Anda di halaman 1dari 9

1

HUTAN MANGROVE CIAMIS YANG TERABAIKAN

Oleh:
Setiasih Irawanti, Prasmadji Sulistyanto dan Kuncoro Ariawan

Ringkasan

Ekosistem mangrove dengan berbagai jenis vegetasi penyusunnya memiliki karakteristik khas,
berbagai fungsi ekologi, sosial, ekonomi, dan politis, sehingga keberadaannya sangat berarti bagi
lingkungan dalam arti luas. Karakteristik laut dan pesisir sangat terbuka, aksesibilitas sangat baik,
strategis dan kaya sumberdaya alam, karenanya ekosistem mangrove menghadapi ancaman sangat
berat dari berbagai sektor atau stakeholder. Beragamnya data dan informasi tentang keberadaan hutan
mangrove di Ciamis menarik perhatian untuk dikaji. Penelitian dilakukan pada awal tahun 2006 di
Kabupaten Ciamis, pengumpulan data menggunakan metoda pencatatan, konsultasi dan pengamatan
lapangan, serta metoda analisis tabulasi, evaluatif, dan deskriptif, dengan hasil sebagai berikut.
Data keberadaan dan luas hutan mangrove di Kabupaten Ciamis sangat bervariasi namun
dilaporkan sebagian besar berada di Desa Pamotan, dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh
Perum Perhutani. Hutan mangrove di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis termasuk hutan
produksi (HP) kelas hutan alam kayu lain tak baik untuk jati (HAKLTB), namun selama hampir 30
tahun belum dilakukan pengelolaan atau pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah kawasan hutan
sehingga terkesan sebagai lahan tidur. Konversi hutan mangrove tersebut oleh penduduk setempat
menjadi lahan persawahan padi dan pemukiman dilakukan karena hasil tangkapan ikan nelayan
Pamotan kian hari kian menurun akibat pendangkalan dan penyempitan Segara Anakan, sehingga
mereka beralih profesi menjadi petani padi. Masih 40% hutan mangrove di KPH Ciamis berupa rawa
atau semak belukar, namun di dalamnya telah dipenuhi patok-patok klaim hak atas lahan dari
masyarakat setempat. Seluruh hutan mangrove di KPH Ciamis kini tengah menghadapi bencana
kepunahannya. KPH Ciamis memberi perhatian atas hutan mangrovenya setelah sebagian dikonversi
oleh masyarakat setempat menjadi persawahan dan pemukiman penduduk.
Usaha mengembangkan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) untuk hutan
mangrove oleh KPH Ciamis baru dalam tahap wacana. Perlu pula dirintis kerjasama antara Perum
Perhutani khususnya KPH Ciamis, Proyek Rehabilitasi dan Konservasi Segara Anakan, serta
Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk mengkonservasi Segara Anakan dan hutan mangrove desa
Pamotan di wilayah hilir DAS Citanduy, dengan cara melakukan rehabilitasi dan konservasi wilayah
hulu DAS Citanduy.

Kata kunci : Mangrove, Ciamis, Perhutani

I. PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove dengan berbagai jenis vegetasi penyusunnya memiliki karakteristik khas,
berbagai fungsi ekologi, sosial, ekonomi, dan politis/administratif, sehingga keberadaannya sangat
berarti bagi lingkungan dalam arti luas. Fungsinya dalam mempertahankan keseimbangan ekologi
pesisir/laut pada umumnya dan perikanan pada khususnya, dikarenakan ekosisitem mangrove terletak
di wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut.
Karakteristik umum wilayah laut dan pesisir adalah (Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah, 2003):
a) Laut merupakan common property resources, sehingga kawasannya memiliki fungsi publik.
b) Laut merupakan open access regime, sehingga memungkinkan siapa pun memanfaatkan ruang
tersebut untuk berbagai kepentingan.
c) Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah
dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik.
d) Pesisir merupakan kawasan kaya akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan
maupun ruang lautan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dengan karakteristik laut dan pesisir yang demikian terbuka, aksesibilitas sangat baik,
strategis dan kaya sumberdaya alam, maka ekosistem kawasan mangrove menghadapi ancaman sangat
berat yang datang dari berbagai sektor atau berbagai stakeholder. Karena banyak manfaat ekonomis
2

yang diperoleh maka makin berat beban kerusakan ekologis yang ditimbulkannya, sebaliknya makin
sedikit manfaat ekonomis maka makin ringan kerusakan ekologis yang ditimbulkannya.
Pada tahun 1980-an, Perum Perhutani Unit III menyatakan bahwa luasan hutan mangrove
dalam kawasan hutan Jawa Barat adalah 6.971 ha yang tersebar di tiga KPH, yaitu KPH Bogor, KPH
Purwakarta dan KPH Indramayu (Anonim, 1980). Sebaliknya di KPH Ciamis yang terletak di pantai
selatan tidak terdapat hutan mangrove. Namun hasil inventarisasi hutan mangrove Jawa Barat oleh
Dinas Kehutanan Propinsi Tahun 2004 menyatakan bahwa di Kabupaten Ciamis terdapat hutan
mangrove seluas 170 ha tetapi lokasinya di luar kawasan hutan. Selanjutnya diperoleh informasi bahwa
Dusun Majengklak di Desa Pamotan yang berada di pantai Segara Anakan, secara fisik berupa
kawasan mangrove dan lokasinya berada di wilayah kerja KPH Ciamis.
Perbedaan data dan informasi tentang luas dan keberadaan hutan mangrove di Ciamis
menarik perhatian untuk dikaji. Tulisan ini menyajikan informasi tentang keberadaan dan kondisi
hutan mangrove di pantai selatan Kabupaten Ciamis beserta bentuk interaksi dan tekanan masyarakat
setempat terhadap kawasan tersebut.

II. METODOLOGI

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada awal tahun 2006 di Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Di
Kabupaten Ciamis terdapat kawasan mangrove di muara Sungai Citanduy, menghadap ke Segara
Anakan dan secara administratif terletak di Dusun Majengklak Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang,
dikelola oleh Perum Perhutani namun dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

B. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan menggunakan metoda pencatatan untuk memperoleh data
sekunder, serta metoda konsultasi dan pengamatan lapangan untuk memperoleh data primer.
Pencatatan data sekunder dilakukan di kantor Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat di Bandung,
Kantor KPH Ciamis di Ciamis, dan Kantor Pemerintah Desa Pamotan. Konsultasi dilakukan kepada
Pejabat Perum Perhutani, Kepala Desa Pamotan dan tokoh masyarakat Majengkalak. Sebagai dasar
pengumpulan data, digunakan indikator keberhasilan pengelolaan hutan dan lahan mangrove, yaitu
indikator ekologi, sosial dan ekonomi, dan kelembagaan.

C. Analisis Data
Analisis data kuantitatif dilakukan menggunakan metoda tabulasi serta analisis data kualitatif
dilakukan menggunakan metoda evaluatif, komparatif, dan deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Misi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat


Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.2 Tahun 1978 tanggal 3 Februari 1978,
Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat pada waktu itu diubah menjadi Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat. Demikian pula sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian
No.121/Kpts/Org/2 /1978, Brigade Planologi Kehutanan Jawa Barat saat itu juga dilebur ke dalam
satuan kerja Perum Perhutani dengan nama Biro Perencanaan Unit III Perum Perhutani Jawa Barat.
KPH Ciamis merupakan salah satu KPH diantara 14 KPH yang telah ada sejak Perum Perhutani Unit
III berdiri di Propinsi Jawa Barat.
Di wilayah Jawa Barat pada waktu itu terdapat dua instansi kehutanan lainnya, yaitu
Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) dibawah Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam,
serta Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai
(P3RPDAS) dibawah Direktorat Reboisasi.
Sebagaimana disampaikan dalam Pokok-Pokok Sambutan Menteri Pertanian pada acara serah
terima Urusan Kehutanan Jawa Barat kepada Perum Perhutani Unit III tanggal 27 Februari 1978,
bahwa pengelolaan seluruh areal hutan di Pulau Jawa dan Madura dilaksanakan oleh satu instansi saja
yaitu Perum Perhutani yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1972. Perum
Perhutani amat penting artinya bagi usaha peningkatan kelestarian hutan serta pendayagunaannya
secara maksimal baik sebagai sumber pendapatan negara maupun untuk meningkatkan kesejahteraan
3

masyarakat mengingat daya dukung lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi untuk ketiga
Propinsi Jawa-Madura relatif sama.
Pada tahun 1980-an luas hutan di Jawa tinggal 23% dari luas pulau Jawa. Sementara itu luas
pulau Jawa sendiri sebenarnya hanya sekitar 7% dari luas seluruh Indonesia, namun jumlah
penduduknya sekitar 63% dari seluruh penduduk Indonesia. Kondisi tersebut memberi gambaran
bahwa tekanan jumlah penduduk terhadap keberadaan kawasan hutan di pulau Jawa sangatlah berat.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, tugas atau misi yang diemban oleh Perum Perhutani
khususnya Unit III mencakup tiga aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial yang secara rinci
adalah sebagai berikut.
1. Memelihara, meningkatkan, merehabilitasi fungsi hidro-orologis dan kelestarian alam yang berupa
hutan sehingga:
a. Banjir di musim hujan, pendangkalan waduk/bendungan, muara sungai dan saluran air,
dengan segala akibatnya yang merugikan tersebut dapat dihindarkan/dikurangi.
b. Debit sungai di musim kemarau tidak merosot dan akibat kekeringan dapat
dihindarkan/dikurangi.
c. Air dalam tanah yang kini dimanfaatkan melalui pembuatan sumur-sumur bor untuk
pertanian dapat dipelihara kondisinya.
2. Meningkatkan pendapatan negara.
a. Peningkatan hasil devisa melalui ekspor kayu, gondorukem dan hasil hutan lainnya.
b. Peningkatan hasil jual dalam negeri terutama kayu bangunan, kayu bakar untuk rakyat dan
industri kecil, arang dan lain sebagainya.
c. Peningkatan pendapatan negara/daerah dari hutan wisata dan hutan buru yang terbina
dengan baik.
3. Membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat lingkungan hutan sendiri,
dengan penambahan lapangan kerja dalam kegiatan eksploitasi hutan, reboisasi, dan industri
pengolahan hasil hutan di samping berbagai usaha peningkatan pendayagunaan hutan untuk
kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Dengan tercapainya fungsi hidro-orologis hutan, secara tidak langsung akan membantu
meningkatkan dan mengamankan hasil-hasil pertanian (tanaman pangan khususnya padi dan palawija),
perikanan kolam/sawah/tambak, perkebunan seperti tebu, tembakau dan lain-lain.
Pada awal dekade berdirinya di tahun 1980-an, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat juga
memiliki misi bahwa eksistensi hutan mangrove semakin ditutut terbina dengan baik, sehubungan
dengan fungsinya dalam menjaga keseimbangan ekologi kehidupan pantai/laut pada umumnya dan
perikanan pada khususnya. Di lain pihak kenyataan bahwa penduduk desa sekitar areal hutan
mangrove yang bermata pencaharian sebagai petani ikan atau nelayan menjadikan hutan mangrove
selalu rawan keamanannya. Guna mengembalikan kondisi hutan mangrove kepada fungsinya dan
bahkan meningkatkan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, perlu secepatnya
dilaksanakan penertiban serta percepatan penghutanannya kembali.
Diketahui bahwa pertumbuhan tanaman hutan mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Untuk itu adanya parit-parit dihutan mangrove yang terkelola dengan baik sangat dibenarkan.
Parit-parit hutan mangrove itulah yang dapat dijadikan empang pemeliharaan ikan oleh penduduk
dengan bimbingan khusus oleh Perhutani bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan Dinas
Perkoperasian setempat dalam upaya pemasaran hasilnya. Pembinaan/percontohan empang-parit
hutan akan terus dikembangkan di ketiga KPH yang memiliki hutan mangrove yaitu KPH Bogor,
Purwakarta dan Indramayu (Anonim, 1980).
Berdasarkan misi pada tahun 1980-an tersebut tampak bahwa Perum Perhutani Unit III akan
segera melaksanakan penertiban dan percepatan penghutanan kembali atas hutan mangrove di Jawa
Barat, sehingga dapat berfungsi menjaga keseimbangan ekologi kehidupan pantai/laut dan perikanan,
serta meningkatkan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

B. Hutan Mangrove Di KPH Ciamis


Pada tahun 1980-an, Perum Perhutani Unit III menyatakan bahwa luasan hutan mangrove
dalam kawasan hutan Jawa Barat adalah 6.971 ha, tersebar di tiga KPH, yaitu KPH Bogor, KPH
Purwakarta dan KPH Indramayu (Anonimus, 1980). Di KPH Ciamis dinyatakan tidak terdapat hutan
mangrove. Sementara itu pada tahun 2004 Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat melakukan
inventarisasi hutan mangrove yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat yang hasilnya disajikan dalam
Tabel 1.

Tabel 1. Luas hutan mangrove Jawa Barat Tahun 2004


4

Luas dan Kondisi Hutan Mangrove (Ha)


Kabupaten Dalam Kawasan Luar kawasan Total
Sedang Rusak Jumlah Sedang Rusak Jumlah Luas

1. Bekasi 386,21 10.094,94 10.481,15 - - - 10.481,15


2. Karawang 6.677,39 - 6.677,39 3,741,00 2.763,00 6.504,00 13.181,39
3. Subang 7.096,00 - 7.096,00 250,00 - 250,00 7.346,00
4. Cirebon - - - 190,00 - 190,00 190,00
5. Indramayu 5.616,48 2.407,07 8.023,55 696,80 - 696,80 8.720,35
6. Sukabumi 9,00 - 9,00 - - 9,00 9,00
7. Garut 21,00 5,50 26,50 0,50 5,00 5,50 32,00
8. Ciamis - - - 170,00 - 170,00 170,00

Jumlah 19.806,08 12.507,51 32.313,59 5.048,30 2.768,00 7.816,30 40,129,89


Sumber: Hasil inventarisasi hutan mangrove di Jawa Barat,
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (Sepetember 2004).

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa luas hutan mangrove di Jawa Barat adalah 40.129,89
ha, berada dalam kawasan hutan seluas 32.313,59 ha dan berada di luar kawasan hutan seluas 7.816,30
ha. Hutan mangrove tersebut tersebar di 8 kabupaten, yaitu 5 kabupaten di pantai utara dan 3
kabupaten di pantai selatan. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut di nyatakan bahwa di Kabupaten
Ciamis terdapat hutan mangrove seluas 170 ha yang berada di luar kawasan hutan.
Terdapat perbedaan data luas dan lokasi penyebaran hutan mangrove antara Dinas
Kehutanan Propinsi (2004) dan Perum Perhutani (1980-an) yang secara rinci perbedaan data dan
informasi tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hutan mangrove dalam kawasan hutan di Propinsi Jawa Barat


Mangrove dalam kawasan Tahun 1980- Tahun 2004/Dishut
No
hutan an/Perhutani
1 Luasan mangrove dalam 6.971 ha 32.313,59 ha
kawasan
2 Sebaran 3 KPH pantura/5 kab. 5 kab. pantura dan 3
pantura kab.pantai selatan
3 Kabupaten Ciamis tidak ada hutan mangrove ada hutan mangrove
170 ha di luar
kawasan hutan

Berdasarkan data tahun 1980-an maupun hasil konsultasi di kantor KPH Ciamis dinyatakan
bahwa di wilayah kerja KPH Ciamis tidak terdapat hutan mangrove. Demikian pula dalam peta kerja
KPH Ciamis tidak ditemukan adanya kelas perusahaan mangrove. Namun hasil Risalah Hutan KPH
Ciamis Tahun 2003 menunjukkan data sebagai berikut.
1. Petak 73 A di wilayah kerja RPH Kalipucang terletak di pantai selatan Kabupaten Ciamis
2. Luas Petak 73 A adalah 163,43 ha
3. Fungsi hutannya adalah Hutan Produksi (HP) termasuk kelas hutan alam kayu lain tak baik untuk
jati (HAKLTB)
4. Jenis tanah podsolik coklat, dalam, sarang, mantap, sedikit berbatu, kaya humus
5. Ketinggian tempatnya adalah 5 meter diatas permukaan laut
6. Bentuk kemiringan lereng landai timur
7. Hasil risalah tegakan adalah ditumbuhi rimba campuran jenis bakau, waru, tancang dan lain-lain.
Diperoleh informasi bahwa Petak 73A secara periodik terendam oleh air laut. Petak 73A ini
secara administratif terletak di Dusun Majengklak Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang. Secara
geografis, petak ini terletak di pesisir selatan Kabupaten Ciamis, disisi barat muara sungai Citanduy
dan di pantai Segara Anakan.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa petak tersebut berupa ekosistem mangrove,
meskipun saat ini tinggal sebagian kecil yang masih berupa semak belukar vegetasi mangrove. Di
dalam kawasan tersebut saat ini terdapat pemukiman penduduk, pelabuhan Majengklak, serta sebagian
lagi telah dikonversi menjadi persawahan padi. Selain itu terdapat pula jaringan listrik untuk memenuhi
kebutuhan penerangan penduduk Dusun Majengklak, serta membujur jalan aspal menuju pelabuhan
Majengklak. Pelabuhan Majengklak merupakan pelabuhan sungai yang melayani kapal-kapal kecil yang
mengangkut penumpang ke pelabuhan Cilacap atau ke daerah sekitarnya. Dengan data, informasi serta
5

hasil pengamatan lapangan tersebut maka Petak 73A yang luasnya 163,43 ha adalah termasuk kawasan
hutan mangrove.
Kondisi lapangan tersebut diduga diakomodasikan di dalam hasil inventarisasi hutan
mangrove oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004), dimana dinyatakan bahwa hutan
mangrove seluas 170 ha di Kabupaten Ciamis berada di luar kawasan hutan, diantaranya di Desa
Pamotan seluas 105 ha, atau di Kecamatan Kalipucang seluas 130 ha.
Lain halnya dengan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, yang
menyatakan bahwa hutan mangrove di Kabupaten Ciamis seluas 225 ha, diantaranya terdapat di Desa
Pamotan seluas 71,5 ha yang terdiri dari 27 ha di kawasan hutan dan 44,5 ha berupa hutan rakyat.
Meskipun data luasannya berbeda-beda namun hutan mangrove di Kabupaten Ciamis umumnya
dilaporkan sebagian besar berada di Desa Pamotan, sehingga berada dalam kawasan hutan negara
yang dikelola oleh Perum Perhutani.

C. Mangrove dan Penduduk Desa Pamotan


Dalam peta kerja KPH Ciamis, petak 73A termasuk hutan produksi (HP) kelas hutan alam
kayu lain tak baik untuk jati (HAKLTB). Sejauh ini di petak tersebut tidak pernah ada kegiatan
penanaman, rehabilitasi atau kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan lainnya. Bagi masyarakat
umum yang awam, yang tidak mengetahui keberadaan petak 73A dan lain sebagainya, sepinya petak
73A dari berbagai jenis kegiatan pengelolaan dan pengusahaan hutan pada umumnya telah
menimbulkan kesan bahwa kawasan tersebut merupakan lahan tidur. Hal ini diduga pada gilirannya
telah menumbuhkan minat masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai lahan pertanian padi, karena
kawasan tersebut selalu tergenang air.
Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa di petak 70B yang berbatasan dengan petak
73A dan masih sama-sama berlokasi di desa Pamotan, terdapat persawahan padi seluas 97 ha yang
digarap oleh masyarakat setempat. Terdapat sekitar 200 KK penduduk desa Pamotan yang menjadi
penggarap sawah tersebut. Semula para penggarap diminta membayar sewa garapan kepada Perum
Perhutani dengan tarif 25% dari hasil padinya. Namun pada tahun 2001 ada surat edaran dari Bupati
Ciamis tentang tidak diijinkannya Perum Perhutani untuk memungut sewa lahan sawah dari
masyarakat. Mulai tahun 2001 kegiatan pemungutan sewa lahan sawah tersebut dihentikan sampai
sekarang.
Diinformasikan bahwa masyarakat Dusun Majengklak Desa Pamotan sejak dahulu biasa
keluar masuk kawasan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan kayu, dan lain-lain. Namun sejak
tahun 2000, kawasan mangrove petak 73A mulai dikonversi oleh penduduk setempat menjadi lahan
persawahan padi. Sampai saat ini luas hutan mangrove yang masih tersisa hanya sekitar 40-an ha, dan
masyarakat masih berharap dapat memiliki lahan tersebut. Meskipun hutan mangrove yang tersisa kini
berupa semak belukar, namun di dalamnya telah dipenuhi dengan patok-patok yang dipasang oleh
masyarakat setempat sebagai tanda pengakuan hak atas lahan tersebut.
Berdasarkan informasi lapangan, ada tiga kelompok masyarakat yang melakukan konversi
mangrove menjadi lahan persawahan. Pertama, kelompok masyarakat yang memang tidak memiliki
lahan pertanian sehingga memerlukannya untuk dijadikan lahan persawahan. Kedua, kelompok
masyarakat yang memiliki lahan pertanian, tetapi masih merasa kurang banyak. Ketiga, kelompok
masyarakat yang ikut-ikutan mengkonversi hutan mangrove manjadi lahan persawahan karena
khawatir tidak kebagian.
Terkait dengan hal tersebut, di Desa Pamotan terdapat semacam peribahasa “Sabda ratu
adalah hukum”, artinya apa saja yang diucapkan oleh pejabat baik secara langsung dihadapan
masyarakat ataupun yang dapat dilihat dalam layar televisi, adalah panutan atau pegangan bagi
masyarakat untuk bertindak. Masyarakat juga hafal dengan isi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
bahwa hutan adalah kekayaan negara sehingga dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pesan televisi yang dijadikan panutan oleh penduduk Desa Pamotan yaitu “Hutan adalah tanah
Allah sehingga milik rakyat”. Oleh karena itu hutan mangrove yang dianggap sebagai lahan tidur karena
tidak diusahakan oleh Perhutani, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kegiatan
pertanian.
Sebagai instansi pemerintah yang memiliki kewenangan atas kawasan mangrove tersebut,
KPH Ciamis tampaknya baru memberi perhatian kepada keberadaan hutan mangrove di Dusun
Majengklak Desa Pamotan setelah sebagian dari kawasan tersebut dikonversi oleh masyarakat
setempat menjadi persawahan dan pemukiman penduduk. Ada rencana untuk mengembangkan
PHBM namun sejauh ini masih pada tahap wacana, karena kelembagaan di tataran masyarakat dan
Pemerintah Desa serta konsep pengelolaan fisik di lapangannya juga belum ada.
6

Dengan demikian selama hampir 30 tahun kehadiran KPH Ciamis, kawasan hutan mangrove
tersebut terabaikan karena belum pernah dilakukan pengelolaan atau pengusahaan sebagaimana
mestinya sebuah kawasan hutan, sehingga akhirnya masyarakatlah yang mengusahakannya untuk lahan
persawahan padi dan pemukiman penduduk. Kehadiran pelabuhan Majengklak dengan bangunan fisik
komplek pelabuhannya yang dibarengi dengan tersedianya jaringan listrik dan prasarana jalan aspal
juga menjadi pendorong bagi penduduk setempat untuk mengembangkan pemukiman di kawasan
mangrove tersebut.

D. Gambaran Umum Desa Pamotan


Desa Pamotan berada di kawasan pesisir, wilayahnya berupa dataran rendah dengan
ketinggian hanya 2 m dari permukaan air laut. Batas-batas wilayah desa adalah:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kalipucang dan Sungai Citanduy
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Hindia dan Desa Emplak
3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Emplak
4. Sebelah timur berbatasan dengan Segara Anakan atau pulau Nusa Kambangan
Desa pesisir yang dikelilingi oleh sungai, Segara Anakan dan laut tersebut memiliki luas
wilayah 1.171,60 ha, dengan peruntukan dan penggunaan lahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.
Dalam tabel dapat dilihat bahwa di wilayah Desa Pamotan terdapat kawasan hutan seluas 330,57 ha,
dimana 105 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Namun dari luasan hutan mangrove tersebut,
dinyatakan bahwa seluas 42,05 ha atau 40% masih berupa rawa atau hutan mangrove. Sebagaimana
hasil pengamatan lapangan 60% dari luasan hutan mangrove yang ada di Desa Pamotan telah
dikonversi oleh penduduk setempat menjadi areal persawahan padi dan pemukiman penduduk.

Tabel 3. Peruntukan dan penggunaan lahan Desa Pamotan, 2006


No Peruntukan lahan Luas (ha) No Penggunaan lahan Luas (ha)
1 Jalan 4,14 1 Perdagangan 1,07
2 Sawah dan ladang 883,36 2 Perkantoran 8,07
3 Bangunan umum 15,14 3 Pasar desa 0,07
4 Pemukiman 20,86 4 Tanah wakaf 3,08
5 Pekuburan 5,00 5 Tanah sawah 335,00
6 Lain-lain 243,10 6 Tanah kering : 539,97
• Pekarangan 123,30
• Perladangan 203,00
• Perkebunan Negara 25,00
• Perkebunan Rakyat 188,67
• Hutan 330,57
o Hutan jati 25,00
o Hutan mangrove 105,00
(rawa: 42,04 ha)
Jumlah 1.1171,60 Jumlah 1.175,83
Sumber: Data Monografi Desa Pamotan, Kec. Kalipucang Kab. Ciamis, 2006.

Jumlah penduduk Desa Pamotan 3.785 orang yang terdiri dari 1.096 kepala keluarga (KK).
Mata pencaharian utama mayoritas penduduknya adalah nelayan (493 orang) dan petani (487 orang),
sisanya bekerja sebagai pedagang (165 orang), buruh tani (155 orang), karyawan (76 orang),
pertukangan (30 orang), dan pensiunan (17 orang).
Dusun Majengklak yang dihuni oleh 107 KK kini jumlah penduduknya kian bertambah
banyak dengan munculnya rumah-rumah baru dikiri-kanan jalan menuju pelabuhan. Hutan mangrove
di KPH Ciamis yang terletak di Dusun Majengklak tersebut sejak tahun 2000 menghadapi tekanan
penduduk yang makin besar. Meskipun 40% hutan mangrove yang tersisa kini masih berupa rawa atau
semak belukar, namun di dalamnya telah dipenuhi patok-patok klaim hak atas lahan dari masyarakat
setempat. Dengan demikian seluruh hutan mangrove di KPH Ciamis yang luasnya menurut
Monografi Desa Pamotan adalah 105 ha, atau menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Ciamis adalah 71,5 ha, atau menurut Hasil Risalah KPH Ciamis Tahun 2003 adalah 163,43 ha, kini
tengah menghadapi bencana kepunahannya.

E. Rehabilitasi DAS Citanduy dan Konversi Mangrove


7

Dusun di Desa Pamotan yang berbatasan dengan Segara Anakan adalah wilayah Dusun
Majengklak. Pemukiman penduduk Dusun Majengklak terkonsentrasi di pantai Segara Anakan,
karenanya secara fisik dipisahkan oleh hamparan persawahan dan sisa hutan mangrove dari
pemukiman penduduk dusun-dusun lainnya di Desa Pamotan. Seluruh penduduk Dusun Majengklak
memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Pekerjaan utamanya adalah pergi melaut, sehingga
penghasilan utamanya adalah dari hasil tangkapan ikan di laut. Diinformasikan bahwa belakangan ini
tangkapan ikan para nelayan Majengklak sangat menurun. Konon penyebabnya adalah kian sempit
dan dangkalnya Segara Anakan yang sejak dahulu merupakan tempat pemijahan ikan dan udang.
Laguna Segara Anakan merupakan suatu kawasan konservasi alam, memiliki fungsi ekonomi
dan ekologis, yaitu tempat pemijahan dan pembesaran ikan dan udang, serta memiliki terumbu karang
dan kawasan bakau yang indah. Namun, saat ini telah terjadi pendangkalan dan penyempitan yang
sangat hebat. Luas Segara Anakan yang pada tahun 1984 masih 3.000 ha, pada tahun 2003 tinggal 500
ha. Penyebab pendangkalan dan penyempitan adalah lumpur dan sampah-sampah yang terbawa oleh
aliran sungai yang bermuara ke Segara Anakan.
Akibat pendangkalan tersebut, fungsi ekologis sekaligus fungsi ekonominya terancam. Para
nelayan yang hidup dari potensi yang dimiliki oleh Sagara Anakan kini menghadapi permasalahan
makin menurunnya jumlah tangkapan ikan, utamanya nelayan di Cilacap Jawa Tengah, serta sebagian
kecil di Dusun Majengklak dan di Desa Bagola Kecamatan Pangandaran Jawa Barat. Demikian pula
beberapa daerah lain juga telah menjadi langganan banjir, seperti di Cilacap Jawa Tengah serta di
Kecamatan Kalipucang dan Dusun Majingklak Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
Menurut hasil kajian, Sungai Citanduy merupakan pembawa lumpur/sedimentasi yang
terbesar. Karena itu, salah satu solusi yang dipilih adalah mengalihkan sebagian aliran Sungai Citanduy
yang kemudian dikenal dengan Proyek Sudetan Citanduy. Pemerintah sejak tahun 1996 telah
menggagas upaya sudetan Sungai Citanduy sepanjang 3 km yang memisahkan Propinsi Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Penyudetan tersebut akan menggeser muara Citanduy sejauh 350 m ke arah laut bebas
dari muara yang sekarang (Kompas, Maret 2006).
Lokasi proyek sudetan Sungai Citanduy akan melalui jalur wilayah Desa Pamotan, termasuk
kawasan Perhutani, serta wilayah Desa Nusawere Kecamatan Pangandaran. Dengan demikian Sungai
Citanduy akan memiliki muara yang baru yaitu di Laut Nusawere Kabupaten Ciamis yang merupakan
laut bebas dan berlokasi sekitar 12 km dari lokasi wisata Pangandaran. Namun yang perlu diketahui
adalah sebagian besar penduduk Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran adalah nelayan yang
menangkap ikan di sekitar Nusawere.
Proyek tersebut dilaksanakan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah atas
bantuan dana dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang direncanakan selesai tahun 2008. Diantara
15 jenis kegiatan fisik-konstruksi dan konservasi, hanya satu proyek yang tertunda yaitu sudetan
Sungai Citanduy. Di antara 14 proyek lain yang tetap dilaksanakan adalah pembuatan sudetan Sungai
Cimeneng sepanjang 8,7 km, pengerukan perairan Laguna Segara Anakan sebesar 9 juta m3 untuk
mempertahankan agar luas Segara Anakan setidaknya 800 ha, peningkatan normalisasi Sungai Cikonde
sepanjang 20 km, rehabilitasi hutan mangrove yang rusak seluas 1.125 ha di sekitar laguna Segara
Anakan dan reboisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeneng dan Cikawung (Kompas, September
2003).
Penundaan proyek sudetan Sungai Citanduy dilakukan sampai waktu yang tidak ditentukan,
akibat tingginya potensi konflik sosial diantara dua kelompok masyarakat dua propinsi yang saling
berbatasan tersebut. Kelompok yang mendukung pelaksanaan proyek sudetan Citanduy adalah
masyarakat Cilacap Jawa Tengah yang selalu kebanjiran. Sementara itu kelompok yang menolak adalah
masyarakat Ciamis Jawa Barat yang khawatir potensi perikanan dan pariwisata di pantai Pangandaran
hilang, dengan alasan pembuatan sudetan tidak akan memecahkan masalah tetapi hanya memindahkan
masalah sedimentasi ke Teluk Nusawere. Penundaan tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.137 Tahun 2003 tertanggal 5 September 2003 (Kompas,
September 2003).
Namun akibat tertundanya penyudetan Sungai Citanduy, sejak akhir Maret 2005 ADB telah
menghentikan bantuannya. Upaya pengerukan Segara Anakan yang memerlukan biaya besar
dipandang sia-sia, karena tingkat sedimen Sungai Citanduy sangat tinggi (Kompas, 31 Maret 2006).
Oleh karena itu, pembuatan sudetan Sungai Citanduy memang sebaiknya disertai dengan pembenahan
atau konservasi di daerah hulu yang telah gundul dan rusak. Selain itu, solusi konflik yang diharapkan
diperoleh dari bawah yaitu melalui Pemerintah Daerah setempat yang langsung menghadapi
permasalahan, seharusnya dapat segera diperoleh.
Dalam hal ini, upaya rehabilitasi dan konservasi DAS Citanduy khususnya wilayah hulu
menjadi kebutuhan strategis untuk menunjang keberhasilan normalisasi Segara Anakan dan konservasi
8

kawasan mangrove di Desa Pamotan yang berada diwilayah hilirnya. DAS Citanduy tersebut berada di
dalam wilayah kerja KPH Ciamis, dan secara administratif terletak di Propinsi Jawa Barat. Di wilayah
kerja KPH Ciamis terdapat 2 DAS yaitu DAS Citanduy dan DAS Cimedang. DAS Cimedang meliputi
dua aliran sungai Cimedang dan sungai Cijulang, sedangkan DAS Citanduy meliputi dua aliran sungai
Citanduy dan sungai Cimuntur, yang semuanya bermuara di samudera Indonesia (Anonimus, 1980).
Informasi yang diperoleh menyatakan bahwa proyek Sudetan Citanduy tidak memiliki
kegiatan rehabilitasi wilayah DAS Citanduy. Proyek tersebut hanya memiliki kegiatan rehabilitasi
wilayah DAS yang berada di Propinsi di Jawa Tengah, yaitu DAS Cimeneng dan Cikawung.
Masyarakat nelayan Nusawere berharap agar potensi perikanan Nusawere dan pariwisata di pantai
Pangandaran tetap lestari sehingga dapat ditempuh melalui rehabilitasi dan konservasi hulu DAS
Citanduy. Untuk membantu penyelesaian konflik yang menghambat pelaksanaan rehabilitasi dan
konservasi Segara Anakan pada umumnya, perlu dibangun kerjasama antara Perum Perhutani
khususnya KPH Ciamis, Proyek Rehabilitasi dan Konservasi Segara Anakan, serta Pemerintah
Kabupaten Ciamis. Kerjasama tersebut memusatkan pada upaya mengatasi kerusakan hulu sungai
Citanduy melalui rehabilitasi dan konservasi wilayah DAS Citanduy.
Terkait dengan hal tersebut, dalam prioritas pembangunan Pemerintah Kabupaten Ciamis
diperoleh penjelasan bahwa Badan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Ciamis sejauh ini
lebih mengalokasikan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) Kabupaten untuk kegiatan rehabilitasi
kawasan hulu, dengan pertimbangan bahwa kerusakan lingkungan daerah hulu akan berakibat kepada
kerusakan lingkungan di daerah hilir termasuk terganggunya pasokan air untuk keperluan rumah
tangga maupun sektor pertanian. Perbaikan lingkungan daerah hilir dipandang belum dapat
memecahkan masalah kerusakan lingkungan secara keseluruhan. Karena itu, Dinas Kehutanan
Kabupaten Ciamis sejauh ini masih memusatkan pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis di lahan kering.
Prioritas pembangunan tersebut tampak sejalan dengan mendesaknya kebutuhan rehabilitasi hulu
sungai Citanduy, sehingga diharapkan dapat mendukung upaya terjalinnya kerjasama tersebut.
Bila ditelaah lebih dalam, dalam isu rencana Sodetan Sungai Citanduy terdapat isu-isu yang
lebih spesifik berupa manfaat, resiko dan dampak tidak langsung sebagai berikut.
a. Penyelamatan Segara Anakan yang merupakan tempat pemijahan ikan dan udang.
b. Dapat mengurangi tingginya bencana banjir.
c. Berdampak pada pembebasan lahan.
d. Memunculkan kekhawatiran dampak negatif pada lokasi pariwisata dan tangkapan ikan nelayan.
e. Dampak-dampak negatif pada saat pengerjaan konstruksi.
Dalam hal ini diduga ada keterkaitan antara upaya konversi hutan mangrove di Majengklak
oleh penduduk setempat sejak tahun 2000 dengan rencana Sudetan Citanduy.
1. Hasil tangkapan ikan yang kini dirasakan kian menurun oleh nelayan Majengklak akibat
pendangkalan dan penyempitan Segara Anakan menyebabkan nelayan Majengklak akan beralih
profesi menjadi petani padi atau petani budidaya ikan tambak, sehingga mereka memerlukan
lahan untuk sawah maupun tambak yang diperoleh dengan cara mengkonversi hutan mangrove.
2. Upaya konversi hutan mangrove dan pemasangan patok klaim di hutan mangrove yang masih
tersisa, mungkin dikarenakan mereka berharap akan memperoleh ganti rugi pembebasan lahan
dari Proyek Sudetan Citanduy yang akan melewati wilayah tersebut.
Kepala Desa Pamotan juga menyatakan bahwa 100% penduduk Desa Pamotan mendukung
upaya pemerintah dalam memperbaiki kondisi lingkungan Segara Anakan serta pelaksanaan Proyek
Sudetan Sungai Citanduy, dengan alasan:
1. Sudetan Sungai Citanduy akan mengurangi bencana banjir yang secara periodik mengancam desa
tersebut
2. Dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun pelaksanaan proyek tersebut akan membuka kesempatan
kerja bagi penduduk Pamotan
3. Mereka yakin bahwa pemerintah tidak akan menyengsarakan rakyatnya
4. Pulihnya Segara Anakan akan menyebabkan hasil tangkapan ikan akan banyak lagi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Data luas hutan mangrove di Kabupaten Ciamis sangat bervariasi, namun sebagian dilaporkan
berada di Desa Pamotan atau dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani.
Ciamis (ha) Pamotan
No Sumber data Th.
Dlm hutan Luar hutan (ha)
9

1 Perhutani 1980 0 - -
2 Perhutani 2003 163,43 - 163,43
3 Dishut Propinsi 2004 0 170 105
4 Dinas Kelautan Perikanan 2006 44,50 180,50 71,50
Kab.
5 Monografi Ds. Pamotan 2006 105 - 105

2. Hutan mangrove di KPH Ciamis termasuk hutan produksi (HP) kelas hutan alam kayu lain tak
baik untuk jati (HAKLTB), namun selama hampir 30 tahun belum pernah dilakukan pengelolaan
atau pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah kawasan hutan sehingga terkesan sebagai lahan
tidur, karenanya masyarakat mengusahakannya untuk lahan persawahan padi dan pemukiman
penduduk.
3. KPH Ciamis memberi perhatian kepada hutan mangrove setelah sebagian dikonversi oleh
masyarakat menjadi persawahan dan pemukiman penduduk. Usaha mengembangkan PHBM
masih dalam tahap wacana.
4. Pendangkalan dan penyempitan Segara Anakan menyebabkan hasil tangkapan ikan nelayan
Majengklak kian menurun, untuk beralih profesi menjadi petani padi atau ikan tambak perlu lahan
yang diperoleh dengan cara mengkonversi hutan mangrove.
5. Masih 40% hutan mangrove di KPH Ciamis berupa rawa atau semak belukar, namun di dalamnya
telah dipenuhi patok-patok klaim hak atas lahan dari masyarakat setempat, karenanya seluruh
hutan mangrove di KPH Ciamis kini tengah menghadapi bencana kepunahannya.

Saran
Perlu dirintis kerjasama antara Perum Perhutani khususnya KPH Ciamis, Proyek Rehabilitasi dan
Konservasi Segara Anakan, serta Pemerintah Kabupaten Ciamis, untuk mengkonservasi Segara
Anakan dan hutan mangrove desa Pamotan di wilayah hilir DAS Citanduy dengan cara
melakukan rehabilitasi dan konservasi wilayah hulu DAS Citanduy.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1980. Mengenal Hutan Jawa Barat, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Bandung.

Anonim. 2003. Potensi konflik tinggi, Sudetan Citanduy ditunda. Kompas September 2003. Jakarta.

Anonim. 2003. AMDAL Proyek Sudetan Sungai Citanduy dianggap layak dari sisi lingkungan.
Kompas September 2003. Jakarta.

Anonim. 2004. Laporan hasil Inventarisasi Hutan Mangrove di Jawa Barat Sepetember 2004, Dinas
Kehutanan Propinsi Jawa Barat, Bandung.

Anonim. 2006. Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis, Pamotan.

Anonim. 2006. Setneg segera turunkan Tim Segara Anakan, Kompas 31 Maret 2006, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai