Anda di halaman 1dari 12

Vol.

VI-2

ASPEK SILVIKULTUR PEMANENAN HASIL HUTAN KAYU


PADA HUTAN RAKYAT

Cornelia M.A Wattimena1

I. LATAR BELAKANG
Dunia hingga saat ini memiliki luas hutan sebesar 3,870 juta hektar, 95%
terhitung sebagai hutan alami (natural forest) sedangkan 5% merupakan plantasi
(plantations). Sekitar 56% hutan seluruhnya masuk dalam kategori tropis/subtropis
sedangkan 44% sebagai hutan temperate/boreal. Namun hutan-hutan tersebut tidak
terdistribusi secara merata, 85% dari jumlah hutan seluruhnya berada hanya di 25 negara
dan tidak lebih dari 10 negara – Russia, Brazil, Canada, Amerika Serikat, China,
Australia, Kongo dan juga Indonesia – memiliki 60% dari hutan seluruh dunia
(Indonesiamission-ny, 2001).
Menurut catatan PBB, diperkirakan separuh dari hasil kayu dunia dipakai untuk
bahan bakar, 90% diproduksi dan dipakai oleh negara berkembang. Sedangkan di negara
maju sebaliknya, 80% dari hasil kayu dipakai untuk industri seperti pembuatan kertas dan
timber. Hutan merupakan penyangga kehidupan, secara langsung hutan menghasilkan
produk yang diperlukan untuk kehidupan manusia. Produk berupa kayu dapat digunakan
dalam berbagai bentuk misalnya bahan bangunan untuk tempat tinggal, perabot rumah
tangga, bahan baku untuk pulp yang sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
dan bahan pakaian. Damar, kopal, resin dan getah merupakan bahan baku untuk pabrik
industri kimia. Manusia secara tidak langsung memerlukan hutan yang merupakan paru-
paru dunia, menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, dan menyerap polutan
lain yang berbahaya bagi manusia. Hutan juga menjaga neraca air yang sangat efektif.
Hutan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia ternyata mendapat
gangguan berupa pemungutan hasil yang berlebihan, pembalakan liar, kebakaran hutan
yang sangat dahsyat termasuk alih fungsi hutan yang semakin marak. Akibat dari
gangguan tersebut hutan Indonesia rusak parah. Kerusakan hutan tersebut untuk
beberapa tahun tercatat rerata kerusakannya sampai dengan 2–3 juta ha per tahunnya.
Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah
seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir,
kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari
waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan
menjadi lahan usaha lain.

1
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

159 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

II. KARAKTERISTIK HUTAN RAKYAT


Hutan rakyat jaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi
komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada
masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat masih
berorientasi subsistem, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani sendiri.
Karakter umum pengelolaan hutan rakyat adalah : (1) berada di tanah milik,
biasanya dijadikan hutan dengan alasan tertentu seperti lahan yang kurang subur atau
kondisi topografi yang sulit; (2) hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan
letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani; (3) basis pengelolaan
berada pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan
secara terpisah; (4) sentuhan silvikultur kurang opimal, contohnya : regenerasi kurang
diperhatikan, pemeliharaan kurang dan pemanenan berdasarkan kebutuhan; (5) belum
terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; (6)
belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan
rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi
industri, (7) mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat
sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan
petani hutan rakyat.
Pola tanam pada hutan rakyat menurut Yulianti (2000) adalah kebun campuran
dengan tanaman perkebunan, tumpangsari dengan tanaman pangan dan monokultur jenis
kayu-kayuan.

III. SISTEM SILVIKULTUR DALAM METODE PEMANENAN PADA HUTAN RAKYAT


a. Pengertian Sistem Silvikultur
Ada beberapa pendapat tentang definisi sistem silvikultur. Beberapa diantaranya
adalah : Smith (1986) mendefinisikan sistem silvikultur sebagai suatu program terencana
dari tindakan-tindakan silvikultur yang dilakukan selama periode satu daur dari suatu
tegakan, yang tidak hanya meliputi tebang reproduksi, tetapi juga mencakup tebang
pemeliharaan.
Sedangkan Nyland (1996) menjelaskan bahwa sistem silvikultur merupakan suatu
program jangka panjang dalam mengelola tegakan hutan secara lestari untuk
serangkaian tujuan. Sistem siilvikultur mencakup 3 fase komponen dasar atau fungsi,
yaitu regenerasi (permudaan), pemeliharaan dan pemanenan.

Cornelia M. A. Wattimena 160


Vol. VI-2

Kepmenhut No 309/KPTS-II/1999 mendefinisikan sistem silvikultur adalah sistem


budidaya hutan atau tehnik bercocok tanam hutan yang dimulai dari pemilihan bibit,
pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau penebangannya.
Kemudian menurut Soekotjo (2004), regim silvikultur merupakan suatu proses
dari tindakan silvikultur yang dirancang secara sistematis dan dilaksanakan secara
teratur pada tegakan, sepanjang siklus hidupnya.
Secara umum, diagram sistem silvikultur dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Konsep Sistem Silvikultur

Dari Gambar 1. terlihat bahwa ada tiga fase komponen perlakuan dasar dalam
sistem silvikultur yaitu fase permudaan, fase pemeliharaan dan fase pemanenan. Tiap
fase memiliki komponen perlakuan yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Tiga fase sistem silvikultur

Fase Komponen Perlakuan


Alam atau Buatan (penanaman
Permudaan
dengan biji atau dengan bibit
Tebang pembebasan,Pruning,
Pemeliharaan
Penjarangan,Tebang antara
Tebang habis, Shelterwood,
Pemanenan
Seed tree danTebang pilih

b. Kriteria Sistem Silvikultur


Nyland (1996) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria yang menjadi
pertimbangan dalam silvikulturnya, yaitu :
1. Optimalisasi hasil panen
2. Peningkatan kualitas pohon dan tegakan
3. Pemendekan periode investasi

161 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

4. Minimalisasi investasi
5. Pelestarian ekosistem dan produktivitasnya
c. Metode Pemanenan Hasil Hutan Kayu
Tindakan silvikultur mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan dan pemungutan
hasil. Regenerasi dan pemungutan hasil hutan dalam silvikultur adalah dua kegiatan yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Dalam silvikultur, pemungutan hasil
adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses regenerasi
yang sukses. Bila regenerasi tidak sukses, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
pemungutan hasil yang dilakukan adalah keliru.
Pada dasarnya kegiatan pemanenan sebagai suatu tindakan silvikultur akan
menghasilkan (1) tegakan seumur atau monocyclic atau mono-cohort dan (2) tegakan
tidak seumur atau polycyclic atau poly-cohort (Soekotjo, 2004).
Metode pemanenan hasil hutan kayu untuk menghasilkan tegakan seumur atau
tidak seumur terdiri dari 4 sistem silvikultur, yaitu (1) sistem silvikultur tebang habis,
(2) sistem silvikultur seed-trees, (3) sistem silvikultur shelterwood, dan (4) sistem
silvikultur tebang pilih.

Gambar 2. Metode Pemanenan Berdasarkan Sistem Silvikulturnya

Gambaran dari keempat sistem silvikultur ini diilustrasikan dalam Gambar 2.


Penjelasan dari model pemanenan ini, akan dijelaskan berikut ini :
 Sistem silvikultur tebang habis
Tebang habis merupakan metode yang paling sederhana untuk mengganti
tegakan tua dengan tegakan baru. Penebangan dilakukan terhadap semua vegetasi
yang ada di dalam tegakan tua dalam waktu yang relatif singkat pada saat tegakan
telah mencapai daur. Pengelola dapat membangun tegakan baru baik secara alamiah
maupun secara buatan. Sistem silvikultur yang menggunakan tebang habis untuk
melakukan permudaan mempunyai rentang pelaksanaan yang sangat luas, mulai dari
sistem yang paling sederhana, murah dan ekstensif sampai dengan sistem yang
sangat kompleks, mahal dan intensif.

Cornelia M. A. Wattimena 162


Vol. VI-2

Secara teknik silvikultur, tebang habis dikaitkan dengan perlakuan silvikultur


dimana semua vegetasi dipungut sehingga hampir semua ruang yang ada menjadi
tersedia bagi tanaman baru. Metode tebang habis sebagai metode permudaan dapat
diterapkan pada lahan-lahan yang tidak produktif dan potensi kayunya rendah.
Kegiatan permudaan disini diarahkan pada terbentuknya suatu tegakan seumur baik
secara alamiah maupun buatan. Dalam hal ini sebagai metode permudaan, tebang
habis dapat diterapkan dengan berbagai macam permudaan seperti : meningkatkan
potensi kayu sebagai sumber biji, sebagai habitat kehidupan binatang liar, atau
tujuan-tujuan lain yang berguna. Tebang habis tentunya juga dapat diterapkan pada
tegakan yang telah masak tebang untuk tujuan pemanenan kayu atau dengan tujuan
untuk mengubah dari tegakan yang potensinya rendah menjadi tegakan yang
potensinya tinggi. Sebagai metode permudaan, tebang habis dapat diikuti dengan
permudaan alam yang ekstensif atau permudaan buatan yang intensif.
Metode tebang habis yang umumnya diikuti dengan permudaan buatan secara
konseptual memang nampaknya sederhana tetapi dalam praktek yang lebih rinci
akan menjadi sesuatu yang kompleks. Dalam metode ini semua vegetasi dalam
tegakan lama dipanen dan dibersihkan untuk kemudian diganti dengan tegakan baru
yang sengaja dibuat oleh pengelola, baik dengan penanaman biji secara langsung
atau dengan penanaman bibit tanaman.
Penanaman dengan biji langsung cenderung boros biji, untuk itu penggunaan
biji unggul tidak direkomendasikan; dan bahkan apabila menggunakan biji dari
tegakan biasapun mungkin akan lebih efisien dan efektif apabila disemaikan terlebih
dahulu. Oleh karena itu penanaman dengan biji langsung dalam tebang habis
memang jarang digunakan kecuali dalam kondisi-kondisi khusus. Kondisi tersebut
misalnya untuk jenis-jenis yang memang produksi bijinya sangat melimpah dan
mudah cara mendapatkannya. Penanaman biji langsung mungkin juga dapat
dilakukan pada keadaan emergensi (darurat) misalnya pada lahan bekas kebakaran
atau karena adanya kematian masal vegetasi karena bencana alam yang menuntut
untuk segera direhabilitasi, atau rehabilitasi kawasan-kawasan yang topografinya
sangat sulit.
Tebang habis dengan permudaan buatan dengan menggunakan bibit tanaman
merupakan salah satu metode permudaaan yang paling penting dan paling umum
digunakan dalam pembangunan hutan secara intensif. Pembangunan tegakan baru
diawali dengan pembersihan semua vegetasi. Ruang tumbuh dipersiapkan dengan
menggunakan mesin-mesin modern, herbisida atau api, atau kombinasi dari ke

163 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

tiganya. Bibit tanaman dipersiapkan dari biji-biji yang mempunyai sifat genetik dan
penanamannya dilakukan secara monokultur (berupa tegakan murni). Pengendalian
terhadap tumbuhan pengganggu (weeds) dilakukan untuk mengurangi persaingan
akan cahaya, hara dan air. Kekurangan unsur hara akan ditambahkan melalui
kegiatan pemupukan. Tindakan penjarangan yang merupakan salah satu ciri dalam
silvikultur intensif juga dilakukan dalam metode permudaan ini.

 Sistem silvikultur seed trees


Dalam metode ini tegakan tua ditebang habis kecuali sejumlah pohon yang
dijadikan sebagai pohon biji (seed trees). Pohon biji yang tersebar secara sendiri-
sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil tersebut akan ditebang setelah tegakan
muda terbentuk atau pada rotasi tebang berikutnya. Karena fungsinya sebagai
pohon biji maka tingkat naungan tajuknya perlu diperhatikan agar menghasilkan
iklim mikro yang tidak jauh berbeda dengan areal di luarnya. Penyiapan lahan yang
berupa pembersihan lantai hutan diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang
baik sehingga biji-biji yang jatuh akan mampu berkecambah dan tumbuh dengan
baik.
Pohon-pohon biji diusahakan dapat tersebar secara merata sehingga
jaminan persebaran biji secara alami akan dapat dicapai. Pohon-pohon biji tersebut
dapat tersebar secara acak sendiri-sendiri, dalam bentuk baris, jalur, atau dalam
bentuk kelompok. Pemilihan bentuk-bentuk sebaran pohon biji tentunya didasarkan
pada pertimbangan terhadap sifat-sifat dari jenis tegakan bersangkutan khususnya
yang berkaitan dengan terjaminnya persebaran biji secara alami yang merata.
Pohon-pohon terpilih tentunya yang diperkirakan mempunyai kemampuan
untuk memproduksi biji, tahan terhadap angin, sehat serta mempunyai penampilan
bentuk yang baik. Perlakuan seperti perampingan tajuk dan pemupukan dapat
dilakukan untuk merangsang dan meningkatkan produksi biji. Perlidungan dari hama
pemakan dan perusak biji juga perlu dilakukan. Jumlah pohon per satuan luas
tentunya akan bergantung pada beberapa faktor seperti jumlah produksi biji per
pohon dan jumlah biji yang diperlukan sampai dengan tegakan muda terbentuk.

 Sistem silvikultur shelterwood


Metode ini secara prinsip mempunyai tujuan yang serupa dengan seed-tree
method, yaitu suatu upaya silvikultur untuk mendapatkan tegakan baru seumur
sebelum seluruh tegakan tua ditebang habis. Metode shelterwood melibatkan
kegiatan penggantian tegakan lama menjadi tegakan baru secara bertahap dalam
suatu rangkaian kegiatan penebangan selama daur. Permudaan alam diharapkan

Cornelia M. A. Wattimena 164


Vol. VI-2

terjadi di bawah naungan tegakan tua yang nantinya akan ditebang setelah tegakan
muda terbentuk.
Tinggi rendahnya tingkat penaungan dari pohon pelindung dapat diatur
menurut ruang dan waktu sehingga terbentuk lingkungan mikro yang sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan semai dari jenis-jenis terpilih. Pohon-pohon yang
ditebang adalah pohon-pohon yang tua atau pohon yang tingkat kemampuan
tumbuhnya rendah; sedang pohon yang dijadikan sebagai pohon pelindung adalah
pohon-pohon yang tidak hanya mampu memproduksi biji dan melindungi tegakan
muda yang terbentuk, tapi juga merupakan pohon-pohon yang masih mempunyai
tingkat pertumbuhan tinggi.
Pemanfaatan ruang tumbuh yang kurang efisien adalah sangat mungkin
terjadi dalam metode ini karena permudaannya secara alamiah. Suatu ruang
tumbuh mungkin berkembang menjadi tegakan muda yang sangat rapat sehingga
terjadi persaingan yang ketat antar individu tanaman muda tersebut. Sementara
pada ruang tumbuh lain mungkin terjadi sebaliknya, yaitu dengan permudaan yang
sangat jarang. Anakan muda yang tumbuh juga mungkin terdiri dari banyak jenis
dengan berbagai kualitas produknya sehingga tidak semua jenis merupakan jenis
yang laku dijual. Oleh karena itu perlakuan-perlakuan silvikultur seperti penanam
pada areal-aeal yang kosong, pembebasan gulma dan penjarangan menjadi penting
untuk dilakukan sehingga pemanfaatan ruang tumbuh menjadi lebih efisien.
Metode shelterwood dapat diatur pelaksanannya sesuai dengan ruang dan
waktu. Dalam hal ini Smith (1986) mencoba merumuskan pola-pola pelaksanaan
metode ini ke dalam beberapa kategori sebagai berikut :
1. Uniform method; metode ini diaplikasikan secara seragam (uniform) terhadap
seluruh tegakan yang ada
2. Strip shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-bentuk
jalur
3. Group shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-
bentuk rumpang/mozaik
4. Irregular shelterwood method; aplikasi dari metode ini adalah dalam betuk-
bentuk yang tidak teratur; pola penebangan dilakukan dengan atau tanpa
variasi spasial

165 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

 Sistem silvikultur tebang pilih


Sistem tebang pilih dimaksudkan sebagai program-program silvikultur yang
digunakan untuk membangun dan mengelola tegakan tidak seumur. Tegakan tidak
seumur dicirikan dengan adanya perbedaan yang nyata dalam umur dan ukuran dari
pohon-pohon penyusun tegakan tersebut. Dalam metode ini penebangan dilakukan
secara selektif terhadap pohon-pohon yang tua, besar dan telah mencapai masak
tebang. Penebangan dilakukan terhadap individu pohon dalam bentuk sendiri-sendiri
atau dalam bentuk group-group kecil dalam waktu yang relatif singkat. Penebangan
dilakukan secara berulang dalam jangka waktu yang tidak terbatas dengan tujuan
untuk membangun dan memelihara tegakan tidak seumur. Metoda ini biasanya
diikuti dengan permudaan secara alamiah, walaupun tidak tertutup
kemungkinannnya untuk dilakukan permudaan secara buatan. Pemeliharaan
terhadap anakan-anakan di sekitar pohon -pohon yang ditebang perlu untuk
dilakukan sehingga anakan tersebut dapat bertahan hidup, tumbuh menjadi sapihan,
tiang dan pohon.
Pilihan terhadap tebang pilih permudaan alam umumnya dilakukan dengan
beberapa pertimbangan. Kenyataan di hutan alam yang umum terjadi adalah bahwa
dalam suatu tegakan disamping mempunyai pohon-pohon yang ukurannya besar dan
tua, juga mempunyai banyak pohon yang lebih muda dengan ukuran yang lebih kecil.
Apabila dilakukan tebang habis maka akan banyak sekali individu-individu pohon
muda yang harus ditebang. Tegakan tidak seumur juga dipertahankan dengan alasan
untuk memperoleh pemandangan alam yang beragam dan indah khususnya pada
areal-areal yang banyak dikunjungi atau dilalui oleh orang. Alasan lain adalah untuk
kepentingan habitat kehidupan liar yang memerlukan keragaman baik jenis maupun
umur; juga dengan alasan pada areal yang topografinya curam sehingga tidak
mungkin dilakukan tebang habis.

IV. METODE PEMANENAN PADA HUTAN RAKYAT


Pengaturan hutan rakyat dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan desa
yang terkait dengan sistem penebangan hutan rakyat yang dikenal dengan sebutan sistim
tebang butuh dan tebang 1 tanam 5. Sistim tebang butuh diartikan bahwa sistem
pelaksanaan penebangan pohon di lahan masyarakat dilakukan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, yaitu pada saat masyarakat membutuhkan uang untuk keperluan sekolah
dan keperluan hidup lainnya yang mendesak. Sistem tebang 1 tanam 5 ini telah
diterapkan di beberapa tempat seperti di kabupaten Ciamis yang menyiratkan bahwa

Cornelia M. A. Wattimena 166


Vol. VI-2

apabila masyarakat telah melakukan penebangan 1 batang pohon maka harus melakukan
juga penanaman dengan 5 batang bibit pohon.
Menurut San Afri Awang (2006), ada beberapa hal yang mencirikan metode
pemanenan pada hutan rakyat saat ini :
 Dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil
belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan
pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.
 Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan
rakyat.
 Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani
hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu
bagi industri.
 Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai
produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan
petani hutan rakyat.
Hal tersebut menjadikan pelaksanaan metode pemanenan hutan secara ideal menjadi
sulit dalam penerapannya.

V. BAGAIMANA MENJAGA KELESTARIAN PRODUK DARI ASPEK SILVIKULTUR


Mengingat peran hutan rakyat yang sangat penting dalam penyediaan bahan baku
kayu dan non kayu termasuk peningkatan nilai ekologis kawasan, maka harus ada upaya
untuk menjaga kelestarian produk dari hutan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, yang
menjadi pertanyaan adalah : siapa yang memiliki peranan dalam menjaga kelestarian
hutan rakyat?
Menurut Ritchie (2001), pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah para
petani hutan rakyat itu sendiri, tenaga penyuluh, pengembang proyek dan staf lembaga
swadaya masyarakat (LSM), petugas departemen kehutanan dan pemerintah daerah yang
bekerja dengan kelompok masyarakat dalam pengelolaan hutan atau pengelolaan hutan
bersama oleh masyarakat; dan masyarakat yang termotivasi dengan sendirinya, dan
terorganisasi dengan kuat yang terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan rakyat.
Pertanyaan selanjutnya adalah : bagaimana peranan masing-masing pihak agar
pengelolaan hutan rakyat dapat lestari? Berikut ini akan dijelaskan peranan masing-
masing pihak dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

167 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

1. Peran petani hutan rakyat


Pengelolaan hutan rakyat secara lestari yang dapat dilakukan oleh petani adalah
melakukan perencanaan pemungutan hasil dengan baik. Aspek silvikultur yang dapat
menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah :
a) Melakukan pemilihan jenis yang akan dikembangkan dengan tepat;
Kegiatan regenerasi dan penebangan atau pemungutan hasil merupakan
aspek yang saling bersinergi dimana kegiatan pemanenan dipahami sebagai upaya
menciptakan lingkungan kondusif bagi terjadinya proses regenerasi yang sukses.
Oleh karena itu pemilihan jenis yang akan dipanen dan jenis yang akan ditanam
atau dikembangkan merupakan faktor penentu keberhasilan pengelolaan hutan
rakyat secara lestari.
Pada tanaman tahunan atau pohon untuk lahan-lahan yang relatif kurang
produktif, jenis yang dipilih untuk dikembangkan lebih lanjut adalah jenis pohon
yang menghasilkan kayu bakar atau kayu bangunan dan sekaligus berfungsi untuk
konservasi lahan sehingga tanaman yang akan ditebang atau dipanen di awal
adalah tanaman yang tidak berfungsi optimal di lahan tersebut.
Pada lahan produktif, jenis yang dipilih adalah jenis pohon cepat tumbuh
yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki perakaran dalam (untuk jejaring hara)
sehingga tanaman semusim yang diusahakan (biasanya perakaran hanya di
permukaan tanah) dapat semakin optimal pertumbuhannya dan diharapkan dapat
menghasilkan produk yang bernilai tinggi. Tetapi pada lahan yang produktif,
biasanya pemilihan jenis yang slow growing tetapi bernilai ekonomi tinggi juga
dapat diterapkan karena pada dasarnya ketersediaan air dan hara mencukupi,
hanya perlu diperhatikan lebih dalam mengenai faktor pencahayaan dari tajuk
yang multi strata.
b) Merencanakan metode penebangan secara tepat; metode penebangan yang
disarankan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari adalah tebang pilih
karena biasanya pada lahan agroforestri (termasuk hutan rakyat) dicirikan dengan
perpaduan tanaman-tanaman yang tidak seumur (baik tanaman tahunan dan
tanaman semusim). Pada tegakan tidak seumur, lazimnya penebangan dilakukan
secara selektif terhadap pohon-pohon yang tua, besar, mencapai masak tebang,
maupun pohon-pohon yang terserang hama dan penyakit. Penebangan dilakukan
terhadap individu pohon dalam bentuk sendiri-sendiri atau dalam bentuk group-
group kecil.

Cornelia M. A. Wattimena 168


Vol. VI-2

2. Pemerintah (Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah)


Pengelolaan hutan rakyat secara lestari yang dapat dilakukan oleh pemerintah
adalah membuat sistem perencanaan pemungutan hasil secara lestari. Aspek
silvikultur yang dapat menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah Menetapkan
kebijakan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari termasuk dalam aspek
silvikulturnya seperti penetapan daur tebang pohon jenis-jenis komersial, peraturan
pelaksanaan penebangan di daerah aliran sungai, pemilihan sistem penebangan
(tidak melakukan tebang habis).
3. NGO / LSM dan tenaga penyuluh
Pengelolaan hutan rakyat secara lestari yang dapat dilakukan oleh LSM dan
tenaga penyuluh adalah mendampingi dan melakukan kegiatan monitoring
pelaksanaan sistem perencanaan pemungutan hasil secara lestari.

VI. KESIMPULAN
1. Kebutuhan lahan semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk di
Indonesia yang cukup pesat. Dampak dari hal tersebut jelas bahwa kepemilikan lahan
semakin menyusut dan kebutuhan kayu semakin meningkat pesat.
2. Tindakan silvikultur mencakup upaya regenerasi, pemeliharaan dan pemungutan
hasil. Regenerasi dan pemungutan hasil hutan dalam silvikultur adalah dua kegiatan
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Dalam silvikultur, pemungutan
hasil adalah upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses
regenerasi yang sukses. Bila regenerasi tidak sukses, maka dapat disimpulkan bahwa
upaya pemungutan hasil yang dilakukan adalah keliru.
3. Metode pemanenan hasil hutan kayu untuk menghasilkan tegakan seumur atau tidak
seumur terdiri dari 4 sistem silvikultur, yaitu (1) sistem silvikultur tebang habis, (2)
sistem silvikultur seed-trees, (3) sistem silvikultur shelterwood, dan (4) sistem
silvikultur tebang pilih.
4. Pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah para petani hutan rakyat itu sendiri,
tenaga penyuluh, pengembang proyek dan staf lembaga swadaya masyarakat (LSM),
petugas departemen kehutanan dan pemerintah daerah yang bekerja dengan
kelompok masyarakat dalam pengelolaan hutan atau pengelolaan hutan bersama
oleh masyarakat; dan masyarakat yang termotivasi dengan sendirinya, dan
terorganisasi dengan kuat yang terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan rakyat.

169 Cornelia. M. A. Wattimena


Jurnal Makila

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Buku I Dokumen Pengajuan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis


Masyarakat Lestari. Koperasi Wana Manunggal Lestari. Yogyakarta.

Anonim. 2006. Buku III Dokumen Pengajuan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari. Koperasi Wana Manunggal Lestari. Yogyakarta.

Awang, S.A., W. Andayani, B. Himmah, W.T. Widayati, A. Affianto. 2002. Hutan Rakyat
Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE. Yogyakarta.

Hairiah K. M.A. Sardjono, S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. ICRAF. Bogor.

Hairiah K, Widianto, SR Utami, D Suprayogo, Sunaryo, SM Sitompul, B Lusiana, R Mulia, M


van Noordwijk dan G Cardisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi:
Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.

Nyland, R.D. 1996. Silviculture: Concepts and Applications. The McGraw-Hill Companies,
Inc. New York.

Soekotjo. 2006. Regime Silvikultur : Upaya untuk Merehab dan Meningkatkan Potensi
Hutan Indonesia. Dalam M. Na’iem, S. Hardiwinoto, M.S. Sabarnudin, Suhardi
(Ed). Proseding Seminar Nasional : Visi Silkulturis Indonesia menyongsong
Kehutanan 2045. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pp
14 – 40.

Smith, D.M., Larson, B.C., Kelty, M.J. dan PM.S. Ashton. 1997. The practice of
silviculture: Applied Forest Ecology. John Wiley & Sons.Inc

Utami, SR., B. Verbist, M.V. Noordwijk, K. Hairiah, M.A. Sardjono. 2003. Prospek dan
Pengembangan Agroforestri di Indonesia. ICRAF. Bogor.

Yulianti. 2000. Analisis Pemasaran Kayu di Lampung. Thesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Cornelia M. A. Wattimena 170

Anda mungkin juga menyukai