Anda di halaman 1dari 7

Komunikasi Terapeutik

Pengertian
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi.
Seorang penolong atau perawat dapat membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapinya
melalui komunikasi, (Suryani 2005). Menurut Purwanto yang dikutip oleh (Mundakir 2006),
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik
merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien, (Siti
Fatmawati 2010).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien, Indrawati, dalam Siti Fatmawati, (2010).
Menurut (Stuart 1998) komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara
perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama
dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien. Menurut (Potter-Perry 2000), proses
dimana perawat menggunakan pendekatan terencana dalam mempelajari klien.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang dilakukan seorang perawat dan tim paliatif dengan teknik-teknik tertentu
yang mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk
membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian informasi yang akurat kepada
pasien, sehingga diharapkan dapat berdampak pada perubahan yang lebih baik pada pasien
dalam menjalanakan terapi dan membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang
dihadapi pada tahap perawatan.
Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi pasien kearah yang lebih positif
atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi: Pertama, realisasi diri,
penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan
terjadi perubahan dalam diri pasien. pasien yang tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau
merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat atau tim paliatif akan
mampu menerima dirinya.
Kedua, kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling bergantung dengan orang lain.
Melalui komunikasi terapeutik, pasien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain.
Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat
meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.
Ketiga, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
yang realistis. Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa
mengukur kemampuannya.
Keempat, rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Identitas personal
disini termasuk status, peran, dan jenis kelamin. pasien yang mengalami gangguan identitas
personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga diri rendah. Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan tim paliatif dapat membantu pasien meningkatkan integritas

dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini tim paliatif berusaha menggali semua aspek
kehidupan pasien di masa sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan
integritas diri pasien melalui komunikasinya dengan pasien, (Suryani 2005).
Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Menurut (Suryani 2000), ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun
dan mempertahankan hubungan yang terapeutik:
Pertama, hubungan pasien dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling menguntungkan.
Hubungan ini didasarkan pada prinsip humanity of nurse and clients. Kualitas hubungan
perawat dengan pasien ditentukan oleh bagaimana perawat mendefinisikan dirinya sebagai
manusia. Hubungan perawat dengan pasien tidak hanya sekedar hubungan seorang penolong
dengan kliennya tetapi lebih dari itu, hubungan antar manusia yang bermartabat.
Kedua, perawat harus menghargai keunikan pasien. Tiap individu mempunyai karakter yang
berbeda-beda, karena itu perawat perlu memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat
perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan tiap individu.
Ketiga, semua komuikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun
penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri
pasien.
Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya harus dicapai
terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternatif pemecahan masalah.
Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.
Komunikasi Terapeutik sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat
Perawat disebutkan sebagai tenaga terpenting karena sebagian terbesar pelayanan Rumah Sakit
adalah pelayanan keperawatan. Perawat bekerja dan selalu bertemu dengan pasien selama 24 jam
penuh dalam satu siklus shift, karena itu perawat menjadi ujung tombak bagi suatu Rumah Sakit
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dalam memberikan intervensi
keperawatan diperlukan suatu komunikasi terapeutik, dengan demikian diharapkan seorang
perawat memiliki kemampuan khusus mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan
interpersonal dan penuh kasih sayang dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Perawat
harus memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas sikap peduli dan penuh kasih
sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk kesembuhan pasien.
Menurut Addalati, dalam Abdul Nasir (2009) menambahkan bahwa seorang beragama, perawat
tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah seorang pendosa apabila
perawat mementingkan dirinya sendiri.
Teknik Komunikasi Terapeutik
Teknik komunikasi terapeutik dengan menggunakan referensi dari Stuart dan Sundeen, dalam
Ernawati (2009) yaitu:

DISKUSI
Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh,
dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk mengurangi penderitaan
pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support
kepada keluarganya. Menurut dr. Maria A. Witjaksono, dokter Palliative Care Rumah Sakit
Kanker Dharmais, Jakarta, prinsip-prinsip perawatan paliatif adalah menghargai setiap
kehidupan, menganggap kematian sebagai proses yang normal, tidak mempercepat atau menunda
kematian, menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan, menghilangkan nyeri dan
keluhan lain yang menganggu, mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam
perawatan pasien dan keluarga, menghindari tindakan medis yang sia-sia, memberikan dukungan
yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat, dan
memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.

What keeps oncologists from addressing palliative care early on with


incurable cancer patients? An active stance seems key.
What keeps oncologists from addressing palliative care early on with incurable
cancer patients? An active stance seems key.

Background: Sympathetic and frank communication about the terminal nature of


advanced cancer is important to improve patients' prognostic understanding and,
thereby, to allow for adjustment of treatment intensity to realistic goals; however,
decisions against aggressive treatments are often made only when death is
imminent. This qualitative study explores the factors that hinder such
communication and reconstructs how physicians and nurses in oncology perceive
their roles in preparing patients for end-of-life (EOL) decisions.

Methods: Qualitative in-depth interviews were conducted with physicians (n = 12)


and nurses (n = 6) working at the Department of Hematology/Oncology at the
university hospital in Munich, Germany. The data were analyzed using grounded
theory methodology and discussed from a medical ethics perspective.
Results: Oncologists reported patients with unrealistic expectations to be a
challenge for EOL communication that is especially prominent in comprehensive
cancer centers. Oncologists responded to this challenge quite differently by either
proactively trying to facilitate advanced care planning or passively leaving the
initiative to address preferences for care at the EOL to the patient. A major
impediment to the proactive approach was uncertainty about the right timing for
EOL discussions and about the balancing the medical evidence against the
physician's own subjective emotional involvement and the patient's wishes.
Conclusion: These findings provide explanations of why EOL communication is often
started rather late with cancer patients. For ethical reasons, a proactive stance
should be promoted, and oncologists should take on the task of preparing patients
for their last phase of life. To do this, more concrete guidance on when to initiate
EOL communication is necessary to improve the quality of decision making for
advanced cancer patients.

Apa yang membuat ahli onkologi dari menangani perawatan paliatif awal dengan
pasien kanker tidak dapat disembuhkan? Sikap aktif tampaknya kunci.

Latar Belakang: Simpatik dan komunikasi yang jujur tentang sifat terminal kanker
canggih penting untuk meningkatkan pemahaman prognostik pasien 'dan, dengan
demikian, untuk memungkinkan penyesuaian intensitas perawatan untuk tujuan
yang realistis; Namun, keputusan terhadap perawatan agresif sering dibuat hanya
ketika kematian sudah dekat. Studi kualitatif ini mengeksplorasi faktor-faktor yang
menghambat komunikasi tersebut dan merekonstruksi bagaimana dokter dan
perawat onkologi melihat peran mereka dalam mempersiapkan pasien untuk end-ofkehidupan (EOL) keputusan.
Metode: Kualitatif wawancara mendalam dilakukan dengan dokter (n = 12) dan
perawat (n = 6) bekerja di Departemen Hematologi / Onkologi di rumah sakit
universitas di Munich, Jerman. Data dianalisis dengan menggunakan metodologi
didasarkan teori dan dibahas dari perspektif etika medis.
Hasil: Ahli onkologi dilaporkan pasien dengan harapan yang tidak realistis menjadi
tantangan untuk komunikasi EOL yang sangat menonjol di pusat-pusat kanker yang
komprehensif. Ahli onkologi menanggapi tantangan ini cukup berbeda dengan baik
secara proaktif berusaha untuk memfasilitasi perencanaan perawatan lanjutan atau
pasif meninggalkan inisiatif untuk mengatasi preferensi untuk perawatan di EOL
kepada pasien. Sebuah hambatan utama untuk pendekatan proaktif adalah
ketidakpastian tentang waktu yang tepat untuk diskusi EOL dan tentang

menyeimbangkan bukti medis terhadap keterlibatan dokter sendiri subjektif


emosional dan keinginan pasien.
Kesimpulan: Temuan ini memberikan penjelasan mengapa komunikasi EOL sering
dimulai agak terlambat dengan pasien kanker. Untuk alasan etika, sikap proaktif
harus dipromosikan, dan ahli onkologi harus mengambil tugas mempersiapkan
pasien untuk tahap terakhir hidup mereka. Untuk melakukan hal ini, pedoman yang
lebih konkret tentang kapan memulai komunikasi EOL diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan untuk pasien kanker stadium lanjut.
http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=0480b768-569b-4d69-9a57528f8433cc60%40sessionmgr110&vid=0&hid=101&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl
2ZQ%3d%3d#AN=25361623&db=mdc diakses pada jumat pukul 20.10
The Oncologist [Oncologist] 2015 Jan; Vol. 20 (1), pp. 56-61. Date of Electronic Publication: 2014 Oct 31.
Keywords: Communication; End-of-life decisions; Medical ethics; Medical oncology; Palliative care

Komunikasi dengan pasien kanker terminal yang sudah tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan
bertujuan untuk mendukung pasien dalam menghadapi akhir hidupnya sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien di sisa usia nya. Hal ini berkaitan dengan rasa kecewa dan kesedihan pasien
terhadap penyakit yang di hadapinya. kasus ini membahas komunikasi pasien dengan perawat
bagaimana end of life (EOL) pada pasien kanker stadium lanjut. sebagian besar perawatan paliatif
hanya dilibatkan pada penyakit dengan stadium akhir. Sebenarnya perawatan paliatif harus dimulai sejak
pasien terdiagnosis penyakit.
Makalah ini membahas faktor apa saja yang menghambat komunikasi pasien dengan perawat dalam
menetukan keputusan EOL dan pasien ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk dirinya karena
sebagian besar kasus pasien tidak dilibatkan atas EOL dirinya. Maka dai itu pentingnya komunikasi
antara perawat denga pasien.

Hasil : tiga komponen utama dalam komunikasi dengan pasien kanker stadium
terminal tentang tujuan perawatan dan membatasi pengobatan yang
memperpanjang hidup menuju EOL yang :
1. Harapan pasien yang tidak realistis menjadi tantangan yang harus dihadapi
dalam perawatan paliatif
2. Pemahaman peran perawat dalam mempersiapkan keputusan pasien dalam
EOL nya
3. Keseimbangan dokter dalam memberikan terpai medis dan paliatif.
Dokter sebagai titik acuan dalam pengambilan keputusan tentang apakah akan
menawarkan pengobatan terhadap pasien atau tidak, namun pasien berhak
menentukan atas dirinya sendiri.

Prinsip dasar komunikasi End of Life :


1. Pasien ingin kebenaran tentang prognosisnya

2. Perawat tidak membahayakan pasien dengan membicarakan bagaimana


akhir hidup pasien
3. Kecemasan merupakan hal yang wajar dirasakan oleh perawat dan pasien
nya
4. Pasien memiliki tujuan dan prioritas utama
5. Mempelajari tujuan dan prioritas pasien sehingga memberikan perawatan
yang terbaik.
http://web.b.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=898c30dc-390642d5-b461-f1d111bb197a%40sessionmgr113&vid=1&hid=101
Rachelle E. Bernacki, MD, MS; Susan D. Block, MD; for the American College of
Physicians High Value Care Task Force. Published online October 20, 2014.

Attitudes of nurses toward supportive care for advanced cancer patients.


the purpose of this study was to determine how nurses recognize the need for
supportive care of advanced cancer patients and to provide preliminary data on how
adequate circumstances are to be set up and maintained in Korea. For the purpose
of this study, we developed a preliminary questionnaire based on a focus group of 8
nurses run by a clinical psychologist and administered it to 228 nurses in a cancer
hospital, over a 3-month period. Participants of this study were nurses with more
than 5 years' experience of treating advanced cancer patients. The result showed
that 207 respondents (90.8%) agreed that a smooth communication system for
treatment taking into account the symptoms experienced by patients and
rehabilitation issues was needed. More than 80% agreed that the items needed for
an integrated management service for advanced cancer patients should include
psychological support, an integrated pain and symptom management, and
education for the patient and his or her caregivers. These results strongly suggest
that a new system distinct from palliative care or hospices is needed for patients
with advanced cancer in Korea.

Sikap perawat terhadap perawatan suportif untuk pasien kanker stadium lanjut.
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perawat menyadari
kebutuhan untuk perawatan suportif pasien kanker stadium lanjut dan untuk
memberikan data awal tentang bagaimana keadaan yang memadai harus dibentuk
dan dipelihara di Korea. Untuk tujuan studi ini, kami mengembangkan kuesioner
awal berdasarkan kelompok fokus 8 perawat dijalankan oleh seorang psikolog klinis
dan diberikan kepada 228 perawat di sebuah rumah sakit kanker, selama periode 3
bulan. Peserta penelitian ini adalah perawat dengan pengalaman lebih dari 5 tahun
untuk mengobati pasien kanker stadium lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
207 responden (90,8%) setuju bahwa sistem komunikasi yang lancar untuk
pengobatan memperhitungkan gejala yang dialami oleh pasien dan masalah
rehabilitasi diperlukan. Lebih dari 80% setuju bahwa barang yang dibutuhkan untuk
layanan manajemen terpadu untuk pasien kanker stadium lanjut harus mencakup

dukungan psikologis, rasa sakit dan gejala manajemen terpadu, dan pendidikan
bagi pasien dan nya pengasuh. Hasil ini sangat menyarankan bahwa sistem baru
yang berbeda dari perawatan paliatif atau penampungan diperlukan untuk pasien
dengan kanker stadium lanjut di Korea.
Asian Pacific Journal Of Cancer Prevention: APJCP [Asian Pac J Cancer Prev] 2012; Vol. 13 (10), pp. 4953-8.

Anda mungkin juga menyukai