OLEH:
KIKI ZAKARIYA
NPM. 130406030032
Oleh :
KIKI ZAKARIYA
NPM. 130406030032
Mengetahui
Fakultas Peternakan
Program Studi Peternakan
Ketua
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Mengesahkan
Universitas Kanjuruhan
Fakultas Peternakan,
Dekan
Mengetahui
Dosen Penguji
Henny Leondro,S.Pt.,MP
Tgl : ..........................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan dengan judul Manajemen
Pengolahan Limbah Ternak di UPTD Budidaya Ternak Desa Sumberejo
Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Henny Leondro, S.Pt., MP selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Kanjuruhan Malang.
2. Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih, S.Pt., MP selaku Ketua Program
Studi Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang.
3. Dr. Dyah Lestari Yulianti, S.Pt., MP selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi selama
penulisan laporan ini.
4. Dr. Permata Ika Hidayati, S.Pi., M.Pd selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi selama penulisan
laporan ini.
5. Ibunda dan Ayahanda terimakasih atas semua pengorbanan, doa dan
dukungan tanpa batas yang telah diberikan hingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan dan wawasan bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 11 juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
RINGKASAN...................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang........................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3
Tujuan......................................................................................................3
1.4
Manfaat....................................................................................................3
3.2
Khalayak Sasaran....................................................................................18
3.3
Materi......................................................................................................18
3.4
Metode Kegiatan.....................................................................................18
3.5
3.6
Analisis Data...........................................................................................19
Kondisi Peternakan.................................................................................26
4.3
Biogas......................................................................................................27
4.3.1 Bentuk dan Instalasi.......................................................................27
4.3.2 Sistem Saluran Biogas...................................................................27
4.3.3 Prosedur Pengisian Biogas.............................................................28
4.3.4 Pengisian Biogas...........................................................................28
4.4
4.5
Kesimpulan..............................................................................................32
5.2
Saran........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................33
Lampiran...........................................................................................................34
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi, masalah lingkungan, terutama mengenai penanganan
limbah merupakan salah satu aspek penting yang banyak mendapat perhatian
masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Limbah
adalah suatu bahan sisa dari suatu proses produksi atau aktivitas manusia yang
sudah tidak dimanfaatkan lagi. Pada industri pertanian, terutama subsektor
peternakan, limbah menjadi salah satu hal penting yang harus dipikirkan
penanggulangannya, karena dapat menimbulkan berbagai dampak yang tidak
dikehendaki. Kegiatan pembangunan peternakan harus memperhatikan keadaan
lingkungan sekitarnya. Dengan adanya usaha peternakan selain dihasilkan produk
peternakan baik berupa daging maupun susu, juga menghasilkan limbah yang
harus dikelola dengan baik. Limbah dari usaha peternakan dapat berupa padatan
dan cairan. Bentuk padatan terdiri dari feses/kotoran ternak, ternak yang mati, dan
isi perut dari hasil pemotongan ternak. Bentuk cairan terdiri dari urine ternak, air
sisa pembersihan ternak maupun air dari sisa pencucian alat-alat ternak.
Semakin bertambahnya populasi ternak sapi potong seiring dengan semakin
meningkatnya kebutuhan konsumsi daging, akan menghasilkan banyak limbah
yang harus ditangani. Adanya pencemaran lingkungan akibat limbah usaha ternak
sapi potong umumnya mendapat protes dari warga masyarakat yang terkena
dampaknya, umumnya air sungai menjadi kotor, muncul penyakit kulit dan gatalgatal serta menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal tersebut selaras dengan
Juheini (1999) yang mengemukakan sebanyak 56,67% peternak sapi potong
1.3 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan praktek kerja lapang ini adalah untuk mengetahui
manajemen pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak Desa Sumberejo
Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari praktek kerja lapang di UPTD Budidaya
Ternak yang terkait dengan manajemen pengolahan limbah ternak antara lain :
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Menambah kekayaan intelektual terkait dengan manajemen pengolahan
limbah di UPTD Budidaya Ternak yang bisa digunakan sebagai landasan
untuk pengamatan atau penelitian selanjutnya
2. Instansi
Memberikan informasi kepada para staf instansi terkait mengenai
manajemen pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak yang dapat
digunakan sebagai tolak ukur dan data untuk pengembangan
selanjutnya.
3. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan manajemen
pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Ternak
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk
ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku,
tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2006). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak,
besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feses
dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar
manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan
domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah
menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses (Farida, 2000).
Menurut Widodo (2005), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang
dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan
cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang
berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau
isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian
alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam
fase gas.
Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus
meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi
metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin
tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan
(Sofyadi, 2003).
2.2. Dampak Limbah Peternakan
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial
untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran.
Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa
total sapi dengan berat badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya
dapat mencemari 9.084 x 107 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering
mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang
biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang
paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara
kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur
lalat (Farida, 2000).
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan
pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan
penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu
pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang
dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m 3). Salah satu
akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang
spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan
kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan
konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam
air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Widodo, 2005).
Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung,
Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun,
yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar
maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella sp. yang
membahayakan kesehatan manusia (Simamora, 2006).
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan
penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau
tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum
dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor
tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta
di Purwakarta tahun 2000 (Nurtjahya, 2003).
2.3. Pengolahan Dan Penangan Limbah
Limbah yang dihasilkan dari usaha penggemukan sapi terdiri dari limbah
sisa pakan, urine sapi dan feses sapi atau secara umum terbagi menjadi dua yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dari usaha penggemukan sapi potong
terutama feses sapi merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari usaha tersebut
(Siregar, 2007). Feses yang dihasilkan dari seekor sapi potong dewasa rata-rata
sebanyak 6 % dari bobot tubuhnya, jadi jika suatu usaha penggemukan sapi
potong mempunyai kapasitas kandang untuk 1000 ekor sapi potong dengan bobot
tubuh sapi rata-rata 350 Kg, maka dalam sehari akan diperoleh feses sebanyak 21
ton (Iwan, 2007).
Limbah peternakan sebagian besar berupa bahan organik. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila dikelola dengan cara yang benar dan tepat untuk
limbah peternakan masih memiliki nilai sebagai sumber daya yang potensial
bermanfaat. Sejak dahulu limbah peternakan sudah digunakan oleh petani sebagai
bahan sumber pupuk organik, namun karena pengaruh intensifikasi pertanian,
pemanfaatan tersebut kian berkurang (Dudi, 2001). Selain itu juga dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi pengolahan limbah peternakan yang masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan petani pada masa itu. Pengolahan limbah
sebagai pupuk masih dilakukan secara konvensional, yaitu dibiarkan menumpuk
dan mengalami proses degradasi secara alami. Teknologi yang tepat dan benar
belum dikembangkan (Djuarnani, 2005).
Teknik pengomposan merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih
untuk menanggulangi limbah feses sapi potong. Dengan cara ini, biaya
operasional relatif lebih murah dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan (Sukanto, 2007). Selain itu dengan pengomposan juga dapat
memperkaya unsur hara pupuk organik yang dihasilkan dari pengolahan limbah
peternakan tersebut, namun demikian data mengenai pengomposan yang tepat
untuk menangani limbah peternakan, khususnya limbah sapi potong belum
diperoleh informasi yang lengkap (Sihombing, 2002).
Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan biogas Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang
menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk
mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi (Iwan,
2007). Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai
kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20%
lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N,
0.73% P, dan 0.68% K (Nurtjahya dkk, 2003).
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora,
2006). Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700
kkal/m3, untuk gas metan murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m 3.
Produksigas bio sebanyak 1275-4318 liter dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang
berjumlah lima orang per hari (Sihombing, 2002).
Pembentukan gas bio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang
meliputi tiga tahap; a. Reaksi Hidrolisis / Tahap pelarutan. Pada tahap hidrolisis
terjadi pemecahan enzimatis dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak,
polisakarida, protein, asam nukleat dan lain- lain menjadi bahan yang mudah
larut. Pada tahap ini bahan yang tidak mudah larut seperti selulosa, polisakarida
dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan
c. Reaksi Metanogenik / Tahap Pembentukan Gas Metana. Pada tahap ini, bakteri
metanogenik membentuk gas metana secara anaerob. Bakteri penghasil asam dan
gas metan bekerja secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan
atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metan, sedangkan bakteri pembentuk
gas metan menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Proses ini
berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25oC hingga 35oC di dalam digester.
10
Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S (Farida,
2000). Secara umum akan ditunjukan pada reaksi berikut :
Model pemroses biogas yang banyak digunakan adalah model yang dikenal
sebagai fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya yang lama
dan daya tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya pembuatannya
memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk mengatasi mahalnya pembangunan
pemroses biogas dengan model fixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa
Tengah bekerjasama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran
mengembangkan model yang lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai,
dan lebih murah karena berbahan plastik yang dipendam di dalam tanah Pada
perdesaan, gas bio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan memasak
sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah ataupun listrik
dan kayu bakar Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang memadai, biogas
juga dapat untuk menggerakkan mesin (Sofyadi, 2003).
Penanganan limbah cair yaitu urine jika akan dibuang ke lingkungan luar
sebaiknya di lakukan proses terlebih dahulu agar kondisi limbah cair tersebut
lebih stabil dan tidak merusak lingkungan sekitar (Murbandono, 2002).
2.4. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein,
lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan
sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses
mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik
11
untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak
memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti
sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara
anaerob (Sofyadi, 2003).
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
2.5. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai
pupuk organik dapat dilakukan melalui pengolahan kotoran. Penggunaan pupuk
kandang selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat
meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah
tersebut. Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur makro yang
diperlukan tanaman (Soeharsono, 2002). Kotoran ternak dapat juga dicampur
dengan bahan organik lain untuk mempercepat proses pengomposan serta untuk
meningkatkan kualitas kompos tersebut (Sofyadi, 2003).
2.6. Pemanfaatan Untuk Biogas
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak
ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas.
Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan
12
13
pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu
asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat,gas
karbondioksida, hidrogen dan amonia; serta (c) Metanogenik, pada tahap
metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga
terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya
menjadi hidrogen sulfida (Widodo, 2005).
Menurut Iwan (2007) bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam
pembentukan gas terdiri dari: a. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria)
yang merombak senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu
berupa asam organik, CO2, H2, dan H2S; b. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic
bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari
metanol menjadi asetat dan hidrogen; c. Bakteri penghasil metan (metanogens),
yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan alkohol menjadi metan dan
karbondioksida.
Bakteri
pembentuk
metan
antara
lain
Methanococcus,
14
fermentasi pada temperatur yang lebih tinggi dan peningkatan biogas yang
dihasilkan dari bahan dasar biomasa lignoselulosa melalui perlakuan awal
(Sofyadi, 2003).
Di dalam digester biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan,
yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu
eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan
organik dan memproduksi metan dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada
kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan sensitif terhadap
lingkungan mikro dalam digester seperti temperatur, keasaman dan jumlah
material organik yang akan dicerna. Terdapat beberapa spesies metanogenik
dengan berbagai karakteristik (Murbandono, 2002).
Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah.
Temperatur optimumnya yaitu sekitar 35C. Jika temperatur turun menjadi 10C,
produksi gas akan terhenti . Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah
mesofilik yaitu antara 25-30C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi.
Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh pertimbangan iklim.
Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur yang tidak terlalu lebar. Pada
cuaca yang hangat, digester dapat dioperasikan tanpa memerlukan pemanasan
(Farida, 2000).
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri
asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7)
yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8,
15
laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah
(Widodo, 2005).
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa
elemen sesuai dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan
kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar
30 kali lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan
nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk
digester anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi, nitrogen akan
dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon akibatnya gas
yang dihasilnya menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH 4) yang dapat
meningkatkan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan pengaruh
negatif pada populasi bakteri metanogen. Kotoran ternak sapi mempunyai rasio
C/N sekitar 24. Hijauan seperti jerami atau serbuk gergaji mengandung persentase
karbon yang jauh lebih tinggi, dan bahan dapat dicampur untuk mendapatkan
rasio C/N yang diinginkan. Rasio C/N beberapa bahan yang umum digunakan
sebagai bahan baku biogas (Farida, 2000).
2.7.Pemanfaatan Lainnya
Para peneliti di Michigan State University bekerja sama dengan Departemen
Pertanian AS (USDA) mengembangkan teknik pemrosesan dan pemurnian kotoran
sapi agar menjadi serbuk yang siap dipakai sebagai material penguat serat.
Kedengarannya menjijikan tapi jangan khawatir karena kotoran sapi yang sudah
diolah tidak lagi berbau dan tidak membahayakan (Siregar, 2007).
16
17
BAB III
MATERI DAN METODE
18
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum UPTD Budidaya Ternak
UPTD Budidaya Ternak merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis
Dinas (UPTD) di bidang pembibitan ternak (breeding) dan wisata edukasi. UPTD
Budidaya Ternak terletak di lereng Gunung Arjuna tepatnya di Dusun Kucur, Desa
Sumberejo Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.
Kurang lebih 8 km Jalan Raya Perempatan Sengon, kawasan yang ditempati
merupakan daerah perkebunan/hutan sehingga memudahkan UPTD Budidaya
Ternak dalam penyediaan lahan untuk penanaman hijauandan penyediaan air
bersih (untuk minum dan kebersihan kandang) serta memiliki udara yang relatif
bersih. Keadaan ini sesuai dengan persyaratan lokasi peternakan yang
dikemukakan oleh Muhadi (2001) dimana lokasi peternakan yang ideal harus
mempunyai akses transportasi yang baik, suplai air bersih yang baik, bebas dari
pencemaran udara, memperhatikan arah angin serta memperhitungkan potensi
ekspansi di masa yang akan datang.
UPTD Budidaya Ternak dibangun di areal seluas 20 ha dengan luas lahan
hijauan pakan ternak 11 Ha, serta selebihnya merupakan lingkungan kantor,
kandang, dan sarana lainnya. Lokasi UPTD Budidaya Ternak berbatasan langsung
dengan areal hutan di sebelah barat dan utara sedangkan sebelah timur dan selatan
berbatasan dengan jalan. Peternakan ini terletak pada ketinggian 500-600 meter di
atas permukaan air laut. Tinggi rendahnya suatu daerah akan menyebabkan
perbedaan suhu lingkungan, kelembaban dan radiasi matahari. Faktor-faktor
tersebut akan mempengaruhi kehidupan ternak (Siregar, 2007).
20
21
22
4.1.3
peternakan
dan
agrowisata
dan
peternakan.
23
sumberdaya
manusia
di
bidang
4.1.4
Kepala UPTD
Sub Bagian
Pengelolah
Pengelolah
Pengelolah
lingkungan kerjanya.
Pengelolah Hasil
Pakan
& mempunyai
Kesehatan
2. Ternak
Kepaladan
Sub Bagian Tata
Usaha
fungsi :
Produksi Ternak
Limbahpenyusunan data
Hewan
a.Kandang
Pelaksanaan, penyiapan,
dan informasi UPTD Budidaya
Ternak.
b. Pelaksanaan penyiapan bahan pengelolaan administrasi keuangan UPTD
Budidaya Ternak.
c. Pelaksanaan, penyiapan bahan pengurusan perlengkapan rumah tangga dan
surat menyurat UPTD Budidaya Ternak
d. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala UPTD.
3. Pengelola Ternak dan Kandang melaksanakan:
a. Pembudidayaan ternak untuk peningkatan produksi dan produktivitas
ternak.
b. Pemeliharaan lingkungan perkandangan sesuai standar higiene dan
sanitasi.
c. Pencatatan dan pelaporan populasi dan kondisi ternak yang ada di
kandang.
4. Pengelola Pakan dan Limbah melaksanakan:
a. Penyediaan dan peredaran bahan pakan, hijauan dan konsentrat sesuai
standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan
b. Penerapan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal dan penyusunan
formulasi sesuai kebutuhan
c. Pengelolaan limbah ternak agar mempunyai nilai tambah
5. Pengelola Kesehatan Hewan melaksanakan:
24
25
sebelum
pemberian
pakan,
pembersihan
dilakukan
dengan
cara
26
27
28
pakan hijauan yang kebanyakan dari batang rumput hasil cacahan yang tidak
dimakan habis oleh ternak.
Penanganan limbah sisa pakan dilakukan seminggu sekali dengan cara pada
sisa pakan yang hari sebelumnya dikumpulkan dan dipindah ketempat pakan
pakan sebelahnya dan pengangkutan limbah dilakukan tiap hari minggu dengan
cara limbah pakan yang sudah terkumpul diangkut pada mobil bak dan langsung
dibuang di lahan hijauan pada tempat yang disudah terdapat gundukan limbah sisa
pakan. Dengan adanya limbah sisa pakan ternak hal ini menjadi potensi adanya
pengolahan limbah menjadi kompos (Simamora, 2006), namun kegiatan ini tidak
dilakukan oleh UPTD Budidaya Ternak karena tidak adanya perencanaan kegiatan
yang mengatur tentang pengolahan limbah sisa pakan ternak menjadi kompos, dan
juga belum adanya perlengkapan yang mendukung untuk pengolahan kompos
seperti tempat khusus untuk membuat kompos.
Dudi (2001) Menyebutkan limbah peternakan sebagian besar berupa bahan
organik. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dikelola dengan cara yang benar dan
tepat untuk limbah peternakan masih memiliki nilai sebagai sumber daya yang
potensial bermanfaat. Sejak dahulu limbah peternakan sudah digunakan oleh
petani sebagai bahan sumber pupuk organik, namun karena pengaruh intensifikasi
pertanian, pemanfaatan tersebut kian berkurang. Selain itu juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi pengolahan limbah peternakan yang masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan petani pada masa itu. Pengolahan limbah
sebagai pupuk masih dilakukan secara konvensional, yaitu dibiarkan menumpuk
dan mengalami proses degradasi secara alami. Teknologi yang tepat dan benar
belum dikembangkan (Djuarnani, 2005).
29
30
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan PKL dapat disimpulkan bahwa manajemen
pengolahan limbah ternak di UPTD Budidaya Ternak cukup baik untuk
mengurangi dampak limbah di lingkungan sekitar peternakan, tetapi masih belum
dilakukan pengolahan limbah menjadi pupuk kandang dan kompos.
5.2 Saran
Dalam pengolahan limbah ternak di UPTD Budidaya Ternak diperlukan
perbaikan manajemen yang diharapkan dapat menjaga kebersihan lingkungan
peternakan dan menambah pendapatan dari pengolahan limbah seperti pembuatan
pupuk kandang dan kompos.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Keterangan :
1. Pos Satpam
2. Kantor
3. Kantin
4. Kazebo
5. Kandang Domba
6. Kandang Kambing
7. Reaktor Biogas
8. Kandang Sapi Perah
9. Kandang Jepit
10. Kandang Karantina
11. Jenset Biogas
12. Dapur Kompor Biogas
34
Lampiran 2. Dokumentasi