metode mind mapping,
siswa dilatih untuk mengidentikasi ide-ide
kunci yang berhubungan dengan suatu topik
dan menyusun ide-ide tersebut dalam suatu
susunan dari umum ke khusus dan dalam
suatu pola yang logis sehingga siswa akan
mampu menuangkan seluruh ide-ide, pikiran,
bahkan perasaan mereka dalam sebuah
peta pikiran atau peta konsep. Mind mapping
bertujuan untuk memperjelas pemahaman

453

siswa pada apa yang ada di pikiran siswa


sehingga dapat dipakai sebagai alat
evaluasi dengan cara meminta siswa untuk
membacakan kemudian menuangkannya ke
dalam tulisan.
Penerapan
pembelajaran
mind
mapping dalam penelitian ini memanfaatkan
gambar berseri. Media gambar akan
memudahkan siswa dalam mengilustrasikan
ide dan pikiran. Media tersebut diharapkan
dapat menarik minat siswa dalam belajar
bahasa Inggris serta dapat mengarahkan
siswa dalam menulis narrative text dengan
mudah dan menyenangkan. Penelitian
Nadliroh (2013) menunjukkan bahwa metode
mind mapping mampu meningkatkan
keaktifan dan hasil belajar siswa kelas XI
SMA Assaadah pada materi menulis teks
report. Dengan berhasilnya pembelajaran
di kelas XI, diharapkan penerapan mind
mapping juga mampu meningkatkan hasil
belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa
Inggris.
1. Menulis
Pada prinsipnya tujuan utama dari
pembelajaran bahasa Inggris adalah
meningkatkan keterampilan siswa dalam
bahasa Inggris, yang meliputi keterampilan
listening
(menyimak/
mendengarkan),
speaking (berbicara), reading (membaca),
dan writing (menulis). Menulis merupakan
salah satu keterampilan yang harus dimiliki
siswa untuk mengomunikasikan semua yang
ada dalam pikirannya dalam bentuk bahasa
tulis. Menulis juga merupakan aktivitas
yang sangat kompleks karena tidak hanya
melibatkan struktur penyusunan, tapi juga
akan melibatkan diksi atau pilihan kata,
kosakata, dan juga imajinasi.
Di
dalam
masyarakat
modern
seperti sekarang ini, dikenal dua macam
cara berkomunikasi, yaitu berkomunikasi
secara langsung dan tidak langsung.
Keterampilan menulis memiliki peran yang

454

sangat penting dalam kehidupan manusia


karena dengan menulis, seseorang mampu
mengomunikasikan pikiran dan perasaannya.
Sehubungan
dengan
penelitian
ini,
kemampuan menulis adalah hal yang sangat
penting bagi siswa karena dari menulis,
siswa dapat mengatur beberapa ide dan
gagasan melalui struktur kata dan kalimat
dengan benar dan akan menuangkannya
dalam bentuk paragraf.
2. Menulis Narrative Text
Narrative text adalah salah satu dari
ke-13 jenis teks bahasa Inggris (types of
text) yang menghadirkan sebuah cerita
yang imajinatif atau sesuatu yang hanya
khayalan belaka dan mempunyai tujuan
untuk menghibur pembaca. Narrative text
mempunyai inti cerita yang biasanya hanya
berupa imajinasi penulis atau kejadian nyata
yang ditangkap oleh penulis atau bahkan
bisa gabungan keduanya. Dalam berbagai
sumber, narrative text dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk, seperti fables, fairy stories,
mysteries, horrors stories, legends, dan
masih banyak yang lainnya.
Hal pertama yang harus diperhatikan
oleh siswa dalam menulis narrative text
adalah generic structure dan unsur-unsur
kebahasaan (language features), yang
menjadi ciri mencolok dari suatu jenis teks.
Adapun ciri mencolok yang lain dari sebuah
narrative text adalah bagian komplikasi
(complication) atau masalah yang muncul
dalam narrative text itu. Paragraf inilah
yang menjadi inti dari narrative text. Tanpa
ada permasalahan, teks ini hanya berupa
paparan peristiwa satu yang diikuti dengan
peristiwa yang lain.
3. Media, Media Gambar, dan Media
Gambar Berseri
Media adalah segala bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyampaikan
informasi atau pesan. Kata media berasal

dari bahasa Latin, merupakan bentuk jamak


dari kata medium. Secara harah, kata
media mempunyai arti perantara/pengantar,
yaitu perantara sumber pesan (a source)
dengan penerima (a receiver).

mencatat, yang bekerjanya disesuaikan


dengan bekerjanya dua belah otak (otak
kiri/otak kanan). Metode ini mengajarkan
untuk mencatat, tidak hanya menggunakan
gambar atau warna.

Penggunaan media dalam pengajaran


berfungsi untuk mempercepat proses belajar
mengajar di dalam kelas dan sebagai alat
bantu dalam mewujudkan situasi belajar
mengajar yang efektif. Sejalan dengan hal
tersebut, Ceranic (2011: 97) menyatakan
menggunakan teks media atau pendukung
sik dapat membantu merangsang pendapat
atau imajinasi siswa tentang topik tertentu
yang Anda minta untuk mereka tulis.

Mind mapping adalah cara mencatat


yang kreatif, efektif, dan secara haraah akan
memetakkan pikiran-pikiran. Mind mapping
juga merupakan rute yang memudahkan
ingatan dan memungkinkan untuk menyusun
fakta dan pikiran. Dengan demikian, cara
kerja alami otak dilibatkan sejak awal.

Beberapa hal yang termasuk ke dalam


media, yaitu lm, televisi, media cetak,
media komputer, media gambar, musik, lagu,
dan sebagainya. Adapun penggunaan media
gambar diharapkan dalam penyajiannya
bisa dilakukan secara efektif. Artinya bahwa
gambar-gambar
tersebut
merupakan
gambar-gambar pilihan, dapat dilihat dengan
jelas oleh peserta didik, bisa ditempel atau
ditampilkan melalui proyektor.
Media gambar berseri merupakan
media yang berisi urutan gambar. Adapun
antara gambar satu dengan gambar yang
lain saling berhubungan dan menyatakan
suatu peristiwa atau cerita sehingga
bisa disimpulkan bahwa gambar berseri
adalah gambar yang mempunyai urutan
kejadian yang memiliki satu kesatuan
cerita. Gambar berseri juga dapat melatih
siswa mempertajam imajinasi, semakin
berkembang pula kemampuan siswa dalam
melihat, kemudian membahasakan suatu
benda.
4. Mind Mapping
Mind
mapping
adalah
metode
mempelajari konsep yang dikemukakan oleh
Tony Buzan. Konsep ini didasarkan pada cara
kerja otak kita menyimpan informasi. Metode
mind mapping adalah metode baru untuk

Mind mapping memberikan banyak


manfaat. Mind mapping memberikan
pandangan
menyeluruh
pada
setiap
aspek permasalahan dan memberikan
sudut pandang pada area yang luas,
memungkinkan kita merencanakan rute atau
membuat pilihan-pilihan dan mengetahui
ke mana kita akan pergi dan di mana kita
berada. Keuntungan lainnya, yaitu sejumlah
besar data di suatu tempat, mendorong
pemecahan masalah dengan membiarkan
kita melihat jalan-jalan terobosan kreatif baru,
merupakan sesuatu yang menyenangkan
untuk dipandang, dibaca, direnungkan, dan
diingat. Mind mapping juga dapat digunakan
dalam berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Kegunaan metode mind mapping
dalam bidang pendidikan, khususnya pada
SMA Negeri 1 Pulokulon kelas XI, antara lain:
a. Merangsang bekerjanya otak kiri dan
kanan secara sinergis.
b. Membuat rencana atau kerangka
cerita.
c. Memungkinkan kita membuat rute
atau kerangka pemikiran suatu
karangan.
d. Mendorong pemecahan masalah
dengan kreatif.
e. Dapat memusatkan perhatian.
f. Mengembangkan sebuah ide.
Sebelum membuat sebuah peta pikiran,
diperlukan beberapa bahan, yaitu kertas
kosong tak bergaris, pena, dan pensil warna.

455

Buzan (2004:15) mengemukakan ada tujuh


langkah untuk membuat mind mapping (peta
pikiran)). Tujuh langkah tersebut sebagai
berikut.
a. Memulai dari bagian tengah kertas
kosong yang sisi panjangnya
diletakkan
mendatar.
Hal
itu
dikarenakan apabila dimulai dari
tengah akan memberi kebebasan
kepada otak untuk menyebar
ke
segala
arah
dan
untuk
mengungkapkan dirinya secara lebih
bebas dan alami.
b. Menggunakan gambar atau foto
untuk ide sentral. Karena sebuah
gambar atau foto akan mempunyai
seribu kata yang membantu otak
dalam menggunakan imajinasi yang
akan diungkapkan. Sebuah gambar
sentral akan lebih menarik, membuat
otak tetap fokus, membantu otak
berkonsentrasi, dan mengaktifkan
otak.
c. Menggunakan warna yang menarik.
Bagi otak, warna sama menariknya
dengan gambar. Warna membuat
mind map (peta pikiran) lebih hidup,
menambah energi pada pemikiran
yang kreatif dan menyenangkan.
d. Menghubungkan
cabang-cabang
utama ke gambar pusat dan
hubungkan cabang-cabang tingkat
satu, dua, dan seterusnya, karena
otak bekerja menurut asosiasi. Otak
senang mengaitkan dua (atau tiga
atau empat) hal sekaligus. Apabila
cabang-cabang dihubungkan akan
lebih mudah diingat dan dimengerti.
e. Membuat
garis
hubung
yang
melengkung, bukan garis lurus.
Garis lurus akan membosankan otak.
Cabang-cabang yang melengkung
dan organis seperti cabang-cabang
pohon jauh lebih menarik bagi mata.
f. Menggunakan satu kata kunci untuk
setiap garis. Kata kunci tunggal

456

memberi lebih banyak daya dan


eksibilitas kepada peta pikiran.
g. Menggunakan gambar karena setiap
gambar sentral bermakna seribu
kata.
Dengan memperhatikan cara-cara
membuat mind mapping dan menerapkannya
dalam pembelajaran itu, siswa dapat berlatih
mengembangkan otaknya secara maksimal,
siswa akan lebih mudah berkonsentrasi
karena setiap catatan yang dibuat oleh
masing-masing siswa bersifat unik dan mudah
dipahami. Dalam membuat mind mapping,
diperlukan keberanian dan kreativitas yang
tinggi. Variasi dengan huruf kapital, warna,
garis bawah atau simbol-simbol yang
menggambarkan poin atau gagasan utama.
Menghidupkan mind mapping yang telah
dibuat akan lebih mengesankan.

Gambar 1. Ilustrasi Peta Pikiran (Mind


Mapping)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan
Kelas
(Classroom
Action
Research), yang terdiri dari dua siklus.
Setiap siklusnya terdapat empat tahapan,
yang terdiri dari perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi, dan
reeksi. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas XI. IPA 3 SMA Negeri 1 Pulokulon
Tahun Ajaran 2014/2015. Data diperoleh
melalui pengamatan, tes, dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif komparatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kondisi Awal
Sebelum penelitian tindakan kelas
dilakukan, pembelajaran Bahasa Inggris
kelas XI IPA 3 sudah biasa dikondisikan
berkelompok sehingga untuk materi-materi
yang memerlukan kerja kelompok, guru tidak
perlu lagi membentuk kelompok. Dari 39
siswa, dibagi menjadi 6 kelompok sehingga
tiap kelompok berjumlah 6 - 7 siswa. Sebelum
dilakukan penelitian tindakan kelas ini materi
pokoknya sama, yaitu menulis narrative text.
Untuk dapat menulis narrative text,
siswa melakukan diskusi tentang generic
structure, dan language features yang
menjadi ciri dari narrative text. Kemudian
mereka menentukan ide pokok yang akan
dikembangkan dalam paragraf. Namun,
seringkali siswa menemui hambatan untuk
menyelesaikan paragraf mereka karena
merasa buntu atau tidak punya ide lagi untuk
mengembangkannya. Maka dari itu, untuk
nilai menulis, rata-rata siswa banyak yang
tidak tuntas atau tidak mencapai KKM.
2. Siklus I
a. Perencanaan
Sebelum
melaksanakan
penelitian, pada tahap perencanaan ini
peneliti mempersiapkan hal-hal sebagai
berikut.
1) Menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) Bahasa
Inggris dengan pokok bahasan
menulis teks narrative.
2) Menyiapkan media dan alat
berupa gambar berseri, kertas
kosong, alat tulis warna, dan
materi tentang kiat-kiat membuat
mind mapping (peta pikiran).
3) Membuat lembar observasi.
Lembar observasi yang dibuat
oleh peneliti ini berisi tentang
keaktifan siswa selama proses
pembelajaran
dan
lembar

observasi hasil ulangan harian


berupa nilai kognitif siswa.
4) Menyusun instrumen penelitian.
Instrumen penelitian berupa
lembar
kerja
siswa
yang
berbentuk soal essay berupa
perintah untuk menulis narrative
text dengan media gambar
berseri dengan menggunakan
metode mind mapping.
5) Guru sebagai peneliti juga
menyiapkan siswa kelas XI. IPA
3 yang berjumlah 39 siswa yang
dibagi menjadi 6 - 7 kelompok
kecil.
b. Tindakan
Pembelajaran
keterampilan
menulis narrative text yang dilaksanakan
pada siklus I diawali dengan guru
menjelaskan langkah-langkah yang
akan
dilakukan
dalam
kegiatan
pembelajaran
yang
memanfaatkan
media gambar berseri menggunakan
metode mind mapping (peta pikiran).
Siklus I dilaksanakan sebanyak dua
kali pertemuan, termasuk evaluasi dan
reeksi, yaitu pada tanggal 16 Februari
2015 jam ke-2 sampai jam ke-3.
Seluruh kegiatan pembelajaran
merupakan
tahapan
yang
berkesinambungan, diawali dengan
siswa yang menerima gambar berseri
dan mencoba menganalisisnya. Siswa
mencoba menjawab pertanyaan guru
tentang hal-hal yang berkaitan dengan
narrative text, termasuk generic structure
dan language features yang menjadi
cirinya. Guru mencoba meminta siswa
untuk menyusun ide pokok dari satu
gambar dan ternyata siswa masih ragu
untuk menjawabnya.
Kemudian guru mulai menerapkan
metode mind mapping (peta pikiran)
di dalam kelas. Sebelumnya diberikan
kepada siswa selembar kertas tentang

457

kiat-kiat untuk membuat mind mapping


(peta pikiran). Lalu, guru menjelaskan
bagaimana cara menerapkan konsep
mind mapping dengan memberikan
contoh gambarnya. Setelah semua siswa
jelas dan memahami tentang konsep
mind mapping, siswa mendapatkan tugas
untuk mempersiapkan kosakata yang
berhubungan dengan gambar berseri
yang mereka terima.
Pada
pertemuan
berikutnya
guru meminta siswa untuk membentuk
kelompok kecil yang terdiri dari 6 - 7
siswa. Setelah mereka berkumpul dalam
kelompok, guru membagikan kertas
kosong sebagai media untuk membuat
mind mapping. Siswa berdiskusi untuk
menentukan kalimat atau ide pokok yang
sesuai dengan gambar yang mereka
miliki.
c. Observasi
1) Observasi proses belajar
Observasi proses pembelajaran
dilakukan mulai dari pelaksanaan pada
pertemuan pertama sampai pelaksanaan
diskusi
menggunakan
metode
mind
mapping pada pertemuan kedua. Hasil
analisis pada proses pembelajaran dimulai
dari pelaksanaan diskusi siswa, di mana
keaktifan siswa dalam diskusi bisa diamati.
Mulai dari siswa aktif atau pasif dalam
berdiskusi membahas gambar berseri dan
mengaplikasikannya dalam bentuk mind
mapping. Karena ini merupakan hal yang
baru bagi siswa, ada beberapa siswa yang
bingung harus melakukan apa. Adapula
yang hanya diam saja, lalu berbicara dengan
teman di sebelahnya. Tetapi, sebagian
besar siswa merasa diskusi ini sangat
menarik, bahkan mereka akan lebih memilih
menggunakan metode mind mapping
daripada sebelumnya yang kebanyakan
hanya menggunakan metode konvensional
karena mereka merasa punya banyak ide,
imajinasi, dan mengaplikasikannya dalam

458

bentuk-bentuk yang unik, berkreasi membuat


gambar-gambar ilustrasi, dan masih banyak
lagi yang ingin mereka tuangkan. Walaupun
masih ada beberapa kekurangan, tetapi hasil
analisis proses pembelajaran menunjukkan
peningkatan siswa yang aktif dari 35,90%
menjadi 64,10% atau dari 14 siswa yang
aktif bertambah menjadi 25 siswa yang aktif
berdiskusi bersama dalam kelompoknya.
2) Observasi hasil belajar
Penilaian kompetensi dilaksanakan
dengan uji kompetensi berupa ulangan
harian. Materi ulangan harian adalah menulis
narrative text melalui media gambar berseri
dengan metode mind mapping. Hasil akhir
keterampilan menulis siswa pada siklus I
dengan jumlah siswa 39 yang memperoleh
nilai di atas batas KKM (78) atau disebut
tuntas ada 29 siswa dengan prosentase
74,36%, sedangkan siswa yang belum tuntas
ada 10 siswa atau 25,64%.
d. Reeksi
Dari hasil observasi, reeksi
proses pembelajaran pada siklus I
menunjukkan peningkatan keterampilan
siswa dalam menulis narrative text
melalui penerapan metode mind mapping
ini berhasil walaupun belum sepenuhnya.
Siswa sudah memahami langkahlangkah menulis narrative text. Namun,
ada beberapa hal yang masih menjadi
kelemahan siswa, yaitu minimnya
penguasaan kosakata sehingga mereka
akan kehabisan ide dalam membuat
kalimat sehingga tidak bisa memvariasi
kalimat. Guru berusaha memotivasi
siswa untuk lebih banyak lagi menguasai
kosakata dengan cara membuat daftar
kata yang dianggap sulit. Hal itu akan
menjadikan siswa mau menulis, lalu
membaca, dan akhirnya secara langsung
akan bisa menghafalnya.

3. Siklus II
a. Perencanaan
Pada penelitian siklus II ini guru
menyiapkan RPP dan gambar berseri
yang berbeda dari siklus sebelumnya.
Siswa diminta untuk bergabung lagi
dalam kelompok yang lebih kecil yang
terdiri dari empat orang. Diskusi kelompok
tetap dilakukan, tetapi di siklus II ini siswa
akan membuat mind mapping dengan
waktu yang lebih cepat dari sebelumnya
sehingga kesiapan siswa juga perlu
ditekankan lagi.
b. Tindakan
Siklus II dilaksanakan pada
tanggal 23 Februari 2015 untuk membuat
mind mapping kembali. Pada pertemuan
pertama siswa diberi gambar berseri
dengan tema yang berbeda dari siklus
sebelumnya. Siswa diberi kesempatan
untuk terus menggali informasi pada
gambar,
membuka
kamus
untuk
membantu mereka memahami cerita,
membuat ide pokok, membuat konsep,
dan memvariasi kata. Guru meminta
siswa menentukan terlebih dahulu lay out
(kerangka karangan) untuk gambar yang
mereka dapat. Sampai akhirnya, siswa
akan mudah untuk menerapkan konsep
mind mapping.
Kegiatan membuat peta pikiran
baru dimulai pada pertemuan kedua,
di mana siswa sudah benar-benar siap
akan materi yang akan mereka tulis.
Siswa dengan konsep yang sudah
matang dan pengalaman pada siklus I
menghasilkan konsep dan tulisan yang
pastinya berbeda. Mereka lebih berani
untuk
bereksperimen
memberikan
variasi-variasi kalimat, imajinasi gambar,
yang menunjukkan bahwa mereka mulai
menyukai dan menikmati pembelajaran
dengan metode mind mapping. Mereka
tidak lagi banyak bertanya pada guru
tentang kesulitan mereka sehingga

guru juga tidak banyak memberi arahan


karena siswa sudah lebih memahami
dalam membuat konsep mind mapping
dengan baik dan benar.
c. Observasi
1) Observasi proses belajar
Observasi proses pembelajaran
dilakukan mulai dari pelaksanaan pada
pertemuan pertama sampai pelaksanaan
diskusi
menggunakan
metode
mind
mapping pada pertemuan kedua. Hasil
analisis pada proses pembelajaran dimulai
dari pelaksanaan diskusi siswa, di mana
keaktifan siswa dalam diskusi bisa diamati.
Pada siklus II ini dapat disimpulkan bahwa
proses pembelajaran sudah mengalami
beberapa perbaikan dari kelemahan yang
dievaluasi pada siklus I.
Pada pertemuan pertama siswa
sudah mempersiapkan apa saja yang akan
dilakukan untuk mengidentikasi gambar
berseri, seperti kamus Bahasa Inggris, lay
out, dan daftar kosakata yang mereka miliki.
Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan siswa
sudah meningkat. Pada pertemuan kedua
siswa melaksanakan metode mind mapping
dengan lebih percaya diri, lebih kreatif, lebih
imajinatif, dan sudah mulai banyak kosakata
yang mereka pakai untuk membuat ide
pokok tentang gambar. Walaupun dalam
diskusi masih ada siswa yang belum aktif,
tetapi sudah ada peningkatan dibandingkan
dengan aktifvitas diskusi pada siklus
sebelumnya. Hal ini bisa dilihat menurut hasil
analisis keaktifan siswa selama diskusi, yaitu
dari semula 25 siswa yang aktif menjadi 30
siswa atau meningkat dari 64,10% menjadi
76,92%.
2) Observasi hasil belajar
Penilaian uji kompetensi pada siklus
II ini dilaksanakan pada hari yang sama
dengan pelaksanaan metode mind mapping,
yaitu ulangan harian kedua. Gambar berseri
sebagai media dibuat berbeda dari ulangan
sebelumnya. Bentuk soal ulangan masih

459

sama, yaitu menulis narrative text melalui


media gambar berseri dengan metode Mind
Mapping. Hasil akhir keterampilan menulis
siswa pada siklus II dengan jumlah siswa 39
yang memperoleh nilai di atas batas KKM
(78) atau disebut tuntas ada 33 siswa dengan
persentase 84,62%, sedangkan yang belum
tuntas ada 6 siswa atau 15,38%.
d. Reeksi
Dari hasil observasi, reeksi
pada proses pembelajaran siklus II
telah menunjukkan tingkat ketuntasan
yang diharapkan, yaitu lebih dari 75%.
Keberhasilan ini karena memperhatikan
dan meningkatan kelemahan-kelemahan
yang ada dalam siklus I. Pada dasarnya
jika siswa dipersiapkan benar bagaimana
langkah-langkah menulis yang baik dan
benar dan juga menggunakan metode
yang menyenangkan dan mudah
dipahami, maka hal ini akan memudahkan
siswa untuk menghasilkan tulisan yang
baik dan benar sehingga keterampilan
menulis siswa juga akan bisa terlihat.

Hasil pelaksanaan siklus I dan siklus II


secara ringkas dapat dideskripsikan dalam
tabel berikut.
Tabel 2. Hasil Tindakan Ditinjau dari
Indikator Keberhasilan Proses dan Hasil
Pembelajaran
Indikator Kinerja
Siklus I
Untuk keaktifan siswa,
dengan rincian:
1. siswa yang diskusi
bersama dalam
kelompok
64,10%
2. siswa yang diam dan
sesekali diskusi dengan
teman dekatnya
35,90%
Untuk aspek pengetahuan
Tercapainya nilai batas 74,36%
tuntas (KKM= 78)

Siklus II

76,92%

23,08%
84,62%

PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, penerapan metode mind mapping
(peta pikiran) dengan memanfaatkan
media gambar berseri sangat efektif untuk
meningkatkan proses pembelajaran dan hasil
belajar siswa dalam keterampilan menulis
narrative text. Hal ini terlihat pada presentase
hasil uji kompetensi pada siklus I dan siklus
II terdapat peningkatan dari 74,36% menjadi
84,62%. Kedua, metode mind mapping
(peta pikiran) dengan memanfaatkan media
gambar berseri mampu meningkatkan
motivasi dan keaktifan siswa dalam menulis
narrative text. Hal ini terlihat pada siswa
yang semakin aktif berdiskusi bersama
membahas materi menulis. Presentase
hasil keaktifan belajar siswa selama proses
pembelajaran juga meningkat, dari 64,10%
menjadi 76,92%.
Berdasarkan hasil dan implikasi dalam
penelitian ini, maka saran-saran yang dapat
dianjurkan adalah sebagai berikut. Pertama,
kepada guru, antara lain: a) penggunaan
metode pembelajaran yang bervariasi dan
menyenangkan dapat membuat proses
belajar mengajar menjadi menarik dan tidak
membosankan; b) pemanfaatan media
gambar berseri dengan metode mind mapping
(peta pikiran) adalah salah satu alteratif cara
pembelajaran menulis yang dapat digunakan
dalam proses belajar mengajar Bahasa
Inggris untuk meningkatkan keterampilan
siswa dalam menulis teks Bahasa Inggris.
Dengan metode mind mapping (peta pikiran),
siswa tidak hanya menggambar bentuk,
tetapi juga akan menalar, berpikir menulis
gagasan, membuat ide-ide yang kreatif,
bahkan siswa akan berimajinasi sehingga
semua itu bisa dituangkan dalam bentuk
gambar peta pikiran.
Kedua, kepada siswa, antara lain: a)
siswa harus berkonsentrasi untuk menggali
ide dan gagasan untuk bisa membuat peta

460

pikiran atau mind mapping yang menarik dan


penuh kreativitas; b) siswa diharapkan mau
lebih giat lagi dalam memperkaya kosakata
karena untuk dapat menulis dengan baik
dan benar siswa harus banyak menguasai
kosakata dan mengetahui langkah-langkah
bagaimana menulis yang baik, termasuk
harus paham benar tentang generic structure
dan language features yang menjadi ciri
dari teks yang akan ditulis; c) siswa harus
mempunyai motivasi tinggi untuk belajar
menulis dengan baik dan benar sehingga
keterampilan menulis akan bisa tercapai.

Kedua, kepala sekolah, antara lain:


a) memberi motivasi kepada guru untuk
menggunakan metode pembelajaran yang
bervariasi; b) memberikan fasilitas yang
cukup untuk kelancaran proses belajar
mengajar; c) menginformasikan kepada guru
bahwa pemanfaatan media gambar berseri
dengan metode mind mapping (peta pikiran)
adalah salah satu metode yang dapat
digunakan dalam proses belajar mengajar
yang dapat membantu meningkatkan daya
pikir dan prestasi belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Buzan, Tony. 2004. Mind Map untuk Meningkatkan Kreativitas. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ceranic, Helena. 2011. Panduan bagi Guru Bahasa Inggris. Jakarta: Erlangga.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

461

PEMILIHAN KODE DALAM MASYARAKAT BILINGUAL MELAYU SAMBAS


DI KOTA PONTIANAK DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN
(Studi Kasus dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK Al-Madani
Pontianak, Kalimantan Barat)

Eti Ramaniyar
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
IKIP PGRI Pontianak

ABSTRACT
This research aim to describe and explain about the variety of code-switching and codemixing, the social factors which become the basic rules to choose code-switching and codemixing, and the effect of using code for Indonesian language learning. The methods which
the writer used in this research are descriptive method using sociolinguistic approach and a
eld research. The result of this research found there are two varieties from the basic use of
language. Those are: 1) code-switching and code-mixing by BI basic code; 2) code-switching
and code-mixing by BMS basic code. there are two factors which determine code-switching
to the speakers of MMS society in Pontianak. First, based on situational code-switching, and
second,metaphorical code-switching.
Keywords: code choosing, bilingual, Sambas Malay society

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang berbagai alih kode
dan kode - pencampuran , faktor-faktor sosial yang menjadi aturan dasar untuk memilih alih
kode dan kode - pencampuran , dan efek dari menggunakan kode untuk belajar bahasa
Indonesia . Metode yang penulis digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik dan penelitian lapangan . Hasil penelitian ini
ditemukan ada dua varietas dari penggunaan dasar bahasa . Mereka adalah : 1 ) alih kode dan
kode - pencampuran dengan kode dasar BI ; 2 ) alih kode dan kode - pencampuran dengan
kode dasar BMS . ada dua faktor yang menentukan kode -switching ke speaker masyarakat
MMS di Pontianak . Pertama , berdasarkan situasional alih kode , dan kedua , metafora alih
kode .
Kata kunci : Kode memilih , bilingual , Sambas Melayu masyarakat

PENDAHULUAN
Kajian bahasa sangat menarik untuk
diteliti, terutama berkaitan dengan faktor
sosial. Menurut Fishman (dalam Saddhono,
2013: 2), sosiolinguistik adalah kajian tentang
ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi
bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga
unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan
saling mengubah satu sama lain dalam
satu masyarakat tutur. Artinya, dengan
adanya latar belakang sosial, budaya, dan

462

situasi, masyarakat tutur yang berbeda


dapat menentukan penggunaan bahasanya
masing-masing.
Sebagai
akibat
dari
situasi
kedwibahasaan pada masyarakat tutur
pendatang di Kota Pontianak, pengamatan
menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor
penentu dalam pengambilan keputusan pada
sebuah tuturan. Selain itu, dengan adanya
kontak bahasa di Kota Pontianak, muncul
pula gejala alih kode dan campur kode

pada penuturnya. Kedua gejala kebahasaan


tersebut alih kode dan campur kode
mengacu pada peristiwa, yaitu pada saat
berbicara, seorang penutur memasukkan
unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa
yang sedang digunakannya.
Alih kode menurut pandangan Trudgill
(2003: 123) merupakan proses beralihnya
satu kode bahasa ke bahasa lain dalam
percakapan yang sama. Campur kode
menurut pandangan Ayeomoni (2006: 90
- 99), yaitu pencampuran dari kata-kata,
frasa, dan kalimat dari dua tata bahasa
yang berbeda. Alih kode dan campur kode
terjadi karena adanya masyarakat yang
bilingual. Menurut Kridalaksana (2008:
36), bilingualisme (bilingualism) adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh
seseorang atau oleh suatu masyarakat.
Penelitian ini dikaji penggunaan bahasa
oleh MMS yang berada di Kota Pontianak,
khususnya dalam bidang pendidikan.
Para ahli yang telah melakukan
kajian tersebut, yaitu Haesook Han Chung
(2006) di Korea, Ayeomoni, M.O. (2006) di
Afrika, Woon Yee Ho (2007), Monica Stella
Cardenas-Claros (2009), Rugare Mareva
dan Felix P. Mapako (2012). Di Indonesia
penelitian yang meneliti alih kode dan campur
kode, di antaranya Istiati (1985), Arin dan
Zainudin (1999), Suwandi (2001), Muksan
(2012), Simarmata (2012).
Soetomo (1985) mengkaji tentang
Telaah Sosial Budaya terhadap Interverensi,
Alih Kode, dan Tunggal Bahasa dalam
Masyarakat Ganda Bahasa. Permasalahan
penelitiannya mengangkat teori yang dipakai
untuk mengkaji tingkah laku kebahasaan
pada
masyarakat
multibahasa,
yaitu
teori sosiologi dan sosiolinguistik. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 1)
dari kajian sosiologi bahasa, disimpulkan
bahwa kerangka pemikiran Talcott Parsons
merupakan kerangka pemikiran yang
berkemampuan lebih besar daripada teori-

teori yang lain untuk menanggapi gejalagejala tuturan, khususnya interferensi,


alih kode, dan tunggal bahasa; 2) dari
aspek sosiolinguistik, didapatkan bahwa
keinterferensian atau keintergrasian suatu
unsur asing dalam tuturan bahasa Indonesia
dwibahasawan hanya dapat ditentukan oleh
penutur dan masyarakat itu sendiri.
Arin dan Zainudin (1999) dengan
judul penelitian Penggunaan Bahasa Osing
dalam Masyarakat Banyuwangi mengkaji
penggunaan bahasa Osing dalam interaksi
sosial yang terjadi antaranggota masyarakat
dalam berbagai ranah. Hasil analisis yang
didapat bahwa dalam ranah keluarga,
bahasa Osing digunakan secara dominan
sebagai alat interaksi antaranggota keluarga.
Suwandi (2001) dalam tesisnya
yang diberi judul Pilihan Tindak Tutur dan
Kode dalam Wacana Pidato Kepala Desa
Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan,
menemukan bahwa kode yang digunakan
dalam wacana pidato Kepala Desa
Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan,
meliputi bahasa Indonesia, bahasa Jawa,
dan bahasa Arab. Campur kode yang
ditemukan dalam wacana tersebut, meliputi
campur kode antara bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa
Arab, serta bahasa Jawa dan bahasa Arab.
Alih kode yang ditemukan meliputi alih kode
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, dan
dari bahasa Indonesia ke bahas Arab.
Menurut Kridalaksana (2008: 36),
bilingualisme
((bilingualism)
adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh
seseorang atau oleh suatu masyarakat.
Meskipun sudah dikatakan, di dalam sebuah
bahasa itu hanya ada sebuah ragam baku,
ditemukan ada situasi yang unik dalam
beberapa bahasa, yaitu dalam sebuah
bahasa ditemukan ada dua ragam baku yang
sama-sama diakui dan dihormati. Hanya saja
fungsi dan pemakaiannya berbeda. Situasi
yang demikian itu disebut diglosia.

463

Sistem sosial erat sekali hubungannya


dengan sistem kultur pada masyarakat tutur
tertentu, maka tidak aneh jika kemudian
bahasa juga tidak dapat terlepas dari faktor
kultural. Faktor luar bahasa (extra linguistic)
yang dikatakan sebagai penentu penggunaan
bahasa dalam bertutur itu dapat pula disebut
sebagai komponen tutur (components of
speech) Hymes; Poedjosoedarmo (dalam
Rahardi, 2001: 27).
Kridalaksana (2008: 127) mengatakan
bahwa kode merupakan sistem bahasa dalam
suatu masyarakat atau variasi tertentu dalam
suatu bahasa. Alih kode merupakan proses
beralihnya satu kode bahasa ke bahasa lain
dalam percakapan yang sama, yaitu seperti
yang dijelaskan oleh Trudgill (2003: 23),
yakni proses seorang bilingual beralih kode
antara satu bahasa dalam percakapan yang
sama.
Campur kode (code-mixing) terjadi
apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan, mendukung
suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini biasanya berhubungan
dengan karakteristik penutur, seperti latar
belakang sosial, tingkat pendidikan, serta
rasa keagamaan. Ciri yang sangat menonjol
berupa kesantaian atau situasi informal.
Namun, bisa juga terjadi karena keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut
tidak ada padanannya sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain
walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Suwito (dalam Wijana & Rohmadi,
2012: 171) menyatakan bahwa campur kode
adalah suatu keadaan berbahasa bilamana
orang mencampur dua atau lebih bahasa
dengan saling memasukkan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang
lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut
tidak lagi mempunyai fungsi sendiri.

464

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan pendekatan
sosiolinguistik untuk meneliti pemakaian
kode pada masyarakat Sambas di Kota
Pontianak. Sumber data dalam penelitian
ini, yaitu data yang berasal dari peristiwa
tutur yang terjadi di antara para penutur,
yaitu masyarakat dwibahasa Sambas di
Kota Pontianak, Kalimantan Barat yang
merupakan data primer. Sesuai dengan
pandangan Sugiyono (2008: 308), sumber
primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data.
Dalam penelitian ini, teknik sampling
yang digunakan adalah purposive sampling.
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan
melalui
observasi
dan
wawancara.
Penerapan metode observasi dilakukan
dengan teknik dasar sadap. Penelitian ini
menggunakan triangulasi sumber. Data yang
diperoleh dari hasil wawancara dan observasi
ditriangulasikan untuk menjaga validitas data
dalam penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Variasi Alih Kode
Berdasarkan hasil penelitian di Kota
Pontianak, Kalimantan Barat, ditemukan
berbagai variasi alih kode dan variasi campur
kode yang muncul dalam peristiwa tutur
dalam masyarakat tutur BMS.
Data [20]
(1) P1 : dolo kamE yE, an bu Enda
E, tiap kali ke rumah di sorroh arE
materi anaE, balli obat, balli
balon/ dulu / kami / tu, / dengan / bu
/ Endang, / tiap / kali / ke / rumah /
disuruh / nyari / materi / anaknya, /
beli / obat, / beli / balon /
(2) P2 :balli ballon untu kan?
/ beli / balon / untuk / kan? /
(3) P1 :untukan ana E, lalah arE balon
ke manE-manE, sian / untukkan /

(4) P2
(5) P1

(6) P2
(7) P1

(8) P2

(9) P1

(10) P2
(11) P1

anaknya, / lelah / nyari / balon / ke /


mana-mana, / tidak / ada /
:bayar listrik eh bayar PDAM / bayar
/ listrik / eh / bayar / PDAM /
:bayar PDAM, listrik segalE macam
/ bayar / PDAM, / listrik / segala /
macam /
:pakai duit kitE semuEE yE? / pakai
/ duit / kalian / semuanya / tu? /
:daan pakai duitE, tapi bE sekali
meliattE anu, garE-garE diE jumpE
kitE di PDAM yE, ha Eti sini ya, ibu
mau pulang ni, nanti tugukan ya
antri, woho nugu kamE bedua /
tidak, / pakai / duitnya, / tapi / sekali
/ melihat / anu, / gara-gara / dia /
jumpa / kita / di / PDAM / tu, / ha / Eti
/ sini / ya, / ibu / mau / pulang / ni, /
nanti / tunggukan / ya / antri, / woho
/ nunggu / kami / berdua /
:tapi mEma kita bedua bayar
PDAM kE daan / tapi / memang /
kalian / berdua / bayar / PDAM / kah
/ tidak /
:ao, bayarkan sapE, ooo ano bayar
pas laka masa waktu yE, kan ya
bayar ya pertamE kan bayar di siE
/ iya, / bayarkan / siapa, / ooo / anu /
bayar / pas / selesai / pasang / waktu
/ itu, / kan / yang / bayar / yang /
pertamakan / bayar / di / situ /
:tappi pakai duitnyE / tapi / pakai /
duitnya /
: pakai duitnyE./ pakai / duitnya /

Terjemahan:
(1) P1 : dulu kami tu, dengan Bu Endang,
tiap kali ke rumah disuruh nyari
materi anaknya, beli obat, beli balon
(2) P2 :beli balon untuk apa?
(3) P1 :untukkan anaknya, lelah nyari balon
ke mana-mana, tidak ada
(4) P2 :bayar listrik eh bayar PDAM
(5) P1 :bayar PDAM, listrik segala macam
(6) P2 :pakai duit kalian semuanya tu?

(7) P1 :tidak, pakai duitnya, tapi sekali


melihat anu, gara-gara dia jumpa
kita di PDAM tu, ha Eti sini ya, ibu
mau pulang ni, nanti tunggukan ya
antri, woho nunggu kami berdua
(8) P2 :tapi memang kalian berdua bayar
PDAM kah tidak
(9) P1 :iya, bayarkan siapa, ooo anu bayar
pas selesai pasang waktu itu, kan
yang bayar yang pertamakan bayar
di situ
(10) P2 :tapi pakai uangnya
(11) P1 : pakai uangnya
PK

ST

TT
LT

: Pt adalah seorang laki-laki yang


berlatar belakang etnik Melayu
Sambas yang merupakan teman
sekelas Mt
Mt adalah seorang laki-laki yang
berlatar belakang etnik Melayu
Sambas yang merupakan teman
sekelas Pt.
: Tuturan terjadi dalam situasi formal
namun santai saat berada di ruang
kelas
: Membicarakan dosen pembimbing
yang menyebalkan
: Tuturan terjadi di ruang kelas kuliah
Pt dan Mt, Untan Pontianak

Dalam peristiwa tutur tersebut, kedua


penutur menggunakan kode BMS sebagai
sarana komunikasi dalam suasana nonformal
saat berada di kelas sewaktu perkuliahan
belum dimulai. Pada saat peristiwa tutur
terjadi suasana kelas masih sepi karena
mahasiswa lainnya belum banyak yang
datang. Dalam peristiwa tutur tersebut, Pt
menggunakan kode BMS ketika bercerita
kepada Mt dan Mt juga menanggapi cerita
Pt dengan kode BMS. Kedua penutur pada
peristiwa tutur tersebut menggunakan
kode BMS. Selain itu, pada peristiwa tutur
tersebut juga menggunakan AK BI seperti
yang terdapat pada data [36.7]. Pemakaian
AK BI tersebut digunakan sebagai contoh

465

pembicaraan
bicarakan.

Mt

ST

2. Variasi Campur Kode


Data 5
(1) P1 :Assalammualaikum
warohmatullahiwabarkatuh,
(2) P2 :Waalaikumsam
warohmatullahhiwabarkatuh
(3) P1 :Alhamdullillah sekarang kita dapat
bertatap muka kembali untuk
pertemuan minggu lalu sudah
sampai di mana
(4) P2 :Power point
(5) P1 :Power point sudah sampai ke
animasi
cara
menggunakan
hyperlink. Masih ingat ndah hyperlink
itu apa
(6) P2 : Masih, lupa
(7) P1 : Hyperlink apa?
(8) P2 : Mengatur, menghubungkan
(9) P1 :Hyperlink
artinya
untuk
menghubungkan, menghubungkan
halaman satu dengan halaman
yang lain, ya, jadi untuk sekarang
tugasnya kembali lagi bapak suruh
kalian perkelompok, 1 kelompok 3
- 4 orang silakan kerjakan bikin 10
slide
(10) P2 : Slide tu apa pak?
(11) P1 : Slide artinya halaman
(12) P2 : Ohhh
(13) P1 : Oke, buat 10, kemudian nanti untuk
animasinya terserah kalian yang
penting harus ada hyperlinknya, ada
tombol menu, kemudian back untuk
kembali, jelas
(14) P2 : Jelas
(15) P1 : Okay

TT
LT

PK

466

dosen

yang

Pt

dan

: Pt adalah seorang laki-laki yang


berlatar belakang etnik Melayu
Sambas yang merupakan guru di
SMK TI Al-Madani
Mt adalah siswa dan siswi SMK TI
Al-Madani

: Tuturan terjadi dalam situasi formal


dalam kegiatan belajar mengajar
dalam kelas.
: Menjelaskan materi hyperlink
: Tuturan terjadi di ruang kelas SMK TI
Al-Madani, Pontianak.

Dalam peristiwa tutur tersebut, kedua


penutur menggunakan kode BA dan BI
sebagai sarana komunikasi dalam suasana
formal pada saat di ruang kelas jam belajar
mengajar. Dalam peristiwa tutur tersebut,
Pt menggunakan kode BA, yaitu bahasa
Arab dalam membuka pelajaran yang
terdapat pada data [5.1] Assalammualaikum
warohmatullahiwabarkatuh,
selanjutnya
pada
data
[5.2]
waalaikumsam
warohmatullahhiwabarkatuh, dan pada data
[5.3] Alhamdullillah.
Selain menggunakan kode bahasa
Arab, tuturan yang terjadi pada peristiwa di
atas juga menggunakan CK bahasa Inggris
dalam menjelaskan materi power point
kepada Mt terdapat pada data [5.4, 5, 7, 9,
10, 11, 13, dan 15] power point, animasi,
hyperlink, slide, back, okay. Pemakaian
CK BA digunakan oleh kedua penutur
tersebut untuk memudahkan mereka dalam
berkomunikasi karena kata-kata tersebut
merupakan kata-kata yang sudah biasa
digunakan dalam materi yang disampaikan
tersebut.
3. Faktor Penyebab Campur Kode
Faktor penyebab campur kode adalah
a) keterbatasan penggunaan kode; dan b)
penggunaan istilah yang lebih populer. Faktor
keterbatasan kode terjadi apabila penutur
melakukan campur kode karena tidak
mengerti padanan kata, frasa, atau klausa
dalam bahasa dasar yang digunakannya.
Campur kode karena faktor ini lebih dominan
terjadi ketika penutur bertutur dengan
kode dasar BI dan BMS. Keterbatasan
ini menyebabkan penutur menggunakan
kode yang lain dengan kode dasar pada

pemakaian kode sehari-hari. Fenomena


campur kode dengan kode dasar BI yang
disebabkan oleh keterbatasan penggunaan
kode tampak pada tuturan-tuturan berikut.
(1) P1 : Kamu kenapa nggak mau ikut
lomba baca puisi
(2) P2 : Supan saya / malu / saya /
(3) P1 : Ndak apa-apa dong kan sekalian
cari pengalaman
(4) P2 : Biarkan teman-teman yang lain aja
deh
Terjemahan:
(1) P1 :Kamu kenapa nggak mau ikut lomba
baca puisi
(2) P2 : Malu saya
(3) P1 : Ndak apa-apa dong kan sekalian
cari pengalaman
(4) P2 : Biarkan teman-teman yang lain aja
deh
PK

ST

TT
LT

: Pt adalah seorang perempuan


yang berlatar belakang etnik Melayu
Pontianak yang merupakan teman
sekelas Mt
Mt adalah seorang perempuan
yang berlatar belakang etnik Melayu
Sambas yang merupakan teman
sekelas Pt.
:Tuturan
terjadi
dalam
situasi
nonformal namun santai saat berada
di ruang kelas
: Lomba baca puisi
: Tuturan terjadi di ruang kelas SMK AlMadani, Pontianak

Tuturan di atas menunjukkan adanya


peristiwa campur kode BMS pada kode
dasar BI. Tuturan tersebut merupakan
tuturan seorang siswa yang bertanya kepada
teman sebangkunya, mengapa temannya
tersebut tidak mengikuti lomba baca puisi.
Faktor penyebab terjadinya campur kode
itu adalah kebiasaan penutur dalam bertutur
dengan kode BMS. Penutur bukan tidak
memahami padanannya dalam BI, tetapi
karena faktor kebiasaan sehingga Mt.

memasukkan kode yang diketahuinya dalam


kode BMS. Fenomena campur kode ini dapat
pula terjadi karena penutur lebih sering
menggunakan kode tersebut dalam bertutur
walaupun penutur sebenarnya mengetahui
padanannya dalam BI.
Dalam kehidupan sosial, terdapat
kosakata tertentu yang dinilai mempunyai
padanan yang lebih populer. Kosakata
yang lebih dikenal ini sering digunakan oleh
masyarakat tutur Sambas di Kota Pontianak
ketika bertutur sehingga menimbulkan
adanya campur kode. Tuturan berikut
menunjukkan adanya fenomena campur
kode karena penggunaan istilah yang lebih
populer.
(Data 27)
(1) P1 : berapE PIN mu / berapa / PIN / mu
/
(2) P2 : daan hapal aku, kala ku smskan i
/ tidak / hafal / aku / nanti / ku / sms/
kan / ya /
(3) P1 : ao, balli lah jualan baju ku yak / iya
/ beli / lah / jualan / baju / ku /
(4) P2 : ao kalla broadcast aja ke aku i
lewat BBM / iya / nanti / broadcast /
saja / ke / aku / ya / lewat / BBM
Terjemahan:
(1) P1
(2) P2
(3) P1
(4) P2

PK

ST

: berapa PINmu
: tidak hafal aku, nanti ku smskan ya
: iya, beli lah jualan bajuku
: iya nanti broadcast saja ke aku ya
lewat BBM
:Pt adalah seorang perempuan
yang berlatar belakang etnik Melayu
Sambas merupakan mahasiswa di
Untan
Mt adalah seorang perempuan
yang berlatar belakang etnik Melayu
Sambas merupakan mahasiswa di
Untan
:Tuturan
terjadi
dalam
situasi
nonformal dan santai saat berada di
kantin kampus

467

TT
LT

: PIN BB
:Tuturan terjadi di kantin kampus Untan
Pontianak

Peristiwa tutur pada data [27]


merupakan CK antara kode BMS dan kode
BA. Seperti yang terlihat pada data [27.4] ao
kalla broadcast aja ke aku i lewat BBM. Kata
broadcast pada tuturan tersebut merupakan
CK yang terjadi karena penggunaan istilah
yang lebih populer. Penggunaan kata yang
populer dirasa lebih mudah dipahami oleh
Pt. dan Mt.
Tuturan pada peristiwa tersebut terjadi
dalam situasi nonformal dan santai saat
berada di kantin kampus. Topik tuturan pada
peristiwa tersebut, yaitu Pt. meminta PIN
kepada Mt., tetapi Mt tidak hafal dengan
PINnya sendiri. Mt. akan mengirim PINnya
lewat SMS. Penggunaan istilah yang populer
pada peristiwa tersebut terdapat pada data
[27.4] ao kalla broadcast aja ke aku i
lewat BBM.
4. Dampak Penggunaan Kode
Berdasarkan
wawancara
peneliti
dengan beberapa siswa di sekolah SMK Al
Madani, Pontianak. Terbukti bahwa siswa
yang berasal dari daerah Sambas masih
menggunakan CK pada saat jam belajar
di sekolah. Hal seperti ini akan berdampak
tidak baik untuk siswa-siswi yang terbiasa
menggunakan CK, yaitu pada pembelajaran
Bahasa Indonesia.
5. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian variasi
alih kode dengan kode dasar BI pada
peristiwa tutur, ketika penutur dan mitra
tutur berkomunikasi muncul pemilihan kode
dengan kode bahasa daerah lain (BDL) dan
BMS. Sedangkan alih kode dengan kode
dasar BMS ketika berkomunikasi muncul
dua kode, yaitu kode BI dan kode BA.
Temuan ini didukung oleh penelitian relevan

468

Simarmata (2012: 202), yang menunjukkan


bahwa pilihan kode pada MBT di Desa
Binjai terdapat dua variasi, yaitu variasi
kode dengan kode dasar BI dan variasi kode
dengan kode dasar BBT. Diperkuat dengan
teori dari Ohoiwutun bahwa variasi terjadi
sebagai perubahan atau perbedaan yang
dimanifestasikan dalam ujaran seseorang
atau penutur-penutur di tengah masyarakat
bahasa tertentu.
Faktor penentu alih kode disebabkan
oleh empat faktor, a) perubahan situasi tutur;
b) kehadiran orang ketiga; c) peralihan pokok
pembicaraan; dan d) untuk membangkitkan
rasa humor. Sedangkan faktor sosial
penentu campur kode disebabkan oleh dua
faktor, a) penggunakan istilah yang lebih
poopular; dan b) keterbatasan penggunaan
kode. Faktor-faktor yang ditemukan dalam
penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian
relevan dilakukan oleh Muksan dengan judul
Analisis Alih Kode dan Campur Kode pada
Masyarakat Keturunan Arab di Jungcangcang
Kota Pamekasan, yang menyatakan bahwa
faktor penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode adalah situacional code
switching dan metaphorical code switching.
Hal ini diperkuat dengan teori dari Suwito
(1991: 85 - 87), yaitu a) penutur; b) mitra
tutur; c) hadirnya orang ketiga; d) pokok
pembicaraan; e) untuk membangkitkan rasa
humor; dan f) untuk sekadar bergengsi.
Pada ranah pendidikan dampak dari
pemakaian CK sangat signikan, yakni
terjadinya CK pada saat jam belajar tidak
terkecuali pada pelajaran Bahasa Indonesia.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan
beberapa siswa di sekolah SMK Al Madani,
Pontianak, terbukti bahwa siswa yang berasal
dari daerah Sambas masih menggunakan
CK pada saat jam belajar di sekolah. Hal
seperti ini akan berdampak tidak baik untuk
siswa-siswi yang terbiasa menggunakan CK,
yaitu pada pembelajaran Bahasa Indonesia.

Dampak penggunaan kode BMS dalam


penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian
relevan dilakukan oleh Saddhono dengan
judul Fenomena Pemakaian Bahasa Jawa
sebagai Bahasa Ibu pada Sekolah Dasar
Kelas Rendah di Kota Surakarta (Sebuah
Kajian Sosiolingustik), yang menyatakan
bahwa faktor di balik penggunaan bahasa
Jawa dalam pembelajaran, antara lain,
bahwa a) kemampuan untuk mengimbangi
pembelajaran sehingga peserta didik
mampu menangkap dan memahami materi
yang disampaikan oleh guru yang lebih
baik; b) guru terbiasa menggunakan bahasa
Jawa; dan c) usaha untuk menarik perhatian
peserta didik.

PENUTUP

Faktor-faktor yang mendasari guru


dan peserta didik untuk menggunakan
bahasa dalam pembelajaran karena masih
rendahnya kokasata bahasa Indonesia yang
dimiliki peserta didik dan adanya unsur yang
diketahui oleh guru. Diperkuat dengan teori
Chaer & Agustina (2010: 114 - 115), yang
mengatakan bahwa di dalam campur kode,
ada sebuah kode utama atau kode dasar
yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya, sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces)
saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode. Seorang penutur misalnya,
yang dalam berbahasa Indonesia banyak
menyelipkan serpihan-serpihan bahasa
daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan
campur kode. Akibatnya, akan muncul satu
ragam bahasa yang kejawa-jawaan (kalau
bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa)
atau bahasa Indonesia yang kesundasundaan (kalau bahasa daerahnya adalah
bahasa Sunda).

Ketiga Faktor-faktor penentu alih kode


pada penelitian pemilihan bahasa pada
masyarakat Sambas di Kota Pontianak ini
ditentukan berdasarkan jenis alih kode sesuai
dengan pendapat Hudson (1996), yaitu
situational code-switching dan metaphorical
code-switching. Keempat, dampak pemilihan
kode pada tuturan penutur bahasa Sambas di
Kota Pontianak, Kalimantan Barat terhadap
pengajaran Bahasa Indonesia sangat
signikan, yakni terjadinya CK pada saat
jam belajar tidak terkecuali pada pelajaran
Bahasa Indonesia.

Adapun simpulan yang dapat diperoleh


dari penelitian ini sebagai berikut. Pertama,
kode yang ditemukan pada masyarakat tutur
Sambas di Kota Pontianak adalah kode
yang berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa
Melayu Sambas (BMS), Bahasa daerah
lain (BL), dan Bahasa asing (BA). Dengan
menggunakan komponen tutur dari Hymes
(1972), faktor-faktor penentu pemilihan kode
yang diungkap adalah faktor 1) ranah; 2)
peserta tutur; dan 3) norma. Kedua, dilihat
dari dasar bahasa, terdapat alih kode dan
campur kode dengan kode dasar BI, serta
alih kode dan campur kode dengan kode
dasar BMS.

Adapun saran yang dapat peneliti


sampaikan adalah dipandang dari perspektif
sosiolinguistik,
dimungkinkan
adanya
fenomena
diglosia pada masyarakat
dwibahasa, terutama pada masyarakat
tutur Sambas di Kota Pontianak yang belum
diungkap pada penelitian ini. Untuk itu,
diperlukan penelitian lanjut agar dapat diteliti
lebih mendalam. Penelitian seperti ini sangat
bermakna dalam upaya pembinaan dan
pengembangan bahasa daerah.

469

DAFTAR PUSTAKA
Arin, Edy Burhan., dan Sodaqah Zainudin. 1999. Penggunaan Bahasa Osing dalam
Masyarakat Banyuwangi dalam Irwan Abdullah. Bahasa Nusantara: Posisi dan
Penggunaannya Menjelang Abad ke-21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Berbahasa).
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Ayeomoni, M.O. 2006. Code-Switching and Code-Mixing: Style of Language Use in Childhood
in Yoruba Speech Community Nordic Journal of African Studies. Obafemi Awolowo
University, Ile-Ife, Nigeria. Vol. 15. (1). pp 90-99.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chung, Haesook Han. 2006. Code Switching as a Communicative Strategy: A Case Study of
Korean-English Bilinguals dalam Bilingual Research Journal. Vol. 30, (2), pp 293-307.
Judy, Woon Yee Ho. 2007. Code-mixing: Linguistic form and socio-cultural meaning. The
International Journal of Language Society and Culture. Issue 21. pp 1-8
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Monica Stella Cardenas-Claros. 2009. code switching and code mixing in internet chatting:
between yes, ya, and si a case study the jalt call journal 2009: forums. The University
of Melbourne. Vol. 5, (3). Pages 67-78.
Muksan. 2012. Analisis Alih Kode dan Campur Kode pada Masyarakat Keturunan Arab di
Jungcangcang Kota Pamekasan. Lingua Franca Volume 2, (1), pp 1-19.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rugare, Mareva & Felix P. Mapako. 2012. The Prevalence and Forms of Code Switching and
Code-Mixing in Readers Comments on Selected News Articles in the Herald Online.
International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development,
Vol. 1, (4). pp 35-43.
Saddhono, Kundharu. 2013. Pengantar Sosiolinguistik Teori dan Konsep Dasar. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Simarmata, Mai Yuliastri. 2012. Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasawan pada
Masyarakat Batak Toba di Desa Binjai, Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau
Pontianak, Kalimantan Barat. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Soetomo, Istiati. 1985. Telaah Sosial-Budaya Terhadap Interverensi, Alih Kode, dan Tunggal
Bahasa dalam Masyarakat Ganda Bahasa. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suwandi, AM. 2001. Pilihan Tindak Tutur dan Kode dalam Wacana Pidato Kepala Desa
Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Tesis. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Suwito. 1991. Sosiolinguistik. Surakarta: DEPDIKBUD.
Trudgill, Peter. 2003. A Glossary of Sociolinguistict. Edinburgh University Press.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2012. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

470

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TPS (THINK PAIR SHARE)


UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
MATERI BANGUN DATAR SEGIEMPAT PADA SISWA KELAS VII A
SMP NEGERI 1 PULOKULON SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN
2014/2015

Condro Kuncorowati
SMP Negeri 1 Pulokulon
condrokuncorowati@yahoo.com

ABSTRACT
This study aims to determine the application of cooperative models TPS in increasing
motivation and learning outcomes Rectangular Flat Build Math materials to the students of
class VII A Junior High School I Pulokulon Semester 2 Academic Year 2014/2015. This study
was conducted in two cycles, each cycle consists of four stages, namely stages of planning,
action, observation, and reection. The method used to collect the data of this study was the
test results of students, student motivation questionnaire, drawing documentation, observation
observer, by comparing the initial conditions with the rst cycle and the second cycle. At the
time of the evaluation of the initial conditions, the rst cycle and the second cycle, known to the
average value obtained, namely 53.32, 63.62, 79.88. Retrieved also classical completeness of
the initial conditions, the rst cycle, the second cycle, ie 14.70%, 35.29%, 88.23%. Moreover,
it also looks at the motivation of students of the rst condition, the rst cycle, the second cycle
of learning by 47%, 91.1%, 94%. This shows there is an increase in motivation and learning
outcomes of students in each cycle.
Keywords: think pair share, motivation to learn, learning outcomes, mathematics

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model kooperatif tipe TPS dalamt
meningkatkan motivasi dan hasil belajar Matematika materi Bangun Datar Segiempat
pada siswa kelas VII A SMP Negeri I Pulokulon Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu tahap
perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan reeksi. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian ini adalah hasil tes siswa, angket motivasi siswa, dokumentasi
gambar, pengamatan observer, yaitu dengan membandingkan kondisi awal dengan siklus I
dan siklus II. Pada saat evaluasi kondisi awal, siklus I, dan siklus II, diketahui nilai rata-rata
yang diperoleh, yaitu 53,32, 63,62, 79,88. Diperoleh pula ketuntasan klasikal dari kondisi awal,
siklus I, siklus II, yaitu 14,70%, 35,29%, 88,23%. Selain itu, juga tampak pada motivasi siswa
dari kondisi awal, siklus I, siklus II dalam pembelajaran sebesar 47%, 91,1%, 94%. Hal ini
menunjukkan ada peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa pada tiap siklusnya.
Kata kunci: think pair share, motivasi belajar, hasil belajar, matematika

471

PENDAHULUAN
Tahun pelajaran 2014/2015 SMP
Negeri I Pulokulon menetapkan KKM 75
untuk mata pelajaran Matematika kelas VII.
Namun, pada kelas VII A yang berjumlah 34
siswa diketahui hasil nilai ulangan harian
pada KD 6.2. Mengidentikasikan sifat-sifat
persegi panjang, persegi, trapesium, jajar
genjang, belah ketupat, dan layang-layang
diperoleh nilai maksimum 87, minimum 25,
nilai rata-rata 53,32. Dari 34 siswa, yang
tuntas 5 siswa dan yang tidak tuntas 29
siswa sehingga diperoleh ketuntasan klasikal
14,70%. Siswa yang mempunyai motivasi
dalam mengikuti pembelajaran ada 16 siswa
atau sebesar 47%.
Penyebab kurangnya motivasi belajar
siswa, misalkan kurangnya pengetahuan
prasyarat yang dimiliki siswa, latar belakang
siswa, sosial ekonomi, guru dalam proses
pembelajaran tidak mengikutsertakan siswa
secara aktif. Dominasi guru dalam proses
pembelajaran menyebabkan kecenderungan
siswa lebih bersifat pasif sehingga mereka
lebih banyak menunggu sajian guru mengajar
daripada mencari dan menemukan sendiri
pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang
mereka butuhkan. Upaya yang dilakukan
sebagai usaha meningkatkan motivasi dan
hasil belajar Matematika dengan menerapkan
model pembelajaran dengan pendekatan
kooperatif tipe Think Pair Share (TPS).
Dengan pendekatan model TPS, siswa bisa
saling membantu di antara teman dalam satu
kelompok sehingga diharapkan hasil belajar
Matematika siswa minimal dapat mencapai
KKM.
Tujuan
penelitian
ini
adalah
meningkatkan motivasi dan hasil belajar
Matematika materi bangun datar segiempat
melalui penerapan model koopratif tipe Think
Pair Share (TPS) pada siswa kelas VII A
SMP Negeri I Pulokulon semester 2 tahun
pelajaran 2014/2015. Manfaat penelitian
bagi siswa, yaitu dapat meningkatkan

472

motivasi dan hasil belajar Matematika siswa.


Sedangkan manfaat bagi guru, antara
lain: 1) dapat meningkatkan keterampilan
menerapkan berbagai metode pembelajaran;
2) mendorong dan mengarahkan siswa
untuk melibatkan diri secara aktif; 3)
lebih profesional dalam menyampaikan
materi sesuai kompetensi dasar dengan
metode mengajar yang bervariasi; dan
4) mengetahui kemampuan berpendapat
siswa dalam menyampaikan masalah. Bagi
sekolah, manfaat yang diperoleh, meliputi:
1) meningkatnya kualitas siswa dan guru;
2) memotivasi guru lain untuk melakukan
tindakan kelas, khususnya mata pelajaran
Matematika. Selain itu, manfaat bagi
perpustakaan sekolah adalah menambah
perbendaharaan penelitian yang berkaitan
dengan peningkatan kualitas pembelajaran.
1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran
Matematika
Menurut Hamalik (2010: 171), aktivitas
belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh siswa pada saat proses pembelajaran
untuk mencapai hasil belajar. Sementara
itu, pembelajaran adalah upaya untuk
menciptakan iklim dan pelayanan terhadap
kemampuan, potensi, minat, bakat, dan
kebutuhan peserta didik yang beragam
agar terjadi interaksi optimal antara guru
dengan siswa, serta siswa dengan siswa.
Pembelajaran Matematika mempunyai tujuan
utama, yaitu untuk membekali peserta didik
dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kreatif, serta kemampuan bekerja
sama.
2. Hakikat Motivasi Belajar Matematika
Motivasi belajar antara lain dipengaruhi
oleh motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Pada
motivasi instrinsik, agar siswa menjadi aktif,
tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam
diri setiap individu sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu. Misalnya,

seseorang yang senang membaca tidak


perlu ada yang menyuruhnya membaca, ia
sudah rajin mencari buku-buku untuk dibaca.
Sedangkan pada motivasi ekstrinsik, siswa
menjadi aktif karena adanya perangsang
dari luar. Misalnya, seseorang belajar karena
tahu besok pagi akan ada ujian, dengan
harapan mendapatkan nilai yang baik.
Motivasi merupakan salah satu determinan
penting dalam belajar. Motivasi dan hasil
belajar merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Peran motivasi dalam belajar
dan pembelajaran, antara lain menentukan
penguatan belajar, memperjelas tujuan
belajar, dan menentukan ketekunan belajar.
Peran motivasi mempercepat tujuan belajar
erat kaitannya dengan kemaknaan belajar.
3. Hakikat Hasil Belajar Matematika
Menurut Sudjana (2010: 3), hasil belajar
dalam pengertian luas mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah
kognitif berkenaan dengan hasil belajar
intelektual, yang terdiri dari enam aspek, yakni
pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang
terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,
jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi,
dan internalisasi. Sedangkan psikomotorik
berkenaan dengan hasil belajar keterampilan
dan kemampuan bertindak. Hasil belajar
Matematika adalah suatu hasil yang telah
dicapai siswa dalam belajar Matematika,
yang mengakibatkan perubahan pada diri
siswa berupa penguasaan dan kecakapan
baru, yang diukur dengan menggunakan tes
hasil belajar Matematika. Belajar Matematika
menurut Jerome Bruner adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika yang terdapat di dalam materi
yang dipelajari, serta hubungan-hubungan
antarkonsep dan struktur matematika itu.

4. Model Pembelajaran Kooperatif


Sanjaya (2007: 242) menyatakan
bahwa pembelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran dengan menggunakan
sistem kelompok atau tim kecil, yaitu
antara 4 - 6 orang, yang mempunyai latar
belakang kemampuan akademik, jenis
kelamin, ras, atau suku yang berbeda.
Strategi pembelajaran kooperatif memiliki
dua komponen utama, yaitu komponen
tugas kooperatif dan komponen struktur
insentif kooperatif. Prosedur pembelajaran
kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat
tahap, yaitu penjelasan materi, belajar dalam
kelompok, penilaian, dan pengakuan tim.
5. Model Pembelajaran Tipe Think Pair
Share (TPS)
Model pembelajaran tipe Think Pair
Share merupakan suatu pembelajaran
kooperatif sebagaimana halnya dengan
tutor sebaya. Yang dimaksud dengan model
Think Pair Share dalam penelitian ini adalah
sesuai dengan namanya, yang terdiri dari
tiga kata. a) Thinking (berpikir), di mana
siswa memikirkan suatu pertanyaan secara
mandiri untuk beberapa saat; b) Pairing,
yaitu siswa berpasangan dengan teman
sebangkunya/terdekat
mendiskusikan
apa yang telah dipikirkannya pada tahap
pertama; c) Sharing, yaitu berbagi dengan
kelompok yang lebih besar atau ke seluruh
kelas tentang apa yang telah didiskusikan.
Langkah-langkah
pembelajaran
Think
Pair Share dalam pembagian kelompok
diupayakan agar dalam setiap kelompok,
terdapat siswa yang mampu menjadi tutor
bagi anggota kelompoknya.
Menurut Spencer Kagan, manfaat
metode Think Pair Share, antara lain: a)
siswa menggunakan waktu yang lebih
banyak untuk mengerjakan tugasnya dan
mereka terlibat dalam kegiatan; b) guru
mempunyai waktu yang lebih banyak untuk

473

berpikir, mereka dapat berkonsentrasi


mendengarkan jawaban siswa, mengamati
reaksi siswa, dan mengajukan pertanyaaan
tingkat tinggi. Manfaat lainnya adalah
semua siswa dituntut aktif dalam proses
pembelajaran, baik secara individu maupun
bekerja sama dengan orang lain. Penelitian
ini menggunakan pendekatan Tipe Think Pair
Share (TPS) dalam pembelajaran menurut
Lie (2010: 12).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan di kelas VII
A SMP Negeri I Pulokulon, yang beralamat di
Jalan Raya Panunggalan 416, Kecamatan
Pulokulon, Kabupaten Grobogan. Penelitian
dilaksanakan pada semester 2 tahun
pelajaran 2014/2015, selama lima bulan,
yaitu Januari - Mei 2015. Pengambilan data
dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran
materi Bangun Datar Segiempat di kelas VII
A pada bulan Maret. Data pertama dalam
penelitian ini berupa motivasi siswa dalam
mengikuti pelajaran Matematika, data yang
kedua adalah data keaktifan siswa dalam
mengikuti pelajaran Matematika, sedangkan
data yang ketiga berupa hasil belajar
Matematika. Bentuk data dalam penelitian
ini berupa data kualitatif dan kuantitatif.
Data kualitatif meliputi data motivasi dan
keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran
Matematika, sedangkan data kuantitatifnya
adalah data hasil belajar Matematika.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan, antara lain: 1) dokumentasi, untuk
mengumpulkan data kondisi awal motivasi
siswa dan hasil belajar Matematika; 2) tes
tertulis, berupa data hasil belajar Matematika;
3) observasi, berupa data keaktifan dan hasil
belajar Matematika; 4) angket siswa, untuk
validasi data keaktifan belajar Matematika

474

siswa kelas VII A SMP Negeri 1 Pulokulon


semester 2 tahun 2014/2015 dengan cara
melibatkan observer lain, yaitu teman
sejawat. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan analisis deskriptif komparatif,
yaitu membandingkan nilai kondisi awal
dengan nilai siklus I, kemudian siklus I
dengan siklus II. Maka, secara teoretis akan
terjadi peningkatan dan secara empirik
terjadi peningkatan.
Indikator kinerja yang diharapkan
muncul pada penelitian ini, yaitu penelitian
tindakan ini berhasil jika dalam tes akhir siklus
siswa yang nilainya 75 jumlahnya semakin
lama semakin banyak dari siklus I ke siklus II
atau siswa yang mengalami kesulitan belajar
semakin berkurang. Penelitian tindakan
ini berhasil jika keterlibatan siswa secara
aktif pada pembelajaran dari siklus I ke
siklus II jumlahnya semakin lama semakin
meningkat. Siswa dinyatakan mempunyai
motivasi jika mengikuti pembelajaran secara
aktif dan nilai hasil observasi mencapai 13.
Penelitian tindakan ini berhasil jika melalui
pembelajaran dengan model kooperatif tipe
TPS dari siklus I ke siklus II, semakin lama
semakin banyak siswa yang mempunyai
motivasi
belajar
Matematika.
Siswa
dinyatakan meningkat motivasinya terhadap
pembelajaran Matematika dengan model
kooperatif tipe TPS (Think Pair Share) jika
nilai hasil angketnya mencapai 71.
Prosedur penelitian ini terdiri dari
persiapan penelitian dan pelaksanan
penelitian.
Pelaksanaan
penelitian
menggunakan dua siklus. Jika dalam dua
siklus belum menunjukkan keberhasilan,
maka akan dilaksanakan siklus ketiga.
Masing-masing siklus terdiri dari empat tahap,
yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan
tindakan (action), observasi (observation)
dan evaluasi atau reeksi (reection).

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kondisi Awal
Tabel 1. Hasil Analisis Motivasi Prasiklus
No Rentang

Uraian

Frekuensi Persentase

01
02
03

40 - 50
51 - 60
61 - 70

Tidak bermotivasi
Kurang bermotivasi
Bermotivasi

9
16
9

26%
47%
26%

04

71 - 80

Sangat bermotivasi

0%

Tabel 1 menunjukkan kondisi siswa


pada prasiklus, yaitu ada 9 siswa (26%)
yang tidak bermotivasi, ada 16 siswa (47%)

yang kurang bermotivasi, ada 9 siswa (26%)


yang bermotivasi. Hal ini menunjukkan
bahwa metode pembelajaran klasikal kurang
memotivasi siswa,

2. Deskripsi Data Keaktifan Belajar Siswa


Tabel 2. Hasil Analisis Keaktifan Prasiklus
No Rentang

Uraian

Frekuensi Persentase

01
02

5-8
9-12

Tidak aktif
Kurang aktif

0
18

0%
53%

03
04

13-16
17-20

Aktif
Sangat aktif

12
4

35%
12%

Hasil pengamatan pada Tabel 2 tentang


aspek keaktifan siswa, diperoleh data 18
siswa kurang aktif (53%), jumlah siswa yang
aktif ada 12 siswa (35%), dan jumlah siswa
yang sangat aktif ada 4 siswa (12%).
3. Deskripsi Data Hasil Belajar Siswa
Tabel 3. Hasil Analisis Tes Tulis Prasiklus
No
Uraian
01 Nilai Terendah
02 Nilai Tertinggi

Prestasi
25
87

03 Nilai Rerata
04 Rentang Nilai

53,32
62

Hasil tes tertulis pada Tabel 3


menunjukkan nilai rata-rata yang didapatkan,
yakni 53,32. Dari 34 siswa, hanya ada 1
(satu) siswa yang mendapat nilai tinggi, yakni
sebesar 2,94% , ada 14 siswa yang mendapat
nilai sedang, yakni sebesar 41,17%, ada 9
siswa yang mendapat nilai rendah atau 25%,
dan 10 siswa yang mendapat nilai sangat
rendah atau 29,41%. Berdasarkan Dari 34
siswa, jumlah siswa yang tuntas sebanyak

5 siswa dan siswa yang tidak tuntas ada 29


siswa. Diperoleh ketuntasan klasikal 14,70%
dan masih ada separuh lebih siswa yang
mendapat nilai rendah.
4. Deskripsi Data Siklus I
Tabel 4. Hasil Analisis Motivasi Siswa
Siklus I
Rentang

Uraian

40 - 50

Tidak
bermotivasi

51 - 60
61 - 70
71 - 80

Kurang
bermotivasi
Bermotivasi
Sangat
bermotivasi

Frekuensi Persentase
0

0%

16

47%

15

44%

9%

Hasil analisis motivasi Table 4


menunjukkan bahwa pada siklus I siswa
yang kurang motivasi ada 16 siswa (47%),
siswa yang bermotivasi ada 15 siswa (44%),
dan siswa yang sangat bermotivasi ada 3
siswa (9%).

475

Tabel 5. Hasil Analisis Keaktifan Siswa


Siklus I
No Rentang Uraian Frekuensi Persentase
01

5-8

02

9 - 12

03

13 - 16

04

17 - 20

Tidak
Aktif
Kurang
Aktif
Aktif
Sangat
Aktif

0%

No Rentang

17

50%

01

40 - 50

11

32%

02

51 - 60

18%

03

61 - 70

04

71 - 80

Tabel 6. Hasil Analisis Tes Tertulis Siklus I


Uraian

Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar

Hasil analisis terhadap aktivitas siswa


dalam pembelajaran ditunjukkan pada Tabel
5, yaitu siswa yang kurang aktif sebanyak
17 siswa (50%), siswa yang aktif sebanyak
11 siswa (32%), dan siswa yang sangat aktif
menjadi 6 siswa (18%).

No

5. Deskripsi Data Siklus II


Tabel 7. Hasil Analisis Motivasi Siklus II

Prestasi

01 Nilai Terendah
02 Nilai Tertinggi

49
95

03 Nilai Rerata
04 Rentang Nilai

70,62
55

Pada Tabel 6 hasil evaluasi siklus


I menunjukkan hasil belajar siswa pada
aspek kognitif. Rata-rata nilai siswa ada
peningkatan, yaitu 70,62. Data nilai siklus I
menunjukkan ada 4 siswa yang mendapatkan
nilai tinggi atau sebesar (11,76%), ada 9
siswa yang mendapat nilai sedang (26,47%),
ada 19 siswa yang mendapat nilai rendah
atau sebesar 55,88%, dan ada 2 siswa
yang mendapatkan nilai sangat rendah atau
sebesar 5,88%. Siswa yang tuntas belajar
sebanyak 12 siswa dan siswa yang tidak
tuntas belajar 22 siswa sehingga ketuntasan
belajar klasikal 35,29%. Hal ini menunjukkan
ada peningkatan dan perlu dilanjutkan pada
siklus berikutnya.

Freku- Persenensi
tase

Uraian
Tidak
bermotivasi
Kurang
bermotivasi
Bermotivasi
Sangat
bermotivasi

0%

24%

19

56%

21%

Pada Tabel 7 siklus II tampak dari 34


siswa kelas VII A diperoleh bahwa tidak ada
siswa yang tidak bermotivasi (0%), siswa
yang kurang motivasi 8 (24%) siswa, siswa
yang bermotivasi ada 19 siswa (56%), dan
siswa sangat bermotivasi ada 7 siswa (21%).
Tabel 8. Hasil Analisis Keaktifan Siswa
Siklus II
No Rentang
01

5-8

02

9 - 12

03

13 - 16

04

17 - 20

Uraian
Tidak
aktif
Kurang
aktif
Aktif
Sangat
aktif

Frekuensi

Persentase

0%

0%

24%

26

76%

Pada Tabel 8 siklus II tampak dari 34


siswa kelas VII A yang tidak aktif 0%, siswa
yang kurang aktif 0%, sedangkan siswa
yang aktif ada 8 siswa (24%) dan siswa yang
sangat aktif ada 26 siswa (76%).
Tabel 9. Hasil Analisis Tes Tertulis Siklus II
No

Uraian

01 Nilai Terendah
02 Nilai Tertinggi
03 Nilai Rerata
04 Rentang Nilai

Prestasi
50
100
79,88
50

Pada Tabel 9 hasil evaluasi siklus II


menunjukkan hasil belajar siswa pada aspek
kognitif. Rata-rata nilai yang didapatkan
siswa ada peningkatan, yaitu 79,88. Dari 34

476

siswa data nilai siklus II, ada 3 siswa yang


mendapatkan nilai tinggi atau sebesar 8,82%,
ada 30 siswa yang mendapat nilai sedang
atau sebesar 88,23%, 1 siswa mendapat
nilai rendah atau 2,94%, dan sudah tidak
ada siswa yang mendapatkan nilai sangat
rendah atau 0%.

sangat bermotivasi 0 siswa (0%). Pada


siklus I siswa yang bermotivasi menjadi 15
siswa (44%), siswa yang sangat bermotivasi
3 siswa (9%). Pada siklus II siswa yang
bermotivasi 19 siswa (56%), sedangkan
siswa yang sangat bermotivasi ada 7 siswa
(21%).

Dari 34 siswa, siswa yang tuntas belajar


sebanyak 33 siswa dan siswa yang tidak
tuntas belajar 1 siswa sehingga diperoleh
ketuntasan belajar klasikal 88,23%. Nilai yang
didapat siswa sudah di atas nilai ketuntasan
minimal. Maka, dapat disimpulkan bahwa
tindakan kelas menggunakan metode
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS) siklus II untuk meningkatkan
motivasi dan hasil belajar Matematika
mengalami keberhasilan sehingga penelitian
ini tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya.

Secara umum, keaktifan siswa belajar


Matematika mengalami peningkatan dari
kondisi awal ke siklus I sampai ke siklus II.
Keaktifan siswa belajar Matematika pada
kondisi awal ada 12 siswa (35%), siswa
yang sangat aktif 4 siswa (12%). Pada siklus
I siswa yang aktif menjadi 11 siswa (32%),
siswa yang sangat aktif meningkat menjadi 6
siswa (18%). Pada siklus II siswa yang aktif 8
siswa (24%), sedangkan siswa yang sangat
aktif meningkat menjadi 24 siswa (62%).

Berdasarkan atas hasil pengamatan


dari kondisi awal dan dilanjutkan reeksi
siklus I dan siklus II, hasil evaluasi
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
pada aspek kognitif mengalami peningkatan.
Hal ini sesuai dengan Spencer Kagan,
yaitu mengenai manfaat metode Think Pair
Share dalam meningkatkan hasil belajar
Matematika, sedangkan langkah-langkahnya
dalam
pembelajaran
sesuai
dengan
pendekatan tipe Think Pair Share (TPS)
menurut Lie (2010: 12). Hasil penelitian
ini sejalan dengan Sri Niati Iriani, yang
meneliti tentang peningkatan hasil belajar
Matematika materi luas permukaan dan
volume prisma dan limas melalui penerapan
Cooperative Learning Tipe Think Pair Share
(TPS) pada siswa kelas VIII H SMP Negeri
4 Surakarta semester genap tahun pelajaran
2010 - 2011).
Secara umum, motivasi siswa belajar
Matematika mengalami peningkatan dari
kondisi awal ke siklus I sampai ke siklus II.
Motivasi siswa belajar Matematika pada
kondisi awal ada 9 siswa (26%), siswa yang

Secara umum, keaktifan siswa belajar


Matematika mengalami peningkatan dari
kondisi awal ke siklus I sampai ke siklus II.
Keaktifan siswa belajar Matematika pada
kondisi awal ada 12 siswa (35%), siswa
yang sangat aktif 4 siswa(12%). Pada siklus
I siswa yang aktif menjadi 11 siswa (32%),
siswa yang sangat aktif meningkat menjadi 6
siswa (18%). Pada siklus II siswa yang aktif 8
siswa (24%), sedangkan siswa yang sangat
aktif meningkat menjadi 24 siswa (62%).
Tabel 10. Rekapitulasi Hasil Belajar
Matematika Siswa Kelas VII A

Rata-rata
Nilai tinggi
Nilai rendah

Kondisi
Awal
53,32
87
25

Siklus I

Siklus II

70,62

79,88

95
49

100
50

Tabel 10 memperlihatkan bahwa


secara umum, nilai hasil belajar Matematika
mengalami peningkatan dari kondisi awal
ke siklus I sampai ke siklus II. Nilai ratarata hasil belajar Matematika pada kondisi
awal hanya mencapai 53,32 sedangkan
pada siklus I nilai rata-rata kelas mencapai
70,62 dan pada siklus II nilai rata-rata kelas

477

meningkat menjadi sebesar 79,88. Hal ini


menunjukkan bahwa sebelum dilakukan
tindakan pembelajaran kooperatif model
TPS, siswa yang memperoleh nilai tinggi
hanya 1 atau sebesar 2,94% siswa, nilai
sedang sebanyak 14 siswa atau sebesar
41,17%, nilai rendah sebanyak 9 atau
sebesar 25%, dan nilai sangat rendah 10
siswa atau sebesar 49,75%. Dari 34 siswa,
siswa yang tuntas belajar sebanyak 5 siswa
dan yang tidak tuntas belajar sebanyak 29
siswa sehingga diperoleh ketuntasan belajar
klasikal 14,70% .
Pada siklus I jumlah siswa yang
memperoleh nilai tinggi meningkat menjadi
4 siswa atau sebesar 11,76%, nilai sedang
sebanyak 9 siswa atau sebesar 26,47%, dan
nilai rendah sebanyak 19 siswa atau sebesar
55,88% dan nilai sangat rendah menjadi
2 siswa atau sebesar 5,88% sehingga dari
34 siswa, siswa yang tuntas belajar ada 12
siswa dan siswa yang tidak tuntas belajar
ada 18 siswa sehingga diperoleh ketuntasan
belajar klasikal 35,297%.
Pada siklus II jumlah siswa dengan
nilai tinggi sebanyak 3 orang atau 8,825%,
nilai sedang sebanyak 30 siswa atau
88,23%, dan nilai rendah sebanyak 1 siswa
atau 2,94%, sedang nilai 59 atau sangat
rendah 0% sehingga pada siklus II dari 34
siswa yang tuntas belajar 33 siswa dan yang
tidak tuntas belajar 1 siswa, maka diperoleh
ketuntasan belajar klasikal 97,05%.
Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa penelitian tindakan ini telah berhasil
mencapai target yang ditetapkan, yaitu
sebesar 85% siswa mencapai nilai 75.
a) Siswa sudah mulai menampakkan
kesenangannya mengikuti pembelajaran
dengan baik dan aktif dalam berdiskusi
dengan teman sebangku (Pairing) maupun
saat Sharing dengan kelompok. b) Siswa
lebih bersemangat untuk presentasi. c)
Siswa aktif bertanya maupun menjawab
pertanyaan. d) Soal yang diberikan guru

478

bervariatif sehingga anak lebih bersemangat


dalam mengerjakan soal. e) Diskusi
antarkelompok pada saat presentasi berjalan
dengan baik. f) Siswa berani dan mampu
tampil memberikan tanggapan terhadap hasil
presentasi kelompok lain. g) Pengamatan
terhadap sikap siswa pada prasiklus, siklus I,
siklus II menunjukkan aktivitas siswa sudah
baik sehingga kemampuan berpikirnya lebih
berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan hasil siswa.
Peningkatan aktivitas dan kemampuan
berpikir ini merupakan indikator motivasi
belajar siswa meningkat. Hasil ini sejalan
dengan pendapat yang menerangkan
bahwa
motivasi
merupakan
segala
Sesutu yang mendorong seseorang untuk
bertindak melakukan sesuatu. Selain itu,
motivasi merupakan salah satu determinan
penting dalam belajar. Motivasi dan hasil
belajar merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi. Belajar adalah perubahan
tingkah laku secara relatif permanen dan
secara potensial terjadi sebagai hasil
praktik atau penguatan (reinforced practice)
untuk mencapai tujuan tertentu. Peran
motivasi dalam belajar dan pembelajaran, di
antaranya menentukan penguatan belajar,
memperjelas tujuan belajar, dan menentukan
ketekunan belajar. Motivasi dapat berperan
dalam penguatan belajar apabila seorang
anak yang belajar dihadapkan pada suatu
masalah yang memerlukan pemecahan dan
hanya dapat dipecahkan berkat bantuan halhal yang pernah dilalui. Peran motivasi dalam
mempercepat tujuan belajar erat kaitannya
dengan kemaknaan belajar.
Apabila digunakan secara efektif,
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS) memiliki banyak keuntungan
dibandingkan pembelajaran konvensional.
Sebagaimana tujuan awal digunakannya
model pembelajaran kooperatif tipe Think
Pair Share (TPS), yaitu ingin meningkatkan
keberhasilan
pengajaran
Matematika.

Setelah dilakukan evaluasi di setiap siklusnya,


penulis mencatat bahwa hasil yang didapat
menggambarkan suatu peningkatan. Namun
demikian, keberhasilan model pembelajaran
ini tergantung dari banyak faktor, antara lain
fokus pembelajaran siswa harus jelas, fokus
pembelajaran mengacu pada kurikulum yang
ada di buku pegangan, persiapan siswa
harus memadai, bimbingan guru harus jelas,
monitoring, pengaturan waktu yang bagus,
dan kesimpulan yang logis.
PENUTUP
Setelah penelitian tindakan kelas ini
berlangsung selama dua siklus, diperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran dengan model
kooperatif TPS (Think PairShare) dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam belajar
kelompok. Kedua, terdapat peningkatan ratarata hasil ulangan akhir siklus. Ketiga, adanya
peningkatan jumlah siswa yang mendapat
nilai 75 dari satu siklus ke siklus yang lain.
Keempat, adanya peningkatan keaktifan
siswa terhadap pembelajaran. Kelima,
pembelajaran dengan model kooperatif TPS
dapat meminimalkan kesulitan belajar siswa.

Keenam, secara klasikal, peningkatan hasil


belajar matematika siswa sangat bergantung
dari keterlibatan guru dalam malakukan
analisis materi pelajaran dan bagaimana
guru berperan dalam mendampingi siswa
ketika proses pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan hasil penelitian tindakan
pada kelas VII A SMP Negeri I Pulokulon,
dalam rangka meningkatkan prestasi belajar
Matematika siswa, maka akan disampaikan
saran-saran sebagai berikut. Bagi siswa,
pendekatan kooperatif tipe TPS dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar
matematika, siswa diharapkan lebih aktif
dan kreatif dalam pembelajaran Matematika
agar terjadi peningkatan hasil belajar. Bagi
guru, diharapkan untuk berperan aktif dalam
meningkatkan pengetahuan dan kompetensi
mengajar sehingga kemampuan guru dalam
menggunakan variasi metode pembelajaran
menjadi lebih baik. Selain itu, guru hendaknya
menerapkan metode pembelajaran yang
bervariasi dan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk aktif dalam proses
pembelajaran karena hal tersebut dapat
menciptakan proses pembelajaran yang
menyenangkan dan meningkatkan motivasi
belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika
SMP & MTs. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas.
Hamalik, O.. 2010. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

479

THE EFFECT OF APPLYING WORD WEBBING TECHNIQUE


ON THE STUDENTS ABILITY IN WRITING DESCRIPTIVE PARAGRAPH
AT THE TEACHER TRAINING FACULTY OF NOMMENSEN UNIVERSITY
PEMATANGSIANTAR

Eben Pasaribu
Universitas HKBP Nommensen
Alamat korespondensi: pasaribu_eben16@yahoo.com

ABSTRACT
This research uses the quantitative analysis to nd the effect of using word webbing technique
to the ability of third semester students in writing descriptive paragraph of the third semester
students of Teacher Training Faculty. The population are the third semester students of Teacher
Training Faculty where Group A as experimental group and Group B as the control group. The
instrument for collecting the data is by writing descriptive text in essay. After collecting the data,
the writer calculates and analyzes each data into the table that appropriate the t-test formula.
The writer nds that there is a signicant effect in teaching descriptive paragraph by using
word webbing. The research of t-test (17.26). It means that the test is higher than the table
(17.26>2.00). It can be said that the using word webbing is able to improve students ability in
writing descriptive paragraph. From the result of analysis, the writer concludes that the use of
technique media gives a positive effect in writing descriptive text. The score of experimental
group is higher than score of control group. So, the using of webbing technique gives an effect
to students ability in writing descriptive text is accepted.
Keywords: word webbing technique, writing descriptive paragraph

INTRODUCTION
Writing is one way to express the
result of thinking. Although the people can
also tell their thoughts by speaking, but it
often spontaneously and so the problems of
grammar and its structure can not be always
controlled thoroughly. But if the language
is ordered and completed by the style and
intonation, incompetency will not be seen and
the mistakes can not be improved directly.
According to Hyland (2002: 98), writing
is central to childrens intellectual, social and
emotional development and plays a critical
role in learning. It is therefore essential that
the early teaching of writing should draw on
research which describes of the types of
texts the students have to write at different
stages. Writing process required a writer to
think about and to do many different things
at once, takes time and also requires a

480

conscious strategy for managing time, writing


can be meant as an intellectual control of a
subject, discovering that one wants to say
about something.
Then, Gillet & Temple (1990: 262)
explained that describe that webbing is
simple way to help students begin to recall
prior knowledge and form relationships of
information. Webbing techniques helps
reader to use their background knowledge
which is related to the topic. The webbing
exercise serves to help students remember
old information related to the reading and to
form expectation about what they will read.
Webbing is an excellent technique because
it easily allows students to gather information
and organize the ideas.
Based on the explaination above,
the writer tries to apply one part of it that
is applying word webbing technique on

the students ability in writing descriptive


paragraph because the students in Teacher
Training Faculty of Nommensen University
Pematangsiantar get many problems when
they do writing descriptive paragraph. So
thats why the writer tries to use this methode
in teachinig descritive paragraph, so that the
students will not ever say Im not so boring
with this subject. And the research problem:
Does applying word webbing technique
signicantly affect the third semester students
ability in writing descriptive paragraph at FKIP
Nommensen University Pematangsiantar?
Writing
According to Byrne (2002: 1), writing
is clearly much more than the production
of graphic symbols, just as speech is more
than the production of sound. The symbols
have to be arranged, according to certain
connection, to form words, and words have
to be engaged to form sentences, although
again we can be writing if we are merely
making lists of words, as inventories of items
such as shopping lists.

Descriptive writing is a type of


writing which shows picture of someone or
something in words. According to Knapp &
Watkins (2005: 97), description enables the
categorization or classication of an almost
innite range of experiences, observations,
and interactions into a system that orders
them for immediate and future reference, and
allows us to know them either objectively or
subjectively depending on the learning area
or intent of the writer.
Word Webbing
Word webbing is a mind mapping or
words, which is formed by webs and links.
According to Kagan (2001: 76), a word
webbing technique that build connections
between similar words or ideas are referred
to by a variety of names, including clustering
and web maps. Webbing works best to
show a lot of words or ideas and keep them
loosely connected, such as when youre
brainstorming ideas in a planning meeting.
Its also a great tool for coming up with terms
in a pattern writing activity. The rst stage of
webbing is described below.

Descriptive Paragraph
Descriptive is a type of writing which
describes something in details in order to
enable the readers to see, hear, feel, and
touch it directly or involve themselves in the
event. Description reproduces the way thing
look smell, taste, feel, or sound it may also
evoke moods, such as happiness, loneliness,
or fear. It is used to create visual, image of
people, place event of unit times. It may be
used also to describe more than the outward
appearance of people. It may tell about their
traits or characters or personality.

Figure 1

The word webbing above is webbing


with one level. The sing of different color is
very useful to ease the understanding. After
this stage, adding the level can develop
webbing. The following is webbing with three
levels.

481

Figure 2

RESULTS AND ANALYSIS


In this research, the writer will follow
the methodology in experimental design.
An experimental design is the general
plan for carrying out a study with an
active independent variable (Ary, Jacobs,
Sorensen, 2010: 301). Experimental design
consist of two groups, that is experimental
group and control group. The experimental
group is given treatment that is, using Word
webbing Technique in writing descriptive
paragraph while the control group is not. In
conducting the experimental research, the
sample was divided into two groups: the
experimental group wrote by using word
webbing technique and control group wrote

without word webbing technique. Both of the


groups were given pre-test and post-test with
the same items.
According to Arikunto (2010: 173), a
population is the total subject that depends on
the necessity. The data of the research are the
students writing of descriptive text taken from
of the sample 60 students which are devided
into two classes namely, experimental group
and control group. The rst step in analysis
the data is scoring the test based on the
element of writing descriptive text.
The analysis of score the content 30 13, organization 20 - 7, vocabulary 20 - 7,
language use 25 - 5 and mechanics 5 - 2 in
each descriptive text.

Tabel 1. The Calculation for the Validity of the Test in Experimental Group
Scores Sores of
No
Subject
of Pre
Post Test
Y2
XY
Test (X)
(Y)
1
Aeron. P
66
82
4356
6724
5412
2
Agung. P
66
85
4356
7225
5610
3
Aldi. T
68
82
4624
6724
5576
4
Alwi
62
83
3844
6889
5146
5
Arian. S
52
64
2704
4096
3328
6
Awi
60
65
3600
4225
3900

482

No

Subject

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Benny
Dedi. M
Dila
Desi
Emma. P
Fitri. A
Friska
Frista
Hariati
Hendra
Melia
Ombi
Pestauli
Prengki
Rani
Rioni
Sarima
Theresia
Telly
Uwais
Wanny
Winda F
Yuliantika
Zean
N=30

Scores
of Pre
Test (X)
58
66
51
50
53
53
66
56
53
50
50
63
45
53
49
46
51
64
66
54
50
50
62
65
X
=
1698

Sores of
Post Test
Y2
XY
(Y)
65
3364
4225
3770
82
4356
6724
5412
65
2601
4225
3315
65
2500
4225
3250
65
2809
4225
3445
65
2809
4225
3445
82
4356
6724
5412
82
3136
6724
4592
84
2809
7056
4452
65
2500
4225
3250
64
2500
4096
3200
85
3969
7225
5355
47
2025
2209
2115
65
2809
4225
4445
65
2401
4225
3185
47
2116
2209
2162
65
2601
4225
3315
64
4096
4096
4096
84
4325
7056
5544
64
2916
4096
3456
65
2500
4225
3250
65
2500
4225
3250
84
3844
7056
5208
84
4255
7056
5460
2
2
Y =
X = Y
= XY=
2129
98240 153559 122342

Tabel 2. The Calculation for the Validity of the Test Control Group
Scores of Scores of Post
No
Subject
Pre Test (X)
Test (Y)
1 Alwin
54
66
2916
4356
2 Agung
47
56
2209
3136
3 Aulia
58
72
3364
5184
4 Azan
50
52
2500
2704
5 Bryanson
59
68
3481
4624
6 Charles
58
68
3364
4624
7 Chelsy
54
72
2916
5184
8 David
54
56
2916
3136
9 Dimas
57
58
3249
3364
10 Ferdy
50
57
2500
3249

XY
3564
2632
4176
2600
4012
3944
3888
3024
3306
2850

483

No
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Subject
Gokarga
Rinto .P
Rinto. R
Rizky
Ruth
Risna
Rudi
Rusdi
Rustam
Santi
Said
Tri A
Valentina
Vita
Vivi
Wilson
Winda
Windi
Yosua
Yuda
N=30

Scores of Scores of Post


Pre Test (X)
Test (Y)
57
57
55
69
57
59
51
52
60
72
34
43
51
57
48
55
48
55
45
56
47
74
51
72
34
43
45
58
55
75
57
64
48
55
34
53
49
58
52
58
X = 1522

Both of table above show that the score


of pre-test and post-test of the experimental
group is higher than the scores of pre test
and post test of control group. It means that
the pictures give a signicant effect on the
students writing descriptive text.
From the table of experimental group
and control group above, now we can nd
out the mean and standard deviation of each
group.
1. Mean and Standard Deviation of
Experimental Group
N = 30, X = 1698
a. Mean
X = 1698 = 56.6
30
N

484

Y =
1807

XY
3249
3025
3249
2601
3600
1156
2601
2304
2304
2025
2209
2601
1156
2025
3025
3249
2304
1156
2401
2704

=
78706

3249
4761
3481
2704
5184
1849
3249
3025
3025
3136
5476
5184
1849
3364
5625
4096
3025
2809
3364
3364

3249
3795
3363
2652
4320
1462
2907
2640
2640
3478
1462
3672
1462
2610
4125
3648
2640
1802
2842
3016

=
109579

XY=
92375

b. Standard Deviation (S)

scores on experimental and control group


are calculated by using T-test. The formula of
T-test as follows:

2. Mean and Standard Deviation of Control


Group
N = 30, X = 1552

After getting mean and standard


deviation of each group, the writer analyzes
the data by using t-test formula.

4. T-Table

3. Analyzing the Data by using T-Test


Formula
To nd out how much the effect of using
word webbing on students ability in writing
descriptive text. The difference of mean

The result of data analysis was 17.26


in the statistic book the degree of calculation
one tailed is 58. So, the t-table result was
2.00. The value of t-test was higher than the
value of t-table (t-test > t-table) = 17.26 > 2.00
calculated with one tailed. The mean score
between experimental group and control
group were 5.77. So, from the results it can

485

be seen that there is a signicant effective of


using Word Webbing in teaching descriptive
text.
1. Hypothesis Testing
In hypothesis testing to get the
answer of the question, the writer should
propose Alternate Hypothesis (Ha) and Null
Hypothesis (Ho) as follow:
Ha
: Using word webbing technique is
signicantly effect the students ability
in writing descriptive paragraph
at the third semester students of
FKIP Nommensen University in
Pematangsiantar.
The value of t-test was higher than
the value of t-table (t-test> t-table).
Ho
: Using word webbing technique is
doesnt signicantly effect ability
in writing descriptive paragraph
at the third semester students of
FKIP Nommensen University in
Pematangsiantar.
The value of t-test the same or less
than the value of t-table (t-test =t-table or
t-test <t-table). After analyzing data into
T-test, it was found that the value of observes
t-test was 17.26 and the value of t-table was 2.00
5 and df 58. So, t-test 17.26 is higher
at 0.0
than t-table (17.26>2.00). It means that the
hypothesis which the writer have researched
about writing descriptive paragraph by
using Word Webbing of the third semester
students of FKIP Nommensen University in
Pematangsiantar is accepted.
2. Research Findings
After the writer treated the data and
veried the hypothesis, there come to the
research nding. Research nding is the
conclusion of the research result by data
shown after making research. The writer
found that:
a. The writer nds out that by using
word webbing in learning process, the

486

students are interesting in English and


more fun in studying English. By using
word webbing students are easier to
show their imagination, and making the
students easy to make paragraph.
b. The signicance effect of using word
webbing is more interesting and easy
to understand. And it also applied the
curiosity of the students to study the
descriptive text because of the word
webbing they saw then without using
word webbing as a teaching media.
c. The mean score of the post-test was
higher than the mean of pre-test
experimental group. The mean of posttest was 70.96 and the mean of pre-test
was 56.6. It means that the students who
were taught by using Word Webbing
Technique were better than the students
who were taught without Word Webbing.
d. The mean score of the post-test was
higher than the mean of pre-test control
group. The mean of post-test was 60.23
and the mean of pre- test was 50.73. It
means that the students who were taught
by using Word Webbing Technique were
better than the students who were taught
without Word Webbing.
e. The standard deviation (SD) in
experimental group in pre-test 8.43 and
post-test 9.07.The standard deviation
(SD) in control group in pre-test is 5.72
and post-test 7.56.
f. The test is valid in which the value of
validity of experimental group is 0.80and
in control group is 0.66. It is got by using
formula of the pearson product moment.
The test is reliable in which the value the
realibility in experimental group is 0.89
and in control group is 0.79. It is got by
using the formula Spearman Brown.
3. Data Interpretation
After analyzing the data, the writer nds
out the answer of the problem of this study that

to nd out the effect of use of word webbing


technique in teaching descriptive paragraph
at the third semester student of FKIP
Nommensen University in Pematangsiantar.
to know the effect of the using technique to
the students in teaching writing descriptive
paragraph, the writer given them a test, and in
this test, they write a descriptive text. Finally,
after analyzing the data, the writer found the
answer of the problem that is the using word
webbing has effect to the students ability in
writing descriptive paragraph.
Furthermore, in order to know that the
using of reciprocal teaching is signicant
or not, the writer uses t- test formula and
nally the writer got that t-obs was higher
than t-table (17.26 > 2.00) and the score of
experimental group is higher then the score
of control group. So it means that using of
word webbing as teaching technique is good
and more effectiveness for students writing
descriptive text than without tehcnique.
4. Discussion
To analyze the data, the writer uses the
theories of Arikunto (2010). From analysis
of the data, the writer found the score of
the students, the mean, standart deviation,
validity and the realibility of the test given to
students.
The mean of pre-test in experimental
group is 56.6 , while the mean of pre-test in
control group 50.73. The standart deviation
(SD) in experimental gruop 8.43, while the
standard deviation (SD) in control group is
5.73. The validity of experimental group is
0.80, while, the validity of control group is
0.66. The realibility of experimental group is
0.89, while the realibility in control group is
0.79.
Based on the result calculation on
ndings above, the result of t-obs was higher than
t-table (17.26> 2.00),it means that the alternative
hypothesis is accepted. This word webbing
technique signicantly effect on the students

ability in writing descriptive paragraph. So,


the students have responsibility and feel
enjoy in learning process. That using of
word webbing as teaching technique is good
and more effectiveness for students writing
descriptive text than without technique. It is
proved from the data showing that the score
of experimental group was higher then the
score in control group.
CONCLUSIONS
Based on the data analysis, the writer
draws the following conclusions, webbing
technique signicantly effect on the students
ability in writing descriptive paragraph. After
nding the result of the test if is nd out the
t-obs is higher than t-table (17.26 > 2.00) it means
that the alternative hypothesis is accepted.
this word webbing technique signicantly
effect on the students ability in writing
descriptive paragraph.
Based on the research ndings, some
suggestions can be provided to improve the
students writing ability. First, it is important
for lecturer or trainer to apply an appropriate
technique in teaching writing, for instance
descriptive writing. Word webbing technique
trains students to have a critical thinking to
list some related vocabularies that ease
them to organize their ides before writing. It is
suggested to apply since it will ease lecturer
to teach writing.
Second, to English lecturer, the lecturer
should encourage the students to be active
in English. It is enough only memorizing a
certain word but it needs to be practiced more
often. The students can express their ideas
and opinion by using their own words. So
the students will be more active in using their
mind and not just saying as what the lecturer
says. So the students will be more active but
not passive. Then English lecturer should
have a creative method in teaching English
to their students especially to increase their
vocabulary in writing descriptive by using

487

word webbing technique so that they are not


boring to learn English and make them enjoy
it.
Third, to the students, use word
webbing technique the students should more

active in learning process. Because it helps


them mastering the vocabulary in writing
descriptive paragraph. So that the students
are easy to know the information from the
text.

REFERENCES
Arikunto, S.. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ary, Jacobs, Sorensen. 2010. Introduction to Research in Education. Nashville: Wadsworth.
Byrne, Donn. 2002. Teaching Writing Skil. London: Longman.
Kagan, S. 2001. Planning Guides and Teaching Techniques Plus Activities and Project for
Working with Youth and Technology. Available at www.youthlearn.org/learning/
teaching/webbing.html, Acc eased on June, 8th 2014]
Knapp, Peter & Megan, Watkins. 2005. Genre, Text, Grammar. Sydney: University of New
South Wales.

488

PENINGKATAN KETERAMPILAN KREASI GERAK PADA KREATIVITAS


BERKARYA MELALUI METODE JIGSAW DAN VIDEO TARI NUSANTARA
DI KELAS XI IPA 2 SMA NEGERI 1 PULOKULON
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Rita Sudarwahyuni
SMA Negeri 1 Pulokulon
sudarwahyunirita@gmail.com / 085225731630

ABSTRACT
This classroom action research aims to determine the increase in motion the creation of skills
in creativity works through Jigsaw method and video dance archipelago in class XI IPA 2 SMA
Negeri 1 Pulokulon the school year 2014/2015. This research is a class action (Classroom
Action Research), which consists of two cycles. There are four stages of each cycle, which
consists of action planning, action, observation, and reection. The subjects were students of
class XI IPA 2 SMA Negeri 1 Pulokulon the Academic Year 2014/2015. The results showed
as beikut. 1) The application of cooperative learning jigsaw archipelago dance video-assisted
media can improve the quality of learning in creative work. In the rst cycle of creativity
percentage of students in learning by 53.3% and increased to 80% in the second cycle. 2) The
application of cooperative learning jigsaw aided archipelago dance video media can enhance
learning outcomes material culture and art creativity dance work. In the rst cycle of students
learning completeness percentage of 60% and increased to 80% in the second cycle.
Keywords: action research, jigsaw, creativity

ABSTRAK
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan kreasi
gerak pada kreativitas berkarya melalui metode Jigsaw dan video tari nusantara di kelas
XI IPA 2 SMA Negeri 1 Pulokulon tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research), yang terdiri dari dua siklus. Setiap
siklusnya terdapat empat tahapan, yang terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan reeksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMA
Negeri 1 Pulokulon Tahun Ajaran 2014/2015. Hasil penelitian menunjukkan sebagai beikut. 1)
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbantuan media video tari nusantara dapat
meningkatkan kualitas proses belajar pada kreativitas berkarya. Pada siklus I persentase
kreativitas siswa dalam pembelajaran sebesar 53,3% dan meningkat menjadi 80% pada siklus
II. 2) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbantuan media video tari nusantara
dapat meningkatkan hasil belajar seni budaya materi kreativitas berkarya tari. Pada siklus I
persentase ketuntasan belajar siswa 60% dan meningkat menjadi 80% pada siklus II.
Kata kunci: penelitian tindakan kelas, jigsaw, kreativitas

PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan sebuah
bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya
manusia yang dimilikinya. Sumber daya
manusia yang berkualitas sangat diperlukan
dalam pembangunan bangsa, khususnya
pembangunan di bidang pendidikan. Sumber
daya manusia yang berkualitas akan menjadi

tumpuan utama agar suatu bangsa dapat


berkompetisi.
Pelajaran seni budaya merupakan
salah satu pelajaran yang pada dasarnya
bertujuan untuk memberi pemahaman
tentang nilai-nilai estetis pada manusia.
Selain itu, seni budaya merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang dapat memunculkan

489

kreativitas dalam proses penciptaan suatu


karya seni. Selama ini pembelajaran seni
budaya bidang kreativitas dalam berkarya
seni di tingkat SMA cenderung kurang
maksimal karena kurangnya pemahaman
siswa terhadap budaya daerah serta
pengalaman estetis. Hal ini bisa dilihat dari
pencapaian nilai atau hasil belajar siswa
dalam berkreativitas atau berkarya seni.
Dampak dari rendahnya kreativitas belajar
siswa sangatlah mempengaruhi hasil
atau nilai belajar siswa. Nilai yang dicapai
siswa banyak yang tidak memenuhi kriteria
ketuntasan minimal.
Upaya untuk meningkatkan kreativitas
siswa dan hasil belajar siswa agar lebih
baik adalah dengan menerapkan metode
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan
pemutaran video tari nusantara. Dengan
pemutaran video tari nusantara, diharapkan
dapat membantu siswa mencari serta
mengembangkan
ide
atau
gagasan.
Penerapan metode pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw dilakukan dengan masing-masing
kelompok mengirimkan satu siswa, kemudian
masing-masing wakil kelompok diberi
tugas. Setelah itu, kembali ke kelompoknya
dan memberikan latihan pada anggota
kelompok, lalu masing-masing kelompok
memperagakan atau mempresentasikan ke
depan kelas.
Penerapan pemutaran video tari
nusantara bertujuan untuk memperluas
wawasan siswa dalam mengenal budaya
nusantara daerah setempat serta menambah
pengalaman estetis pada siswa. Pengalaman
estetis yang dimiliki siswa diharapkan dapat
mempermudah dalam memunculkan ide
kreativitas siswa untuk berkreasi, baik
kreasi gerak, rias, kostum, serta iringan
sehingga semua siswa dengan mudah dapat
menyusun karya tari kreasi dan memperkaya
khazanah budaya nusantara. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Nur
Azizah (2013), yang menunjukkan bahwa

490

penerapan metode pembelajaran kooperatif


tipe Jigsaw mampu meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran dasar.
Dengan demikian, penulis menerapakan
metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas
XI IPA 2 SMA Negeri 1 Pulokulon tahun
pelajaran 2014 / 2015.
Pengajaran yaitu mempersiapkan
siswa dituntut untuk belajar. Menurut
Fontana (1981) belajar adalah suatu proses
perubahan yang relatif tetap dalam perilaku
individu sebagai hasil pengamatan. George
(1985) juga menyatakan bahwa belajar
adalah suatu perubahan dalam kemampuan
yang bertahan lama dan bukan berasal dari
proses perhimpunan dan tugas.
Pembelajaran
mata
pelajaran
Seni Tari di SMA bertujuan untuk
menumbuhkembangkan daya kreativitas
siswa untuk menciptakan karya seni tari,
yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan dan melestarikan budaya yang
ada, baik daerah setempat maupun budaya
nusantara sehingga anak didik menjadi
manusia yang mampu mengelola sumber
daya yang ada di lingkungan, baik dari aspek
pengetahuan, sikap, serta keterampilan di
bidang seni.
Metode
pembelajaran
kooperatif
tipe Jigsaw melalui media video dan tugas
(praktik) dalam penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan daya kreativitas serta
penguasaan terhadap materi yang dipelajari
siswa. Metode pembelajaran yang baik
harus menekankan pada kualitas dan
keaktifan siswa dalam menginterprestasi
dan
membagun
pengetahuan,
serta
pengembangan daya kreativitas.
Guru sebagai mediator memiliki
peran mendorong dan menjembatani siswa
dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian, dan kompetensi (Kraus, 1996:
8). Pembelajaran yang sifatnya kooperatif
(cooperative learning) ini muncul mencapai

tujuan belajar yang diinginkan. Siswa


membentuk pengetahuan mereka sendiri
dan guru membantu sebagai fasilisator
dan mediator dalam proses pembelajaran.
Dalam kapasitasnya sebagai fasilisator dan
mediator pembelajaran, fungsi dan peran
guru menurut Sadia (2000: 11 - 12) sebagai
berikut.
1. Menyiapkan kondisi yang kondusif
bagi terjadinya proses belajar dengan
menyajikan
problem-problem
yang
menantang bagi siswa.
2. Berupaya
untuk
menggali
dan
memahami pengetahuan awal siswa
dan
menggunakannya
sebagai
rujukan
dalam
merancang
dan
mengimplementasikannya
dalam
pembelajaran,
3. Berusaha untuk merangsang dan
memberi kesempatan yang luas bagi
siwa untuk mengemukakan gagasan dan
argumentasinya agar tercapai negosiasi
makna.
4. Lebih menekankan pada masuk akal atau
tidaknya argumentasi yang dikemukakan
siswa, bukan pada benar atau salahnya
respons siswa,
5. Menghindarkan siswa pada cara
belajar menghafal (root learning) dan
mengarahkan agar pembelajaran terjadi
melalui asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan pemikiran ini, kegiatan
yang dapat dilakukan dalam pembelajaran
seni budaya dapat berupa demonstrasi dan
eksperimen.
1. Pengertian Belajar
Persoalan pengajaran sangat berkaitan
dengan belajar. Banyak pengertian belajar
yang dikemukakan oleh para ahli. Winkel
(2009: 8) menyatakan bahwa belajar adalah
suatu proses psikis yang berlangsung dalam
situasi aktif, subjek dalam lingkungannya,
dan menghasilkan perubahan-perubahan
pengetahuan, pemahaman, keterampilan,

dan sikap yang bersifat pemalu. Sudjana


(1989: 24) menyatakan bahwa belajar adalah
suatu proses yang ditandai perubahan pada
diri seseorang.
Dari pendapat di atas, dapat
dirangkum bahwa belajar adalah suatu
proses psikis yang berlangsung dalam
situasi aktif yang berupa pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, dan sikap yang
bersifat permanen. Secara teoretis, belajar
dapat diartikan sebagai perubahan tingkah
laku. Namun seperti telah dikemukakan
di atas, tidak semua perubahan tingkah
laku organisme dapat dikatakan belajar.
Perubahan yang timbul karena proses belajar
memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas, di
antaranya intensional, perubahan positif
dan aktif, serta perubahan yang efektif dan
fungsional (Syah, 1995: 115). Pembahasan
lebih mendetail sebagai berikut.
a. Perubahan intensional
Perubahan yang terjadi dalam
proses belajar adalah pengalaman
atau praktik yang dilakukan dengan
sengaja dan disadari. Karakteristik ini
mengandung arti bahwa siswa menyadari
perubahan dalam dirinya, seperti
perubahan pengetahuan, kebiasaan
sikap dan pandangan akan sesuatu,
keterampilan, dan sebagainya.
b. Perubahan positif dan aktif
Perubahan yang terjadi karena
proses belajar bersifat positif dan aktif.
Positif artinya perubahan itu mengarah
ke hal yang lebih baik atau bermanfaat
sesuai dengan harapan. Perubahan
tersebut merupakan pemahaman, yaitu
diperolehnya suatu yang baru (seperti
pemahaman dan keterampilan baru) yang
lebih baik dan yang telah ada sebelumnya.
Perubahan yang bersifat aktif artinya
tidak terjadi dengan sendirinya seperti
ada proses pematangan, melainkan
usaha siswa itu sendiri. Hal ini yang
diungkapkan Abmadi (1978: 10) sebagai

491

berikut. Unsur latihan dengan sengaja


merupakan unsur yang mutlak harus ada
dalam belajar. Perubahan yang timbul
karena proses belajar bersifat efektif,
yaitu berdaya guna, artinya perubahan
tersebut membawa pengaruh, makna,
dan manfaat tertentu bagi siswa.
2. Faktor-faktor
Belajar

yang

Mempengaruhi

Menurut Purwanto (1989: 30), dalam


bukunya Psikologi Pendidikan, terdapat dua
faktor yang mempengaruhi proses belajar
seseorang, yaitu faktor individual dan faktor
sosial. Tingkat kecerdasan atau intelegensi
individu tidak diragukan sangat menentukan
tingkat keberhasilan belajar. Semakin
tinggi tingkat kecerdasan dan intelegensi
seseorang, semakin besar pula peluang
untuk berhasil dalam belajar. Motivasi
dapat mendorong seseorang untuk berbuat
sesuatu dan bertingkah laku secara terarah.
Selain
faktor-faktor
internal
di
atas, terdapat satu faktor lagi yang
mempengaruhi keberhasilan belajar, yaitu
faktor pribadi. Faktor pribadi ini, antara
lain kedisiplinan, ketertiban, kerajinan,
kemalasan, dan sebagainya. Keluarga,
lingkungan, kesempatan, dan motivasi
lingkungan merupakan faktor eksternal yang
mempengaruhi hasil belajar. Lingkungan
sosial yang paling berpengaruh terhadap
kegiatan belajar siswa adalah keluarga.
Keluarga, terutama orang tua adalah sebagai
pengelola keluarga yang menciptakan
kesempatan bagi siswa untuk belajar
memberikan motivasi eksternal yang paling
besar. Pendekatan pembelajaran dapat
dipahami sebagai cara atau strategi yang
digunakan subjek belajar dalam menunjang
aktivitas dan esiensi proses pembelajaran.
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw
Jigsaw merupakan salah satu dari
metode kooperatif yang paling eksibel

492

(Slavin, 2005: 246). Model pembelajaran


Jigsaw merupakan salah satu variasi
model collaborative learning, yaitu proses
belajar kelompok, di mana setiap anggota
menyumbangkan informasi, pengalaman,
ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan
keterampilan yang dimilikinya untuk secara
bersama-sama
saling
meningkatkan
pemahaman seluruh anggota.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif
yang terdiri dari beberapa anggota dalam
satu kelompok yang bertanggung jawab
atas penguasaan bagian materi belajar dan
mampu mengajarkan materi tersebut kepada
anggota lain dalam kelompoknya (Sudrajat,
2008: 1). Kelebihan strategi ini adalah dapat
melibatkan seluruh peserta didik dalam
belajar sekaligus mengajarkannya kepada
orang lain (Zaini, 2008: 56).
Tahapan penerapan pembelajaran
model Jigsaw menurut Trianto (2010: 73)
sebagai berikut.
a. Pilihlah materi belajar yang dapat
dipisah
menjadi
bagian-bagian.
Bagikan tugas yang berbeda kepada
kelompok peserta yang berbeda.,
b. Setelah selesai, bentuk kelompok
Jigsaw learning. Ada seorang wakil
dari masing-masing kelompok dalam
kelas.
c. Bentuklah kelompok peserta didik
Jigsaw learnimg dengan jumlah yang
sama.
Faktor-faktor kunci keberhasialn yang
harus diperhatikan dalam penerapan model
pembelajaran Jigsaw, meliputi:
a. positive interdependence;
b. individual accountability;
c. face to face promotive interaction;
d. social skill;
e. groups processing and peection.
Menurut Slavin (2005), dalam Jigsaw,
para murid bekerja melalui enam tahap. Oleh
karena itu, model pembelajaran tipe Jigsaw

dalam pembelajaran Seni Budaya ini tahaptahapnya sebagai berikut.


Tahap 1 : Mengamati video tari
Tahap 2 : Pembentukan kelompok
Tahap 3 : Bekerja kelompok
Tahap 4 : Presentasi
Tahap 5 : Menyusun presentasi
Tahap 6 : Evaluasi
4. Prestasi Belajar
Berkaitan dengan prestasi belajar,
Arin (1990: 3) berpendapat bahwa prestasi
belajar yang dimaksud tidak lain adalah
kemampuan, keterampilan, dan sikap
seseorang dalam menyelesaikan hal.
Prestasi belajar menurut Moeliono (1989:
700) adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran dan lazimnya dinyatakan dengan
nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru.
Menurut Arin (1990: 3 - 4), prestasi
belajar yang baik memiliki beberapa fungsi,
antara lain:
1. sebagai indikator kualitas dan kuantitas
ilmu pengetahuan yang telah dikuasai
anak didik;
2. sebagai lambang pemuasan hasrat ingin
tahu;
3. sebagai bahan informasi dalam inovasi.
Asumsi adalah bahwa prestasi belajar
dapat dijadikan pendorong bagi anak didik
dalam meningkatkan ilmu pengetahun
dan teknologi, serta berperan sebagai
umpan balik dalam menigkatkan mutu
pendidikan;
4. sebagai indikator interen dan ekstern
di suatu institusi pendidikan. Indikator
interen berarti belajar dapat dijadikan
indikator tingkat produktivitas dalam
institusi pendidikan. Asumsinya adalah
bahwa kurikulum yang digunakan relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan anak
didik. Indikator ekstern dalam arti bahwa
tinggi rendahnya prestasi belajar dapat

dijadikan indikator tingkat kesuksesan


anak didik dalam masyarakat;
5. dapat dijadikan sebagai indikator daya
serap (kecerdasan anak didik).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMA
Negeri 1 Pulokulon Kabupaten Grobogan
Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian
dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu bulan
Januari 2015 sampai bulan Maret 2015.
Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA
2 semester genap SMA Negeri 1 Pulokulon
tahun ajaran 2014/2015. Pemilihan subjek
dalam penelitian ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa subjek tersebut
mempunyai
permasalahan-permasalahan
yang telah teridentikasi pada saat observasi
awal. Penggunaan metode dan media yang
telah dirancang, diharapkan tepat untuk
diterapkan pada siswa kelas XI IPA 2 SMA
Negeri 1 Pulokulon.
Data
yang dikumpulkan
dalam
penelitian ini, meliputi data informasi tentang
keadaan siswa dilihat dari aspek kualitatif
dan kuantitatif. Aspek kualitatif berupa data
hasil observasi yang berpedoman pada
lembar pengamatan. Aspek kuantitatif yang
dimaksud adalah hasil penilaian belajar
dari materi pembelajaran yang berlangsung
berupa nilai yang diperoleh siswa dari tes
psikomotor atau tes praktik.
Teknik pengumpulan data utama yang
digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
a. Pengamatan
Pengamatan
dilakukan
secara
kolaborasi, yaitu melibatkan teman
sejawat (obsever). Pengamatan
ini dilakukan terhadap guru ketika
melaksanakan
kegiatan
belajar
mengajar di kelas. Dalam posisi
itu, peneliti dapat lebih leluasa
melaksanakan pengamatan terhadap
keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran.

493

b. Wawancara atau diskusi


Wawancara bersama siswa dilakukan
untuk memperjelas evaluasi tindakan
yang telah dilaksanakan. Dari hasil
wawancara, pengamatan, dan kajian
dokumen yang telah dilakukan,
dapat diidentikasi permasalahanpermasalahan berkenaan dengan
pembelajaran seni budaya.
c. Kajian dokumen
Kajian juga dilakukan terhadap
berbagai dokumen atau arsip yang
ada, seperti kurikulum, rencana
pembelajaran yang dibuat guru, serta
buku atau materi pelajaran.
d. Ulangan harian
Ulangan harian dilaksanakan di
pembelajaran dan bertujuan untuk
mengetahui implikasi dari tindakan
yang telah diberikan dalam proses
pembelajaran terhadap tahapan
berpikir siswa.
Uji validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan data yang memanfaatkan
sesuatu di luar data itu, yaitu observasi.
Menurut Moleong, triangulasi dilakukan
berdasarkan tiga sudut pandang orang yang
melakukan pengawasan atau observan.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Teknik triangulasi metode
dilakukan dengan mengumpulkan data tetap
dan mengumpulkan data yang berbedabeda.
Analisis dalam PTK dimulai sejak awal
sampai berakhirnya pengumpulan data.
Data-data dari hasil penelitian di lapangan
diolah dan dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Teknik analisis kualitatif mengacu
pada model analisis Miles & Huberman
(1995: 16 - 19), yang dilakukan dalam tiga

494

komponen, yaitu reduksi data, penyajian


data, serta penarikan kesimpulan dan
verikasi. Reduksi data diartikan sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, serta pengabstrakan
dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi
data berlanjut terus sesudah penelitian
sampai laporan akhir lengkap tersusun.
Reduksi data meliputi penyeleksian data
melalui ringkasan atau uraian singkat dan
penggolongan data ke dalam pola yang lebih
luas sehingga kesimpulan nalnya dapat
ditarik dan diverikasi.
Penarikan kesimpulan merupakan
upaya pencarian makna data, mencatat
keteraturan dan penggolongan data.
Selanjutnya, untuk mempermudah verikasi
dan analisis data yang diperlukan untuk
menjawab
permasalahan
yang
ada,
diidentikasikan secara khusus pada tiaptiap siklus pembelajaran.
Indikator kinerja dalam penelitian
tindakan kelas ini diharapkan pada akhir
siklus II terjadi peningkatan prestasi belajar
siswa, yaitu dari nilai rata-rata ulangan
harian sebesar 50,00 menjadi 70,00 atau
dari kategori belum tuntas menjadi tuntas.
Tabel 1. Indikator Keberhasilan
Pembelajaran Kreativitas Berkarya
Deskripsi dengan Metode Pendekatan
Cooperative Tipe Jigsaw
Tindakan Pra- Siklus Siklus
Komponen
siklus
I
II

Cara
Mengukur

Kualitas
pembelajaran
proses
kreativitas

60%

70%

80%

Pengamatan
KBM dan
wawancara
respons
siswa

Kompetensi
kreativitas
berkarya

60%

70%

85%

Dilihat
dari nilai
psikomotor

Prosedur dan langkah yang digunakan


dalam melaksanakan penelitian ini mengikuti
model yang dikembangkan oleh Kemmis

& Taggart, yaitu berupa model spiral.


Perencanaan Kemmis menggunakan sistem
spiral reektif diri yang dimulai dengan
rencana tindakan (planing), tindakan
(acting), pengamatan (observing), dan
reeksi (reecting). Menurut Arikunto (2006:
117), kegiatan ini disebut dengan satu siklus
kegiatan pemecahan masalah. Apabila satu
siklus belum menunjukkan tanda-tanda
perubahan ke arah perbaikan (peningkatan
mutu), kegiatan riset dilanjutkan pada sikus
kedua, dan seterusnya sampai peneliti
merasa puas.
Berikut pemaparan tentang hal-hal
yang dilakukan dalam tiap-tiap langkah
tersebut.
a. Tahap persiapan
Pada tahap ini kegiatan yang dapat
dilakukan, meliputi:
1) observasi untuk mendapatkan
gambaran
awal
mengenai
keadaan
belajar
mengajar,
khususnya
mata
pelajaran
seni budaya di SMA Negeri 1
Pulokulon;
2) mengidentikasi permasalahan
dalam pelaksanan pembelajaran.
b. Tahap perencanaan (planning)
Kegiatan yang dilakukan, meliputi:
1) menyusun serangkaian kegiatan
yang
berupa
pelaksanaan
tindakan,
yaitu
penerapan
pembelajaran TGT berbantuan
media monopoli yang dilengkapi
kartu soal;
2) menyusun instrumen penelitian
yang meliputi lembar observasi
atau pengamatan aktivitas siswa
dan soal tes kognitif.
c. Tahap tindakan (acting)
Tindakan dilakukan peneliti untuk
memperbaiki masalah. Kegiatan

yang dilaksanakan dalam penelitian


tindakan kelas ini, antara lain:
1) melaksanakan
PBM
sesuai
langkah-langkah
yang
telah
disusun
dalam
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran;
2) melakukan kegiatan pemantauan
proses pembelajaran melalui
observasi langsung;
3) menyelenggarakan
evaluasi
untuk mengukur prestasi siswa;
4) melakukan modikasi berupa
perbaikan atau penyempurnaan
alternatif tindakan apabila proses
dan prestasi belajar masih kurang
memuaskan.
d. Tahap observasi (observing)
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam proses observasi, antara lain:
1) pengumpulan data;
2) sumber data;
3) critical friend dalam penelitian;
4) analisis data.
Adapun
langkah-langkah
yang
dilakukan dalam observasi adalah
sebagai berikut.
1) Pelaksanaan pengamatan.
2) Mencatat
semua
hasil
pengamatan ke dalam lembar
observasi.
3) Mendiskusikan dengan guru
(sebagai critical friend) terhadap
hasil pengamatan setelah proses
pembelajaran selesai.
4) Membuat kesimpulan.
Sedangkan langkah-langkah evaluasi
yang dilaksanakan dalam penelitian
ini sebagai berikut.

495

1) Menyiapkan alat-alat evaluasi.


2) Melaksanakan evaluasi setelah
proses pembelajaran selesai.
3) Melaksanakan
evaluasi.

analisis

hasil

4) Kriteria keberhasilan tindakan.


e. Tahap reeksi (reecting)
Reeksi adalah kegiatan mengulas
secara kritis tentang perubahan yang
terjadi pada siswa, suasana kelas,
dan guru. Langkah-langkah dalam
kegiatan analisis dapat dilakukan
dengan cara berikut.
1) Menganalisis tanggapan siswa
melalui wawancara.
2) Mencocokkan pengamatan oleh
guru pada lembar monitoring.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi awal proses pembelajaran Seni
Budaya, khususnya Seni Tari pada kelas XI
IPA 2 SMA Negeri 1 Pulokulon menunjukkan
keaktifan siswa sangatlah rendah. Selain itu,
pengalaman estetis yang dimiliki siswa juga
sangat kurang.
1. Siklus I
a. Perencanaan
Siklus I dilaksanakan dalam satu
pertemuan dengan beberapa tahapan
kegiatan. Dalam perencanaan siklus
I, ada beberapa kegiatan, antara lain
pembuatan instrumen dan sosialisasi
kepada siswa tentang penjelasan metode
pengajaran dengan metode kooperatif
Jigsaw beserta sistem penilaiannya.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan
pembelajaran
kegiatan belajar Seni Budaya pada
siswa XI IPA 2 dilaksanakan pada
tanggal 12 Februari 2015 di SMA
Negeri 1 Pulokulon. Kegiatan dilakukan

496

melalui beberapa tahapan, mulai dari


pembukaan, pembentukan kelompok,
pemutaran video tari nusantara (diambil
tari tradisional dan tari kreasi), diskusi
kelompok, serta pemberian tugas berupa
pengembangan kreativitas gerak dasar
menjadi rangkaian gerak, yang nantinya
dapat disusun menjadi suatu karya seni
baru, yaitu karya seni tari. Dari hasil
presentasi, kemudian guru memberikan
penilaian dengan beberapa kriteria, yaitu
kreativitas gerak, penggunaan properti
(bagi kelompok yang menggunakan),
kreativitas pembuatan pola lantai, serta
pengaturan komposisi dan level.
c. Pengamatan
Pada siklus I diperoleh hasil
pengamatan dan penilaian dari tugastugas dalam metode pengamatan.
Pengamatan
dalam
kegiatan
pembelajaran dengan mengamati siswa
aktif dan pasif, serta pengamatan pada
siswa yang bertindak di luar kegiatan
pembelajaran.
2. Siklus II
a. Perencanaan
Perencanaan kegiatan pembelajaran
siklus II dilaksanakan satu pertemuan
pada tanggal 25 Februari 2015.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pembelajaran siklus II
pada 26 Februari 2015.
c. Pengamatan
Pengamatan pada siklus II
dalam kegiatan pembelajaran dilakukan
dengan mengamati siswa aktif dan
pasif, serta pengamatan pada siswa
yang bertindak di luar kegiatan belajar
mengajar. Pada siklus II siswa aktif ada
peningkatan, sedangkan siswa pasif
mengalami
penurunan
persentase.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
tersebut, metode pembelajaran tipe
Jigsaw diharapkan dapat membantu
pengembangan kreativitas siswa dalam

menghasilkan suatu bentuk karya seni


tari. Hasil penilaian menunjukkan bahwa
keaktifan siswa dalam diskusi mengalami
peningkatan yang cukup baik. Dengan
metode meniru, siswa selalu senang
dalam melakukan tugas meskipun belum
maksimal. Selain itu, hasil tes/kuis dan
tugasnya sudah cukup tinggi.
d. Reeksi
Pada
siklus
selanjutnya
diharapkan seluruh siswa aktif dalam
diskusi dan membantu temannya karena
masih ada siswa yang tidak ikut belajar
kelompok. Tampak keaktifan siswa dalam
diskusi semakin meningkat dan nilai hasil
pengenbangan kreativitas dan hasil karya

seni gerak sangat menggembirakan,


tetapi belum keseluruhan memuaskan
dengan hasil yang makin mendekati
sempurna dalam mengerjakan tugas
karena dirugikan oleh siswa lain dalam
kelompoknya yang nilainya kurang.
Siswa kelas XI IPA 2 diberi
perlakuan yang berbeda dan mereka
betul-betul disuruh belajar dengan
metode meniru. Siswa yang merasa
mampu berusaha untuk membantu siswa
yang kurang mampu sehingga diskusi
dan mengerjakan tugas menjadi lebih
aktif. Guru perlu memberikan penekanan
pentingnya kerja sama kelompok untuk
meningkatkan nilai kelompok.

3. Perbandingan Hasil siklus I dan Siklus II


Tabel 1. Persentase Keaktifan dan Ketuntasan Siswa dalam Pembelajaran
No

Kelas XI IPA 2

Pengamatan
Kondisi Awal Siklus I Siklus II Selisih

Kreativitas siswa

20%

53,3%

80%

26,7%

Persentase ketuntasan

20%

60%

80%

20%

Persentase
pengamatan
dalam
keaktifan siswa dan ketuntasan hasil tampak
tidak jauh berbeda dan yang paling jauh
selisihnya adalah pada siklus I dengan
selisih 26,7%.
PENUTUP
Berdasarkan penilaian proses dan
hasil belajar setelah dilakukan tindakan,
dapat diambil simpulan sebagai berikut.
Pertama, penggunaan metode pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw dengan media
video tari nusantara dapat meningkatkan
kreativitas gerak siswa kelas XI IPA 2 SMA
Negeri 1 Pulokulon. Kedua, penggunaan
metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
dengan media video dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri
1 Pulokulon.

Berdasarkan simpulan di atas, untuk


meningkatkan pemahaman siswa terhadap
materi pelajaran Seni Budaya, khususnya
Seni Tari, dapat disampaikan saran-saran
sebagai berikut. Pertama, pemutaran video
tari nusantara dan metode pembelajaran tipe
Jigsaw dapat dilakukan pada saat kegiatan
inti maupun akhir kegiatan pembelajaran.
Pemberian tugas praktik dapat dilakukan
pada akhir kegiatan pembelajaran untuk
mengetahui penugasan terhadap materi
yang dipelajari. Kedua, guru perlu memberi
bimbingan secara intensif kepada siswa.
Ketiga, dalam menyimpulkan materi
pelajaran Seni Budaya pokok bahasan Seni
tari, Guru dapat menggunakan metode
ceramah, tanya jawab kreativitas gerak,
demonstrasi, maupun tugas praktik untuk
mempermudah siswa dalam pemahaman
materi pelajaran, terutama siswa yang

497

mengalami kesulitan dalam membuat karya


seni gerak. Keempat, dalam menyampaikan
materi pelajaran Seni Budaya, hendaknya
guru memilih metode dan menggunakan

media pembelajaran yang sesuai dengan


karakteristik pokok bahasan sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Ngalim, Purwanto M.. 1989. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sadia, I Wayan. 2000. Pengembangan Model Pembelajaran Sains untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
Slavin, R. E.. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sudjana, Nana. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sudrajat, 2008. Kurikulum dan Pembelajaran dalam Paradigma Baru. Yogyakarta: Paramitra
Publishing.
Syah, Muhibbin.. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
_______. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Winkel, W. S.. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

498

FONOLOGI BAHASA DAYAK DESA EMPACI, KECAMATAN DEDAI,


KABUPATEN SINTANG

Melia
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Pontianak
Jl. Ampera No.88 Pontianak
melygautama@gmail.com

ABSTRACT
This study aims to describe the phonology BDD of the phonetic and phonemic aspects. This
study used a qualitative descriptive form. Data were obtained from three informants are native
speakers who live in the village BDD Empaci, District Dedai, Sintang. The technique used is
direct, by way listen involved procient, mutilations, interviews, and recorders, namely data
collection tool in the Indonesian vocabulary list and a list of images/props that contain aspects of
phonology as early in the crawl data by direct speech compiled by the Coaching and Language
Development Center. Based on the research results fonologi language Dayak village, Village
Empaci, Dedai District of Sintang District, consisting of 1) a description of phonetics, divided
into three a) a description of the sound, grouped into vowels, consonants and diphthongs are
[i], [u], [a], [], [], [b], [c], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n] , [], [n], [p], [], [s], [t], [w], [y], [aw],
and [v]; b) rows of vowels and consonants, series vocal in BDD there are seven, namely: /-ao/, /-ua-/, /-au-/, /-a-/, /-ia-/, /-ai-/ and /-iu-/ and consonant series in BDD there are sixteen,
namely: /-mp-/, /-mb-/, /-ms-/, /-nc-/, /-nd-/, /-n- /, /-nt-/, /-ks-/, /-rb-/, /-rj-/, /-rl-/, /-rn-/, /-rm-/,
/-g-/, and /-k-/; c) group, in BDD there are two rows of consonant clusters that exist in one
syllable. Group in the BDD is / bl / and / kr /. 2) A description of phonemic, divided into three,
a) proof of phonemes, in BDD there are twenty-three, which consists of vowel phonemes are
ve, namely /a/, /i/, //, // and /u/ , and consonant phonemes are eighteen, the /b/, /c/, /d/,
/g/, /d/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /n/, //, /p/, /r/, /s/, /t/, /w/ and /y/; b) phonemes and allophones; c)
the structure of syllables, syllable structure in BDD there are ve, ie V, KV, KVK, KKVKV, and
KKVKVK.
Keywords: fonology, netics, fenemic

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Fonologi BDD dari aspek fonetik dan fonemik.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang berbentuk kualitatif. Data yang diperoleh
dari tiga informan, yaitu penutur asli BDD yang tinggal di Desa Empaci, Kecamatan Dedai,
Kabupaten Sintang. Teknik yang digunakan adalah langsung, dengan cara simak libat
cakap, pencacatan, wawancara, dan perekam. Alat pengumpul data, yaitu daftar kosakata
dalam bahasa Indonesia dan daftar gambar/alat peraga yang mengandung aspek fonologi
sebagai awal dalam penjaringan data dengan percakapan langsung yang disusun oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Berdasarkan hasil penelitian fonologi bahasa Dayak,
Desa Empaci, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, terbagi atas 1) deskripsi fonetik, terbagi
tiga, a) deskripsi bunyi, dikelompokkan atas bunyi vokal, konsonan, dan diftong, yaitu [i], [u],
[a], [], [], [b], [c], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [], [], [p], [], [s], [t], [w], [y], [aw], dan [ay];
b) deret vokal dan konsonan, deret vokal dalam BDD ada tujuh, meliputi: /-ao-/, /-ua-/, /-au-/,
/-a-/, /-ia-/, /-ai-/ dan /-iu-/ dan deret konsonan dalam BDD ada enam belas, meliputi: /-mp-/,
/-mb-/, /-ms-/, /-nc-/, /-nd-/, /-n-/, /-nt-/, /-ks-/, /-rb-/, /-rj-/, /-rl-/, /-rn-/, /-rm-/, /-g-/, dan /-k-/;
c) gugus, dalam BDD terdapat dua gugus konsonan, yaitu deretan konsonan yang ada pada
satu suku kata. Gugus dalam BDD, yaitu /bl/ dan /kr/. 2) Deskripsi fonemis, terbagi tiga, a)
pembuktian fonem, dalam BDD ada dua puluh tiga, fonem vokal ada lima, yaitu /a/, /i/, //, //,
/u/ dan fonem konsonan ada delapan belas, yaitu /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, //, //,
/p/, /r/, /s/, /t/, /w/. /y/; b) fonem dan alofon; c) stuktur suku kata dalam BDD ada lima, yaitu V,
KV, KVK, KKVKV, dan KKVKVK.
Kata kunci: fonologi, fonetik, fonemik

499

PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sarana komunikasi
yang sangat penting keberadannya bagi
masyarakat. Bahasa digunakan masyarakat
untuk mengungkapkan ide, pikiran, dan
perasaan kepada orang lain sehingga akan
terjalin interaksi antarmasyarakat tersebut.
Tanpa bahasa, komunikasi tidak akan
berjalan dengan baik. Bahasa Dayak Desa
(BDD) merupakan satu di antara bahasa
daerah yang ada di wilayah Indonesia,
tepatnya di daerah Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat. BDD sampai sekarang
masih digunakan dan dilestarikan oleh
masyarakat Dayak Desa.
BDD
digunakan
masyarakat
Dayak Desa sebagai alat komunikasi
antaranggota keluarga dan masyarakat,
serta digunakan dalam upacara adat dan
cerita rakyat. Selain fungsi tersebut, BDD
juga merupakan kebanggaan masyarakat
Dayak Desa. Penutur BDD tersebar di
beberapa kecamatan yang terbagi lagi atas
beberapa desa. Mengingat luasnya wilayah
pemakai BDD, peneliti menetapkan lokasi
penelitian di Desa Empaci, Kecamatan
Dedai, Kabupaten Sintang dengan jumlah
penduduk 1765 jiwa, yang terdiri dari 450
jiwa beragama Islam, 1227 jiwa beragama
Katolik, dan 88 beragama Protestan. Desa
Empaci terbagi menjadi lima dusun, yaitu
Dusun Suka Maju yang jumlah penduduknya
410 jiwa, Dusun Kali Sari dengan jumlah
penduduknya 310 jiwa, Dusun Gurung
dengan jumlah penduduknya 405 jiwa,
dusun Empaci dengan jumlah penduduk
320 jiwa dan Dusun Labuk Jaya dengan
jumlah penduduk 320 jiwa. Penutur BDD ada
di Dusun Suku Maju, Dusun Empaci, dan
Dusun Labuk Jaya. Penutur BDD berjumlah
1050 jiwa. Desa Empaci berjarak 34 km dari
Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang, jarak
antara Desa Empaci dan ibukota kabupaten
32 km. Luas wilayah Desa Empaci 3.090 Ha.

500

Penelitian tentang fonologi pada BDD


perlu dilakukan karena sistem fonologi yang
terdapat pada suatu bahasa merupakan
komponen yang turut membangun bahasa
tertentu sebagai suatu sistem yang
utuh. Penelitian ini akan sangat berguna
untuk pelestarian bahasa daerah dan
juga berguna bagi para peneliti lanjutan,
khususnya berkenaan dengan topik struktur
linguistik BDD. Penelitian ini nantinya akan
menghasilkan sebuah pengetahuan linguistik
struktural tentang BDD secara utuh.
Masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah fonologi dalam BDD
yang meliputi fonetik dan fonemik. Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha untuk
mendeskripsikan semua aspek tersebut.
Fonologi dalam BDD yang dideskripsikan
dalam penelitian ini berdasarkan data dari
BDD di Kabupaten Sintang, tepatnya di
Desa Empaci. Alasan peneliti menetapkan
BDD dalam penelitian ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan berikut.
1. Penelitian BDD belum pernah diteliti.
2. Peneliti ingin mengetahui gambaran
yang jelas mengenai fonologi BDD yang
mencakup deskripsi tentang fonetik dan
fonemik dalam BDD.
3. Perlu adanya upaya pendokumentasian
BDD.
4. Peneliti ingin memperkenalkan BDD
pada pembaca.
5. BDD merupakan warisan budaya
sehingga harus dilestarikan.
1. Fonologi
Fonologi
adalah
bidang
dalam
linguistik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa
menurut fungsinya (Kridalaksana, 2001: 57).
Menurut Verhaar, fonologi dapat didenisikan
sebagai penyelidikan tentang perbedaan
minimal antara ujaran dan perbedaan
minimal tersebut selalu terdapat dalam kata
sebagai konsitutuen (suatu bagian). Hal ini
dicontohkan Verhaar pada pasangan kata

lupa dan rupa. Pasangan kata itu terdapat


bunyi (l) dan (r) yang beroposisi, dan masingmasing bunyi itu sebagai fonem [l] dan [r].
Bunyi itu bersifat dua, yaitu bersifat ujar
(parole) dan bersifat sistem (langue). Untuk
membedakan bunyi itu, dipakailah istilah
yang berbeda, yang pertama disebut fon
atau bunyi, dan yang kedua disebut fonem
(Samsuri, 1991: 125).
Pada dasarnya para penutur asli
tidak mengenal bunyi-bunyi yang beraneka
ragam dan relatif banyak itu, melainkan
bunyi-bunyi yang jumlahnya terbatas dan
dikenal karena membedakan arti. Penutur
asli bahasa itu hanya mengenal bunyi yang
distingtif (berfungsi untuk membedakan
satuan-satuan bahasa) yang secara fonetis
akustis beraneka ragam. Jelaslah ada dua
macam pengukuran bunyi bahasa, yakni
1) bunyi yang terjadi secara akustik dan
2) bunyi yang ditafsirkan oleh penutur asli.
Bunyi yang pertama dilihat dari segi ucapan
atau ujaran (parole) yang disebut bunyi (fon),
bunyi yang kedua dilihat dari segi sistem
pikiran (langue), yang disebut fonem. Kajian
bunyi ujar disebut fonetik, sedangkan kajian
fonem disebut fonemik.
Semua ahli fonologi sependapat
mengenai perlunya mengenal dua satuan
analisis fonologis, yaitu 1) satuan fonetis
(fon) dan 2) satuan fonologis (fonem). Satuan
bunyi (fon) dibicarakan oleh ilmu fonologi
atau fonemik. Penelitian ini didasarkan pada
teori bahwa analisis fonologi mencakup dua
satuan analisis, yaitu fonetik dan fonemik.

Di dalam penelitian ini, untuk


mengelompokkan bunyi, digunakan landasan
fonetik artikulatoris, yaitu tentang bagaimana
bunyi-bunyi dihasilkan oleh alat ucap. Dalam
pembentukan bunyi bahasa, ada tiga faktor
utama yang terlibat, yakni sumber tenaga,
alat ucap yang menimbulkan getaran,
dan tangga pengubah getaran. Proses
pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan
memanfaatkan pernafasan sebagai sumber
tenaganya berupa udara yang keluar dari
paru-paru. Pada mulanya udara dihisap oleh
paru-paru, kemudian dihembuskan sewaktu
bernapas. Udara yang dihembuskan itu
mengalami perubahan pada pita suara yang
terletak pada pangkal tenggorokan. Arus
udara yang keluar dari paru-paru itu dapat
membuka pita suara yang merapat sehingga
mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu.
Gerakan membuka dan menutup pita suara
itu menyebabkan arus udara dan udara di
sekitar pita suara itu berubah tekanannya dan
bergetar. Perubahan bentuk saluran suara
itulah yang menghasilkan bunyi bahasa yang
berbeda-beda.
3. Fonemik

2. Fonetik

Fonemik dapat didenisikan sebagai


kajian mengenai sistem fonem suatu bahasa
(Kridalaksana, 2001: 56). Fonem itu sendiri
adalah satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki
fungsi untuk membedakan makna. Fonem
dapat juga dibatasi sebagai suatu unit bunyi
yang bersifat distingtif atau unit bunyi yang
signikan (Husein & Yayat, 1997: 81).

Fonetik
dapat
didenisikan
sebagai kajian tentang bunyi bahasa,
pembentukkannya, frekuensinya sebagai
getaran udara, dan cara penerimaannya
oleh telinga (Husen & Yayat, 1997: 16).
Berdasarkan proses kejadian bunyi bahasa
tersebut, fonetik dibedakan atas tiga jenis,
yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustis,
fonetik auditoris.

Bunyi bahasa yang dicatat secara


fonetik tidak semuanya berguna dalam
pernyataan pembedaan makna. Dalam
hal ini, perlu adanya fonemisasi yang
ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi
yang berfungsi dalam rangka pembedaan
makna tersebut. Foneminasi harus dilakukan
berdasarkan pencatatan fonetik yang baik
dan cermat. Pencatatan fonetis itu sendiri

501

harus dilakukan berulang-ulang dengan


mencari bunyi dan distribusi bunyi bahasa
itu sendiri. Dengan demikian, fonemisasi
itu bertujuan untuk 1) menentukan struktur
fonemis sebuah bahasa; dan 2) membuat
ortogra yang praktis atau ejaan sebuah
bahasa.
Apabila bunyi itu kontras dalam
lingkungan yang sama atau mirip dengan
bunyi yang lain, maka bunyi itu disebut fonem
atau fonem yang berbeda. Akan tetapi,
apabila bunyi-bunyi secara fonetis mirip dan
terdapat di dalam distribusi komplementer,
bunyi-bunyi itu dianggap sebagai fonem
yang sama (Samsuri, 1991: 131).
Dalam mengenali fonem, terdapat
premis-premis fonologis dan hipotesis kerja
sebagai berikut. Pertama, bunyi bahasa
mempunyai kecenderungan dipengaruhi
oleh lingkungan. Premis ini berlaku pada
kelompok bunyi, seperti [m b], [m p], [n
d], [n t], [n g], [n k]. Kedua, sistem bunyi
mempunyai kecenderungan yang bersifat
simetris. Dalam Bahasa Indonesia, terlihat
pada pasangan bunyi hambat [b, p, d, t,
g, k, j, c,] dengan nasal [m, , n,]. Kedua
premis ini dapat dipakai sebagai dasar kerja
dalam menentukan eksistensi fonem dan
sistem fonem suatu bahasa. Di samping
kedua premis tersebut, ada hipotesis kerja
yang sekaligus digunakan kedua hipotesis
kerja tersebut adalah a) bunyi yang secara
fonetis mirip harus digolongkan ke dalam
kelas-kelas bunyi atau fonem-fonem yang
berbeda apabila terhadap pertentangan di
dalam lingkungan yang sama atau mirip; b)
bunyi yang secara fonetis mirip dan terdapat
dalam distribusi yang komplementer harus
dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi atau
fonem yang sama (Samsuri, 1991: 132).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif.
Penelitian ini berusaha menggambarkan

502

secara objektif dan tepat aspek BDD.


Metode
deskriptif
sebagai
prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan
objek atau subjek penelitian (seseorang,
lembaga, masyarakat, dan sebagainya)
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang tampak atau sebagaimana adanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Analisis Fonetik Bahasa Dayak, Desa
Empaci, Kecamatan Dedai, Kabupaten
Sintang
a. Deskripsi Bunyi dalam BDD
Deskripsi bunyi adalah penggambaran
bunyi-bunyi bahasa yang terdapat dalam
BDD.
1) Deskripsi vokal
Deskripsi vokal dalam BDD
dijabarkan sebagai berikut.
a. Bunyi [i] adalah vokal tinggidepan-tak
bulat.
Vokal
dibentuk dengan kedua bibir
agak terentang ke samping.
Misalnya: [atyi]
hati
b. Bunyi [u] adalah vokal atasbelakang-bulat. Vokal ini
dibentuk dengan kedua bibir
agak maju ke depan dan agak
membundar serta belakang
lidah
agak
meninggi.
Misalnya: [idup]
hidup
c. Bunyi [] adalah vokal
sedang-tengah-tak
bulat.
Vokal ini dibentuk dengan
daun lidah dinaikkan, tetapi
agak lebih rendah dari []
maupun [u]. vokal ini disertai
dengan bentuk bibir yang
netral, serta agak ke tengah.
Misalnya: [Nkayu?] sayur
d. Bunyi [o] adalah vokal sedangbelakang-bulat. Vokal ini

dibnetuk dengan kedua bibir


agak maju ke depan dan agak
membundar serta belakang
lidah agak meninggi, tetapi
agak lebih rendah dan kurang
bundar. Misalnya:
[sp?]
abu
e. Bunyi [a] adalah vokal
rendah-tengah-bulat. Vokal
ini dibentuk dengan bagian
tengah lidah agak merata
dan mulut pun terbuka lebar.
Misalnya: [aI?] air
2) Deskripsi konsonan
Deskripsi konsonan dalam BDD
dijabarkan sebagai berikut.
a. Bunyi
[p]
merupakan
konsonan
hambat-bilabialtak bersuara. Konsonan ini
dilafalkan dengan bibir atas
dan bibir bawah terkatup rapat,
dan udara dari paru-paru
tertahan untuk semantara
waktu sebelum letupan itu
dilepaskan. Misalnya:
[pgay]
pengang
b. Bunyi
[b]
merupakan
konsonan
hambat-bilabialbersuara.
Konsonan
ini
dilafalkan dengan bibir atas
dan bibir bawah terkatup rapat,
dan udara dari paru-paru
tertahan untuk semantara
waktu sebelum letupan itu
dilepaskan. Misalnya:
[kiba?] kiri
c. Bunyi [t] merupakan konsonan
hambat-dental-tak bersuara.
Konsonan
ini
dilafalkan
dengan menempelkan ujung
lidah pada bagian belakang
gigi atas untuk mengahambat
udara dari paru-paru dan

kemudian melepaskan udara


itu. Misalnya:
[tu?] ini [ksat>]
dingin
d. Bunyi
[d]
merupakan
konsonan
hambat-dentalbersuara.
Konsonan
ini
dilafalkan
dengan
menempelkan ujung lidah
pada gusi sehingga tercipta
bunyi alveolar. Misalnya:
[sida?] mereka
e. Bunyi
[c]
merupakan
konsonan
hambat-plataltak bersuara. Konsonan ini
dilafalkan dengan daun lidah
ditempelkan pada langit-langit
keras untuk menghambat
udara dari paru-paru dan
kemudian
dilepaskan.
Misalnya: [cica?]
cicak
f.

Bunyi
[j]
merupakan
konsonan
hambat-platalbersuara.
Konsonan
ini
dilafalkan dengan daun lidah
ditempelkan pada langit-langit
keras untuk menghambat
udara dari paru-paru dan
kemudian
dilepaskan.
Misalnya: [tija?]
injak

g. Bunyi
[k]
merupakan
konsonan
hambat-velartak
bersuara.
Konsonan
itu
dilafalkan
dengan
menempelkan
belakang
lidah pada langit-langit lunak.
Udara dihambat, kemudian
dilepaskan. Misalnya:
[ka?] mau
h. Bunyi
[g]
merupakan
konsonan
hambat-velarbersuara.
Konsonan
itu
dilafalkan
dengan
menempelkan
belakang

503

lidah pada langit-langit lunak.


Udara dihambat, kemudian
dilepaskan.
Misalnya:
[gali?] baring
i.

j.

Bunyi
[s]
merupakan
konsonan
frikatif-alveolartak bersuara yang dihasilkan
dengan menempelkan ujung
lidah pada gusi atas sambil
melepaskan udara lewat lidah
sehingga menimbulkan bunyi
desis. Misalnya:
[sp?]
abu
Bunyi
[h]
merupakan
konsonan
frikaif-glotal-tak
bersuara
yang
dibentuk
dengan melewatkan arus
udara di antara pita suara
yang menyempit sehingga
menimbulkan bunyi desis,
tanpa dihambat di tempat
lain. Misalnya:
[mayuh]
banyak

k. Bunyi
[r]
merupakan
konsonan
getar-alveolarbersuara
yang
dibentuk
dengan menempelkan ujung
lidah pada gusi, kemudian
menghembuskan
udara
sehingga
lidah
tersebut
secara
berulang-ulang
menempel dan lepas dari
gusi. Misalnya:
[li] leher
l.

504

Bunyi [l] merupakan konsonan


l ateral - alv eolar - ber suar a
yang
dibentuk
dengan
menempelkan daun lidah
pada gusi dan mengeluarkan
udara melewati samping
lidah. Misalnya:
[liu] ludah

m. Konsonan [m] merupakan


konsonan
nasal-bilabbial
yang dibuat dengan kedua
bibir dikatupkan, kemudian
udara dilepas melalui ringga
hidung. Misalnya:
[makay]
makan
n. Konsonan [n] merupakan
konsonan nasal-dental yang
dibentuk
menempelkan
ujung lidah pada ggusi
untuk mengghambat udara
dari paru-paru, kemudian
dikeluarkan melalui rongga
hidung. Misalnya:
[nia] dengar
o. Konsonan [] merupakan
konsonan nasal-palatal yang
dibentuk dengan depan lidah
pada langit-langit keras untuk
menahan udara dari paruparu, kemudian dikeluarkan
melalui
rongga
hidung.
Misalnya:
[umay]
masak
p. Konsonan [N] merupakan
nasal-velar yang dibentuk
dengan menempelkan ujung
lidah pada langit-langit lunak
dan udara dilepas melalui
hidung. Misalnya:
[asu] buru (be)
q. Konsonan [w] merupakan
semivokal
bilabial
yang
dilafalkan
deengan
mendekatkan kedua bibir
tanpa menghalangi udara
yang dihembuskan dari paruparu. Misalnya:
[suwa?]
danau
r.

Konsonan
semivokal
dihasilkan

[y] merupakan
palatal
yang
dengan

mendekatkan depan lidah


pada langit-langit keras, tetapi
tidak sampai menghambat
udara yang keluar dari paruparu. Misalnya:
[mayuh]
banyak
Bunyi vokal dan konsonan dalam
BDD dideskripsikan berdasarkan
fungsi
fonetik
artikulatoris
sehingga mendapatkan klasikasi
bunyi-bunyi tersebut.
3) Deskripsi diftong dan deret vokal
Dalam BDD terdapat dua buah
diftong, yaitu /ay/ dan /aw/, yang
masing-masing dilafalkan [ay],
[aw].
Diftong adalah dua buah vokal
yang
melambangkan
satu
bunyi vokal yang tidak dapat
dipisahkan. Berikut contoh diftong
yang dimaksud.
[aw] [aw] dengan
[ay] [jalay] jalan
Diftong harus dibedakan dari deret
vokal. Deret vokal adalah vokal
yang urutannya beruntun, tidak
tersisipi konsonan. Karena itu,
masing-masing vokal termasuk
dalam suku kata yang berbeda.
Deret vokal yang terdapat dalam
BDD adalah sebagai berikut.
/-ao-/
[a?]
ya
/-ua-/
[duwa]
dua
/-au-/
[da wun]
daun
/-a-/
[ba y?]
baik
/-ia-/
[mnsiya]
manusia
/-ai-/
[aI?]
air
/-iu-/
[siyum]
cium

2. Analisis Fonemik Bahasa Dayak,


Desa Empaci, Kecamatan Dedai,
Kabupaten Sintang
Pembuktian fonem-fonem yang terdapat
dalam BDD.
a. Vokal
Realisasi fonem vokal yang terdapat
dalam BDD.
1) Vokal /i/
Realisasi atau lafal vokal ini
dianggap umum dalam BDD
adalah [i] pada awal dan akhir
suku kata.
[ikU?]
ekor
y
[i a]
dia
[lak>i]
suami
Vokal [I] terdapat pada suku tertutup.
[aI?]
air
[buIt]
pantat
2) Vokal /u/
Realisasi atau lafal vokal ini
yang dianggap umum adalah [u]
terdapat pada posisi awal dan
akhir suku kata buka.
[udah]
selesai
[ulu]
hulu
[nusah]
jangan
[spu]
tiup
Vokal [U] terdapat pada suku kata
tutup.
[minUm]
minum
[bujU]
bujur
3) Vokal //
Realisasi vokal ini yang dianggap
umum adalah [] pada posisi
awal, tengah, dan akhir suku kata.
[kja]
kerja
[Nkayu?]
sayur
4) Vokal /o/
Realisasi atau vokal ini yang
dianggap umum adalah [o]
terdapat pada posisi awal dan
tengah suku kata.
[dl]
odol

505

[bas?]
[b?]

cuci
rambut

[mpat>]
[jpIt>]

empat
kecil

5) Vokal /a/
Realisasi atau vokal ini yang
dianggap umum adalah [a]
terdapat pada posisi awal, tengah
dan akhir suku kata.
[abu]
abu
[aka]
akar
[tipa]
bagaimana

4) Konsonan /d/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [d]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[dbu]
debu
[dilah]
lidah
[panda?]
pendek

b. Konsonan
Realisasi fonem konsonan yang
terdapat dalam BDD.
1) Konsonan /p/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [p]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[panda?]
pendek
[pah]
peras
[sapa]
siapa
>
Konsonan /p / adalah alofon /p/ yang
terdapat pada akhir suku kata.
[celap>]
dingin
>
[ asap ]
asap

5) Konsonan /c/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [c]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[cincin]
cicin
y
[cac iN]
cacing

2) Konsonan /b/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [b]
yang terdapat pada posisi awal
dan akhir kata.
[bau]
baru
[baNab]
tuli
[kjab]
sebentar
3) Konsonan /t/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [t]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[tlu?]
telur
[tiga]
tiga
[datay]
datang
/t>/ adalah alofon /t/ yang terdapat
pada posisi akhir kata.

506

6) Konsonan /j/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [j]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
y >
[ja it ]
jahit
[tija?]
injak
[ijaw]
hijau
7) Konsonan /k/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [k]
yang terdapat pada posisi awal
kata yang merupakan suku kata
buka. Contohnya sebagai berikut.
[kutu]
kutu
[kalaw]
kalau
>
/k / adalah alofon /k/ yang terdapat
pada suku tutup.
[kak>i]
kaki
>
[lak i]
suami
/?/ adalah alofon /k/ yang terdapat
pada posisi akhir kata.
[kiba?]
kiri
[sp?]
abu

8) Konsonan /g/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [g]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
y
[git i?]
lurus
[gaga]
senang
[gigi]
gigi
9) Konsonan /s/
Realisasi atau lafal konsonan
ini yang dianggap umum adalah
[s] yang terdapat pada posisi
awal, tengah, dan akhir kata.
Contohnya sebagai berikut.
[suti?]
satu
[silu?]
kuku
y
[mnsi a]
manusia
[tlas]
baik

[tawun]

tahun

13) Konsonan //
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah []
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[ai]
nyanyi
>
[kuit ]
kuning
[baut]
alir (me)
14) Konsonan /N/
Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [N]
yang terdapat pada posisi awal,
tengah, dan akhir kata.
[Naw]
dan
[niNa]
dengar
w
[id uN]
hidung

10) Konsonan /h/


Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [h]
yang terdapat pada akhir kata.
[basah]
basah
[pah]
peras
[bnyih]
benih

15) Konsonan /l/


Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [l]
yang terdapat pada posisi awal,
tengah, dan akhir kata.
[liu]
ludah
[ula]
ular
[timbwul]
apung

11) Konsonan /m/


Realisasi atau lafal konsonan
ini yang dianggap umum adalah
[m] yang terdapat pada posisi
awal, tengah, dan akhir kata.
Contohnya sebagai berikut.
[maya]
kapan
[maN]
awan
y
[si Um]
cium

16) Konsonan /r/


Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [r]
yang terdapat pada posisi awal,
tengah, dan akhir kata.
[angkay]
kering
[gaa]
batu

[li ]
leher

12) Konsonan /n/


Realisasi atau lafal konsonan
ini yang dianggap umum adalah
[n] yang terdapat pada posisi
awal, tengah, dan akhir kata.
Contohnya sebagai berikut.
[nama]
apa
[nunu]
bakar
[anti?]
kalau

17) Konsonan /w/


Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [w]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[wana]
warna
[suwa?]
danau

[lawa s]
siang

507

18) Konsonan /y/


Realisasi atau lafal konsonan ini
yang dianggap umum adalah [y]
yang terdapat pada posisi awal
dan tengah kata.
[ya?]
itu
c.

Diftong
Realisasi diftong dalam BDD secara
umum terdapat pada akhir suku kata.
1) Diftong /aw/
Realisasi atau lafal diftong ini
yang dianggap umum adalah [aw]
yang terdapat pada akhir suku
kata.
[buntaw]
busuk
2) Diftong /ay/
Realisasi atau lafal diftong ini
yang dianggap umum adalah [ay]
yang terdapat pada akhir suku
kata.
[makay]
makan

PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan
penelitian ini, dapat diambil kesimpulan
sebagai
berikut.
Pertama,
deskripsi
fonetik bahasa Dayak, Desa Empaci,
Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, BDD
dikelompokkan atas bunyi vokal, konsonan,
dan diftong, jumlahnya dua puluh lima,
yaitu [i], [u], [a], [], [], [b], [c], [d], [g], [h],
[j], [k], [l], [m], [n], [N], [], [p], [], [s], [t],
[w], [y], [aw], dan [ay]. Kedua, pembuktian
fonem berdasarkan pasangan minimal dan
pasangan mirip dalam BDD ada dua puluh

tiga, yang terdiri dari fonem vokal ada lima,


yaitu /a/, /i/, //, // dan /u/, dan fonem
konsonan ada delapan belas, yaitu /b/, /c/,
/d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, //, //, /p/, /r/,
/s/, /t/, /w/ dan /y/.
Ketiga, pada BDD terdapat alofon
vokal, terdiri dari fonem /i/ mempunyai alofon
[i] dan [I], fonem /u/ mempunyai alofon [u]
dan [U], fonem /a/ mempunyai alfon [a],
fonem // mempunyai alofon //, dan fonem
/o/ mempunyai alofon []. Alofon konsonan
terdiri dari fonem /p/ mempunyai alofon [p]
dan [p>], fonem /b/ mempunyai alofon [b],
fonem /d/ mempunyai alofon [d], fonem [t]
mempunyai alofon [t] dan [t>], fonem /c/
mempunyai alofon [c], fonem /j/ mempunyai
alofon [j], fonem /g/ mempunyai laifon [g],
fonem /k/ mempunyai alofon [k], [k>], dan [?],
fonem /r/ mempunyai alofon [], fonem /l/
mempunyai alofon [l], fonem /s/ mempunyai
alofon [s], fonem /h/ mempunyai alofon [h],
fonem /m/ mempunyai alofon [m], fonem /n/
mempunyai alofon [n], fonem // mempunyai
alofon [], fonem /N/ mempunyai alofon [N],
fonem /w/ mempunyai alofon [w], fonem /y/
mempunyai alofon [y]. Keempat, struktur
suku kata dalam BDD ada lima, yaitu V, KV,
KVK, KKVKV, dan KKVKVK.
Adapun saran yang dapat peneliti
sampaikan
dalam kaitannya
dengan
penelitian fonologi BDD ini adalah bahwa
penelitian ini merupakan penelitian dasar
dalam tataran linguistik BDD sehingga perlu
adanya penelitian pada aspek linguistik
lainnya misalnya aspek morfologi, semantik
dan aspek linguistik lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Husein, Akhlan & Yayat S.. 1997. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud RI.
Kridalaksana, Harimukti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Samsuri. 1991. Analisiss Bahasa. Jakarta: Erlangga.

508

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACAKAN TEKS BERITA


MELALUI MELALUI MEDIA SURAT KABAR SISWA KELAS XI MAN 2
MADIUN

Kasmini
MAN 2 Madiun
kasminispd@yahoo.co.id / 085235255779

ABSTRACT
This classroom action research study aims to describe the ability to read the text of the news
through the news media students MAN 2 Madiun, in particular the class XI. The subjects were
students of class XI IPA 5 MAN 2 Madiun. Researchers chose this class because most of the
students quiet and somewhat passive, so the authors wanted to change the attitude of silent
and passive to aggressive, courageous, and active. The class there are 32 students, consisting
of 12 men and 20 women with a background of economic and social diverse. The results of
the study in class XI IPA 5 MAN 2 Madiun increased. In the rst cycle of 32 students, there are
18 students (56.25%) are less able to read the text of the news, 8 students (25%) are quite
capable, and 6 students (18.75) was able to read the text of the news through the media of
newspapers. In the second cycle of 32 students, there are four students (12.5%) are less able
to read the text of the news, 8 students (25%) are quite capable, and 20 students (62.5%) was
able to read the text of the news through the media of newspapers.
Keywords: reading, text news, newspaper media

ABSTRAK
Penelitian penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan
membacakan teks berita melalui media surat kabar siswa MAN 2 Madiun, khususnya kelas
XI. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 5 MAN 2 Madiun. Peneliti memilih kelas ini
karena sebagian besar siswanya pendiam dan agak pasif, sehingga penulis ingin mengubah
sikap dari pendiam dan pasif menjadi agresif, pemberani, dan aktif. Kelas tersebut terdapat
32 siswa, yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 20 orang perempuan dengan latar belakang
ekonomi dan sosial yang berbeda-beda. Hasil penelitian di kelas XI IPA 5 MAN 2 Madiun
mengalami peningkatan. Pada siklus I dari 32 siswa, terdapat 18 siswa (56,25%) kurang mampu
membacakan teks berita, 8 siswa (25%) cukup mampu, dan 6 siswa (18,75) sangat mampu
membacakan teks berita melalui media surat kabar. Pada siklus II dari 32 siswa, terdapat 4
siswa (12,5%) kurang mampu membacakan teks berita, 8 siswa (25%) cukup mampu, dan 20
siswa (62,5%) sangat mampu membacakan teks berita melalui media surat kabar.
Kata kunci: kemampuan membaca, teks berita, media surat kabar

PENDAHULUAN
Pembelajaran
Bahasa
Indonesia
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta
menimbulkan penghargaan terhadap hasil
cipta manusia. Selain itu, keterampilan
membaca merupakan salah satu dari aspek
keterampilan berbahasa yang harus dikuasai
oleh siswa.

Membaca merupakan salah satu


keterampilan
berbahasa
di
samping
keterampilan
menyimak,
berbicara,
dan menulis. Keempat keterampilan itu
merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Membaca merupakan kegiatan
memahami
bahasa
tulis.
Membaca
merupakan kegiatan memaknai lambanglambang bunyi. Pemaknaan itu akan dapat
diwujudkan jika seseorang terlebih dahulu

509

memahami fonologi dari lambang tersebut


dan memahami makna morfologis dalam
kaitan untaian kata pada suatu tata kalimat.
Membaca adalah suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca
untuk memperoleh pesan yang hendak
disampaikan oleh penulis melalui media
kata-kata atau bahasa tulis (Tarigan, 1986:
7). Proses membaca sangat kompleks dan
rumit karena melibatkan beberapa aktivitas,
baik berupa sik maupun mental. Membaca
adalah komunikasi interaktif antara pembaca
dan bacaan. Pembaca menggunakan latar
belakang pengalaman dan pengetahuannya
untuk memahami bahasa dalam bacaan.
Kegiatan-kegiatan yang ditempuh dalam
membaca adalah penggunaan pikiran atau
penalaran termasuk ingatan.
Proses
membaca
terdiri
atas
beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut,
meliputi 1) aspek sensori, yaitu kemampuan
untuk memahami simbol-simbol tertulis; 2)
aspek perseptual, yaitu kemampuan untuk
menginterpretasikan apa yang dilihat sebagai
simbol; 3) aspek skemata, yaitu kemampuan
menghubungkan informasi tertulis dengan
struktur pengetahuan yang telah ada; 4)
aspek berpikir, yaitu kemampuan membuat
inferensi dan evaluasi dari materi yang
dipelajari; 5) aspek afektif, yaitu aspek yang
berkenaan dengan minat pembaca yang
berpengaruh terhadap kegiatan membaca.
Tujuan setiap pembaca adalah
memahami bacaan yang dibacanya. Dengan
demikian, pemahaman merupakan faktor
yang amat penting dalam membaca.
Karena itu, di kelas membaca, proses
memasukkan informasi dan pengetahuan
ke dalam otak siswa harus terjadi. Kelas
merupakan tempat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memperoleh kejelasan
tentang bagian-bagian bacaan yang belum
dipahami sehingga terjadilah penambahan
pengetahuan dalam dirinya.

510

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan


Pendidikan (KTSP) Sekolah Menengah Atas,
tepatnya pembelajaran dengan Standar
Kompetensi (SK 3), yaitu memahami ragam
wacana tulis dengan membaca intensif dan
membaca nyaring dengan Kompetensi Dasar
(KD 3.2), yaitu membacakan berita dengan
intonasi, lafal, dan sikap membaca yang baik
dengan indikator 1) membacakan naskah
berita dengan memperhatikan penggunaan
lafal, intonasi, kejelasan ucapan, tatapan
mata, dan sikap membaca yang benar;
2) membahas pembacaan berita yang
dilakukan teman.
Dengan
kompetensi
ini,
siswa
diharapkan
dapat
mencapai
tujuan
membaca. Realitanya, pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA/MA selama ini belum
mendapat respons yang positif dari siswa
MAN 2 Madiun pada kompetensi membaca
nyaring, khususnya membaca teks berita.
Hal ini dibuktikan oleh hasil ulangan harian
siswa. Kemampuan siswa membaca teks
berita masih rendah, lebih dari 70% siswa
tidak mampu membaca teks berita. Dari 32
siswa, hanya 4 siswa yang memiliki tingkat
kemampuan baik, dengan persentase
12,5%, 6 siswa memiliki tingkat kemampuan
cukup dengan persentase 18,75%, dan 22
siswa memiliki tingkat kemampuan kurang
dengan persentase 68,75%.
Kesulitan yang dialami siswa dalam
pembelajaran membaca teks berita di
antaranya, siswa sulit menentukan penjedaan
teks berita sehingga dalam membaca
teks berita tidak komunikatif, pengalaman
membaca dan kemampuan menguasai
pengetahuan yang berkaitan dengan
aspek-aspek kebahasaan kurang, misalnya
intonasi, volume suara, dan ekspresi. Selain
itu, perencanaan dan strategi pembelajaran
yang dipilih guru kurang melibatkan siswa
secara langsung dan kurang menyenangkan
karena bersifat monoton.

Guru masih terikat pada pola


pembelajaran tradisional dan monoton.
Kondisi seperti ini dapat menghambat
para siswa untuk aktif dan kreatif sehingga
menyebabkan rendahnya kualitas siswa.
Sistem pembelajaran dengan pendekatan
tradisional yang masih diterapkan guru
tidak mampu menciptakan anak didik
yang diidamkan, terutama untuk bidang
keterampilan membaca. Hal ini karena
guru mendominasi pembelajaran dengan
pendekatan tradisional sehingga keterlibatan
siswa kurang mendapat tempat. Guru lebih
banyak mendominasi sebagian besar
aktivitas proses belajar mengajar sehingga
para siswa cenderung pasif.
Fenomena
inilah
yang
peneliti
jumpai saat melaksanakan observasi
di kelas XI IPA 5 MAN 2 Madiun. Jika
keadaan tersebut terus berlanjut tanpa
ada solusi penanggulangannya secara
tepat, dikhawatirkan lama-kelamaan akan
menurunkan kemampuan dan kualitas siswa
dalam membaca. Padahal pembelajaran
membaca di Sekolah Menengah Pertama
merupakan salah satu bidang garapan
pembelajaran Bahasa Indonesia yang
memegang peranan penting. Maksudnya,
tanpa memiliki keterampilan membaca yang
memadai, siswa Sekolah Menengah Pertama
akan mengalami kesulitan di kemudian hari.
Bukan saja bagi pelajaran Bahasa Indonesia,
tetapi juga bagi pelajaran yang lain.
Kelemahan siswa kelas XI 5 MAN 2 Madiun
dalam membaca teks berita adalah volume
suara siswa yang terlalu rendah sehingga
sulit atau tidak terdengar oleh seluruh siswa
di dalam kelas. Selain itu, penjedaan siswa
juga masih kurang tepat.
Pemilihan strategi dan pendekatan
yang tepat dalam pembelajaran merupakan
hal yang harus betul-betul dipertimbangkan
oleh guru agar tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan dapat mencapai sasaran.
Pada kesempatan ini penulis menggunakan

strategi pemodelan dalam proses belajar


mengajar. Karena pemodelan adalah suatu
proses untuk memperoleh dan mendapatkan
informasi melalui permasalahan yang ada,
guru harus selalu merancang kegiatan yang
merujuk pada kegiatan menemukan.
Siswa MAN 2 Madiun, khususnya kelas
XI IPA5 diharapkan mempunyai kemampuan
untuk membaca menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, serta lancar
untuk membacakan teks berita kepada orang
lain. Hal ini sesuai dengan materi bicara yang
terdapat pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan pada Standar Kompetensi: siswa
mampu memahami wacana tulis dengan
membaca ekstensif, membaca intensif,
dan membaca nyaring dengan Kompetensi
Dasar: membaca teks berita dengan intonasi
yang tepat, artikulasi, dan volume suara yang
jelas, serta pengadaan kelompok.
Kenyataan yang ditemui di kelas XI
IPA 5 di MAN 2 Madiun, sebagian besar
siswanya pendiam dan pasif. Bila diberi
tugas untuk membacakan teks berita di
depan kelas dengan cara berlatih sendiri,
kemudian tampil dengan waktu kurang
lebih 5 menit, siswa masih sukar untuk
menyampaikannya dengan lancar, apalagi
dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Peneliti tertarik untuk
meningkatkan keaktifan siswa kelas XI IPA
5 MAN 2 Madiun dalam membacakan berita
melalui media surat kabar terbaru.
Siswa di MAN 2 Madiun terdiri dari 12
laki-laki dan 20 perempuan. Dari 32 siswa
kelas XI IPA 5, terdapat 20 siswa yang
bicaranya gugup, penjedaan berdasarkan
kelompok kata belum dipahami, banyak
yang mengalami demam panggung, serta
artikulasi kurang jelas saat membacakan
kata atau istilah dalam teks berita. Melalui
penelitian tindakan kelas ini, diharapkan
kemampuan membacakan teks berita siswa
kelas XI IPA 5 meningkat.

511

Rumusan masalah penelitian ini, yaitu


bagaimanakah peningkatan kemampuan
membacakan teks berita melalui media
surat kabar siswa kelas XI IPA 5 di MAN 2
Madiun? Adapun tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan kemampuan membacakan
teks berita melalui media surat kabar siswa
kelas XI IPA 5 di MAN 2 Madiun.
Membaca
merupakan
kegiatan/
keterampilan
berbahasa.
Menurut
Tampubolon (1987: 3), dalam pendidikan
bahasa, terdapat empat kemampuan pokok
yang yang harus dibina dan dikembangkan,
yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Dua kemampuan pertama terdapat
dalam komunikasi lisan dan dua terakhir
adalah komunikasi tulisan.
Membaca adalah salah satu dari empat
kemampuan bahasa pokok dan merupakan
satu bagian atau komponen dari komunikasi
tulisan. Tampubolon (1987: 7) menyatakan
bahwa kemampuan membaca adalah
ketepatan membaca dan pemahaman isi
secara keseluruhan. Kemampuan membaca
dapat ditingkatkan dengan penguasaan
teknik-teknik membaca esien.
Tujuan membaca secara umum,
yaitu mampu membaca dan memahami
teks pendek dengan cara lancar atau
bersuara beberapa kalimat sederhana dan
membaca puisi (Depdiknas, 2004: 15).
Menurut Kurikulum 1994, tujuan membaca,
antara lain: 1) mampu memahami gagasan
yang didengar secara langsung atau tidak
langsung; 2) mampu membaca teks bacaan
dan menyimpulkan isinya dengan kata-kata
sendiri; 3) mampu membaca teks bacaan
secara cepat dan mampu mencatat gagasangagasan utama.
Jadi, tujuan akhir membaca intinya
adalah
memahami
ide,
kemampuan
menangkap makna dalam bacaan secara
utuh, baik dalam bentuk teks bebas, narasi,
prosa ataupun puisi, yang disimpulkan
dalam suatu karya tulis ataupun tidak tertulis.

512

Secara umum, tujuan membaca, meliputi:


1) mendapatkan informasi; 2) memperoleh
pemahaman; 3) memperoleh kesenangan.
Sedangkan secara khusus, tujuan membaca
adalah 1) memperoleh informasi faktual;
2)
memperoleh
keterangan
tentang
sesuatu yang khusus dan problematis; 3)
memberikan penilaian kritis terhadap karya
tulis seseorang; 4) memperoleh kenikmatan
emosi; 5) mengisi waktu luang.
Lebih lanjut, Nurhadi (1987: 78),
yang mengutip pendapat Waples (1967)
menuliskan
bahwa
tujuan
membaca
adalah 1) mendapat alat atau cara praktis
mengatasi masalah; 2) mendapat hasil
yang berupa prestise, yaitu agar mendapat
rasa lebih bila dibandingkan dengan orang
lain dalam lingkungan pergaulannya; 3)
memperkuat nilai pribadi atau keyakinan;
4) mengganti pengalaman estetika yang
sudah usang; 5) menghindarkan diri dari
kesulitan, ketakutan, atau penyakit tertentu.
Hal menarik diungkapkan oleh Nurhadi
(1987) bahwa tujuan membaca akan
mempengaruhi pemerolehan pemahaman
bacaan. Artinya, semakin kuat tujuan seorang
dalam membaca, maka semakin tinggi pula
kemampuan orang itu dalam memahami
bacaannya.
Fungsi membaca, meliputi: 1) fungsi
intelektual: dengan banyak membaca, kita
dapat meningkatkan kadar intelektualitas
dan membina daya nalar kita. Contoh:
membaca buku-buku pelajaran, karya-karya
ilmiah, laporan penelitian, skripsi, tesis,
disertasi, dan sebagainya; 2) fungsi pemacu
kreativitas: hasil membaca kita dapat
mendorong, menggerakkan diri kita untuk
berkarya, didukung oleh keluasan wawasan
dan pemilihan kosakata. Contoh: buku ilmiah,
bacaan sastra, dan sebagainya; 3) fungsi
praktis: kegiatan membaca dilaksanakan
untuk memperoleh pengetahuan praktis
dalam kehidupan, misal: teknik memotret,
teknik memelihara ikan lele, resep membuat

minuman dan makanan, cara merawat


tanaman, dan sebagainya; 4) fungsi religius:
membaca dapat digunakan untuk membina
dan meningkatkan keimanan, memperluas
budi, dan mendekatkan diri kepada Tuhan;
5) fungsi informatif: dengan banyak
membaca bacaan, informasi lebih cepat
kita dapatkan. Contoh: dengan membaca
majalah dan koran, dapat kita peroleh
berbagai informasi yang sangat penting atau
kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari; 6)
fungsi rekreatif: membaca digunakan sebagai
upaya menghibur hati, mengadakan tamasya
yang mengasyikkan. Contoh: bacaan-bacaan
ringan, novel-novel, cerita humor, fariabel
karya sastra, dan sebagainya; 7) fungsi
sosial: kegiatan membaca mempunyai fungsi
sosial yang tinggi manakala dilaksanakan
secara lisan atau nyaring. Dengan demikian,
kegiatan membaca tersebut langsung dapat
dimanfaatkan oleh orang lain mengarahkan
sikap berucap, berbuat, dan berpikir.
Contoh: pembacaan berita, karya sastra,
pengumuman, dan sebagainya; 8) fungsi
pembunuh sepi: kegiatan membaca dapat
juga dilakukan untuk sekadar merintangrintang waktu, mengisi waktu luang. Contoh:
membaca majalah, surat kabar, dan
sebagainya (Amir, 1996: 5).
Berita adalah laporan tentang suatu
peristiwa atau kejadian. Menurut Mickhel V.
Charniey (Romli, 2009: 5) mengemukakan
bahwa berita adalah laporan tercepat
dari suatu peristiwa atau kejadian yang
faktual, penting, dan menarik bagi sebagian
pembaca, serta menyangkut kepentingan
mereka. Willard C. Bleyer (Romli, 2009: 35)
menyatakan berita adalah sesuatu yang
terkini (baru) yang dipilih oleh wartawan
untuk dimuat dalam surat kabar sehingga
menarik minat bagi pembaca.
Menurut Wiliam S. Maulsby (Romli,
2009: 35), berita adalah suatu penuturan
secara benar dan tidak memihak dari fakta
yang punya arti penting dan baru terjadi,

yang dapat menarik perhatian pembaca


surat kabar yang memuat hal tersebut.
Sedangkan Eric C. Hepwood (Romli, 2009:
35) mengemukakan bahwa berita adalah
laporan pertama dari kejadian penting dan
dapat menarik perhatian umum.
Dari pengertian di atas, ada empat
unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah
peristiwa, sehingga layak menjadi sebuah
berita.
Unsur-unsur
tersebut
adalah
unsur berita. Dalam proses pembelajaran
memahami sebuah berita, tentunya kita harus
memahami unsur-unsur yang terdapat dalam
sebuah berita. Adapun unsur-unsur berita,
terdiri atas what (apa), who (siapa), where
(dimana), when (kapan), why (mengapa),
dan how (bagaimana).
Menurut Sumadiria (2008: 69 - 71),
ada tiga jenis berita dalam ativitas jurnalistik.
Pertama, berita elementary, meliputi: a)
straight news report, yaitu laporan langsung
mengenai suatu peristiwa. Misalnya, sebuah
pidato biasanya merupakan berita-berita
langsung yang hanya menyjikan apa yang
terjadi dalam waktu singkat; b) depth news
report, reporter (wartawan) menghimpun
informasi dengan fakta-fakta mengenai
peristiwa itu sendiri sebagai informasi
tambahan untuk peristiwa tersebut. Dalam
sebuah pidato pemilihan calon presiden,
reporter akan memasukkan pidato itu sendiri
dan dibandingkan dengan pernyataanpernyataan yang telah dikeluarkan oleh
calon presiden tersebut beberapa waktu lalu;
c) comprehensive news, merupakan laporan
tentang fakta yang bersifat menyeluruh
ditinjau dari berbagai aspek.
Kedua, berita intermediate, meliputi:
a) interpretative report, lebih dari sekadar
straight news dan depth news. Berita
interpretative
biasanya
memfokuskan
sebuah isu, masalah, atau peristiwaperistiwa kontroversial. Namun demikian,
fokus laporan beritanya masih berbicara
mengenai fakta yang terbukti, bukan opini;

513

b) feature story. Penulis mencari fakta untuk


menarik perhatian pembacanya. Penulis
feature menyajikan suatu pengalaman
pembaca yang lebih bergantung pada gaya
penulisan dan humor daripada pentingnya
informasi yang disajikan.
Ketiga, berita advance, meliputi: a)
depth reporting adalah pelaporan jurnalistik
yang bersifat mendalam, tajam, lengkap, dan
utuh tentang suatu peristiwa fenomenal atau
aktual; b) investigative reporting, berisikan
hal-hal yang tidak jauh berbeda dengan
laporan interpretatif. Berita jenis ini biasanya
memusatkan pada sejumlah masalah dan
kontroversi. Namun demikian, dalam laporan
investigatif, para wartawan melakukan
penyelidikan untuk memperoleh fakta yang
tersembunyi demi tujuan. Pelaksanaannya
sering ilegal atau tidak etis; c) editorial
writing adalah penyajian fakta dan opini yang
menafsirkan berita-berita yang penting dan
memengaruhi pendapat umum.
Unsur-unsur dalam pembuatan berita,
meliputi: 1) unsur aktual: mengandung
unsur terkini, terbaru, terhangat, baru saja
atau sedang terjadi. Pengertian terbaru bisa
merupakan fakta terbaru yang ditemukan
dari suatu peristiwa lama atau peristiwa
yang baru saja terjadi; 2) unsur faktual:
dalam unsur faktual, kejadian benar-benar
merupakan suatu kenyataan, bukan suatu
rekayasa, khayalan atau karangan. Fakta
dalam sebuah berita muncul dan diperoleh
dari sebuah kejadian nyata, pendapat,
ataupun pernyataan;
3) unsur penting: ada dua hal dalam
berita dinilai penting. Pertama, tokoh yang
terlibat dalam pemberitaan adalah tokoh
penting atau memiliki kapasitas yang telah
diakui oleh masyarakat. Kedua, materi berita
menyangkut kepentingan orang banyak dan
mempengaruhi kondisi masyarakat; 4) unsur
menarik: menimbulkan rasa ingin tahu dan
ketertarikan dari masyarakat untuk menyimak
isi berita tersebut. Peristiwa yang menarik

514

dan diminati oleh masyarakat biasanya


bersifat menghibur, aneh, memiliki unsur
kedekatan, mengandung nilai kemanusiaan,
mengandung unsur seks, kriminalitas, dan
konik.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
dalam membaca berita adalah sebagai
berikut. Pertama, lafal: Lafal adalah suatu cara
seseorang atau sekelompok orang dalam
mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa
Indonesia, meliputi vokal, konsonan, diftong,
gabungan konsonan. Kedua, tekanan/nada,
yaitu tinggi rendahnya pengucapan suatu
kata. Dalam hal ini, nada berfungsi untuk
memberi tekanan khusus pada kata-kata
tertentu. Ketiga, intonasi, yaitu naik turunnya
lagu kalimat. Intonasi berfungsi sebagai
pembentuk makna kalimat. Keempat, jeda,
yaitu perhentian lagu kalimat. Jeda terbagi
ke dalam 3 jenis, yaitu jeda panjang ( . )
titik jeda sedang ( , ) koma jeda pendek
( _ ) spasi. Kelima, volume suara adalah
takaran perlahan atau kerasnya suara yang
dikeluarkan. Keenam,, tempo adalah lambat
atau cepatnya pembacaan sebuah berita.
Surat kabar sebagai bacaan yang
paling umum dalam masyarakat, terutama
masyarakat modern mengandung berbagai
informasi yang diperlukan oleh para pembaca.
Secara umum, isi utama surat kabar dapat
dibagi atas jenis-jenis pokok berikut, yaitu
berita, opini, iklan, pembentukan, dan diksi
(Tampubolon, 1987 :8).
Mendesinikan berita dengan tepat
tidaklah mudah, walaupun bagian terbesar
dari isi surat kabar umumnya adalah berita.
Namun demikian, secara umum dapat
dikatakan bahwa berita ialah laporan yang
benar dan pada waktunya tentang suatu
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
tentang suatu pendapat atau pikiran baru
atau tentang apa saja yang merupakan fakta
dan yang menarik, serta perlu bagi pembaca
umumnya. Ciri-ciri berita adalah faktual
(berupa kenyataan-kenyataan sebenarnya),

objektif (tidak bercampur dengan pendangan


pelapor sendiri) menarik, dan perlu atau
berguna bagi umum, mengandung pokokpokok berita 5W, yaitu what (apa), who
(siapa), when (kapan), where (dimana), why
(mengapa) dan 1H, yaitu how (bagaimana).
Membaca teks berita berarti melakukan
kegiatan untuk mendapatkan informasi yang
berorientasi bagi diri kita. Membacakan
teks berita adalah membacakan teks
mengenai sebuah berita pada orang lain
atau pendengar. Membaca yang terampil
tidak akan membacakan teks kata demi
kata, tetapi dia akan membaca berdasarkan
kelompok-kelompok kata yang mengandung
satuan-satuan pengertian yang berupa ideide atau konsep-konsep.
Dalam membacakan teks berita, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan guna
mencapai hasil dan manfaat yang maksimal.
Artinya, pendengar dapat memahami isi
berita yang disampaikan tanpa adanya
kesalahan tafsir dan kesulitan lain. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan oleh pembaca
berita, antara lain: 1) pemahaman terhadap
berita yang akan disampaikan. Dalam hal
ini, sebelum membacakan berita untuk
orang lain, pembaca berita harus memahami
benar isi berita yang akan dibacakan; 2)
mengumpulkan isi berita secara utuh; 3)
penggunaan volume suara yang dapat
menjangkau seluruh audiens atau pendengar;
4) penerapan intonasi dan artikulasi
yang tepat dalam membacakan kalimatkalimat berita sehingga tidak menimbulkan
kesalahan penafsiran; 5) memberikan
penjedaan yang tepat antarkalimat sesuai
dengan pengelompokan kata; 6) membuka
penekanan pada hal-hal yang penting dalam
berita.
Pada penelitian ini bahasa lisan yang
digunakan adalah ragam bahasa resmi atau
ragam bahasa baku. Dalam membacakan
teks berita, sitiasi antara pembaca dan
pendengar adalah resmi sehingga bahasa

yang digunakan adalah bahasa baku.


Untuk menjadi pembicara berita yang baik,
di samping harus menguasai masalah, kita
juga harus memperhatikan kegairahan dan
keberanian. Keberanian merupakan hal
yang sangat mendasar. Tanpa keberanian
atau
keberanian
setengah-setengah
akan mengakibatkan kekacauan dalam
membacakan teks berita.
Di samping itu, pembaca berita harus
mempunyai penampilan yang meyakinkan
sehingga pendengar percaya dan terkesan.
Hal ini akan membantu kita mempertebal
rasa percaya diri. Oleh sebab itu, sebagai
seorang pembicara kita harus berusaha
berpenampilan meyakinkan. Penampilan
yang meyakinkan, meliputi penampilan lahir
dan penampilan batin. Penampilan lahir
dan batin ini, meliputi pancaran suasana
batin pada suara, wajah, dan gerak-gerik,
serta pancaran lahir dari busana, aksesoris,
dan rias wajah. Dalam suasana khidmat
saat membacakan teks berita, kita harus
berpenampilan teduh dan berwibawa.
Kemampuan
membacakan
teks
berita siswa pada umumnya masih
belum memenuhi harapan guru. Hal ini
disebabkan oleh penerapan pembelajaran
yang kurang menarik atau pembelajaran
yang dilaksanakan secara konvensional,
misalnya anak ditugasi di depan kelas. Hasil
yang didapat kurang maksimal, siswa sukar
memberi jeda kalimat-kalimat berdasarkan
kelompok kata saat membacakan teks
berita, intonasi yang kurang tepat, artikulasi
dan volume suara yang kurang jelas.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan
pembelajaran yang jitu agar kemampuan
membaca siswa berhasil secara maksimal.
Pembelajaran yang diinginkan untuk
menghidupkan kelas saat membacakan teks
berita adalah penggunaan media surat kabar
terbaru yang sedang hangat dibicarakan dan
sesuai dengan jiwa remaja siswa.

515

Langkah-langkah pembelajaran dalam


penelitian membacakan teks berita ini
sebagai berikut. 1) Siswa dimotivasi dengan
materi membaca teks berita dan kaitannya
dengan kebutuhan hidupnya sehari-hari; 2)
guru membentuk kelompok kerja; 3) kerja
kelompok pembelajaran tampak dengan
adanya diskusi antarteman dalam kelompok;
4) menggunakan model, yaitu temannya
sendiri sebagai contoh dalam pembelajaran;
5) memberikan saran kepada teman; 6) guru
memotivasi kelompok yang belum bekerja
secara maksimal.

penilaian. Bila tiba gilirannya, banyak yang


memilih tampil terakhir. Komentar-komentar
yang diungkapkan siswa lain saat salah satu
temannya membacakan teks berita juga
berpengaruh terhadap mental siswa yang
bersangkutan. Dari pengamatan awal ini,
selanjutnya dilakukan reeksi dari berbagai
sudut, di antaranya pengaruh guru, metode
pembelajaran, dan perilaku siswa.
Berdasarkan hasil reeksi tersebut
dapat disimpulkan bahwa kemampuan
membacakan teks berita dengan intonasi
yang tepat serta artikulasi dan volume suara
yang jelas di kelas XI IPA5 masih kurang.

METODE PENELITIAN
Kelas yang akan diteliti adalah kelas
XI IPA 5 MAN 2 Madiun. Peneliti memilih
kelas ini karena sebagian besar siswanya
pendiam dan agak pasif sehingga penulis
ingin mengubah sikap dari pendiam dan pasif
menjadi agresif, pemberani, dan aktif. Kelas
tersebut terdapat 32 siswa, yang terdiri dari
12 orang laki-laki dan 20 orang perempuan
dengan latar belakang ekonomi dan sosial
yang berbeda-beda.
Sebelum penelitian dilaksanakan,
selain menyiapkan pengajaran, seperti
silabus
dan
rencana
pelaksanaan
pembelajaran, peneliti juga mempersiapkan
instrumen yang diperlukan dalam penelitian
tindakan kelas ini, di antaranya lembar
observasi, lembar penilaian kegiatan siswa,
dan lembar eldnote.
Reeksi awal dilakukan
degan
mengadakan pengamatan pendahuluan
yang digunakan untuk menetapkan dan
merumuskan rencana tindakan. Berdasarkan
hasil pengamatan awal ditemukan indikatorindikator, yaitu suasana kelas tidak
menggairahkan dan kurang menyenangkan
karena dicekam oleh tugas yang dirasa
membebani siswa. Sebagian besar siswa
tampak demam panggung karena takut kurang
tepat saat membacakan teks berita, apalagi
membacakan di depan kelas dan diberikan

516

1. Perencanaan
Rencana-rencana
tindakan
yang
akan peneliti lakukan saat pembelajaran
membacakan teks berita sebagai berikut.
a) Mempersiapkan perangkat pembelajran;
b) menjelaskan kegiatan kepada siswa; c)
mengelompokkan siswa per bangku dalam
beberapa kelompok; d) satu kelompok dua
anggota untuk berlatih membacakan teks
berita sambil memperhatikan informasi yang
tepat, artikulasi, dan volume suara yang
jelas; f) membagikan lembaran berisi kutipan
teks berita terhangat pada masing-masing
anggota kelompok; g) agar ada tanggung
jawab dari kelompok, maka setiap kelompok
diberi lembar kerja siswa yang isinya
mengevaluasi teman yang membacakan
teks berita dengan format penilaian yang
dibagikan; h) masing-masing anggota
kelompok berlatih membacakan teks berita
sambil memperhatikan intonasi yang tepat,
artikulasi, dan volume suara yang jelas; i)
siswa secara bergiliran dan acak dipanggil
oleh guru untuk membacakan teks berita di
depan kelas; j) siswa lain memberi komentar
terhadap penampilan siswa yang ditunjuk
membacakan teks berita di depan kelas; k)
mempersiapkan lembar eldnote (untuk guru
peneliti); l) mempersiapkan format penilaian
yang akan digunakan untuk menilai setiap

siswa yang tampil yang selanjutnya untuk


mengukur kemampuan membacakan teks
berita. Fokus penilaian menggunakan teks
perbuatan (persentasi di depan kelas)
dengan kriteria ketepatan intonasi, kejelasan
artikulasi, dan volume suara.
2. Tindakan
3. Pelaksanaan
Penelitian
dilaksanakan
saat
pembelajaran
berlangsung
di
dalam
kelas. Penelitian pertama dilakukan pada
saat latihan membacakan teks berita
yang dilakukan siswa dengan anggota
kelompoknya. Penelitian kedua dilaksanakan
pada saat masing-masing siswa secara
giliran dan acak mempresentasikan di depan
kelas dengan persediaan waktu kurang lebih
5 menit.
4. Pengamatan
Pengamatan
dari
kegiatan
pembelajaran membacakan teks berita
dengan cara mengevaluasi semua data mulai
dari lembar observasi, lembar eldnote, dan
daftar penilaian individu.
5. Reeksi
Dari
tahap
pelaksanaan
dan
pengamatan, didapatkan bebarapa hasil
yang akan menunjukan siapa yang bagus,
siapa yang mampu, cukup mampu, kurang
mampu, dan tidak mampu dalam kegiatan
membacakan teks berita berdasarkan
penjedaan kelompok kata, intonasi yang
tepat, artikulasi dari volume suara yang jelas.
Dari hasil pengamatan, dicari kelemahankelemahan yang menyebabkan kurang
optimal sekaligus untuk meningkatkan hasil
dari siklus pertama.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan
melalui penilaian individu yang dilaksanakan
setelah kegiatan pembelajaran membacakan
teks berita berlangsung dengan cara tampil
di depan kelas. Aspek yang dinilai saat

membacakan teks berita adalah penjedaan


kelompok kata, ketepatan intonasi, kejelasan
artikulasi dari volume suara. Tes dilakukan
peneliti saat siswa satu per satu dipanggil
secara acak untuk membacakan teks berita di
depan kelas, kemudian guru dan siswa yang
lain memberikan penilaian dan komentar
terhadap ketepatan intonasi, kejelasan
artikulasi dari volume suaranya.
Data yang diambil untuk mengikuti
eldnote adalah kejadian-kejadian yang
diamati selama KBM berlangsung, pengisian
dikerjakan oleh peneliti. Selanjutnya,
wawancara dilakukan secara implisit
kepada siswa yang nilainya kurang dengan
cara menanyakan kesulitan-kesulitan saat
membacakan teks berita di depan kelas.
Data hasil observasi peneliti kemudian
dirangkum. Data ini dipakai untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam pembelajaran
membacakan teks berita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
dengan subjek siswa kelas XI IPA 5 dan
dilaksanakan di MAN 2 Madiun. Penelitian ini
dilaksanakan dalam waktu 8 minggu, yaitu
bulan Januari 2015 sampai dengan akhir
Februari 2015.
Reeksi awal dilaksanakan dengan
melakukan
pengamatan
pendahuluan
untuk mengetahui kondisi awal saat guru
melaksanakan kegiatan belajar mengajar di
kelas. Hasil analisis reeksi awal digunakan
untuk menetapkan dan merumuskan
rencana tindakan, yaitu menyusun strategi
awal pembelajaran.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
pendahuluan, ditemukan kegiatan belajar
mengajar yaitu suasana kelas tidak
menggairahkan dan kurang menyenangkan
karena dicekam oleh tugas yang dirasa
membebani siswa. Sebagian besar siswa
tampak demam panggung karena takut

517

membacakan teks berita di depan kelas,


malu diperhatikan oleh seluruh siswa, dan
diberikan penilaian oleh guru. Bila tiba
gilirannya, banyak yang memilih tampil
terakhir.
Dari pengamatan awal ini, selanjutnya
dilakukan reeksi dari berbagai sudut,
di antaranya pengaruh guru, metode
pembelajaran,
dan
perilaku
siswa.
Berdasarkan
hasil
reeksi
tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kemampuan
membacakan teks berita melalui media surat
kabar kelas XI IPA 5 masih kurang, khususnya
ketepatan intonasi dan penjedaan kelompok
kalimat, kejelasan artikulasi, dan volume
suara.
1. Siklus 1
Langkah-langkah telah dipersiapkan
untuk mendukung pelaksanaan penelitian
dalam upaya meningkatkan kemampuan
membacakan dengan teks berita melalui
media surat kabar. Pada siklus ini disediakan
waktu 4x45 menit (2 x pertemuan) dengan
kegiatan, antara lain 1) menyusun dan
mempersiapkan instrumen pembelajaran
berupa RPP dengan media surat kabar; 2)
menetapkan jadwal pelaksanaan penelitian;
3) menentukan 16 kelompok, satu kelompok
terdiri atas 1 - 2 siswa; 4) mempersiapkan
format penilaian, lembar observasi, daftar
nama, dan eldnote.
a. Pelaksanaan Tindakan
1) Guru
menjelaskan
rencana
kegiatan saat itu dan melatih
siswa untuk lancar membaca
dengan bahan latihan, yaitu
membacakan teks berita melalui
media surat kabar dengan
intonasi yang tepat, artikulsi, dan
volume suara yang jelas, serta
penjedaan kelompok kata. Guru
membentuk 16 kelompok, satu
kelompok terdiri dari 1 - 2 siswa.
2) Guru menugasi masing-masing
kelompok untuk berlatih intern

518

3)

4)

5)

6)

dengan kelompoknya secara


bergantian.
Peneliti
mengamati
proses
kegiatan
belajar
mengajar.
Peneliti sebagai fasilitator dan
motivator pada saat diperlukan
kelompok diskusi.
Guru menugasi siswa secara
individu untuk presentasi di
depan kelas dan menugasi siswa
lain untuk memberi komentar.
Masing-masing
kelompok
meneliti,
mencatat
temuantemuan yang kurang sesuai
dengan 4 hal yang dinilai.
Siswa dan guru mengadakan
penguatan, yaitu membetulkan
diantara 4 hal yang kurang tepat.

b. Observasi
Berdasarkan data pengamatan
(observasi)
setelah
diberikan
tindakan I pada siklus I, peneliti dapat
mengungkapkan perubahan-perubahan
yang terjadi pada siswa, di antaranya
1) dengan sharing antarsiswa dalam
kelompok, siswa dapat berlatih dan
berani mengemukakan idenya sehingga
mengurangi rasa demam panggung;
2) suasana kelas menjadi hidup dan
meyenangkan; 3) dengan bekerja sama
dalam kelompok, siswa bisa menemukan
kesalahan dalam intonasi, artikulsi, dan
volume suara; 4) sebagian siswa berani
memberi masukan kepada temannya
di dalam kelompoknya dan diharapkan
nantinya bisa tampil lebih bagus; 5) pada
waktu tampil ternyata masing-masing
siswa lebih percaya diri dan siap. Pada
umumnya siswa dapat membacakan
teks berita melalui media surat kabar
dengan lancar.
Ternyata untuk melatih siswa
lancar dan tepat membacakan teks
berita dapat dilakukan melalui media
surat kabar terbaru dan diskusi dengan

siswa lain. Pembelajaran ini dapat


memberi dampak untuk meningkatkan
kemampuan membacakan teks berita.
Dari 32 siswa, terdapat 18 siswa
(56,25%) kurang mampu membacakan
teks berita, 8 siswa (25%) cukup mampu,
dan 6 siswa (18,75) sangat mampu
membacakan teks berita melalui media
surat kabar. Namun, hasil tersebut masih
belum memenuhi harapan peneliti untuk
mencapai target yang diinginkan.
2. Siklus 2
Berdasarkan hasil reeksi pada siklus
I, diketahui bahwa masih terdapat indikator
yng memerlukan perbaikan padahal tindakan
yang dilakukan sudah sesuai dengan
rencana tindakan yang disusun. Hal ini
berarti perlu adanya revisi tindakan I dalam
pelaksanaan pembelajaran kemampuan
membacakan teks berita melalui media surat
kabar, antara lain a) guru menyusun dan
mempersiapkan instrumen pembelajaran,
yaitu rencana pembelajaran menggunakan
media surat kabar terbaru dengan tema yang
sesuai dengan psikologi siswa; b) tahap
pendahuluan, guru menambah wawasan
tentang membacakan teks berita melalui
media surat kabar melaui revisi dari contohcontoh yang ditemukan dari hasil temuan
pada siklus I; c) guru menginformasikan
bahwa bahan teks berita pada siklus II harus
yang belum dibacakan pada siklus I.
Berdasarkan data pengamatan
(observasi) setelah diberikan tindakan I pada
siklus II, peneliti dapat mengungkapkan
perubahan-perubahan yang terjadi pada
siswa, di antaranya a) dengan sharing
antarsiswa dalam kelompok, siswa dapat
berlatih
dan
berani
mengemukakan
idenya sehingga mengurangi rasa demam
panggung; b) suasana kelas menjadi hidup
dan meyenangkan; c) dengan bekerja sama
dalam kelompok, siswa bisa menemukan
kesalahan dalam intonasi, artikulsi, dan

volume suara; d) sebagian siswa berani


memberi masukan kepada temannya di
dalam kelompoknya dan diharapkan nantinya
bisa tampil lebih bagus; e) pada waktu tampil
ternyata masing-masing siswa lebih percaya
diri dan siap. Pada umumnya siswa dapat
membacakan teks berita melalui media surat
kabar dengan lancar.
Ternyata untuk melatih siswa lancar
dan tepat membacakan teks berita dapat
dilakukan melalui media surat kabar
terbaru dan diskusi dengan siswa lain.
Pembelajaran ini dapat meningkatkan
kemampuan membacakan teks berita. Dari
32 siswa, terdapat 4 siswa (12,5%) kurang
mampu membacakan teks berita, 8 siswa
(25%) cukup mampu, dan 20 siswa (62,5%)
sangat mampu membacakan teks berita
melalui media surat kabar. Dari hasil data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
siklus II sudah banyak siswa yang memenuhi
harapan peneliti untuk mencapai target yang
diinginkan.
PENUTUP
Penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas dengan dua siklus. Hasil penelitian
diperoleh
dari
proses
pembelajaran
kemampuan membacakan teks berita
melalui media surat kabar. Pada siklus I
dari 32 siswa, terdapat 18 siswa (56,25%)
kurang mampu membacakan teks berita,
8 siswa (25%) cukup mampu, dan 6 siswa
(18,75) sangat mampu membacakan teks
berita melalui media surat kabar. Pada siklus
II dari 32 siswa, terdapat 4 siswa (12,5%)
kurang mampu membacakan teks berita, 8
siswa (25%) cukup mampu; dan 20 siswa
(62,5%) sangat mampu membacakan teks
berita melalui media surat kabar. Jadi, media
surat kabar terbaru dan diskusi dengan
siswa lain dapat meningkatkan kemampuan
membacakan teks berita.
Adapun saran yang dapat peneliti
berikan sebagai berikut. Pertama, kepada

519

guru mata pelajaran, pada saat pembelajaran


kemampuan membacakan teks berita melalui
media surat kabar, guru harus memperhatikan
kelompok dan tema berita pada surat kabar.
Masing-masing
kelompok
diupayakan
seimbang agar bisa melaksanakan kegiatan
secara maksimal. Selain itu, tema teks
berita yang sesuai dengan psikologi remaja

siswa akan berdampak meningkatkan minat


dan ketertarikan pada informasi teks berita
tersebut. Kedua, peneliti berikutnya dapat
melakukan penelitian tentang pembelajaran
membacakan teks berita melalui media surat
kabar terbaru dan sesuai dengan psikologi
siswa yang dapat meningkatkan kemampuan
membaca.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2004. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru.
Romli, Asep Syamsul M.. 2009. Bahasa Media: Panduan Praktis Bahasa Jurnalistik. Bandung:
Baticpress.
Sumadiria, A. S. Haris. 2008. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita. Tk: Simbiosa Rekatama
Pustaka
Tampubolon, D. P.. 1987. Kemampuan Membaca dan Teknik Membaca Efektif dan Esien.
Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa
Yusuf, Amir Abadi. 1996. Auditing Pendekatan Terpadu. Jakarta: Salemba Empat.

520

PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA MELALUI


METODE COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION
PADA SISWA KELAS VIII MTS NEGERI SIANTAN
TAHUN PELAJARAN 2010/2011

Mesterianti Hartati
ABSTRACT
This research is motivated by the low of percentage of students learning completeness
particularly in aspects of reading. Whereas on daily examination and the nal exam reading
skills are needed. Therefore, the researcher offer a new method that has never been applied
in schools. That method is Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRD) that can
improve student achievement. Based on the background problems that have been described
previously, the researcher conducted a study of the method with a focus on the problems
of planning, implementation, and results of study use Cooperative Integrated Reading and
Composition method for class VIII MTs Siantan academic year 2010/2011. Based on data
analysis, we can conclude that reading skill of students increase in each cycle. The average
score in rst cycle is 65.7 with a 72% percentage of completeness. The second cycle of the
average value of students increased to 70.5 by the percentage of completeness 83% of eighth
grade students C.
Keywords: reading, Cooperative Integrated Reading and Composition

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya persentase siswa ketuntasan belajar terutama
dalam aspek membaca. Sedangkan pada pemeriksaan harian dan ujian akhir kemampuan
membaca diperlukan. Oleh karena itu, peneliti menawarkan metode baru yang belum pernah
diterapkan di sekolah-sekolah. Metode Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRD) yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti melakukan studi terhadap metode dengan fokus
pada masalah perencanaan, pelaksanaan, dan hasil penelitian menggunakan Cooperative
Integrated Reading and Composition untuk tahun akademik kelas VIII MTs Siantan 2010 / 2011.
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca siswa meningkat
pada setiap siklus. Skor rata-rata pada siklus pertama adalah 65,7 dengan persentase 72% dari
kelengkapan. Siklus kedua nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 70,5 dengan persentase
ketuntasan 83% dari siswa kelas delapan C.
Kata kunci: membaca, Cooperative Integrated Reading and Composition

PENDAHULUAN
Peranan membaca tidak dapat
diabaikan
dalam
dunia
pendidikan.
Pengajaran membaca yang disajikan oleh
guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia kepada para siswa bertujuan
agar siswa mampu memahami pesanpesan komunikasi yang disampaikan melalui
media tulisan dengan cermat, tepat, dan
cepat serta kritis dan kreatif. Di MTs Negeri

Siantan, aspek keterampilan yang sulit bagi


siswa adalah keterampilan membaca. Hal
ini dapat dilihat melalui nilai siswa kelas VIII
C, yakni dengan standar ketuntasan 62,00
siswa yang tuntas hanya 58%, disusul oleh
kelas VIII B dengan ketuntasan 60%, kelas
VIII C 62%, dan kelas VIII A 68%.
Kenyataan di sekolah menunjukan
bahwa siswa mengalami kesulitan dalam
mencari ide pokok, kalimat utama, dan

521

kalimat penjelas dari media tulis. Padahal


hal tersebut merupakan aspek yang sering
muncul di dalam soal ujian yang sebagian
besar menuntut keterampilan membaca
siswa. Karena itu, perlu adanya tindak lanjut
untuk mengatasi permasalahan ini mengingat
keterampilan membaca merupakan realisasi
dari tujuan pengajaran Bahasa Indonesia
dalam meningkatkan kemampuan intelek
siswa. Agar tujuan tersebut tercapai, maka
guru diharapkan dapat memilih metode
yang tepat untuk mendukung kegiatan
pembelajaran.
Khusus dalam keterampilan membaca,
terdapat suatu metode, yakni metode
Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) yang dikembangkan
oleh Stevan-Slavin, 1995. CIRC merupakan
metode pembelajaran yang mempermudah
dalam memahami isi dari suatu bacaan.
Metode ini dapat dijadikan alternatif untuk
memperbaiki berbagai masalah yang
dihadapi dalam pembelajaran, khususnya
dalam pembelajaran membaca. CIRC
juga merupakan metode khusus guna
meningkatkan
keterampilan
membaca
melalui kerja sama antartim. Metode ini
menjadikan kegiatan membaca menjadi
lebih menyenangkan karena metode ini
mengajak para siswa untuk membaca dan
bekerja sama dalam suatu diskusi guna
membahas bahan bacaan tersebut sehingga
siswa menjadi lebih aktif.
Dari
beberapa
masalah
yang
diungkapkan sebelumnya, penulis memilih
judul penelitian Peningkatan Keterampilan
Membaca melalui Metode Cooperative
Integrated Reading and Composition
pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Siantan
Tahun Pelajaran 2010/2011 karena alasan
yang dirincikan sebagai berikut. Pertama,
kemampuan membaca penting bagi setiap
siswa dalam memahami seluruh materi
pelajaran
yang
dibacanya,
sehingga
komponen-komponen yang tersirat dalam

522

bacaan dapat terserap dengan sempurna.


Kedua, judul tersebut berhubungan dengan
kompetensi dasar pembelajaran Bahasa
Indonesia di kelas VIII C semester 2, yaitu
menemukan masalah utama dari beberapa
berita yang bertopik sama melalui membaca
ekstensif. Pada pelajaran ini siswa sering
mengalami kesulitan dalam pemahaman
masalah utama berita sehingga untuk
mencapai ketuntasan dinilai sangat sulit.
Ketiga, tingkat kemampuan siswa kelas
VIII C dalam memahami isi bacaan dinilai
masih cukup rendah dibandingkan kelas VIII
lainnya di sekolah tersebut. Berdasarkan
SKM 62,00, siswa yang tuntas dalam aspek
membaca hanya 58%. Siswa banyak yang
kebingungan dalam menemukan masalah
utama berita ataupun ide pokok dari suatu
wacana. Hal ini karena motivasi mereka
dalam membaca sangat kurang. Adanya
metode CIRC yang mengedepan model
pembelajaran berkerja sama antartim
diharapkan dapat menjadikan siswa lebih
bersemangat dan aktif dalam belajar.
Keempat, kelas VIII C memiliki siswa yang
heterogen, dan lebih cenderung hiperaktif
di luar pelajaran. Selain itu, di kelas ini juga
masih terdapat siswa yang belum lancar
dalam membaca.
Kelima, dipilihnya sekolah MTs
Negeri Siantan sebagai lokasi penelitian
dikarena tempat tersebut posisinya berada
di pinggiran kota dan merupakan daerah
transisi. Maksud dari transisi di sini adalah
lokasinya yang berada di antara daerah
yang sudah maju dengan daerah yang masih
berkembang. Lokasi tersebut sebelumnya
tidak pernah dilakukan penelitian serupa
sehingga metode CIRC dianggap sebagai
inovasi bagi model pembelajaran di sekolah
ini. Keenam, metode CIRC mengutamakan
keaktifan belajar siswa. Metode ini menuntut
siswa untuk dapat menuangkan ide pemikiran
mereka.

Berdasarkan alasan di atas, peneliti


bersepakat dengan pihak sekolah yang diwakili
oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia
Ibu Rusmi Susila, S.Pd. untuk bekerja sama
dalam memperbaiki permasalahan ini dengan
mengadakan tindakan melalui Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Penelitian tindakan
ini difokuskan pembahasannya kepada
perencanaan, pelaksanaan, dan hasil dari
pembelajaran membaca yang menggunakan
metode Cooperative Integrated Reading
and Composition. Untuk mendukung
penyelesaian fokus penelitian ini, peneliti
memerlukan teori-teori berkenaan dengan
PTK, keberhasilan belajar mengajar, metode
pembelajaran
Cooperative
Integrated
Reading and Composition, membaca
ekstensif, dan berita.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk
membenahi permasalahan-permasalahan
yang terjadi di dalam kelas. Berdasarkan
hal tersebut, penelitian tindakan kelas
merupakan upaya yang dapat dilakukan
seorang guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. PTK adalah bentuk penelitian
yang dilakukan secara kolaboratif dan
partisipasif. Dari pendapat tersebut, dapat
diketahui bahwa PTK merupakan penelitian
yang dilakukan di kelas oleh guru dan dibantu
oleh pihak lain atau berkolaborasi dengan
pihak-pihak yang berminat/berkepentingan
yang sama dalam hal penelitian.
Umumnya,
tujuan
diadakannya
PTK adalah untuk mencapai keberhasilan
dalam pembelajaran.
Proses belajar
mengajar dikatakan berhasil jika Tujuan
Instruksional Khusus (TIK) dapat tercapai.
Untuk mengetahui tercapai atau tidaknya
TIK, guru perlu mengadakan tes formatif
untuk mengetahui sejauh mana siswa telah
menguasai (TIK). Fungsi dari penilaian
adalah untuk memberikan umpan balik
kepada guru dalam rangka memperbaiki
proses belajar mengajar dan melaksanakan

program remedial bagi siswa yang belum


berhasil.
Keberhasilan dalam pembelajaran
menjadi tolok ukur dalam PTK. Pada
dasarnya, PTK dilakukan karena kurang
berhasilnya pembelajaran, yang dapat dilihat
dari rendahnya nilai siswa dan kurangnya
keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
Untuk
mengatasi
permasalahan
ini,
diperlukan suatu metode pembelajaran
yang cocok diterapkan dengan materi yang
akan diajarkan. Satu di antara dari sekian
banyak metode yang dimaksud adalah
metode Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC).
Cooperative
Integrated
Reading
and
Composition
merupakan
suatu
model pembelajaran kooperatif yang
mengintegrasikan suatu bacaan secara
menyeluruh kemudian mengomposisikannya
menjadi bagian-bagian yang penting.
Adapun langkah-langkah pembelajaran yang
menerapkan metode ini menurut Suprijono
(2009: 130) sebagai berikut. Pertama,
membentuk kelompok yang anggotanya
4 orang siswa secara heterogen. Kedua,
memberikan wacana/kliping sesuai dengan
topik pembelajaran. Ketiga, siswa bekerja
sama saling membaca dan menemukan ide
pokok dan memberi tanggapan terhadap
wacana/kliping dan ditulis pada lembar
kertas.
Keempat,
mempresentasikan/
membacakan hasil kelompok. Kelima, guru
dan siswa membuat kesimpulan bersama.
Keenam, penutup.
Setiap metode membelajaran terdapat
keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Khusus metode CIRC, keunggulan yang
dapat kita peroleh dari metode ini sebagai
berikut. Pertama, siswa dapat saling
berinteraksi dalam pembelajaran. Kedua,
siswa menjadi bersemangat karena mereka
belajar bersama-sama. Ketiga, melatih siswa
untuk dapat berkomunikasi dalam proses
pembelajaran. Keempat, meningkatkan cara

523

berpikir siswa, baik secara individu maupun


kelompok. Kelima, siswa dapat bertukar
pikiran sehingga dapat menambah wawasan
mereka.Sedangkan kelemahan dari metode
ini sebagai berikut. Pertama, guru mengalami
lebih banyak kesulitan dalam membimbing
siswa. Kedua, jika prosesnya tidak berjalan
sempurna, dikhawatirkan akan menimbulkan
kekacauan dalam suasana kelas. Ketiga,
dikhawatirkan adanya siswa yang tidak
mau aktif sehingga menjadi beban dalam
kelompoknya

bacaan. Membaca ekstensif juga disebut


sebagai teknik membaca cepat. Menurut
Tarigan (1993: 31), membaca ekstensif
berarti membaca secara luas. Objeknya
meliputi sebanyak mungkin teks dalam
waktu yang sesingkat mungkin. Dengan
kata lain, membaca ekstensif adalah
membaca seadanya guna memperoleh
informasi sebanyak-banyaknya. Membaca
ekstensif bertujuan untuk menemukan atau
mengetahui secara cepat masalah utama
dari teks bacaan.

Satu di antara aspek keterampilan


berbahasa adalah keterampilan membaca.
Menurut Tarigan (1993: 7), membaca
adalah suatu proses yang dilakukan
serta
dipergunakan
oleh
pembaca
untuk memperoleh pesan, yang hendak
disampaikan penulis melalui media katakata/bahasa tulis. Sedangkan Harjasujana
(1997: 5), menyatakan bahwa membaca
merupakan kemampuan yang kompleks.
Membaca bukanlah kegiatan memandangi
lambang-lambang tertulis semata, namun
pembaca berupaya supaya lambanglambang yang dilihatnya itu menjadi lambanglambang yang bermakna. Dengan demikian,
membaca merupakan suatu proses untuk
memahami isi bacaan yang tersirat atau
makna yang terkandung di dalam sebuah
bacaan dengan mengerahkan bermacammacam kemampuan.

Berita berarti cerita atau keterangan


mengenai kejadian peristiwa yang hangat.
Berita juga dapat diartikan sebagai informasi
baru atau informasi mengenai sesuatu
yang sedang terjadi, yang disajikan melalui
laporan dalam bentuk cetak, siaran, internet,
atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga
atau orang banyak. Menurut Nurhadi, dkk.
(2006: 26), laporan berita merupakan tugas
profesi wartawan saat berita dilaporkan oleh
wartawan laporan tersebut menjadi fakta/
ide terkini yang dipilih secara sengaja oleh
redaksi pemberitaan/media untuk disiarkan
dengan anggapan bahwa berita yang terpilih
dapat menarik khalayak banyak karena
mengandung unsur-unsur berita.

Terdapat
dua
tingkatan
dalam
keterampilan membaca. Tingkatan tersebut,
yaitu kemampuan pengenalan huruf dan
kemampuan pemahaman teks bacaan.
Membaca pemahaman dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas yang sengaja
dilakukan untuk memperoleh informasi
melalui proses penguasaan dan pemahaman
isi suatu wacana secara cepat. Satu di
antara jenis membaca pemahaman adalah
membaca ekstensif. Membaca ekstensif
merupakan
teknik
membaca
secara
sekilas tanpa mengurangi pemahaman inti

524

METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan bagian
yang penting dalam penelitian karena
memandu peneliti guna mengontrol jalannya
penelitian. Pada penelitian ini metode
yang digunakan peneliti adalah metode
deskriptif. Sistem kerja metode ini dengan
cara menggambarkan/melukiskan keadaan
yang sebenarnya atas subjek ataupun
objek penelitian. Pada penelitian ini metode
deskripsi digunakan untuk menggambarkan
keadaan sebenarnya penerapan proses
pembelajaran pada kelas VIII C, semester 2
dengan kompetensi dasar 11.1 menemukan
masalah utama dari beberapa berita yang
bertopik sama melalui membaca ekstensif

dengan metode pembelajaran Coopeterative


Integrated Reading and Composition.
Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini
dilaksanakan
guna
meningkatkan
kemampuan siswa dalam menemukan
masalah utama dari beberapa berita yang
bertopik sama melalui membaca ekstensif
dengan menerapkan metode pembelajaran
Cooperative Integrated Reading and
Composition yang akan dilaksanakan
di kelas VIII MTs Negeri Siantan. Pada
penelitian tindakan kelas ini bentuk penelitian
yang digunakan adalah penelitian kualitatif
meskipun data yang dikumpulkan bisa saja
bersifat kuantitatif. Hal ini karena uraian yang
digunakan berupa deskripsi.
Prosedur
penelitian
merupakan
bagian yang mengungkapkan langkahlangkah penelitian yang dilakukan. Biasanya
setiap tahapan penelitian yang ditempuh
itu disajikan secara spesik dan kronologis
(Suherli, 2007: 89). Adapun tahapan atau
prosedur pada penelitian tindakan kelas ini,
meliputi empat prosedur yang dilaksanakan
dalam dua siklus. Siklus I, meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,
dan reeksi. Apabila siklus I masih terdapat
kekurangan atau belum sesuai dengan
yang diharapkan atau telah ditentukan
sebelumnya, maka akan lanjut kepada siklus
berikutnya.
Data dalam penelitian ini adalah
proses perencanaan pembelajaran, proses
pelaksanaan pembelajaran, dan hasil dari
pembelajaran membaca ektensif teks berita
yang menerapkan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRD)
pada siswa kelas VIII C MTs Negeri Siantan
tahun pelajaran 2010/2011. Ketiga data
tersebut diperoleh untuk memecahkan
masalah penelitian.
Data penelitian ini diperoleh dari
berbagai sumber. Menurut Suherli (2007:
89), penyajian sumber data atau populasi

dan sampel penelitian dilakukan secara


rinci dan eksplisit. Sumber data penelitian
ini, antara lain 1) Rusmi Susila, S.Pd.,
selaku guru mata pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, yang melaksanakan atau
pengimplementasi pembelajaran dengan
menerapkan metode Cooperative Integrated
Reading and Composition; 2) siswa kelas VIII
C MTs Negeri Siantan untuk mendapatkan
data tentang hasil belajar dan aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran; 3) dokumen
(catatan hasil belajar, catatan observasi/
pengamatan, dan portofolio).
Data dalam penelitian ini diambil
melalui teknik komunikasi langsung atau
teknik observasi partisipatif dan tidak
langsung. Teknik komunikasi langsung
merupakan cara pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti mengadakan kontak
langsung secara lisan atau kontak langsung
dengan sumber data. Artinya, peneliti
melakukan pengamatan secara langsung
di dalam kelas mengenai pelaksanaan
pembelajaran dari awal perencanaan sampai
pada tahap reeksi yang dilakukan secara
kolaborasi dengan guru mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Observasi partisipatif
adalah pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti dengan cara berperan serta
dalam kegiatan-kegiatan penelitian seperti
pengamatan penuh yang memungkinkan
peneliti melihat sendiri dan mencatat perilaku
siswa yang sebenarnya. Teknik komunikasi
langsung maupun observasi partisipatif
digunakan untuk memperoleh data mengenai
pelaksanaan pembelajaran.
Selain
komunikasi
langsung
atau observasi partisipasif, teknik tidak
langsung juga digunakan sebagai cara
untuk memperoleh data. Teknik ini dapat
digunakan
untuk
memperoleh
data
mengenai perencanaan maupun hasil
belajar siswa. Dikatakan sebagai teknik tidak
langsung karena sumber data didapatkan
melalui dokumen berupa IPKG 1 mengenai

525

perencanaan pembelajaran dan hasil tes


siswa yang mencerminkan hasil belajar
siswa.

pada siklus II sekurang-kurangnya 75%


siswa dapat mencapai nilai sesuai dengan
KKM.

Berkaitan dengan pengumpulan data,


seorang peneliti memerlukan suatu instrumen
untuk mengumpulkan
data.
Menurut
Sugiyono (2010: 222), dalam penelitian
kuantitatif, yang menjadi instrumen atau alat
penelitian adalah peneliti itu sendiri. Pada
PTK penelitian berbentuk kualitatif sehingga
peneliti dalam hal ini juga berperan sebagai
instrumen dalam penelitian. Meskipun
demikian, instrumen akan berkembang
sesuai dengan fokus penelitian.

Data yang terkumpul selanjutnya akan


dianalisis. Teknik analisis data penelitian ini
menggunakan tahapan berikut. Pertama,
mengelompokkan aspek yang diteliti,
meliputi proses perencanaan, proses
pelaksanaan, dan hasil dari pembelajaran
yang menerapkan metode CIRC pada setiap
siklus. Kedua, menganalisis aspek yang
diteliti, apakah telah berjalan sesuai dengan
yang diharapkan atau tidak. Ketiga, menilai
kemampuan siswa dalam keterampilan
membaca. Keempat, menganalisis hasil
belajar siswa dalam aspek membaca pada
setiap siklus. Kelima, mengadakan reeksi
pada setiap akhir siklus.

Pada penelitian ini instrumen lain


yang digunakan sebagai berikut. Pertama,
RPP untuk memandu proses pembelajaran
yang menggunakan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition.
Kedua, LKS (Lembar Kerja Siswa), memuat
bahan pelajaran serta tugas yang siswa.
Ketiga, lembar observasi untuk mengukur
proses penelitian, meliputi perencanaan
hingga pelaksanaannya. Keempat, lembar
pengamatan untuk mengamati kegiatan
siswa selama proses pembelajaran Bahasa
Indonesia dengan menerapkan metode
Cooperative Integrated Reading and
Composition. Kelima, tes/instrumen soal
digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa
dengan menerapkan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition.
Keenam, KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal),
menjadi pedoman pembentukan standar
penilaian hasil belajar siswa.
Dalam penelitian ini, indikator kerja
adalah cara untuk mengukur keberhasilan
pelaksanaannya.
Indikator
tersebut
bila dipaparkan, antara lain:kesesuaian
strategi atau perencanaan pembelajaran
dengan penyajian oleh guru selama proses
pembelajaran; siswa lebih aktif pada saat
proses pembelajaran; dan pada siklus I
sekurang-kurangnya 70% siswa dapat
mencapai nilai sesuai dengan KKM, dan

526

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilaksanakan di MTs
Negeri Siantan pada tanggal 16 - 26 Mei
2011. Kelas yang menjadi objek penelitian
adalah kelas VIII C dengan jumlah siswa
sebanyak 36 siswa. Penelitian dilakukan
secara kolaborasi antara peneliti dan guru
Bahasa Indonesia, yaitu Rusmi Susila, S.Pd..
Dalam hal ini, penulis bertindak sebagai
peneliti, sedangkan guru Bahasa Indonesia
sebagai rekan penulis dalam bertukar
pikiran sekaligus sebagai pelaku kegiatan
pembelajaran. Pada Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) proses pelaksanaannya
tidak terlepas dari empat tahapan, yakni
perencanaan (planning), tindakan (acting),
pengamatan (observing), dan reeksi
(reecting). Keempat proses ini paling
tidak terjadi dalam dua siklus, dan pada
pelaksanaan penelitian peneliti melakukan
penelitian sebanyak dua siklus. Sedangkan
pada penelitian ini, peneliti memfokuskan
bahan penelitian terhadap tiga permasalahan
yang masih terkait dalam proses pelaksanaan
PTK, yakni perencanaan, pelaksanaan yang
di dalamnya juga terjadi proses pengamatan,
dan reeksi yang disertai dengan hasil.

Tahap
perencanaan
merupakan
tahap awal dalam penelitian ini. Pada
tahap perencanaan, dijelaskan tentang
apa, mengapa, kapan, di mana, oleh
siapa, dan bagaimana tindakan dilakukan.
Pada tahap ini peneliti bersama guru akan
merencanakan tindakan apa saja yang akan
dilakukan dalam penelitian. Peneliti dan guru
mendiskusikan serta mempersiapkan segala
hal yang diperlukan dalam proses penelitian.
Adapun secara rinci hal yang didiskusikan
adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti
dan guru menentukan tugas masing-masing
pada proses penelitian. Kedua, peneliti dan
guru menetapkan prosedur perencanaan
berupa tujuan dari pembelajaran yang akan
diteliti, membuat RPP, pemilihan materi ajar,
pemilihan sumber atau media pembelajaran
berupa buku, LKS, dan teks berita yang
terdapat di koran. Ketiga, peneliti dan guru
berdiskusi untuk menetapkan prosedur
pengumpulan dan analisis data. Keempat,
peneliti dan guru membandingkan kondisi
awal dan kondisi yang diharapkan.
Pada saat prariset, peneliti berkunjung
ke MTs Negeri Siantan. Di MTs, peneliti
bertemu dengan Kepala Sekolah MTs
tersebut, Drs. Idam Sollekh. Ketika bertemu
dengan beliau, peneliti menyampaikan
maksud meminta izin untuk mengetahui
kendala apa saja yang dialami sekolah
seputar mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Dari hal ini, Bapak Idam memperkenalkan
saya kepada guru kelas VIII, yakni Ibu
Rusmi Susila. Dari beliau, saya memperoleh
informasi bahwa para siswanya terhambat
pada aspek membaca, terutama untuk
menemukan ide pokok dari wacana. Ibu
Rusmi mengajar mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada kelas VIII A, VIIIB, VIII C, dan
VIII D. Dari keempat kelas ini, nilai membaca
yang paling rendah terdapat pada kelas
VIII C dengan persentase ketuntasan 58%,
yakni dari 36 siswa, yang tuntas sebanyak
20 siswa.

Ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan prestasi mereka lebih rendah
dibanding kelas lainnya, di antaranya adalah
pada kelas ini siswa kurang berminat pada
mata pelajaran, kerja sama maupun saling
tukar pikiran terhadap mata pelajaran juga
masih kurang, dan para siswa di kelas ini
cenderung hiperaktif di luar pelajaran.
Penulis dan guru juga mendiskusikan
bahwa setelah penelitian, persentase
ketuntasan para siswa diharapkan minimal
70%. Karena penelitian ini merupakan
PTK, maka pelaksanaannya paling tidak
sebanyak dua siklus. PTK dikatakan berhasil
jika ada peningkatan hasil dari proses
pelaksanaannya. Dari hal ini, penulis dan
guru menetapkan bahwa PTK dianggap
berhasil apabila pada siklus pertama
persentase ketuntasan minimal 70% dan
pada siklus kedua minimal 75%. Selain
persentase ketuntasan, penelitian juga
dianggap berhasil apabila pelaksanaannya
sudah sesuai seperti yang direncanakan.
Pada
penelitian
ini
kegiatan
pembelajaran ada pada dua siklus. Masingmasing siklus terdapat dua kali pertemuan.
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus
I di pertemuan pertama ini dilaksanakan
pada hari Selasa tanggal 17 Mei 2011
pukul 08.20 - 09.40 WIB (2 jam mata
pelajaran). Sedangkan dipertemuan kedua,
dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2011
pukul 08.20 - 09.40 WIB.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti
pada kegiatan awal, waktu yang direncanakan
adalah selama 10 menit. Namun, guru
melakukan kegiatan di luar perencanaan,
yaitu pada saat memperkenalkan peneliti
kepada para siswa. Selain itu, pada
saat mengabsen kehadiran siswa guru
menanyakan secara satu per satu kepada
siswa. Hal ini telah menyita cukup waktu
sehingga mengganggu proses selanjutnya.
Pada kegiatan inti di pertemuan
pertama siklus I tidak berjalan sesuai

527

yang direncanakan. Siswa tidak dapat


mempresentasikan hasil kerja tugas mereka.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu
yang tersedia. Pada kegiatan penutup
juga terjadi hal di luar rencana. Guru tidak
melaksanakan reeksi bersama siswa.
Hal ini dikarenakan waktu yang tersedia
tidak mencukupi. Di penutupan, guru juga
menyampaikan kepada para siswa bahwa
materi yang bersangkutan akan dilanjutkan
pada pertemuan berikutnya. Setelah itu,
guru menyimpulkan pembelajaran yang
telah dilaksanakan dan mengakhiri pelajaran
dengan salam.
Pertemuan
kedua
dilaksanakan
keesokan harinya, yakni pada tanggal
18 Mei 2011. Adapun alokasi waktu yang
diperlukan adalah dua jam mata pelajaran
(pukul 08.20 - 09.40 WIB ). Pada pertemuan
kedua ini, metode Cooperative Integrated
Reading and Composition diterapkan.
Adapun pendeskripsiannya sebagai berikut.
Pertama, kegiatan pendahuluan waktu
yang digunakan pada kegiatan awal adalah
10 menit. Kegiatan pendahuluan dimulai
dengan salam. Setelah para siswa selesai
membalas salam, guru melanjutkan untuk
mengecek kehadiran para siswa. Pada
pertemuan kedua ini, para siswa hadir
semua. Selanjutnya, guru mulai melakukan
rekonstruksi. Rekontruksi ini dilakukan
dengan cara menyampaikan poin-poin
penting yang telah dipelajari pada pertemuan
sebelumnya. Sebelum disampaikan, guru
menanyakan terlebih dahulu kepada para
siswa mengenai hal apa yang telah mereka
pelajari dan kendala apa yang mereka alami
pada pelajaran yang lalu.
Dari hal ini, ada dua orang siswa
merespons pertanyaan tersebut. Satu di
antara mereka ada yang menanyakan tentang
tata cara pengerjaan tugas yang diberikan
sebelumnya. Kedua, kegiatan inti pada
pertemuan kedua ini menerapkan metode
CIRC. Alokasi waktu yang diperlukan adalah

528

60 menit. Guru menjelaskan hal yang akan


dilakukan oleh siswa pada pembelajaran ini.
Karena tahap ini menerapkan metode CIRD,
maka proses pembelajaran sesuai dengan
metode tersebut. Ketiga, penutup dilakukan
dengan cara melakukan kesimpulan atas
pembelajaran yang telah diperoleh dari
materi membaca ekstensif teks berita. Pada
proses ini guru mempersilakan kepada para
siswa untuk memberikan kesimpulan terlebih
dahulu. Pada saat itu ada 3 siswa yang
merespons. Dari kesimpulan siswa, secara
tidak langsung mereka telah melakukan
reeksi atau menyampaikan tentang apa yang
telah mereka peroleh selama pembelajaran.
Untuk mengakhiri pembelajaran pada saat
itu, guru mengucapkan salam.
Reeksi dilakukan setelah proses
pelaksanaan tindakan. Pada penelitian ini,
peneliti melakukan reeksi bersama dengan
guru pada tanggal 19 Mei 2011. Hal yang
dimasukkan ke dalam reeksi adalah segala
hal yang telah berlangsung selama proses
penelitian, mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan. Peneliti dan guru melaksanakan
kegiatan reeksi dengan cara menganalisis
hasil pengamatan yang diperoleh dari hasil
lembar observasi dan pengamatan. Selain
itu, nilai siswa yang diperoleh juga dijadikan
bahan pertimbangan keberhasilan dalam
siklus I ini. Berikut secara rinci mengenai
reeksi terhadap kegiatan dan hasil yang
telah diperoleh pada siklus I.
Pertama, pedoman yang digunakan
peneliti dan guru dalam melakukan reeksi
terhadap perencanaan pembelajaran yang
menerapkan metode CIRD adalah lembar
observasi
perencanaan
pembelajaran
menemukan
masalah
utama.
Pada
perencanaan ini peneliti dan guru bersepakat
bahwa apa yang dilaksanakan dan disiapkan
pada saat perencanaan semuanya sudah
memenuhi prosedur. Oleh karena itu, tidak
perlu dilakukan revisi karena masih bisa
digunakan untuk siklus selanjutnya apabila

masih diperlukan.
Kedua, reeksi terhadap pelaksanaan
siklus I, seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa proses pelaksanaan
tindakan dilakukan selama dua kali
pertemuan. Jadi, kegiatan yang perlu
dianalisis juga meliputi dua kali pertemuan
tersebut.
Pada
pertemuan
pertama,
terjadi pemborosan waktu, terutama pada
saat pertemuan awal atau pendahuluan.
Pemborosan waktu ini terjadi karena ada
penyimpangan di luar skenario RPP, yakni
karena guru memperkenalkan peneliti
kepada para siswa. Selain itu, waktu juga
cukup tersita pada saat kegiatan mengabsen
siswa secara satu per satu. Padahal untuk
menghemat waktu, guru dapat langsung
menanyakan kepada siswa mengenai siswa
yang tidak hadir. Dampak dari hal ini adalah
tidak berlangsungnya kegiatan siswa untuk
mempresentasikan hasil tugas serta proses
menanggapi hasil persentasi sehingga begitu
siswa selesai mengerjakan tugas, kegiatan
selanjutnya adalah mengoreksi hasil tugas
mereka tanpa ada proses umpan balik bagi
siswa.
Selain itu, kegiatan reeksi pada
saat penutup pembelajaran juga tidak
berlangsung. Guru kurang mengawasi
kegiatan siswa, baik pada saat menjelaskan
maupun pada saat para siswa mengerjakan
tugas. Fokus perhatian guru cenderung
pada siswa yang aktif serta yang posisi
duduknya ada di depan. Hal ini memberikan
kesempatan bagi para siswa yang kurang
diperhatikan untuk melakukan hal lain di
luar pelajaran. Siswa juga kurang aktif, hal
ini dapat dilihat pada saat guru memberikan
kesempatan
kepada
mereka
untuk
bertanya, hanya sedikit dari para siswa yang
merespons. Guru merasa para siswa sudah
cukup mengerti sehingga dinilai sudah siap
untuk mengerjakan tugas, namun ternyata
para siswa masih ada yang belum mengerti.
Hal ini dapat dilihat pada pertemuan kedua

di kegiatan awal, masih ada siswa yang


membahas dan menanyakan tugas yang
diberikan pada pertemuan pertama.
Hasil pembelajaran merupakan bentuk
penilaian hasil kerja siswa. Seperti yang
telah direncanakan, penilaian diperoleh
berdasarkan hasil kerja siswa terhadap
tugas yang diberikan serta aktivitas mereka
pada saat terjadi proses pembelajaran.
Hasil tugas siswa dinilai oleh guru sendiri,
sedangkan aktivitas siswa diperoleh peneliti
pada saat melakukan pengamatan dan telah
dicatat pada lembar pengamatan aktivitas
siswa. Berdasarkan nilai yang diperoleh
pada siklus I yang telah menerapkan
metode CIRC, dapat dilihat adanya suatu
peningkatan. Sebelum menerapkan metode
CIRC, hasil belajar siswa di bidang membaca
memperoleh nilai rata-rata 62,7 dengan
persentase ketuntasan sebanyak 58%.
Sedangkan setelah menerapkan metode
CIRC, hasil belajar siswa pada aspek
membaca meningkat dengan nilai rata-rata
65,7 dan persentase ketuntasan sebesar
72%. Peningkatan persentase ketuntasan
tersebut dapat dilihat dari grak berikut.

Gambar 1. Persentase Ketuntasan Siklus I

Dari hasil reeksi yang telah dilakukan


peneliti bersama dengan guru, maka
diperoleh keputusan bahwa pada siklus I ini
indikator terhadap keberhasilan penelitian
belum maksimal terpenuhi. Oleh karena itu,

529

perbaikan maupun upaya maksimal untuk


mengatasi kekurangan yang terdapat pada
siklus satu dapat dilakukan dan diteruskan
pada siklus II.
Seperti halnya siklus I, siklus II juga
dilakukan oleh peneliti bersama dengan
guru. Waktu perencanaan pada siklus
dua ini adalah pada tanggal 21 Mei 2011.
Perencanaan yang dilakukan pada siklus
II tidak jauh berbeda dengan siklus I. Hal
ini dikarenakan pada saat proses reeksi
antara peneliti dan guru, dinyatakan
bahwa perencanaan untuk tindakan sudah
memenuhi prosedur. Meskipun demikian,
ada satu hal yang direvisi oleh peneliti dan
guru. Hal tersebut bersangkutan dengan
teks berita yang digunakan sebagai tugas
siswa. Jumlah teks berita dan instrumen
soal yang digunakan masih tetap sama,
yaitu sebanyak tiga buah. Akan tetapi, topik
atau permasalahan yang dibahas dari teks
berita tersebut berbeda dari teks berita yang
disajikan pada siklus I.
Pelaksanaan
pembelajaran
menemukan masalah utama dari beberapa
berita yang bertopik sama melalui membaca
ekstensif dengan menerapkan metode CIRD
siklus II dilaksanakan pada tanggal 24 dan
25 Mei 2011. Waktu yang digunakan pada
kegiatan awal adalah 10 menit. Kegiatan
pendahuluan dimulai dengan salam. Setelah
para siswa selesai membalas salam, guru
melanjutkan untuk mengecek kehadiran
para siswa. Pada pertemuan kedua ini para
siswa hadir semua. Selanjutnya, guru mulai
melakukan rekontruksi. Tahap rekontruksi
ini dilakukan dengan cara menyampaikan
poin-poin penting yang telah dipelajari
pada pertemuan sebelumnya. Sebelum
disampaikan, guru menanyakan terlebih
dahulu kepada para siswa mengenai hal apa
yang telah mereka pelajari dan kendala apa
yang mereka alami pada pelajaran yang lalu.

530

Dari hal ini, ada tujuh orang yang merespons


atas pembelajaran yang telah mereka
dapatkan pada pertemuan sebelumnya.
Guru memberikan penguatan atas respons
para siswa.
Kegiatan inti memerlukan alokasi waktu
60 menit. Guru menjelaskan hal yang akan
dilakukan oleh siswa pada pembelajaran
ini. Karena tahap ini menerapkan metode
CIRC, maka proses pembelajarannya sesuai
dengan metode tersebut. Kegiatan penutup
dilakukan dengan cara menarik kesimpulan
atas pembelajaran yang telah diperoleh
dari materi membaca ekstensif teks berita.
Pada proses ini guru mempersilakan para
siswa untuk memberikan kesimpulan
terlebih dahulu. Pada saat itu ada lima
belas orang siswa yang menawarkan diri
untuk memberikan kesimpulan, namun guru
menunjuk tiga orang di antara mereka yang
memberikan kesimpulan. Dari kesimpulan
siswa, secara tidak langsung mereka telah
melakukan reeksi atau menyampaikan
tentang apa yang telah mereka peroleh
selama pembelajaran. Untuk mengakhiri
pembelajaran
pada
saat
itu,
guru
melakukannya dengan mengucapkan salam.
Berdasarkan reeksi yang dilakukan
pada siklus I, peneliti dan guru menyadari
segala kesalahan yang telah dilakukan
pada siklus tersebut. Oleh karena itu, pada
siklus II guru berupaya melakukan proses
pembelajaran dengan sebaik-baiknya dan
berusaha untuk tidak melakukan kekeliruan.
Dari siklus II, terbukti bahwa kekeliruan yang
terjadi pada siklus I tidak terjadi lagi dan
proses yang dilakukan sesuai dengan yang
diharapkan atau direncanakan. Ditinjau dari
hasil belajar, pada siklus II hasil belajar juga
mengalami peningkatan. Peningkatan hasil
belajar siswa dapat dilihat pada diagram di
bawah ini.

PENUTUP

Gambar 2. Persentase Ketuntasan Siklus II


Penetapan persentase ketuntasan
tersebut masih berpedoman dengan Standar
Ketuntasan Minimal, yakni 62,00. Dari
perolehan nilai di atas, dapat dijelaskan
secara rinci sebagai berikut. Pertama,
nilai kelompok yang dilihat dari nilai tugas
siswa memperoleh nilai rata-rata sebesar
73,8
dengan
persentase
ketuntasan
sebesar 78%. Kedua, aktivitas belajar
siswa memperoleh rata-rata skor perolehan
67,6. Jika berpedoman dengan standar
ketuntasan, maka siswa yang memperoleh
skor ketuntasan untuk aktivitas adalah
sebanyak 92%. Ketiga, skor akhir diperoleh
dari penjumlahan nilai kelompok dan nilai
aktivitas, kemudian dirata-ratakan. Dari siklus
I dan II, diperoleh rata-rata untuk nilai akhir
adalah 70,5 dengan persentase ketuntasan
83% CIRC yang dilakukan pada siklus I.
Dari hasil reeksi yang telah
dilaksanakan pada siklus II ini, dapat diperoleh
suatu peningkatan hasil dan apa yang telah
didapat maupun yang telah dilakukan sesuai
dengan indikator keberhasilan. Oleh karena
itu, penelitian ini dianggap berhasil setelah
dilaksanakan sebanyak dua siklus.

Melalui serangkaian kegiatan yang


telah dilalui oleh guru, peneliti, dan siswa
dalam proses pembelajaran yang dimulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan,
pengamatan, sampai pada tahap reeksi
dari setiap siklus, dapat disimpulkan bahwa
metode Cooperative Integrated Reading
and Composition dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada pembelajaran menemukan
masalah utama dari beberapa berita bertopik
melalui membaca ekstensif. Peningkatan
ini dapat dilihat dari perbandingan ratarata nilai dan persentase ketuntasan siswa
sebelum tindakan dengan setelah diadakan
tindakan. Sebelum dilaksanakan tindakan,
nilai rata-rata siswa adalah 62,7 dengan
persentase ketuntasan 58%, sedangkan
setelah dilaksanakan tindakan nilai rata-rata
siswa 65,7 dengan persentase ketuntasan
72%. Untuk siklus I dan pada siklus II, nilai
rata-rata siswa 70,5 dengan persentase
ketuntasan 83%.
Berdasarkan simpulan yang telah
dikemukakan,
peneliti
mengharapkan
hendaknya guru dapat mengatur alokasi
waktu dengan baik agar proses pembelajaran
berjalan lancar. Pada saat proses
pembelajaran guru hendaknya mengawasi
dan memberikan perhatian menyeluruh
kepada para siswa yang ada di kelas agar
siswa menjadi lebih aktif, tidak bosan dan
bersemangat dalam belajar. Selain itu, guru
hendaknya selalu menggunakan metode
belajar yang inovatif. Peneliti juga berharap
agar dinas pendidikan dapat menyeleksi
tenaga pendidiknya sehingga guru yang
mengajar merupakan guru yang berkualitas
dan sesuai dengan profesi atau bidangnya.
Keberadaan guru yang mengajar sesuai
profesinya akan lebih baik dibandingkan guru
yang mengajar tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikannya. Dengan demikian,
tujuan dari suatu pembelajaran akan lebih
mudah untuk tercapai.

531

DAFTAR PUSTAKA
Harjasujana, A.S.. 1997. Membaca 2. Jakarta: Depdikbud.
Nurhadi, dkk.. 2006. Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suherli. 2007. Menulis Karangan Ilmiah. Depok: Arya Duta.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Tarigan, H.G.. 1993. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

532

TRILOGI (IDEOLOGI, DEMOKRASI, DAN GLOBALISASI) KONSEP


MARXIS DALAM SAJAK-SAJAK KEGELISAHAN HIDUP
KARYA PUTU OKA SUKANTA

Ika Ariati
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pekalongan
Alamat korespondensi: -

ABSTRACT
Ideology, democracy, and globalization are the three things that always related. Ideology
originated from the perspective of a person or group of people who are into the concept of
culture. Meanwhile, democracy is freedom in making a decision. Globalization has changed
the concept of both of these because of the rapid understanding of capitalism, role of the
market, investment, and production process of the rms international companies. Trilogy in this
exposure associated with the text poems Sajak-sajak Kegelisan Hidup by Putu Oka Sukanta.
Some poem by Putu Oka Sukanta interesting concept and capitalist globalization.
Keywords: ideology, democracy, globalization, poems

ABSTRAK
Ideologi, demokrasi, dan globalisasi merupakan tiga hal yang senantiasa berkaitan.Ideologi
berawal dari cara pandang seseorang atau sekelompok masyarakat yang menjadi konsep
budaya. Sementara itu, demokrasi merupakan kebebasan dalam mengambil suatu keputusan.
Globalisasi telah mengubah konsep kedua hal tersebut karena pesatnya paham kapitalisme,
mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaaan-perusahaan
internasional. Trilogi dalam paparan ini terkait dengan teks Sajak-sajak Kegelisan Hidup karya
Putu Oka Sukanta. Beberapa sajak karya Putu Oka Sukanta menarik konsep kapitalis dan
globalisasi.
Kata kunci: ideologi, demokrasi, globalisasi, sajak

PENDAHULUAN
Konsep pikiran manusia satu berbeda
dengan manusiayang lain, tergantung pada
kepentingan dan kebutuhan masing-masing.
Cara pandang menyelesaikan masalah dan
menyampaikan ide merupakan tolak ukur
kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang.
Ideologi berawal dari cara pandang
seseorang atau sekelompok masyarakat
yang menjadi konsep budaya yang akhirnya
menjadi kesepakatan bersama.
Demokrasi merupakan kebebasan
dalam mengambil suatu keputusan, dalam
hal ini secara mufakat sesuai konsep
demokrasi pancasila. Walaupun di era
sekarang ini masyarakat Indonesia banyak

kehilangan konsep demokrasi, segala


sesuatu sudah diatur demi kepentingan
kelompok ataupun kepentingan pribadi. Para
pihak berkepentingan menggiring pola pikir
dengan dalih mufakat. Banyak permainan
dan ketidakadilan yang tumbuh di negeri
ini. Globalisasi, kekuasaan politik dengan
dalih ekonomi sudah menjadi alasan yang
kadaluarsa. Masyarakat Indonesia tidak lagi
bodoh, tapi bisa dibodohi dengan kondisi
yang disebut kapitalis, baik secara sadar
maupun tidak sadar karena terdesak oleh
kepentingan dan kebutuhan.
Kebutuhan
manusia
sangat
beragam,mulai dari kebutuhan sandang,
pangan, dan papan sampai pada kebutuhan
politik. Semua itu mendapat sorotan

533

sehingga dunia ini makin ramai oleh pakar


di bidangnya masing-masing. Konsep pikir
seperti ini tidak akan pernah lepas dari
trilogi (ideologi, demokrasi, dan globalisasi).
Trilogi dalam paparan ini terkait dengan teks
Sajak-sajak Kegelisan Hidup karya Putu
Oka Sukanta. Dari sekian banyak sajak, ada
beberapa sajak yang menarik dari konsep
kapitalis dan globalisasi.
Globalisasi adalah sebuah istilah yang
diperkenalkan pertama kali oleh Theodore
Levitt pada tahun 1980-an. Sampai sekarang
istilah tersebut masih diperdebatkan di
kalangan akademisi dunia pemerintahan,
baik nasional maupun internasional. Proses
globalisasi menurut Faqih (2001) ditandai
dengan pesatnya paham kapitalisme,
mengglobalnya peran pasar, investasi,
dan proses produksi dari perusahaaanperusahan internasional yang dikuatkan oleh
ideologi dan tata perdagangan secara global.
Menurut Ritzer (2011), globalisasi
dapat dianalisis secara budaya, ekonomi,
dan politik. Pada masing-masing kasus
perbedaannya terletak pada homogenitas
atau heterogenitas. Kecenderungan ke arah
homogenitas seringkali diasosiasikan dengan
imperalisme budaya atau meningkatnya
pengaruh internasional dari kebudayaan
tertentu.
PEMBAHASAN
Ada enam sajak karya Putu Oka
Sukanta yang menjadi paparan trilogi, antara
lain: 1) Kemerdekaan, 2) Bali, 3) Semedi
di Berlin, 4) Sepotong Kue Dunia, Bali, 5)
Marsinah, dan 6) Demokrasi Membangun
Matahari. Secara urut, keenam sajak tersebut
dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Kemerdekaan
Sajak tersebut berkaitan dengan hak
asasi manusia untuk hidup bebas dalam hal
keinginan dan ketercapaian kebahagian.
Pengarang merasa belum ada kebahagian

534

hakiki walaupun kemerdekaan telah diraih


bangsa Indonesia. Kemerdekan dan
ketenangan masih menjadi impian bangsa
Indonesia sebagaimana kutipan sajak
berikut.
Bila kebahagiaan ada dimana-mana
Jagan kau tuntut pada diriku cuma
Kemerdekaan adalah cinta yang mesra
Pengarang menginginkan kebahagian
yang hakiki, yakni manusia bebas berekspresi
yang ditandai dengan perubahan, inovasi,
dan kedinamisan hidup sehingga kekuatan
ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan para
pecinta dapat meraih kebebasan. Ilmu
pengetahuan dapat mentransformasi dunia
menjadi lebih baik. Konsep pikir ini mengacu
padateori modernitas yang lebih kompleks
terhadap pandangan Giddens tentang
institusi-institusi yang menandai modernitas,
proyek pencerahan yang belum selesai ala
Habermas.Konsep kemerdekaan dapat
dilihat lebih jelas dalam kutipan berikut.
Kemerdekaan serupa lampu di loronglorong
Kemerdekaan adalah bunga-bunga
yang mekar
Dikerumuni kumbang segala macam
Kemerdekaan serupa matamu adik
Bening dan manis sekali
Habermas (2007: 96) memandang
modernitas (terutama rasional formal) yang
menjadi ciri sistem sosial berbeda dan
bertentangan dengan rasionalitas yang
menjadi ciri dunia-kehidupan. Masyarakat
rasionalitas adalah masyarakat yang
sistem dan dunia- kehidupannya dapat
dirasionalkan dengan dirinya sendiri dan
mengiuti logikanya.
2. Bali
Bali merupakan pulau wisata yang
didatangi oleh turis dari mancanegara.
Sekian lama pulau Dewata menjadi tujuan
wisata yang berefek pada profesi masyarakat
di sana. Dari profesi bidang agraris berubah
menjadi pedagang. Kemunduran pertanian

di Bali terlihat pada kutipan sajak berikut.


Di Bali pun berhektar padi menguning
Tapi di Bali pun beribu petani mati
Kutipan tersebut memiliki makna
kemubaziran kekayaan alam yang tidak
dikelola dengan baik.Masyarakat kini lebih
tertarik pada hal-hal praktis. Padahal banyak
lahan yang belum tergarap. Banyak daerah
dan lahan hijau yang di atasnya telah disulap
menjadi hotel dan berbagai kepentingan
modernisasi. Para investor asing berjoin dengan investor dalam negeri untuk
menunjukkan pada dunia bahwa Bali kaya
akan budaya yang tampak pada kutipan
sajak berikut.
Kita datang ke Bali ada penari
Kita datang di Bali banyak candi
Keduanya menandai bumi Bali
Cara pandang masyarakat yang
berubah telah didominasi pihak luar dengan
iming-imingi keuntungan besar. Penari yang
dipertontonkan di depan khalayak ramai
mendapat imbalan menggiurkan. Cara-cara
tersebut merupakan cara pintas orang asing
dalam menawarkan kapitalis melalui budaya.
Di bawah kapitalis, ekonomi tampil secara
alamiah, bahkan struktur ekonomi dianggap
tidak relevan dan sepele. Pada saat yang
sama kapitalis juga merupakan sistem
politis, suatu cara menjalankan kekuasaan
dan suatu proses eksploitasi pekerja.
Komoditas selalu berkaitan dengan
potensi manusia atau produk kerja yang
dapat ditukarkan. Hal ini yang disebut
Marx sebagai nilai guna komoditas. Dalam
kapitalis, proses ini merupakan bentuk baru
sekaligus berbahaya. Para penari tidak
memproduksi untuk dirinya sendiri, tetapi
untuk orang lain (kapitalis) atau ditukarkan di
pasar/tempat umum demi uang atau objekobjek yang lain.
3. Semedi di Berlin
Semedi di Berlin
aku datang compang-camping sarat
kegelisahan

dan rindu harkat manusia yang hilang


langkah melayang-layang tesenggal
nafas busuknya nafsu pengucilan
aku datang mencari cerobong
seperti asap
atau selokan seperti mata air riap
atau pangkuan seperti kasih sayang atau
kawah tempat roh telentang
atau ruang kosong bisu menerawang
Pengarang mengumpamakan dirinya
berada dalam kegelisan kekuasaan dan
tidak dapat berbuat apa apa. Dia merasa
tidak dihargai oleh penguasa. Struktur ini
menganut konsep Antonio Gramsciyang
mengakui arti penting struktural dan tidak
percaya bahwa faktor stuktural ini menggiring
massa untuk membangkang. Massa perlu
mengembangkan ideologi revolusioner,
namun mereka tidak dapat melakukannya
sendiri. Gramsci menggunakan konsep
agak elitis tempat gagasan dibangun oleh
intelektual dan diperluas ke massa dan
dipraktikkan oleh mereka. Hal tersebut
tampak pada sajak berikut.
sehingga aku jadi sendiri
masuk dalam sukma
imajinasi tanpa bui
di tengah kebisingan kunyah mengunyah
aku menyepi
bahagia dalam sendiri
jiwa bersama sunyi menghentak
hentakan gelisah
sesaat untuk memulihkan jelajah
Di
tengah
kebisingan
kunyahmenguyah menyikapi kondisi politik yang
ramai, saling menjatuhkan satu sama lain
karena kekuasan sedang berkibar kencang
membawa bendera. Menghindar atau
pensiun dari politik membuat damai, namun
ternyata tidak demikian. Jiwa bersama sunyi
menghentak hentakan gelisah kekuasaan
dan politikus terus berlari kencang hingga
perlu waktu untuk mengembalikan citra diri
(sesaat untuk memulihkan jelajah).

535

menjauh mencari kelenggangan


membuat batas dan jarak perjalanan
mencintaimu dalam perpisahan
Menghindar dari panggung politik
mencari ketenangan sehingga terbentang
jarak dan waktu. Pengarang pensiun
politik walaupun masih menyimpan hasrat
keinginan dan kepentingan (mencintaimu
dalam perpisahan).
semedi yang diam
diam yang semedi
meletas dari jasmani
meniti angan alir darah pembuluh
berlayar sukma melintas batas batas
dan aku hilang dalam kehadirannya
dan aku hadir dalam kehilanagnya
kendati ada bisik
berpacu malam dalam dingin
Konsep kesadaran kelas menyiratkan
sajak berikut. Semedi yang diam, diam
yang semedi, meletas dari jasmani. Kondisi
yang mendahului, yaitu kesadaran palsu.
Kepalsuan kesadaran kelas berasal dari
posisi kelas dan stuktur ekonomi masyarakat.
....
atau bagai kain pel diperas terpuingpuing
begitu banyak yang menggoda di dalam
semedi
sepi bersekutu dengan keliaran
sedang di negeri sabuk intan
mulutnya terkatup kejang takutjadi
kambing
hitam
Sajak
di
atas
mencerminkan
hegelianisme
(hegemoni).
Konsep
hegemoni oleh Gramsci (1975: 235)
didenisikan sebagai kepemimpinan budaya
yang dijalankan oleh kelas berkuasa. Ia
mempertentangkan hegemoni dengan koersi
yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif
dan eksekutif yang tampak pada kutipan
mulutnya terkatup kejang takut jadi kambing
hitam.

536

ahh, perempuan-perempuan desa


kemana mereka
mereka menjauh dan masuk ke dalam
kotaknya
topan menghembusnya ke langit dan
beterbangan
sampai hilang
Globalisasi dan modernisasi memaksa
kaum perempuan untuk sejajar dengan
pria, mereka bebas memilih pekerjaan yang
seharusnya dilalukan oleh pria. Bahkan,
mereka memiliki kemauan keras, keluar
dari negaranya untuk bekerja, tak peduli
masalah datang, topan menghembusnya
ke langit dan beterbangan. Dampak
globalisasi, perempuan tidak lagi terpenjara
dalam ideologi jawa dapur kasur sumur.
Kesetaraan gender telah merubah ideologi
mereka, para perempuan desa yang terbatas
pendidikan dan ilmu pengetahuannya nekat
terbang ke Saudi Arabia demi sesuap
nasi, rela meninggalkan keluarga.Mereka
tidak peduli akan pulang atau tidak, yang
jelas pola pikir mereka disetting sesuai
dengan perkembangan zaman dan tuntutan
kebutuhan atau desakan.Seperti terlihat
dalam kutipan sajak berikut.
di dalamnya perempuan desa
sampai hilang dari pandangan mata
sampai ke Saudi Arabia
Ciri-ciri globalisasi, antara lain: 1)
kehidupan dan interaksi sehari-hari yang
melintasi batas-batas negara banyak
dipengaruhi; 2) terdapat persepsi diri yang
bersifat transnasional, pada ranah media
massa, konsumsi, dan pariwisata; 3)
komoditas, tenaga kerja, dan modal semakin
tidak terikat tempat; 4) meningkatnya
kepedulian terhadap bahaya ekologi
global dan tindakan mengatasinya; 5)
meningkatnya persepsi tentang hal lain dan
kultural; 6) industri kebudayaan global yang
bergerak pada level yang tidak terkendali; 7)
meningkatnya jumlah kekuasaan aktor dan
institusi.

Globalisasi akan berefek juga pada


kekuasaan dan pemerintahan. Kekaisaran
didasarkan pada suatu desakan (imperatif)
rangkap tiga, yaitu 1) kekaisaran berusaha
menggabungkan
semua
yang
dapat
digabungkan. Ia tampak murah hati dan
bekerja menggunakan topeng liberal,
kenyataannya
ia
menciptakan
dunia
mulus dengan melenyapkan perbedaanperbedaan, perlawanan, dan konik; 2)
kekaisaran membuat pembedaan dan
pengukuhan
perbedaan-perbedaan;
3)
kekaisaran berusaha membuat hierarki dan
mengelola hierarki dengan perbedaan yang
tertanam di dalamnya yang menjadi kekuatan
nyata dari kekaisaran. Seperti tampak pada
kutipan sajak berikut.
jangan tanya aku (aku takut bicara)
seorang penyair (tak punya nama)
sembunyikan jantungku (sebab ia
berdenyut terus)
sumpalkan kepalan ke mulutku (aku mau
berteriak)
tidurkan aku bagaikan mayat (supaya ia
tidak curiga)
aku lelap
diseret semedi
Dengan demikian, kekaisaran adalah
suatu perseptif postmodern dari pandanganpandangan marxian mengenai globalisasi
dan mengenai penggunaan kekuasaan
seantero dunia.
dalam semediku, berjuta bias warna
membakar
hadirku
dan dari sini aku berteriak, TIDAK
Penerima efek kapitalis adalah kaum
pekerja (buruh), sementara para penguasa
hidup dalam kekayaan, cermati cahaya dari
belahan langit, menggugah semedi hingga
bangkit, ku tangkap ekornya. Sengatan yang
amat nikmat, oleh sesama kaum melarat.
4. Sepotong Kueh Dunia, Bali
Keberadaan perempuan seperti yang
terlihat dalam berbagai iklan ditentukan oleh

hubungan yang rumit. Tubuh merupakan


bagian yang paling privat dari seorang
perempuan telah menjadi konsumsi publik.
Hal ini tampak dari cara tubuh perempuan
ditampilkan sehingga terjadi pergeseran citra
tentang perempuan. Menariknya, proses ini
tidak menyebabkan terbentuknya potret
perempuan baru, tetapi penegasan kembali
potret lama, yakni perempuan merupakan
objek seks (Abdullah, 2001).
sepotong kueh dunia, Bali
langit kehilangan rembulan
Denpasar dan pantai Kuta dijilati
pengantar perenungan korban Aids
dikebumikan
Sajak di atas menceritakan kehidupan
perempuan di Bali yang tidak lagi memiliki
potret perempuan sebagai ibu, tetapi justru
potret perempuan sebagai objek seks. Hal
ini tampak pada langit kehilangan rembulan,
berarti langit sebagai pemberi kehidupan
telah kehilangan sinar cahaya sehingga
berkuranglah nilai diri.
Kueh merupakan makanan empuk
yang diminati oleh semua kalangan. Kueh
diibaratkan sebagai vagina yang menjadi
simbol kehormatan perempuan.
sepotong kueh dunia, Bali
berjingkrak merangsang lalat bertaburan
mengantarkan
pembiakan
kumankuman
disambut gamelan dan tari, produk
industri harga
pasti
sepotong kueh dunia, dihias dijajakan
langit kehilangan rembulan
sisa sisa jejak di pasir putih tenggelam
disapu buih dan busa luapan miras
Kehidupan perempuan di Bali dekat
dengan pelacuran, batas tipis dengan
mucikari. Pelacur mencari mangsa, mereka
hidup dalam industri dengan pimpinan
mucikari. Sajak di atas disuborganisasikan
oleh sebuah sistem dan stuktur kokoh
yang dibangun dengan kapitalis. Kapitalis

537

sebagai sistem telah membentuk struktur


yang menempatkan perempuan pada posisi
lemah.
Perempuan merupakan komoditas
dengan kemungkinan luas untuk digunakan
dalam proses distribusi barang karena sifat
kewanitaan mereka.Tetapi, struktur berpikir
dan tata nilai yang ada dalam masyarakat
telah melihat perempuan sebagai objek.
Seperti tampak pada penggalan sajak
berikut.
Siapakah yang sekarang menjadi Leak?
Mencintaimu Bali,
sepotong kueh dunia dihias bunga dan
wangi dupa
diadon dari keringat dan ketulusan petani
di desa-desa
dikunyah di hotel-hotel sawah
racunnya mengalir di pembuluh darah
terbatuk-batuk selalu bertepuk tangan
meriah
Perempuan dalam banyak kasus
seperti di Bali banyak melanggar batasbatas moral dan berkompetisi di antara
mereka. Kompetisi yang muncul di kalangan
perempuan disebabkan oleh sistem dan
struktur yang kapitalis. Konsep uang dan
harga begitu kuat merasuk ke alam bawah
sadar masyarakat dan menjadi kekuatan
simbolik yang mendorong perempuan untuk
terlibat dalam berbagai pertukaran sosial.
Kegiatan tersebut mengharuskan perempuan
mengorbankan
sisi-sisi
terpentingnya
sebagai perempuan.
mencintai Bali, perih berlinang-linang
hangat dalam desah dan alunan gamelan
ketika langit meniadakan batas sanubari
aku menutup mata basah kegelisahan
menyaksikan
mulut
raksaksa
mengunyahmu
sambil onani
Baliku, kueh dunia yang selalu laris
berapa lama lagikah keping terakhir di
telapak
tanganmu

538

kau sembunyikan di pura menemani


dewa-dewi
mempertahankan pagar-pagar jiwa dari
amuk
polusi dunia
Imaji tentang seks menegaskan bahwa
tubuh perempuan menjadi bagian yang
menarik. Praktik-praktik yang dikenakan
terhadap tubuh perempuan dianggap
sebagai proses pelestarian struktur dominasi
gender. Di satu sisi, hal ini merupakan
ekspresi dari suatu sistem nilai dan normaa
yang berlaku di masyarakat. Secara
biologis, perempuan dan laki-laki berbeda.
Perbedaan itu mendapat artikulasi anggapan
bahwa perempuan makhluk yang lemah dan
membutuhkan perlindungan. Kelemahan
(biologis) dimanfaatkan oleh laki-laki
dalam praktik seksual yang tidak sehat dan
merupakan penegasan dan dominasi lakilaki.
bagaikan sesajen para bhuta
nyamikan para raksaksa
air matamu diteguknya bagaikan
cocacola
percikan air suci betara-betari
petani menghirupnya di telapak tangan
kembang jepun doa-doa
ke khayangan menumpang dharma asap
dupa
di suatu malam terperangkap aku dalam
henyak
pantai Kuta kehilangan purnama
di langit gerhana
laut menenggelamkan asmara
kueh dunia dikunyah kalarau manca
dunia
Praktik seks yang menyimpang.
Tempat lelaki mencari makna kehidupan
yang sesungguhnya merupakan ekspresi
dan animalitas. Satu sisi menunjukkan sifat
asal lelaki dan sisi lain menunjukkan cara
pengelolaan kehidupan yang sangat modern.
Lelaki mengelola kebinatangannya secara

berbudaya dengan menciptakan sistem


dan struktur kelembagaan modern melalui
prostitusi bebas di Bali.
Perempuan sudah tidak lagi nguncang
ketungan
mengusirnya
sebab terserap oleh impian telenovela
aku berteriak dalam kebisuaan: Dimana
bulan
Denpasar?
beeeh, tidak nampak
mungkin sedang menjalani tes HIV
Efek kebebasan prostitusi adalah
tersebarnya virus HIV seantero Bali.
Bahkan, mencari perempuan perawan di Bali
rasanya tidak mungkin. Aku bertetiak dalam
kebisuaan: Dimana bulan Denpasar? beeeh,
tidak nampak.Mungkin sedang menjalani tes
HIV.
5. Marsinah
Sajak Marsinah memiliki kepiluan
atas perlakuan diri perempuan dalam
ketidaksadaran.
Impian
sederhana
mengubah nasib menjadi bumerang dan
ketidakadilan terhadap manusia kelas bawah
marsinah marilah kita ulang namanya,
sekalipun hanya dalam bisikan karena
takut,
Ketika gerimis atau terik matahari
Mengiringi
buruh
yang
meminta
perbaikan
nasibnya.
Marsinah
Marsinah meminta haknya sebagai
buruh, menginginkan perubahan nasib.
Sementara sistem kapitalis masih bersikukuh
dengan egonya. Para pemegang saham
pengendali terkuat kapitalis.Tapi bagi
mereka, pembeda seperti Marsinah layak
disinggkirkan demi kesepakatan dan takut
ancaman. Kapitalis menguasai perusahaan
dan korban utamanya buruh. Ketika buruh
meminta perbaikan nasib, para penggerak
kapitalis merasa waspada karena dengan

menaikkan gaji/kesejahteraan akan berefek


pada modal dalam perputaran usaha. Kaum
penggerak kapitalis merasa keuntungan
yang diperoleh berkurang. Kaum buruh
dianggapnya sebagai sapi perahan untuk
melancarkan kepentingan mereka di era
globalisasi.
Kenapa angin tidur, ketika engkau
berteriak
kesakitan menahan dera di lubang
sucimu
Perempuan didera pekerjaan sebagai
buruh dalam pembuatan jalan, buruh
bangunan, buruh angkut, buruh seks,
buruh rumah tangga yang semuanya tanpa
penghargaan (ekonomi dan sosial) yang
jelas dan pantas. Perempuan dianggap
sebagai makhluk lemah. Tetapi, di pihak
lain membiarkan mereka mendera tubuh
melakukan pekerjaan sik. Bahkan,mereka
mengalami ketidakadilan kaum lelaki.
kenapa langit tidak runtuh membantumu
dala ronta
dan orang orang itu telah membekukan
jasadmu
darahmu tidak mengalir lagi dan
desahmu padam
bersamaan jantungmu lunglai
Berbagai kasus diperlihatkan bahwa
ketimpangan gender merupakan reeksi
dari berbagai tekanan yang dialami
perusahaan-perusahaan dalam bersaing.
Kecenderungan merekrut tenaga wanita
usia muda merupakan hal yang mencolok.
Tenaga kerja perempuan pun mau dibayar
murah sehingga mereka terlibat sektor
sekunder.
Untuk meraih kesempatan dengan
laki-laki,seorang perempuan tidak hanya
memiliki kapasitas yang sebanding, tetapi
harus membayar biaya ideologis tambahan.
Penampilan dan daya tarik merupakan kapital
penting dalam membayar biaya ideologi ini.
Tetapi Marsinah buruh pabrik, tidak memiliki
hal tersebut sehingga dianggap sebagai

539

orang dungu yang tidak memiliki keahlian


dan komitmen terhadap pekerjaan dan
secara ideologis dianggap rendah.
Marsinah bukanlah hanya nama sekujur
jenasah..,
Orang mencari dalam dirimu dan orang
tidak
mendapatkanmu
Orang meminta seperti pengemis
bahagian nilaimu
Dan engkau tidak memberinya, sebab
bukan
hanya milikmu.
....
Partisipasi ekonomi perempuan terikat
pula pada perubahan struktur ekonomi yang
membuka peluang baru bagi perempuan
dalam berbagai pekerjaan. Keterlibatan ini
justru mereproduksi ketimpangan gender
karena
perusahaan-perusahaan
yang
berorientasi pada pencarian keuntungan dan
global membutuhkan tenaga perempuan
untuk menekan biaya produksi. Fakta
menunjukkan begitu banyak kendala yang
dihadapi perempuan dalam partisipasi
ekonomi, baik kultural maupun struktural.
Meskipun protes buruh perempuan
seperti Marsinah dapat dilihat sebagai tanda
adanya reaksi perempuan terhadap struktur
yang timpang, keberadaannya perlu dilihat
sebagai kesadaran baru yang menghasilkan
denisi baru tentang hubungan perburuhan
secara umum.
Pembantu rumah tangga yang disiksa
sesudah kehilangan hak bicara
Banyak
perempuan
yang
meninggalkan desa untuk bekerja menjadi
TKI ke luar negeri. Hal ini merupakan efek
dari sistem dan struktur yang diciptakan
secara sengaja oleh laki-laki. Kepergian
kaum perempuan sebagai pekerja ke luar
negeri disebabkan oleh keputusan untuk
keluar dari tekanan sosial yang diciptakan
laki-laki.Walaupun mungkin ketika mereka
bekerja sebagai TKI mendapat perlakuan

540

yang kurang menyenangkan dan pelecehan


seksual. Seperti tampak pada penggalan
sajak berikut.
Tapi kota telah memburunya,
Pelayan restioran, penghibur malam
yang menuai
keringat tubuhnya, dalam kepiluan
dipulas senyum
korban perkosaan yang berulang ulang
jadi korban
6. Demokrasi Membangun Matahari
Kukibarkan merah putih setengah tiang
lagi
Tertancap di ladang hati dokoyak tirani
Kawanku yang sudah berbaring masih
menanti
Dan kita terusmencari
Sajak ini muncul menandai lahirnya
reformasi. Pemerintahan Orde Baru telah
berkuasa selama puluhan tahun. Kekaisaran
kekuasan bertahta sampai anak cucu. Segala
bisnis, aturan negara, dan yuridis berada di
tangan Orde Baru. Kekecewaan terhadap
Orde Baru yang makin berkuasa, moralitas
pimpinan dan kekaisaran politik dalam satu
kendali. Aksi protes masyarakat Indonesia
yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa
seluruh Indonesia berhasil melengserkan
kepimpinan Soeharto untuk mundur dari
jabatannya.
Korban
reformasi
semuanya
adalah mahasiwa tertembak mati. Tetapi,
pembunuhnya belum juga diadili. Kawanku
yang sudah berbaring masih menanti. Dan
kita terus mencari.
Reformasi sebuah kata jadi
Gerakan perubahan dan strukturalnya
menjadi cita-cita masyarakat Indonesia
menuju perubahan. Semua bebas bicara,
bebas berekspresi, dan bebas berkarya.
Tidak ada lagi tekanan dan ketakutan akan
ditembak mati.
Penguasa diturunkan dari kursi
Demokrasi membangun matahari

Hukum militer penguasa tak lagi


berlaku, masyarakat tidak lagi dapat dibeli,
harga diri penguasa hampir tidak ada. Dia
harus tunduk pada tuntutan mahasiswa.
Dampak krisis moneter sempat
menerjang Indonesia beberapa waktu lalu.
Demokrasi menjadi jendela cakrawala
untuk membangun bangsa yang lebih baik.
Pada prinsipnya, setiap orang memiliki
hak berpendapat dan mencurahkan ide.
Gugurnya para mahasiwa yang disebut
pahlawan reformasi diharapkan tidak siasia. Kematiannya akan memicu munculnya
era reformasi kebangkitan seluruh negeri
Indonesia menuju Indonesia baru.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
ditarik beberapa simpulan berikut. Pertama,
Sajak-sajak Kegelisahan Hidup karya

Putu Oka Sukanta merupakan gambaran


dari system Kapitalis untuk menjalankan
kekuasaan sekaligus eksploitasi terhadap
para pekerja dan kaum perempuan. Kedua,
globalisasi telah mengubah cara pandang
masyarakat Indonesia yang berdampak
pada rusaknya kearifan local asli Indonesia,
baik di lingkungan pemerintah, pengusaha,
bahkan masyarakat lapisan bawah.
Berdasarkan simpulan di atas, penulis
memberikan saran sebagai berikut. Pertama,
massa perlu mengembangkan ideologi
revolusioner agar dapat menggunakan
konsep elitis tempat gagasan dibangun oleh
intelektual. Kedua, agama sebagai ideologi
yang menjadi faktor perbaikan tidak hanya
memberi corak pada hubungan antarunit
tempat perempuan diposisikan, tetapi
sumber legitimasi berbagai bentuk hubungan
gender yang timpang.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender,& Produksi Kekuasaan.Yogyakarta: Tarawang Press.
Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan Insist Press.
Gramsci, Antonio. 1975. Letters From Prison: Antonio Gramsci. Lynne Lawner (ed). New York:
Harper Colophon.
Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik Atas Fungsuonalis, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J.. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori NeoMarxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sukanta, Putu Oka. 1999. Perjalanan Penyair Sajak-sajak Kegelisahan Hidup. Yogyakata:
Pustaka Pelajar Offset.

541

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PROPOSAL


DENGAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER PADA SISWA KELAS XI
SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR

Muhammad Zikri Wiguna, Sarwiji Suwandi, Budhi Setiawan


STKIP PGRI Pontianak

ABSTRACT
The aims of this study are to improve 1) the quality of students learning in writing proposal
at Grades XI SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar through implementing Numbered Head
Together (NHT) model; 2) the students ability in writing proposal. This study is a classroom
action research (CAR). The research was conducted in three cycles. The Subjects of this
research were the students of ICT Grades XI SMA Muhammadiyah I Karanganyar and an
Indonesian Language teacher. The data sources were collected from the teacher, the students,
the activities of teaching learning process, and the documents. The techniques of collecting
data were observation, interview, and test. The data were analyzed by using critical analysis
and descriptive comparative analysis. The results showed that the use of NHT learning model
can improve the quality of process learning and ability to write proposals and proposal writing
skills. Based on the analysis of data, the quality of the learning process of writing a proposal
covers activeness, attention, and independence of students achieving a total score of 186 on
the rst cycle with 7.2 of average, in second cycle reached 267 with an average of 10.27, and
in the third cycle 295 with an average of 11.27.
Keywords: writing proposal, teaching quality, Numbered Head Together

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan 1) kualitas belajar siswa dalam menulis
usulan di Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar melalui pelaksanaan Numbered
Head Together NHT) Model (; 2) kemampuan siswa dalam penulisan proposal. Penelitian ini
merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Subyek
penelitian ini adalah siswa Kelas ICT XI SMA Muhammadiyah I Karanganyar dan guru Bahasa
Indonesia. Sumber data dikumpulkan dari guru, siswa, kegiatan proses belajar mengajar,
dan dokumen-dokumen. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan tes.
Data dianalisis dengan menggunakan analisis kritis dan analisis deskriptif komparatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran NHT dapat meningkatkan
kualitas proses belajar dan kemampuan untuk menulis proposal dan keterampilan penulisan
proposal. Berdasarkan analisis data, kualitas proses pembelajaran menulis proposal meliputi
keaktifan, perhatian, dan kemandirian siswa mencapai skor total 186 pada siklus pertama
dengan 7,2 dari rata-rata, pada siklus kedua mencapai 267 dengan rata-rata 10.27, dan pada
siklus ketiga 295 dengan rata-rata 11,27.
Kata kunci: menulis proposal, kualitas pengajaran, Numbered Head Together

PENDAHULUAN
Penilaian proses belajar mengajar
menyangkut penilaian terhadap kegiatan
siswa, pola interaksi guru dan siswa, dan
keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Apa yang dicapai oleh siswa merupakan
akibat dari proses yang ditempuhnya melalui

542

program dan kegiatan yang dirancang


dan dilaksanakan oleh guru dalam proses
mengajar (Sudjana, 2012: 1). Dalam hal
ini, penilaian pembelajaran tidak hanya
ditentukan oleh hasil akhir, tetapi juga oleh
proses yang telah ditempuh siswa selama
mengikuti pembelajaran.

Proses pembelajaran merupakan salah


satu komponen sistem pendidikan yang dapat
menentukan keberhasilan pembelajaran
dan mutu pendidikan. Oleh karena itu
untuk memperoleh mutu pendidikan yang
baik, diperlukan proses pembelajaran yang
berkualitas pula (Sukmadinata, 1999: 7).
Menurut Gagne & Briggs (1979: 49 - 50),
terdapat lima kategori keluaran belajar, 1)
kemampuan intelektual (intellectual skill);
2) pengaturan kegiatan kognitif (cognitive
strategy); 3) informasi verbal (verbal
information); 4) kemampuan motorik (motor
skill); dan 5) sikap (attitudes).
Kata kemampuan yang melekat pada
frasa (kelompok kata) pada penelitian ini,
memiliki acuan pengertian yang sepadan
dengan salah satu kategori keluaran belajar
yang disebutkan Gagne dan Briggs di atas,
yaitu kemampuan intelektual. Dijelaskan
oleh Winkel (1995: 73), yang dimaksud
kemampuan intelektual ialah kemampuan
untuk berhubungan dengan lingkungan
hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk
suatu representasi, khususnya konsep dan
berbagai lambang/simbol (huruf, angka,
kata, gambar).
Menurut Syah (2013: 119), kemampuan
tidak hanya meliputi gerakan motorik, tetapi
juga pengejawantahan fungsi mental yang
bersifat kognitif. Jadi, kemampuan intelektual
di sini berkenaan dengan kecekatan orang
dalam mendayagunakan segala fungsi
mental/kognitifnya untuk mencapai hasil
secara maksimal. Melalui penjelasan itu, kata
kemampuan pada penyebutan penelitian ini,
bukan dimaksudkan sebagai kemampuan
motorik yang berhubungan dengan gerakangerakan otot tubuh seseorang.
1. Keterampilan Menulis
Dalam
memeroleh
kemampuan
berbahasa, biasanya kita melalui suatu
hubungan yang beratur. Mula-mula pada
masa kecil kita belajar menyimak bahasa,

kemudian berbicara, sesudah itu belajar


membaca dan menulis (Tarigan, 1984: 1).
Menulis adalah suatu kegiatan penyampaian
pesan dengan tulisan sebagai mediumnya.
Pesan adalah isi atau muatan yang
terkandung dalam suatu tulisan. Adapun
tulisan merupakan sebuah sistem komunikasi
antarmanusia yang menggunakan simbol
atau lambang bilangan yang dapat dilihat
dan disepakati pemakainya (Akhadiah, dkk.,
1998: 13).
Menurut Akhadiah, dkk. (1998: 5),
menulis adalah aktivitas berbahasa yang
tidak banyak orang menyukainya. Padahal
menulis merupakan kemampuan berbahasa
paling kompleks dibandingkan kemampuan
menyimak, membaca, dan berbicara. Oleh
karena itu, kemampuan menulis selayaknya
diajarkan dengan lebih sistematis dan
terprogram dengan menerapkan langkahlangkah pembelajaran nyata yang mudah
diikuti oleh pembelajar, terutama pembelajar
pemula (Suparti, 2009: 1). Menulis
merupakan kegiatan kompleks. Agar dapat
menulis dengan baik dan lancar, diperlukan
kemampuan dasar umum menulis, yakni
kemampuan
mengomunikasikan
ide,
gagasan, perasaan, dan pikirannya kepada
orang lain dengan saluran bahasa secara
tertulis (Suparti, 2009 : 4).
Pendapat lain mengatakan bahwa
menulis merupakan suatu kemampuan
berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak
secara tatap muka dengan orang lain. Menulis
merupakan suatu kegiatan yang produktif
dan ekspresif (Tarigan, 1984: 3). Rahmina
(1997: 7.1) berpendapat bahwa menulis
merupakan suatu kegiatan pengungkapan
ide, gagasan, pikiran, atau perasaan secara
tertulis. Secara tidak sadar, kegiatan menulis
merupakan suatu jalan untuk menguraikan
ide, gagasan, serta perasaan.
Menulis merupakan keterampilan
berbahasa yang lebih sulit jika dibandingkan

543

dengan keterampilan berbahasa yang lain


(Dixon & Nessel, 1983: 83). Diungkapkan
oleh Semi (1990: 8) bahwa menulis adalah
pemindahan pikiran atau perasaan ke dalam
bentuk lambang-lambang bahasa. Dengan
kata lain, menulis adalah melahirkan pikiran
dan perasaan lewat tulisan (Hernowo, 2002:
116).
Gie (1994: 3) menyamakan pengertian
menulis dengan mengarang. Diungkapkan
bahwa menulis arti pertamanya ialah
membuat huruf, angka, nama, sesuatu
tanda kebahasaan apa pun dengan sesuatu
alat tulis ada suatu halaman tertentu. Kini
dalam pengertiannya yang luas, menulis
merupakan kata sepadan yang mempunyai
arti sama dengan mengarang.
Nurgiantoro (2005: 273) menambahkan
pengertian menulis sebagai aktivitas
mengemukakan gagasan melalui bahasa.
Aktivitas pertama menekankan unsur bahasa
sedangkan yang kedua gagasan. Gagasan
merupakan makna yang menyadarkan.
Dalam tulisan, gagasan cemerlang yang
tersirat dalam tulisan akan mampu memikat
pembaca dan pada akhirnya mampu
membuat pembaca melakukan perubahanperubahan besar yang berarti dalam
hidupnya.
Hernowo (2002: 215) menegaskan
bahwa
menulis
merupakan
aktivitas
intelektual praktis yang dapat dilakukan oleh
siapa saja dan berguna untuk mengukur
seberapa tinggi pertumbuhan rohani
seseorang. Aktivitas menulis juga bermanfaat
untuk menyeimbangkan fungsi kerja kedua
belahan otak, baik otak kanan maupun otak
kiri.
Menurut Saddhono (2013: 47),
menulis merupakan sebuah proses kreatif
menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa
tulis untuk tujuan, misalnya, memberitahu,
meyakinkan, dan menghibur. Hasil dari
kreativitas menulis ini biasa disebut dengan
istilah tulisan atau karangan. Kedua istilah itu

544

mengacu pada hasil yang sama meskipun


ada pendapat yang mengatakan kedua istilah
tersebut memiliki pengertian yang berbeda.
Istilah menulis sering dilekatkan pada proses
kreatif yang berjenis ilmiah. Sementara,
istilah mengarang sering dilekatkan pada
proses kreatif yang berjenis nonilmiah.
Menurut
Maheady, dkk. (2006:
24) pembelajaran dengan Numbered
Head Together mengupayakan siswa
berkonsentrasi
terhadap
pelajaran,
memusatkan pikiran untuk merasa siap
menjawab pertanyaan, berpikir kritis, serta
lebih bergairah (previous research has
shown that Numbered Head Together is an
efcient and effective instructional technique
to increase student responding and to
improve achievement).
2. Model Pembelajaran Numbered Head
Together (NHT)
Salah satu model pembelajaran
kooperatif dengan pendekatan struktural
yang sesuai dengan materi bentuk-bentuk
keputusan bersama dan mematuhi hasil
keputusan bersama adalah Numbered
Head Together (NHT). Lie (2004: 59)
mengemukakan bahwa Numbered Head
Together (NHT) merupakan suatu teknik
yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk saling membagikan ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling
tepat. Pada model pembelajaran ini kelas
dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil
secara homogen, yang terdiri dari 4 - 5
siswa yang berkerja sama dalam suatu
perencanaan kegiatan. Selanjutnya, setiap
anggota kelompok diharapkan saling bekerja
sama dan bertanggung jawab.
Menurut Trianto (2007: 24), dalam
mengajukan pertanyaan kepada seluruh
kelas, guru menggunakan struktur empat
fase sebagai sintak model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Head Together
(NHT), antara lain: 1) penomoran; 2)

mengajukan
pertanyaan;
3)
berpikir
bersama; dan 4) menjawab. Menurut Kagan,
model pembelajaran NHT ini secara tidak
langsung melatih siswa untuk saling berbagi
informasi, mendengarkan dengan cermat,
serta berbicara dengan penuh perhitungan
sehingga siswa lebih produktif dalam
pembelajaran.
Berdasarkan wawancara dan observasi
dengan guru dan siswa kelas XI SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar, terdapat
permasalahan dalam pembelajaran menulis
proposal yang dialami siswa. Permasalahanpermasalahan tersebut, di antaranya 1)
kualitas pembelajaran menulis proposal
pada siswa kelas XI SMA Muhamadiyah 1
Karanganyar rendah; dan 2) kemampuan
menulis proposal pada siswa kelas XI SMA
Muhamadiyah 1 Karanganyar rendah.
Permasalahan-permasalahan menulis
proposal ini juga dapat dilihat melalui
nilai tugas menulis proposal yang didapat
oleh siswa kelas XI SMA Muhammadiyah
Karanganyar. Dari 26 siswa kelas XI ICT,
hanya 3 (11,53%) siswa yang mencapai nilai
di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal),
yaitu 75. Sedangkan, 23 (88%) siswa masih
mencapai nilai di bawah KKM. Hal ini berarti
ketuntasan belajar untuk kelas tersebut
hanya 11,53%.
Adapun tujuan penelitian adalah
meningkatkan 1) kualitas pembelajaran
menulis proposal siswa kelas XI SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar melalui
penerapan model pembelajan Numbered
Head Together; dan 2) meningkatkan
kemampuan menulis proposal siswa kelas XI
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar melalui
penerapan model pembelajaran Numbered
Head Together.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar, tepatnya di
kelas XI ICT sebagai subjek penelitian karena

di kelas tersebut, terdapat permasalahan


pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya
kualitas
proses
pembelajaran
dan
kemampuan menulis proposal. Penelitian
dilaksanakan selama lima bulan, yaitu pada
bulan Agustus Desember 2013. Penelitian
ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas
(Classroom Action Research), yaitu sebuah
penelitian kolaboratif antara peneliti, guru,
siswa maupun staf sekolah yang lain untuk
menciptakan kinerja sekolah yang lebih baik
(Suwandi, 2011: 12). Subjek penelitian adalah
siswa kelas XI ICT SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar sejumlah 26 siswa dan guru
pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia
XI, yaitu Wahyu Lestari, S.Pd.
Sumber data penelitian ini ada tiga, yaitu
1) peristiwa proses pembelajaran menulis
proposal; 2) informan; dan 3) dokumen.
Teknik pengumpulan data yang akan
digunakan adalah observasi, pengamatan
berupa catatan lapangan, wawancara, proses
belajar, dan tes. Data-data dalam penelitian
ini diuji validitasnya dengan beberapa teknik
triangulasi, yaitu triangulasi sumber data dan
triangulasi model. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kritis dan deskriptif komparatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan
Model
Pembelajaran
Numbered Head Together
Berdasarkan hasil observasi awal,
diperoleh
gambaran
bahwa
kualitas
proses belajar dan kemampuan menulis
proposal siswa masih rendah. Dari hasil
pengamatan pratindakan pada proses
pembelajaran di kelas, diketahui bahwa
suasana belajar di kelas kurang aktif dan
cenderung tidak menarik, siswa juga kurang
memperhatikan penjelasan guru dan sibuk
dengan kegiatannya masing-masing. Siswa
merasa pembelajaran menulis proposal
membosankan karena siswa merasa
kesulitan dalam pelajaran menulis proposal.

545

Guru kesulitan membangkitkan minat siswa


dalam menulis proposal. Guru enggan
menerapkan model pembelajaran dalam
mengajarkan materi sehingga kreativitas
guru kurang.
Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa proses pembelajaran menulis
proposal dan hasil kemampuan menulis
proposal mepmunyai hubungan timbal balik
yang erat. Guru harus mengubah paradigma
dalam pembelajaran menulis proposal
sesuai dengan perkembangan zaman.
Pemilihan metode pembelajaran yang efektif
menjadi hal penting bagi guru. Berdasarkan
permasalahan tersebut, tindakan yang
telah dilakukan dalam penelitian adalah
menerapkan model Numbered Head
Together (NHT) pada pembelajaran menulis
proposal.

maupun individu belum maksimal, partisipasi


seluruh anggota kelompok, tukar pendapat,
bertanya, dan saling membantu antaranggota
kelompok masih sangat rendah. Siswa
masih terlihat pasif dan proses pembelajaran
antaranggota kelompok masih didominasi
oleh satu dan dua orang. Siswa kurang serius
dan kurang konsentrasi sehingga mereka
juga kurang disiplin, kerja sama, aktif, dan
tanggung jawab dalam kerja kelompok untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Ketika
diskusi kelompok berlangsung, ada siswa
yang mempresentasikan jawabannya, masih
ada siswa yang berbicara sendiri dan tidak
memperhatikan. Siswa masih belum mampu
menulis proposal kegiatan dengan baik. Hal
ini dikarenakan siswa belum memahami
secara maksimal bagaimana menulis
proposal.

Model Numbered Head Together (NHT)


telah diterapkan dalam pembelajaran menulis
proposal melalui tindakan sebanyak tiga
siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam dua
pertemuan. Berdasarkan hasil observasi dan
hasil tes yang telah dilakukan dari pratindakan,
siklus I sampai siklus III, pembelajaran
menulis proposal mengalami peningkatan.
Peningkatan mencakup peningkatan kualitas
proses pembelajaran menulis proposal dan
peningkatan kemampuan menulis proposal
pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar.

Pengamatan siklus I pada kinerja guru


mencapai skor 47 bisa dikatakan kurang ini
karena guru belum mampu mengelola kelas
dengan menerapkan model NHT secara
baik. Guru belum mampu menciptakan
situasi pembelajaran yang mendukung siswa
untuk aktif, berkosentrasi, serta termotivasi
untuk belajar. Pengawasan guru dalam
kelompok masih sangat kurang. Siswa belum
termotivasi dengan model pembelajaran
NHT yang digunakan guru karena masih
awam dan baru mengenal model. Siswa juga
belum sepenuhnya menghayati pada saat
guru menggunakan model NHT.

2. Siklus I

Pengamatan kinerja siswa pada siklus I


didapati skor keaktifan 65, perhatian 63, dan
kemandirian 58. Reeksi siklus I diperoleh
nilai kemampuan menulis proposal pada
siklus I yang dihasilkan siswa, yaitu 1) nilai
yang lebih dari KKM 5 siswa; 2) ketuntasan
klasikal 21,73%; 3) rata-rata 60,77 yang
belum dicapai atau kurang dari KKM 18 siswa
78,26% hal ini disebabkan a) aktivitas siswa
masih kurang, b) siswa belum memahami
model NHT dengan baik.

Hasil penelitian pada siklus I dapat


dikemukakan bahwa kemampuan menulis
proposal siswa dan kualitas pembelajaran
siswa dengan model NHT belum berjalan
secara optimal. Hal ini ditandai oleh beberapa
hal. Dari hasil kinerja siswa dalam menulis
proposal, masih banyak siswa yang belum
mampu memeroleh nilai 75 sesuai dengan
kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Keaktifan siswa dalam pembelajaran
yang berlangsung dalam kerja kelompok

546

Tabel 1. Persentase Kinerja Guru


Indikator
Siklus I
Kinerja Guru
47%
Tabel 2. Persentase Kinerja Siswa Siklus I
Aspek

Skor

Keaktifan

65

Perhatian

63

Kemandirian

58

Tabel 3. Persentase Kemampuan Menulis


Proposal Siklus I
Indikator
Siklus I
Kemampuan menulis proposal 21,73%
Pada hasil pelaksanaan siklus I
masih terdapat beberapa kekurangan dan
kelemahan di setiap aspeknya. Pada siklus I
indikator keberhasilan masih belum tercapai
sehingga penelitian ini akan dilanjutkan pada
siklus II.

Hasil pengamatan kinerja guru pada


siklus II mencapai skor 60 atau cukup.
Guru sudah dapat mengelola kelas dengan
menerapkan model NHT dengan baik.
Guru sudah mampu menciptakan situasi
pembelajaran yang mendukung siswa untuk
aktif, berkosentrasi, serta termotivasi untuk
belajar. Pengawasan guru dalam kelompok
cukup, tetapi perlu ditingkatkan lagi pada
siklus III.
Hasil reeksi siklus II diperoleh nilai
kemampuan menulis proposal kegiatan
pada siklus II yang dihasilkan 26 siswa,
yaitu a) nilai yang lebih dari KKM 12 siswa;
b) ketuntasan klasikal 46.15%; c) rata-rata
73.96. Hal ini disebabkan a) siswa mulai aktif
dalam proses pembelajaran; b) siswa mulai
optimal berdiskusi dalam kelompok.
Tabel 4. Persentase Kinerja Guru Siklus II
Indikator
Kinerja Guru

Siklus II
60%

Tabel 5. Persentase Kinerja Siswa Siklus II


3. Siklus II
Hasil penelitian pada siklus II dapat
dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran
menulis proposal kegiatan dengan model
NHT sudah berjalan lebih baik dibandingkan
siklus I. Hal ini ditandai oleh beberapa hal
berikut. Keaktifan siswa mencapai skor 92,
perhatian siswa mencapai skor 92, dan
kemandirian siswa mencapai skor 83. Hal
ini disebabkan partisipasi seluruh anggota
kelompok, tukar pendapat, bertanya, dan
saling membantu antaranggota kelompok ada
peningkatan dibandingkan pada siklus I, dan
perlu ditingkatkan lagi pada siklus III. Siswa
yang kurang serius dan kurang konsentrasi
mulai terlihat perubahannya, yaitu mulai
ada ketertarikan dan keseriusan sehingga
mereka mulai disiplin, kerja sama, aktif, dan
bertanggung jawab dalam kerja kelompok
menyelesaikan tugas yang diberikan ketika
diskusi kelompok berlangsung dibandingkan
pada siklus I.

Aspek

Skor

Keaktifan

92

Perhatian

92

Kemandirian

83

Tabel 6. Persentase Kemampuan Menulis


Proposal
Indikator
Siklus II
Kemampuan menulis proposal 46,15%
Terdapat
perbandingan
pada
hasil kualitas proses pembelajaran dan
kemampuan menulis proposal siswa pada
siklus II dibanding siklus I, walaupun terjadi
peningkatan di beberapa bagian, tetapi masih
belum mencapai indikator keberhasilan yang
ingin dicapai. Maka, penelitian dilanjutkan
pada siklus III.
4. Siklus III
Pada siklus III ini kinerja guru
mencapai nilai 76 (76%) bisa dikatakan

547

sangat baik. Dari indikator yang ditentukan,


diketahui bahwa kinerja guru sudah lebih
baik. Hal ini wajar karena guru sudah empat
kali menggunakan model ini dan semakin
paham prosedur pelaksanakan model NHT.
Guru lebih bersemangat dalam membimbing
siswa untuk menyelesaikan tugas kelompok
mereka. Guru lebih aktif mengontrol kegiatan
kelompok secara bergiliran terutama siswa
yang kurang aktif pada siklus II dan suasana
kelas lebih hidup. Guru sering memberi
penguatan dan pujian kepada siswa
yang sudah mempresentasikan jawaban
kelompoknya.
Pada siklus III kinerja siswa meningkat
di setiap aspeknya. Keaktifan mencapai
skor 101, perhatian mencapai skor 97, dan
kemandirian mencapai skor 97. Kemampuan
menulis proposal kegiatan pada siklus
III diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar
79,17%. Siswa yang mendapatkan nilai 75
sebanyak 19 siswa, siswa yang mendapatkan
nilai <75 sebanyak 5 siswa (20,83%).
Tabel 7. Persentase Kinerja Guru Siklus III
Indikator
Siklus III
Kinerja Guru
76%
Tabel 8. Persentase Kinerja Siswa Siklus III
Aspek
Keaktifan
Perhatian
Kemandirian

Skor
101
97
97

Tabel 9. Persentase Kemampuan Menulis


Proposal Siklus III
Indikator
Siklus III
Kemampuan menulis proposal 79,17%
Pada siklus III indikator keberhasilan
telah tercapai sehingga penelitian dihentikan
pada siklus III.
5. Peningkatan
Pembelajaran

Kualitas

Proses

Setelah diterapkan model NHT


dalam pembelajaran menulis proposal,

548

proses pembelajaran yang berlangsung


terasa lebih hidup daripada sebelumnya.
Tindakan-tindakan yang dilaksanakan pada
setiap siklus mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran menulis proposal kegiatan
siswa kelas XI ICT SMA Muhammadiyah
I Karanganyar. Hal ini dapat dilihat pada
indikator-indikator berikut.
a. Kinerja Siswa
Kinerja siswa yang mencakup
keaktifan, perhatian, dan kemandirian,
menunjukkan peningkatan di setiap
siklusnya. Kerja sama yang dibangun
menjadikan
hubungan
antarsiswa
lebih akrab dan komunikatif. Saling
berpendapat, bertanya, memberikan
saran dan komentar sudah menjadi
hal yang biasa di antara siswa. Kerja
sama siswa meningkat dan menjadikan
mereka bersama-sama membahas dan
saling memberi pemahaman, serta kerja
sama siswa sangat berkaitan dengan
rasa kebersamaan.
Keberanian siswa sangat berkaitan
dengan harga diri. Seperti yang
diungkapkan Slavin (2008: 122) bahwa
rasa harga diri yang dimiliki oleh siswa
adalah perasaan bahwa mereka memang
disukai oleh teman-teman mereka dan
perasaan bahwa siswa dapat melakukan
hal-hal yang berbau akademik.
Minat dapat dibangkitkan dengan
penerapan model NHT dilihat dari struktur
tujuannya, yaitu tujuan kooperatif yang
melakukan usaha berorientasi tujuan
dari tiap individu memberi kontribusi
pada pencapaian tujuan anggota yang
lain (Slavin, 2008: 34). Siswa yang
bekerja keras dan membantu temannya
akan dipuji dan didukung oleh temanteman satu kelompoknya. Penghargaan/
reward juga akan menambah minat dan
motivasi siswa.
b. Kinerja Guru
Peran guru dalam mengelola
kelas merupakan salah satu penentu

keberhasilan proses pembelajaran.


Guru yang profesional mempunyai ciriciri 1) memiliki kepribadian yang matang
dan berkembang; 2) penggunaan
ilmu yang kuat; 3) keterampilan
untuk membangkitkan peserta didik
kepada sains dan teknologi; dan
4) pengembangan profesi secara
berkesinambungan. Pada pratindakan
pembelajaran didominasi dengan model
ceramah.
Pada embelajaran dengan model
NHT peran guru sebagai pengontrol
kegiatan diskusi kelompok. Pembelajaran
sudah tidak didominasi dengan model
ceramah, guru sudah menciptakan
suasana pembelajaran yang kondusif
dan kooperatif. Guru telah mampu
membangkitkan keaktifan, perhatian,
dan kemandirian siswa. Guru aktif dalam
memantau kinerja setiap kelompok
dan menekankan kepada siswa bahwa
mereka memunyai tanggung jawab
untuk memastikan bahwa teman satu
kelompok mereka telah mempelajari
materinya. Sewaktu para siswa sedang
bekerja dalam kelompok, guru berkeliling
kelas, dan kadang guru menegur dan
memberi saran dengan tiap kelompok
untuk memberi pemahaman kepada
anggota kelompok.
Miarso (2008: 70) menjelaskan
bahwa guru yang berkualitas atau yang
berkualikasi adalah yang memenuhi
standar pendidik, menguasai materi/isi,
menghayati, dan melaksanakan proses
pembelajaran sesuai dengan standar
proses pembelajaran.
Peningkatan kualitas pembelajaran
menulis proposal juga berimplikasi
pada kemampuan siswa dalam menulis
proposal. Berdasarkan hasil pengamatan
awal dan pratindakan, diperoleh nilai
siswa yang rendah. Hal ini karena proses
pembelajaran yang belum menyentuh
taraf apresiatif. Keterlibatan siswa dalam

proses pembelajaran masih kurang serta


guru belum memanfaatkan potensi kerja
sama antarsiswa. Hasil ulangan harian
sebelum tindakan dengan nilai rata-rata
yang dicapai masih rendah, di bawah
KKM yang ditetapkan dalam kurikulum,
yaitu 75.
Peningkatan
kualitas
proses
pembelajaran juga pernah diteliti
oleh Ulfah dengan judul Teknik PeerCorrection untuk Meningkatkan Kualitas
Proses dan Hasil Pembelajaran Menulis
Karya Ilmiah Siswa Sekolah Menengah
Atas. Penelitian tersebut menunjukkan
hasil bahwa teknik Peer-Correction dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil
pembelajaran penulisan karya ilmiah.
Berdasarkan permasalahan tersebut,
peneliti melaksanakan penelitian tindakan
kelas untuk meningkatkan kemampuan
menulis
proposal
siswa
dengan
menerapkan model NHT. Tujuannya
agar siswa memiliki kemampuan sesuai
dengan standar kompetensi yang telah
ditentukan serta mencapai batas KKM
yang ditetapkan dalam kurikulum, yakni
75 dan daya serap mencapai 75%.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dengan menerapkan model NHT, merupakan
pertama kali baru dialami oleh siswa. Kerja
kelompok yang pernah dilakukan merupakan
kerja kelompok biasa. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa siswa belum memiliki
pengalaman belajar dengan kerja NHT.
Guru juga menyadari bahwa minat siswa
terhadap proposal masih rendah sehingga
berpengaruh terhadap nilai mereka.
Guru belum pernah menerapkan
strategi pembelajaran khusus yang mampu
membangkitkan minat siswa dan melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
Disimpulkan bahwa pembelajaran menulis
proposal kegiatan belum berjalan dengan
baik. Setelah diterapkan model kooperatif
NHT dalam pembelajaran menulis proposal,

549

kegiatan dari siklus I sampai siklus III


mengalami peningkatan yang cukup bagus.

dalam kurikulum, yakni 75 dan daya serap


mencapai 75%.

Peningkatan tersebut dilihat dari


penilaian proses dan penilaian hasil.
Penilaian proses seperti dijelaskan pada bab
sebelumnya, sedangkan penilaian hasil yang
digunakan untuk mengetahui kompetensi
siswa dalam menulis proposal. Penilaian
hasil pada siklus I, siklus II, dan siklus III
ditekankan pada kemampuan siswa menulis
proposal yang dijelaskan pada aspek-aspek
yang sudah disebutkan sebelumnya.

Pelaksanaan proses pembelajaran


harus didasarkan pada prinsip terjadinya
interaksi secara optimal antara peserta
dengan pendidik peserta didik sendiri, serta
peserta didik dengan aneka sumber belajar
termasuk lingkungan (Miarso, 2008: 71 - 72).

Berdasarkan
hasil
penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan, tampak
bahwa secara teoretis dan empiris, hasil
penelitian tersebut cukup bermanfaat
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
dan meningkatkan kemampuan menulis
proposal. Secara teoretis, penelitian yang
dilakukan oleh peneliti didukung dengan
teori-teori yang relevan dengan masalah
yang dihadapi. Secara empiris, tindakantindakan yang dilakukan oleh peneliti memiliki
dampak yang bermanfaat bagi peningkatan
kemampuan menulis proposal.
6. Peningkatan
Proposal

Kemampuan

Menulis

Peningkatan kualitas pembelajaran


juga berimplikasi pada kemampuan siswa
dalam menulis proposal. Berdasarkan hasil
pengamatan awal dan hasil pratindakan,
diperoleh nilai siswa yang rendah. Hal
ini karena proses pembelajaran belum
menyentuh taraf apresiatif. Keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran masih kurang
serta belum memanfaatkan potensi kerja
sama antarsiswa. Berdasarkan permasalahan
tersebut, peneliti melaksanakan penelitian
tindakan
kelas
untuk
meningkatkan
kemampuan menulis proposal siswa dengan
menerapkan model NHT. Tujuannya, agar
siswa memiliki kemampuan sesuai dengan
standar kompetensi yang telah ditentukan,
juga mencapai batas KKM yang ditetapkan

550

Peningkatan kemampuan menulis


dengan model Numbered Head Together juga
pernah diteliti oleh Grace dalam penelitiannya
yang
berjudul
Improving
Students
Achievement In Descriptive Writing Through
Numbered Head Together Technique. Studi
ini bertujuan untuk mengetahui apakah
penggunaan model Numbered Head
Together dapat meningkatkan kemampuan
menulis teks deskriptif siswa. Simpulannya,
model Numbered Head Together dapat
meningkatkan pencapaian nilai siswa dalam
menulis teks deskriptif.
Begitu pula hasil penelitian ini, yang
menunjukkan bahwa penggunaan model
pembelajaran Numbered Head Together
dapat meningkatkan kemampuan menulis
proposal dan kualitas proses pembelajaran
menulis proposal pada siswa kelas XI ICT
SMA Muhammadiyah I Karanganyar tahun
ajaran 2013/2014.
Hasil penelitian yang dilaksanakan
tampak bahwa secara teoretis dan empiris
bermanfaat dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran dan kemampuan menulis
proposal. Secara teoretis, penelitian yang
dilakukan oleh peneliti didukung dengan
teori-teori yang relevan dengan masalah
yang dihadapi. Secara empiris, tindakantindakan yang dilakukan oleh peneliti memiliki
dampak yang bermanfaat bagi peningkatan
kemampuan menulis proposal.
Persamaan penelitian ini dengan
beberapa penelitian yang relevan ialah
dengan menggunakan model Numbered
Head
Together
untuk
meningkatkan

kemampuan menulis siswa. Berbeda


dengan penelitian terdahulu, penelitian ini
dilakukan pada siswa kelas XI ICT SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar dengan
pertimbangan materi menulis proposal
tercantum dalam kompetensi dasar kelas XI
SMA. Di samping itu, pembelajaran menulis
merupakan pembelajaran yang bermasalah
di kelas XI ICT SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar.
PENUTUP
Berdasarkan
hasil
penelitian,
pengolahan data, dan pengujian hipotesis
yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran
Numbered Head Together (NHT) dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran

menulis proposal dan kemampuan menulis


proposal. Berdasarkan simpulan yang
diperoleh dari hasil penelitian, peneliti
menyarankan bagi peneliti selanjutnya,
diharapkan dapat mengungkapkan lebih
dalam lagi efektivitas model pembelajaran
Numbered Head Together (NHT) dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia dengan
bahasan yang lebih luas.
Bagi sekolah dan guru, penelitian ini
dapat memotivasi guru untuk aktif melakukan
inovasi dalam pembelajaran, misalnya
dengan melakukan Penelitian Tindakan
Kelas disertai pemilihan metode dan media
pembelajaran yang tepat. Guru perlu
mengembangkan pembelajaran menulis
proposal dengan metode, teknik, dan strategi
secara bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti, Arsjad, Maidar G. & Ridwan, Sakura H.. 1998. Bahasa Indonesia III. Jakarta:
Depdikbud Ditjen Dikti.
Dixon, C. N. & Nessel, D.. 1983. Language Experience Approach to Reading and Writing:
Language-Experience Reading for Second Language Learners. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Gagne, Robert M. & Briggs, Leslie J.. 1979. Principles of Instructional Design. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Grace, Decy Natasha. 2012. Improving Students Achievement In Descriptive Writing Through
Numbered Head Together Technique. Artikel, Medan: Unimed Library.
Hernowo. 2002. Mengikat Makna. Kaifa: Bandung.
Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang
Kelas. Jakarta: Grasindo.
Maheady. L., Haydon. T., & Hunter,W.. 2006. Effect of Numbered Heads Together with and
without an Incentive Package on The Seine Test Performance of A diverse Group of
Sixth Graders. Journal of Behavioral Education, 15(1). State University of New York.
Fredonia. NY.
Miarso, Yusufhadi. 2008. Peningkatan Kualikasi Guru dalam Perspektif Teknologi Pendidikan.
Jurnal Pendidikan Penabur, No 10/ Tahun ke 7/ Juni.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Penilaian Pengajaran Bahasa dan Sastra Edisi Ke-3. Yogyakarta:
PT. BFPE.

551

Rahmina, Iim. 1997. Perancangan dan Penulisan Alat Ukur Keterampilan Menulis secara
Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
Saddhono, Kundharu. 2013. Menulis Ilmiah: Teori dan Aplikasi. Surakarta: LPPM UNS.
Semi, Atar. 1990. Penelitian Bahasa dan Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Slavin, Robert E.. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1999. Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek). Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Suparti. 2009. Writing Process: Strategi Pengembangan Kemampuan Menulis Mengarang.
Jurnal Pendidikan Interaksi, 4(4), Juni 2009. Pamekasan: UNIRA.
Suwandi, Sarwiji. 2011. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penelitian Karya Ilmiah.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Syah, Muhibbin. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tarigan, Henry G 1984. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Ulfah, Maria. 2013. Teknik Peer-Correction Untuk Meningkatkan Kualitas Proses Dan Hasil
Pembelajaran Menulis Karya Ilmiah Siswa Sekolah Menengah Atas. Journal of PBS,
2(1). Surakata: UNS Press.
Winkel, W.S.. 1995. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

552

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah berupa artikel penelitian dan artikel pemikiran konsep yang bertemakan pendidikan
2. Naskah belum pernah dipublikasikan di media lain, ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris,
diketik spasi 1,5 kecuali abstrak 1 spasi dalam bahasa Inggris pada kertas A4, Font Times
New Roman jumlah halaman 15-20.
3. Artikel diserahkan paling lambat dua bulan sebelum diterbitkan. Artikel dapat dikirim via
email ke bpsdm.bj@gmail.com
4. Artikel hasil penelitian
Judul di tengah halaman, huruf kapital dan diikuti 2) untuk catatan kaki status penulis
(mis:1) artikel penelitian)
Nama penulis lengkap, tanpa gelar
Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia kurang lebih sampai 50-70
kata. Keyword ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia maksimal 15 deskriptor.
Pendahuluan (tanpa subjudul, meliputi latar belakang, masalah/penelitian, dan sedikit
kajian teori)
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian saja)
5. Artikel pemikiran konseptual.
Judul
Nama Penulis
Alamat Korespondensi, E-mail, dan Hp.
Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Inggris
Keyword
Pendahuluan (tanpa subjudul)
Subjudul (sebanyak kebutuhan)
Simpulan dan Saran
Daftar Pustaka
6. Daftar Pustaka yang ditulis hanya pustaka yang dikutip dan diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Contoh: Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
7. Setiap naskah yang masuk dikaji oleh Tim Penyunting Ahli sesuai dengan kepakarannya.
Jika diterima, naskah dapat diubah oleh tim penyunting tanpa mengubah esensi isinya.
8. Kepastian penerimaan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis/lewat
e- mail. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat nomor bukti penerbitan. Artikel
yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
9. Melampirkan biodata penulis yang dibuat secara naratif maksimal 100 kata. memuat
nama lengkap dan gelar, tempat dan tanggal lahir, jabatan/golongan/pekerjaan dan tempat
kerja, hasil penelitian dan publikasi ilmiah 3 tahun terakhir, dan alamat korespondensi
lengkap dengan telp/fax/email.

BPSDM-BJ
BR
ILIAN JAYA

BPSDM-BJ
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Brilian Jaya
Jl. Samudra Pasai No. 49, Lt. 2, Kleco RT 02/01,
Kadipiro, Surakarta 57136
Email: bpsdm.bj@gmail.com Hunting: 08122599653

Anda mungkin juga menyukai