VI-2
I. LATAR BELAKANG
Dunia hingga saat ini memiliki luas hutan sebesar 3,870 juta hektar, 95%
terhitung sebagai hutan alami (natural forest) sedangkan 5% merupakan plantasi
(plantations). Sekitar 56% hutan seluruhnya masuk dalam kategori tropis/subtropis
sedangkan 44% sebagai hutan temperate/boreal. Namun hutan-hutan tersebut tidak
terdistribusi secara merata, 85% dari jumlah hutan seluruhnya berada hanya di 25 negara
dan tidak lebih dari 10 negara – Russia, Brazil, Canada, Amerika Serikat, China,
Australia, Kongo dan juga Indonesia – memiliki 60% dari hutan seluruh dunia
(Indonesiamission-ny, 2001).
Menurut catatan PBB, diperkirakan separuh dari hasil kayu dunia dipakai untuk
bahan bakar, 90% diproduksi dan dipakai oleh negara berkembang. Sedangkan di negara
maju sebaliknya, 80% dari hasil kayu dipakai untuk industri seperti pembuatan kertas dan
timber. Hutan merupakan penyangga kehidupan, secara langsung hutan menghasilkan
produk yang diperlukan untuk kehidupan manusia. Produk berupa kayu dapat digunakan
dalam berbagai bentuk misalnya bahan bangunan untuk tempat tinggal, perabot rumah
tangga, bahan baku untuk pulp yang sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
dan bahan pakaian. Damar, kopal, resin dan getah merupakan bahan baku untuk pabrik
industri kimia. Manusia secara tidak langsung memerlukan hutan yang merupakan paru-
paru dunia, menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, dan menyerap polutan
lain yang berbahaya bagi manusia. Hutan juga menjaga neraca air yang sangat efektif.
Hutan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia ternyata mendapat
gangguan berupa pemungutan hasil yang berlebihan, pembalakan liar, kebakaran hutan
yang sangat dahsyat termasuk alih fungsi hutan yang semakin marak. Akibat dari
gangguan tersebut hutan Indonesia rusak parah. Kerusakan hutan tersebut untuk
beberapa tahun tercatat rerata kerusakannya sampai dengan 2–3 juta ha per tahunnya.
Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah
seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir,
kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari
waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan
menjadi lahan usaha lain.
1
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Dari Gambar 1. terlihat bahwa ada tiga fase komponen perlakuan dasar dalam
sistem silvikultur yaitu fase permudaan, fase pemeliharaan dan fase pemanenan. Tiap
fase memiliki komponen perlakuan yang tertera pada Tabel 1.
4. Minimalisasi investasi
5. Pelestarian ekosistem dan produktivitasnya
c. Metode Pemanenan Hasil Hutan Kayu
Tindakan silvikultur mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan dan pemungutan
hasil. Regenerasi dan pemungutan hasil hutan dalam silvikultur adalah dua kegiatan yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Dalam silvikultur, pemungutan hasil
adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses regenerasi
yang sukses. Bila regenerasi tidak sukses, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
pemungutan hasil yang dilakukan adalah keliru.
Pada dasarnya kegiatan pemanenan sebagai suatu tindakan silvikultur akan
menghasilkan (1) tegakan seumur atau monocyclic atau mono-cohort dan (2) tegakan
tidak seumur atau polycyclic atau poly-cohort (Soekotjo, 2004).
Metode pemanenan hasil hutan kayu untuk menghasilkan tegakan seumur atau
tidak seumur terdiri dari 4 sistem silvikultur, yaitu (1) sistem silvikultur tebang habis,
(2) sistem silvikultur seed-trees, (3) sistem silvikultur shelterwood, dan (4) sistem
silvikultur tebang pilih.
tiganya. Bibit tanaman dipersiapkan dari biji-biji yang mempunyai sifat genetik dan
penanamannya dilakukan secara monokultur (berupa tegakan murni). Pengendalian
terhadap tumbuhan pengganggu (weeds) dilakukan untuk mengurangi persaingan
akan cahaya, hara dan air. Kekurangan unsur hara akan ditambahkan melalui
kegiatan pemupukan. Tindakan penjarangan yang merupakan salah satu ciri dalam
silvikultur intensif juga dilakukan dalam metode permudaan ini.
terjadi di bawah naungan tegakan tua yang nantinya akan ditebang setelah tegakan
muda terbentuk.
Tinggi rendahnya tingkat penaungan dari pohon pelindung dapat diatur
menurut ruang dan waktu sehingga terbentuk lingkungan mikro yang sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan semai dari jenis-jenis terpilih. Pohon-pohon yang
ditebang adalah pohon-pohon yang tua atau pohon yang tingkat kemampuan
tumbuhnya rendah; sedang pohon yang dijadikan sebagai pohon pelindung adalah
pohon-pohon yang tidak hanya mampu memproduksi biji dan melindungi tegakan
muda yang terbentuk, tapi juga merupakan pohon-pohon yang masih mempunyai
tingkat pertumbuhan tinggi.
Pemanfaatan ruang tumbuh yang kurang efisien adalah sangat mungkin
terjadi dalam metode ini karena permudaannya secara alamiah. Suatu ruang
tumbuh mungkin berkembang menjadi tegakan muda yang sangat rapat sehingga
terjadi persaingan yang ketat antar individu tanaman muda tersebut. Sementara
pada ruang tumbuh lain mungkin terjadi sebaliknya, yaitu dengan permudaan yang
sangat jarang. Anakan muda yang tumbuh juga mungkin terdiri dari banyak jenis
dengan berbagai kualitas produknya sehingga tidak semua jenis merupakan jenis
yang laku dijual. Oleh karena itu perlakuan-perlakuan silvikultur seperti penanam
pada areal-aeal yang kosong, pembebasan gulma dan penjarangan menjadi penting
untuk dilakukan sehingga pemanfaatan ruang tumbuh menjadi lebih efisien.
Metode shelterwood dapat diatur pelaksanannya sesuai dengan ruang dan
waktu. Dalam hal ini Smith (1986) mencoba merumuskan pola-pola pelaksanaan
metode ini ke dalam beberapa kategori sebagai berikut :
1. Uniform method; metode ini diaplikasikan secara seragam (uniform) terhadap
seluruh tegakan yang ada
2. Strip shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-bentuk
jalur
3. Group shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-
bentuk rumpang/mozaik
4. Irregular shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-
bentuk yang tidak teratur; pola penebangan dilakukan dengan atau tanpa
variasi spasial
apabila masyarakat telah melakukan penebangan 1 batang pohon maka harus melakukan
juga penanaman dengan 5 batang bibit pohon.
Menurut San Afri Awang (2006), ada beberapa hal yang mencirikan metode
pemanenan pada hutan rakyat saat ini :
Dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil
belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan
pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.
Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan
rakyat.
Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani
hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu
bagi industri.
Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai
produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan
petani hutan rakyat.
Hal tersebut menjadikan pelaksanaan metode pemanenan hutan secara ideal menjadi
sulit dalam penerapannya.
VI. KESIMPULAN
1. Kebutuhan lahan semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk di
Indonesia yang cukup pesat. Dampak dari hal tersebut jelas bahwa kepemilikan lahan
semakin menyusut dan kebutuhan kayu semakin meningkat pesat.
2. Tindakan silvikultur mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan dan pemungutan
hasil. Regenerasi dan pemungutan hasil hutan dalam silvikultur adalah dua kegiatan
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Dalam silvikultur, pemungutan
hasil adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses
regenerasi yang sukses. Bila regenerasi tidak sukses, maka dapat disimpulkan bahwa
upaya pemungutan hasil yang dilakukan adalah keliru.
3. Metode pemanenan hasil hutan kayu untuk menghasilkan tegakan seumur atau tidak
seumur terdiri dari 4 sistem silvikultur, yaitu (1) sistem silvikultur tebang habis, (2)
sistem silvikultur seed-trees, (3) sistem silvikultur shelterwood, dan (4) sistem
silvikultur tebang pilih.
4. Pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah para petani hutan rakyat itu sendiri,
tenaga penyuluh, pengembang proyek dan staf lembaga swadaya masyarakat (LSM),
petugas departemen kehutanan dan pemerintah daerah yang bekerja dengan
kelompok masyarakat dalam pengelolaan hutan atau pengelolaan hutan bersama
oleh masyarakat; dan masyarakat yang termotivasi dengan sendirinya, dan
terorganisasi dengan kuat yang terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Buku III Dokumen Pengajuan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari. Koperasi Wana Manunggal Lestari. Yogyakarta.
Awang, S.A., W. Andayani, B. Himmah, W.T. Widayati, A. Affianto. 2002. Hutan Rakyat
Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE. Yogyakarta.
Nyland, R.D. 1996. Silviculture: Concepts and Applications. The McGraw-Hill Companies,
Inc. New York.
Soekotjo. 2006. Regime Silvikultur : Upaya untuk Merehab dan Meningkatkan Potensi
Hutan Indonesia. Dalam M. Na’iem, S. Hardiwinoto, M.S. Sabarnudin, Suhardi
(Ed). Proseding Seminar Nasional : Visi Silkulturis Indonesia menyongsong
Kehutanan 2045. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pp
14 – 40.
Smith, D.M., Larson, B.C., Kelty, M.J. dan PM.S. Ashton. 1997. The practice of
silviculture: Applied Forest Ecology. John Wiley & Sons.Inc
Utami, SR., B. Verbist, M.V. Noordwijk, K. Hairiah, M.A. Sardjono. 2003. Prospek dan
Pengembangan Agroforestri di Indonesia. ICRAF. Bogor.
Yulianti. 2000. Analisis Pemasaran Kayu di Lampung. Thesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.