Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN TENTANG POLA TANAM

HUTAN RAKYAT
Sudy of Private Forest Plantation Model

Nina Windawati
Pusat Litbang Hutan Tanaman

I.PENDAHULUAN
Hutan rakyat Indonesia keberadaannya mulai diperhitungkan seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan perluasan industri perkayuan. Dengan pasokan kayu dari
hutan alam, maka pengembangan hutan rakyat menurun merupakan salah satu solusi
yang perlu diperhatikan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan. Potensi hutan milik
rakyat yang sudah berkembang dewasa ini, luasnya, sudah mencapai 1.265.000 hektar
yang tersebar di 24 Propinsi dan diperkirakan seluas 500.000 ha terdapat di Jawa
(Djajapertjunda,2003). Potensi tegakan tanaman kayu milik rakyat tersebut diperkirakan
mencapai 43 juta m3, dengan riap sekitar 8,72 juta m3/tahun dengan jenis kayu sengon,
jati, akasia, sonokeling, mahoni dan jenis tanaman buah-buahan yang terdiri dari :
a. 80% dari luas hutan milik rakyat (1.265.000 ha) atau sekitar 1.151.000 ha
merupakan hasil swadaya penghijauan yang dilaksanakan masyarakat sejak tahun
1947
b. 35.650 ha hasil penanaman dengan pola kemitraan
c. 23.135 ha hasil dari subsidi areal model hutan rakyat dan
d. 49.992 ha adalah hasil kegiatan padat karya

Peranan hutan rakyat yang penting bagi pemilik dan pemerintah adalah (Lembaga
Penelitian IPB, 1986)
Meningkatkan pendapatan petani
Memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan-lahan
yang tidak produktif
Menghasilkan kayu bakar
Menghasilkan kayu kayu bahan bangunan dan bahan baku
industri
Mempercepat usaha rehabilitasi lahan
Menghasilkan buah-buahan, umbi-umbian, bahan obat-
obatan, sayuran dan pakan ternak
Membantu peresapan aor di tempat-tempat recharge area

Mengingat peran yang sangat penting dari hutan rakyat, pembinaan dan pengelolaan
dalam perspektif yang lebih luas sebagai asset nasional perlu memperoleh dukungan
dari pemerintah, baik dukungan pembinaan maupun berupa insentif kebijakan dan
ekonomi. Ole karena itu pembinaan dan pengembangan hutan rakyat harus
berdasarkan karakteristik hutan rakyat di lapangan berbeda di hampir setiap lokasi,
sehingga hutan rakyat sebagai sumber daya alam tetap lestari yang mencakup lestari
hasil, lestari pendapatan dan lestari lingkungan. (Widiarti A dkk.2000). Salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan produksi hutan rakyat adalah penentuan pola
tanam yang disesuaikan dengan kondisi lahan di lapangan dan pasar serta keinginan
masyarakat.

II. KONSEP HUTAN RAKYAT

Pengertian Hutan Rakyat sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang


No.41 tahun 1999 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.49/kpts-II/1997
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dengan ketentuan
minimal 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50% dan atau
pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha. Pada intinya hutan rakyat
adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang
ditanami pohon dengan pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya
atau suatu badan usaha seperti koperasi, dengan berpedoman kepada kententuan-
ketentuan yang sudah digariskan pemerintah (Alrasyid.1979)
Berdasarkan pengalaman di negara lain (Firlandia dan Amerika Serikat) telah
terbukti bahwa hutan rakyat telah menjadi sumber pendapatan utama bagi maysarakat
dan telah menjadi pendukung utama bagi industri perkayuannya. Oleh karena itu,
pengembangan hutan rakyat ditujukan untuk ketahanan pangan masyarakat sekitar
hutan sebagai sumber pandapatan utamanya dan juga hasil kayu hutan rakyat yang
ditujukan untuk mendukung industri perkayuan di Indonesia. Diharapkan dengan
semakin luasnya hutan rakyat yang terbentuk , maka keuntungan-keuntungan yang
didapat akan lebih tinggi ditinjau dari berbagai aspek yaitu keuntungan ekonomi,
ekologis, sosial, psikologis, estetika, pendidikan, politis.

III. POLA TANAM HUTAN RAKYAT

A. Pola Tanam
Secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam dan berbeda di
setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara
penataannya di lapangana. Pada umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh
masyarakat petani dapat diklasifikasikan pada 2 pola tanam yaitu murni
(monokultur) dan campuran.

1. Hutan Rakyat Campuran


Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan
diusahakan secara homogen (monokultur), seperti di Pulau Jawa untuk jenis
sengon, jati dan di Lampung untuk jenis damar mata kucing. Dari jenis
silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah dalam
pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu
kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang
fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan
ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman.
2. Hutan Rakyat Campuran
a. Hutan Rakyat Campuran (Polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman
kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan, seperti sengon,
mahoni, dan suren, yang kombinasinya berbeda pada setiap daerah.
Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dari pada hutan rakyat murni,
daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran
lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, hasil yang
diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih
banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan,
pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.
b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestry/wanatani:pola ini
merupakan bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha
lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara
terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan
secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis.
Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu
ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk
penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan
(sengon, jati), buah-buahan (petai, nangka), tanaman industri (kopi,
melinjo), tanaman pangan (singkong, jagung), hijauan makanan ternak
(rumput gajah), tanaman obat-obatan (kapolaga, jahe), lebah madu dan
lainnya. Kelebihan pola tanam ini yaitu mempunyai daya tahan yang
kuat terhadap serangan hama, penyakit dan angin. Secara ekonomis
dapat diperoleh keuntungan ganda yang berkesinambungan melalui
panen harian, mingguan, bulanan dan tahunan, serta tenaga kerja yang
terserap akan lebih banyak dan berkelanjutan.

Beberapa contoh hutan rakyat campuran yang telah berhasil di usahakan


adalah di Klaten dan Wonosobo (Awang, dkk. 2001), dimana komposisi
tanaman yang diusahakan adalah :
a. Tanaman Kayu + Tanaman Perkebunana + Tanaman Semusim
b. Tanaman Kayu + Tanaman Perkebunana + Tanaman Buah
c. Tanaman Kayu + Tanaman Semusim + Tanaman Buah +
Tanaman Perkebunana
d. Tanaman Kayu dan Tanaman Perkebunan

B. Tekhnik Silvikultur
Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktivitas petani
di lahannya. Teknik silvikultur yang banyak diterapkan masyarakat pada umumny
masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode
perkembangannnya. Kegiatan silvikultur hutan rakyat terdiri dari pemilihan jenis,
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan.
1. Pemilihan Jenis
Terdapat 4 faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan suatu
jenis tanaman di hutan rakyat, yaitu :
a. Jenis tanaman harus disukai dan sudah dikenal masyarakat serta sudah
diketahui teknologi penanamannya.
b. Jenis harus cocok dan sesuai dengan kondisi lingkungan/biofisik
dimana akan ditanam agak produktivitas maksimal.
c. Jenis yang dikembangkan harus jelas jaringan pemasaran yang akan
menampungnya.
d. Aksesbilitas harus mudah hubungannya dengan pemasaran hasil.

2. Persiapan Lahan
Persiapan lahan sebelum penanaman untuk jenis-jenis tanaman kehutanan
tidak terlalu rumit, biasanya mereka membuat teras-teras bangku yang
sederhana untuk areal yang miring dengan bahan seadanya, setelah itu
membuat lubang tanam (± 10 cm – 15 cm), sedangkan untuk tanaman
pertanian, persiapan lahan lebih intensif lagi dengan mencangkul, membuat
gundukan dan larikan sebelum membuat lubang tanam dan menanamnya.
3. Penanaman
Pada awalnya masyarakat hanya menanam jenis tertentu (sengon, mahoni) di
lahan milik mereka dengan jarak yang tidak beraturan. Bibit berasal dari biji,
ada juga cabutan dari tempat lain, dengan ukuran bibit setinggi ± 15 cm – 20
cm. Kondisi saat ini petani sudah menerapkan jarak tanam sesuai tujuan
penanaman untuk daerah-daerah tertentu.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman masih dilakukan dengan cara sederhana, namun
beberapa petani sudah menggunakan pupuk (urea, pupuk kandang dan obat-
obatan untuk hama). Penjarangan juga dilakukan oleh petani, namun caranya
masih adanya yang bukan menebang pohon yang pertumbuhannya kurang
baik untuk memberi kesempatan tumbuh lebih cepat pada pohon sekitarnya,
tapi justru menebang pohon yang pertumbuhannya baik dan cepat yang dapat
dijual segera atau dijadikan papan.
5. Pemanenan
Penebangan pohon yang dilakukan oleh petani umumnya bervariasi dari umur
tegakan 5-10 tahun sesuai dengan kebutuhan dan pasar. Tanaman kayu-kayuan
ditanam sebagai investasi atau tabungan masa depan kecuali untuk perabaikan
rumah sendiri atau dijual antar tetangga yang membutuhkan.
C. Sistem Silvikultur
Beberapa hasil penelitian di lapangan (Widiarti, 2001 ; Prabowo, 2000; Attar,
2000)praktek sistem silvikultur yang dilaksanakan di beberapa daerah di
Indonesia dalam rangka pengelolaan hutan rakyat adalah :
1. Sistem tebang habis dengan trubusan (THT)
Sistem tebang habis dengan trubusan biasanya dilakukan pada hutan rakyat
murni albizia dan jati yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim
sampai pohon albizia berumur ± 2 tahun. Seluruh tanaman albizia pada umur
5-6 tahun ditebang habis, sedangkan tanaman jati biasanya di atas umur 20
tahunan baru ditebang. Untuk membentuk tegakan selanjutnya, dipilih tunas
yang tumbuh cukup banyak dari tunggul bekas tebangan. Tunas dipilih 2 – 3
yang tumbuh baik, berbatang lurus dan sehat. Pada umur 3 – 5 tunas-tunas
tersebut dapat dipungut lagi hasilnya. Berdasarkan pengalaman untuk tanaman
albizia di daerah Sukabumi dan Tasikmalaya (Jawa Barat), tunggul yang
diterapkan pertama (pohon induk) cukup baik untuk menghasilkan tiga kali
trubusan biasa dilakukan di Desa Gunungsari, Bojolali dan Desa Sumberejo,
Wonogiri, Jawa Tengah. Sistem ini menghemat biaya pembuatan tanaman
namun kualitas tegakan yang dihasilkan mutunya belum tentu sama dengan
tegakan sebelumnya (kurang baik).

Sistem tebang habis dengan permudaan buatan (TPHB)


Sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada
hutan rakyat yang sudah dikelola dengan baik. Petani mempunyai lahan yang
cukup luas dan modal yang cukup. Sistem seperti ini dilaksanakan pada hutan
rakyat murni akan tetapi sistem ini masih jarang dijumpai di lapangan.
3. Sistem tebang pilih dengan permudaan alam (TPPA)
Sistem silvukultur tebang pilih dengan permudaan alam dilakukan pada areal
hutan rakyat campuran dan wanatani, Yakni setelah menebang sejumlah
pohon tertentu yang dianggap sudah cukup umur sebagai pohon pengganti
adalah anakan setempat. Sistem ini telah diterapkan di Desa Sumberejo,
Bojolali, Wonogiri, Jawa Tengah dimana petani hutan rakyat akan menebang
bila tanaman benar-benar telah siap tebang dengan beberapa kriteria (tebang
pilih) yaitu batangnya telah cukup untuk membuat tiang rumah atau
diperkirakan berdiameter sekitar 30 cm dan petani menebang jika benar-benar
membutuhkan. Setelah menebang, petani tidak menanami areal bekas
tebangan, cukup mengandalkan permudaan alam yang memang jumlahnya
cukup berlimpah, sehingga tidak membuat bibit tanaman buatan.
Keadaan sistem silvikultur seperti diatas, biasanya menunjukan bahwa hutan
rakyat belum dikelola secara baik karena petani hanya memungut beberapa
pohon sesuai kebutuhan dan akibat beragamnya umur dan jenis pada satu
lokasi.
Kelemahan sistem silvikultur tersebut adalah tidak didapatkannya jumlah
kayu yang cukup pada sautu waktu tertentu dengan kualitas yang baik, karena
bibit yang berasal dari kongkoak belum tentu dengan kualitas mempunyai
mutu yang baik.
4. Sistem tebang pilih dengan permudaan buatan (TPPB)
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan, dilakukan diaman
pohon-pohon yang akan ditebang dipilih menurut keperluannya dan
permudaanya dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut
dengan bibit /anakan yang telah dipersiapkan sebelumnya, akan tetapi
seringkali biji yang dipakai bukan berasal dari pohon yang plus, tetapi dari
pohon tebangan disekitar lokasi, sehingga kualitas bibit kurang baik. Sistem
silvikultur seperti diatas dijumpai pada hutan rakyat yang berbentuk campuran
dan hutan agroforestry/wanatani.

IV. PENUTUP
Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan
pendapatan bagi petani pemilik lahannya. Pola tanam monokultur akan
berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang
memerlukan bahan baku kayu. Sedangkan pola tanam campuran, terutama
campuran dengan sistem agroforestry/wanatani manfaatnya ganda, disamping
meningkatkan pendapatan petani lewat panen harian, mingguan, bulanan dan
tahunan juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola ini
berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari
aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya, sehingga diharapkan
tercapai kelestarian; lestari lingkungan, lestari hasil dan lestari pendapatan.

Anda mungkin juga menyukai