ARTIKEL ILMIAH
Disusun Dari Sebagian Skripsi Untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian Program Sarjana Sains
Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember
! " # $ % $ !
& ' ( ) * + ' , - ' + . - ' + / ( ' 0 ' 1 / * - ) 2 . 1 3 . + ' 4 ) ' 1 ' * ' -
5 6 7 8 9 : ; 7 < = ; > 9 ? @ 9 :
A B B A
PENGEMBANGAN SENSOR GAS HIDROGEN SULFIDA
BERBASIS REAGEN KERING TIMBAL ASETAT
Abstract
Dry reagen of lead acetate/PVC has been developed as hydrogen sulphide sensor.
In this work, lead acetate/PVC shows good response toward H2S via it’s color
change from white to black. Rapid sensor response has been observed for high
concentration of H2S (for 114,4 ppm,the response time was ±2 hours) and reverse.
The sensor has limit detection of 47,2 ppm with linear range in the 47 – 115 ppm.
The sensor can be regenerated with HNO3 6M for 4 times.
Keywords: H2S sensor, dry reagen lead acetate, PVC, intensity of turbidimetry.
PENDAHULUAN
Gas H2S merupakan produk dari reaksi asam dengan sulfida logam,
dengan tingkat toksisitas yang tinggi. Untuk mengetahui keberadaaan serta kadar
gas H2S di alam, salah satu caranya dapat dilakukan dengan melakukan
monitoring udara, yang diawali dengan pendeteksian (pensensoran) dan
dilanjutkan dengan penentuan kadarnya. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, para ilmuwan kimia telah berhasil mengembangkan beberapa
metode yang praktis dan sederhana, untuk mendeteksi keberadaan gas H2S baik
1
secara kualitatif maupun kuantitatif. Contoh praktis yang telah berhasil
dikembangkan adalah mendeteksi kadar H2S dengan memanfaatkan sistem reaksi
oksidasi-reduksi melalui titrasi iod secara langsung hingga tercapai titik ekivalen
dari kedua senyawa (Harjadi, 1990).
Teknik lain yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi H2S,
yakni dengan teknik sensor. Teknik sensor ini memanfaatkan sifat sensitifitas
serta selektifitas dari suatu zat terhadap zat yang akan dideteksi. Salah satunya
adalah dengan menggunakan metode impregnasi kertas, yang dilakukan dengan
mengimpregnasikan reagen pendeteksi ke dalam kertas berpori, lalu dideteksi oleh
detektor lewat serat optik secara reflektansi (Narayanaswamy and Sevilla, 1987).
Teknik sensor H2S yang lain misalnya dengan metode sol gel campuran oksida
SnO2–CeO2, yang sensitif dan selektif terhadap gas H2S (Fang et al., 2000).
Pada penelitian ini diusulkan suatu teknik sensor yang mudah dan
sederhana untuk mendeteksi keberadaan hidrogen sulfida, dengan memanfaatkan
sifat kimiawi timbal asetat terhadap H2S. Di sini diterapkan teknik imobilisasi
terhadap timbal asetat dengan menggunakan polivinil klorida (PVC) sebagai
material pendukung reagen kering. Reagen kering yang dihasilkan memiliki
beberapa keunggulan, seperti kekuatan media dan fase padatan yang tidak mudah
rusak, juga tahan terhadap pengaruh asam, stabil dan mudah diregenerasi.
METODOLOGI
2
Desain Set Alat
corong
permukaan air
FeS + 2HCl → FeCl2 + H2S
FeS(s) ZnSO4
A B magnet stirer berputar
ZnSO4 + H2S C ZnS + H2SO4
ZnS + I2 C ZnI2 + S↓
reaktor
FeS + HCl
detektor
sensor turbidimeter
sumber sinar
3
Penentuan Kandungan Gas H2S dengan Teknik Iodimetri
Pembentukan gas H2S dilakukan di dalam erlenmeyer (Gambar-1), melalui
reaksi FeS dengan HCl 1M. Komposisi reaktan FeS dan HCl yang digunakan
sesuai dengan Tabel-1. Gas H2S yang terbentuk dialirkan ke reaktor B yang berisi
ZnSO4 hingga terbentuknya ZnS, ditandai dengan perubahan warna larutan
menjadi putih. Reaksi tersebut berlangsung selama 7 jam. Kemudian, larutan ZnS
tersebut segera dititrasi dengan larutan iod yang telah distandarisasi.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
(a) (b)
Gambar-3
a. Struktur Mikroskopik Sensor sebelum Pensensoran, Sensor berwarna Putih
b. Struktur Mikroskopik Sensor setelah Pensensoran, Sensor berwarna Hitam
5
reaksi gas dengan timbal asetat berikutnya menjadi lebih cepat. Gas H2S yang
terionisasi akan mengalami fisisorpsi dengan cara berdifusi ke dalam membran.
Jadi dalam proses ini, yang berdifusi ke dalam membran bukan molekul H2S
melainkan ion-ionnya. Hal ini dipertegas oleh pendapat Reid et al. (1991) yang
mengatakan jika suatu molekul terionisasi, maka bukan molekul-molekulnya
melainkan ion-ionnya yang terdifusi. Selanjutnya ion H+ dan S2- yang terfisisorpsi
tadi akan mengalami kemisorpsi hingga terjadinya reaksi kimia dengan timbal
asetat yang terionisasi. Reaksi kimianya terjadi secara ionik melalui pertukaran
ion menghasilkan PbS yang spesifik berwarna hitam.
Terdapat suatu kemungkinan bahwa timbal asetat berada dan melekat di
permukaan pori-pori PVC bagian dalam. Ketika partikel gas H2S mendekati
permukaan PVC dan lalu berdifusi, maka gas H2S akan melewati pori-pori PVC.
Pada saat melewati pori-pori itulah kemungkinan terjadinya kontak antara partikel
gas H2S dengan timbal asetat. Maka terjadilah reaksi pembentukan PbS, seperti
yang diilustrasikan pada Gambar-4.
reaksi
pori PVC
Gambar-4. Interaksi Gas H2S dengan Timbal Asetat hingga Terbentuknya PbS
Sensitifitas Sensor
Pengamatan sensitifitas sensor reagen kering timbal asetat dilakukan
dengan mengamati harga konsentrasi yang dapat dideteksi oleh sensor, yang
ditandai dengan perubahan intensitas sensor setelah pensensoran. Di samping itu,
pengamatan sensitifitas sensor dapat pula didukung dengan pengamatan terhadap
6
hubungan antara konsentrasi gas H2S dengan waktu respon sensor. Respon sensor
ditandai melalui penampakan fisik saat terjadi perubahan warna sensor dari putih
menjadi hitam secara nyata, yang mana pengamatan dilakukan dalam interval
waktu setiap 15 menit dan waktu respon yang diperoleh merupakan rata-rata dari
waktu respon untuk 3 buah membran. Hasil pengamatan sensitifitas reagen kering
timbal asetat ini disajikan pada Grafik-1.
7
Waktu respon sensor (jam)
6
5
4
3
2
1
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Konsentrasi H2S (ppm)
Pada grafik tersebut terlihat bahwa respon sensor semakin optimal seiring
meningkatnya konsentrasi H2S. Ini ditandai dengan semakin cepatnya waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya perubahan warna pada konsentrasi gas H2S yang
semakin tinggi. Respon sensor terbaik diperoleh pada konsentrasi H2S 114,4 ppm,
dimana sensor reagen kering timbal asetat menunjukkan perubahan warna hitam
dalam waktu ± 2 jam. Selanjutnya respon sensor menurun seiring menurunnya
konsentrasi gas H2S hingga pada konsentrasi terendah yakni 51,4 ppm, sensor
memberikan respon dalam waktu ± 6 jam.
7
Limit Deteksi dan Daerah Kerja Sensor
Grafik-2 memperlihatkan hubungan antara konsentrasi gas H2S terhadap
intensitas sensor reagen kering timbal asetat. Intensitas sensor diukur dengan
menggunakan alat turbidimeter. Pada pengukuran tersebut, intensitas yang rendah
menunjukkan tingkat warna hitam yang semakin pekat.
5
Intensitas turbidimetri
2
y = -0.0411x + 6.2171
1 2
R = 0.95
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Konsentrasi H2S (ppm)
8
Berdasarkan perhitungan limit deteksi yang dirujuk dari Miller and Miller
(1993) diperoleh LOD sebesar 47,2 ppm dimana intensitas (y) untuk konsentrasi
pada limit deteksi sebanding dengan sinyal blank dikurangi 3 kali standart deviasi
blank : y = yb – 3.SD.
9
Kemampuan Regenerasi Sensor Reagen Kering Timbal Asetat
Salah satu kesempurnaan dari sensor reagen kering timbal asetat ini adalah
kemampuannya untuk diregenerasi secara optimal. Proses regenerasi sensor ini
membutuhkan waktu kira-kira 5 menit. Di sini tampak bahwa sensor yang telah
berwarna hitam akibat terbentuknya PbS, dapat kembali ke kondisi awal setelah
diregenerasi. Hal itu ditandai dengan penampilan fisiknya yang berubah menjadi
putih seperti semula.
Reagen yang digunakan sebagai regenerator sensor ini adalah larutan asam
HNO3 6M. Svehla (1996) menjelaskan bahwa endapan timbal sulfida akan terurai
jika ditambahkan asam nitrat pekat, dan unsur sulfur yang berbutir putih halus
akan mengendap.
3PbS(s) + 8HNO3 (aq) D 3Pb2+(aq) + 6NO3-(aq) + 3S(s) + 2NO(g) + 4H2O(l)
Dari reaksi di atas tampak bahwa reaksi bersifat irreversibel. Sifat ini
mendukung keoptimalan regenerasi reagen kering timbal asetat, dimana dengan
sifat reaksi yang irreversibel akan dapat menghambat pembentukan kembali PbS.
Sehingga hasil dari regenerasi hanya akan menguraikan PbS, dan selanjutnya ion
Pb2+ bergabung kembali dengan ion CH3COO- yang tersisa pada sensor untuk
selanjutnya membentuk timbal asetat kembali.
Pada Grafik-3 diperlihatkan trend pengaruh tingkat regenerasi terhadap
intensitas awal reagen kering timbal asetat. Dari gambar tersebut tampak bahwa
intensitas awal dari sensor hanya mengalami sedikit penurunan dibanding
sebelumnya. Penurunan tersebut kemungkinan dikarenakan terjadinya pelarutan
pada beberapa komponen tertentu dalam reagen kering saat regenerasi.
10
9
8
7
Intensitas Awal
6
5 2
4 R = 0.97
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5
Tingkat regenerasi (kali)
11
9
8
Intensitas turbidimetri
7
6
5
E F G H F I J G K I
4 K L K M
3
2 E F G H F I J G K I
1 I H G H M K N
0
H F I H F I P Q
K F
1 2 3 4 5 6
T ingkat regenerasi (kali)
7
Waktu respon sensor (jam)
6
5
4
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6
Tingkat regenerasi (kali)
12
KESIMPULAN
REFERENSI
Fang, G., Z. Liu, C. Liu dan K.L. Yao. 2000. “Room Temperature H2S Sensing
Properties and Mechanism of CeO2 – SnO2 Sol – Gel Thin Films”. Dalam
Sensor and Actuators
Miller, J.C. and J.N. Miller. 1993. Statistics for Analytical Chemistry, Third
Edition. New York: Ellis Horword PTR Prentice Hall
Reid, R.C., John M.P. dan Thomas K.S. 1991. Sifat Gas dan Zat Cair. Edisi
Ketiga. Terjemahan Kantjono Widodo dari The Properties of Gases and
Liquids (1977). Jakarta: PT. Gramedia
13
Artikel ilmiah ini telah diterima oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Jember pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember
Dosen Pembimbing,
DPU DPA
14
15
Lampiran
16
17