Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim
dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan
tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang
musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa
manfaat apa-apa.”
Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ا َِب َٔىَي
ٍ ِ وَإََِّّٔب ٌِىًُِّ ا ِِش،ِإََّّٔب األَعَِّبيُ ثِبٌِّٕيَّبد
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia
niatkan.”2
Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ِوََِب أُِشُوا إِال ٌِيَعِجُذُوا اٌٍَّ َٗ ُِخٍِِصِنيَ ٌَُٗ اٌذِّيَٓ حَُٕفَبءَ وَيُمِيُّىا اٌصَّالحَ وَيُؤِرُىا اٌضَّوَبحَ َو َرٌِهَ دِيُٓ اٌْمَيَِّّخ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
1
HR. An Nasa-i no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
2
HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Khattab.
1
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti
Allah mengetahui”." (QS. Ali Imran: 29)
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari ikhlas-
dalam firman-Nya,
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
َُٗاٌش ِش ِن َِِٓ عًََِّ عََّالً َأ ِش َشنَ فِي ِٗ َِعًِ غَِيشِي َرشَوْزُُٗ َو ِششِو
ِّ َِٓاٌششَوَبءِ ع
ُّ ًَْٕلَبيَ اٌٍَُّٗ رَجَب َسنَ وَرَعَبًٌَ أََٔب أَغ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik.
Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya:
tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.”3 An Nawawi mengatakan, “Amalan
seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa,
bahkan ia akan mendapatkan dosa.”4
َ َِِِٓ رَعٍَََُّ عٍِّّْب َِِّّب يُجِزَغًَ ثِِٗ وَجُِٗ اٌٍَِّٗ عَضَّ وَجًََّ الَ يَزَعٍََُُّّٗ إِالَّ ٌِيُصِيتَ ثِِٗ َعشَضّب َِٓ اٌذُِّٔيَب ٌَُِ يَجِذِ َعشِفَ اٌْجََّٕخِ يَى
ِاٌْمِيَبَِخ
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah
Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah
mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”5
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama.
Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.6
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam
melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan
3
HR. Muslim no. 2985, dari Abu Hurairah.
4
Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.
5
HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu Majah no. 252, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
6
Kami ambil perkataan-perkataan ulama tersebut dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51,
Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H.
2
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari
makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan
pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari
adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhohir
(lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya'. Riya’ adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik
dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara
lahiriyah dan batin.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal
karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal
tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
Tanda-Tanda Ikhlas
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan
yang suka mengasingkan diri.”7 Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan
pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah
tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”
7
HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
3
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya
disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu
sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan
di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih
walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang
penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang
tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang
ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”8
Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak pernah mengerjakan shalat sunnah di
masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.9
Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha
menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya
seakan-akan ia baru bangun ketika itu. 10
Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,
ُُٕٗوَسَجًٌُ رَصَذَّقَ ثِصَذَلَخٍ فَأَخِفَبَ٘ب حَزًَّ الَ رَعٍََُِ شَِّبٌُ ُٗ َِب رُِٕفِكُ يَِّي
8
Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.
9
Az Zuhud, Imam Ahmad, 5/60, Mawqi’ Jami’ Al Hadits.
10
Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy, 3/8, Darul Kutub Al ‘Arobiy, Beirut.
11
HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no.1031,dari Abu Hurairah.
4
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai
sebagai permisalan karena kedekatan dan kebersamaan kedua tangan tersebut.12
Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul
karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara
sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.”
Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al
Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya.
Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan
kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat
makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.13
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat
sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih
mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang
wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.15
Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar
memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi
itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”
Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain
adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.
ٌَمَذِ وَبَْ ٌَىُُِ فِي َسسُىيِ اٌٍَِّٗ ُأسِىَحٌ حَسََٕخٌ ٌَِِّٓ وَبَْ َيشِجُى اٌٍََّٗ وَاٌْيَىَِ اآل ِخشَ َورَ َوشَ اٌٍََّٗ وَثِريّا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al
Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para
Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah
(teladan).
Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara
terperinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Ketaatan (pada Allah) ada tiga:
12
Syarh Muslim, 3/481.
13
Lihat Hilyatul Auliya’, 3/135-136.
14
Diringkas dari Ta’thirul Anfas, hal. 263-267.
15
Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.
5
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika
shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika
berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah,
merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka
amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut
berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas
dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala
karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk
orang lain.
Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika
ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan
ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika
dijahrkan.
Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah.
Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia
akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaannya:
Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia
menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.
Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya-
lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah
bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa
mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia
juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”
Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat
tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan
bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika
bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan
suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk
mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.16
16
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/410-411, Al Maktabah At Taufiqiyah.
6
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang telah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?
Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam
beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam
beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.
Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat
dari beberapa sebab.
Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka
kejelekan-kejelekan diri kita. Disebutkan dalam hadits,
ِ فََّ ِٓ َأٌََُّ فٍَْيَسِزَِزشِ ثِسَِزشِ اهلل، اِجِزَِٕجُىِا َ٘زِِٖ اٌمَبرُوِسَحَ اٌَّزِي َٔهًَ اهللُ عَِٕهَب
“Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa tersebut, maka
tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.”18
Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain
mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِِٗال يُؤِ ُِٓ أَحَذُوُُِ حَزًَّ يُحِتَّ ألَخِي ِٗ َِب يُحِتُّ ٌَِٕفْس
“Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”19 Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau
tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa
hal tersebut wajib dilakukan20. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.
Kedua: Agar jangan sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika
seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya ‘aib tersebut sampai di akhirat
akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana
engkau menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di akhirat.”
17
Dinukil dari footnote Faidul Qodir, Al Munawi, 3/354, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, cetakan pertama, tahun
1356 H.
18
HR. Al Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-
Muslim.
19
HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45, dari Anas bin Malik.
20
Faedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al Iman.
7
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
Ketiga:Agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat
tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat
ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).
Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang-orang
yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr
adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah
tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.”
Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang
membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”21
Kelima: Agar ia termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan
menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Keenam: Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan
menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.
Inilah di antara tanda ikhlas. Akan tetapi, kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar.
Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya
keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir.
Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor
MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar. Sungguh hal ini sangat berbeda
dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita
pun tidak usah mencari ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu.
Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum
mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar
kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang
21
HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
22
HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.
8
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan,
“Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.”
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah
menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber
air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun
tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan
beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan
minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini.
Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang
kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.23
Inilah juga di antara tanda ikhlas yaitu merasa diri serba kekurangan ketika menunaikan kewajiban-
kewajiban. Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka,
kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika
tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al
Mu’minun: 60)
‘Aisyah mengatakan,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diterimanya suatu amalan berkaitan dengan melakukan
sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Setiap orang yang bertakwa pada Allah ketika ia beramal,
maka ia akan melakukan sebagaimana yang diperintahkan. Akan tetapi ia tidak bisa memastikan
sendiri bahwa amalan yang ia lakukan diterima di sisi Allah karena ia tidak bisa memastikan bahwa
amalan yang ia lakukan sudah sempurna.”25 Itulah yang membuat para salaf begitu khawatir dengan
23
Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284 dan 288.
24
HR. Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi.
25
Al Iman, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 348-349, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kelima, tahun 1416 H.
9
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
tidak diterimanya amalan mereka karena mereka sendiri tidak bisa memastikan sempurnanya amalan
mereka.
Itulah mereka –para salaf- yang merasa diri mereka serba kekurangan.
َُُِش ِِٕه
ٌّ ذ ِِٕهُُِ وَأَثِغَضُ اٌطَّبٌِحِيَِٓ وَأََٔب ش
ُ س
ِ ٌَأَحَتُّ اٌصَّبٌِحِيَِٓ َو
“Aku menyukai orang-orang sholih. Akan tetapi, aku bukan termasuk mereka. Aku membenci orang-
orang tholih (yang suka maksiat, pen). Sedangkan aku sebenarnya lebih jelek dari mereka.”26
Al Hasan Al Bashri sering mencela dirinya sendiri sambil mengatakan, “Diri ini sering mengucapkan
perkataan orang-orang sholih, orang yang taat dan ahli ibadah. Namun diri ini sering melakukan
kefasikan dan perbuatan riya’. Ini sungguh bukan perbuatan orang-orang yang ikhlas.”27
Ada yang mengatakan bahwa amalan berikut termasuk amalan riya’ namun sebenarnya tidak
demikian.
Pertama: Pujian manusia terhadap seseorang setelah orang tersebut melakukan amalan. Ada yang
menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
.» ِِِٓششَي اٌُّْؤ
ِ ُذ اٌشَّجًَُ يَعًَُِّ اٌْعََّ ًَ َِٓ اٌْخَِيشِ وَيَحَِّذُُٖ إٌَّبطُ عٍََيِِٗ لَبيَ « رٍِْهَ عَبجًُِ ث
َ عَِٓ أَسَأَِي
“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan kebaikan, lalu setelah itu dia
mendapatkan pujian orang-orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita
gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.”29 An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini
pertanda bahwa Allah ridho dan mencintainya. Akhirnya makhluk pun turut menyukai orang
tersebut.”30
Kedua: Semangat melakukan ibadah di hadapan orang-orang yang rajin beribadah. Ibnu Qudamah Al
Maqdisi mengatakan, “Terkadang seseorang menginap di rumah orang yang suka bertahajud, lalu ia
pun ikut melaksanakan tahajud pada kebanyakan malam. Padahal kebiasannya hanya melakukan
shalat malam selama satu jam saja. Pada saat itu, ia menyesuaikan dirinya dengan mereka. Ia pun
turut berpuasa ketika mereka berpuasa. Jika bukan karena orang yang ahli ibadah tadi, tentu ia tidak
akan bersemangat seperti ini.
Sebagian orang menyangka bahwa amalan semacam ini adalah riya’. Namun sangkaan ini adalah
keliru karena semacam ini bukanlah riya’. Akan tetapi di dalamnya mesti ada perincian. Setiap
mukmin pada dasarnya memang senang beribadah kepada Allah. Akan tetapi seringkali ada kendala
26
Hilyatul Auliya’, 8/170.
27
Ta’thirul Anfas, hal. 302.
28
Pembahasan ini kami sarikan dari Ta’thirul Anfas, hal. 349-352.
29
HR. Muslim no. 2642, dari Abu Dzar.
30
Syarh Muslim, An Nawawi, 4/2034, Mawqi’ Al Islam.
10
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
dan sering lalai. Mungkin saja karena menyaksikan orang lain, kelalaian tersebut lenyap. Kemudian
beliau berkata, “Dia perlu menguji dirinya dengan melaksanakan ibadah di suatu tempat, di mana ia
dapat melihat orang lain namun orang lain tidak menyaksikannya. Jika ia merasa tenang ketika itu,
maka berarti ia telah beribadah ikhlas karena Allah. Namun jika dirinya tidak tenang, maka berarti apa
yang ia lakukan di hadapan ahli ibadah lainnya adalah amalan riya’. Amalan lainnya, silakan
dianalogikan semisal dengan ini.”
Sebenarnya semangat ketika melakukan ibadah masuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ِفَعٍََِيىُُِ ثِبٌْجََّبعَخ
“Karena itu berjama’ahlah kalian.” Dan rasa malas sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
Ketiga: Berpenampilan yang baik. Hal ini tidak termasuk riya’ karena termasuk keindahan yang
disukai oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍالَ يَذِخًُُ اٌْجََّٕ َخ َِِٓ وَبَْ فًِ لٍَْجِ ِٗ ِثْمَب ُي رَسَّ ٍح ِِٓ وِِجش
“Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar semut
kecil.” Lantas ada seseorang yang berkata,
.» ِ« إَِّْ اٌٍََّٗ جَِّيًٌ يُحِتُّ اٌْجََّبيَ اٌْىِِجشُ ثَ َطشُ اٌْحَكِّ وَغَِّطُ إٌَّبط
“Sesungguhnya Allah itu Jamal (indah) dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”32
Keempat: Tidak membicarakan dosa dan selalu menyembunyikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk
melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal
telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan
31
HR. Abu Daud no. 547, An Nasa-i no. 847, Ahmad 6/446, dari Abu Darda’. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan.
32
HR.Muslim no. 91, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
11
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang
membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”33
Kelima: Mendapatkan ketenaran, namun tanpa dicari-cari. Artinya sejak ia beramal, tidak pernah ia
mencari ketenaran. Namun setelah ia beramal, baru ia terkenal dan tenar. Imam Al Ghozali
mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena
karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
1. Jika riya’ ada dalam setiap ibadah, maka itu hanya ada pada orang munafik dan orang kafir.
2. Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.
3. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk,
maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
4. Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di petengahan ia tambahkan dari amalan awalnya
tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya
karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap
ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
5. Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain
tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi
orang beriman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.34
[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali
tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di
akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan
semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia
pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia
sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan
mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya
tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah
semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya
dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para
pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya),
maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan
ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah
33
HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
34
Disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hadits pertama.
12
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah
di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.35
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan
termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan
melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan
karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan
mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan
berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ََُِِِّٗٓ أَحَتَّ أَْْ يُجِسَطَ ٌَُٗ فًِ سِصِلِِٗ وَيُِٕسَأَ ٌَُٗ فًِ أََثشِِٖ فٍَْيَصًِْ سَح
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim
(hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja
dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam
kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus,
juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai
tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan
ini.36
Sebenarnya jika seseorang ikhlas dalam beramal tanpa mengharap-harap dunia, maka dunia akan
datang dengan sendirinya. Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan
bagi kita semua,
ََُّّٗ٘ ذ اآل ِخشَحُ ََُّّ٘ٗ جَعًََ اٌٍَُّٗ غَِٕبُٖ فًِ لٍَْجِِٗ وَجََّعَ ٌَُٗ شٍََُِّٗ وَأَرَزِ ُٗ اٌذُِّٔيَب وَ ًَِ٘ سَاغَِّخٌ وََِِٓ وَبَٔذِ اٌذُِّٔيَب
ِ ََِِٔٓ وَب
ٌَُٗ َِال َِب لُذِّس
َّ جَعًََ اٌٍَُّٗ فَ ْمشَُٖ ثَيَِٓ عَيَِٕيِِٗ وَفَشَّقَ عٍََيِِٗ شٍَََِّٗ َوٌَُِ يَأْرِ ِٗ َِٓ اٌذُِّٔيَب إ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan
dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan
tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan
35
Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133, Maktabah Al ‘Ilmi, Jeddah.
36
Disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hadits pertama.
13
Rumaysho.com Berusaha untuk Ikhlas
menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia
peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”37
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjadi orang-orang yang berbuat ikhlas dalam beramal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Artikel Rumaysho.com
37
HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul
Ahwadzi, 7/139
38
Disarikan dari Ta’thirul Anfas, 451-480
14