Anda di halaman 1dari 20

CONGESTIVE HEART FAILURE

I. PENDAHULUAN
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan
saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital
maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung adalah disfungsi miokard, endokard,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa
dan Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner,
biasanya akibat infark miokard yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang
dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. 1, 2
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat
mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada
angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap
hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
3 Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian
dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan
5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.1
Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun
sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan
meninggal dalam tahun pertama. 1
II.

DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari
definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik
tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara
keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal
miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik
sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal
jantung. 2
Beberapa istilah dalam gagal jantung :

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :


Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.2,10
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas
fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. 2,10
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi,
pseudo-normal, tipe restriktif.2,10
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V,
beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.2
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.2
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tibatiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. 2
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik. 2

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu
disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena
ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini
menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan
tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal
jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga
jantung. 2
II1. ETIOLOGI
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal
jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi
sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. 3,4
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup
mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab
tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti
paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi
tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau
pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid. 3,4
IV.

PATOFISIOLOGI
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul
dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 5,6
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan
aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk


mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal
perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel
dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya
gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif. 5,6
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan.
Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk
mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap
rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap
kerja ventrikel.6

Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik


pada gagal jantung. 5
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensinI
- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin II
juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. 1, 5, 6, 7

Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron.6


3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium
lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.6

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap


hemodinamik berlebih.5
V.

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi
terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas
yang lebih ringan. 7
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.7

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan

gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain.
Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan
tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka
untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara
juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari
kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar,
maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan
gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke
arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan
menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan
manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea
atau ortopnea.

Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.

Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari
gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi.

Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.

Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik.
Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami
bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama

inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap
peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.

Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula
hati.

Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mulamula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat
terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia
disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga
berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik
dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari
bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung
kanan yang nyata.

Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan
merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.7,10

VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.8,10
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif;
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekana vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.8
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman
untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas
fisik, antara lain:
NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak

napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.


NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,

sesak napas atau nyeri dada.


NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi

jantung seperti yang tersebut di atas.


NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.8,10

b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan. 7

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula
darah, profil lipid.7
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau
riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV. 7
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi
pleura.

begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi

penyebab nonkardiak pada gejala pasien.7


4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan

menangani

gagal

jantung.

Pemeriksaan

paling

berguna

adalah

echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif


terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan
abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya
MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai
dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal.
Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan
dan

tekanan

pulmoner,

dimana

sangat

penting

dalam

evaluasi

dan

penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif


terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian
massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah
EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur
dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini

diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa


keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh
perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat
pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang
bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna
(<30-40%). 7
VII.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan

penderita

dengan

gagal

jantung

meliputi

penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.


Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan
untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta
beratnya kondisi.9
Terapi :
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan

pengobatan.
Aktivitas sosial

dan

pekerjaan

diusahakan

agar

dapat

dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan

profesi yang masih bisa dilakukan.


Gagal jantung berat harus menghindari

penerbangan

panjang.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal
jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah
cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada

gagal jantung ringan.


Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari
pada yang lainnya.

Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama


20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20
menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada

gagal jantung ringan dan sedang).


Istirahat baring pada gagal jantung

akut,

berat

dan

eksaserbasi akut.9
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin

II,

diuretik,

Antagonis

aldosteron,

-blocker,

vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan


anti-aritmia.9
a. Diuretik.

Kebanyakan

pasien

dengan

gagal

jantung

membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah.


Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan,
berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik
dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan
dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional
IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan

aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan


disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan
dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama
beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan

carvedilol,

bisoprolol

atau

metaprolol.

Biasa

digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan


diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang
dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE
inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan
asimptomatik

atau

aritmia

untuk

ventrikel

pasien

yang

yang

menetap.

Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang


mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron
dapat

digunakan

digunakan

untuk

untuk

terapi

aritmia

terapi

aritmia

atrial

atrial
dan

dan
tidak

tidak
dapat

digunakan untuk mencegah kematian mendadak.


h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.9
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi
metabolisme

serta

meningkatkan

perfusi

ginjal.

Pemberian

heparin

subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian


antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan
fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.

Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu,


takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat
dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg),
oliguria serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita
dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok
kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang
menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis
seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca
infark.

Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana


memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan
oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan
pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing
yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di
ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin
rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan
merupakan

prognosa

yang

buruk.

Koreksi

hipoperfusi

memperbaiki

asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter.


Pemberian

loop

diuretik

intravena

seperti

furosemid

akan

menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum


ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat
antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam


penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi


preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator
vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu
perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian
intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam.

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang


diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung
yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal
ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.


Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel.

Pemberiannya

akan

memperbaiki

hemodinamik

dan

neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan


menurunkan

kadar

Pemberian intravena
meningkatkan

laju

epinefrin,

aldosteron

dan

endotelin

menurunkan tekanan pengisian


jantung,

meningkatkan

stroke

di

plasma.

ventrikel
volume

tanpa
karena

berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1


menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit. 9
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut
yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau
vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan
darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik
dan/atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang
berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap
cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
9

Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh


darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang

reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah


jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta
vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1
dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi)
dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk
meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada
pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan
lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.
Phospodiesterase

inhibitor

menghambat

penguraian cyclic-AMP

menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik


jantung.

Yang

sering

digunakan

dalam

klinik

adalah

milrinone

dan

enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut


dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus 10
20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25
0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt.

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut


yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30
menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin.
Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt.
Penanganan

yang

lain

adalah

terapi

penyakit

penyerta

yang

menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.


Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan
untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside
intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine). Loop diuretik

diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk
menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan
afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit
dasar. Aritmia jantungharus diterapi.

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra


aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,
ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum
interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan
laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,
diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok
atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan
untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist
Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi
ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak
respon terhadap terapi terutama inotropik.

VIII. PROGNOSA
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien
stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang
meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard
akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung
progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut
dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.10

DAFTAR PUSTAKA
1. Medscape. Heart Failure. Available at http://emedicine.medscape.com/article/163062overview. Accessed on July 7th, 2014.
2. Mayoclinic. Hearth Failure. Available

at

http://www.mayoclinic.org/diseases-

conditions/heart-failure/basics/definition/con-20029801. Accessed on July 7th, 2014.


3. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000; 320:104 7.
4.

Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In:


Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and Treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.

5. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann
DL, Zipes DP, editor. Braunwalds Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of
angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
7. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008.
p. 1443.
8. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European Heart Journal
(2008) 29. 2388-2442.
9. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008: the Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology.
Eur Heart J. 2008;29:23882442.

10. Panggabean MM, Manurung D, Ghanie A. Buku ajar ilmu penyakit dalam.edisi 2. Jakarta:
Interna publishing; 2009. h. 1583-97.

Anda mungkin juga menyukai