bersabda;
“Setiap anak yang lahir adalah lahir dalam fitrah. Dua ibu-bapaknyalah yang
menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi”. (Riwayat Imam al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Maksud fitrah di dalam hadis di atas menurut ulama' ialah Islam. Hadis ini
menjelaskan bahwa bayi yang lahir asalnya adalah Islam, cuma dengan
pengaruh ibu/bapaknya maka ia berubah mengikut agama ibu/bapaknya. Maka
jika ibu/bapaknya memeluk Islam, maka ia otomatik akan kembali kepada
fitrahnya (Islam) dengan mengikuti ibu/bapaknya yang memeluk Islam.
Hadis di atas juga menjelaskan pengaruh ibu/bapak ke atas anak. Oleh itu, tidak
harus mana-mana individu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh
isteri/suaminya yang bukan Islam kerana nanti anaknya itu akan dipengaruhi
untuk menganut agama bukan Islam. Ia wajib memelihara masa depan agama
anaknya dan kewajipan ini termasuk dalam arahan Allah;
“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari
neraka” (at-Tahrim; 6)
Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) berserta
golongan mustadh’afin (yang menganut Islam) dan beliau tidak tinggal bersama
bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Dan
beliau (yakni Ibnu ‘Abbas) menegaskan;
“Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”.
(Soheh al-Bukhari, kitab al-Janaiz, bab Iza Aslama as-Sobiyyi Fa Ma-ta..).
Imam al-Khattabi menjelas; “Anak yang masih kecil jika ia berada di antara
seorang muslim dan seorang bukan Islam , maka yang muslim lebih berhak
terhadapnya” (Ibanatul-Ahkam Syarah Bulughul-Maram, jil. 3, kitab al-Hadhonah,
hlm. 467).
Menurut jumhur ulama'; hak penjaaan anak (hadhonah) tidak harus diberikan
kepada ibu/bapak yang tidak Islam karena hadhonah adalah wilayah
(penguasaan) dan Allah tidak membenarkan penguasaan orang tidak Islam ke
atas orang beriman (yakni orang beriman tidak harus perjalanan hidupnya
dikuasai atau ditentukan oleh orang bukan islam ). Ini sebagaimana firman Allah;
“Allah tidak sekali-kali akan memberi jalan kepada orang-orang bukan Islam
untuk membinasakan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’; 141).
Ia sama seperti larangan wanita muslim dinikahi lelaki bukan Islam kerana
perkawinan tersebut menyebabkan wanita muslim berada di bawah penguasaan
orang bukan Islam .
Menyerahkan anak untuk dijaga dan diasuh oleh orang bukan Islam akan
menimbulkan kebimbangan terhadap masa depan agama anak tersebut karena
ibu atau bapak yang bukan Islam sudah tentu cenderung untuk mendidik anak itu
agar mengikut agamanya apabila besar nanti.
Ada tiga golongan yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi
sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang
yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya (HR. Ahmad 2:251,
Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majjah hadits nomor 2518, dan Hakim 2:160)
Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Uhud, Ubaidah al-
Harits), demikian pula menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti
Zum'ah janda dari As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran
menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang.
"Dan siapa yang menanggung keluarga orang yang sedang berjihad, maka ia
telah ikut berjihad" HR Muslim
Beberapa tujuan mulia untuk menikahi Janda terutama janda syuhada adalah:
1. Menjaga Kehormatan
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling
menyayangi serta saling mengasihi adalah bagaikan satu tubuh, apabila
sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan yatim seperti
mujahid di jalan Allah.”
َ ت َيَدا
ك ْ ن َتِرَب
ِ ت الّدْي
ِ ظَفْر ِبَذا
ْ َفا،جَمِلَها َوِلِدْيِنَها
َ سِبَها َوِل
َحَ ِلَماِلَها َوِل:لْرَبَعٍة
َِ ساُء
َ ح الّن
ُ َُتْنك
Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta seorang mujahid akan
menerima pahala setengah dari pahala berjihad (HR Muslim)
Mereka yang gugur syahid telah berjuang untuk Islam dan umat Islam. Mereka
mengorbankan jiwa dan raga untuk saya dan untuk Anda. Itulah sebabnya
keluarga para mujahidin gugur harus dilayani dan dihormati. Ketika Ja’far bin
Abu Talib gugur dalam perang Mut’ah, Rasulullah saw berkata pada isteri-
isterinya,”Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah
menunaikan urusan mereka”, kemudia Rasulullah datang ke rumah Ja’far. (HR
Abu Dawud dan al-Tarmidzi).
Anak-anak para mujahid yang gugur membutuhkan para lelaki untuk menjaga
dan mengurus mereka. Para istri mujahid yang gugur harus diberi kesempatan
untuk menikah lagi, jika memang menginginkannya.Hal ini kata Awlaki,
membutuhkan perubahan pada dua kebiasaan di kalangan umat Islam.
Umar bin Khattab pernah mendengar salah seorang perempuan yang sedang
mendendangkan syair-syair kerinduan. Sang Khalifah memperhatikan syair-syair
yang didendangkan. Sampai pada akhirnya beliau bertanya kenapa ia
menyanyikan lagu-lagu itu?
Awalnya sang anak malu-malu menjawab, tapi sebagai sosok teladan bagi umat,
apalagi Aisyah adalah figur 'ummahatul mukminin', perempuan itu akhirnya
memberi jawaban. Bahwa waktu empat bulan adalah jarak yang termasuk lama
untuk menimbulkan sebuah rasa kerinduan.
Demikian pula syariat Allah yang Maha Mulia telah memberikan tuntutannya
hakikat menjaga kehormatannya “Arti : Kepada orang-orang yg meng-ilaa’ istri
diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kpd
istrinya), maka sesungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-
Baqarah : 226]
Demikian pula seorang janda yang memiliki anak-anak yang belum dewasa
(sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai mahram), maka hal tersebut lebih
utama. Sabda Rasul saw, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu
malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Para istri harus memberikan dukungan bagi suami yang akan pergi berjihad,
bersyukur jika sang suami mati syahid dan bersabar jika suaminya menjadi
tawanan perang. Seorang perempuan
yang berjihad posisinya sama dengan perempuan dari kaum Ansor. Kaum
perempuan itu melihat bagaimana Islam mengambil ayah, saudara lelaki, suami
dan anak-anak lelaki mereka, tapi kaum perempuan itu tetap membuka pintu-
pintu rumah mereka untuk para mujahidin, mengorbankan harta mereka untuk
para mujahidin, karena mereka tahu pahala yang mereka dapatkan dari tindakan
mereka.
Maka keesokan harinya, dengan berbekal iman, tawakkal dan bersemangat yang
keempat putra Khansa' bersegera maju ke medan laga. Dengan keberanian
seorang mujahid fii sabilillah, mereka pantang mundur sedikitpun dalam
menghadapi musuh.
"Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka
dan aku harap dari Rabbku agar mengumpulkan aku dengan mereka kelak di
tempat rahmat-Nya yang kekal".
Hadis ini dengan sarih (jelas) telah menjelaskan kepada kita, bahawa orang yang
berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-soleh
sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah SWT. Mereka berlumba-
lumba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah. Di
dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau
adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahawasanya ia
(Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar
segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun,
ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah
sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahawa orang yang membantu kaum
Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan
kedudukan Malaikat Jibril di antara penduduk langit.” [al-Sair al-Kabiir, juz 1/30]