Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PBL

SISTEM REPRODUKSI
MODUL 1

TIDAK HAID

OLEH :

KELOMPOK 1

ANDI ARDIATMA
AKBAR YUNUS
ANNISYAH HARIADI
DZATA BAHJAH
FARADITA RELUBUN
FITRIAH SYAM
ISRADI FEBRIANTO
PUANGKA ISTAM R.
RESKI APRIANTI PINNI
SRI ANNAA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2010-2011
Skenario

Nona Ani, 15 tahun, datang ke klinik dengan keluhan belum mendapat haid. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan perkembangan payudara (+).

Kata kunci

 Nn Ani 15 tahun.
 Keluhan belum mendapat haid

 Perkembangan payudara (+)

Pertanyaan

1. Jelaskan Anatomi, histology, fisiologi yang terkait dengan kasus


2. Jelaskan Fisiologi dari haid
3. Jelaskan Patomekanisme tidak haid/Amenore
4. Bagaimana Langkah diagnosis dari kasus
5. Sebutkan, jelaskan Diferential diagnosis

Jawaban

1. Anatomi dan histologi sistem reproduksi

GENITALIA
INTERNA

Uterus
Suatu organ muskular
berbentuk seperti buah
pir, dilapisi peritoneum
(serosa). Selama
kehamilan berfungsi
sebagai tempat
implatansi, retensi dan
nutrisi konseptus. Pada
saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan serviks uterus, isi
konsepsi dikeluarkan. Terdiri dari corpus, fundus, cornu, isthmus dan serviks uteri.

Serviks uteri
Bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan / menembus dinding dalam
vagina) dan pars supravaginalis. Terdiri dari 3 komponen utama: otot polos, jalinan jaringan ikat
(kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar di dalam rongga vagina yaitu portio cervicis
uteri (dinding) dengan lubang ostium uteri externum (luar, arah vagina) dilapisi epitel
skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium uteri internum (dalam, arah cavum). Sebelum
melahirkan (nullipara/primigravida) lubang ostium externum bulat kecil, setelah pernah/riwayat
melahirkan (primipara/ multigravida) berbentuk garis melintang. Posisi serviks mengarah ke
kaudal-posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lendir getah
serviks yang mengandung glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam,
peptida dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir serviks dipengaruhi siklus haid. spina
ischiadica. Kelenjar mukosa serviks menghasilkan lendir getah serviks yang mengandung
glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam, peptida dan air. Ketebalan
mukosa dan viskositas lendir serviks dipengaruhi siklus
haid.

Corpus uteri Terdiri dari: paling luar lapisan


serosa/peritoneum yang melekat pada ligamentum latum
uteri di intraabdomen, tengah lapisan
muskular/miometrium berupa otot polos tiga lapis (dari
luar ke dalam arah serabut otot longitudinal, anyaman dan
sirkular), serta dalam lapisan endometrium yang melapisi dinding cavum uteri, menebal dan
runtuh sesuai siklus haid akibat pengaruh hormon-hormon ovarium. Posisi corpus intraabdomen
mendatar dengan fleksi ke anterior, fundus uteri berada di atas vesica urinaria. Proporsi ukuran
corpus terhadap isthmus dan serviks uterus bervariasi selama pertumbuhan dan perkembangan
wanita.

Ligamenta penyangga uterus Ligamentum latum uteri, ligamentum rotundum uteri, ligamentum
cardinale, ligamentum ovarii, ligamentum sacrouterina propium, ligamentum
infundibulopelvicum, ligamentum vesicouterina, ligamentum rectouterina.

Vaskularisasi uterus Terutama dari arteri uterina cabang arteri hypogastrica/illiaca interna, serta
arteri ovarica cabang aorta abdominalis

Tuba Falopii Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-
kanan, panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai cavum
uteri. Dinding tuba terdiri tiga lapisan: serosa,
muskular (longitudinal dan sirkular) serta mukosa
dengan epitel bersilia. Terdiri dari pars
interstitialis, pars isthmica, pars ampularis, serta
pars infundibulum dengan fimbria, dengan
karakteristik silia dan ketebalan dinding yang
berbeda-beda pada setiap bagiannya (gambar).

Pars isthmica (proksimal/isthmus) Merupakan bagian dengan lumen tersempit, terdapat sfingter
uterotuba pengendali transfer gamet.

Pars ampularis (medial/ampula) Tempat yang sering terjadi fertilisasi adalah daerah ampula /
infundibulum, dan pada hamil ektopik (patologik) sering juga terjadi implantasi di dinding tuba
bagian ini.

Pars infundibulum (distal) Dilengkapi dengan fimbriae serta ostium tubae abdominale pada
ujungnya, melekat dengan permukaan ovarium. Fimbriae berfungsi "menangkap" ovum yang
keluar saat ovulasi dari permukaan ovarium, dan membawanya ke dalam tuba.

Mesosalping Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).
Ovarium Organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga peritoneum, sepasang kiri-
kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan pembuluh darah dan saraf, terdiri
dari korteks dan medula. Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel
menjadi ovum (dari sel epitel germinal primordial di lapisan terluar epital ovarium di korteks),
ovulasi (pengeluaran ovum), sintesis dan sekresi hormon-hormon steroid (estrogen oleh teka
interna folikel, progesteron oleh korpus luteum pascaovulasi). Berhubungan dengan pars
infundibulum tuba Falopii melalui perlekatan fimbriae. Fimbriae "menangkap" ovum yang
dilepaskan pada saat ovulasi. Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii proprium, ligamentum
infundibulopelvicum dan jaringan ikat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta abdominalis
inferior terhadap arteri renalis.

2. Bagaimana fisiologi haid?


Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang
memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium
(hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut sekarang,
hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sekresi
neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi portal yang khusus.
Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Lutenizing Hormon
(LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.
Penyelidikan pada hewan menunjukkan bahwa pada hipotalamus terdapat dua pusat, yaitu
pusat tonik dibagian belakang hipotalamus di daerah nukleus arkuatus dan pusat siklik di
bagian depan hipotalamus di daerah suprakiasmatik. Pusat siklik mengawasi lonjakan LH
(LH-surge) pada pertengahan siklus haid yang menyebabkan terjadinya ovulasi.
Mekanisme kerjanya juga belum jelas benar.
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan satu
saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar
hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara
hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif
terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika
kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik
terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang oleh
pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus
luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi
estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi
melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami
atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya
membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase
folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu
bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen
dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur,
kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif
terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus,
mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan
menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa
jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH
itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada
folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang
pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin
terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang
untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia
biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme terjadinya ovulasi agaknya bukan
oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel, tetapi oleh perubahan-perubahan
degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia menjadi tipis. Mungkin juga
prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam
lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah ovulasi.
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak, dan
luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu
meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan
diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum pada
manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia berfungsi
sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya korpus luteum,
diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidogenesis pada ovarium tidak mungkin tanpa
LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi kehamilan belum diketahui.
Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus haid normal umumnya terjadi
variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi dalam fase folikular.
Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari
Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.
Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi),
waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara
steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9–10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi itu
diambil alih oleh plasenta.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-
perubahan kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan
oleh menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan
folikel tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel
yang berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan
siklus yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada
kadar minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus
bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik
positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan
sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.

3. Patomekanisme Amenorhea

Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut
normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah menopause.
Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus-hipofisi-aksis indung
telur serta organ reproduksi yang sehat (lihat artikel menstruasi). Amenorea sendiri terbagi dua,
yaitu :
Amenorea primer
Amenorea primer adalah keadaan tidak terjadinya menstruasi pada wanita usia 16 tahun.
Amenorea primer terjadi pada 0.1 – 2.5% wanita usia reproduksi
Amenorea sekunder
Amenorea sekunder adalah tidak terjadinya menstruasi selama 3 siklus (pada kasus
oligomenorea<jumlah darah menstruasi sedikit>), atau 6 siklus setelah sebelumnya mendapatkan
siklus menstruasi biasa. Angka kejadian berkisar antara 1 – 5%
Secara umum Amenorhae disebabkan oleh :
Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).

Penyebab tersering dari amenorea primer adalah:


 Pubertas terlambat
 Kegagalan dari fungsi indung telur
 Agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya organ rahim dan vagina)
 Gangguan pada susunan saraf pusat
 Himen imperforata yang menyebabkan sumbatan keluarnya darah menstruasi dapat dipikirkan
apabila wanita memiliki rahim dan vagina normal

Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah:


kehamilan, setelah kehamilan, menyusui, dan penggunaan metode kontrasepsi
disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah:
 Stress dan depresi
 Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas
 Gangguan hipotalamus dan hipofisis
 Gangguan indung telur
 Obat-obatan
 Penyakit kronik dan Sindrom Asherman

Dari kasus diatas maka bisa disimpulkan bahwa anak ini masuk dalam Amenorhea Primer
yang disebabkan oleh gangguan pada Agenesis uterovaginal atau Gangguan Kompartemen
1:
GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN I
Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser
syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan
tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea
primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang
dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau
adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai
saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu.
Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri
abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe
pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang
normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau
kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan perkembangan penderita normal.1,4
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan
ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus
tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi
untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta
tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak
diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid,
hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.1,9
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila
memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah
dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan
dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian
oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu
diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama
20 menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar,
vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi
operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan
metode Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas
masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan
adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk
melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika
serviks atresia, uterus harus diangkat.1,2
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi
sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum
transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi
introitus pada manuver Valsava.1,2
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan
satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan
dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan
peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera
mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena
dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.

Etiologi Mayer-Rokitansky- Kűster-Hauser syndrome, yaitu:13


1. Produksi faktor regresi Mulleri yang tidak sesuai pada gonad embrio wanita
2. Tidak adanya atau kurangnya reseptor estrogen yang terbatas pada saluran Muller bawah
3. Terhentinya perkembangan saluran Muller oleh bahan teratogenik.
4. Defek sel mesenkhim
5. Mutasi gen secara sporadis
Knab percaya bahwa bahan teratogrnik dan gen mutan merupakan faktor etiologi yang paling
mendekati.

Susan M. Carter dan Susan J. Gross memberikan panduan diagnosis penderita dengan
agenesis vagina ( Mayer-Rokitansky Syndrome) secara sistematis, mulai dari anamnesis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Riwayat perjalanan penyakit
a. Keluhan yang paling sering ditemukan adalah amenorhoe primer dan nyeri abdomen.
Pasien mengalami masa pubertas dengan masa telarche yang normal. Karena ovarium
berfungsi secara normal, penderita mengalami perubahan-perubahan pada tubuhnya
sesuai dengan siklus menstruasi.
b. Tidak dapat melakukan hubungan seksual, dikarenakan tidak adanya liang vagina.
Tingkatan aplasia vagina dapat bervariasi dari tidak ada sama sekali vagina hingga
saluran vagina yang berupa cekungan.
c. Malformasi ginjal yang paling sering ditemukan adalah tidak adanya ginjal atau ginjal
ektopik. Beberapa penderita mengeluh kesulitan berkemih atau infeksi saluran kemih
berulang
d. Kelainan tulang vertebra, tetapi temuan pada tulang ini umumnya tidak mempunyai
kemaknaan klinis

2. Pemeriksaan fisik
a. Pertumbuhan tanda-tanda seksual sekunder normal dan timbulnya setelah masa pubertas,
sama seperti wanita normal lainnya.
b. Tinggi badan normal
c. Pemeriksaan vagina dengan spekulum tidak mungkin atau mengalami kesulitan tergantung
tingkat agenesis vagina.

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kromosom perlu dilakukan untuk menyingkirkan kelainan kariotipe
kromosom X (misalnya sindroma Turner)
b. Gangguan kromosome lainnya mungkin termasuk kariotipe 46,XY, yaitu bentuk dari
sindroma insentisasi androgen (Androgen Insesitivity Syndrome/AIS)
c. Kadar hormon hCG, LH dan FSH dalam sirkulasi normal, menunjukkan fungsi ovarium
yang normal.
4. Pemeriksaan pencitraan
a. Ultrasonografi
USG merupakan pemeriksaan sonografi agenesis vagina yang baik karena tidak
menimbulkan radiasi noninvasif dan tidak mahal. USG dapat dengan mudah menentukan
batas atas vagina dan panjangnya. USG juga dapat mengidentifikasi kelainan uterus dan
obstruksi tuba. Pemeriksaan ginjal dan vesika urinaria juga dapat dilakukan dengan USG.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberikan pencitraan yang terbaik dari jaringan seperfisial dan jaringan
yang lebih dalam. MRI dapat mengklarifikasi hasil pemeriksaan USG mengenai cavum
uterus, dan dapat memeriksa struktur subperitoneal serta dapat mendeteksi adanya serviks
uteri.
c. Laparoskopi
Laparoskopi hanya dapat memberikan pemeriksaan cvum uteri secara tidak langsung.
Tindakan laparoskopi lebih dipilih bila didapatkan sisa uterus atau ada endometriosis
yang menyebabkan nyeri pelvis memerlukan eksisi.
d. Pyelografi, dilakukan untuk memeriksa struktur ginjal
e. Radiologi, dilakukan pemeriksaan foto rontgen spinal untuk mengetahui kelainan vertebra

TERAPI

1. Teknik Modifikasi McIndoe dan Bannister


Teknik ini menggunakan selaput amnion. Selaput amnion yang akan digunakan sebagai
graft dipisahkan dari plasenta segera setelah plasenta lahir. Darah ibu dan pencemar lain
dibuang dengan mencucinya pada larutan saline steril sampai bersih.
Selaput amnion kemudian disimpan pada suhu 4 0C dalam cairan yang mengandung 80
mg gentamisin per 100 ml larutan saline steril selama 48 jam sampai 72 jam sebelum
digunakan untuk operasi. Selaput amnion dipasang pada cetakan vagina dari karet
sedemikian rupa sehingga permukaan mesenkim amnion dapat kontak langsung dengan
jaringan penderita.
Penderita dalam narkose umum dan dalam posisi litotomi. Insisi oblik dibuat pada ruang
rektovesical secara hati-hati jangan sampai melukai vesika urinaria dan rektum. Liang
vagina dibuat dengan diseksi secara tumpul sedalam 14 sampai 16 cm dan diameter 3-4 cm.
Setelah dilakukan hemostasis, cetakan vagina yang terbungkus dengan lapisan amnion
dimasukkan. Dua sampai tiga jahitan dengan silk pada labia mayora untuk menjaga agar
cetakan pada posisinya. Ikatan pada labia diangkat pada hari ke-8 dan cetakan dikeluarkan.
Pasien diberitahu cara menggunakan dilator vagina yang dilapisi kondom dan dianjurkan
untuk memasukkan dua sampai tiga kali sehari selama 10 menit. Setelah tiga minggu,
penderita dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual, jika mungkin, atau melanjukkan
menggunakan dilator selama satu minggu lagi. Setelah 60 hari post operasi dilakukan
pemeriksaan sampel pada selaput amnion dan didapatkan terjadi perubahan epitel amnion
menjadi epitel skuamosa matang yang menunjukkan epitelisasi yang lengkap. Sel-sel
tersusun dengan lapisan yang sama seperti epitel vagina normal yaitu lapisan superfisial,
intermediat dan lapisan dalam.

2. Flap fasciocutaneous pudenda

Flap pudendal merupakan flap fasciocutaneus dengan serabut syaraf sensoris dengan
dasar cabang akhir arteri perineal superfisial, cabang dari arteri pudenda interna. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa penggunaan flap ini secara bilateral untuk merekonstruksi vagina
terutama pasien dengan atresia kongenital. Tehnik ini sederhana, aman dan realibel dan tidak
perlu menggunakan dilator setelah operasi. Sudut inklinasi vagina fisiologis dan alami,
bagian donor dapat ditutup secara primer dan meninggalkan scar linier yang tak terlihat dan
vagina yang baru mempunyai sensasi dengan potensi erogen seperti perineum dan paha atas.

Penderita dalam posisi semi-litotomi, sehingga memungkinkan pendekatan abdominal


dan perineal yang simultan. Laparotomi dilakukan menggunakan insisi pfannenstiel untuk
memisahkan ruang anterior antara vesika urinaria dan uterus, dan ruang posterior antara
uterus dan rektum.

Secara bersamaan, ruang antara vesica urinaria dan rektum dibuat dengan diseksi secara
tajam dan tumpul. Diseksi dilanjukkan sampai ruangan cukup besar sehingga tiga jari dapat
masuk dan diseksi anterior dan posterior yang dilakukan pada laparotomi dapat dicapai.
Kemudian flap fasciocutaneous pudendal dengan ukuran 14,5-16,5 cm x 5-6 cm dimasukkan
pada daerah lipat paha

Insisi dimulai pada ujung anterior flap, kemudian diperdalam melalui jaringan kulit dan
subkutan pada fascia sebelah dalam pada kedua sisi, kecuali pada ujung posterior flap.
Fascia dalam dijahit pada kulit bagian naterior, dan flap diankat dengan fascia dalam dan
epimisium memalui bagian proksimal otot adduktor. Pada bagian posterior, kulit dan
jaringan subkutan diinsisi sepanjang 1,5 cm dan dibuat terowongan sejajar kulit. Dengan
cara ini flap dapat dibuat terowongan pada arah medial labia. (Gambar 4 ).
3. Penggunaan kolon sigmoid (Metode Wagner)
Penggunakan graft dengan usus untuk operasi agenesisi vagina diperkenalkan 100 tahun
yang lalu oleh Baldwin. Karena morbiditasnya tinggi, penggunaan usus dalam sejarah tidak
digunakan sebai terapi pilihan pertama. Tetapi keuntungan tehnik ini memberikan hasil
anatomis yang baik. Dengan peningkatan tehnik anastomosis colorektal, persiapan usus yang
baik, dan penggunaan antibiotik prophilaksis sehingga sekarang ini penggunaan graft
sigmoid menjadi terapi pilihan pertama.
Persiapan mekanis usus (dengan polyethylene glycol dan enema rektal) dimulai 36 jam
sebelum operasi. Antibiotik diberikan selama operasi dan dilanjutkan tiga-empat hari setelah
operasi. Prosedur operasi dengan tehnik insisi Pfannenstiel. Setelah memeriksa anatomi
organ genitalia interna dan mobolitas dan panjang kolon, tanduk ueterus yang rudimenter
dan bagian atas septum fibromuskuler dibuang.
Kemudian, sebuah saluran dibuat antara vesika urinaria dan rektum, dari kavum Dauglas
ke perineum. Perlukaan vesika urinaria dan rektum dicegah dengan memasukkan ruang
vestibular dengan dilator transparan yang bercahaya dari perineum.
Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan kolon sigmoid secara Champeau. Setelah
pengangkatan kolon sogmoid, 15-20 cm di atas rectosigmoid junction. Kemudian segmen
kolon dibawa ke perineum melalui saluran antara vesica urinaria dan rektum. Dilakukan
anastomosis colovestibular dengan benang polyglactine 3/0 secara terputus. Ujung
neovagina dijahit pada fascia promontorium dengan benang polyester. Tindakan diakhiri
dengan penutupan mesosigmoid dan rongga abdomen abdomen.
4. Metode Vecchietti

B. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)


Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis yang
paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan
ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan agenesis
mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata
pria disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes
dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan
jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau
sangat kurangnya rambut kemaluan dan ketiak.
Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan kegagalan
virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan
bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-linked
recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler.1 Diagnosis
klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut: 4
- anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial
descensus
- penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
- penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan
penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan
normal. Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu
kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora
biasanya kurang berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi
yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel.
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-kadang
tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan
tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal dapat menjadi
ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan
substitusi hormon.

C. Sindroma ovarium resisten


Sindroma ovarium resisten Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium
yangmenimbulkan gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang
dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif
gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang
banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor
gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun. Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma
ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan
histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri dari
gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratoris
dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih
dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun
terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun. Laparotomi
diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan evaluasi
histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya folikel-
folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena kelainan
ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan pemberian
gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk
melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin
tinggi, dan normal kariotipe.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih
bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen dan
progesteron.

DAFTAR PUSTAKA
1. Supono. Anatomi alat-alat reproduksi wanita. Palembang, 1985: 5-23
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Anatomi alat kandungan. Dalam Ilmu
Kebidanan. Jakarta 1999; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo edisi 3 :31-44
3. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Anatomy of the Reproductive Tract. In
Wiiliams Obstetrics. 20th edition New York; Prentice-Hall International 1997: 37-67
4. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgical anatomy of the Female Pelvis. In Te Linde’s Operative
Gynecology. 8th edition Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:63-93
5. Junizaf. Penanganan kasus agenesis vagina. Dalam Buku ajar Uroginekologi. Jakarta 2002;
Subbagian Uroginekologi-Rekonstrtuksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN-
CM:97-102
6. Junizaf. Penatalaksanaan Kelainan Bawaan Alat Genitalia Wanita. Workshop Vaginal
Surgery; Jakarta 9-10 Februari 2004.
7. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgery for Anomalies of mullerian duct. In Te Linde’s
Operative Gynecology. 8th edition Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:687-730
8. ACOG Comitte Opinion. Number 274, July 2002. Non surgical diagnosis and management of
vagina agenesis. Obstet Gynecol 2002; 100:213-216
9. Fedela L, Biaqnchi S, Tozzi L, Borruto F, Vignali M. A new laparoscopic procedure for
creation of a neovagina in Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil Steril
1996;66:854-857
10. Communal PH, Maesson MC, Golfier F. Raudrant D. Sexuality after sigmoid colpopoiesis in
patient with Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil Steril 2003;80:600-606
11. Sadler TW. Susunan kemih dan kelamin dalam Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 5
Jakarta; EGC 1993:247-280
12. Wiknjosastro H, Rachimhadhi T.Emnbriologi sistem alat-alat urogenital. Dalam Ilmu
Kandungan. Jakarta 1999; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo edisi 3 :27-42
13. Jones WH, Mermut S. Familial accurance of congenital absence of vagina. Am J Obstet
Gynecol 1972;114:1100-1101

Anda mungkin juga menyukai