Sebuah nasionalisme ekonomi dikemukan oleh Gita Wirjawan pada harian
kompas pada tanggal 7 Oktober 2010 mengundang sebuah tanggapan dari dua tokoh ekonomi Kwik Kian Gie dan Sonny Keraf. Pertama apa yang disampaikan Gita Wiryawan mengundang bahaya bagi perekenomian Indonesia bila pandangan ini di gebyah uyah tanpa menimbang sebuah bahaya yang akan mucul bagi keseimbangan perkonomian nasional. Kedua Kwik Kian Gie keberatan dengan struktur modal yang harus apa-apa dilimpahkan ke asing karena sebuah alasan sepele asal rakyat sejahtera, tetapi sebenarnya siapa yang memetik keuntungan tersebut? Pertumbuhan ekonomi ekonomi semu hanya melihat dari PDB yang besar akan tetapi sebenarnya tidak menyentuh kesejahteraan rakyat yang sesungguhnnya. Ketiga Sonny Keraf menanggapi apa yang disampaikan saudara Gita tidak sesuai dengan yang termaktub dalam UUD 1945 dimana visi ekonomi jelas ada sebuah kedaulatan yang harus dijunjung, kemudian sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan”. Kedaulatan ekonomomi bisa diinjak-injak oleh asing bila pandangan oleh Gita Wiryawan adalah semangat nasionalisme ekonomi yang kurang tepat adalah besarnya fokus pada struktur kepemilikan suatu investasi dibandingkan sejauh mana investasi bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Dengan terbatasnya kesediaan pendanaan di dalam negeri terbatas maka pada akhirnya menghambat penciptaan nilai di Indonesia, baik dalam bentuk ketersediaan barang dan jasa yang lebih baik maupun inovasi dan teknologi baru, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. Kita harus sepakat seperti yang disampaikan Gita Wiryawan bahwa yang lebih ramah modal asing meskipun sektor tersebut bukan sektor kunci pertumbuhan ekonomi. Sebuah ironi jika kedaulatan ekonomi Indonesia dikorbankan hanya demi kepentingan yang namanya pertumbuhan ekonomi semu dimana seperti membangun bangunan ekonomi diatas pondasi pasir. Semua sumber daya yang Indonesia miliki merupakan anugrah yang sangat besar oleh Alloh SWT dimana itu harus dimanfaatkan oleh bangsa ini seoptimal mungkin dan bertanggungjawab bukan dikelola asing demi keuntungan mereka semata. Sekarang masalahnya yang bertanggungjawab mengelola itu sektor BUMN terlalu manja dengan karena adanya Nama : M. Rizal Iqbal F./ F0207091/PEREKIN
hanya melihat dari profitabilitas saja, sehingga begitu mudahnya menyerahkannya
kepada asing. Padahal jika sumber daya dikelola kurang baik oleh pemerintah dan hanya diserahkan kepada asing begitu saja beban kembali lagi kepada rakyat karena harus membayar lagi untuk menikmati fasilitas umum yang modalnya dikuasai asing. Hal ini sudah sangat bertentangan dengan UUD 1945 dimana kepentingan umum harus dikelola Negara kalau bisa gotong royong melalui pajak progresif, dan uang pajak ini tidak perlu dikembalikan oleh penggunanya dimana faslitas seperti air, listrik, dan sarana lainnya secara ekstrim bisa gratis. Perusahaan BUMN besar yang telah berpengalaman bahkan ke luar negeri, untuk menangani proyek konstruksi di sektor migas hanya karena alasan ”belum berpengalaman di sektor migas”. Sebuah alasan yang sangat tidak ideologis dan dicari-cari hanya untuk memenangkan asing. Mental dan harga diri bangsa ini telah begitu jatuh oleh asal rakyat kenyang, imporpun tak apa. Hal ini sangan mengganggu dimana kedaulatan sebagai harga mati untuk bangsa ini. Karena itu, visi kita adalah membangun dengan kekuatan dan kedaulatan kita sendiri. Itulah arti ”berdikari di bidang ekonomi” dari Trisakti-nya Bung Karno. Jangan sampai kita menjadi rakyat kuli di tanahnya sendiri sekadar asal makan asal sejahtera karena manusia juga butuh harga diri, harkat, dan martabat. Kembali lagi kemandirian ekonomi ini harus kita mulai dari kita sendiri untuk lebih mencintai produk dalam negeri ini. Sejatinya dengan kita mencintai produk dalam negeri itu yang menggerakkan perkonomian bukan pertumbuhan ekonomi semu yang kita harapkan saat investor asing lari dari negeri kita maka negeri ini seperti pengemis yang meminta belas kasihan. Akan tetapi demokrasi ekonomi tidak harus berarti kita anti-asing. Di dalam era globalisasi ini, hubungan kerja sama global adalah sebuah keniscayaan. Namun, kerja sama itu harus dibangun—sekali lagi—di atas dan berdasar atas ideologi yang jelas dan kukuh. Dengan cara negara melindungi kepentingan domestik dengan peraturan yang jelas. Maka keliru besar jika Gita Wirjawan mengatakan bahwa ”upaya pemerataan ekonomi tidak dapat tercapai dengan memaksakan dibangunnya suatu proyek di wilayah tertentu di Indonesia”. Justru sebaliknya, negara wajib memaksa pembangunan proyek tertentu di wilayah tertentu yang terbelakang dan tidak sejahtera demi menjamin peningkatan kesejahteraan dan kekuatan ekonomi wilayah tersebut. Nama : M. Rizal Iqbal F./ F0207091/PEREKIN