Anda di halaman 1dari 44

MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK

DI UPTD BUDIDAYA TERNAK DESA SUMBEREJO


KECAMATAN PURWOSARI KABUPATEN PASURUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG

OLEH:
KIKI ZAKARIYA
NPM. 130406030032

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2016

MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK


DI UPTD BUDIDAYA TERNAK DESA SUMBEREJO
KECAMATAN PURWOSARI KABUPATEN PASURUAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG

Oleh :
KIKI ZAKARIYA
NPM. 130406030032

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS KANJURUHAN
MALANG
2016

MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK


DI UPTD BUDIDAYA TERNAK DESA SUMBEREJO
KECAMATAN PURWOSARI KABUPATEN
PASURUAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG
Oleh :
KIKI ZAKARIYA
NPM. 130406030032
Telah dinyatakan lulus dalam Praktek Kerja Lapang
Pada hari/tanggal : ..................................
Menyetujui:

Mengetahui
Fakultas Peternakan
Program Studi Peternakan
Ketua

Menyetujui
Dosen Pembimbing,

Aju Tjatur Nugroho K., S.Pt.,M.P.


Tgl : ..........................................

Dr. Dyah Lestari Yulianti, S.Pt., MP


Tgl : ..........................................

Mengesahkan
Universitas Kanjuruhan
Fakultas Peternakan,
Dekan

Mengetahui
Dosen Penguji

Henny Leondro,S.Pt.,MP
Tgl : ..........................................

Dr. Permata Ika Hidayati, S.Pi., M.Pd


Tgl : ..........................................

MANAJEMEN PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK


DI UPTD BUDIDAYA TERNAK DESA SUMBEREJO
KECAMATAN PURWOSARI KABUPATEN
PASURUAN
RINGKASAN
Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan mulai tanggai 18 Januari
sampai dengan tanggai 18 Februari 2016 bertempat di UPTD Budidaya Ternak,
Desa Sumberejo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Tujuan yang ingin
di capai dalam PKL ini adalah untuk mengetahui tentang manajemen pengolahan
limbah ternak yang meliputi pembersihan kandang, pengolahan limbah,
pembuangan limbah dan pengisian biogas
Khalayak sasaran dalam pelaksanaan praktek kerja lapang ini adalah UPTD
Budidaya Ternak. Materi yang digunakan adalah pengolahan limbah peternakan
milik UPTD Budidaya Ternak. Metode yang digunakan dalam PKL ini adalah
observasi, wawancara, diskusi serta ikut membantu dalam kegiatan pembersihan
kandang dan pengisian biogas. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif
dan di bandingkan dengan teori yang ada. Variabel yang diamati adalah
manajemen pengolahan limbah ternak.
Hasil Praktek Kerja Lapang yaitu: Jenis ternak yang dipelihara di UPTD
Budidaya Ternak meliputi sapi potong dari jenis sapi bali, peranakan ongole,
simental dan limousin dengan jumlah keseluruhan 228 ekor, sapi perah dari jenis
peranakan Fresian Holstein dengan jumlah 16 ekor, kambing Etawa 60 ekor,
kambing sanen 10 ekor dan domba ekor gemuk 10 ekor. Pembersihan kandang
dilakukan setiap hari di pagi hari sebelum pemberian pakan. Digester Biogas
berbentuk persegi dengan lebar sisinya 500 cm dan ke dalam 200 cm, pengisian
biogas menggunakan feses dari sapi perah yang diangkut menggunakan angkong
dan dituang pada bak pencampuran yang selanjutnya dicampur dengan air
kemudian dialirkan ke digester biogas, limbah sisa pakan ternak diangkut ke
tempat pembuangan yang berada di lahan hijauan tiap minggu sekali dan limbah
kotoran ternak diangkut ke tempat pembuangan limbah yang berada dilahan
hijauan tiap hari.
Kesimpulan yang diperoleh dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL)
yaitu: manajemen pengolahan limbah ternak di UPTD Budidaya Ternak cukup
baik untuk mengurangi dampak limbah di lingkungan sekitar peternakan, tetapi
masih belum dilakukan pengolahan limbah menjadi pupuk kandang dan kompos.
Saran yang dapat diberikan yaitu: pengolahan limbah ternak menjadi pupuk
kandang dan kompos untuk menambah pendapatan peternakan.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan dengan judul Manajemen
Pengolahan Limbah Ternak di UPTD Budidaya Ternak Desa Sumberejo
Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Henny Leondro, S.Pt., MP selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Kanjuruhan Malang.
2. Aju Tjatur Nugroho Krisnaningsih, S.Pt., MP selaku Ketua Program
Studi Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang.
3. Dr. Dyah Lestari Yulianti, S.Pt., MP selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi selama
penulisan laporan ini.
4. Dr. Permata Ika Hidayati, S.Pi., M.Pd selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi selama penulisan
laporan ini.
5. Ibunda dan Ayahanda terimakasih atas semua pengorbanan, doa dan
dukungan tanpa batas yang telah diberikan hingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan dan wawasan bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 11 juni 2016
Penulis

DAFTAR ISI
RINGKASAN...................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang........................................................................................1

1.2

Rumusan Masalah...................................................................................2

1.3

Tujuan......................................................................................................3

1.4

Manfaat....................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Limbah Ternak........................................................................................4
2.2. Dampak Limbah Peternakan...................................................................5
2.3. Pengolahan Dan Penangan Limbah.........................................................6
2.4. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah..............................11
2.5. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik.....................................................12
2.6. Pemanfaatan Untuk Biogas.....................................................................12
2.7. Pemanfaatan Lainnya..............................................................................16
BAB III MATERI DAN METODE
3.1

Lokasi dan Waktu Kegiatan.....................................................................17

3.2

Khalayak Sasaran....................................................................................18

3.3

Materi......................................................................................................18

3.4

Metode Kegiatan.....................................................................................18

3.5

Variabel Yang Diamati.............................................................................19

3.6

Analisis Data...........................................................................................19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1

Keadaan Umum UPTD Budidaya Ternak...............................................20

4.1.1 Landasan Hukum...........................................................................21


4.1.2 Sejarah UPTD Budidaya Ternak....................................................22
4.1.3 Fungsi UPTD Budidaya Ternak.....................................................23
4.1.4 Struktur Organisasi UPTD Budidaya Ternak.................................24
4.2

Kondisi Peternakan.................................................................................26

4.3

Biogas......................................................................................................27
4.3.1 Bentuk dan Instalasi.......................................................................27
4.3.2 Sistem Saluran Biogas...................................................................27
4.3.3 Prosedur Pengisian Biogas.............................................................28
4.3.4 Pengisian Biogas...........................................................................28

4.4

Limbah Sisa Pakan..................................................................................29

4.5

Limbah Kotoran Ternak..........................................................................30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1

Kesimpulan..............................................................................................32

5.2

Saran........................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................33
Lampiran...........................................................................................................34

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran

Halaman

1. Denah UPTD Budidaya Ternak..........................................................34


2. Dokumentasi.......................................................................................35

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi, masalah lingkungan, terutama mengenai penanganan
limbah merupakan salah satu aspek penting yang banyak mendapat perhatian
masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Limbah
adalah suatu bahan sisa dari suatu proses produksi atau aktivitas manusia yang
sudah tidak dimanfaatkan lagi. Pada industri pertanian, terutama subsektor
peternakan, limbah menjadi salah satu hal penting yang harus dipikirkan
penanggulangannya, karena dapat menimbulkan berbagai dampak yang tidak
dikehendaki. Kegiatan pembangunan peternakan harus memperhatikan keadaan
lingkungan sekitarnya. Dengan adanya usaha peternakan selain dihasilkan produk
peternakan baik berupa daging maupun susu, juga menghasilkan limbah yang
harus dikelola dengan baik. Limbah dari usaha peternakan dapat berupa padatan
dan cairan. Bentuk padatan terdiri dari feses/kotoran ternak, ternak yang mati, dan
isi perut dari hasil pemotongan ternak. Bentuk cairan terdiri dari urine ternak, air
sisa pembersihan ternak maupun air dari sisa pencucian alat-alat ternak.
Semakin bertambahnya populasi ternak sapi potong seiring dengan semakin
meningkatnya kebutuhan konsumsi daging, akan menghasilkan banyak limbah
yang harus ditangani. Adanya pencemaran lingkungan akibat limbah usaha ternak
sapi potong umumnya mendapat protes dari warga masyarakat yang terkena
dampaknya, umumnya air sungai menjadi kotor, muncul penyakit kulit dan gatalgatal serta menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal tersebut selaras dengan
Juheini (1999) yang mengemukakan sebanyak 56,67% peternak sapi potong

membuang limbah ke badan sungai tanpa pengelolaan, sehingga terjadi


pencemaran lingkungan.
Pengelolaan limbah yang kurang baik akan membawa dampak yang serius
pada lingkungan, sebaliknya jika limbah dikelola dengan baik maka akan
memberikan nilai tambah. Salah satu bentuk pengelolaan limbah yang mudah
dilakukan yaitu dengan diolah menjadi pupuk kompos. Ginting (2007)
menyebutkan bahwa kompos adalah hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa
kotoran ternak atau feses, sisa pertanian, sisa makanan ternak dan sebagainya.
Dengan diolahnya limbah peternakan menjadi kompos akan membawa
keuntungan pada peternak dan petani yaitu untuk mengurangi pencemaran
lingkungan dan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman pertanian.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang
selama ini dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan
perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain
berupa keuntungan ekonomis dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini
diperlukan bukan saja karena tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga
karena pengembangan peternakan mutlak memperhatikan kualitas lingkungan,
sehingga keberadaannya tidak menjadi masalah bagi masyarakat di sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak Desa
Sumberejo Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan praktek kerja lapang ini adalah untuk mengetahui
manajemen pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak Desa Sumberejo
Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari praktek kerja lapang di UPTD Budidaya
Ternak yang terkait dengan manajemen pengolahan limbah ternak antara lain :
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Menambah kekayaan intelektual terkait dengan manajemen pengolahan
limbah di UPTD Budidaya Ternak yang bisa digunakan sebagai landasan
untuk pengamatan atau penelitian selanjutnya
2. Instansi
Memberikan informasi kepada para staf instansi terkait mengenai
manajemen pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak yang dapat
digunakan sebagai tolak ukur dan data untuk pengembangan
selanjutnya.
3. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan manajemen
pengolahan limbah di UPTD Budidaya Ternak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Ternak
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk
ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku,
tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2006). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak,
besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feses
dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar
manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan
domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah
menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses (Farida, 2000).
Menurut Widodo (2005), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang
dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan
cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang
berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau
isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian
alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam
fase gas.

Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus
meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi
metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin
tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan
(Sofyadi, 2003).
2.2. Dampak Limbah Peternakan
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial
untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran.
Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa
total sapi dengan berat badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya
dapat mencemari 9.084 x 107 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering
mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang
biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang
paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara
kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur
lalat (Farida, 2000).
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan
pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan
penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu
pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang
dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m 3). Salah satu

akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya
kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang
spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan
kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan
konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam
air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Widodo, 2005).
Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung,
Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun,
yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar
maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella sp. yang
membahayakan kesehatan manusia (Simamora, 2006).
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan
penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau
tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum
dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor
tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta
di Purwakarta tahun 2000 (Nurtjahya, 2003).
2.3. Pengolahan Dan Penangan Limbah
Limbah yang dihasilkan dari usaha penggemukan sapi terdiri dari limbah
sisa pakan, urine sapi dan feses sapi atau secara umum terbagi menjadi dua yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dari usaha penggemukan sapi potong
terutama feses sapi merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari usaha tersebut
(Siregar, 2007). Feses yang dihasilkan dari seekor sapi potong dewasa rata-rata
sebanyak 6 % dari bobot tubuhnya, jadi jika suatu usaha penggemukan sapi

potong mempunyai kapasitas kandang untuk 1000 ekor sapi potong dengan bobot
tubuh sapi rata-rata 350 Kg, maka dalam sehari akan diperoleh feses sebanyak 21
ton (Iwan, 2007).
Limbah peternakan sebagian besar berupa bahan organik. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila dikelola dengan cara yang benar dan tepat untuk
limbah peternakan masih memiliki nilai sebagai sumber daya yang potensial
bermanfaat. Sejak dahulu limbah peternakan sudah digunakan oleh petani sebagai
bahan sumber pupuk organik, namun karena pengaruh intensifikasi pertanian,
pemanfaatan tersebut kian berkurang (Dudi, 2001). Selain itu juga dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi pengolahan limbah peternakan yang masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan petani pada masa itu. Pengolahan limbah
sebagai pupuk masih dilakukan secara konvensional, yaitu dibiarkan menumpuk
dan mengalami proses degradasi secara alami. Teknologi yang tepat dan benar
belum dikembangkan (Djuarnani, 2005).
Teknik pengomposan merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih
untuk menanggulangi limbah feses sapi potong. Dengan cara ini, biaya
operasional relatif lebih murah dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan (Sukanto, 2007). Selain itu dengan pengomposan juga dapat
memperkaya unsur hara pupuk organik yang dihasilkan dari pengolahan limbah
peternakan tersebut, namun demikian data mengenai pengomposan yang tepat
untuk menangani limbah peternakan, khususnya limbah sapi potong belum
diperoleh informasi yang lengkap (Sihombing, 2002).

Teknik pengomposan merupakan salah satu cara pengolahan limbah yang


memanfaatkan proses biokonversi atau transformasi mikrobial. Biokonversi itu
sendiri adalah proses-proses yang dilakukan oleh mikroorganisme untuk merubah
suatu senyawa atau bahan menjadi produk yang mempunyai struktur kimiawi
yang berhubungan (Susanto, 2002). Proses biokonversi limbah dengan cara
pengomposan menghasilkan pupuk organik yang merupakan hasil degradasi
bahan organik. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
apakah bahan organik limbah sudah terdegradasi dengan baik adalah perubahan
bahan organik limbah menjadi unsur hara, terutama unsur hara makro, seperti N
total, P2O5 dan K2O (Sofyadi, 2003).
Proses pengomposan secara alamiah terjadi sangat lama, umumnya
membutuhkan waktu hingga 6 bulan. Waktu pengomposan yang relatif lama
menyebabkan proses pengomposan menjadi kurang efektif dalam penanganan
limbah usaha penggemukan sapi, karena limbah yang dihasilkan terus
terakumulasi setiap hari (Sihombing, 2006). Teknik pengomposan dapat
dikembangkan dengan cara menambahkan inokulan tertentu kedalam limbah
peternakan, sehingga prosesnya terjadi lebih cepat. Cara lain adalah dengan
memanfaatkan limbah tersebut untuk kehidupan organisme tertentu secara
langsung, sebagai media hidup ataupun sebagai sumber kebutuhan pakannya
(Dudi, 2001).
Permasalahan limbah ternak, khususnya kotoran ternak dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas (Widodo, 2005).

Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan biogas Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang
menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk
mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi (Iwan,
2007). Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai
kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh
bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20%
lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N,
0.73% P, dan 0.68% K (Nurtjahya dkk, 2003).
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora,
2006). Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700
kkal/m3, untuk gas metan murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m 3.
Produksigas bio sebanyak 1275-4318 liter dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang
berjumlah lima orang per hari (Sihombing, 2002).
Pembentukan gas bio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang
meliputi tiga tahap; a. Reaksi Hidrolisis / Tahap pelarutan. Pada tahap hidrolisis
terjadi pemecahan enzimatis dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak,
polisakarida, protein, asam nukleat dan lain- lain menjadi bahan yang mudah
larut. Pada tahap ini bahan yang tidak mudah larut seperti selulosa, polisakarida
dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan

asam lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25 oC di digester (Sofyadi,


2003). Adapun reaksi hidrolisis senyawa selulosa adalah sebagai berikut :

b. Reaksi Asidogenik / Tahap pengasaman.Pada tahap ini Bakteri menghasilkan


asam merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada
keadaan asam. Pembentukan asam dalam kondisi anaerob sangat penting untuk
membentuk gas metan oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Pada
suasana anaerobik produk yang dihasilkan ini akan menjadi substrat pada
pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Tahap ini berlangsung pada
suhu 25oC hingga 30oC di digester (Sihombing, 2002).
Adapun reaksi asidogenik senyawa glukosa adalah sebagai berikut :

c. Reaksi Metanogenik / Tahap Pembentukan Gas Metana. Pada tahap ini, bakteri
metanogenik membentuk gas metana secara anaerob. Bakteri penghasil asam dan
gas metan bekerja secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan
atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metan, sedangkan bakteri pembentuk
gas metan menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Proses ini
berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25oC hingga 35oC di dalam digester.

10

Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S (Farida,
2000). Secara umum akan ditunjukan pada reaksi berikut :

Model pemroses biogas yang banyak digunakan adalah model yang dikenal
sebagai fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya yang lama
dan daya tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya pembuatannya
memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk mengatasi mahalnya pembangunan
pemroses biogas dengan model fixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa
Tengah bekerjasama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran
mengembangkan model yang lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai,
dan lebih murah karena berbahan plastik yang dipendam di dalam tanah Pada
perdesaan, gas bio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan memasak
sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah ataupun listrik
dan kayu bakar Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang memadai, biogas
juga dapat untuk menggerakkan mesin (Sofyadi, 2003).
Penanganan limbah cair yaitu urine jika akan dibuang ke lingkungan luar
sebaiknya di lakukan proses terlebih dahulu agar kondisi limbah cair tersebut
lebih stabil dan tidak merusak lingkungan sekitar (Murbandono, 2002).
2.4. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein,
lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan
sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses
mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik

11

untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak
memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti
sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara
anaerob (Sofyadi, 2003).
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
2.5. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai
pupuk organik dapat dilakukan melalui pengolahan kotoran. Penggunaan pupuk
kandang selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat
meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah
tersebut. Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur makro yang
diperlukan tanaman (Soeharsono, 2002). Kotoran ternak dapat juga dicampur
dengan bahan organik lain untuk mempercepat proses pengomposan serta untuk
meningkatkan kualitas kompos tersebut (Sofyadi, 2003).
2.6. Pemanfaatan Untuk Biogas
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak
ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas.
Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan
12

mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna


selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada
tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang
cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung
22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon
organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K
(Murbandono, 2002).
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora,
1989). Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700
kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/ m 3.
Menurut Maramba (1978) produksi biogas sebanyak 1275-4318 liter/ m 3 dapat
digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es
untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari (Widodo, 2005).
Bahan biogas dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran
hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti
kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil
biogas dan hasil yang diperoleh memuaskan (Farida, 2000). Pembentukan biogas
meliputi tiga tahap proses yaitu: (a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian
bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek
menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer;
(b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana)
yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri

13

pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu
asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat,gas
karbondioksida, hidrogen dan amonia; serta (c) Metanogenik, pada tahap
metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga
terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya
menjadi hidrogen sulfida (Widodo, 2005).
Menurut Iwan (2007) bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam
pembentukan gas terdiri dari: a. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria)
yang merombak senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu
berupa asam organik, CO2, H2, dan H2S; b. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic
bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari
metanol menjadi asetat dan hidrogen; c. Bakteri penghasil metan (metanogens),
yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan alkohol menjadi metan dan
karbondioksida.

Bakteri

pembentuk

metan

antara

lain

Methanococcus,

Methanobacterium, dan Methanosarcina.


Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik ini yaitu bakteri
hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri
fermentatif yang mengubah gula dan asam amino tadi menjadi asam organik,
bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen, karbondioksida dan
asam asetat dan bakteri metanogenik yang menghasilkan metan dari asam asetat,
hidrogen dan karbondioksida (Sihombing, 2006).
Optimisasi proses biogas akhir-akhir ini difokuskan pada proses
pengontrolan agar mikroorganisme yang terlibat dalam keadaan seimbang,
mempercepat proses dengan peningkatan desain digester dan pengoperasian

14

fermentasi pada temperatur yang lebih tinggi dan peningkatan biogas yang
dihasilkan dari bahan dasar biomasa lignoselulosa melalui perlakuan awal
(Sofyadi, 2003).
Di dalam digester biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan,
yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu
eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan
organik dan memproduksi metan dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada
kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan sensitif terhadap
lingkungan mikro dalam digester seperti temperatur, keasaman dan jumlah
material organik yang akan dicerna. Terdapat beberapa spesies metanogenik
dengan berbagai karakteristik (Murbandono, 2002).
Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah.
Temperatur optimumnya yaitu sekitar 35C. Jika temperatur turun menjadi 10C,
produksi gas akan terhenti . Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah
mesofilik yaitu antara 25-30C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi.
Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh pertimbangan iklim.
Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur yang tidak terlalu lebar. Pada
cuaca yang hangat, digester dapat dioperasikan tanpa memerlukan pemanasan
(Farida, 2000).
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri
asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7)
yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi
keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8,

15

laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah
(Widodo, 2005).
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa
elemen sesuai dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan
kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar
30 kali lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan
nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk
digester anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi, nitrogen akan
dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon akibatnya gas
yang dihasilnya menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH 4) yang dapat
meningkatkan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan pengaruh
negatif pada populasi bakteri metanogen. Kotoran ternak sapi mempunyai rasio
C/N sekitar 24. Hijauan seperti jerami atau serbuk gergaji mengandung persentase
karbon yang jauh lebih tinggi, dan bahan dapat dicampur untuk mendapatkan
rasio C/N yang diinginkan. Rasio C/N beberapa bahan yang umum digunakan
sebagai bahan baku biogas (Farida, 2000).
2.7.Pemanfaatan Lainnya
Para peneliti di Michigan State University bekerja sama dengan Departemen
Pertanian AS (USDA) mengembangkan teknik pemrosesan dan pemurnian kotoran
sapi agar menjadi serbuk yang siap dipakai sebagai material penguat serat.
Kedengarannya menjijikan tapi jangan khawatir karena kotoran sapi yang sudah
diolah tidak lagi berbau dan tidak membahayakan (Siregar, 2007).

16

Sejak lama peternak tradisional memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk


kompos alami yang hanya ditaburkan di sekitar tanamannya. Namun, karena jumlah
peternakan yang semakin besar dan tidak sebanding dengan lahan garapan, kotoran
sapi menjadi limbah. Bau kotoran sapi menjadi polusi yang mengganggu lingkungan
perumahan. Sebagian peternak bahkan harus mengeluarkan uang begitu besar hanya
untuk menangani limbah ini (Farida, 2000).
Menurut Tim Zauche, profesor kimia dari Universitas Winconson seorang
peternak sapi perah rata-rata mengeluarkan 200 dollar AS untuk setiap sapinya dalam
setahun hanya untuk urusan ini. Bahkan, karena tuntutan pemerintah dan penduduk
sekitar, beberapa peternakan besar memasang sistem pengolahan yang mahal.
Kotoran sapi diolah sehingga menghasilkan panas dan sumber gas metana sebagai
bahan bakar. Residunya tidak lagi berbau serta bermanfaat sebagai kompos atau
media bibit (Sofyadi, 2003).
Namun, para peneliti berusaha memanfaatkannya lebih jauh sebagai material
campuran pengganti serbuk gergajian untuk memperkuat serat. Seperti halnya produk
yang menggunakan serbuk gergajian, serbuk dari kotoran sapi yang telah diolah
dicampur dengan resin kemudian dicetak dengan pemanasan dan penekanan. Sejauh
ini, serat yang menggunakan serbuk kotoran sapi memiliki daya rekat yang sama
bahkan lebih kuat daripada serat campuran gergaji kayu (Iwan, 2007).

17

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Kegiatan


Praktek kerja lapang ini dilaksanakan di UPTD Budidaya Ternak yang
berada di Desa Sumberejo Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur. PKL ini dilaksanakan selama satu bulan terhitung mulai tanggai 18 Januari
sampai dengan 18 Februari 2016.
3.2 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran dalam pelaksanaan praktek kerja lapang (PKL) ini adalah
UPTD Budidaya Ternak yang berada di Desa Sumberejo Kecamatan Purwosari
Kabupaten Pasuruan.
3.3 Materi
Materi yang digunakan pada praktek kerja lapangan ini adalah limbah
ternak di UPTD Budidaya Ternak yang selanjutnya dilakukan pengolahan untuk
pengisian biogas atau pembuatan kompos dan pupuk kandang.
3.4 Metode Kegiatan
Metode yang digunakan dalam PKL ini adalah observasi, wawancara,
diskusi mengenai manajemen pengolahan limbah ternak meliputi pembersihan
kandangan, pengisian biogas, pengolahan limbah, pembuangan limbah dan
perawatan ternak.

3.5 Variabel Yang Diamati

18

Variabel yang diamati pada pelaksaan PKL ini adalah manajemen


pengolahan limbah ternak yang meliputi berbagai macam pengolahan limbah
ternak yang diterapkan di UPTD Budidaya Ternak
3.6 Analisis Data
Pada penyusunan laporan pelaksanaan PKL ini data primer yang digunakan
adalah pengolahan limbah ternak dan data sekunder meliputi berbagai macam
pengolahan limbah ternak yang diterapkan di UPTD Budidaya Ternak. Data
dianalisis secara deskriptif dengan memaparkan semua data yang diperoleh
selama pelaksanaan di lapang. Semua data yang diperoleh dijelaskan dalam
laporan sesuai dengan yang ada lapang kemudian dibandingkan dengan teori yang
ada.

19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum UPTD Budidaya Ternak
UPTD Budidaya Ternak merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis
Dinas (UPTD) di bidang pembibitan ternak (breeding) dan wisata edukasi. UPTD
Budidaya Ternak terletak di lereng Gunung Arjuna tepatnya di Dusun Kucur, Desa
Sumberejo Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.
Kurang lebih 8 km Jalan Raya Perempatan Sengon, kawasan yang ditempati
merupakan daerah perkebunan/hutan sehingga memudahkan UPTD Budidaya
Ternak dalam penyediaan lahan untuk penanaman hijauandan penyediaan air
bersih (untuk minum dan kebersihan kandang) serta memiliki udara yang relatif
bersih. Keadaan ini sesuai dengan persyaratan lokasi peternakan yang
dikemukakan oleh Muhadi (2001) dimana lokasi peternakan yang ideal harus
mempunyai akses transportasi yang baik, suplai air bersih yang baik, bebas dari
pencemaran udara, memperhatikan arah angin serta memperhitungkan potensi
ekspansi di masa yang akan datang.
UPTD Budidaya Ternak dibangun di areal seluas 20 ha dengan luas lahan
hijauan pakan ternak 11 Ha, serta selebihnya merupakan lingkungan kantor,
kandang, dan sarana lainnya. Lokasi UPTD Budidaya Ternak berbatasan langsung
dengan areal hutan di sebelah barat dan utara sedangkan sebelah timur dan selatan
berbatasan dengan jalan. Peternakan ini terletak pada ketinggian 500-600 meter di
atas permukaan air laut. Tinggi rendahnya suatu daerah akan menyebabkan
perbedaan suhu lingkungan, kelembaban dan radiasi matahari. Faktor-faktor
tersebut akan mempengaruhi kehidupan ternak (Siregar, 2007).

20

Rukmana (2005) menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu udara


rata-rata 1,7C untuk setiap kenaikan tinggi tempat 350 meter di atas permukaan
air laut.Suhu lingkungan di UPTD Budidaya Ternak berkisar 22 - 28C dan
kelembaban udara 65-85% dengan keadaan daerah landai berbukit. Siregar,
(2007) menyatakan bahwa ternak ruminansia dapat bertahan dan beradaptasi pada
kisaran suhu antara 21C-32C, selain itu tingkat kelembaban juga mempengaruhi
air yang dikonsumsi. Menurut Abidin (2002), kelembaban ideal untuk ternak
ruminansia adalah 60-80%. Kelembaban yang tinggi berhubungan dengan
tingginya peluang bagi tumbuh dan berkembangnya parasit dan jamur.
Sebaliknya, kelembaban yang rendah menyebabkan udara berdebu, yang
merupakan pembawa penyakit menular.
4.1.1
Landasan Hukum
UPTD Budidaya Ternak di bentuk berdasarkan berbagai peraturan dan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
2. Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2010 tentang susunan organisasi dan
tata kerja dinas daerah Kabupaten Pasuruan.
3. Peraturan Bupati Pasuruan No. 23 Tahun 2010 tentang perubahan atas
peraturan Bupati Pasuruan No. 5 Tahun 2008 tentang organisasi dan
tata kerja dinas daerah Kabupaten Pasuruan
4. Peraturan Bupati Pasuruan No. 24 Tahun 2010 tentang organisasi dan
tata kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Budidaya Ternak
4.1.2

Sejarah UPTD Budidaya Ternak

Unit Pelaksana Teknis Dinas(UPTD) Budidaya Ternak semula adalah


Usaha Peternakan Aliansi (UPA) Kucuryang merupakan perusahaan daerah,

21

namun mulai September 2010 berubah menjadi UPTD Budidaya Ternak


dibawah pengelolaan Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan.
UPA Kucur atau yang saat ini UPTD Budidaya Ternak yang dibangun
tahun 2005, tujuan awalnya merupakan peternakan pembibitan (breeding)
dengan target memproduksi sapi unggulan lokal Pasuruan.
Peternakan pembibitan tersebut merupakan kerja sama antara Pemerintah
Kabupaten Pasuruan dengan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Malang, dan LousianaUniversity AS.
Peternakan pembibitan yang memanfaatkan sapi indukan lokal dengan
kawin suntik yang menggunakan semen dari Amerika itu ditargetkan hingga
keturunan keenam mampu memproduksi sapi unggul lokal khas Pasuruan,
namun hingga enam tahun berjalan, UPTD Purwosari baru mampu
memproduksi sapi peranakan (pedet) keturunan kedua sebanyak 116 ekor,
sebaliknya sapi populasi induknya justru terus berkurang.
"Semen" atau sperma untuk kebutuhan pembibitan di UPTD Budidaya
Ternak kemudian tidak lagi didatangkan dari Lousiana University AS, namun
hanya didatangkan dari BBIB Singosari, sehingga fungsi UPTD Budidaya
Ternak kini juga telah bergeser dari tujuan semula yang menjadi wisata edukasi
UPTD Budidaya Ternak.

22

4.1.3

Fungsi UPTD Budidaya Ternak


Berdasarkan Peraturan Bupati Pasuruan No. 24 Tahun 2010, UPTD

Budidaya Ternak memiliki fungsi sebagai berikut:


a. Pelaksanaan penyediaan dan pengembangan benih, bibit dan atau
bakalan, hasil ternak dan hasil ikutannya
b. Pelaksanaan aplikasi teknologi/bioteknologi

peternakan

dan

pengembangan sumberdaya peternakan


c. Pelaksanaan budidaya ternak dengan melibatkan peran serta
masyarakat dan lembaga lain dalam pembudidayaan ternak
berdasarkan asas kemitraan yang saling menguntungkan
d. Pelaksanaan tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh kepala dinas.
Selain fungsi, UPTD Budidaya Ternak mempunyai tugas
pengembangan

agrowisata

dan

peternakan.

23

sumberdaya

manusia

di

bidang

4.1.4

Struktur Organisasi UPTD Budidaya Ternak

Kepala UPTD

Sub Bagian

1. Kepala UPTD wajib memberikan petunjuk, Tata


membina,
Usaha membimbing dan
mengawasi pekerjaan unsur-unsur pembantu dan pelaksana yang berada dalam

Pengelolah
Pengelolah
Pengelolah
lingkungan kerjanya.
Pengelolah Hasil
Pakan
& mempunyai
Kesehatan
2. Ternak
Kepaladan
Sub Bagian Tata
Usaha
fungsi :
Produksi Ternak
Limbahpenyusunan data
Hewan
a.Kandang
Pelaksanaan, penyiapan,
dan informasi UPTD Budidaya
Ternak.
b. Pelaksanaan penyiapan bahan pengelolaan administrasi keuangan UPTD
Budidaya Ternak.
c. Pelaksanaan, penyiapan bahan pengurusan perlengkapan rumah tangga dan
surat menyurat UPTD Budidaya Ternak
d. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala UPTD.
3. Pengelola Ternak dan Kandang melaksanakan:
a. Pembudidayaan ternak untuk peningkatan produksi dan produktivitas
ternak.
b. Pemeliharaan lingkungan perkandangan sesuai standar higiene dan
sanitasi.
c. Pencatatan dan pelaporan populasi dan kondisi ternak yang ada di
kandang.
4. Pengelola Pakan dan Limbah melaksanakan:
a. Penyediaan dan peredaran bahan pakan, hijauan dan konsentrat sesuai
standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan
b. Penerapan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal dan penyusunan
formulasi sesuai kebutuhan
c. Pengelolaan limbah ternak agar mempunyai nilai tambah
5. Pengelola Kesehatan Hewan melaksanakan:

24

a. Penanggulangan dan pencegahan penyakit hewan serta gangguan


reproduksi di UPTD Budidaya Ternak
b. Penyediaan obat hewan dan peralatannya sesuai kebutuhan
c. Pencatatan dan pelaporan riwayat penyakit hewan di UPTD Budidaya
Ternak.
6. Pengelola Hasil Produksi Ternak melaksanakan:
a. Pengelolaan hasil produksi ternak di UPTD Budidaya Ternak
b. Hubungan kerjasama (kemitraan) dengan pihak lain dalam rangka
pengelolaan hasil produksi ternak dan diatur dalam perjanjian yang saling
menguntungkan.
c. Pengembangan agrowisata dan sumberdaya manusia dibidang peternakan.
e.

25

4.2 Kondisi Peternakan


UPTD Budidaya Ternak memiliki lahan hijauan seluas 11 Ha dengan
ketinggian 500-600 meter dpl, suhu berkisar 22-28C dan kelembaban udara 6585%. Keadaan daerah landai berbukit dengan topografi tanah lebih tinggi pada
bagian barat dari pada timur. Posisi peternakan berada di lereng gunung Arjuna
dengan batas utara dan barat dengan perkebunan warga, selatan berbatasan dengan
jalan, dan bagian timur berbatasan dengan kandang UPTD Budidaya Ternak.
Siregar (2007) menyatakan bahwa ternak rumniansia dapat bertahan dan
beradaptasi pada kisaran suhu antara 21C-32C, selain itu tingkat kelembaban
juga mempengaruhi air yang dikonsumsi. Menurut Sofyadi (2003) kelembaban
ideal untuk ternak rumniansia adalah 60-80%. Kelembaban yang tinggi
berhubungan dengan tingginya peluang bagi tumbuh dan berkembangnya parasit
dan jamur. Sebaliknya, kelembaban yang rendah menyebabkan udara berdebu,
yang merupakan pembawa penyakit menular.
Jenis ternak yang dipelihara di UPTD Budidaya Ternak meliputi sapi potong
dari jenis sapi bali, peranakan ongole, simental dan limousin dengan jumlah
keseluruhan 228 ekor, sapi perah dari jenis peranakan Fresian Holstein dengan
jumlah 16 ekor, kambing Etawa 60 ekor, kambing sanen 10 ekor dan domba ekor
gemuk 10 ekor.
Pembersihan kandang dari kotoran ternak dilakukan setiap hari pada pagi
hari

sebelum

pemberian

pakan,

pembersihan

dilakukan

dengan

cara

mengumpulkan kotoran ternak di tepi luar kandang yang kemudian diangkut


mobil bak dan selanjutnya dibuang di lahan hijauan.
4.3 Biogas
4.3.1 Bentuk dan Instalasi

26

Bentuk Instalasi (digester) Biogas yang dimiliki UPTD Budidaya


Ternak adalah dalam bentuk persegi dengan lebar sisinya 500 cm dan
kedalamannya 200 cm. Digester yang digunakan terbuat dari campuran
pasir semen. Lubang penyaluran gas dibuat dibagian samping atas dengan
pipa besi yang berdiameter 5 cm yang dilengkapi dengan kran pengatur.
Bentuk digester ini berbeda menurut Widodo (2005) yang mengatakan
bahwa bagian atas digester dibuat berbentuk kubah yang di cor dan dibagian
puncaknya dibuat lobang saluran gas yang dilengkapi dengan kran pengatur.
Menurut Sofyadi (2003) bahwa pada tempat penampung gas tidak boleh
bercelah dan harus ditutup rapat, sehingga nantinya tidak ada gas-gas yang
terbuang selain untuk dimanfaatkan.
4.3.2 Sistem Saluran Biogas
Sistem saluran biogas di UPTD Budidaya ternak masih dalam
pengembangan, rencananya saluran pembuangan kotoran dari kandang dari
kandang akan disatukan dengan saluran menuju bak pencampuran yang
selanjutnya menuju ke digester. Untuk sementara pengisian digester
dilakukan secara manual dengan mengangkut kotoran ternak menggunakan
angkong dan ditumpahkan dibak pencampuran yang selanjutnya diencerkan
dengan air, hal ini tidak sesuai pendapat Widodo (2005) bahwa pengadaan
saluran pengisian biogas akan mempermudah pekerjaan, sehingga kotoran
temak tidak harus diangkut.
4.3.3 Prosedur Pengisian Biogas
Pengisian dilakukan pagi hari sebelum pembersihan kandang, kotoran
sapi diambil langsung dari kandang dan diangkut menggunakan akong
menuju bak pengenceran. Pengenceran kotoran sapi menggunakan bantuan
air dan kemudian diaduk hingga tidak ada gumpalan. Kotoran sapi yang

27

sudah tercampur dengan air disalurkan menuju lubang penampungan dan


selanjutnya diteruskan menuju Digester. Setelah kotoran sapi teralir penuh
menuju Digester, maka selanjutnya dibiarkan saja dan dengan dengan
sendirinya menghasilkan gas yang tertampung pada Digester. Gas yang
dihasilkan dengan dengan sendirinya disalurkan menuju dapur yang
digunakan untuk menyalai kompor. Limbah pembuangan Biogas dengan
sendirinya terdorong keluar lewat saluran pembuangan sehingga dengan
demikian merepotkan dalam pengeluaran sisa buangan dari Digester.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sihombing (2006) menyebutkan bahan
biogas dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan
(manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti
kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat
penghasil biogas dan hasil yang diperoleh memuaskan (Farida, 2000).
4.3.4 Pengisian Biogas
Pengisian Biogas di UPTD Budidaya Ternak hanya menggunakan
bahan baku dari campuran kotoran sapi perah dan air. Hal ini tidak sesuai
menurut Simamora (2006) bahwa pengisian biogas menggunakan bahan
baku berupa kotoran ternak yang ditambahkan bahan lain berupa starter
(EM4) sebanyak 1 liter dan isi rumen sebanyak 5 karung kedalam kapasitas
digester 3,5 - 5,0 m2. Penambahan starter (EM4) dan isi rumen bertujuan
untuk mempercepat proses fermentasi, sehingga gas-gas yang dihasilkan
cepat tertimbun.
4.4 Limbah Sisa Pakan
Pada peternakan ini ada limbah sisa pakan ternak hal ini disebabkan adanya
sejumlah pakan yang tidak dimakan oleh ternak dan tertinggal di tempat pakan
selama lebih dari 1 hari, berdasarkan hasil pengamatan limbah sisa pakan berupa

28

pakan hijauan yang kebanyakan dari batang rumput hasil cacahan yang tidak
dimakan habis oleh ternak.
Penanganan limbah sisa pakan dilakukan seminggu sekali dengan cara pada
sisa pakan yang hari sebelumnya dikumpulkan dan dipindah ketempat pakan
pakan sebelahnya dan pengangkutan limbah dilakukan tiap hari minggu dengan
cara limbah pakan yang sudah terkumpul diangkut pada mobil bak dan langsung
dibuang di lahan hijauan pada tempat yang disudah terdapat gundukan limbah sisa
pakan. Dengan adanya limbah sisa pakan ternak hal ini menjadi potensi adanya
pengolahan limbah menjadi kompos (Simamora, 2006), namun kegiatan ini tidak
dilakukan oleh UPTD Budidaya Ternak karena tidak adanya perencanaan kegiatan
yang mengatur tentang pengolahan limbah sisa pakan ternak menjadi kompos, dan
juga belum adanya perlengkapan yang mendukung untuk pengolahan kompos
seperti tempat khusus untuk membuat kompos.
Dudi (2001) Menyebutkan limbah peternakan sebagian besar berupa bahan
organik. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dikelola dengan cara yang benar dan
tepat untuk limbah peternakan masih memiliki nilai sebagai sumber daya yang
potensial bermanfaat. Sejak dahulu limbah peternakan sudah digunakan oleh
petani sebagai bahan sumber pupuk organik, namun karena pengaruh intensifikasi
pertanian, pemanfaatan tersebut kian berkurang. Selain itu juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi pengolahan limbah peternakan yang masih belum
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan petani pada masa itu. Pengolahan limbah
sebagai pupuk masih dilakukan secara konvensional, yaitu dibiarkan menumpuk
dan mengalami proses degradasi secara alami. Teknologi yang tepat dan benar
belum dikembangkan (Djuarnani, 2005).

29

Teknik pengomposan merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih


untuk menanggulangi limbah feses sapi potong. Dengan cara ini, biaya
operasional relatif lebih murah dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan (Sukanto, 2007). Selain itu dengan pengomposan juga dapat
memperkaya unsur hara pupuk organik yang dihasilkan dari pengolahan limbah
peternakan tersebut, namun demikian data mengenai pengomposan yang tepat
untuk menangani limbah peternakan, khususnya limbah sapi potong belum
diperoleh informasi yang lengkap (Sihombing, 2002). Kotoran ternak dapat juga
dicampur dengan bahan organik lain untuk mempercepat proses pengomposan
serta untuk meningkatkan kualitas kompos tersebut (Sofyadi, 2003).
4.5 Limbah Kotoran Ternak
Limbah kotoran berasal dari kotoran ternak yang tidak digunakan untuk
mengisi biogas yang berasal dari kandang sapi potong, kambing dan domba.
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah kotoran yang diangkut tiap harinya
mencapai 3 ton, kondisi limbah kotoran ternak masih basah dan sebagian
tercampur dengan pakan yang tercecer di lantai kandang. Penanganan limbah
kotoran ternak dilakukan setiap hari pada pagi hari yang dilakukan secara manual
oleh karyawan dengan cara mengumpulkan kotoran ternak pada bagian luar
kandang dan selanjutnya diangkut mobil bak yang kemudian langsung dibuang
pada lahan hijauan.
Dengan adanya limbah kotoran ternak ternak hal ini menjadi potensi adanya
pengolahan limbah menjadi pupuk kandang, namun kegiatan ini tidak dilakukan
oleh UPTD Budidaya Ternak karena tidak adanya perencanaan kegiatan yang
mengatur tentang pengolahan limbah sisa pakan ternak menjadi pupuk kandang.
Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Soeharsono (2002) menyebutkan

30

pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk


organik dapat dilakukan melalui pengolahan kotoran. Penggunaan pupuk kandang
selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat meningkatkan
aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah tersebut. Kandungan
Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur makro yang diperlukan tanaman
(Susanto, 2002).

31

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan PKL dapat disimpulkan bahwa manajemen
pengolahan limbah ternak di UPTD Budidaya Ternak cukup baik untuk
mengurangi dampak limbah di lingkungan sekitar peternakan, tetapi masih belum
dilakukan pengolahan limbah menjadi pupuk kandang dan kompos.
5.2 Saran
Dalam pengolahan limbah ternak di UPTD Budidaya Ternak diperlukan
perbaikan manajemen yang diharapkan dapat menjaga kebersihan lingkungan
peternakan dan menambah pendapatan dari pengolahan limbah seperti pembuatan
pupuk kandang dan kompos.

32

DAFTAR PUSTAKA

Dudi, H. 2001. Tinjauan Proses Pengomposan dan Pemanfaatannya, BPPT,


Tanggerang.
Djuarnani, T. 2005. Cara Cepal Membuat Kompos. Agromedia Puslaka. Jakarta.
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik
Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing
Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak. IPB, Bogor.
Iwan Setiawan, Ade, 2007. Memanfaatkan Kotoran Temak. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Murbandono, H. S. L., 2002. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nurtjahya, Eddy. Dkk. 2003. Pemanfaatan limbah ternak ruminansia untuk
mengurangi pencemaran lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sihombing, S.2006. Pengelolahan Limbah Peternakan. Fakultas Politeknik
Pertanian IPB. Bogor.
Simamora, S.2006 Meningkatkan kualilas kompos. Argomedia Pustaka. Jakarta.
Siregar, A. 2007. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, J. 2007. Cara mempertahankan kualitas kompos. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Sofyadi Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa
Depan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
Sukanto, H. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Susanto, K. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Karnisius. Yogyakarta.
Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung
Agribisnis Di Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian Serpong.

33

Lampiran 1. Denah UPTD Budidaya Ternak

Keterangan :
1. Pos Satpam
2. Kantor
3. Kantin
4. Kazebo
5. Kandang Domba
6. Kandang Kambing
7. Reaktor Biogas
8. Kandang Sapi Perah
9. Kandang Jepit
10. Kandang Karantina
11. Jenset Biogas
12. Dapur Kompor Biogas

13. Reaktor Biogas


14. Kandang Sapi Potong
15. Parkir Mobil
16. Gudang
17. Ruang Maintance
18. Silase Silo
19. Sumur Bor
20. Tandon Air
21. Kandang Sapi
22. Kandang Sapi
23. Kandang Sapi

34

Lampiran 2. Dokumentasi

Gambar 1. Pengambilan kotoran ternak untuk biogas.

Gambar 2. Pengisian biogas.

Gambar 3. Pembersihan kandang.

Gambar 4. Pembuangan limbah sisa pakan.

Anda mungkin juga menyukai