Anda di halaman 1dari 4

BALIA :

Memaknai Sebuah Estetika Tubuh Dalam Konsep Tari

Oleh : IIN AINAR LAWIDE, S.Sos

Tubuh manusia telah menjadi tari, begitu dia berjalan menghadapi dunia luar yang adalah
peta bergerak bagi berbagai simpul kepentingan dan konflik. Sudah sejak lama manusia begitu
tergoda pada tubuhnya sendiri. Melalui berbagai gelombang peradaban, godaan itu menggiring
manusia mencari bayangan sakral serta kepuasan lewat tubuhnya sendiri. Tubuh manusia adalah
medan perang dengan nilai yang bergerak didalamnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan,
ikon, ras, ideologi dan agama.

Tubuh manusia tidak hanya untuk berdiri dan berjalan, tetapi juga bisa dan sering gemetar.
Tubuh yang gemetar inilah melahirkan beribu ragam gerak dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Jika biasanya kita melihat tubuh yang gemetar biasa saja, tetapi di Sulawesi Tengah tubuh yang
gemetar ataupun kesurupan menjadi sumber dari lahirnya gerak-gerak tari.

Beragam upacara-upacara adat yang sakral terdapat di wilayah ini, menganggap bahwa
tubuh yang gemetar atau kesurupan melambangkan keindahan, dinamisasi tubuh dan jika diolah
dalam sebuah kajian pertunjukan panggung (performance art) maka dapat ditemui eksotika tubuh
yang sangat indah karena tubuh yang mengalami langsung kegelisahan menguasai posisi, yang terus
menatap setiap gerakan dan tindakan. Dalam proses sebuah penggarapan tari di Sulawesi Tengah
(khususnya etnis Kaili) menggali sumber gerak dari tahapan upacara adat penyembuhan yang telah
turun temurun dari leluhurnya. Bagi masyarakat Kaili dikenal suatu upacara adat penyembuhan
penyakit yang disebut Balia yang menjadi sumber inspirasi gerak dari beragam pertunjukan tari
yang telah diciptakan oleh beberapa koreografer di Kota Palu.

Membahas tentang Balia, tidak bisa setengah-setengah karena memiliki keterkaitan antar
satu dengan yang lainnya. Balia dan tari pun tidak bisa dipisahkan, karena tanpa adanya gerak tari
upacara Balia menjadi tidak menarik. Balia mengutamakan estetika dan eksotika tubuh dalam
setiap gerakannya. Tubuh cenderung menjadi “tubuh mitos”, yang membiarkan dirinya terus
berkembang melalui tema-tema mitologi setempat.

Pengertian Balia ialah tantang dia (Bali = tantang, ia/iya = dia), yang artinya melawan
setan yang telah membawa penyakit dalam tubuh manusia. Balia dipandang sebagai prajurit
kesehatan yang mampu untuk memberantas atau menyembuhkan penyakit baik itu penyakit berat
maupun ringan melalui upacara tertentu. Peserta atau orang-orang yang terlibat dalam upacara
(pesakitan) disebut memperata dengan pengertian bahwa memperata adalah proses awal untuk
menyiapkan diri dan menerima kehadiran makhluk-makhluk halus kedalam tubuhnya. Masuk atau
tidaknya makhluk-makhluk tersebut ditentukan oleh irama pukulan gimba (gendang), lalove
(seruling) yang mengiringi jalannya upacara ini. Karena itu, agar semua peserta balia bisa
kesurupan maka irama gimba, lalove dan gong itu harus berubah-ubah dan bersemangat hingga
nantinya peserta balia tersebut akan melakukan gerak-gerak tarian yang kasar, cepat dan tak
beraturan dalam kondisi kesurupan. Pemimpin upacara ini ialah seorang dukun yang biasa disebut
Tina Nu Balia yang berpakaian seragam terdiri atas buya (sarung), siga (destar) dan halili (baju dari
kain kulit kayu), namun saat ini pemimpin upacara balia lebih sering menggunakan baju model
kebaya.

Upacara Balia ini terdiri atas 3 macam dengan tingkatan prosesi yang berbeda-beda :
1. Balia Bone
Balia bone merupakan tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yang diibaratkan
sebagai prajurit kesehatan yang besar dan banyak seperti tumpukan pasir (bone) yang sanggup
memadamkan api. Dalam upacara ini tidak terlalu banyak memerlukan peralatan upacara adat
dan prosesi penyembuhannya pun tidak memakan waktu yang lama. Balia ini biasanya
diperuntukkan untuk kalangan bawah atau yang penyakitnya tidak terlalu berat serta tidak
merisaukan masyarakat setempat. Pemimpin upacaranya pun hanya terdiri atas satu orang saja.

2. Balia Jinja
Balia jinja diidentikkan dengan gerakan atau posisi melingkar (round dance) yang melibatkan
para pengunjung atau orang-orang yang sedang menyaksikan upacara balia tersebut turut
terlibat dalam upacara ini yang dibarengi dengan nyanyian dari si pesakitan atau penderita.
Walaupun yang memimpin upacara ini hanya satu orang saja, namun yang terlibat dalam
prosesi upacara ini sudah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan balia bone.

3. Balia Tampilangi
Balia tampilangi diartikan sebagai pasukan yang bergerak turun secara cepat dari kayangan.
Balia ini merupakan tingkatan tertinggi dari upacara keseluruhan upacara Balia, dianggap
paling sakral dan bernilai magis karena didalamnya termuat keseluruhan gerak dari balia bone
dan balia jinja serta memiliki tahapan khusus dalam proses penyembuhan. Tahapan tersebut
dibagi atas dua yang bisa dilaksanakan bersamaan secara bergantian atau bisa pula
dilaksanakan salah satunya saja.

a. Moraro
Moraro adalah salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi, suatu upacara adat penyembuhan
bagi masyarakat Kaili dengan cara menombak tumbal (Noraro). Dalam rangkaian Upacara Adat
Moraro ini dibagi dalam 9 tahapan yaitu :
1. Pamulana, atau awal dari keseluruhan upacara ini dimana semua penari mendekati pesakitan
yang akan diupacarakan.
2. Mendopi, artinya menghibur pesakitan.
3. Nosive, yakni memercikan air kepada pesakitan agar diberik kekuatan dan mampu mengikuti
jalannya upacara Moraro.
4. Notaro, yaitu gerakan kasar dengan mengehentak-hentakkan parang (guma) untuk mengusir
penyakit dari dalam tubuh pesakitan.
5. Noparemba, yakni proses sando (dukun) dan para penari memanggil para roh.
6. Neronde, artinya menyambut para roh yang menyebar penyakit.
7. Noraro, artinya menombak tumbal. Bermakna bahwa penyakit telah dibunuh dan akan pergi
jauh dari tubuh si pesakitan. Harapan yang terkandung didalamnya bahwa sang pesakitan
akan pulih dari penyakitnya dan kembali sehat seperti semula.
8. Norumuta, dimana para penari membuat lingkaran kecil mengeremuni tumbal yang telah
ditombak.
9. Mouramo, bermakna mengembalikan penyakit kepada para roh sekaligus sebagai penutup dari
upacara Moraro.

Namun sebelum memasuki proses penyembuhan dalam 9 tahapan tadi maka dilaksanakan terlebih
dahulu upcara Moragi. Moragi adalah salah satu bagian dari upacara Moraro, dimana para gadis-
gadis membawakan beras kuning, hitam, merah dan hijau yang dibentuk seperti bintang, pelangi
maupun tombak yang kemudian diletakan dihadapan si pesakitan dan nantinya sando pun bisa
menentukan penyakit apakah yang diderita oleh si pesakitan tersebut. Beras-beras tersebut
memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada To Manuru atau penguasa bumi dan langit.
Setelah sando memilih beras mana yang dipilih, maka gadis-gadis tersebut mulai menari dengan
memakai kipas yang diringi oleh gendang dan lalove.

Pemimpin (sando) dalam upacara ini disebut Bayasa yang berfungsi sebagai pengobatan dan
penyembuhan orang sakit. Bayasa atau bisa diistilahkan sebagai gender ketiga (transgender),
dimana kaum lelaki berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Upacara adat Moragi ini untuk
menentukan penyakit apa yang diderita oleh pesakitan dan yang berperan penting disini adalah
Bayasa tersebut dimana merekalah yang dapat mengetahui penyakit apa yang sedang diderita oleh
pesakitan dan dapat menyembuhkannya. Bayasa ini terdiri atas 6 orang yang menari bergerak
lincah mengelilingi si pesakitan tersebut.

b. Salonde
Salonde merupakan salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi dan kedua jenis balia
lainnya. Salonde bagian yang selalu terikat dan tak pernah lepas dari upacara ini. Karena
dengan adanya Salonde ini maka prosesi penyembuhan lebih terlihat sakral.
Salonde berasal dari bahasa Kaili Kuno yang artinya ragam tari-tarian. Disebut ragam tari-
tarian karena didalamnya termuat begitu banyak unsur gerak yang ritmis, lincah, dinamis
dan memiliki makna yang besar. Gerak-gerak tersebut memiliki nilai estetis yang sangat
menarik, dibagi dalam 7 (tujuh) bagian yang tidak boleh ditinggalkan dalam upacara balia
namun boleh ditarikan secara terpisah ;
1. Kabiondo : artinya petikan sendu. Gerakannya pelan, lemah gemulai, penuh perasaan,
proses awal dimana Tina Nu Balia mulai membuka selendang yang menutupi
wajahnya dan wajah si pesakitan.
2. Kancara : artinya melambai, bisa juga diartikan sebagai perahu yang tertiup angin.
Gerakannya sangat cepat sesuai dengan irama gimba (gendang) sambil memainkan
selendang.
3. Saramapede : artinya melenting. Gerakannya dominan dibagian kaki dengan
membanting-bantingkan kaki secara cepat dan dinamis.
4. Sarondayo : artinya lincah. Gerakannya lincah, cepat dan energik, proses dimana
pesakitan sudah mulai dimasuki roh. Gerakan awal bagi pesakitan untuk memainkan
kipasnya.
5. Torodae-dae : artinya berputar. Berakannya cepat, berputar-putar secara tak
beraturan, berayun-ayun dari mulai duduk sampai ia dalam posisi berdiri .
6. Tambilugi : artinya rata. Gerakannya datar, tidak cepat tetapi juga tidak lambat, proses
dimana ia kembali pada posisi duduk.
7. Tutupendo : artinya penutup. Gerakan sudah sangat pelan, dimana pesakitan yang
kesurupan tadi bergerak sangat pelan dan langsung terdiam. Ia dianggap telah sembuh
dari penyakitnya karena telah berhasil mengusir roh-roh jahat dalam tubuhnya.

Ada begitu banyak gerak-gerak yang tercipta dari upacara ini dan tubuh menjadi sumber
utamanya. Tubuh tari seperti ini membuat kerja koreografi dan kerja tubuh penari mengalami
kesulitan besar untuk berhubungan dengan tema-tema tradisi-kontemporer.

Jika diolah secara bertahap, gerak-gerak ini sulit untuk diterjemahkan secara cepat. Hanya
beberapa koreografer saja yang sanggup untuk membahasakannya lewat tarian pertunjukkan karena
didasari gerakan yang kuat, cepat, lincah dan dinamis serta memposisikan tubuh sebagai objek
tunggal bergerak tanpa henti. Estetika tubuh sangat tergantung dari banyaknya gerakan yang masuk
dalam satu komposisi tari. Wacana tari sulit untuk tumbuh dalam budaya tubuh seperti itu.
Pengaruh kuat modernisasi membawa gerak-gerak yang radikal yang memilik dampak besar bagi
sakralnya upacara balia. Reproduksi sikap tubuh ini, terikat pada teknik, karena tidak mudah untuk
membongkar atau mengubah pola tatanan gerak didalam Balia tersebut, dimana dasar gerak
melingkar, berpegangan tangan serta menyatukan nafas untuk membawa tubuh ke tingkat ritual
yang mendalam dengan kekuatan fisik sang penari tidak bisa dilakukan hanya dengan proses
sebentar saja. Dibutuhkan intensitas dan ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang
mengalir. Balia menghadirkan “tubuh rakyat” dalam setiap gerakannya yang bernilai magis, masih
bersifat tradisi.
Para koreografer/penata tari akan memutar otaknya setiap kali mengikuti pesta tari atau
festival tari untuk mengeluarkan secara paksa kekayaan tradisi Balia. Bahwa tubuh penari hampir
kehilangan kosmologinya jika “tubuh mitos” dalam unsur gerak balia dihadirkan dalum balutan
tradisi-kontemporer diatas panggung pertunjukkan, namun tidak dapat dipungkiri masuknya
modernisasi ke dalam unsur gerak balia melahirkan eksotika tubuh yang lebih bernilai. Kepuasan
tubuh dalam mengeksplorasi sumber gerak balia, tidak dapat ditutupi dari keseragaman penari dan
upaya memaksimalkan tubuh untuk bergerak secara total. Tubuh pun siap menerima teknik dan
memakai kostum tradisi apa pun, karena tubuh telah mengalami transformasi lewat tradisi.

Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja
antropologi. Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropolog
yang artifisial, walaupun pasar membutuhkannya. Dunia tari –yang dianggap sebagai seni yang
paling dekat dengan manusia, karena menggunakan tubuh- punya masalah yang jauh lebih rumit
dari bidang seni lainnya. Balia telah menjadi fenomena dipanggung tari dan ditansformasikan
kedalam konsep kekinian atau yang dinamakan kontemporer. Balia tak lagi ditarikan secara
serempak (massal), tetapi lebih banyak ditarikan secara tunggal ataupun berkelompok ( hanya 5 - 7
penari) berusaha untuk mengubah tradisi. Kehadiran performance art, menjadi wacana baru bagi
dunia tari khususnya tradisi yang mencoba masuk untuk menyatu dalam konsep tari modern.
Bagaimana menjadikan balia sebagai unsur gerak tradisi yang tak lepas dari estetika tubuh penari
dalam pandangan modernisasi pada panggung-panggung seni pertunjukan.

BALIA dalam konsep tradisi

Moragi Bayasa Moraro

BALIA dalam konsep kekinian (kontemporer)

Salonde Tambilugi

Anda mungkin juga menyukai