Anda di halaman 1dari 29

Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek:

Indonesia, 1996-1999

Simon Bambang Sumarno


Alumnus Magister Manajemen UGM

Mudrajad Kuncoro
Fakultas Ekonomi UGM

ABSTRACT
This paper attempts to illuminate the dynamics of Indonesia’s clove cigarette industry
using Structure-Conduct-Performance (SCP) paradigm and industrial cluster approach. We
employed concentration ratios (CR4, CR8, and IHH) and performance ratios in SCP
analysis. To identify industrial clusters, we used Geographic Information System (GIS) and
some tools of analysis, mainly size and specialization index. The structure of clove
cigarette industry suggested that an oligopoly with high concentration has been found,
albeit declined slightly over the period 1996-1999. As far as geographic concentration is
concerned, we found that this industy has clustered overwhelmingly in and around Kudus,
Kediri, Surabaya, and Malang.

Key words: oligopolistic industry, concentration ratio, cluster

PENDAHULUAN
Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi ia diharapkan
menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui
mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya
dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam
perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak
ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja.
Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan
fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak
terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara
dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp
4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi
penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998
melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).
Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup
dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok,
yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk
dalam jajaran “Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik” di antara 200 Top Companies di Asia
yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER) (Tabel 1).
Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan
bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200

1
perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di
antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia.

Tabel 1
Peringkat Sepuluh Besar Perusahaan Indonesia
Versi Far Eastern Economic Review, 1999-2001
Th 2001 Th 2000 Th 1999 Perusahaan Point
1 1 2 Astra 6.06
2 2 3 Indofood 5.9
3 3 6 Sampoerna 5.72
4 4 1 Gudang Garam 5.55
5 5 5 Indosat 5.42
6 8 7 Djarum 5.1
7 9 - Telkomsel 5.03
8 - - Satelindo 4.97
9 7 - Sosro 4.95
10 10 - SCTV 4.94
Sumber: FEER, http://www.feer.com, 23 April 2002

Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok kretek yang mengusai pasar di Indonesia—
PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum dan PT. Bentoel— masing-
masing amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing perusahaan
ini berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten
Kediri, Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang.
Artikel ini mencoba menelusuri sejarah industri rokok, dilanjutkan dengan identifikasi
profil para “pemain utama” dalam industri ini, analisis struktur, kinerja, dan kluster.
Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh studi ini adalah: (1) apakah struktur dan
kinerja industri rokok kretek di Indonesia mengalami perubahan pada periode sebelum dan
selama krisis ekonomi?; (2) di manakah lokasi kluster industri rokok di Indonesia?.

SEJARAH SINGKAT ROKOK KRETEK INDONESIA


Tulisan awal tentang tembakau berasal dari Christophorus Columbus tahun 1492, yang
melaporkan penduduk asli Benua Amerika senang menghisap tembakau untuk mengusir
rasa letih. Daun tembakau juga digunakan untuk keperluan upacara ritual dan bahan
pengobatan di kalangan Suku Indian. Kemudian para penakluk dan penjelajah dari Eropa
mulai menghisap daun tembakau sehingga kebiasaaan ini menyebar keseluruh penjuru
dunia (Budiman & Onghokham,1987).
Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia malahan
keberadaan rokok di Indonesia sudah mengakar. Legenda percintaan antara Roro Mendut
dan Pranacitra yang menampilkan ikon rokok sebagai obyek dari cerita yang ada di Jawa
tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia
pada umumnya sudah mapan. Legenda tersebut mengkisahkan Roro Mendut yang dibebani
pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cintanya
ditolak oleh Roro Mendut. Untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung
Wiraguna maka Roro Mendut membuka home industry rokok. Rokok produksi Mendut

2
diserbu peminat khususnya kaum pria, salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian
menjalin cinta dengan Mendut.
Kebiasaan merokok mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa
kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas. Mula-mula Haji
Djamari penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya mempelopori
penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai
sembuh. Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat “rokok obat” yang
diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu “rokok
obat” lebih dikenal dengan nama “rokok cengkeh”, kemudian sebutan tersebut berganti
menjadi “rokok kretek” karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan.
(Budiman & Onghokham,1987)
Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian
menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati,
Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54).
Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok
besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat
di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di
Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus.
Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dengan rokok luar negeri yang
biasa dikenal dengan nama rokok putih. Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok
kretek (clove cigarette), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan
bahan baku cengkeh (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya.
Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah makin dikenalnya rokok kretek
sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok
Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975 industri
rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.
Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja
(sumber daya manusia, SDM). SDM dibutuhkan mulai dari penanaman tembakau dan
cengkeh di perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan
pelintingan rokok di pabrik-pabrik sampai pedagang asongan yang memasarkan rokok di
jalanan. Industri rokok di Indonesia menyerap tenaga kerja sekitar 500.000 karyawan, yang
bekerja langsung pada pabrik dan pada seluruh level struktur organisasi (Swasembada,
1999: 44). Penyerapan tenaga kerja tidak hanya ada di pabrik rokok saja tetapi bila
ditambah dengan jumlah orang yang terlibat dari hulu sampai hilir yang diawali dengan
petani tembakau dan cengkeh, karyawan produksi kertas pembungkus rokok, sampai
karyawan dalam jalur distribusi (ritel, outlet dan pedagang asongan), jumlah tenaga kerja
yang terserap dalam industri ini sekitar 18 juta jiwa (Gatra, 2000: 48). Perkembangan
teknologi memacu juga modernisasi industri rokok di Indonesia diawali dengan mesinisasi
yang dipelopori oleh PT. Bentoel pada tahun 1968 sehingga produksinya disebut dengan
sigaret kretek mesin (SKM). Walaupun ada modernisasi tetapi kebutuhan tenaga kerja
masih tetap tinggi yang diserap oleh proses produksi pelintingan rokok yang dikerjakan
oleh tenaga manusia dan kita kenal produknya selama ini dengan nama sigaret kretek
tangan (SKT).

3
PRODUKSI ROKOK DI INDONESIA

Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus ternyata di masa krismon
tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia
mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli
masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai
dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi.
Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi rokok di Indonesia dari tahun 1996 –
2001 terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot/klembak. Pada tabel 2 terlihat bahwa
perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 1996 hingga pada
puncaknya pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi rokok secara total mengalami
penurunan, penurunan produksi secara signifikan diakibatkan menurunnya produksi rokok
kretek yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan produksi rokok putih.

Tabel 2
Perkembangan Produksi Rokok di Indonesia (1996 - 2001)
(dalam juta batang)
Tahun Rokok Kretek Rokok Putih Klobot/Klembak Total
1996 159.500 53.640 6.146 219.286
1997 169.121 55.973 7.900 232.994
1998 167.005 69.464 8.510 244.979
1999 163.665 67.380 7.400 238.445
2000 164.483 66.706 6.700 237.889
2001 168.071 69.423 6.500 243.994
Sumber : Indocommercial (1999; 2002)

Gambar 1. Perkembangan Produksi Rokok di Indonesia

300000

250000

200000 Rokok Kretek


Rokok Putih
150000
Klobot/Klembak
100000
Total
50000

0
1996 1997 1998 1999 2000 2001

Sumber: Diolah dari data Indocommercial (1999; 2002)

Produksi rokok kretek di Indonesia tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat


Indonesia saja, tetapi sudah diekspor ke mancanegara. Pada Tabel 3 dapat dilihat

4
perkembangan ekspor rokok di Indonesia dari tahun 1996 – 2001 (sampai bulan Juni). Pada
tahun 1997 volume ekspor rokok mencapai puncaknya tetapi dalam US$ yang terbesar
adalah pada tahun 2000.
Ekspor rokok khususnya rokok kretek Indonesia sudah mencapai berbagai negara
tujuan. Negara yang paling besar menjadi tujuan ekspor rokok kretek Indonesia adalah
Malaysia dengan volume 5.041.217 kg dengan nilai US$ 61.184.464. dan beberapa negara
di kawasan Asia, di antaranya adalah Thailand, Kamboja dan Jordan.

Tabel 3
Perkembangan Ekspor Rokok di Indonesia, 1996-2001
Rokok Kretek Rokok Putih Total
Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000)
1996 26.918 127.198 Tda Tda 26.918 127.198
1997 32.327 136.927 300 490 32.627 137.417
1998 23.931 99.978 87 978 24.018 100.956
1999 23.799 112.514 121 1005 23.920 113.519
2000 22.473 139.222 31 501 22.504 139.723
2001*) 13.123 78.400 39 462 13.162 78.862
Sumber : Indocommercial (1999; 2002)
*) sampai bulan juni

Gambar 2
Perkembangan Ekspor Rokok di Indonesia

160000
140000
120000
100000 Kretek
80000 Putih
60000 Total
40000
20000
0
1996 1997 1998 1999 2000
2001*

Sumber: Diolah dari Indocommercial (1999; 2002)

Bila dibandingkan dengan ekspor, volume impor rokok Indonesia relatif lebih kecil.
Volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 562 ton dengan nilai
sebesar US$ 1,7 juta.

5
Tabel 4
Perkembangan Impor Rokok di Indonesia 1996-2000
Rokok Kretek Rokok Putih Total
Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000) (Ton) (US$'000)
1996 126 652 1 14 127 666
1997 118 629 2 16 120 645
1998 22 239 Tda tda 22 239
1999 170 638 11 23 181 649
2000 560 1693 2 22 562 1.715
Sumber : Indocommercial (1999; 2002)

Gambar 3
Perkembangan Impor Rokok di Indonesia 1996-2000

2000
1800
1600
1400
1200 Kretek
1000 Putih
800 Total
600
400
200
0
1996 1997 1998 1999 2000

Sumber: Diolah dari Indocommercial (1999; 2002)

DATA

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari data-
data industri yang diterbitkan oleh BPS dalam format CD ROM. Data yang dipakai adalah
data yang menggunakan sistem penggolongan industri yang ditetapkan oleh Organisasi
Industri pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO). Penggolongan ini dikenal dengan
nama International Standard Industrial Classification (ISIC).
Data yang diambil menurut standar ISIC adalah data industri rokok kretek seluruh
Indonesia pada tahun 1996 dan 1999. Data tahun 1996 sengaja diambil untuk melihat
kondisi struktur perilaku dan kinerja industri rokok kretek Indonesia sebelum krisis

6
ekonomi yang menimpa Indonesia. Sedangkan data industri rokok kretek Indonesia tahun
1999 diambil sebagai pembanding keadaan industri rokok kretek sesudah krisis.
Kode ISIC untuk industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1996 adalah 31420 (5
digit) sedangkan kode ISIC untuk industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1999 adalah
16002 (5 digit).
Data-data yang diambil dalam penelitian ini adalah: (1) Nilai output, yaitu diperoleh
dari barang-barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan
pihak lain; (2) Nilai input, atau dapat disebut dengan biaya input adalah biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses produksinya; (3) Jumlah tenaga kerja, data yang
diambil merupakan jumlah tenaga kerja total baik tenaga kerja produksi maupun tenaga
kerja non produksi; (4) Nilai tambah (value added) adalah selisih dari nilai output dan nilai
input; (5) R & D, adalah data jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam
melakukan penelitian dan pengembangan; (6) Daerah baik itu kabupaten, kota, maupun
propinsi yang mempunyai industri rokok kretek.

ANALISIS STRUKTUR INDUSTRI ROKOK KRETEK


Dalam studi empiris mengenai struktur industri, dua indikator konsentrasi perusahaan
umumnya digunakan, yaitu: rasio konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirschman (IHH)
(Church & Ware, 2000: 428-30; Blair & Kaserman, 1985: 235-7). Rasio konsentrasi
perusahaan n menunjukkan pangsa penjualan n perusahaan terbesar terhadap total
penjualan industri. Rasio konsentrasi yang umum digunakan adalah CR4 dan CR8, yang
masing-masing menunjukkan pangsa 4 perusahaan terbesar dan pangsa 8 perusahaan
terbesar dalam industri. Struktur pasar suatu industri dapat juga dianalisis dengan
menggunakan IHH, yang merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap
perusahaan dalam suatu industri. Indeks ini bernilai antara lebih dari 0 hingga 1. Jika IHH
mendekati nilai 0, berarti struktur industri yang bersangkutan cenderung ke pasar
persaingan, sementara jika indeks bernilai mendekati 1 maka struktur industri tersebut
cenderung bersifat monopoli.
Struktur industri rokok kretek yang diamati dari indikator konsentrasi industri dengan
menggunakan metode CR4, CR8, maupun Indeks Herfindahl (lihat Tabel 6). Berdasarkan
analisis standar dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli
bila 4 perusahaan terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri
yang bersangkutan (CR4 = 40%) (Kuncoro, et al., 1997: bab 22). Apabila kekuatan
keempat perusahaan tersebut dianggap sama, maka pangsa penjualan/produksi masing-
masing perusahaan adalah 10% dari nilai penjualan/produksi suatu industri. Sedangkan,
menurut Stigler, suatu industri dikatakan berstruktur oligopoli bila mempunyai konsentrasi
industri lebih dari 60% (Hasibuan,1993).

7
Tabel 5
Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia 1996-1999
Tahun CR4 CR8 IHH Total Firm
1996 0.8109 0.9174 0.3131 191
1997 0.8216 0.9071 0.3207 190
1998 0.6807 0.8206 0.2056 204
1999 0.7891 0.8812 0.2716 206
rata - rata 0.7756 0.8815 0.2778
Sumber : Diolah dari data BPS

Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri rokok kretek di


Indonesia di atas 40% yaitu 77,56% untuk perhitungan konsentrasi industri menurut
metode CR4, dan 88,15% untuk perhitungan konsentrasi industri menurut metode CR8.
Dengan demikina, struktur industri rokok kretek di Indonesia dapat digolongkan berstruktur
oligopoli. Dari hasil perhitungan IHH ternyata rata-rata nilainya adalah sebesar 0,27 yang
berarti struktur dari industri rokok kretek di Indonesia tidak berstruktur monopoli karena
nilai rata-rata IHH tidak mendekati satu.
Dari nilai rata-rata CR4 ternyata industri rokok kretek di Indonesia mempunyai nilai
konsentrasi sebesar 77% sedangkan nilai rata-rata CR8 menunjukkan nilai konsentrasi
sebesar 88,15%. Maka berdasarkan klasifikasi struktur industri yang ditetapkan oleh Bain
(1956), struktur industri rokok kretek di Indonesia masuk dalam tipe II yaitu oligopoli
dengan tingkat konsentrasi tinggi. Artinya 4 perusahaan terbesar menguasai sekitar 72%
atau 8 perusahaan menguasai 88% dari total penawaran suatu barang ke pasar.
Pada tahun 1998 ada pertambahan jumlah perusahaan sebanyak 14 buah sehingga
menjadi 204 perusahaan rokok kretek. Nilai konsentrasi industri baik itu CR4 dan CR8
mengalami penurunan yang tajam (CR4 mengalami penurunan sebesar 14% sedangkan
CR8 mengalami penurunan sebesar 8%). Menurut klasifikasi strukur industri yang disusun
oleh Bain, pada tahun 1998 struktur industri rokok kretek di Indonesia masuk dalam tipe
III, yaitu tipe oligopoli dengan tingkat konsentrasi moderat tinggi, artinya 4 perusahaan
terbesar menguasai sekitar 61% atau 8 perusahaan menguasai 77% dari total penawaran
suatu barang ke pasar. CR4 1998 sebesar 68% sedangkan CR8 sebesar 82%. Penurunan
konsentrasi industri pada tahun 1998 dapat disebabkan oleh 2 hal: (1) karena bertambahnya
perusahaan sehingga mengurangi pangsa pasar dari 4 perusahaan terbesar (CR4) yang
berarti hambatan masuk (barrier of entry) menjadi berkurang; (2) karena pada tahun 1998
merupakan puncak krisis ekonomi sehingga roda perekonomian menjadi tersendat.
Pada tahun 1999 jumlah perusahaan rokok kretek di Indonesia bertambah menjadi 206,
dengan konsentrasi industri cenderung meningkat dari tahun 1998 (CR4 meningkat sebesar
10%, CR8 meningkat sebesar 6%). Bila kita bandingkan kondisi tahun 1999 dengan tahun
1996 yaitu perbandingan konsentrasi industri sesudah krisis (masa recovery) dengan
sebelum krisis ternyata konsentrasi industri sesudah krisis mengalami penurunan sehingga
puncak krisis yang terjadi pada 1998 mempengaruhi pangsa pasar industri rokok kretek di
Indonesia yang pada akhirnya mempengaruhi konsentrasi industri rokok kretek di
Indonesia

8
Gambar 4
Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia

1.0000
0.8000
CR4
0.6000
CR8
0.4000
IHH
0.2000
0.0000
1996 1997 1998 1999

Sumber: Diolah dari data BPS

Hasil ini konsisten dengan studi Hornaday (1994: 129-132) dan laporan Gabungan
Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) yang menunjukkan dominasi 4 perusahaan
rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel.
Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek terbesar dalam negeri
memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung
dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan
mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang. Berikut ini akan
dikupas profil dan penguasaaan pasar keempat perusahaan tersebut.

1. PT. Gudang Garam, Tbk


Perusahaan ini didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot
kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahun–tahun awal
1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini
menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah
penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4
miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang
bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang
dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara
produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1)
Melalui merek andalannya, Gudang Garam hingga kini menguasai pangsa pasar
hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek
Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang
Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam
Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan
merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size
12, Gudang Garam King Size 16, dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4)

9
2. PT. HM. Sampoerna,Tbk
Perusahaan ini didirikan oleh almarhum Liem Seng Tee sejak tahun 1913 yang
memproduksi kretek merek “Djie Sam Soe”. Merek ini berarti angka 234 dengan filosofi
bila dijumlahkan akan menghasilkan angka sembilan, yang dianggap keberuntungan
menurut kepercayaan Cina. Pada tahun 1930 status usahanya berubah menjadi PT dengan
nama Handel Maatschappij Liem Seng Tee. Pada tahun 1963 nama perusahaan ini diubah
menjadi PT. PD & I Panamas atau disingkat PT. Panamas dengan pemegang sahamnya
Mr. Aga Sampoerna dan Mr Liem Swie Hwa. Pada tahun 1977 terjadi lagi perubahan
dengan masuknya Mr. Putera Sampoerna anak dari Mr. Aga Sampoerna. Pada tahun 1988
namanya berubah menjadi PT. Hanjaya Mandala Sampoerna sekaligus dengan mema-
sukkan beberapa pemegang saham baru. PT. HM Sampoerna telah go public pada bulan
Juli 1990 dengan menjual 15% sahamnya ke masyarakat atau sebanyak 27 juta lembar.
(Indocommercial, 2002: 4).
PT. HM. Sampoerna,Tbk merupakan perusahaan yang memegang pangsa pasar kedua
setelah PT. Gudang Garam,Tbk. Dengan jumlah produksi 25 miliar batang rokok, poduksi
SKMnya mencapai 9,4 miliar batang rokok atau hanya 37,6% dari total produknya. Produk
SKT yang dimiliki Sampoerna saat ini adalah Djie Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Di
segmen SKM adalah Djie Sam Soe Filter, A King Merah dan A King Hijau, Serta A
International yang menggunakan teknologi twin wrap. Untuk produksi SKM LTLN
Sampoerna mempunyai merek unggulan yaitu A Mild Merah 12 dan 16, A Mild Hijau 12
dan 16.

3. PT. Djarum
PT. Djarum merupakan perusahaan rokok kretek terkemuka di Indonesia dan
menguasai pangsa pasar industri rokok kretek terbesar ke tiga di Indonesia. Didirikan oleh
Oei Wie Gwan dari sebuah pabrik rokok kecil di Kudus yang dibelinya pada tahun 1951.
Nyaris punah pada saat terbakar dan saat Oei Wie Gwan wafat. Karena kegigihan dari dua
bersaudara putra dari Oei Wie Gwan yang membangun kembali puing-puing yang tersisa
sehingga PT Djarum dapat tetap bertahan. Mengawali sukses dengan sigaret kretek tangan
(SKT), Djarum kemudian sukses juga merambah sigaret kretek mesin (SKM) (http:// www.
Djarum.com, 23 April 2002).
PT. Djarum menempati posisi ketiga dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan
jumlah produksi 20,9 miliar batang rokok dengan porsi SKM 9,3 miliar batang (44,5%).
Pada tahun 1985 dan 1986 PT. Djarum pernah menduduki tempat teratas dalam produksi
rokok kretek dalam negeri meninggalkan PT. Gudang Garam.
Produk-produk Djarum disalurkan ke seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara
melalui jaringan distribusi terpadu dan terkomputerisasi yang dibangun untuk memberikan
layanan profesional dan tepat waktu kepada para pelanggan. Distribusi pasar nasional
dikelola oleh tiga perusahaan yaitu PT. Anindita Multiniaga Indonesia untuk wilayah Jawa
Timur, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa
Tenggara dan Papua. PT. Lokaniaga Adipermata untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat dan
PT. Adiniaga Sentrapersada untuk wilayah Jabotabek, sebagian Jawa Barat, Sumatera serta
Kalimantan Barat (http://www.Djarum.com, 23 April 2002).

10
4. PT. Bentoel
PT. Bentoel didirikan di Malang, Jawa Timur pada tahun 1920. Produk pertamanya
adalah rokok klobot dengan merek Burung. PT. Bentoel pernah menduduki posisi ketiga
industri rokok kretek di Indonesia, tetapi beberapa tahun lalu mengalami masalah karena
besarnya beban hutang di perusahaan tersebut. Tepatnya pada bulan Juni 1991 lalu,
perusahaan tersebut tidak dapat membayar pinjaman setelah jatuh tempo sebesar US$ 45
juta kepada sindikasi bank international. Masalah ini timbul karena kesalahan dalam
pengendalian keuangan sehingga PT. Bentoel terpaksa mengundang pihak luar yaitu PT.
Rajawali Wira Bhakti Utama (RWBU). (Indocommercial, 2002: 6).
Sumbangan PT. Bentoel dalam industri rokok kretek di Indonesia yaitu dengan
mempelopori dan mengembangkan sistem rolling otomatis pertama pada tahun 1968.
Produk Bentoel di segmen SKT adalah Bentoel Merah, sedangkan untuk SKM adalah
Bentoel International 12, untuk segmen SKM LTLN Bentoel mengeluarkan dua produk
yaitu Star Mild dan Bentoel Mild.

ANALISIS KINERJA INDUSTRI ROKOK KRETEK


Kinerja industri rokok kretek di Indonesia dapat kita amati dari sumbangan industri
rokok kretek terhadap total industri manufaktur. Sumbangan industri rokok kretek di
Indonesia terhadap total industri manufaktur pada tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada
Tabel 6.

Tabel 6
Sumbangan Industri Rokok Kretek TerhadapTotal Industri
Manufaktur di Indonesia (%)
Sumbangan 1996 1999
1 Tenaga kerja 4,15 4,65
2 Nilai Tambah 8,79 10,15
3 Unit usaha 0,83 0,93
Sumber: Diolah dari data BPS

Dari Tabel 6 dapat kita lihat bahwa sumbangan industri rokok kretek terhadap total
industri manufaktur mengalami peningkatan padahal pada tahun 1998 terjadi krisis
ekonomi, pada tahun 1999 (masa recovery) kinerja industri rokok kretek di Indonesia
mengalami pertumbuhan dalam memberikan sumbangan terhadap total industri manufaktur
di Indonesia. Pertumbuhan sumbangan tenaga kerja sebesar 0,5% menunjukkan bahwa ada
penyerapan tenaga kerja didalam industri rokok kretek di Indonesia seiring dengan
peningkatan jumlah unit usaha. Pertumbuhan tenaga kerja dan nilai tambah tiap daerah
pada tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada Tabel 7.

11
Tabel 7
Perkembangan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek
di Indonesia pada Tahun 1996 dan 1999

Tenaga Kerja Nilai Tambah (Rp.000)


1996 1999 %* %** 1996 1999 %* %**
Sumut 599 tda tda tda 6.250.840 tda tda tda
Jabar 60 tda tda tda 186.559 tda tda tda
Jateng 55.976 65.636 17,257 5,752 901.676.430 1.788.049.463 98,303 32,768
Jatim 117.936 131.398 11,415 3,805 7.291.000.000 17.603.000.000 141,435 47,145
Bali 133 tda tda tda 287.673 tda tda tda
Sulut 42 tda tda tda 36.074 tda tda tda
Total 174.746 197.034 12,755 4,252 8.199.437.576 19.391.049.463 136,492 45,497
Keterangan : * = Pertumbuhan absolut
** = Pertumbuhan pertahun
tda = tidak ada data
Sumber : Diolah dari data BPS

Dari tabel 7 dapat kita lihat bahwa wilayah daerah industri rokok kretek di Indonesia
pada tahun 1996 dan 1999 mengalami perbedaan. Pada tahun 1996 masih ada daerah
industri rokok kretek yang ada di luar Jawa seperti Bali, Sumut, Sulut. Sedangkan daerah
industri rokok kretek pada tahun 1999 hanya menyisakan daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur.

Gambar 5
Pertumbuhan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek
di Indonesia Tahun 1996 dan 1999

140000
120000
100000
80000
1996
60000
1999
40000
20000
0
Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut

Pada tahun 1999 terjadi peningkatan absolut tenaga kerja dan nilai tambah di wilayah
Jawa Tengah yaitu sebesar 17,26% untuk tenaga kerja dan 98,3% untuk nilai tambah. Jadi
per tahun mengalami pertumbuhan masing-masing untuk tenaga kerja dan nilai tambah
sebesar 5,75% dan 32,77%. Daerah industri rokok kretek di Jawa Timur juga mengalami
pertumbuhan absolut untuk tenaga kerja dan nilai tambah sebesar 11,41% dan 141,43%.

12
Dengan kata lain, per tahun mengalami pertumbuhan masing-masing untuk tenaga kerja
dan nilai tambah sebesar 3,8% dan 47,14%. Daerah Jawa Tengah mempunyai pertumbuhan
tenaga kerja rata-rata pertahun lebih besar dari Jawa Timur yaitu mempunyai selisih sebesar
1,95%. Namun pertumbuhan nilai tambah di Jawa Timur rata-rata lebih besar dari Jawa
Tengah yaitu mempunyai selisih sebesar 14,38%.

Gambar 6
Pertumbuhan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek
di IndonesiaTahun 1996 dan 1999

20,000,000,000

15,000,000,000

10,000,000,000 1996
1999
5,000,000,000

0
Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut

Sumber : Diolah dari data BPS

Untuk melihat lebih mendalam sumbangan industri rokok kretek terhadap industri
manufaktur, pada Tabel 8 dan 9 disajikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah tiap
daerah (propinsi) industri rokok kretek di Indonesia. Dari tabel tersebut kita dapat melihat
daerah (propinsi) industri rokok kretek yang memberikan sumbangan terbesar di antara
daerah (propinsi) industri rokok kretek lainnya.

Tabel 8
Sumbangan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek
Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia

1996 % 1999 %
Sumut 599 0,014 tda Tda
Jabar 60 0,001 tda Tda
Jateng 55.976 1,328 65636 1.549
Jatim 117.936 2,798 131398 3.100
Bali 133 0,003 tda Tda
Sulut 42 0,001 tda Tda
Total 174.746 4,146 197.034 4,649
Industri lain 4.040.221 95,854 4.041.267 95,351
Total Ind 4.214.967 100 4.238.301 100
Sumber : Diolah dari data BPS

13
Gambar 7
Sumbangan Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek
Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia

4.000

3.000

2.000 1996
1999
1.000

0.000
Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut

Sumber : Diolah dari Data BPS

Sumbangan tenaga kerja pada tahun 1996 paling besar diberikan oleh daerah
(propinsi) Jawa Timur merupakan 65% dari sumbangan industri rokok kretek Indonesia
terhadap industri manufaktur. Sumbangan tenaga kerja industri rokok kretek propinsi Jawa
Timur pada tahun 1996 terhadap tenaga kerja industri manufaktur adalah sebesar 2,798%.
Pada tahun 1999 mengalami peningkatan menjadi 3,1% (meningkat sebesar 0,302%)
Jawa Tengah merupakan daerah industri rokok kretek yang memberikan sumbangan
terbesar kedua setelah Jawa Timur terhadap tenaga kerja industri manufaktur di Indonesia.
Industri rokok kretek di Jawa Tengah memberikan sumbangan tenaga kerja 31,88% industri
rokok kretek Indonesia terhadap industri manufaktur pada tahun 1996. Sumbangan tenaga
kerja di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,33% pada tahun 1996 menjadi 1,55%
pada tahun 1999 (meningkat sebesar 0,22%).
Bukan hanya tenaga kerja yang mengalami peningkatan tetapi juga nilai tambah
industri rokok kretek di Indonesia juga mengalami peningkatan terhadap nilai tambah
industri manufakur di Indonesia (lihat gambar 8). Industri rokok kretek di Jawa Timur
memberikan sumbangan nilai tambah terbesar terhadap industri manufaktur dibandingkan
industri rokok kretek lain di daerah lain. Jawa Timur memberikan sumbangan sebesar
7,81% pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 9,22% jadi mengalami peningkatan sebesar
1,41%. Jawa Tengah mengalami penurunan dalam memberikan sumbangan terhadap
industri manufaktur di Indonesia walaupun jumlah nilai tambah industri rokok kretek di
Jawa Tengah mengalami peningkatan. Berarti peningkatan nilai tambah di Jawa Tengah
tidak mampu meningkatkan sumbangan industri rokok kretek di Jawa Tengah terhadap
industri manufaktur. Pada tahun 1996 Jawa Tengah memberikan sumbangan sebesar
0,9661% sedangkan pada tahun 1999 memberikan sumbangan sebesar 0,9362% jadi ada
penurunan sebesar 0.0299%. Dari Tabel 8 dan 9 dapat kita simpulkan bahwa propinsi Jawa
Timur dan Jawa Tengah memberikan sumbangan yang berarti dalam pangsa tenaga kerja
maupun nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia terhadap tenaga kerja dan nilai
tambah industri manufaktur di Indonesia.

14
Tabel 9
Sumbangan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek
Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia 1996 dan 1999

1996 1999
(Rp 000) % (Rp. 000) %
Sumut 6.250.840 0,00670 Tda Tda
Jabar 186.559 0,00020 Tda Tda
Jateng 901.676.430 0,96609 1.788.049.463 0,936
Jatim 7.291.000.000 7,81186 17.603.000.000 9,216
Bali 287.673 0,00031 Tda Tda
Sulut 36.074 0,00004 Tda Tda
Total 8.199.437.576 8,78519373 19.391.049.463 10,15238
Industri lain 85.133.024.124 91,2148063 171.608.950.537 89,84762
Total Ind 93.332.461.700 100 191.000.000.000 100
Sumber : Diolah dari data BPS

Gambar 8
Sumbangan Nilai Tambah Industri Rokok Kretek
Terhadap Industri Manufaktur di Indonesia

10,000
8,000
6,000
1996
4,000 1999
2,000
0,000
Sumut Jabar Jateng Jatim Bali Sulut

Sumber : Diolah dari Data BPS

Tabel 10 memperlihatkan kinerja industri rokok kretek Indonesia pada tahun 1996
dan 1999 dilihat dari sudut profit (keuntungan). Dari Tabel 10 kita dapat menyimpulkan
kinerja perusahaan dari segi laba mengalami sedikit penurunan bila dibagi dengan jumlah
perusahaan yang ada. Pada tahun 1996 industri rokok kretek mempunyai
keuntungan/perusahaan sebesar 0,345% sedangkan pada tahun 1999 menjadi 0,342%. Jadi
mengalami penurunan sebesar 0,003%.
Dapat kita lihat bahwa “keuntungan/perusahaan” mempunyai korelasi yang positif
dengan konsentrasi industri dengan indikator turunnya nilai CR4. Sedangkan
“keuntungan/perusahaan” mempunyai korelasi yang negatif terhadap jumlah perusahaan.
Bila dilihat “keuntungan/output” industri rokok kretek di Indonesia secara total pada tahun
1999 mengalami kenaikan sebesar 4,1% bila dibandingkan dengan “keutungan /output”
pada tahun 1996. Tetapi keuntungan/output yang meningkat diiringi dengan bertambahnya
jumlah perusahaan sehingga menyebabkan “keuntungan/perusahaan” menjadi menurun.

15
Tabel 10
Keuntungan Industri Rokok Kretek di Indonesia 1996 dan 1999

Tahun Keuntungan/ Keuntungan/ CR4 Jumlah


Output Perusahaan Perusahaan
1996 0.6589 0.00345 0.8109 191
1999 0.7038 0.00342 0.7891 206
Keterangan : CR4 = Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar
Keuntungan = Profit atau nilai tambah
Keuntungan/perusahaan = (Keuntungan/Output)/Perusahaan
Sumber : Diolah dari data BPS

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bertambahnya jumlah perusahaan mem-


pengaruhi pangsa pasar industri rokok kretek di Indonesia dan menyebabkan nilai
konsentrasi industri mengalami perubahan yang pada akhirnya mem-pengaruhi keuntungan
tiap perusahaan.
Produktivitas dan efisiensi dapat dijadikan sebagai indikator kinerja industri.
Produktivitas adalah hasil yang dicapai tiap tenaga kerja atau unit faktor produksi dalam
jangka waktu tertentu. Efisiensi merupakan ukuran dari hasil yang dicapai dengan
pengorbanan tertentu. Produktivitas dan efisiensi yang paling tinggi terdapat di propinsi
Jawa Timur baik pada tahun 1996 maupun tahun 1999. Produktivitas dan efisiensi secara
total Indonesia mengalami peningkatan. Produktivitas meningkat sebesar 96,41%
sedangkan efisiensi meningkat sebesar 23,19%. Di Jawa Tengah pada Tahun 1996
Kabupaten yang menempati peringkat teratas dalam segi produktivitas adalah
Karanganyar, Magelang, Kudus dan Sukoharjo. Sedangkan di Jawa Timur adalah Kediri,
Surabaya, Mojokerto, Malang. Pada tahun 1999 peringkat teratas dalam segi produktivitas
di Jawa Timur tidak berubah, sedangkan di Jawa Tengah mengalami perubahan menjadi
Boyolali, Kudus, Magelang, dan Kendal.(lihat lampiran 1).

Tabel 11
Produktivitas dan Efisiensi Industri Rokok Kretek
Tiap Propinsi di Indonesia 1996 dan 1999

Thn 1996 Thn 1999


Produktivitas Efisiensi Produktivitas Efisiensi
Sumut 30.895,66 0,51 tda Tda
Jabar 5.180 1,5 tda tda
Jateng 34.242,27 0,89 60.356,1 0,82
Jatim 89.026,54 2,27 179.451,8 2,96
Bali 6.885,92 0,46 tda tda
Sulut 1.812,95 0,9 tda tda
Indonesia 71.166,08 1,94 139.778,7 2,39
Keterangan : Produktivitas = Output/Tenaga kerja
Efisiensi = Nilai Tambah/ Input
Sumber : Diolah dari data BPS

16
ANALISIS KLUSTER INDUSTRI ROKOK KRETEK
Industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang tidak terlepas dari kondisi
konsentrasi geografis. Konsentrasi aktivitas ekonomi dalam suatu negara menunjukkan
bahwa industrialisasi merupakan suatu proses selektif dipandang dari dimensi geografis.
Kluster (pengelompokan) menurut teori lokasi tradisonal terjadi karena adanya minimisasi
biaya transpor atau biaya produksi. Pemilihan lokasi suatu industri merupakan suatu upaya
dari industri tersebut untuk menguasai areal pasar terluas melalui maksimisasi penjualan.
Kluster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktifitas produksi yang amat
terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada satu atau dua industri saja
(Kuncoro, 2002: bab 7). Penjelasan klasik konsentrasi aktifitas ekonomi secara spasial
mengacu pada dua macam eksternalitas ekonomi, yang dinamakan penghematan lokalisasi
(localization economies) dan penghemat-an urbanisasi (urbanization economies). Kedua
macam penghematan ini yang sering disebut agglomeration economies.
Penghematan akibat lokalisasi (localization economies) terjadi apabila biaya
produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri
tersebut meningkat. Jadi dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam suatu industri
yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Penghematan lokalisasi
yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki aktifitas yang berhubungan
satu sama lain telah memunculkan fenomena kluster industri atau yang sering disebut
dengan industrial clusters (Kuncoro, 2001b).
Menurut Kuncoro (2002: bab 1), urbanization economies terjadi bila biaya produksi
suatu perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan dalam wilayah perkotaan
yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi di wilayah perkotaan ini terjadi
akibat dari skala perekonomian kota yang besar, dan bukan akibat skala suatu jenis industri.
Penghematan urbanisasi ini memberi manfaat bagi semua perusahaan di seluruh kota tidak
hanya memberi manfaat pada perusahaan dalam
Dalam menganalisis sebaran geografis dan kluster (pengelompokan) industri rokok
kretek di Indonesia digunakan metode analisis Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG
bermanfaat untuk mengidentifikasikan lokasi industri dan mengidentifikasi di daerah mana
mereka cenderung mengelompok (Kuncoro, 2001b). SIG mentransformasikan data menjadi
informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis
fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. SIG
merupakan alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan di mana industri manufaktur
cenderung mengumpul atau membentuk kluster. SIG pada dasarnya adalah suatu tipe
informasi yang memfokuskan pada penyajian dan analisis realitas geografis. Karakteristik
pokok dari SIG seperti yang disarikan oleh Martin (1996) sebagai berikut:
a. Geografis, berhubungan dengan pengukuran skala geografi, dan direferensikan oleh
beberapa koor-dinat sistem pada lokasi diatas permukaan bumi
b. Informasi, mencakup pengambilan informasi yang spesifik dan bermakna dari sejumlah
data yang beragam, dan ini hanya mungkin karena data telah diorganisasi dalam suatu
model dunia nyata.
c. Sistem, lingkungan yang memungkinkan data dikelola dan pertanyaan ditempatkan.

17
Industri rokok kretek pada tahun 1996 terdapat dalam 6 propinsi yaitu Sumut, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulut meliputi 32 kabupaten dengan jumlah
perusahaan sebanyak 191. Pada tahun 1999 industri rokok kretek hanya terdapat pada 2
propinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi 35 kabupaten dengan jumlah
perusahaan sebanyak 206.
Hasil analisis Frequencies dengan menggunakan SPSS Versi 10 ternyata pada tahun
1996 dan 1999 tenaga kerja dan nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia
berdistribusi tidak normal. Indikator tersebut dapat dilihat dari hasil uji nilai skewness dan
kurtosis yang tidak berada diantara –2 dan +2.

Tabel 12
Nilai Skewness dan Kurtosis Industri Rokok Kretek

Tenaga Kerja Nilai Tambah


Thn 96 Thn 99 Thn 96 Thn 99
Skewness 2,596 2,776 4,306 4,184
Kurtosis 5,8 7,041 19,954 17,895

Hasil dari uji tersebut memperlihatkan bahwa distribusi tenaga kerja dan nilai tambah
industri rokok kretek tidak merata. Gambar histogram (lihat lampiran 2) memperlihatkan
distribusi tenaga kerja dan nilai tambah yang tidak normal dan mempunyai kecondongan
positif yang berarti ada beberapa daerah yang mempunyai tingkat kepadatan industri rokok
kretek yang tinggi dilihat dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkannya,
sedang dilain pihak kebanyakan ada daerah kabupaten/kota yang memiliki kepadatan
industri rokok kretek yang rendah. Jadi dari uji ini dapat diindikasikan ada kluster industri
rokok kretek di Indonesia.
Ciri utama daerah industri rokok kretek adalah daerah yang memiliki tingkat
kepadatan industri yang sangat tinggi, tinggi, maupun rendah baik dalam jumlah pekerja
maupun nilai tambah. Kriteria kabupaten/kota yang memiliki daerah kepadatan industri
adalah :
¾ Sangat tinggi untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 6000
orang, sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai lebih dari Rp100
miliar.
¾ Tinggi untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja antara 1000 - 6000
orang, sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai antara Rp.15 - 100
miliar.
¾ Rendah untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 1000,
sedangkan untuk nilai tambah bila menghasilkan nilai kurang dari Rp.15 miliar.

Peringkat dan klasifikasi kabupaten/kota menurut jumlah tenaga kerja dan nilai tambah
pada Tahun 1996 dan 1999 dapat dilihat pada Lampiran 3 Pada Tahun 1996 dan 1999
daerah (kabupaten/kota) yang memperoleh predikat yang “sangat tinggi” dalam jumlah
tenaga kerja dan nilai tambah adalah adalah Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Keempat

18
daerah tersebut memberikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah yang sangat besar
untuk industri rokok kretek di Indonesia. Pada Tahun 1996, empat daerah tersebut
memberikan sumbangan sebesar 81,08% untuk tenaga kerja sedangkan daerah lain hanya
memberikan sumbangan sebesar 18,92%
Sumbangan empat daerah untuk industri rokok kretek di Indonesia pada nilai tambah
di tahun 1996 adalah sebesar 98,23% sedangkan daerah lain hanya memberikan
Sumbangan sebesar 1,77%. Pada Tahun 1999, empat daerah tersebut tetap memberikan
Sumbangan yang lebih besar dari daerah lain di Indonesia. Untuk tenaga kerja pada tahun
1999, empat daerah tersebut memberikan Sumbangan sebesar 77.78% sedangkan daerah
lain hanya memberikan sumbangan 22.22%. Untuk nilai tambah, empat daerah tersebut
memberikan sumbangan sebesar 97,88% sedangkan daerah lain hanya memberikan
sumbangan sebesar 2,12%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13
Sumbangan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Daerah dengan Kelas “Sangat Tinggi”
Terhadap Industri Rokok Kretek di Indonesia.

1996 (%) 1999 (%)


4 Daerah Daerah lain 4 Daerah Daerah Lain
Tenaga Kerja 81,09 18,91 77,78 22,22
Nilai Tambah 98,23 1,77 97,88 2,12
Keterangan : 4 Daerah meliputi : Kudus, Kediri, Surabaya, dan Malang
Sumber : Diolah dari data BPS

Kita lihat dari tabel 13 bahwa ada penurunan sumbangan dari daerah dengan kelas
sangat tinggi terhadap industri rokok kretek di Indonesia walaupun jumlah tenaga kerja dan
nilai tambah di empat daerah tersebut sebenarnya meningkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ada peningkatan tenaga kerja dan nilai tambah di daerah lain yang tidak termasuk dalam
kelas yang sangat tinggi, sehingga mengurangi sumbangan empat daerah tersebut di
industri rokok kretek di Indonesia.
Tabel 14
Sumbangan Jumlah Perusahaan dengan Level
“Sangat Tinggi” Terhadap Total Perusahaan
Rokok Kretek di Indonesia

Jumlah
Daerah Perusahaan Tabel 14 memperlihatkan pada kita
Propinsi Kabupaten/Kota 1996 1999 sumbangan jumlah perusahaan dengan
Jateng Kudus 51 53 kelas “Sangat Tinggi” terhadap jumlah
Jatim Kediri 2 2 perusahaan rokok kretek di Indonesia.
Jatim Surabaya 3 3 Ternyata sumbangan keempat daerah
Jatim Malang 30 28 tersebut dalam jumlah perusahaan
Total 86 86 mencapai angka 45,03 % pada tahun 1996
% Terhadap Perusahaan dan 41,75% pada tahun 1999. Hal ini
Rokok Kretek di Indonesia 45,03% 41,75%

19
menunjukkan bahwa banyak perusahaan rokok yang beroperasi di daerah tersebut dari pada
di daerah lain, sehingga dapat kita simpulkan bahwa kluster industri rokok kretek ada di
daerah yang mempunyai kelas “sangat tinggi” yaitu Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang.
Dari empat daerah tersebut, Kudus dan Malang merupakan daerah yang mempunyai jumlah
perusahaan yang cukup banyak (masing-masing 53 dan 28 perusahaan). Suatu kluster
industri terjadi karena biasanya terjadi minimisasi biaya transpor atau biaya produksi.
Sedangkan, menurut Marshall (1919), kluster industri muncul karena adanya konsentrasi
pekerja trampil, berdekatannya para pemasok spesialis dan tersedianya fasilitas untuk
mendapatkan pengetahuan, sehingga karena keuntungan ekonomis tersebut membuat
perusahaan-perusahaan dalam satu industri cenderung mengelompok. Sesuatu yang wajar
bila kluster industri rokok terdapat di empat daerah tersebut karena dilihat dari sisi historis,
perkembangan rokok di Indonesia dimulai dari keempat daerah itu sehingga pekerja trampil
dalam industri rokok mudah ditemui di daerah tersebut, para pemasok spesialis telah lama
memusatkan kegiatannya di daerah tersebut. Menurut Hayter (1997) penentuan lokasi
industri merupakan suatu proses strategi pengembangan. Strategi diartikan sebagai posisi
kompetitif dari suatu industri dalam suatu rencana jangka panjang seperti mendirikan
pabrik baru. Empat daerah tersebut merupakan lokasi perusahaan rokok yang menguasai
pangsa pasar industri rokok kretek di Indonesia yaitu PT. Djarum di Kudus, PT. Gudang
Garam di Kediri, PT HM Sampoerna di Surabaya dan PT Bentoel di Malang.
Indeks spesialisasi merupakan salah satu ukuran konsentrasi suatu industri dalam
suatu kluster. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa kluster industri rokok kretek di
Indonesia ada di pulau Jawa yaitu di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya di
daerah Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Indeks spesialisasi digunakan untuk
mengukur kemampuan suatu daerah dalam menciptakan kesempatan kerja.
Indeks spesialisasi yang tinggi pada suatu industri diasumsikan akan mempercepat
pertumbuhan industri tersebut. Nilai rata-rata indeks spesialisasi industri rokok kretek di
Indonesia adalah sebesar 4,15. Nilai ini melebihi satu sehingga dapat disimpulkan bahwa
industri rokok kretek di Indonesia memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang besar.
Daerah-daerah yang memberikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah yang besar atau
masuk dalam kelas “sangat tinggi” ternyata mempunyai indeks spesialisasi yang lebih dari
satu, Kudus mempunyai indek spesialisasi 15,75, Kediri 18,81, Surabaya 3,94 dan Malang
15,19 (lihat Tabel 15).

Tabel 15. Indeks Spesialisasi Industri Rokok Kretek tahun 1999


T. Kerja T. Kerja
Industri Industri Eir Eit Sirt
Rokok Manufaktur
Jateng
Kudus 50523 68983 0.73 0.0465 15.75
Blora 1004 1927 0.52 0.0465 11.21
Magelang* 374 2188 0.17 0.0465 3.68
Pekalongan* 1988 13670 0.15 0.0465 3.13
Pati 1639 14780 0.11 0.0465 2.39
Batang 1200 12393 0.10 0.0465 2.08
Surakarta* 1514 15722 0.10 0.0465 2.07

20
Semarang* 4097 79899 0.05 0.0465 1.10
Jepara 1277 30788 0.04 0.0465 0.89
Karanganyar 959 40315 0.02 0.0465 0.51
Sukoharjo 934 48274 0.02 0.0465 0.42
Boyolali 101 18835 0.01 0.0465 0.12
Kendal 26 19508 0.00 0.0465 0.03
Jatim
Kediri* 37508 42902 0.87 0.0465 18.81
Blitar* 1641 1951 0.84 0.0465 18.09
Malang* 29165 41290 0.71 0.0465 15.19
Ngawi 2275 5626 0.40 0.0465 8.70
Tulungagung 3286 12123 0.27 0.0465 5.83
Lamongan 3171 11836 0.27 0.0465 5.76
Malang 6210 31470 0.20 0.0465 4.24
Mojokerto* 801 4226 0.19 0.0465 4.08
Tuban 1523 8287 0.18 0.0465 3.95
Surabaya* 29843 162887 0.18 0.0465 3.94
Bojonegoro 1227 8473 0.14 0.0465 3.11
Nganjuk 255 3308 0.08 0.0465 1.66
Probolinggo 759 9871 0.08 0.0465 1.65
Pasuruan 5772 79853 0.07 0.0465 1.55
Mojokerto 2058 31945 0.06 0.0465 1.39
Jombang 794 13143 0.06 0.0465 1.30
Pamekasan 50 1449 0.03 0.0465 0.74
Sidoarjo 4834 168193 0.03 0.0465 0.62
Blitar 55 2480 0.02 0.0465 0.48
Trenggalek 35 1660 0.02 0.0465 0.45
Madiun 22 2959 0.01 0.0465 0.16
Jember 114 37278 0.00 0.0465 0.07

Dari analisis sebaran geografis dapat disimpulkan bahwa Kudus, Kediri, Surabaya
dan Malang merupakan daerah kluster industri utama rokok kretek di Indonesia. Ini terbukti
karena keempat daerah tersebut memberikan sumbangan yang besar terhadap industri rokok
kretek di Indonesia bila dibandingkan dengan perusahaan rokok kretek di daerah lain.
Kondisi daerah utama industri rokok kretek ternyata tidak mengalami perubahan pada
periode sebelum krisis (1996) maupun periode sesudah krisis/masa recovery (1999).

KESIMPULAN & IMPLIKASI


Dari hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal tentang kondisi industri rokok kretek
di Indonesia :
1. Menurut klasifikasi Bain (1956) industri rokok kretek di Indonesia mempunyai struktur
oligopoli dengan tingkat konsentrasi tinggi ini ditunjukkan oleh nilai konsentrasi
rasio (CR4/8) industri rokok kretek yang tinggi. Artinya, hambatan masuk (barrier of
entry) dalam industri ini cukup besar sehingga tidak mudah bagi pemain baru yang
masuk dalam industri ini. Kalau ada perusahaan baru biasanya adalah hasil akusisi dari
perusahaan besar.

21
2. Krisis ekonomi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 ternyata tidak membuat
struktur industri rokok kretek di Indonesia mengalami perubahan secara drastis.
3. Kinerja industri rokok kretek di Indonesia mengalami pertumbuhan walaupun kondisi
perkonomian Indonesia mengalami krisis. Indikasi pertumbuhan kinerja dapat dirasakan
karena adanya pertumbuhan sumbangan nilai tambah dan tenaga kerja industri terhadap
industri manufaktur di Indonesia.
4. Industri rokok kretek di Indonesia mempunyai daerah utama industri yang diindikasikan
dengan besarnya sumbangan nilai tambah dan tenaga kerja daerah tersebut terhadap
industri rokok kretek di Indonesia. Daerah tersebut adalah Kudus di Jawa Tengah,
Kediri, Surabaya dan Malang di Jawa Timur. Keempat daerah tersebut merupakan
lokasi empat perusahaan yang selama ini menguasai pangsa pasar industri rokok kretek
di Indonesia yaitu PT Gudang Garam di Kediri, PT Djarum di Kudus, PT HM
Sampoerna di Surabaya dan PT Bentoel di Malang. Empat daerah tersebut memiliki
kelas yang “sangat tinggi” dalam pangsa tenaga kerja dan nilai tambah serta
mempunyai indeks spesialisasi lebih dari satu. Empat daerah tersebut dapat
dikategorikan sebagai kluster industri rokok kretek di Indonesia
5. Industri rokok kretek di Indonesia ternyata merupakan pangsa pasar tenaga kerja yang
tinggi hal ini dibuktikan dengan indeks spesialisasi rata-rata industri rokok kretek di
Indonesia yang mempunyai nilai lebih besar dari satu yaitu sebesar 4,15. Sehingga
penyerapan tenaga kerja pada Industri rokok kretek di Indonesia dapat dikatakan besar,
lebih–lebih didaerah utama industri rokok kretek di Indonesia yaitu Kediri, Surabaya,
Kudus dan Malang.
6. Industri rokok kretek di Indonesia ternyata mampu membuktikan dirinya sebagai salah
satu tulang punggung industri manufaktur di Indonesia terbukti dengan sumbangan
yang diberikan pada industri manufaktur baik itu penyerapan tenaga kerja maupun
pertumbuhan nilai tambah.

Dari hasil kesimpulan yang ada, maka implikasi kebijakan yang diajukan adalah
sebagai berikut:
1. Adanya kekuatan (strength) industri rokok kretek yang telah terbukti dapat tetap
bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Keputusan strategis yang harus dilakukan
adalah dengan melakukan pengembangan baik itu dalam penelitian dan penemuan
inovasi baru maupun pengembangan pasar dalam negeri maupun luar negeri (ekspor).
2. Industri rokok kretek adalah industri yang berstruktur oligopoli sehingga cenderung
melakukan kolusi. Struktur industri oligopoli secara alamiah akan cenderung
melakukan perilaku kolusi. Hal ini tidak bisa dihindari sehingga akan lebih baik bila
kolusi yang dilakukan adalah kolusi yang sehat yang memberikan dampak yang bagi
seluruh perusahaan rokok kretek di Indonesia. Kolusi yang sehat dapat dilakukan
dengan membentuk suatu gabungan perusahaan rokok, asosiasi atau mendayagunakan
gabungan perusahaan rokok yang sudah ada agar tercipta efek sinergi.
3. Pemerintah yang diuntungkan dengan adanya industri rokok kretek di Indonesia dengan
sumbangan cukai yang tidak kecil nilainya diharapkan memberikan sumbangannya
dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi industri rokok kretek di
Indonesia. Kebijakan yang mendukung ekspor yang mempermudah industri rokok
kretek dalam mengembangkan pasar keluar negeri sehingga memperkuat daya saing

22
kita di pasar global merupakan suatu sumbangan wajib pemerintah dalam
mengembangkan industri rokok kretek Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Awat, Napa .J. ,1995. Metode Statistik dan Ekonometri, Lyberty, Yogyakarta.
Bain, Joe.S., 1956. Industrial Organization, Wiley, New York.
Blair, Roger D. & Kaserman, D.L., 1985, Antitrust Economics, Richard D. Irwin, Inc.,
Homewood.
Budiman, A., & Onghokham, 1997, Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara, PT. Djarum, Kudus.
Boediono, 1999, Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta.
Castles, L. 1967, Religions, Politics, and Economic Behavior in Java: the Kudus cigarette
industry. Yale University Southeast Asia Studies, Detroit.
Church, J. & Ware, R, 2000, Industrial Organization: A Strategic Approach, McGraw Hill,
Boston.
Gatra, 2000a, Ragam: Kudus, Tanah Air Kretek Itu, Edisi No 11 Tahun VI, 29 Januari 2000
Gatra, 2000b, Ragam: Rokok, Antara Madu dan Racun, Edisi No 16 Tahun VI, 4 Maret
2000
Hasibuan, N., 1993, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi, LP3ES,
Jakarta.
Hayter, R., 1997, The Dynamics of Industrial Location, John Wiley & Sons Ltd,
Chichester.
Hornaday, R.W, 1994, Cases in Strategic Management, Program Magister Manajemen
UGM, Yogyakarta.
Indocommercial, 1999, Proses Oligopoli Industri Rokok Berjalan Cepat, No 235, 11
Oktober 1999.
Indocommercial, 2002 Prospek Industri dan Pemasaran Rokok di Indonesia, No 289, 11
Januari 2002.
Jaya, Wihana. K., 1993, Pengantar Ekonomi Industri, Pendekatan Struktur, Perilaku dan
Kinerja Pasar, BPFE, Yogyakarta.
Kuncoro, M., Adji,A.,&Pradipto,R.,1997, Ekonomi Industri: Teori, Kebijakan dan Studi
Empiris, Widya Sarana Informatika, Yogyakarta.
Kuncoro, M., 2001a, Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi,
UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Kuncoro, M., 2001b, “Regional Clustering of Indonesia’s Manufacturing Industry: A
Spatial Analysis With Geographic Information System (GIS)”, Gadjah Mada
International Journal of Business, 3(3).
Kuncoro, M., 2002, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri
Indonesia, UPP AMP YKPN Yogyakarta.
Marshall, A 1919, Industry and Trade, Macmillan, London.
Martin, S., 1994, Industrial Economics : Economic Analysis and Public Policy, 2nd Edition,
Prentice Hall, New Jersey.

23
Martin, R., & Sunley, P.1996, “Paul Krugman’s Geographical Economic and Its
Implications for Regional Development Theory: A Critical Assessment”, Economic
Geography, 72(3).
Samuelson,Paul.A.& Nordhaus,William.D.,1999, Mikroekonomi, Erlangga, Jakarta.
Santosa, S., 2002, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, PT Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Swasembada, 2000, Suplemen Rokok: Era Baru Industri Rokok Indonesia, Edisi No
08/XVI/19 April – 3 Mei 2000
htpp://www. djarum.com, Tentang Perusahaan, download 23 April 2002.
htpp://www. djarum.com, Distribusi Pasar Lokal, download 23 April 2002.
htpp://www.gamma.co.id, Prediksi Sepekan, download 23 April 2002.
htpp://www.satunet.com, Rokok Tetap Jadi Tulang Punggung Bea Cukai, download 23
April 2002

Lampiran 1a
Produktivitas dan Efisiensi Industri Rokok Kretek
di Tiap Kabupaten di Indonesia pada Tahun 1996
Daerah Produktivitas Efisiensi Jml Prsh
Sumut
Langkat 94.045,00 0,23 1
Pematang Siantar * 26.237,79 0,72 2
Jabar
Ciamis 5.180,00 1,5 1
Jateng
Karanganyar 48.202,09 0,32 3
Magelang * 20.927,45 0,54 1
Kudus 20.455,26 0,4 51
Sukoharjo 15.709,28 0,85 1
Kendal 13.984,14 1,75 1
Pati 12.972,57 0,08 3
Semarang * 11.658,93 0,72 5
Surakarta * 11.222,24 0,64 3
Jepara 7.762,49 0,38 8
Pekalongan * 1.138,83 91,26 1
Jatim
Kediri * 87.166,48 1,46 2
Surabaya * 59.387,79 1,51 3
Mojokerto * 28.106,14 0,69 1
Malang * 26.672,43 1,01 30
Nganjuk 14.058,39 0,35 2
Malang 11.747,21 0,61 25
Bojonegoro 9.246,15 2,05 4
Tulungagung 9.058,89 0,83 7
Pasuruan 8.872,53 0,46 5
Sidoarjo 8.459,17 0,72 15

24
Jember 4.950,60 0,55 2
Probolinggo 3.960,04 1,09 3
Jombang 3.696,44 0,71 3
Trenggalek 2.227,78 0,63 1
Lamongan 2.104,89 0,73 2
Blitar * 775,64 0 2
Mojokerto 200,50 32,75 1
Bali
Klungkung 6.885,92 0,46 1
Sulut
Minahasa 1.812,95 0,9 1
Keterangan : * = Kotamadya
Sumber : Diolah dari data BPS

Lampiran 1b.
Produktivitas dan Efisiensi Industri Rokok Kretek
di Tiap Kabupaten di Indonesia pada Tahun 1999
Daerah Produktivitas Efisiensi Jml Prsh
Jateng
Boyolali 79.652,43 1.45 1
Kudus 60.398,70 0.74 53
Magelang * 53.030,84 0.32 1
Kendal 41.980,77 1.42 1
Karanganyar 38.337,55 1.28 4
Surakarta * 35.982,62 0.47 3
Semarang * 32.849,22 0.42 5
Pati 26.175,43 0.95 3
Sukoharjo 22.022,42 0.09 1
Jepara 10.739,62 0.7 6
Batang 1.993,20 na 1
Pekalongan * 1.795,90 83.36 1
Blora 817,42 na 1
Jatim
Kediri * 169.006,30 2,59 2
Surabaya * 158.553,50 1,81 3
Mojokerto * 151.238,80 0,6 1
Malang * 73.219,99 0,9 28
Tulungagung 33.433,83 0,53 5
Malang 29.554,24 1,9 27
Madiun 23.094,68 0,13 1
Sidoarjo 22.566,50 0,77 16
Pasuruan 17.668,86 9,48 7
Blitar 15.823,81 0,41 2
Nganjuk 13.847,00 0,39 5
Probolinggo 10.256,48 0,94 3
Bojonegoro 8.739,73 0,55 5
Jember 8.368,55 1,2 4

25
Jombang 6.647,41 2,27 3
Pamekasan 4.652,22 2,02 2
Mojokerto 4.278,98 55,17 2
Trenggalek 3.988,00 1,12 1
Lamongan 3.251,05 85,76 3
Blitar * 1.401,78 na 2
Tuban 1.038,00 na 1
Ngawi 840,41 26,87 2
Keterangan : * = Kotamadya
Sumber: Diolah dari data BPS

Lampiran 2.
Tenaga Kerja 1996
30

20

10
Frequency

Std. Dev = 11992.44


Mean = 5460.8

0 N = 32.00
0.0 10000.0 20000.0 30000.0 40000.0
5000.0 15000.0 25000.0 35000.0 45000.0

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja 1999


30

20

10
Frequency

Std. Dev = 11828.57


Mean = 5629.5

0 N = 35.00
0.0 10000.0 20000.0 30000.0 40000.0 50000.0
5000.0 15000.0 25000.0 35000.0 45000.0

Tenaga Kerja

Lampiran 3a

26
Peringkat (Rank) dan Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut JumlahTenaga Kerja dan
Nilai Tambah pada Industri Rokok Kretek di Indonesia pada Tahun 1996
Kelas Propinsi Kabupaten TK Kelas Propinsi Kabupaten NT , Rp(000)
Sangat Tinggi Jateng Kudus 46.971 Sangat Tinggi Jatim Kediri* 4.494.485.100
Jatim Kediri* 39.326 Jatim Surabaya * 1.912.411.199
Jatim Surabaya * 29.803 Jateng Kudus 856.928.206
Jatim Malang * 25.599 Jatim Malang * 790.421.591
Tinggi Jatim Malang 8.064 Tinggi Jatim Malang 49.094.883
Jatim Sidoarjo 3.992 Jateng Semarang* 18.006.610
Jatim Tulungagung 2.979 Rendah Jatim Tulungagung 13.595.238
Jateng Semarang* 2.822 Jatim Sidoarjo 8.603.915
Jatim Blitar 1.830 Jatim Mojokerto * 8.013.413
Jatim Pasuruan 1.804 Jateng Surakarta* 7.343.937
Jateng Pati 1.626 Jateng Pati 6.226.114
Jatim Bojonegoro 1.455 Sumut P. Siantar* 5.256.003
Jateng Jepara 1.443 Jatim Pasuruan 4.957.298
Jateng Surakarta* 1.337 Jateng Karanganyar 4.009.035
Rendah Jateng Pekalongan* 943 Jatim Bojonegoro 3.906.107
Jatim Lamongan 726 Jateng Jepara 3.771.038
Jatim Mojokerto * 696 Jateng Magelang* 3.121.019
Jatim Probolinggo 650 Jatim Probolinggo 1.551.759
Sumut P. Siantar* 543 Jatim Blitar 1.439.144
Jatim Mojokerto 505 Jatim Lamongan 1.134.206
Jateng Magelang* 427 Jateng Pekalongan* 1.062.279
Jatim Jombang 257 Sumut Langkat 994.837
Jateng Karanganyar 256 Jatim Nganjuk 885.282
Jatim Nganjuk 182 Jateng Kendal 631.772
Bali Klungkung 133 Jateng Sukoharjo 576.420
Jateng Sukoharjo 80 Jatim Jombang 444.024
Jateng Kendal 71 Bali Klungkung 287.673
Jabar Ciamis 60 Jabar Ciamis 186.559
Sumut Langkat 56 Jatim Mojokerto 98.250
Sulut Minahasa 42 Jatim Jember 72.225
Jatim Jember 41 Sulut Minahasa 36.074
Jatim Trenggalek 27 Jatim Trenggalek 23.149
Keterangan :
TK = Tenaga Kerja; NT = Nilai Tambah
* = Kotamadya
Sumber : Diolah dari data BPS

Lampiran 3b.
Peringkat (Rank) dan Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut JumlahTenaga Kerja dan
Nilai Tambah pada Industri Rokok Kretek di Indonesia pada Tahun 1999
Kelas Propinsi Kabupaten TK Kelas Propinsi Kabupaten NT, Rp(000)
Sangat Tinggi Jateng Kudus 50.523Sangat Tinggi Jatim Kediri* 10.000.000.000
Jatim Kediri* 37.508 Jatim Surabaya* 6.080.000.000
Jatim Surabaya* 29.843 Jateng Kudus 1.680.000.000

27
Jatim Malang* 29.165 Jatim Malang* 1.220.000.000
Jatim Malang 6.210Tinggi Jatim Malang 99.386.007
Tinggi Jatim Pasuruan 5.772 Jatim Pasuruan 46.061.654
Jatim Sidoarjo 4.834 Jatim Mojokerto* 45.465.215
Jateng Semarang* 4.097 Jatim Tulungagung 42.253.572
Jatim Tulungagung 3.286 Jatim Sidoarjo 36.173.342
Jatim Lamongan 3.171 Jateng Surakarta* 25.476.590
Jatim Ngawi 2.275 Jateng Semarang* 25.385.455
Jatim Mojokerto 2.058 Jateng Pati 20.907.486
Jateng Pekalongan* 1.988Rendah Jateng Karanganyar 11.721.953
Jatim Blitar* 1.641 Jatim Lamongan 9.149.825
Jateng Pati 1.639 Jatim Mojokerto 8.632.746
Jatim Tuban 1.523 Jateng Jepara 5.941.603
Jateng Surakarta* 1.514 Jatim Probolinggo 4.863.430
Jateng Jepara 1.277 Jateng Magelang* 4.831.169
Jatim Bojonegoro 1.227 Jateng Boyolali 4.763.331
Jateng Batang 1.200 Jateng Pekalongan* 3.527.929
Jateng Blora 1.004 Jatim Bojonegoro 2.874.798
Rendah Jateng Karanganyar 959 Jateng Batang 2.391.840
Jateng Sukoharjo 934 Jatim Blitar* 2.365.320
Jatim Mojokerto* 801 Jatim Ngawi 1.879.044
Jatim Jombang 794 Jateng Sukoharjo 1.641.140
Jatim Probolinggo 759 Jatim Tuban 1.580.870
Jateng Magelang* 374 Jateng Blora 820.692
Jatim Nganjuk 255 Jatim Nganjuk 739.016
Jatim Jember 114 Jateng Kendal 640.275
Jateng Boyolali 101 Jatim Jember 540.346
Jatim Blitar 55 Jatim Jombang 473.563
Jatim Pamekasan 50 Jatim Blitar 252.388
Jatim Trenggalek 35 Jatim Pamekasan 148.664
Jateng Kendal 26 Jatim Trenggalek 73.890
Jatim Madiun 22 Jatim Madiun 58.320
Keterangan:
TK = Tenaga Kerja
NT = Nilai Tambah
* = Kotamadya
Sumber : Diolah dari data BPS

28
BIODATA SINGKAT

SIMON BAMBANG SUMARNO adalah Alumnus Magister Manajemen UGM. Lulus


dari Program MM UGM tahun 2002.

MUDRAJAD KUNCORO adalah staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
(UGM) dan peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM. Ia mendapat gelar Sarjana
Ekonomi dengan predikat cum laude dari UGM (1989), Graduate Diploma dengan spesialisasi
Keuangan Daerah (1992) dan Master of Social Science dari University of Birmingham,
Inggris (1993), serta PhD dalam Economics & Commerce dari University of Melbourne,
Australia (2001). Pernah mengikuti kursus singkat Fiqh for Economists di International
Islamic University, Selangor, Malaysia (1994), menjadi visiting scholar di Department of
Economics, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University,
Canberra, Australia (1998), dosen tamu di University of Melbourne, University of Leiden, dan
University of Groningen. Selain anggota ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), ia juga
tercatat sebagai anggota AIB (Academy of International Business).

29

Anda mungkin juga menyukai