SISTEM REPRODUKSI
MODUL 1
TIDAK HAID
OLEH :
KELOMPOK 1
ANDI ARDIATMA
AKBAR YUNUS
ANNISYAH HARIADI
DZATA BAHJAH
FARADITA RELUBUN
FITRIAH SYAM
ISRADI FEBRIANTO
PUANGKA ISTAM R.
RESKI APRIANTI PINNI
SRI ANNAA
2010-2011
Skenario
Nona Ani, 15 tahun, datang ke klinik dengan keluhan belum mendapat haid. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan perkembangan payudara (+).
Kata kunci
Nn Ani 15 tahun.
Keluhan belum mendapat haid
Pertanyaan
Jawaban
GENITALIA
INTERNA
Uterus
Suatu organ muskular
berbentuk seperti buah
pir, dilapisi peritoneum
(serosa). Selama
kehamilan berfungsi
sebagai tempat
implatansi, retensi dan
nutrisi konseptus. Pada
saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan serviks uterus, isi
konsepsi dikeluarkan. Terdiri dari corpus, fundus, cornu, isthmus dan serviks uteri.
Serviks uteri
Bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan / menembus dinding dalam
vagina) dan pars supravaginalis. Terdiri dari 3 komponen utama: otot polos, jalinan jaringan ikat
(kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar di dalam rongga vagina yaitu portio cervicis
uteri (dinding) dengan lubang ostium uteri externum (luar, arah vagina) dilapisi epitel
skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium uteri internum (dalam, arah cavum). Sebelum
melahirkan (nullipara/primigravida) lubang ostium externum bulat kecil, setelah pernah/riwayat
melahirkan (primipara/ multigravida) berbentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah ke
kaudal-posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lendir getah
serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam,
peptida dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir serviks dipengaruhi siklus haid. spina
ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lendir getah serviks yang mengandung
glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam, peptida dan air. Ketebalan
mukosa dan viskositas lendir serviks dipengaruhi siklus
haid.
Ligamenta penyangga uterus Ligamentum latum uteri, ligamentum rotundum uteri, ligamentum
cardinale, ligamentum ovarii, ligamentum sacrouterina propium, ligamentum
infundibulopelvicum, ligamentum vesicouterina, ligamentum rectouterina.
Vaskularisasi uterus Terutama dari arteri uterina cabang arteri hypogastrica/illiaca interna, serta
arteri ovarica cabang aorta abdominalis
Tuba Falopii Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-
kanan, panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai cavum
uteri. Dinding tuba terdiri tiga lapisan: serosa,
muskular (longitudinal dan sirkular) serta mukosa
dengan epitel bersilia. Terdiri dari pars
interstitialis, pars isthmica, pars ampularis, serta
pars infundibulum dengan fimbria, dengan
karakteristik silia dan ketebalan dinding yang
berbeda-beda pada setiap bagiannya (gambar).
Pars isthmica (proksimal/isthmus) Merupakan bagian dengan lumen tersempit, terdapat sfingter
uterotuba pengendali transfer gamet.
Pars ampularis (medial/ampula) Tempat yang sering terjadi fertilisasi adalah daerah ampula /
infundibulum, dan pada hamil ektopik (patologik) sering juga terjadi implantasi di dinding tuba
bagian ini.
Pars infundibulum (distal) Dilengkapi dengan fimbriae serta ostium tubae abdominale pada
ujungnya, melekat dengan permukaan ovarium. Fimbriae berfungsi "menangkap" ovum yang
keluar saat ovulasi dari permukaan ovarium, dan membawanya ke dalam tuba.
Mesosalping Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).
Ovarium Organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga peritoneum, sepasang kiri-
kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan pembuluh darah dan saraf, terdiri
dari korteks dan medula. Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel
menjadi ovum (dari sel epitel germinal primordial di lapisan terluar epital ovarium di korteks),
ovulasi (pengeluaran ovum), sintesis dan sekresi hormon-hormon steroid (estrogen oleh teka
interna folikel, progesteron oleh korpus luteum pascaovulasi). Berhubungan dengan pars
infundibulum tuba Falopii melalui perlekatan fimbriae. Fimbriae "menangkap" ovum yang
dilepaskan pada saat ovulasi. Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii proprium, ligamentum
infundibulopelvicum dan jaringan ikat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta abdominalis
inferior terhadap arteri renalis.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-
perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan
oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan
folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel
yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan
siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada
kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus
bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik
positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan
sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.
3. Patomekanisme Amenorhea
Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut
normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah menopause.
Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus-hipofisi-aksis indung
telur serta organ reproduksi yang sehat (lihat artikel menstruasi). Amenorea sendiri terbagi dua,
yaitu :
Amenorea primer
Amenorea primer adalah keadaan tidak terjadinya menstruasi pada wanita usia 16 tahun.
Amenorea primer terjadi pada 0.1 – 2.5% wanita usia reproduksi
Amenorea sekunder
Amenorea sekunder adalah tidak terjadinya menstruasi selama 3 siklus (pada kasus
oligomenorea<jumlah darah menstruasi sedikit>), atau 6 siklus setelah sebelumnya mendapatkan
siklus menstruasi biasa. Angka kejadian berkisar antara 1 – 5%
Secara umum Amenorhae disebabkan oleh :
Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).
Dari kasus diatas maka bisa disimpulkan bahwa anak ini masuk dalam Amenorhea Primer
yang disebabkan oleh gangguan pada Agenesis uterovaginal atau Gangguan Kompartemen
1:
GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN I
Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser
syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan
tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea
primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang
dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau
adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai
saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu.
Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri
abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe
pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang
normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau
kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan penderita normal.1,4
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan
ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus
tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta
tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak
diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid,
hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.1,9
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila
memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah
dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan
dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian
oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu
diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama
20 menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar,
vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi
operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan
metode Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas
masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan
adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk
melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika
serviks atresia, uterus harus diangkat.1,2
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi
sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum
transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi
introitus pada manuver Valsava.1,2
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan
satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan
dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan
peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera
mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena
dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.
Susan M. Carter dan Susan J. Gross memberikan panduan diagnosis penderita dengan
agenesis vagina ( Mayer-Rokitansky Syndrome) secara sistematis, mulai dari anamnesis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Riwayat perjalanan penyakit
a. Keluhan yang paling sering ditemukan adalah amenorhoe primer dan nyeri abdomen.
Pasien mengalami masa pubertas dengan masa telarche yang normal. Karena ovarium
berfungsi secara normal, penderita mengalami perubahan-perubahan pada tubuhnya
sesuai dengan siklus menstruasi.
b. Tidak dapat melakukan hubungan seksual, dikarenakan tidak adanya liang vagina.
Tingkatan aplasia vagina dapat bervariasi dari tidak ada sama sekali vagina hingga
saluran vagina yang berupa cekungan.
c. Malformasi ginjal yang paling sering ditemukan adalah tidak adanya ginjal atau ginjal
ektopik. Beberapa penderita mengeluh kesulitan berkemih atau infeksi saluran kemih
berulang
d. Kelainan tulang vertebra, tetapi temuan pada tulang ini umumnya tidak mempunyai
kemaknaan klinis
2. Pemeriksaan fisik
a. Pertumbuhan tanda-tanda seksual sekunder normal dan timbulnya setelah masa pubertas,
sama seperti wanita normal lainnya.
b. Tinggi badan normal
c. Pemeriksaan vagina dengan spekulum tidak mungkin atau mengalami kesulitan tergantung
tingkat agenesis vagina.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kromosom perlu dilakukan untuk menyingkirkan kelainan kariotipe
kromosom X (misalnya sindroma Turner)
b. Gangguan kromosome lainnya mungkin termasuk kariotipe 46,XY, yaitu bentuk dari
sindroma insentisasi androgen (Androgen Insesitivity Syndrome/AIS)
c. Kadar hormon hCG, LH dan FSH dalam sirkulasi normal, menunjukkan fungsi ovarium
yang normal.
4. Pemeriksaan pencitraan
a. Ultrasonografi
USG merupakan pemeriksaan sonografi agenesis vagina yang baik karena tidak
menimbulkan radiasi noninvasif dan tidak mahal. USG dapat dengan mudah menentukan
batas atas vagina dan panjangnya. USG juga dapat mengidentifikasi kelainan uterus dan
obstruksi tuba. Pemeriksaan ginjal dan vesika urinaria juga dapat dilakukan dengan USG.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberikan pencitraan yang terbaik dari jaringan seperfisial dan jaringan
yang lebih dalam. MRI dapat mengklarifikasi hasil pemeriksaan USG mengenai cavum
uterus, dan dapat memeriksa struktur subperitoneal serta dapat mendeteksi adanya serviks
uteri.
c. Laparoskopi
Laparoskopi hanya dapat memberikan pemeriksaan cvum uteri secara tidak langsung.
Tindakan laparoskopi lebih dipilih bila didapatkan sisa uterus atau ada endometriosis
yang menyebabkan nyeri pelvis memerlukan eksisi.
d. Pyelografi, dilakukan untuk memeriksa struktur ginjal
e. Radiologi, dilakukan pemeriksaan foto rontgen spinal untuk mengetahui kelainan vertebra
TERAPI
Flap pudendal merupakan flap fasciocutaneus dengan serabut syaraf sensoris dengan
dasar cabang akhir arteri perineal superfisial, cabang dari arteri pudenda interna. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa penggunaan flap ini secara bilateral untuk merekonstruksi vagina
terutama pasien dengan atresia kongenital. Tehnik ini sederhana, aman dan realibel dan tidak
perlu menggunakan dilator setelah operasi. Sudut inklinasi vagina fisiologis dan alami,
bagian donor dapat ditutup secara primer dan meninggalkan scar linier yang tak terlihat dan
vagina yang baru mempunyai sensasi dengan potensi erogen seperti perineum dan paha atas.
Secara bersamaan, ruang antara vesica urinaria dan rektum dibuat dengan diseksi secara
tajam dan tumpul. Diseksi dilanjukkan sampai ruangan cukup besar sehingga tiga jari dapat
masuk dan diseksi anterior dan posterior yang dilakukan pada laparotomi dapat dicapai.
Kemudian flap fasciocutaneous pudendal dengan ukuran 14,5-16,5 cm x 5-6 cm dimasukkan
pada daerah lipat paha
Insisi dimulai pada ujung anterior flap, kemudian diperdalam melalui jaringan kulit dan
subkutan pada fascia sebelah dalam pada kedua sisi, kecuali pada ujung posterior flap.
Fascia dalam dijahit pada kulit bagian naterior, dan flap diankat dengan fascia dalam dan
epimisium memalui bagian proksimal otot adduktor. Pada bagian posterior, kulit dan
jaringan subkutan diinsisi sepanjang 1,5 cm dan dibuat terowongan sejajar kulit. Dengan
cara ini flap dapat dibuat terowongan pada arah medial labia. (Gambar 4 ).
3. Penggunaan kolon sigmoid (Metode Wagner)
Penggunakan graft dengan usus untuk operasi agenesisi vagina diperkenalkan 100 tahun
yang lalu oleh Baldwin. Karena morbiditasnya tinggi, penggunaan usus dalam sejarah tidak
digunakan sebai terapi pilihan pertama. Tetapi keuntungan tehnik ini memberikan hasil
anatomis yang baik. Dengan peningkatan tehnik anastomosis colorektal, persiapan usus yang
baik, dan penggunaan antibiotik prophilaksis sehingga sekarang ini penggunaan graft
sigmoid menjadi terapi pilihan pertama.
Persiapan mekanis usus (dengan polyethylene glycol dan enema rektal) dimulai 36 jam
sebelum operasi. Antibiotik diberikan selama operasi dan dilanjutkan tiga-empat hari setelah
operasi. Prosedur operasi dengan tehnik insisi Pfannenstiel. Setelah memeriksa anatomi
organ genitalia interna dan mobolitas dan panjang kolon, tanduk ueterus yang rudimenter
dan bagian atas septum fibromuskuler dibuang.
Kemudian, sebuah saluran dibuat antara vesika urinaria dan rektum, dari kavum Dauglas
ke perineum. Perlukaan vesika urinaria dan rektum dicegah dengan memasukkan ruang
vestibular dengan dilator transparan yang bercahaya dari perineum.
Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan kolon sigmoid secara Champeau. Setelah
pengangkatan kolon sogmoid, 15-20 cm di atas rectosigmoid junction. Kemudian segmen
kolon dibawa ke perineum melalui saluran antara vesica urinaria dan rektum. Dilakukan
anastomosis colovestibular dengan benang polyglactine 3/0 secara terputus. Ujung
neovagina dijahit pada fascia promontorium dengan benang polyester. Tindakan diakhiri
dengan penutupan mesosigmoid dan rongga abdomen abdomen.
4. Metode Vecchietti
DAFTAR PUSTAKA
1. Supono. Anatomi alat-alat reproduksi wanita. Palembang, 1985: 5-23
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Anatomi alat kandungan. Dalam Ilmu
Kebidanan. Jakarta 1999; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo edisi 3 :31-44
3. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Anatomy of the Reproductive Tract. In
Wiiliams Obstetrics. 20th edition New York; Prentice-Hall International 1997: 37-67
4. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgical anatomy of the Female Pelvis. In Te Linde’s Operative
Gynecology. 8th edition Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:63-93
5. Junizaf. Penanganan kasus agenesis vagina. Dalam Buku ajar Uroginekologi. Jakarta 2002;
Subbagian Uroginekologi-Rekonstrtuksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN-
CM:97-102
6. Junizaf. Penatalaksanaan Kelainan Bawaan Alat Genitalia Wanita. Workshop Vaginal
Surgery; Jakarta 9-10 Februari 2004.
7. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgery for Anomalies of mullerian duct. In Te Linde’s
Operative Gynecology. 8th edition Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:687-730
8. ACOG Comitte Opinion. Number 274, July 2002. Non surgical diagnosis and management of
vagina agenesis. Obstet Gynecol 2002; 100:213-216
9. Fedela L, Biaqnchi S, Tozzi L, Borruto F, Vignali M. A new laparoscopic procedure for
creation of a neovagina in Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil Steril
1996;66:854-857
10. Communal PH, Maesson MC, Golfier F. Raudrant D. Sexuality after sigmoid colpopoiesis in
patient with Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil Steril 2003;80:600-606
11. Sadler TW. Susunan kemih dan kelamin dalam Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 5
Jakarta; EGC 1993:247-280
12. Wiknjosastro H, Rachimhadhi T.Emnbriologi sistem alat-alat urogenital. Dalam Ilmu
Kandungan. Jakarta 1999; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo edisi 3 :27-42
13. Jones WH, Mermut S. Familial accurance of congenital absence of vagina. Am J Obstet
Gynecol 1972;114:1100-1101