Anda di halaman 1dari 4

Filosifi Burung-Burung Manyar Sebagai Penggambaran Karakterisasi Tokoh Setadewa

Ditulis oleh Shinta Devi Rossaline


12 Humanities 2
2010

Tidak jarang dijumpai penggunaan sosok burung atau unggas sebagai simbol. Jenisnya yang
beragam dan karakternya yang kuat menjadi alasan mengapa orang memutuskan
menggunakannya sebagai perlambang akan sesuatu.

Burung merpati putih secara turun-temurun telah menjadi simbol perdamaian sejak zaman
kuno. Banyak negara yang menggunakan burung sebagai simbol negara mereka, Amerika
Serikat misalya. Mereka menggunakan burung elang sebagai simbol negara. Tidak jauh
berbeda dengan Indonesia yang menjadikan burung garuda sebagai simbol negara. Burung
garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada burung garuda itu
melambangkan kemegahan atau kejayaan. Harapan para pendiri negara, Indonesia dapat
berdiri teguh dan bersifat kokoh layaknya burung garuda.

Selain merpati, elang, dan garuda, menurut Rosemary Drisdelle (2006) yang seorang ahli
simbologi mengatakan bahwa ada beberapa jenis burung lain yang bermakna sangat kental
antara lain; angsa yang mencerminkan keindahan dan cinta, burung hantu sebagai citra dari
ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, burung bangau yang melambangkan umur panjang dan
filsafat, serta burung gagak yang bermakna kekosongan. Namun nama burung manyar sangat
jarang didengar sampai novel fiksi Burung-Burung Manyar terbit.

Seorang sastrawan peraih banyak penghargaan melahirkan sebuah karya sastra yang bertajuk
Burung-Burung Manyar pada tahun 1981 dan berhasil mendapatkan penghargaan South East
Asia Write Award 1983. Layaknya penggunaan simbolisme sosok burung dalam lambang
negara, novel karya Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) ini tidak luput dari penggunaan burung
sebagai perlambang tokoh atau karakter. Karakter Setadewa atau Teto yang menjadi tokoh
utama dalam novel ini sangat identik dengan burung manyar. Sang penulis dengan
sedemikian rupa menciptakan alur dan karakterisasi tokoh Teto layaknya perjalanan hidup
seekor burung manyar sehingga muncul pertanyaan bagaimana filosofi burung-burung
manyar menggambarkan karakter Setadewa.

1
Guna menjawab pertanyaan tersebut, esai ini menggunakan metode penelitian studi pustaka.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), studi pustaka berarti metode penelitian
dengan menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis yang akan dianalisis adalah Burung-
Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.

Ploceus Manyar jantan memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kedewasaan mereka.
Kalau mereka (burung-burung Manyar) sudah akil-balik dan menanjak masa mereka
berpasangan, kita tahu, mereka mulai membangun sarang … Benar-benar ahli dan
bersenilah mereka membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang
meyakinkan. (Mangunwijaya, 2004: 249) Dapat dikatakan bahwa itu bukan hal yang berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh manusia kebanyakan. Seorang pria dewasa pasti melakukan
sebuah pembuktian akan kesuksesan dan kemapanan dirinya. Teto yang beranjak dewasa juga
melakukan hal demikian. Dengan segenap hati ia berjuang, mengabdi kepada Belanda,
berperang melawan Indonesia, dan berpihak kepada Belanda demi membangun kekuatan.

Secara kasat mata, tokoh Teto dalam novel ini memberikan arti pada pembacanya bahwa ia
adalah seorang penghianat bagi bangsanya sendiri. Akan tetapi di balik pilihannya yang
kontrofersial ini, ada alasan yang begitu dalam. Perbuatan tentara Jepang yang semena-mena
terhadap keluarganyalah yang menjadi dasar amarah Teto. Ayahnya dipenjara dan secara
paksa ibunya dijadikan gundik bagi tentara Jepang.
Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang … Dan seluruh bangsa yang
disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang … Sejak itu, aku bersumpah untuk
mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang
bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-
bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik. (ibid: 42)
Itulah alasan mengapa Teto bersikukuh berada di pihak Belanda yang dianggapnya dapat
mengusir tentara Jepang dari Indonesia dan mensejahterahkan tanah kelahirannya ini.

Jikalau alasan Teto demikian, burung-burung manyar jantanpun memiliki alasan mengapa
mereka membangun sarang yang tidak lain adalah demi mendapatkan perhatian dari burung-
burung manyar betina. Segala macam usaha akan mereka lakukan walau membutuhkan
perjuangan yang begitu keras namun pada akhirnya sampailah mereka ke babak penilaian.
Burung-burung manyar betina dengan seksama meneliti satu persatu sarang hasil kerja keras
para pejantan hingga mereka menentukan pilihan sesuai dengan keinginan mereka. Sebuah
berkah bagi mereka yang terpilih namun bagi yang tidak, itu sebuah musibah. Serba

2
frustrasi. Sarang yang sudah selesai itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu
segala jerih payah yang gagal itu dibuang ke tanah. (ibid: 250). Seakan-akan tidak ada lagi
harapan yang tersiksa. Hanya rasa penyesalan saja yang tertinggal. Harapan yang telah
terbangun sedemikian rupa, dengan ikhlas harus direlakan hancur berkeping-keping karena
semuanya itu dikaitkan oleh satu kata yaitu pilihan.

Burung manyar telah memilih untuk membangun sarang sebagai bukti kedewasaan, Teto
telah memilih untuk memihak kepada Belanda sebagai bukti rasa simpatinya terhadap
bangsanya. Kegagalan yang dialami oleh burung manyar jantan yang kurang beruntung, juga
dirasakan oleh Teto. Belanda kalah. Negeri yang selama ini ia agungkan, kalah di tangan para
pahlawan kemerdekaan Indonesia. Bagaikan seekor burung manyar yang gagal, Teto
meninggalkan apa yang telah ia bangun selama ini dan berpindah ke negeri orang, Amerika.

Kegagalannya tak berujung demikian. Sekali lagi, pilihan kembali menjadi dasar runtuhnya
rasa keberanian Teto. Pujaan hatinya telah menikahi lelaki lain, memiliki tiga orang anak, dan
memiliki kehidupan yang berbahagia. Bagaimana rasanya menjadi suami Larasati?
Mengapa dia (Janakatamsi) yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya lebih baik
dariku? (ibid: 256). Kegagalan demi kegagalan mungkin harus diterima dengan lapang dada
namun sampai kapankah Teto harus menerima penderitaan yang secara bertubi-tubi
menimpanya hanya karena pilihan yang salah?

Di satu sisi yang lain, ada hal yang menarik dari sosok mungil burung manyar yaitu rasa
optimisme yang begitu kuat. Seekor burung manyar tidak akan pernah menyerah dan
mengaku kalah. Sedikit demi sedikit manyar jantan yang frustasi itu mengumpulkan alang-
alang dan daun-daun tebu lagi walau kembali banyak pengorbanan yang harus dilakukan.
Satu demi satu ia bangun sarang yang baru dari awal dengan harapan yang begitu besar
bahwa kali ini ia tidak akan gagal mendapatkan perhatian – walau sedikit – dari manyar
betina hingga menentukan pilihannya pada manyar jantan tersebut. Ya, betul! Aku (Teto) dulu
masuk NICA. Mau apa! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi apa manusia tidak boleh
keliru? (ibid: 57). Kesombongankulah (Teto) dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku
berantakan di tanah (ibid: 260). Teto kembali bangkit dan membangun “sarangnya”. Dengan
tekad yang kuat ia kembali ke Indonesia. Menguak kasus kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaannya kepada warga Indonesia adalah bukti tindakannya yang mencerminkan tekad
bahwa ia tidak akan melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Namun hal itu berarti ia
3
harus rela mengorbankan pekerjaannya dan Teto dapat menerima itu. Dengan tujuan
memerdekakan Indonesia dari kecurangan, segenap cara Teto lakukan demi membayar
kesalahannya terhadap tanah airnya, terhadap tempat dimana ia berasal, terhadap bagian
dirinya yang telah lama hilang yaitu Indonesia.

Teto telah kembali dengan sejuta harapan dan komitmen bahwa ia tidak akan menyianyiakan
identitasnya sebagai warga negara Indonesia. Teto bertindak seperti burung manyar yang
memiliki kekuatan jiwa. Tersimpan makna dalam kehidupannya bahwa tiap manusia pasti
pernah mengalami kegagalan, tetapi di balik itu kita juga harus memiliki keberanian untuk
memulai sesuatu yang baru dengan penuh harapan.

Sekali lagi, seekor burung, binatang yang amat sederhana menjadi suatu penggambaran dan
simbolisme yang luar biasa. Karakter seorang Setadewa dalam novel Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya tidak luput dari karakter burung-burung Manyar itu
sendiri. Layaknya cermin, kehidupan Burung Manyar yang penuh tebing terjal dan jurang
curam memantulkan refleksi kehidupan seorang Setadewa yang penuh pilihan.

Daftar Pustaka
A, Dino, 2009. Burung-burung Manyar (updated 8 April 2009).
Available at: http://dinothedevil.web/burung-burungmanyar (11 August 2010).

DRISDELLE, Rosemary, 2006. The Bald Eagle, the Dove, the Crane, and the Mythical
Phoenix are all Used as Symbols of Peace (updated 15 November 2006).
Available at: http://birds.suite101.com/article.cfm/birds_as_peace_symbols
(11 August 2010).

MACKENZIE, Linda A., 2006. Bird Symbol and Meaning (updated 4 March 2006).
Available at: http://www.lindamackenzie.net/chartbird.htm (12 August 2010).

MANGUNWIJAYA, Y.B. (2004). Burung-Burung Manyar. 13th ed. Jakarta: Djambatan.

TCHI, Rodika, (2007). How to Use Bird as Symbol.


Avaliable at: http://fengshui.about.com/od/fengshuicures/qt/feng-shui-birds.htm
(12 August 2010).

Tim penyusun Kamus Bahasa Indonesia (2007) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai