Anda di halaman 1dari 26

Investasi Asing Membuka Jalan Penjajahan

Oleh: Hj. Nida Sa’adah, SE Ak MEI

# MuslimahPengukirPeradaban — Dominasi proyek infrastruktur oleh Tiongkok yan dimasukkan dan


dijalankan melalui rezim Jokowi akan membuat cengkeraman asing Timur menancap di negeri ini.
Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh Barat yang sudah lebih dulu menancap
kuat dan semakin dalam.

Dominasi Asing

Sejak awal era Orde Baru, Barat terutama AS dan diikuti oleh Eropa telah mencengkeram negeri ini
dan mengeruk kekayaannya. Caranya melalui investasi korporasi-korporasi multinasional mereka,
khususnya di sektor hulu pengelolaan SDA seperti tambang, migas, hutan, dsb.

Selain itu, secara politik dan kedaulatan, negeri ini dikendalikan melalui utang luar negeri yang terus
menggunung. Awalnya melalui CGI dan IGGI. Saat kedua lembagai itu dibubarkan, perannya
digantikan oleh IMF dan Bank Dunia. Hasil dari penjajahan gaya baru di era Orde Baru itu,
pengelolaan berbagai sumber daya alam khususnya di sektor hulu dikuasai oleh asing. Mayoritas
tambang, migas, dan hutan negeri ini dikuasai asing. Rakyat negeri ini akhirnya seolah menjadi tamu
di negeri sendiri dalam hal pengelolaan SDA. Hasil kekayaan alam itu pun mengalir deras kepada
pihak asing dan hanya menetes kepada penduduk negeri ini.

Cengkeraman dan dominasi asing itu makin dalam sejak masuk era Reformasi. Melalui utang luar
negeri, negeri ini benar-benar dikendalikan asing. Akibatnya, hampir semua sistem di negeri ini
dibentuk sesuai pesanan, permintaan atau bahkan perintah dari asing melalui IMF dan Bank Dunia.
Melalui peraturan perundangan, mulai amandemen, konstitusi hingga pembuatan berbagai Undang-
undang.

Melaui Letter of Intent (LoI), IMF mendekte negeri ini untuk membuat berbagai Undang-undang di
bidang politik, sosial, pertahanan dan keamanan, pendidikan, ekonomi, finansial, dan sebagainya.
Bahkan untuk mengawal semua itu, asing terlibat ingga hal teknis melalui utang, program, bantuan
dan asistensi teknis. Hasilnya, sistem di negeri ini betul-betul bercorak neoliberal. Neoliberalisme itu
pada akhirnya makin melapangkan jalan bagi penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atas negeri ini.

Khusus di bidang ekonomi, negeri ini didekte untuk membuat berbagai UU bercorak neoliberal.
Subsidi dihilangkan. BUMN dijual. Utang terus ditumpuk. Pajak terus ditingkatkan. Di sektor migas
dan pengelolaan SDA, dengan berbagai UU, sektor hilir (pengolahan SDA, distribusi, dan eceran) pun
diliberalisasi. Contoh nyata adalah di sektor migas. Di bidang investasi, semua sektor dibuka untuk
investasi asing. Kepemilikan asing dibolehkan hingga lebih dari 90 persen. Asing pun boleh
melakukan repatriasi, yaitu langsung mengirimkan kembali keuntungan yang mereka dapat di ngeri
ini ke negara asal mereka.

Bahaya Investasi Asing

1. Jalan Penjajahan Ekonomi

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan


proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap
eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang
ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara.
Pinjaman (investasi asing) yang diberikan Cina, diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan
dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban
negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset
yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government Sponsored Investment
Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari
pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina.

Selain harus membayar bunga yang relatif tinggi, juga disyaratkan agar BUMN Indonesia yang
menggarap proyek-proyek tersebut yang dibiayai oleh utang dari Cina harus bekerjasama dengan
BUMN negara itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan
infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat
dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering,
procurement, construction [EPC]).

Membanjirnya barang-barang yang terkait dengan konstruksi infrastruktur seperti mesin-mesin dan
baja serta pekerja ahli hingga buruh kasar dari Cina merupakan konsekuensi dari dari pemberian
utang tersebut. padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut sejatinya amat melimpah di
negara ini.

Pada saat kekayaan negeri ini sudah dikuasai penanaman modal asing, maka ekonomi kita secara
keseluruhan dari hulu sampai hilirnya adalah ekonomi bangsa lain. Ekonomi yang kita hitung tiada
lain adalah ekonomi bangsa lain. Sehingga perhitungan PDB kita sejatinya hanya menghitung dari
produksinya orang-orang asing yang beroperasi di Indonesia, tidak mencerminkan produksi bangsa
sendiri.

2. Bahaya Ideologis

Secara ideologis, haluan ekonomi politik negeri ini sudah menjadi haluan ekonomi dan politik yagn
mengabdi kepada kepentingan bangsa lain, sepeti Amerika, Jepang, Eropa, dan juga Cina.

Salamuddin Daeng, Peneliti Indonesia for Global Justice mengemukakan pandangannya bahwa kita
bernegara, kita berkonstitusi hanya menyediakan suatu ruang, bahkan dalam bentuk yang paling
asli, kita menyediakan tanah, gedung, jalan, infrastruktur, dan segala macamnya yang ada di negeri
ini, semata-mata untuk memfasilitasi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan negara kita.

Contoh yang paling konkret, kita bangun gedung perkantoran di Sudirman-Thamrin, siapa yang
memakainya? Orang-orang dari bangsa lain. Kita membangun Pelabuhan Tanjung Priok, siapa yang
memakainya? Bangsa lain yang menggunakan. Kita digaji, tapi tidak lebih dari 15 persen total
keuntungan mereka. Selebihnya itu adalah keuntungan mereka. Investasi asing ini juga tidak
memberikan keuntungan yang besar kepada kas negara, tidak memberikan nilai tambah ekonomi
yang tinggi kepada ekonomi kita.

Kalau dikatakan tidak punya modal, Sumber daya manusia dan sumber daya alam kita itu
sebenarnya adalah modal. Tapi kita karena ditipu oleh satu cara perhitungan modal itu. Contoh
apakah kekayaan alam kita pernah dihitung sebagai modal? Tidak pernah kan? Sekarang, sebuah
perusahaan asing, mendapatkan kontrak untuk melakukan eksploitasi kekayaan alam di Indonesia.
Apakah mereka punya uang? Tidak. Lantas apa yang mereka lakukan? Kekayaan alam kita itu
langsung mereka jaminkan kepada bank-bank internasional untuk mendapatkan uang. Tanah kita
digadaikan oleh perusahaan swasta dan asing! Jadi sebenarnya yang punya modal siapa? Alasan itu
adalah alasan palsu untuk menipu rakyat kita.

Mitos Investasi Asing


James Petras dalam studinya berjudul Six Myths About the Benefits of Foreign Investment The
Pretensions of Neoliberalism (2006), merangkum 6 mitos tentang investasi asin:

Pertama, mitos bahwa investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas
pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi ‘know-how‘ lokal yang baru.
Kenyataannya, investasi asing lebih tertarik untuk membeli perusahaan-perusahaan BUMN kategori
untung/sehat dan kemudian memprivatisasinya atau membeli perusahaan-peru

sahaan swasta dalam kategori yang sama, dan menguasai pasar perusahaan tersebut.

Kedua, mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang
ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/ pelayanan). Faktanya,
investor asing lebih tertarik membeli atau menginvestasikan uangnya ke sektor-sektor
pertambangan yagn sangat menguntungkan dan kemudian mengekspornya dengan sedikit atau
tanpa nilai tambah sama sekali.

Ketiga, mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah
pendapatan lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor.
Faktanya, investor asing terlibat dalam penipuan pajak,penipuan dalam pembelian perusahaan-peru

sahaan publik, dan praktik pencucian uang dalam skala besar.

Keempat, mitos bahwa pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-
barang finansial di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan. Tetapi catatan
historis menunjukkan, penambahan utang baru di bawah kondisi ekonomi yang tidak sehat hanya
akan membahayakan keberadaan dan integritas sistem kekuangan domestik yang memicu
kebangkrutan keuangan.

Kelima, mitos bahwa sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga tergantung pada investasi asing
untuk menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal
tidak tersedia atau tidak mencukupi. Temuan Petras justru menunjukkan hal sebaliknya, di mana
mayoritas investasi asing itu adalah investor asing yang meminjam tabungan nasional untuk
membeli perusahaan-perusahaan lokal dan membiayai investasinya. Fakta ini menunjukkan bahwa
pinjaman yang dilakukan oleh investor asing untuk mengambil alih pasar lokal dan fasilitas-fasilitas
produktif, telah menjadi praktik yang umum. Ini jelas menyanggah gagasan bahwa investor asing
membawa ‘modal segar’ ke negara berkembang tersebut.

Keenam, para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal
itu akan menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan. Tak ada yang bisa
dikatakan dari argumen ini kecuali menunjukkan bahwa investasi asing ternyata mengalami
ketidakamanan dan ketidakstabilan akibat munculya pesaing dari Cina yang mengandalkan buruh
super murah. Dan investor asing, sangat mudah merelokasikan investasinya ke tempat-tempat yang
lebih menguntungkan dan menciptakan situasi ekonomi yang sangat fluktuatif (boom and bust
economy).

Mengakhiri Ketergantungan Investasi Asing

Strategi pembangunan yang ditempuh pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan
rezim-rezim sebelumnya. Dengan berkedok mendorong investasi, pemerintah justru semakin
menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian
alokasi menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya
dalam jangka waktu yang panjang.
Selain itu, kemandirian negara juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati
mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara
pengutang, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan,.
Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh pemerintah dan BUMN di atas
merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Demikian juga apa yang ada di belakang investasi asing Timur (Tiongkok, Jepang, dsb) di bidang
infrastruktur. Ada bahaya besar dan jangka panjang yang turut dibawa. Ini akan melengkapi
dominasi asing atas negeri ini. Akibatnya, hampir tak tersisa lagi bidang kehidupan negeri ini yang
tidak didominasi asing. Dengan itu pula, penjajahan gaya baru atas negeri ini akan makin dalam.
Tentu semua itu tidak boleh dibiarkan. Sebab, kaum Muslim diharamkan memberikan jalan kepada
orang kafir untuk bisa mendominasi dan menguasai kaum Mukmin. Allah SWT berfirman, “Allah
sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
Mukmin.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 141)

Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan neoliberalisme dan
neoimperialisme baik dari asing Barat maupun asing Timur. Jalan untuk menyudahi neoliberalisme
dan neoimperialisme itu hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yaitu dengan
menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah naungan sistem Khilafah ar-Rasyidah yang
mengikuti manhaj kenabian.

Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan
negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan negara dan lembaga donor kecuali dnegan
kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam. Sistem
tersebut nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari
berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.

Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan
rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan
umum, dan pos zakat. Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan,
bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan
(pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang
tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola
sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya
kepada negara lain.[]

Sumber : http://www.muslimahnews

.com/2019/03/06/investasi-asing-membuka-jalan-penjajahan/

INVESTASI ASING, PENJAJAHAN GAYA BARU

Oleh: Nurhayati, S.ST (Relawan Media Muslimah Kendari)

Suatu negara dapat dikatakan kuat ketika kedaulatan mereka diakui dunia. Namun, adakalanya
negara juga tidak lepas dari tekanan pihak luar. Banya faktor yang menjadikan suatu negara memiliki
ketergantungan dengan negara lain, misalnya pinjaman luar negeri baik berupa dana langsung
maupun bantuan program. Tentu ada kaidah simbiosis mutualisme. Akan tetapi bagaimana jika
negara yang dipinjami justru lebih banyak dirugikan?
Hal ini telah dibahas dalam debat capres, Sabtu lalu (30/3/19) yang mana capres 02 mengkritik
kebijakan calon petahana yang mengizinkan entitas asing memiliki aset dan mengendalikan investasi
( matamatapolitik.com , 5/4/2019).

Cukup terlihat selama rezim petahana berkuasa asing begitu memegang peranan penting dalam
negara dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi investor China di Indonesia begitu
terasa. Berdasarkan data pertumbuhan investasi asing yang dikeluarkan oleh Badan Kebijakan
Penanaman Modal (BKPM) periode kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2018 secara Year-on-Year (YoY)
menunjukkan data kenaikan signifikan. Investasi asing tertinggi pada tahun 2017, di mana total
realisasi mencapai Rp 112 triliun, jumlah ini kecil jika dibandingkan pada tahun 2014 yang hanya Rp
78,7 triliun ( cnbcindonesia.com , 22/10/2018.)

//Pandangan Islam Terkait Investasi Asing//

Islam sebagai agama juga sekaligus system peraturan hidup manusia, memandang setiap urusan
manusia haruslah terikat dengan Islam. Tidak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak
terikat dengan Islam. Kontrak investasi dalam Islam dikategorikan sebagai kontrak amanah, yaitu
kedua pihak dihukumkan sebagai rekan bisnis yang saling membantu (pembagian untung dan rugi)
berdasarkan modal dari keduanya atau kita kenal dengan musyarakah. Artinya, tidak ada pihak yang
menjadi penjamin atas pihak yang lainnya.

Keputusan Majma Fiqh Al-Islami menyebutkan, “Investasi apa pun yang menjadikan pihak
pengusaha (mudharib) memberikan keuntungan dengan kadar tertentu kepada investor, maka hal
itu adalah haram. Karena sifat investasi telah berubah menjadi elemen pinjaman dengan janji
keuntungan riba”.

Singkatnya, investasi apapun bentuknya dalam Islam mewajibkan bahwa kerugian dan keuntungan
hendaknya menjadi tanggung jawab dan hak kedua pihak. Kecuali apabila salah satu pihak dengan
sengaja membatalkan kesepakatan yang ada dan menimbulkan kerugian kepada salah satu pihak.

Investasi asing dalam negeri menjadikan negara harus “membayar” dengan berbagai kemudahan
kepada pihak investor contohnya mudahnya akses TKA masuk ke dalam negeri. Pertahanan dan
keamanan dalam negeri tentu rentan dilihat dari serangan budaya asing dari gaya hidup, bahasa,
termasuk didalamnya aspek ekonomi dalam negeri.

Bukan untung malah bunting, Indonesia ibarat lapak bagi asing untuk berbondong-bondong
menanamkan investasi dalam project “eksploitasi” baik sumberdaya manusia maupun sumber daya
alam. Belum lagi kerusakan alam yang disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran.

//Sistem Islam Membangun Negara Tanpa Investasi Asing//

Investasi asing, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya negara-negara yang mempunyai
kepentingan politik, baik global maupun regional, jelas bisa membahayakan negara. Karena investasi
ini menjadi sarana untuk melakukan intervensi dalam politik, ekonomi dan banyak aspek di dalam
negeri. Hal yang sama juga terkait dengan pemilikan asing atas tanah dan bangunan. Seperti pabrik,
smelter, dan lain-lain.

Meski kepemilikan atas pabrik mengikuti barang yang diproduksi, bisa halal, dan bisa juga haram.
Bisa menjadi milik pribadi, umum atau negara. Semua bergantung pada aktivitas produksinya.
Tetapi, dalam konteks larangan kepemilikan pabrik, meski dari satu aspek diperbolehkan, namun
dari aspek penguatan, penguasaan, dan intervensi kaum kafir dalam sistem Islam, yang kita kenal
dengan sebutan Khilafah.
Jika pabrik atau investasi langsung tersebut sudah ada sebelum berdirinya khilafah, maka khilafah
bisa memberikan pilihan, apakah diambil alih oleh negara, dengan kompensasi sebagaimana
mestinya, atau sama sekaliditutup. Mana di antara dua kebijakan ini, yang dipilih oleh negara,
semuanya diserahkan kepada khalifah. Sebagaimana dalam kaidah syara’, “Amru al-Imam manuth bi
al-mashlahah.” (Keputusan imam/khalifah terikat dengan kemaslahatan). Pertimbangan maslahat
yang paling kuat adalah kemaslahatan kaum Muslimin.

Sistem hari ini, dengan segala kekurangan dan kelemahannya telah mendatangkan berbagai
kemudharatan bagi umat. Privatisasi dan investasi yang dibiarkan begitu saja telah menyengsarakan
masyarakat. Dengan kekurangan dan kelemahannya pula, sistem hari ini juga tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tuntas.

Islam, sebagai pandangan hidup yang sempurna, yang berasal dari pencipta alam semesta, dengan
segala kelebihan dan kesempurnaannya akan mampu menyelesaikan semua persoalan yang ada.
Islam memiliki konsep dan metode yang jelas dalam menyelesaikan seluruh permasalahan termasuk
permasalahan privatisasi dan investasi asing yang sampai detik ini tidak ditemukan solusinya oleh
sistem kapitalis.

Memang benar firman Allah, bahwa hukum yang seharusnya diterapkan atas hamba-Nya adalah
hukum yang berasal dari-Nya. Bukan hukum jahiliyyah yang hanya menghasilkan kerusakan dan
kesengsaraan.

“Apakah hukum jahiliyyah yang kamu kehendaki? Hukum siapa yang lebih baik daripada hukum Allah
bagi orang-orang yang yakin?”(TQS. Al Maidah [3]: 50)

Allahu al musta’an[]

Pidato Visi Indonesia, Jokowi Ancam Hajar Pungli dan Penghambat Investasi

KOMPAS.com - Joko Widodo menyampaikan ketegasannya mengenai pemerintahan yang akan


dipimpinnya, saat menyampaikan pidato pertama sebagai presiden terpilih pada acara Visi
Indonesia, Minggu (14/7/2019) malam.

Menurut Jokowi, salah satu perhatiannya adalah mengundang investasi yang seluas-luasnya.

"Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka
sebesar-besarnya," kata Jokowi.

Sumber: https://www.google.com/amp/s/

amp.kompas.com/nasional/read/2019/07/14/

20322301/pidato-visi-indonesia-jokowi-ancam-hajar-pungli-dan-penghambat-investasi

#KomentarPolitik

Oleh: Bunda Kayis

# OpiniMuslimahJateng -- 'Akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek. Akan saya hajar kalo
diperlukan. Tidak ada lagi hambatan investasi,' kata Jokowi. Satu hal yang penting ketika
membicarakan sejarah bangsa Indonesia adalah bahwa, kita ini lahir dari rahim kolonialisme, yang
berlangsung begitu lama. Dengan kata lain, tidak mungkin kolonialisme selama 3,5 abad tidak
mewariskan sesuatu, apakah itu secara sosial, politik, terlebih lagi secara ekonomi. Mengapa? Sebab
agenda utama kolonialisme adalah ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah sekarang masih
'melanggengkan' kolonialisme; bahkan mempercanggih. Kalau kolonialisme dulu itu kasar, sekarang
semakin soft sehingga masyarakat banyak yang tidak menyadari kalau sedang dijajah. Sebenarnya,
jika dicermati, strategi kolonialisme di Indonesia ada tiga:

1. Menjebak dengan jeratan hutang. Hutang ini memang diberikan, sengaja, terus-menerus hingga
tidak bisa bayar. Dengan hutang yang sangat besar, maka posisi tawar Indonesia sangat lemah dan
mudah didikte.

2. Investasi.Ketika pemerintah akan membuat perundangan yang mengatur tentang SDA,


pertambangan, migas, dll., maka secara politik seluruh kepentingan kolonialisme akan ikut
bermain.Yang memerintahkan mereka, yang melobi mereka, bahkan supervisinya pun mereka.
Misal: UU BUMN yang membuatkan adalah Price Water Coopers, UU Migas yang membuatkan
adalah USAID.

3. SDM. Mereka butuh legitimasi. Sebagai contoh, dalam pembuatan UU mereka butuh tim ahli. Lalu
dimintalah dari para intelektual. Pertanyaannya: siapakah kaum intelek yang dimaksud? Jikalau
mereka agen, ya sama saja. Kenyataaannya kan begitu?! Merekalah para komprador, tapi tidak
sadar. Di sini terjadi proses internalisasi. Kalau sudah sistematis dan soft, akhirnya susah sekali
mengambil jarak. Walhasil, ketika kolonialisme diterima sebagai sesuatu yang alami, maka 'finished'.
Jangankan mengoreksi kolonialisme, menyadari saja tidak. Ini sungguh ironi, mengawali
pemerintahan baru dan menjelang hari kemerdekaan, tetapi masih 'melanggengkan' kolonialisme.

ASING, ASENG, DAN ASONG MUSUH BANGSA

NSEAS: Network for South East Asian Studies, Muchtar Effendi Harahap, mengatakan, salah satu isu
politik di bawah kondisi politik ekonomi, Rezim Jokowi lebih berpaling ke Cina. Yakni Asing, Aseng,
dan Asong sebagai musuh bangsa, khususnya kaum pribumi.

Issue politik Asing, Aseng, dan Asong menguasai kehidupan ekonomi politik Indonesia telah menjadi
perbincangan di publik baik melalui media sosial, media massa, maupun diskusi publik.

Konsep Asing, Aseng, dan Asong ini menunjukkan kritik dan kecaman atas realitas obyektif Indonesia
sekarang. Bahwa kehidupan bernegara rakyat Indonesia telah dikuasai Asing (orang luar negeri),
Aseng (ras Cina), dan Asong (kaum pribumi yang menghamba terhadap asing dan asong). Issue
politik Asing, Aseng, dan Asong ini semakin membesar dan meluas sesuai dengan berkembangnya
issu berbondong-bondong tenaga kerja Cina masuk ke Indonesia. Dan, penguasaan sebagian besar
sumberdaya Indonesia oleh kelompok konglomerat Cina (Taipan).

Isu ini juga dapat meningkatkan kecaman dan penolakan terhadap kegiatan ekonomi Cina di
Indonesia sebagai realisasi kerja sama ekonomi Indonesia-Cina.

Asing, Aseng, dan Asong adalah penyederhanaan rumusan sebagai musuh bangsa. Sudah muncul
beberapa aktivis dan pengamat memaknakan kata Asing, Aseng, dan Asong. Pada umumnya, mereka
tergolong pengkritik dan pengecam, kondisi dan pengelolaan kekuasaan negara Indonesia
didominasi kepentingan Asing, Aseng, dan Asong ini. Secara sederhana makna kata Asing, Aseng, dan
Asong dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Asing, bermakna semua kekuatan luar negeri mengexploitasi bangsa Indonesia. Asing mendikte
dan mencengkeram bangsa Indonesia. Melalui lembaga non state seperti Bank Dunia, IMF, ADB,
Operasi Intelijen, dan lain-lain, mendiktekan dan mengeksploitasi bangsa Indonesia.
2. Aseng, bermakna konglomerat atau pengusaha besar/atas Cina hitam dan terlibat mafia dalam
berbagai bisnis di sekitar kekuasaan negara. Makna ini kemudian diperluas ke arah kepentinggan
Cina (RRC) di Indonesia.

3. Asong, bermakna kaum pribumi bagaikan tukang asongan menjual negara ini, dengan proposal
bisnis, politik, kemiskinan, dan lain-lain, untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan merugikan
negara. Asong dalam beragam wujud: bisa penguasa boneka/antek/agen; bisa birokrat fasilitator
memperlancar semua kepentingan Asing dan Aseng; bisa juga kaum intelektual, akademisi, jurnalis,
lawyer, aktivis LSM bekerja mencuci otak rakyat agar menerima gagasan yang sesungguhnya
merugikan kepentingan negara. Mereka ini umumnya mendapatkan manfaat dan dana dari Asing
dan Aseng.

Intinya, Asong adalah kaum pribumi yang menghamba pada konglomerat atau pengusaha besar
Asing dan Aseng. Mereka tidak peduli bahwa penghambaan terhadap Asing dan Aseng ini tergolong
prilaku korupsi, merugikan kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.

Bagi pelaku isu politik Asing, Aseng, dan Asong, kondisi “buruk” rakyat dan negara Indonesia selama
ini, terutama kaum pribumi, dibandingkan kaum non pribumi. Karena pengelolaan kekuasaan negara
dipengaruhi Asing, Aseng, dan Asong. Hal ini diperkuat lagi dengan dibukanya seluas mungkin
investasi Cina di Indonesia.

Karena itu, hubungan harmonis kepentingan Asing, Aseng, dan Asong dinilai sebagai musuh rakyat
dan kaum pribumi di Indonesia. Harus dilawan!

Fenomena munculnya kelompok identitas pribumi belakangan ini menunjukkan upaya perlawanan
terhadap kondisi Asing, Aseng, dan Asong. Perlawanan dimaksud masih bersifat kultural, belum
struktural.

Rezim Jokowi harus mampu dan berhasil mengelola dan mengendalikan isu politik Asing, Aseng, dan
Asong. Agar tidak terjadi konflik manifes/terbuka dalam bentuk kerusuhan sosial (social unrest).
Rezim Jokowi dalam mengelola isu politik ini harus semata-mata agar tercipta kondisi rakyat dan
negara Indonesia sesuai Pancasila dan konstitusi negara (UUD 1945).

Jika Rezim Jokowi tak mampu dan gagal mengelola isu politik ini, sangat mungkin isu ini akan
menjadi salah satu faktor menurunkan atau menggerus elektabilitas Jokowi dalam Pilpres 2019
mendatang.

Demikian disampaikan oleh Muchtar Effendi Harahap pada Klikanggaran.com di Jakarya, Kamis
(18/5/2017). (Sumber: klikanggaran.com )

===============

KEMERDEKAAN HAKIKI DALAM ISLAM (HANYA DENGAN KHILAFAH)

Menurut KBBI, merdeka berarti bebas dari penghambaan atau penjajahan, berdiri sendiri dan tidak
terikat atau bergantung pada pihak tertentu. Apakah bangsa Indonesia benar-benar telah dikatakan
merdeka?

Mungkin secara fisik benar Indonesia telah merdeka hampir 71 tahun lamanya, namun secara non
fisik Indonesia belum dikatakan benar-benar merdeka. Kisruh Tanjungbalai, Freeport, separatisme
adalah fakta. Hancurnya Rupiah dan cengkraman kartel mafia asing dan aseng adalah fakta.
Lemahnya negara di hadapan mereka, sementara begitu terpaksa ketika menindak umat Islam
adalah fakta.
Indonesia dengan kekayaan alamnya yang begitu melimpah, sudah bukan lagi dijajah secara fisik.
Sudah tidak lagi kita temukan kerja rodi seperti zaman dahulu. Namun yang terjadi saat ini justru
lebih pedih, Indonesia dijajah secara soft.Asing dan aseng melakukan penjajahannya dengan
penjajahan gaya baru.

Penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh asing dan aseng diantaranya adalah :

1. Privatisasi, yaitu pengambilalihan kekayaan negara untuk dimiliki dan dikuasi oleh perusahaan
tertentu atau oleh orang yang mempunyai modal.

2. Pencabutan subsidi.

Listrik dan bbm adalah dua contoh kebutuhan yang dikurangkan subsidinya oleh pemerintah. Bukan
malah meringankan rakyatnya, hal ini malah semakin membuat rakyat sengsara. Terlebih dengan
adanya perluasan objek pajak yang membuat rakyat benar-benar semakin sengsara.

3. Penguasaan sumber daya alam dan perekonomian.

Banyak kekayaan alam Indonesia yang dikuasai oleh asing. Menurut data yang dilansir
nusantaranews.co, ada sekitar 276 blok migas Indonesia yang dikuasai oleh asing. Salah satunya
adalah Blok Mahakam yang masih memiliki cadangan gas sekitar 12,5 tcf. Di mana dengan potensi
cadangan tersebut Blok Mahakam bisa menjadi sumber devisa dengan pendapatan US$ 187 Miliar
atau setara dengan Rp 1.700 Triliun. Tapi faktanya, semua prediksi angka itu menjadi santapan lezat
pihak asing.

4. Utang luar negeri.

Indonesia tak kapok-kapoknya menerima pinjaman dari pihak asing. Hutang Indonesia sudah
menembus angka Rp 3.279,28 Triliun per April 2016 ( Liputan6.com 29/05).

5. Politik dan Hukum

76% Undang-undang dan Rancangan Undang-undang (RUU) Indonesia dinilai mengakomodir


kepentingan asing.

Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Indonesia
masih berada dalam cengkraman penjajahan oleh asing dan aseng.

Lalu keadaan yang seperti apa yang disebut dengan kemerdekaan yang hakiki itu? Menurut Prof.
Fahmi Amhar, kemerdekaan dalam Islam itu terbagi dalam tiga bagian.

1. Kemerdekaan Individu

Seseorang dikatakan merdeka apabila ia terbebas dari tekanan hawa nafsunya. Ketika melakukan
perbuatan ia selalu menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Allah. Ia selalu berfikir
sebelum berbuat, apakah perbuatan sesuai dengan hukum syara atau tidak.

2. Kemerdekaan Masyarakat

Masyarakat dikatakan merdeka ketika mereka tidak lagi menjadi pengekor pola pikir, budaya, dan
bahkan agama para penjajah.

3. Kemerdekaan Negara
Negara dikatakan merdeka apabila terbebas dari penjajahan, baik secara fisik, politik, ekonomi, juga
budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya, tidak lagi ada
tekanan dari negara yang pernah menjajahnya atau negara lainnya.

Sabda Nabi SAW, “Ucapkanlah satu kata, jika kalian memberikannya, maka seluruh bangsa Arab
akan tunduk kepada kalian, dan orang non-Arab akan membayar jizyah kepada kalian". Nabi
melanjutkan, “Katakanlah, laa ilaaha illallaah, muhammad rasulullah.”(Tiada sesembahan yang
berhak disembah, kecuali Allah. Muhammad adalah utusan Allah)

Nabi SAW mendapatkan kekuasaan di Madinah, yang mana kalimat tauhid dijadikan dasar negara.
Setelah itu, seluruh Jazirah Arab tunduk dan menjadi wilayah Negara Islam. Imperium Romawi dan
Persia tunduk kepadanya.

Namun, setelah kalimat tauhid tidak lagi menjadi dasar negara, mereka pun hina dan tak berdaya.
Negeri kaum Muslim hingga kini tetap terjajah, setelah kalimat tauhid itu dicampakkan dari
kehidupan bernegara pasca runtuhnya Khilafah.

Kalimat tauhid itu masih ada, tapi hanya digunakan pada ibadah mahdhah saja. Selebihnya mereka
campakkan.

Allah SWT berjanji memberi kekuasaan (Khilafah) kepada Kaum Mukmin yang beramal shalih, jika
mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun [QS An-Nuur: 55]. Artinya,
mereka harus benar-benar mentauhidkan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan sembarang
kekuasaan, tetapi kekuasaan yang Allah titahkan. Itulah Khilafah Rasyidah.

Pilihannya dengan Khilafah kita akan merdeka, atau tanpa Khilafah selamanya kita akan terjajah.

Sumber: http://my-islamblog.blogspot.com/20

Visi Indonesia Mau Dibawa Kemana? (Bagian 1)

Oleh: Rini Syafri(*)

MuslimahNews, FOKUS — Pada pidato perdana bertajuk “Visi Indonesia” beberapa hari yang lalu
presiden Joko Widodo menegaskan lima aspek yang menjadi fokus pemerintahannya ke depan.
Pertama, pembangunan yang lebih cepat infrastruktur jalan tol, kereta api, pelabuhan dan bandara
agar terhubung dengan kawasan industri. Kedua, pembangunan sumberdaya manusia diprioritaskan
pada pemberian jaminan kesehatan bagi Ibu hamil, balita dan anak usia sekolah di samping
dukungan untuk pendidikan vokasi. Ketiga, mengundang investasi seluas-luasnya. Keempat,
reformasi birokrasi. Kelima, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara fokus dan tepat
sasaran. Dan satu hal yang tidak disebutkan secara lugas, yakni tidak tercantum dalam poin khusus
namun dapat dipahami dari sejumlah frase yang diungkapkannya adalah tentang agenda Revolusi
Industri 4.0 (RI 4.0).

Bila dicermati masing-masing maupun keseluruhan aspek yang menjadi fokus pemerintahannnya
tersebut dan kemudian dikaitkan dengan program-program yang disuarakan pada saat debat capres
cawapres beberapa waktu lalu serta keseluruhan sistem kehidupan sekuler yang melingkupi maka
dapat disimpulkan bahwa visi pemerintah Indonesia di tangan kepemimpinan presiden Joko Widodo
sangat kental dengan muatan neoliberal. Yakni, hanyalah melanjutkan berbagai program neolib
pemerintahannya periode lalu yang sudah dirasakan publik begitu menyakitkan bersamaan dengan
kedudukannya sebagai negara pengekor (baca: terjajah). Hanya saja pada pemerintahannya di
periode ini aspek neolibnya semakin menonjol.
Seperti pembangunan infrastruktur, publik tidak saja dibebani biaya selangit dalam pemanfaatannya
namun juga ditegaskan bahwa pembangunan infrastruktur tersebut hanyalah bertujuan memenuhi
kepentingan industri (baca:korporasi), bukan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan publik.
Artinya publik tetap akan dibebani mahalnya infrastruktur seperti mahalnya tol trans Jawa di
samping buruknya ketersediaan berbagai infrastruktur yang murni menjadi kebutuhan publik seperti
jalan-jalan umum yang tidak tersambung ke kawasan industri.

Sementara itu pembangunan SDM dari sisi kesehatan dengan pemberian jaminan kesehatan
hanyalah melanjutkan program JKN-UHC yang sejak dari awal hingga saat ini tidak saja tak henti
menyusahkan masyarakat secara finansial namun juga perjudian nyawa publik di ruang pelayanan
kesehatan sudah menjadi biasa. Bahkan di tengah-tengah rencana kenaikan beban premi BPJS
Kesehatan sebagai institusi bisnis pelaksana program JKN terus mengeluarkan aturan-aturan yang
semakin menyusahkan publik mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Seperti
keharusan memperbaharui rujukan setiap kali cuci darah bagi pasien-pasien hemodialisa. Sedangkan
program pendidikan vokasi neolib dari tingkat pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi
dengan agenda World Class University tidak saja mahal namun juga menegaskan sistem pendidikan
hanyalah penggerak mesin industrialisasi yang menjadikan kaum terpelajar bangsa ini sebagai buruh
terdidik.

Sedangkan agenda hegemoni neolib RI 4.0 yang publik disesatkan oleh pandangan ini semata
kemajuan teknologi saja akan terus menjadi fokus pemerintah. Tidak saja dari aspek ketergantungan
Indonesia yang begitu tinggi pada impor teknologi RI 4.0 seperti melalui program digitalisasi dan
segala internet yang juga ditumpangi agenda liberalisasi, namun juga semakin mendominasinya
korporasi terhadap fungsi-fungsi strategis pendidikan tinggi. Yakni melalui sinergi batil triple helix A-
B-G. Academic (Pendidikan Tinggi) – Bussiness (Korporasi/Industri) – Government (Pemerintah).
Mulai dari tujuan pendidikan hingga arah dan peta riset serta untuk apa dan bagi siapa pemanfaatan
teknologi yang dihasilkan.

Adapun keleluasaan para investor (asing terutama) berinvestasi yang didukung sepenuhnya oleh
konsep neolib good governance dan agenda globalisasi pasar bebas pada faktanya menjadikan
semua hajat hidup publik berada dalam kekuasaan dan kendali korporasi lokal termasuk milik
pemerintah maupun asing. Baik itu hajat hidup pokok publik berupa pelayanan kesehatan dan
pendidikan maupun kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Bahkan, juga air bersih,
transportasi publik, dan energi. Akibatnya, sungguh sangat fatal, disamping harga berbagai hajat
asasiyah tersebut terus melangit, dan ancaman terhadap kedaulatan bangsa semakin nyata. Tampak
dari sejumlah hal, seperti ketergantungan pada impor yang begitu tinggi pada sembilan bahan
makanan pokok yang juga berdampak pada kehidupan petani yang semakin sulit, sampai dengan
ketergantungan pada impor energi minyak bumi dan bebagai teknologi terkini.

Politik energi bangsa ini semakin tersandera oleh agenda hegemoni liberalisasi migas dan agenda
hegemoni climate change berupa program energi baru terbarukan. Tampak dari penyerahan blok-
blok migas yang jumlahnya berlimpah secara massive pada asing.

Seperti blok Masela yang begitu kaya dengan potensi migas hingga disebut sebagai blok abadi
diserahkan pada Inpex korporasi negara kafir Jepang, blok rokan, blok kampar dan masih banyak
blok migas lainnnya juga diserahkan pada multi korporat. Bahkan pemerintah membuka akses
secara cuma-cuma data mentah potensi migas Indonesia bagi korporasi, ini di satu sisi.

Di sisi lain, paradoks program energi baru terbarukanpun semakin nyata, karena tidak saja mahal
namun sesuai hasil terkini sejumlah riset jejak karbon yang ditimbulkan program energi biofuel
berbasis sawit jauh lebih berbahaya dari pada penggunaan bahan bakar fosil di tengah-tengah
massivenya kerusakan hutan dan karhut kronis melalui pemberian hak konsesi.

Namun pemerintah terus berupaya mewujudkan hasrat penggunaan energi terbarukan 100%
(B100). Hal serupa juga dapat disaksikan pada barang tambang lain seperti emas dan batu bara.
Buruknya pengelolaan sumber daya air juga dominasi korporasi tidak saja membuat air mahal
namun berulangnya krisis air bersih di tengah SDA yang berlimpah terutama di musim kemarau
seperti saat ini.

Sementara yang dimaksud dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara fokus dan
tepat sasaran tentunya tidak akan lepas dari konsep anggaran neolib yang sudah diterapkannya
selama ini. Walhasil negara semakin tidak bertanggungjawab membiayai pemenuhan hajat hidup
publik, seperti baru-baru ini dengan alasan mengurangi beban keuangan negara pemerintah akan
melakukan adjustment (baca:pencabutan subsidi) listrik. Juga, semakin jauh dari pengelolaan
sumber-sumber kekayaan negara yang benar sebagai mana terlihat dari program pajak yang semakin
ketat dan menyasar hingga kalangan rakyat jelata. Hal ini jelas semakin menambah beban keuangan
rakyat yang sudah sangat berat. Pada akhirnya, alih-alih sejahtera dan berdaulat semua program
neolib yang mendapatkan dukungan penuh dari sistem kehidupan sekuler khususnya sistem politik
demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme hanyalah membuat bangsa ini semakin terpuruk. Dibalik
kemajuan teknologi RI 4.0 yang ada hanyalah hak-hak publik semakin terampas dan kedaulatan
bangsa kian sirna, kerusakan moral semakin parah di samping pontensi konflik yang semakin dalam.

Inikah visi Indonesia yang diinginkan. Jelas bukan, karena semua ini sangat jauh dari tujuan insaniah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari pada itu sangat bertentangan dengan Islam dari
aspek manapun. Pada tataran inilah kembali pada visi mulia sebuah negara dan bangsa sebagaimana
tuntunan syariat Islam merupakan hal yang mutlak diwujudkan. Visi mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh alam.

Semua itu membutuhkan pelaksanaan syari’at Islam secara kaafah baik pada politik dalam negeri
mapun luar negeri dalam bingkai Khilafah. Lebih dari pada itu Khilafah adalah kewajiban yang
disyari’atkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada seluruh bani insan. “Wahai orang-orang yang
beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi
kehidupan kepadamu.”(TQS Al Anfaal: 24) []

(*) Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik.

Allahu A’lam. Indonesia, 16 Juli 2019.

Daftar Pustaka

https://nasional.kompas.com/read/2019/

07/14/22171281/pidato-visi-indonesia-5-tahapan-besar-yang-disebut-jokowi .

https://money.kompas.com/read/2019/06/

26/153600826/pemerintah-akan-pangkas-pembayaran-kompensasi-listrik-ini-kata-bos-pln

Visi Indonesia Mau Dibawa Kemana? (Bagian 2)

Oleh: Rini Syafri (*)

MuslimahNews, FOKUS — Meski sudah berlalu waktu dua pekan dari saat Presiden Joko Widodo
berpidato mendeklarasikan Visi Indonesia lima tahun kedepan namun tetap ini menjadi topik
perbincangan yang menarik. Karena visi sebuah negara dan pemerintahan merupakan penentu arah
hendak di bawa kemana bangsa dan negara tersebut. Di samping visi itu juga menjadi petunjuk
apakah tujuan hidup bernegara yakni kesejahteraan dapat dirasalkan oleh setiap individu publik.

Terdapat perbedaan pandangan tentang visi Indonesia yang dimaksud Presiden Joko Widodo dalam
teks pidato perdananya, baik pada kalangan pengamat maupun elit pemerintahan sendiri. Ada yang
menyatakan visi Indonesia ada lima. Yakni, pembangunan infrastruktur, investasi, pembangunan
SDM, reformasi dan anggaran. Dan sebagian lagi berpandangan visi Indonesia adalah ”Indonesia
Maju”.

Terlepas dari perbedaan tersebut, persoalannya bukan sekadar ada atau tidaknya visi, akan tetapi
apakah visi sudah orisinil dan kuat, dilandaskan pada cara pandang tentang kehidupan/ideologi yang
sahih atau bukan. Karena, orisinalitas dan arah visi adalah faktor mendasar penentu politik dalam
dan luar negeri sebuah negara dan selanjutnya menjadi faktor kunci bagi terwujud tidaknya maksud
kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni, kesejahteraan yang dapat dirasakan setiap individu
publik.

Visi seseorang terlebih lagi negara dan kepala negara pasti dilandaskan pada suatu sudut pandang
tertentu. Sudut pandang itu bisa bersifat ideologis atau bukan. Sudut pandang yang didasarkan pada
ideologi tertentu akan melahirkan visi ideologis, orisinil, dan kuat terlepas dari benar atau salahnya
ideologi yang digunakan sebagai landasannya. Sementara visi yang tidak dilandaskan pada sudut
pandang yang tidak ideologis misal manfaat dan maslahat hanya akan melahirkan visi yang lemah/
berubaha sesuai kepentingan dan maslahat sesaat.

Selanjutnya sudut pandang yang mendasari visi penentu negara ideologis, mandiri atau bukan. Sudut
pandang itu pulalah yang akan menjadi dasar pemikiran politik negara tersebut, di dalam maupun di
luar negeri. Sehingga dapat dikatakan, visi negara yang ideologis menunjukan negara tersebut
negara ideologis dan mandiri dan sebaliknya. Ini bisa dilihat dari strategi politik dan program-
program kerjanya.

Karenanya untuk memahami arah visi Indonesia di tangan pemerintahan Presiden Joko Widodo
haruslah dipahami setidaknya dua poin berikut. Pertama, memahami paradigma yang mendasari
ide-ide yang termaktub dalam visi teks pidatonya dengan cara memahami muatan paradigma dari
agenda politik maupun program serupa pada pemerintahan sebelumnya. Sebab sekalipun
ditegaskan dalam teks pidatonya akan menggunakan model baru, cara baru, dan nilai-nilai baru,
namun bila dilihat dari teks pidato keseluruhan tidak ada tersirat maupun tersurat bahwa model
baru, nilai-nilai baru, cara baru yang dimaksud tidak lagi dilandaskan pada ideologi sekularisme yang
berpengaruh sangat kuat dalam agenda dan program-program politik pemerintahannya yang lalu.
Kedua, konstelasi politik global dan posisi Indonesia di dalamnya hari ini.

Tentang poin pertama, baik konsep pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya
manusia, investasi, reformasi birokrasi dan APBN dalam praktek pemerintahan periode sebelumnya
sepenuhnya mengacu pada paradigma batil sekulerisme, khususnya paradigma neolib good
governance dan politik ekonomi neolib knowledge based economy yang didukung penuh oleh sistem
kehidupan sekuler. Khususnya politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Yang sejalan
dengan agenda globalisasi, fungsi negara hanyalah pembuat aturan untuk memuluskan berbagai
kepentingan korporasi dan hegemoni.

Pada faktanya, baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri Indonesia hanyalah
mengakibatkan hajat hidup publik, sumber daya alam, sumber daya manusia dan ekesistensi negara
sendiri sepenuhnya dalam kendali korporasi dan negara-negara kafir penjajah sebagai mana yang
kita saksikan hari ini.

Sedangkan tentang poin kedua, hampir menjadi pengetahun umum bahwa Indonesia hari ini berada
dalam tekanan kekuatan politik global yang dikendalikan oleh ideologi sekularisme, kapitalisme baik
yang berada di Barat maupun di Timur. Di Barat khususnya Amerika, di Timur khususnya Cina.
Sehingga Indonesia baik dalam politik dalam negeri maupun dalam politik luar negeri tidak pernah
mandiri. Ini tampak dari berbagai agenda politik dan program pemerintah yang tidak berbasis
tuntutan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Misal, program pembangunagan infrastruktur, sebenarnya bukan sekali dua kali dikritik karena tidak
saja membebani masyarakat secara ekonomi (berbayar), tidak juga menjamin terpenuhinya hajat
kebutuhan publik juga berdampak sosial yang luas dan serius seperti alih fungsi lahan pertanian yang
massive, di samping penguasaan asing terhadap berbagai infrstruktur strategis.

Demikian juga program Jaminan Kesehatan Nasional-JKN, ini adalah konsep batil yang sudah terbukti
kegagalannnya dan begitu nyata kemudaratan yang ditimbulkannya, baik terhadap kehidupan
masyarakat luas maupun terhadap negara. Namun pemerintah tetap berhasrat melanjutkan
program ini.

Keberadaan program dan agenda politik dalam dan luar negeri Indonesia yang berjalan sesuai
komitmen yang dituntutan oleh lembaga internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),
WHO (World Health Organization), World Bank, IMF, WTO yang sesungguhnya hanyalah kendaraan
politik negara-negara seperti Amerika Serikat juga menjadi bukti bahwa Indonesia tidak mandiri
dalam mengatur politik dalam dan luar negerinya.

Jika dicermati berbagai forum penting dunia seperti World Economic Forum, KTT ASEAN, dan
berbagai forum yang diselenggarakan WB, IMF, WTO, OECD dan forum lainnnya posisi Indonesia
bukanlah penentu arah dan agenda forum tersebut. Sebaliknya Indonesia hanyalah pengikut dan
menjadi pelaksana berbagai agenda yang sudah di rumuskan.

Berdasarkan poin satu dan dua tersebut dapat disimpulkan bahwa arah visi Indonesia hari adalah
sekularisme kapitalisme, neoliberalisme. Dan ini bukanlah visi yang kuat dan orisinil, tetapi visi yang
lemah dan didikte oleh kekuatan politik global kapitalisme berkarater penjajah.

Sehingga, tidak heran pembangunan yang dilakukan pemerintah hanya menguntungkan segelintir
orang dan bukan menyejahterakan seluruh dan tiap individu rakyat. Ini dapat dilihat dari berbagai
agenda politik dan program yang dijalankan. Seperti program WCU, JKN, RI 4.0, dll.

Pada APBN, sesuai paradigma APBN kapitalisme, pajak merupakan sumber pemasukan utama, di
samping hutang. Ini dari aspek pemasukan, dan dari aspek pengeluaran khususnya pembiayaan
penyelenggaraan pemenuhan hajat hidup publik digunakan konsep anggaran berbasis kinerja. Yakni,
biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaran institusi perpanjang fungsi negara berupa
modal untuk pencarian keuntungan dari pelayanan tersebut. Dengan konteks inilah frase “tetapt
sasaran” dapat dimaknai.

Konsekuensinya, harga berbagai hajat hidup publik semakin mahal, sebagai dapat dirasakan setelah
Puskesmas dan rumah sakit dikelola dengan konsep BLU dan PTNBH pada pendidikan tinggi. Tidak
hanya itu, konsep APBN neolib ini juga memandulkan fungsi-fungsi strategis negara. Seperti
mandulnya fungsi-fungsi strategis bulog, mandulnya fungsi-fungsi strategis pendidikan tinggi,
mandulnya fungsi-fungsi strategis institusi pengelolaan sumber daya alam seperti Pertamina pada
migas.
Di saat yang bersamaan negara berlepas tangan dengan mengatasnamakan pencabutan subsidi dan
penyesuai harga seperti yang sedang adan akan dilakukan terhadap listrik.

Visi Negara Khilafah Menyejahterakan Dunia

Visi negara Khilafah dan para Khalifah pemimpinnya dilandaskan pada sudut pandang sahih tentang
kehidupan. Yakni, akidah Islam. Visi tersebut adalah “Terwujudnya Rahmat Bagi Seluruh Alam”. Visi
ini ditegaskan Allah Subhanahu wata’ala dalam QS Al Anbiya (21): 107, yang artinya,”Dan Kami tidak
mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Visi ini diwujudkan dengan misi negara yang juga bersumber dari sudut pandang yang sama. Berupa
politik dalam dan luar negeri yang dilandaskan pada akidah Islam. Dengan demikian pelaksanaan
syariat Islam secara kaafah, termasuk paradigma dan konsep-konsepnya yang sahih merupakan hal
yang mutlak harus diwujudkan.

Hal ini dipraktekan dan dicontohkan langsung oleh baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa ahlihi wa
sallam. Dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Hasilnya? Selama 13 abad dunia dilimpahi
kesejahteraan dan kemuliaan khususnya dua per tiga dua yang menjadi wilayah kekuasaan Islam.

Khilafah tidak saja penentu arah politik dunia, tetapi juga mengakhir segala bentuk penjajahan dan
berbagai penderitaan umat manusia. Diganti dengan tersebarnya cahaya Islam yang berlimpah
dengan rahmat dan kesejahteraan. Tinta emas sejarah peradaban Islam telah mengabadikan
kebaikan yang agung ini. Yang dengan izin Allah SWT dalam waktu dekat akan kembali terulang.
Allah SWT menegaskan hal itu dalam QS At Taubah [9]:33, yang artinya,”Dialah yang telah mengutus
Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan diin yang benar untuk memenangkannya
atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya.” []

(*)Rini Syafri, Doktor Biomedik dan Pengamat Kebijakan Publik.

Sungguh umat butuh sistem Islam. Yang tegak di atas akidah yang benar dan mewujud dalam
seperangkat aturan kehidupan yang memanusiakan. Sebuah sistem yang menempatkan negara dan
penguasa sebagai penanggungjawab semua urusan rakyat sekaligus sebagai penjaga mereka. Sebuah
sistem yang mencegah umat dari kerakusan dan kejahatan musuh-musuhnya.

________________________________________

/ Visi Menyempurnakan Liberalisasi di Indonesia /

# FokusdanAnalisis

# MuslimahNewsID -- Tak ada yang nampak baru dari isi pidato presiden Jokowi yang disampaikan di
acara Visi Indonesia, Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/7/2019)
lalu. Pidato yang intinya berisi 5 tahapan mewujudkan visi indonesia yang disebutnya lebih adaptif,
produktif, inovatif dan kompetitif dalam menghadapi fenomena global yang sangat dinamis itu
hanya menunjukkan satu hal. Yakni, sebuah tekad untuk melanjutkan dan menyempurnakan proyek
liberalisasi ekonomi yang memang makin masif di Indonesia.

Ke-lima tahapan itu adalah, (1) melanjutkan pembangunan infrastruktur; (2) memberi prioritas pada
pembangunan sumber daya manusia; (3) mengundang investasi seluas-luasnya; (4) mereformasi
birokrasi agar lebih efektif dan efisien; dan (5) menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat
sasaran.

Sekilas, dari ke-5 proyek tersebut nampak tak ada yang bermasalah. Pembangunan infrastruktur
memang dibutuhkan untuk memudahkan kehidupan rakyat dalam memenuhi hajat hidup mereka.
Terlebih presiden sudah menegaskan, bahwa pembangunan infrastruktur dimaksud ‘hanyalah’
melanjutkan pembangunan infrastruktur besar yang sudah dilaksanakan di periode kepemimpinan
sebelumnya. Lalu menghubungkannya dengan berbagai kawasan produksi rakyat, kawasan-kawasan
industri kecil, kawasan-kawasan ekonomi khusus serta kawasan-kawasan pariwisata yang sudah
dirintis dan dikembangkan sebelumnya. Apa yang salah?

Namun justru di sinilah masalahnya. Patut diingat, dalam konsep ekonomi neoliberal, pembangunan
infrastruktur memang menjadi prasyarat mutlak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Dan salah satu tolok ukur pertumbuhan ekonomi ini adalah besaran akumulasi modal dan produksi
barang jasa sebagai dampak tumbuhnya industri-industri manufaktur atau ekstraktif yang mau tidak
mau membutuhkan fasilitas penunjang seperti akses jalan, pelabuhan, bandara, kawasan
pergudangan, jalur kereta api dan lain-lain untuk memperlancar arus modal, barang dan jasa. Itulah
kenapa, konektivitas dan koridorisasi yang kemudian diistilahkan dengan istilah-istilah keren seperti
kawasan ekonomi khusus menjadi hal mutlak bagi suksesnya proyek liberalisasi yang diklaim akan
menggenjot pertumbuhan ekonomi.

===

Masalahnya, di manakah posisi rakyat banyak dalam skema ekonomi neoliberal semacam ini? Siapa
yang sesungguhnya diuntungkan dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebab pembangunan
infrastuktur yang jorjoran berbasis bisnis dan padat modal ini?

Faktanya, pembangunan infrastruktur ala sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dilakukan,
nyatanya hanya menjadi lahan bancakan bagi korporasi dan lembaga-lembaga keuangan kelas kakap
bahkan internasional. Karena meskipun indonesia merupakan negara super kaya, namun kekayaan
milik rakyat itu tak ada dalam kekuasaan dan genggaman negara. Sehingga negara tak memiliki
modal besar untuk membiayai pembangunan. Jangankan untuk pembangunan infrastruktur, sekedar
memenuhi kebutuhan pokok dan asasi rakyat banyak saja sulitnya bukan main.

Ketidakmampuan negara dalam penyediaan modal inilah yang akhirnya ‘memaksa’ negara
melibatkan pihak korporasi, terutama asing dalam sebagian besar proyek-proyek strategis dan
berjangka panjang ini. Hal ini kemudian dilegitimasi oleh hadirnya sebuah kredo yang diimani para
penguasa rezim neolib dan para pembisiknya, bahwa semakin maju perekonomian suatu negara,
maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi.

Maka muncullah konsep dan praktik skema pembiayaan berbasis dunia usaha yang kemudian
dikenal dengan public private partnership, pembiayaan investasi non anggaran pemerintah (PINA)
atau non-state budget infrastructure funding, dan sekuritisasi aset. Dimana dalam implementasinya,
skema-skema pembiayaan ini memberikan peran besar kepada swasta untuk membangun dan
mengelola berbagai proyek infrastruktur, sementara posisi dan peran pemerintah hanya sebagai
penjamin dan regulator semata.

Tren privatisasi dan finansialiasi dalam sektor infrastruktur inilah yang menjadikan proyek-proyek
yang sejatinya merupakan layanan publik dan harusnya beroperasi secara non-komersial ini, akan
sepenuhnya dikontrol oleh swasta dan pemanfaatannya kemudian bersifat komersial. Akibatnya,
secara bertahap dan dalam jangka jangka panjang, harga untuk mengakses layanan publik menjadi
semakin mahal. Ini karena tujuan operasi bisnis dari swasta adalah mengeruk keuntungan.

Ruh liberalisasi inilah yang juga dipastikan akan mendasari gencarnya proyek investasi yang
dicanangkan Presiden Jokowi di periode ini. Bahkan untuk menjamin keamanan investasi ini,
pemerintah siap melakukan berbagai upaya mewujudkan good governance termasuk melalui
gerakan reformasi birokrasi. Mengingat birokrasi yang tak efektif dan efisien seringkali dipandang
sebagai penghambat utama masuknya investor asing ke negeri ini.

Hanya saja, meski presiden berusaha meyakinkan tentang kebaikan-kebaikan yang akan didapat dari
proyek investasi dan meminta berbagai pihak untuk tidak alergi, senyatanya investasi asing selama
ini telah sukses menjadi pintu masuk kapitalisasi berbagai kebutuhan layanan publik yang berujung
penderitaan rakyat banyak. Dan yang paling mengerikan, proyek-proyek investasi sektor publik ini
menjadi pintu masuk penjajahan dan penguasaan asing atas aset-aset milik umat.

Terlebih kebijakan pembangunan infrastruktur di bawah cengkraman finansialisasi atas nama


investasi ini seringkali dilakukan tanpa mengukur kebutuhan rakyat, melainkan kebutuhan bisnis
para pemilik modal lainnya. Tol, MRT, jalur kereta, bandara, pelabuhan, kawasan-kawasan industri,
kawasan-kawasan ekonomi khusus, proyek-proyek property, dan yang lainnya nyaris tak bisa
dinikmati rakyat banyak. Tapi ironisnya, justru merekalah yang sering harus menanggung kerugian
karena dipaksa menyerahkan kepemilikan lahan yang sekaligus berdampak pada hilangnya lahan
pekerjaan dan berubahnya lingkungan sosial dan budaya mereka.

===

Di pihak lain, program-program peningkatan kualitas SDM yang diklaim demi rakyat, nyatanya tak
sungguh-sungguh didedikasikan demi kebaikan dan kebahagiaan hakiki mereka. Apatah lagi demi
dunia akhirat mereka. Melainkan hanya diperuntukkan demi memenuhi kebutuhan pasokan SDM
murah bagi suksesnya proyek industrialisasi yang mengiringi proyek-proyek investasi milik para
investor asing ini.

Itulah mengapa pemerintah juga bertekad untuk menggenjot peningkatan indeks pembangunan
manusia, dengan fokus pada peningkatan kualitas kesehatan dimulai dari ibu hamil hingga anak-
anak, serta peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan vokasi.

Hanya saja, program peningkatan kualitas kesehatan yang disebut-sebut demi rakyat ini dipastikan
tak akan lepas dari upaya melanjutkan program JKN-UHC yang selama ini berhasil sukses
memerangkap rakyat dalam jaringan bisnis kesehatan semi pemerintah berbasis asuransi. Dan
senyatanya juga sukses melepas urusan jaminan kesehatan rakyat yang semestinya merupakan
tanggungjawab negara menjadi tanggungjawab rakyat sendiri hingga menambah sulit kehidupan
rakyat banyak.

Adapun soal pendidikan, maka selama ini ruh kapitalisasi juga sudah sangat kental terasa. Akses
rakyat terhadap lembaga pendidikan berkualitas nyatanya sangat terbatas. Bahkan muncul semacam
formula, bahwa kualitas pendidikan yang baik selalu berarti biaya yang tinggi.

===

Di luar itu, spirit liberalisasi pemerintah terkait peningkatan kualitas SDM melalui bidang pendidikan
juga nampak tatkala pemerintah sangat fokus pada pengembangan pendidikan vokasi, baik di level
pendidikan menengah maupun tinggi. Di perguruan tinggi, program triple helix ABG yang ditengarai
mampu menyinergikan hubungan lembaga pendidikan (Academic), Bussiness alias korporasi/industri
dan Government alias pemerintah pun dianggap sebagai solusi jitu untuk memenuhi kebutuhan
industri akan tenaga kerja trampil serta hasil-hasil riset di satu sisi, dan menyelesaikan problem
kebutuhan masyarakat akan sumber-sumber pekerjaan sebagai sumber penghidupan di sisi yang
lain.
Hanya saja, nampak jelas bahwa yang menjadi target utama semua proyek ini adalah penyediaan
tenaga kerja murah di level-level pekerjaan yang juga rendah serta pembajakan hasil-hasil riset yang
dilakukan langsung oleh para intelektual alias pihak perguruan tinggi dan dibiayai penuh oleh pihak
korporasi demi kepentingan korporasi. Kesemuanya tentu berujung pada satu tujuan utama, yakni
demi dan untuk menggerakkan roda industrialisasi yang keuntungan terbesarnya dipastikan masuk
dalam pundi-pundi pemilik korporasi.

Yang terakhir terkait dengan penggunaan anggaran yang fokus dan tepat sasaran, maka hal ini
ditengarai erat kaitannya dengan target pemerintah meminimalisir perannya dalam pembiayaan
sektor-sektor kebutuhan publik, atau yang dikenal dengan kebijakan anti subsidi. Dan kebijakan
seperti ini memang lazim bagi negara yang menganut sistem sekuler neoliberal.

Dalam konsep sistem ekonomi kapitalis neoliberal, subsidi atas hajat publik dipandang sebagai
beban, bukan kewajiban negara. Dan dalam konteks perdagangan internasional yang menganut
sistem pasar bebas, subsidi bahkan dipandang sebagai bentuk proteksi atas produksi barang dan jasa
domestik yang akan menghapus kompetisi terhadap barang dan jasa impor yang bagi pelaku
perdagangan internasional dipandang sebagai musuh utama.

Itulah kenapa, negara-negara kapitalis adidaya sebagai penentu utama proyek liberalisasi pasar
global senantiasa berupaya memastikan kebijakan subsidi ini tak diadopsi oleh negara-negara yang
empuk jadi sasaran karena posisinya sebagai pengekor semacam Indonesia. Dan melalui lembaga-
lembaga internasional yang merupakan perpanjangan tangannya, mereka pun berusaha
memaksakan agar aturan penghapusan subsidi menjadi aturan yang diadopsi negara-negara sasaran
di dunia.

Itulah yang terjadi saat Indonesia didera krisis moneter akibat skenario Barat. IMF datang bak dewa
penolong, menawarkan utang rente plus advis mematikan bagi masa depan indonesia. Selain
privatisasi dan reformasi birokrasi, maka dengan dalih menyelamatkan anggaran indonesia dipaksa
IMF untuk menerapkan kebijakan anti subsidi. Sejak itulah nyaris semua kebutuhan publik
mengalami pengurangan-pengurangan subsidi yang berarti rakyat harus membayar lebih mahal dan
lebih mahal lagi. Listrik, energi, pupuk, beras hingga biaya pendidikan dan kesehatan terus
dilepaskan dari kebijakan subsidi. Bahkan pendidikan dan kesehatan pun nyaris berhasil mutlak
dikapitalisasi.

===

Alaa kulli haalin, atas semua paparan yang sejatinya merupakan curahan keprihatinan rakyat ini,
maka kita mesti cermati akhir pidato Presiden Jokowi:

Kita harus optimistis menatap masa depan! Kita harus percaya diri dan berani menghadapi
tantangan-tantangan kompetisi global. Harus berani!

Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia!

Pertanyaannya, inikah yang dimaksud dengan visi indonesia yang ingin dikejar pemerintahan
Jokowi? Di mana negara kian mengukuhkan dirinya sebagai mitra korporasi dan menjalin hubungan
dengan rakyat seperti hubungan penjual dan pembeli? Bahkan menyerahkan nasib rakyat pada
mekanisme pasar bebas ala kapitalisme yang membuka pintu penjajahan?

Sungguh batil dan rusak cara pikir sekularistik yang dianut rezim hari ini. Dan sungguh batil dan rusak
pula sistem kehidupan yang terlahir darinya. Yakni sistem kapitalisme neoliberal yang hanya
mengabdi kepada harta dan melegalkan penguasa untuk melepas tanggungjawab dari rakyatnya.
Sungguh umat butuh sistem Islam. Yang tegak di atas akidah yang benar dan mewujud dalam
seperangkat aturan kehidupan yang memanusiakan. Sebuah sistem yang menempatkan negara dan
penguasa sebagai penanggungjawab semua urusan rakyat sekaligus sebagai penjaga mereka. Sebuah
sistem yang mencegah umat dari kerakusan dan kejahatan musuh-musuhnya.

Itulah sistem Khilafah, yang belasan abad telah menorehkan sejarah emas. Dengan terwujudnya
masyarakat gemilang di bawah kepemimpinan Islam. Sebuah sistem yang layak menjadi visi politik
umat menggantikan visi politik sekuler yang justru akan menjerumuskan umat pada kehancuran.

Semoga umat kian paham, bahwa hanya dengan Islam, mereka akan beroleh kebaikan dan
kemuliaan hakiki. Bukan dengan mempertahankan sistem sekuler kapitalis neoliberal yang sudah
jelas membawa kesengsaraan sekaligus mengukuhkan penjajahan. []

===

Sumber: https://ww

YA ALLAH tulisanya BAGUS banget, WAJIB BACA netijahhh sholihah, klo belum mudeng baca lagi
sampe mudeng, GRATISSSS..!!!

Apa itu industri EPC?

Untuk sebagian besar orang mungkin istilah EPC tidak terlalu dipahami. Biasanya orang lebih sering
menyebutnya contractor, yah intinya orang yang bekerja berdasarkan ‘contract’ yang disepakati.
Jangan salah lho, ini belum tentu berarti ‘constructor’ (=orang yang melakukan konstruksi) karena
bisa saja contract nya hanya mendesign saja, atau malah membeli saja.

Oke deh, kita mulai ya.

EPC itu singkatan dari Engineering, Procurement, Construction. Kadang-kadang juga ditambah
Installation, sehingga menjadi EPCI (biasanya ini untuk yang bermain di offshore/platform). Juga bisa
ditambah C lain (jadi EPCC) jika dimasukkan Commissioning (test unjuk kerja).

Dari singkatannya itu sudah jelas bahwa tugas dari EPC adalah melakukan rekayasa (engineering)
dari suatu plant, melakukan pembelian (procure) barang2/ equipment yang terkait dan kemudian
mendirikannya / membangun (construct). Kadang kami-kami yang di EPC ini lebih merasa sebagai
‘integrator’, karena di EPC lah yang menjembatani dan mengkordinasikan seluruh bagian yang
terkait dalam pembangunan suatu plant, mulai dari licensor (yang punya lisensi), vendor (yang jual
barang) , shipper (yang ngirim barang) bahkan sampai operator (yang mengoperasikan plant).

Suatu perusahaan EPC ngga mesti melakukan E-P-C nya sekaligus, bisa aja salah satu atau salah
duanya. Jadi sangat normal jika ada EPC yang hanya mengambil E-nya saja (bertindak sebagai
konsultan engineering saja), E dan P atau malah C (hanya memasang saja) nya saja. Kombinasinya
bisa macam2.

Untuk yang masih belum familiar, berikut saya coba jabar kan satu persatu siklus pekerjaannya (ini
yang umum lho dan belum tentu selalu begini) – terus terang ini untuk konsumsi mahasiswa yang
masih belum faham, buat para senior2 di EPC mohon dapat menambahkan:

1. Owner mengumumkan rencana pendirian plant baru (katakanlah Per tamina ingin bangun kilang
minyak dengan kapasitas 100ribu barel per day)
2. Owner mengundang EPC company yang berminat untuk menyampaikan profil perusahaan (fase
Pra Kualifikasi)

3. Owner mengumumkan siapa-siapa saja yang lolos dari Pra Kualifikasi dan berhak mengikuti proses
tender EPC dan melakukan proses Invitation To Bid (ITB)

4. EPC company yang lolos mengambil dokumen tender dari Owner dan mendapat penjelasan
tentang rule-of -the game

5. Dalam rentang tertentu, EPC EPC company tersebut menyampaikan proposal teknis dan rencana
bagaimana merancang, membeli dan mengkonstruksi

6. Jika lolos, maka mereka harus menyampaikan proposal komersial (berapa estimasi ongkos dan
harga pembangunan plant tersebut)

7. Siapa yang terbaik (belum tentu termurah lho) maka dia yang menang

8. Jika menang, maka Owner akan meng -award project tersebut ke EPC terpilih dengan kesepakatan
harga yang di point 6 (bisa juga sih di nego lagi) dan kualifikasi teknis dan rencana/waktu di point 5
(juga negotiable).

9. EPC (yang menang) mulai mengerjakan proses E-P-C nya yang jauh lebih mendetail daripada saat
proposal tadi. Jika mampu hemat maka profit akan bertambah (dari perkiraan saat proposal) jika
tidak, ya bisa terancam bangkrut dong

Sumber: KM

Indonesia: Sasaran Bancakan Negara Produsen G20 /

Oleh: Ustazah Pratma Julia Sunjandari

SuaraMuslimahBumiCenderawasih -- Dalam kredo kapitalisme, dunia ini terbagi menjadi negara


produsen dan negara konsumen. Negara produsen adalah sumber utama kapital, ‘tempat asal”
pemilik korporasi global (Multi National Corporation/MNC) yang bebas mengatur produksi seantero
dunia sesuai dengan kepentingan ekonominya. Mengacu pada negara-negara yang tergabung dalam
The Group of Twenty (G-20) maka negara produsen yang dimaksud tentulah Sang Adidaya dunia, AS
beserta ekonomi maju seperti Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Britania Raya, Australia, Uni Eropa,
China dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain, terdapat negara yang posisinya sebagai konsumen
seperti Indonesia, Argentina, Meksiko, Arab Saudi dan lain-lain.

Berbeda dengan G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) yang
merupakan kumpulan negara ekonomi maju, tidak semua anggota G20 adalah negara kapitalis
mapan yang berpendapatan tinggi. Seperti Iran dan Taiwan, sekalipun ‘lebih maju’ dari Afrika
Selatan, mereka tidak dimasukkan forum tersebut.

Demikian pula Indonesia. International Monetary Fund (IMF) menyebutkan PDB (Pendapatan
Domestik Bruto) Indonesia sebenarnya hanya menempati posisi ke 16 di antara negara G20, dengan
PDB sebesar USD 1,07 triliun.

Demikian pula PDB perkapita Indonesia, yang menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2018 hanya
sebesar USD 3.927. Bahkan, jika merujuk data Bank Dunia tahun 2017, dibandingkan dengan negara
ASEAN, PDB per kapita Indonesia masih tertinggal dengan Malaysia (USD 9.944), Singapura (USD
57.714), Brunei Darussalam (USD 28.290), dan Thailand (USD 6.593).
Lalu apa alasannya Indonesia dimasukkan dalam kumpulan G20?

===

Sekali lagi, pertimbangannya adalah, negara-negara produsen membutuhkan pasar potensial bagi
hasil produk barang dan jasa mereka. Karena itu mereka mengumpulkan negara-negara konsumen
bersama gank produsen untuk memastikan agar proses produksi dan jual beli berjalan secara
konsisten, bahkan meningkat pesat.

Bila menilik latar belakang pembentukan forum ini, tidak akan jauh dari tujuan ‘penjajahan’ yang
melekat erat dengan ideologi Kapitalisme. Berawal dari krisis keuangan 1998 yang melanda dunia,
para kapitalis harus segera mencari solusi jitu untuk membebaskan diri dari krisis periodik tersebut.
Sayangnya, pada saat itu G7 dinilai gagal mencari solusi untuk meredam krisis ekonomi global. Untuk
menjaga pergerakan ekonomi, negara maju perlu forum dan formula untuk melibatkan negara
berkembang (konsumen) yang memiliki huge market (pasar raksasa). Didirikanlah Group of Twenty
(G20) pada tahun 1999 sebagai forum ekonomi utama dunia. G20 memiliki posisi strategis, lantaran
secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan
setidaknya 85 persen perekonomian dunia. Dan Indonesia menjadi bagian exit strategy itu.

Indonesia adalah paket komplit yang menguntungkan produsen. Negeri ini memiliki kekayaan SDA
yang luar biasa, sesuai kebutuhan bahan baku industrialisasi sekaligus pasokan energinya. Memiliki
tempat untuk proses produksi di Indonesia jelas menjadi pertimbangan efisiensi bagi para kapitalis.
Karena itulah pemerintah menyediakan berbagai kemudahan untuk memfasilitasi investasi MNC di
Indonesia dengan menumbuhkan kawasan industri seperti 12 Kawasan Ekonomi Khusus di beberapa
propinsi.

Pertimbangan berikutnya adalah jumlah penduduk yang terus tumbuh. Apalagi Indonesia bakal
mendapatkan bonus demografi yang diprediksi mencapai puncaknya pada tahun 2045. Pada tahun
2030 angkatan usia produktif yaitu 15-64 tahun diperkirakan mencapai 200 juta orang. Jumlah
tersebut mewakili 68 persen dari total populasi Indonesia. Negara produsen mengerti betul bahwa
ketersediaan SDM yang menjalankan proses produksi disediakan Indonesia. Karena itu
pengembangan SDM sesuai perkembangan teknologi terbaru harus menjadi perhatian utama.

Pemerintah yang telah tergantung pada kapitalis pun demikian intensif menyediakan tenaga kerja
lulusan pendidikan vokasi sebagaimana kebutuhan pasar. Pasar, tentu saja adalah potensi yang
paling menggiurkan bagi negara produsen. Bukan sekadar pasar, tapi huge market.

Pasar raksasa itu ditunjukkan melalui pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di antara negara G20
pada kuartal I 2019, yakni sebesar 5,07 persen. Indonesia hanya kalah dari China sebesar 6,4 persen
dan India sebesar 5,8 persen.

Pertumbuhan ekonomi menjadi jaminan pasar yang bergerak. Karena itu Indonesia sangat
berpeluang untuk industrialisasi, investasi, dan perdagangan sekalipun bila hanya menyasar pasar
domestik saja. Apapun laku dijual di Indonesia, apalagi produk yang sesuai dengan trend setter dunia
yakni ekonomi digital.

===

Sejalan dengan setiran negara produsen, arah masa depan ekonomi adalah pengembangan Revolusi
Industri 4.0. Potensi industri e-commerce di Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah
mata. Analisis Ernst & Young menyebutkan bahwa pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di
tanah air setiap tahun meningkat 40 persen. Ada sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta
pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia.

Perilaku konsumtif dari puluhan juta orang kelas menengah di Indonesia menjadi alasan mengapa e-
commerce di Indonesia akan terus berkembang. Peluang pasar ekonomi digital ini amat luas, terkait
jual beli barang dan jasa via internet, jasa layanan antar atau logistik, provider telekomunikasi,
produsen perangkat pintar, dan lain-lain.

Pada akhir tahun 2014 saja, nilai bisnis industri e-commerce Indonesia mencapai USD 12 miliar.
Karena itu negara produsen men-drive pemerintah Indonesia agar berambisi menjadikan Indonesia
sebagai Digital Economy Market terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Demi mengejar target
tersebut pemerintah berusaha menciptakan 1.000 technopreneurs baru pada tahun 2020 dengan
valuasi bisnis USD 10 miliar. Akankah semua potensi itu akan menjadi kekuatan bagi Indonesia? Yang
akan memberinya kesempatan meningkatkan posisi dari low middle income countries menjadi upper
middle income countries? Dan yang lebih penting adalah, terpenuhi kesejahteraan semua
penduduk?

Tampaknya harapan itu jauh panggang dari api. Mengingat posisi Indonesia hanyalah menjadi
sasaran dan tujuan hegemoni negara produsen dalam G20. Segenap potensi Indonesia hanya
menjadi bancakan AS dan kroni-kroninya demi mempertahankan manfaat politik dan ekonomi yang
selama ini mereka nikmati.

===

Bagaimanapun juga, semua mekanisme yang mengikat dalam forum ekonomi internasional adalah
proyek penjajahan ekonomi. Jadi jangan bermimpi untuk meningkatkan status sebagai negara maju
dalam forum yang tak seimbang tersebut. Apalagi menurut Menkeu Sri Mulyani Indrawati, ada
keinginan untuk mereformasi World Trade Organization (WTO) agar perdagangan [baca:
pertarungan ekonomi] berjalan fair dan menguntungkan negara menengah. Bagaimana mungkin hal
itu bisa terjadi? Mengingat WTO adalah instrumen untuk mengekalkan penjajahan ekonomi via
perdagangan bebas. Semua alat yang digunakan untuk mencengkeram negara-negara konsumen
mustahil untuk direformasi. Karena penjajahan adalah bagian integral dari kapitalisme dan menjadi
metode satu-satunya untuk menguasai dunia.

Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk melepaskan diri dari penjajahan ekonomi negara besar
kecuali dengan memunculkan kekuatan yang sepadan. Kekuatan seimbang yang sanggup
berhadapan head to head dengan raksasa-raksasa ekonomi dunia hanyalah adidaya serupa, yakni
Khilafah Islamiyah.

Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, Khilafah sanggup mengusir kekuatan asing yang akan
merongrong supremasinya. Dan tak pernah terjadi, bumi Khilafah yang terbentang dari Asia, Afrika
hingga Eropa itu tunduk pada kekuatan dan dikte imperialis asing. Sebaliknya, Khilafah mampu
menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri, tidak hanya mampu menyejahterakan seluruh rakyat
bahkan membantu negara lain. Seperti yang dilakukan Khalifah Abdul Majid II yang mengirimkan
uang 1.000 sterling dan 3 kapal besar yang memuat makanan, sepatu dan keperluan rakyat Irlandia
saat kelaparan hebat terjadi di seantero Eropa (the Great Irish Famine) pada pertengahan abad ke-
19.

Kejayaan dan kemakmuran itu menjadi keniscayaan karena Khalifah menjalankan pemerintahannya
berpedoman pada wahyu Sang Pengatur alam semesta, Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga tak ada
sedikitpun aturan yang menzalimi manusia, sekalipun Khilafah berkembang menjadi adidaya. Apalagi
dalam menjalankan tugasnya kepada rakyat, maka fungsi ri’ayah akan selalu menjadi fokus utama.
Semua kebijakan ekonomi diperuntukkan dalam rangka melayani rakyat.

Maka SDA akan digunakan sebagai sarana untuk menyejahterakan rakyat. Tidak dieksploitasi secara
berlebihan, justru dikelola dengan baik seraya memperhatikan kepentingan masa depan. Dan yang
pasti, ada jaminan tidak bakal diprivatisasi karena hal itu bentuk kemaksiatan yang nyata.

===

Di sisi lain, SDM dalam Khilafah bukan diposisikan sebagai faktor ekonomi yang bebas diperlakukan
sesuai kepentingan majikan sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Tapi tenaga kerja diperlakukan
sebagai individu yang diakui sumbangsih tenaga dan pikirannya untuk negara dan masyarakat,
sehingga mendapatkan kompensasi sesuai kadar profesionalitasnya. Sementara kebutuhan pokok
dan sebagian kebutuhan pelengkap mereka dicukupi via subsidi yang diperoleh dari sumber
anggaran negara yang diperbolehkan dalam syari’at Islam.

Untuk menggerakkan perekonomian, Khilafah akan menerapkan sistem politik ekonomi yang fair,
sesuai ketetapan syariah. Sistem sanksi yang terkait dengan muamalah turut menjamin persaingan
usaha yang terjadi secara adil. Hubungan dagang dengan luar negeri pun terkontrol dalam
mekanisme yang menjamin kemandirian dan keamanan negara.

Bila demikian solusinya, Indonesia dan negeri muslim lainnya akan terbebas dari penjajahan negara
produsen. Tak ada lagi forum-forum internasional yang harus diikuti –baik demi prestise atau
kepentingan negara besar-. Sehingga, negeri-negeri muslim yang berada dalam naungan daulah akan
mendapatkan kontribusi positif dari semua potensi ekonominya, dan tak lagi dijadikan bancakan
oleh negara lainnya. []

===

Artikel ini merupakan materi dis

//Proyek Amerika Serikat dalam Outlook Indo Pasifik di ASEAN//

Oleh: Ustadzah Pratma Julia Sunjandari

Penutupan KTT ASEAN ke-34 yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 22-23 Juni 2019, kabarnya
Indonesia menorehkan keberhasilan untuk menjadikan usulannya, Outlook ASEAN mengenai Indo-
Pasifik telah diadopsi oleh semua negara ASEAN. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific berisikan 4
bidang kerja sama yaitu maritim, konektivitas, pembangunan berkelanjutan dan ekonomi.

Satu hal yang patut dikritisi : benarkah konsep ini bermula dari tawaran Indonesia? Rasanya sungguh
mustahil, mengingat posisi Indonesia secara konstelatif –sekalipun hanya di kawasan Asia Tenggara-
bukanlah pemain utama. Meskipun Indonesia tersohor sebagai salah satu pendiri ASEAN dan sering
mengambil peran inti dalam momen-momen penting ASEAN, namun ia bukanlah master mind
strategi-strategi ASEAN. Apalagi jika dikaitkan dengan konstelasi dunia secara umum, dimana
Amerika Serikat tetaplah menjadi pengendali dunia termasuk di kawasan Asia Pasifik. Maka,
konsepsi Indo Pasifik tak mungkin dilepaskan dari campur tangan dan kepentingan AS.

Adalah 2018 National Defense Strategy of The USA yang menerakan pemerintahan Donald Trump
telah menjadikan Indo-Pasifik sebagai salah satu kawasan yang menjadi prioritas kemitraan jangka
panjang hankam AS. Konsep Indo Pasifik sendiri pertama diperkenalkan Gurpreet S Khurana, PhD –
mantan Direktur Eksekutif National Maritime Foundation (NMF), New Delhi India sejak 2007 dalam
makalah berjudul ‘Security of Sea Lines: Prospects for India-Japan Cooperation’ yang dipublikasikan
dalam jurnal Institute for Defence Studies and Analyses (IDSA), New Delhi.

Indo-Pasifik, awalnya merupakan konsep geografis yang membentang di dua wilayah Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik. Bagi AS yang ideologis, bentangan tu tentu bukan sekedar wilayah
geografis. Namun Asia Pasifik telah membentuk citra komunitas kepentingan yang menghubungkan
AS dan Asia Timur. Brad Glosserman –visiting professor di Tama University Tokyo dan penasihat
Pacific Forum- berpendapat para pejabat AS mengakui konsep tersebut telah memandu kebijakan AS
sejak akhir Perang Dunia II. Mantan Menlu AS di Kabinet pertama Trump, Rex Tillerson turut
mengungkapkan bahwa penggunaan”Indo-Pasifik” memberi sinyal lebih dari sekedar wilayah
geografis.

Tentu hal itu terkait dengan implementasi Kapitalisme, yakni, tak ada masalah yang lebih penting
kecuali mendapatkan lokus yang akan menunjang keberlangsungan (suistanable) kepentingan
penjarahan ekonominya. Samudra Hindia dan Pasifik merupakan ruang strategis dalam perdagangan
global. Kedua perariran itu menjadi jalur komunikasi laut yang menghubungkan pergerakan ekonomi
dinamis Asia Timur dan Tenggara dengan pemasok energi di Timur Tengah dan pasar akhir di Eropa
dan Amerika. Perhatian terhadap geostrategis itu telah dimulai sejak pemerintahan George W. Bush
dengan cara membangun hubungan AS-India menjadi lebih kuat dan strategis.

Strategi Indo-Pasifik diwujudkan AS melalui Quadrilateral Security Dialogue (QSD), atau Quad. Forum
itu menjadi sarana dialog strategis informal antara AS, Jepang, Australia dan India sejak 2007 yang
diprakarsai PM Jepang Shinzo Abe, didukung Wapres AS Dick Cheney, PM Australia John Howard dan
PM India Manmohan Singh. Mereka berharap dari Quad akan terlahir Busur Demokrasi Asia (Asian
Arc of Democracy) yang mencakup negara-negara Asia Tengah, Mongolia, semenanjung Korea, dan
Asia Tenggara, kecuali Cina sendiri.

Karena itu tak bisa dipungkiri jika proyek Indo Pasifik ini terkait upaya AS membendung ekspansi
ambisius Cina dalam menguasai ekonomi kawasan itu. Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS
Morton Abramowitz, menyebut proyek itu “sebuah langkah anti-Cina. Pernyataan itu kian terbukti
dalam penerapan kebijakan ekonomi era Trump. Dingding Chen -profesor Hubungan Internasional di
Jinan University, Guangzhou, Cina- menyatakan Indo-Pasifik yang digunakan Trump menyatukan
India, AS, dan negara-negara demokrasi utama Asia lainnya, terutama Jepang dan Australia, dalam
mengekang Cina menumbuhkan pengaruh “Perang Dingin”.

Para akademisi Cina percaya bahwa perubahan geopolitik yang diakibatkan oleh kebangkitan Cina
adalah alasan utama Washington mencurahkan upaya untuk meningkatkan aliansi Indo-Pasifik. Xue
Li, seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, percaya bahwa strategi baru diperlukan untuk
meneguhkan kekuasaan AS.

Realitanya, AS jelas kewalahan dengan sepak terjang Cina, yang dijulukinya sebagai predator
ekonomi. Cina dituduh AS mengintimidasi tetangganya dengan melakukan militerisasi di Laut Cina
Selatan dan memaksa negara-negara tetangga mengatur kawasan Indo-Pasifik demi keuntungannya.
Apalagi proyek investasi besar-besaran Cina melalui Belt and Road Initiative (BRI) menyasar negara-
negara di Asia Pasifik. Belum lagi perang dagang antara AS-Cina yang sudah berlangsung hampir
setengah tahun dan tak kunjung berakhir.

Karena itu, pelibatan negara satelit AS –seperti Australia, Jepang, dan India- ataupun beberapa
negara anggota ASEAN yang menempati posisi sebagai negara pengikut –seperti Indonesia, Thailand
dan Vietnam- tentu dibutuhkan demi menyelamatkan ekonomi AS.
Krisis ekonomi yang sulit diakhiri AS, memang membuat frustasi. Sebagai penganut paham ekonomi
yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi, angka pertumbuhan 2,4 persen di tahun 2019 dan
diramalkan menjadi 2 persen pada tahun 2020 adalah petaka bagi AS. Apalagi problem klasik seperti
deindustrialisasi, peningkatan pengangguran, peningkatan inflasi, defisit fiskal melebar, terus
mendera AS. Bahkan Bank investasi raksasa AS, JP Morgan Chase, menduga pada tahun 2020 bakal
terjadi krisis keuangan global yang dimulai dari kejatuhan mesin-mesin penggerak ekonomi di Negeri
Paman Sam.

AS perlu segera memanfaatkan Indo Pasifik. Pada era Obama, strategi mengunci Asia dikenal sebagai
Pivot to Asia (poros ke Asia) atau rebalance toward Asia (penyeimbangan ke Asia). Konsep ini pada
hakikatnya adalah ‘penyelamatan ekonomi’ AS sebagaimana ungkapan konseptornya, Menlu Hillary
Clinton.

Dalam America’s Pacific Century in Foreign Policy, Clinton menekankan pentingnya Asia-Pasifik.
Hampir setengah populasi dunia tinggal di sana, menjadikan pengembangan wilayah itu vital bagi
kepentingan ekonomi strategis AS. Dia menyatakan bahwa pasar terbuka di Asia memberi AS
peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk investasi, perdagangan, dan akses ke
teknologi mutakhir. Pemulihan ekonomi AS di dalam negeri akan bergantung pada ekspor dan
kemampuan perusahaan-perusahaan Amerika untuk memasuki wilayah yang luas itu dan terus
berkembang sebagai basis konsumen Asia.

Pertimbangan itulah yang dilakukan Apple untuk meminta pemasok utamanya mempelajari implikasi
bisnis apabila memindahkan 15 hingga 30 persen kapasitas produk dari Cina ke Asia Tenggara. India
dan Vietnam berpeluang besar untuk menjadi ‘destinasi’ produksi iPhone. Dalam keyakinan AS,
hanya India yang dapat menandingi populasi Cina. Dan ekonomi India yang sedang berkembang
dapat memungkinkannya mengejar ketinggalan dan melawan pengaruh ekonomi Cina. India adalah
kekuatan regional yang mampu membentuk perkembangan tidak hanya di Asia Selatan tetapi juga di
Asia Tenggara. Apalagi konflik antara India dan Cina –yang mengakibatkan empat pertempuran di
perbatasan – diperkirakan memperkuat strategi perlawanan terhadap Cina.

Oleh sebab itu AS menggeber konsep Indo Pasifik dengan mendorong ASEAN untuk mengadopsinya.
AS tahu betul bahwa negara-negara kecil dan menengah terjebak di antara 2 kepentingan. Di satu
sisi, mereka takut akan perubahan tatanan regional yang ditimbulkan oleh kebangkitan Cina. Di sisi
lain, mereka tidak ingin kehilangan bagian dari dividen yang disebabkan oleh pembangunan ekonomi
Cina. Sehingga AS memanfaatkan Indonesia dan Singapura sebagai pendukung konsep Strategi Indo-
Pasifik dengan meningkatkan posisi strategisnya. Karena, tanpa persetujuan dan kehadiran Asia
Tenggara yang menjadi area utama, sulit bagi AS untuk menghubungkan “Samudera Hindia” dengan
“Samudra Pasifik”. Karena itu konektivitas menjadi salah satu agenda utama Indo Pasifik.

Hal ini sejalan dengan rencana ASEAN untuk menelaah ulang capaian Visi ASEAN Economic
Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA 2025. Maksud itu mengemuka dalam
pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) 2019 di Chiang Rai,
Thailand (2-5/4/19). Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral ASEAN bersepakat untuk menguatkan
integrasi dan konektivitas ekonomi demi meningkatkan daya saing kawasan. Semuanya mengarah
bagi kesiapan ASEAN sebagai area perdagangan bebas, yang pasti bakal menguntungkan produsen-
produsen kakap AS.

Demi mengamankan target tersebut, menjadi catatan penting agar negara-negara ASEAN menjaga
stabilitas bersama dengan menekan sumber konflik di antara mereka. Karena itulah, di sela-sela KTT
ASEAN ke-34 RI dan Filipina menyepakati penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Sementara, kesepakatan dengan Vietnam masih terus diupayakan demi mencegah terulangnya
insiden kedua negara. Jokowi telah melakukan pembicaraan dengan PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc
untuk mencegah berulangnya insiden antara kapal otoritas Indonesia dengan nelayan ataupun kapal
otoritas Vietnam. Termasuk juga berusaha menyelesaikan isu Rakhine State terkait isu kemanusiaan
suku Rohingya di Myanmar dengan menindaklanjuti rekomendasi Laporan Preliminary Needs
Assesment (PNA).

Bagaimanapun juga, strategi Indo Pasifik sebagaimana kesepakatan multilateral yang digagas oleh AS
tidak akan pernah benar-benar menguntungkan negara ketiga seperti Indonesia. Karena, AS hanya
menjadikan kawasan ini sebagai pemasok kebutuhan bahan baku, penyedia tenaga kerja murah dan
pasar produk utama mereka.

Itulah realita penjajahan ekonomi berkedok perdagangan bebas. Sungguh malang nasib Indonesia –
karena posisinya sebagai negara pengikut- hanyalah menjadi stempel atas ambisi [baca : nafsu
serakah] negara besar, demi menyelamatkan kepentingan AS. Yang notabene adalah penyelamatan
gurita bisnis Multi National Corporation.

Strategi Indo Pasifik hanya akan menjadikan kekayaan terkonsentrasi di tangan para kapitalis dan
menjadikannya memiliki kekuatan dominan untuk menguasai masyarakat dan negara dalam
kebijakan internal dan eksternal. Cengkeraman ekonomi dan perdagangan oleh negara-negara kaya
bakal mencegah Indonesia membangun ekonomi di atas dasar yang kuat, yang dapat membebaskan
subordinasi ekonominya dari para kapitalis yang berasal dari AS ataupun negara kaya lainnya. Tentu
ini menjadi kemaksiatan yang luar biasa karena menentang perintah Allah, padahal “Allah tidak akan
memberi jalan untuk kafir untuk memiliki otoritas atas orang mukmin.“[QS An-Nisa: 141]

Walhasil, selama Indonesia masih berada pada sub ordinasi adidaya AS, sungguh mustahil untuk
menjadikannya berdaulat dan mandiri atas keputusan politik dan ekonominya, apalagi mewujudkan
kesejahteraan atas seluruh rakyat. Jalan keluarnya hanyalah dengan mewujudkan kekuatan yang
apple to apple dengan adidaya AS, yakni Khilafah Islamiyah. Karena, hanya Khilafah yang mampu
dengan gagah dan lantang menolak membebek dan mengikuti arahan asing. Insya Allah, kekuatan
itu akan segera menjelang dan menyelamatkan seluruh dunia dari keserakahan AS.[]PJS

Anda mungkin juga menyukai