Anda di halaman 1dari 11

1

Universitas Mercu Buana


Fakultas Ilmu Komunikasi
Bidang Studi Public Relations - Kelas Karyawan

MATA KULIAH: MANAJEMEN KRISIS PR (3 SKS)


MODUL V

Dosen: Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.

Pada minggu ke-lima perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui


beberapa kasus tentang krisis, baik yang terjadi di dalam negeri, maupun yang terjadi di luar
negeri. Mahasiswa juga diharapkan dapat mengetahui penyebab dan dampak krisis
terhadap organisasi serta cara organisasi/perusahaan tersebut menanggulanginya:

KASUS-KASUS KRISIS

I. KEKUATAN RUMOR

Sebagai sebuah negara yang penduduknya mayoritas muslim, rumor tentang lemak
babi yang berada dalam kandungan suatu produk makanan/minuman merupakan issue yang
sangat sensitif, karena menyangkut sara. Beberapa perusahaan besar sudah mengalami
krisis ini dan banyak yang bisa bangkit kembali setelah mengalami penurunan penjualan
yang drastis. Namun ada pula perusahaan yang tampaknya kurang peduli terhadap rumor
yang beredar dan membiar-kannya menjadi issue yang laten. Di bawah ini terdapat
beberapa kasus rumor lemak babi yang pernah terjadi di Indonesia. Namun pembahasan
kasus-kasus tersebut secara detil cukup sulit karena tidak lengkapnya data dan informasi
peristiwa akibat ketertutupan perusahaan-perusahaan tersebut.

1. Kasus Dancow dari Nestle (Kasali, 2003:120)


Salah satu produk yang terkena dampak rumor lemak babi di tahun 1988 adalah
produk susu bubuk Dancow dari Nestle.
Dimulai dengan penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti pada Universitas
Brawijaya, Malang, yang menemukan bahwa beberapa produk makanan yang beredar di
masyarakat dibuat dengan unsur “gelatin”. Menurut peneliti itu, di negara-negara maju,
gelatin dibuat dengan menggunakan lemak babi. Oleh karenanya produk yang dibuat
dengan gelatin di Indonesia “dicurigai” mengandung lemak babi. Hasil penelitian itu
kemudian dengan cepat menyebar. Masyarakat menjadi panik. Rumor yang muncul semakin
besar, produk yang “dicurigai” bertambah banyak, seakan benar merupakan hasil penelitian.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
2

Padahal, sumber yang menambahkan merek-merek baru dalam daftar yang “dicurigai”
sudah tidak diketahui lagi. Salah satu produsen yang terpukul adalah pabrik susu Nestle,
yang menerima pasokan susu dari sebuah desa di Nongkojajar, Pasuruan dan Batu
(Malang). Karena rumor tersebut, penjualan susu Nestle anjlok dan anggota koperasi di
kedua desa tersebut pada gilirannya terkena akibatnya.
Para peternak Nongkojajar menghadap pemerintah dan tokoh-tokoh ulama. Mereka
menjelaskan bahwa sejak beberapa tahun belakangan ini mereka telah semakin mengetahui
cara memelihara sapi yang baik. Makanan ternak pun telah ditemukan yang bergizi tinggi.
Justru problem yang dihadapi oleh peternak sekarang adalah menurunkan kadar lemak susu
sapinya, bukan menaikkan. Oleh karenanya, menurut mereka, sangat tidak mungkin Nestle
mencampur susu mereka dengan lemak babi. Justru susu tersebut perlu dicampur dengan
susu skim untuk mengurangi kadar lemaknya.
Pemerintah merasa perlu turun tangan karena dua hal. Pertama, bila didiamkan saja,
dikhawatirkan akan muncul peristiwa perusakan yang muncul dari kekecewaan masyarakat.
Kedua, para peternak sapi anggota koperasi akan mengalami kerugian karena tidak bisa
menjual susunya kepada koperasi, dan koperasi akan bangkrut.
Bersama dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia, pemerintah melakukan tindakan
yang dalam PR disebut “meluruskan opini yang mengundang issue kontroversial”. Salah
satu caranya adalah dengan meminta para ulama berkumpul dan minum susu Dancow
dengan diliput secara luas oleh media massa untuk membuktikan bahwa susu tersebut tidak
mengandung lemak babi.
Dalam mengatasi kasus ini, Nestle sangat terbantu oleh inisiatif pihak peternak susu
yang melobi pemerintah dan tokoh-tokoh ulama. Setelah krisis teratasi, penjualan produk
susu mereka kembali stabil karena masyarakat percaya bahwa produk mereka halal.
Pada periode ini, produk Supermie dari Indofood pun ikut dimasukkan dalam daftar
yang “dicurigai” akibat adanya pesaing yang ingin menjatuhkan mereknya. Namun setelah
mendapatkan bantuan dari pemerintah dan para ulama dalam pengukuhan bahwa produk
mereka halal, krisis, penjualannya melejit kembali. Bukan hanya itu, dua merek lain yang
dipasarkan Indofood juga ikut melejit karena masyarakat yang tadinya ragu-ragu malahan
jadi percaya. Di sini kita bisa melihat bahwa krisis tidak selalu berdampak buruk terhadap
suatu perusahaan. Dengan manajemen krisis yang baik, kegiatan perusahaan kembali dapat
berjalan dengan stabil dan penjualan produk yang hampir merusak reputasi perusahaan
justru semakin membaik.

2. Kasus Bread Talk (artikel-artikel dari internet)


Komunitas di internet menjadi salah satu sumber rumor. Berbagai mailing list saling
mengirim cerita tentang kasus yang tengah hangat dibicarakan di masyarakat.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
3

Seperti kasus produk roti Bread Talk yang kantor pusatnya berada di Singapura
(lisensi di Indonesia dipegang oleh perusahaan Johnny Andrean). Majalah Sabili no. 25
bertanggal 2 Juli 2004 mempublikasikan sebuah surat dari humas LPPOM MUI (bertanggal 8
Juni 2004) yang intinya mengatakan bahwa produk Bread Talk belum mendapatkan sertifikat
halal, dan bahwa di Singapura, produk ini haram dikonsumsi oleh umat Islam karena belum
mendapat sertifikat halal dari Majelis Ugama Islam Singapura. Copy dari berita di atas dikirim
secara berantai melalui internet sehingga pemberitaannya semakin luas.
Pihak PR dari Bread Talk Singapura turun tangan untuk meluruskan bahwa di Bread
Talk di Singapura memang terdapat dua jenis roti yang dijual, yakni yang mengandung babi
dan yang tidak mengandung babi. Penjualannya pun dipisahkan.
Namun sebagian besar masyarakat muslim tampaknya memilih untuk lebih berhati-
hati mengkonsumsi roti Bread Talk, karena pada waktu itu pihak Bread Talk Indonesia juga
tidak melakukan tindakan berarti untuk mengatasi rumor tersebut. Meski sampai saat ini
dampak rumor itu terhadap penjualan roti Bread Talk belum dapat diukur, tapi berdasarkan
pengamatan semata, tampaknya telah terjadi penurunan minat konsumen untuk membeli roti
Bread Talk. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya jumlah pembeli yang mengantri untuk
membeli roti tersebut. Bila rumor tersebut terus beredar dan tidak ditangani dengan baik,
Bread Talk dapat kehilangan sebagian konsumennya dan calon konsumen potensial yang
beragama Islam.

II. PRODUCT RECALL (PENARIKAN PRODUK DARI PASAR)

Menarik hampir seluruh produk yang sudah diluncurkan ke pasar merupakan salah
satu mimpi buruk sebuah perusahaan. Tidak saja akan menghabiskan biaya dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi perusahaan, namun juga tercemarnya
reputasi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga akan mengalami kesulitan meluncurkan
kembali produk yang sudah ditarik tersebut ke pasar, meskipun produk yang tercemar sudah
diganti isi dan kemasannya.
Di bawah ini terdapat dua kasus penarikan produk dari pasar yang memiliki akhir
yang berbeda, yakni kasus Tylenol dari Johnson & Johnson dan kasus minuman mineral
Perrier. Kasus pertama selalu menjadi contoh keberhasilan penerapan manajemen krisis
yang baik dan tepat sehingga ketika produk yang sudah ditingkatkan kualitasnya diluncurkan
kembali ke pasar, konsumen tidak ragu untuk mengkonsumsinya. Sebaliknya, kasus kedua
memperlihatkan lemahnya manajemen perusahaan dalam menerapkan manajemen krisis
yang baik sehingga mengakibatkan turunnya pangsa pasar produk tersebut akibat krisis
kepercayaan dari konsumen.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
4

1. Kasus Tragedi Tylenol Johnson & Johnson di Amerika Serikat


(Regester & Larkin, 2003:122-125; Putra, 1999:87; Ruslan, 1999:103-104)
Suatu contoh menyangkut resiko produk yang terjadi pada kasus kapsul Tylenol,
produk terkenal dari Johnson & Johnson yang terjadi pada September 1982. Produk tersebut
terkontaminasi oleh racun sianida menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago. Kasus
meninggalnya konsumen tersebut merupakan suatu tragedi yang menghebohkan dan
menjadi sorotan luar biasa oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat. Kemudian
diikuti laporan tentang berbagai penyakit dan kematian sebagai akibat mengkonsumsi kapsul
Tylenol.
Tylenol sendiri memiliki 35 persen pasar obat sakit kepala di Amerika Serikat,
menghasil-kan 450 juta dollar per tahun dan mengkontribusikan 15 persen lebih dari seluruh
profit J&J.
Dampak negatif tidak hanya menghantam J&J sehingga berkembang krisis
kepercayaan dan hilangnya citra perusahaan tersebut, tapi juga menimbulkan kepanikan luar
biasa di masyarakat yang selama ini merasa telah mengkonsumsi kapsul maut tersebut. Dan
akhirnya perusahaan sejenis lain ikut terimbas dampak negatifnya akibat untuk sementara
waktu konsumen tidak mau membeli obat sejenis.
Menangani masalah tersebut, humas J&J menyusun strategi dan bekerja sama
dengan media massa. Tindakan jangka pendeknya adalah menarik semua produk (product
recall) kapsul Tylenol yang dianggap telah terkontaminasi oleh racun sianida dari pasar. Di
samping itu, seluruh batch produksi sekitar 93.000 botol juga ditarik dari peredarannya di
Amerika Serikat, sekaligus menawarkan penukaran Tylenol dari berbentuk kapsul dengan
tablet. Suatu langkah yang menghabiskan biaya lebih 100 juta dollar. J&J juga membatalkan
semua iklan komersial Tylenol yang tengah ditayangkan di berbagai media cetak dan
elektronik.
Langkah berikut, tindakan kuratif secara terpadu dengan membentuk tim posko untuk
menghadapi tragedi kapsul maut tersebut. Humas J&J bekerja sama dengan media massa
menjawab secara tertulis ribuan pertanyaan yang setiap hari dilontarkan oleh publiknya. J&J
juga membuka saluran telepon hotline. Pada prinsipnya, J&J membuka semua saluran
komunikasi dan informasi namun tetap terkendali. Sedangkan upaya mengembalikan
keyakinan dan kepercayaan masyarakat pada merek dagang Tylenol dilakukan melalui
pimpinan tertinggi sebagai juru bicara perusahaan, yaitu James E. Burke yang muncul di
berbagai saluran TV dalam berbagai kesempatan untuk menjelaskan secara gamblang dan
terbuka mengenai kejadian tersebut. Bahkan pihak J&J mengadakan konferensi untuk 3000
buah stasiun televisi (lokal & nasional) dan mengundang 600 wartawan.
Tindakan selanjutnya adalah mencari sebab-akibat terjadinya kasus tersebut. Pihak
teknisi dan produksi bekerja keras melakukan penyelidikan untuk menemukan data atau

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
5

fakta di tempat perkara kejadian sekaligus mencari jawaban atas kasus Tylenol maut itu
pada setiap rangkaian proses produksi di pabrik hingga pengemasannya. Akhirnya
ditemukan fakta bahwa pada bulan September 1982 seseorang yang tidak diketahui
identitasnya telah mencampurkan racun sianida ke dalam Extra Strenght Tylenol Capsules
lewat jalur distribusi atau outletnya, dan akibat lolos dari pengawasan maka secara langsung
pil tersebut dikonsumsi oleh para korban.
Sebagai tindakan pemulihan kepercayaan dan citra atas terjadinya tragedi kapsul
maut tersebut, pihak perusahaan memproduksi kembali produk kapsul Tylenol yang dikemas
dalam bentuk khusus dengan tiga lapis pengaman (triple sealed and tamper resistant
packaging) yang tidak gampang dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Keterbukaan pihak J&J mampu merebut kembali sekitar 80% pangsa pasarnya dalam
jangka waktu setahun setelah krisis tersebut terjadi. Masyarakat sangat bersimpati terhadap
usaha keras J&J dalam mengatasi krisis yang menelan biaya ratusan juta dollar karena J&J
lebih mementingkan keselamatan konsumennya dibandingkan kerugian perusahaan.
Namun kasus di atas terulang lagi dengan adanya laporan seorang wanita di New
York mengalami ‘kecelakaan’ setelah mengkonsumsi kapsul Tylenol. J&J yang telah
berpengalaman dalam menanggulangi kasus yang sama segera menawarkan penukaran ke
dalam bentuk tablet atau pengembalian uang bagi konsumen yang telah terlanjur membeli
Tylenol untuk memulihkan kepercayaan terhadap perusahaan.
Tindakan selanjutnya, pihak praktisi PR mengontrol reaksi konsumen atas berita-
berita negatif yang muncul di berbagai media massa, berupaya untuk mengurangi kerusakan
atau kerugian yang terjadi dan kemudian secara perlahan dan pasti akan menciptakan
kembali kepercayaan atau memperbaiki citra yang telah hancur itu dengan menawarkan
penukaran dalam bentuk tablet. Pihak J&J tetap berusaha keras membangun kembali
keutuhan kredibilitas serta integritas yang tinggi di mata publiknya, walaupun telah dua kali
dihantam oleh kasus krisis yang sama. J&J bahkan memenangkan “Silver Anvil Award” dari
Public Relations Society of America karena kesigapan perusahaan dalam mengatasi krisis.

2. Kasus air mineral Perrier terkontaminasi bensin (Regester & Larkin, 2003:125-127)
Dalam menangani krisis akibat produk yang terkontaminasi, air mineral Perrier yang
berasal dari perusahaan yang sama di Perancis bertindak sangat kontras dengan J&J.
Ketika manajemen Perrier mendapatkan laporan bahwa di Amerika Serikat terdapat bensin
dalam beberapa botol air mineral yang diproduksinya, mereka menganggap problem
tersebut sebagai ‘masalah kecil yang akan dilupakan orang dalam beberapa hari’. Namun
hanya dalam waktu 24 jam saham Perrier jatuh drastis akibat semakin banyak ditemukannya
contoh produk yang terkontaminasi bensin di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali jutaan botol dari rak-
rak supermarket. Perusahaan induknya di Perancis mengeluarkan kritikan bahwa tindakan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
6

ini sebagai usaha “menyenangkan” orang Amerika dan bukan karena memikirkan gangguan
kesehatan yang akan ditimbulkan produk mereka. Dalam beberapa tingkatan, perbedaan
kedua negara dalam cara memandang suatu masalah terefleksi pada teknik pemasarannya.
Di Amerika Serikat, iklan Perrier berbunyi “Perrier is Perfect” (Perrier itu Sempurna),
sedangkan di Perancis iklannya berbunyi, “Perrier C’est Fou” (Perrier itu Gila) untuk
menggambarkan gelembungnya yang membangkitkan semangat. Masyarakat Amerika
Serikat mempermasalahkan kontaminasi bensin dalam produk Perrier karena iklannya yang
seperti menjamin bahwa produk Perrier berkualitas tinggi.
Juru bicara perusahaan di Perancis mengklaim bahwa konsumen mereka di Perancis
bukanlah orang-orang yang mudah panik dibandingkan dengan konsumen di negara-negara
lain, sehingga manajemen Perrier tidak perlu khawatir. Namun pernyataan ini juga
dilaporkan ke negara-negara lain yang menjadi pasar kunci mereka, dan kurangnya
perhatian Perrier terhadap konsumennya ini menimbulkan kemarahan besar. Eksekutif
perusahaan Perrier di berbagai negara yang berbeda membuat pernyataan-pernyataan yang
menimbulkan konflik dan sudah jelas bahwa tidak ada rencana strategis yang akan
dilaksanakan Perrier bagi penarikan produk dari berbagai pasarnya di seluruh dunia.
Di bawah tekanan yang meningkat, empat hari setelah penemuan awal produk yang
terkontaminasi bensin di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali
seluruh produknya dari seluruh dunia dan beranggapan bahwa dengan tindakan tersebut,
mereka telah menyelamatkan reputasi Perrier di seluruh dunia. Tapi ternyata reputasi produk
sudah terlanjur rusak. Perrier terlihat menunda dan tidak konsisten dalam pesan-pesannya
tentang keseriusan problem yang mereka hadapi. Dan mereka jadi bahan olok-olok media
massa.
Masyarakat minum air mineral dalam botol sebagian karena mereka merasa hal itu
bergaya, namun sebagian lagi karena mereka percaya bahwa air tersebut lebih murni dari air
keran. Jelas sekali bahwa produk air mineral dipasarkan dengan menonjolkan
‘kemurniannya’. Pelaksanaan penarikan produk kunci dari seluruh dunia merupakan
keputusan sangat besar akibat konsekuensi finansialnya, terutama karena pada
kenyataannya ukuran problem yang dihadapi tidak begitu besar. Bagaimanapun juga, Perrier
sebagai suatu perusahaan yang tampaknya tidak terlalu memperhatikan keluhan
konsumennya, melakukan hal tersebut dengan menyadari resikonya.
Riset yang diadakan di seluruh Eropa oleh MORI bagi perusahaan desain Henrion,
Ludlow & Schmidt di tahun 1995, menemukan bahwa Perrier menduduki tempat kedua
sebagai perusahaan yang identitas korporatnya paling tercemar. Tempat pertama diduduki
oleh Shell setelah kasus Brent Spar. Namun yang menarik adalah survei tersebut diadakan
dalam tahun yang sama dengan terjadinya kasus Brent Spar, namun lima tahun setelah
kasus Perrier di atas. Hal ini menunjukkan bahwa kasus Perrier tersebut sangat membekas
di benak konsumennya.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
7

Meskipun demikian, setelah penarikan seluruh produk Perrier yang penuh keributan,
situasi krisis tampaknya telah teratasi. Kampanye periklanan yang brilyan menandai akhir
dari masalah dan Perrier telah kembali dengan sukses ke pasar. Namun yang
mengherankan, produk Perrier kembali ke pasar dengan botol berisi 750 ml dengan harga
yang hampir sama dengan botol berisi 1 ltr yang dijualnya dahulu! Di sini terlihat bagaimana
Perrier seperti membebankan kepada konsumen biaya kerugian perusahaan akibat
kecerobohan perusahaannya sendiri. Perrier tidak pernah memperbaiki pangsa pasarnya
dan dengan melemahnya saham mereka, mereka menjadi sangat mudah dimangsa oleh
perusahaan yang lebih kuat. Dan akhirnya Nestle datang serta mengakuisisi Perrier.

III. KECELAKAAN ALAT TRANSPORTASI

Beberapa bidang industri memiliki resiko mengalami krisis lebih besar dibanding yang
lain. Salah satunya adalah bidang transportasi, terutama transportasi udara. Pesawat
terbang, meskipun semakin lama semakin canggih, sangat rentan terhadap kecelakaan.
Kecelakaan bisa terjadi akibat ‘human error’ (kesalahan manusia), kegagalan teknologi
(rusaknya mesin pesawat), sabotase, serangan teroris atau cuaca buruk.
Sudah sepantasnyalah, sebuah maskapai penerbangan menyiapkan manajemen
krisis untuk menghadapi skenario terburuk yang mungkin dihadapi perusahaan. Namun pada
kenyata-annya, masih terdapat maskapai-maskapai yang tidak mempedulikan hal tersebut
sehingga menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Berikut adalah contoh perbedaan
penanganan krisis akibat jatuhnya pesawat dari dua maskapai penerbangan.

1. Kasus kecelakaan pesawat Pan Am di Lockerbie


(Regester & Larkin, 2003: 145-146; Putra, 1999:95-96)
Ketika pesawat Pan Am dengan nomor penerbangan 103 terjatuh di Lockerbie -
Eropa, pihak manajemen Pan Am (perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat)
memutuskan untuk meminimalkan komunikasinya dengan pers. Maskapai penerbangan ini
percaya bahwa kebijakan tersebut akan menjauhkan reputasi Pan Am dari konsekuensi
tragis akibat tragedi di atas.
Hal ini merupakan salah penilaian yang sangat besar. Dalam situasi seperti itu,
media massa akan mencari sumber-sumbernya sendiri dalam menggali berita. Dan
perusahaan yang sedang tertimpa musibah tetap akan menjadi berita utama meskipun
mereka memilih untuk menutup mulut.
Ketika ditanyai tentang peringatan akan kemungkinan adanya serangan teroris, pada
awalnya Pan Am mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak diberi peringatan sama
sekali. Namun akhirnya terungkap bahwa seluruh penerbangan yang beroperasi di Eropa,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
8

termasuk Pan Am, telah diperingatkan akan bahaya serangan teroris tersebut. Pada
kenyataannya, Pan Am telah berusaha menutupi kebenaran, suatu pelanggaran keras atas
prinsip dasar PR.
Lebih jauh lagi, CEO Pan Am, Thomas Plaskett, tidak pergi ke Lockerbie (tempat
jatuhnya pesawat), tidak meminta maaf pada keluarga korban, tidak menghadiri pemakaman
para korban serta tidak merasa bertanggungjawab terhadap tragedi yang terjadi tersebut.
Pemberi-tahuan tentang daftar korban pun memakan waktu yang lama. Salah seorang istri
korban jatuhnya pesawat Pan Am baru diberitahu tentang kematian suaminya setelah 6
minggu!
Media massa segera mencaci Pan Am yang saat itu juga tengah mengalami
kesulitan keuangan, sedangkan rute penerbangan trans Atlantik adalah satu-satunya rute
penerbangan yang menguntungkan. Penumpang pesawat hilang kepercayaannya terhadap
Pan Am, pada kemampuan dan kemauan Pan Am untuk menerbangkan mereka dengan
aman melalui lautan Atlantik, sehingga mereka memilih naik pesawat maskapai
penerbangan yang lain. Pan Am diboikot sehingga mengakibatkan kebangkrutan
perusahaannya.

2. Kasus kecelakaan pesawat JAL (Japan Airlines)


(Regester & Larkin, 2003: 146-147; Putra, 1999:95-96)
JAL, maskapai penerbangan Jepang, melakukan hal yang sebaliknya ketika pesawat
mereka mengalami kecelakaan terburuknya pada tanggal 12 Agustus 1985 yang
mengakibatkan kematian 520 orang. Maskapai ini melakukan protokol yang detil untuk
menunjukkan tanggung jawab mereka terhadap kecelakaan tersebut.
Permintaan maaf pribadi dilakukan oleh pimpinan perusahaan, pemakaman korban
dan kerugian finansial ditanggung oleh perusahaan. Selama berminggu-minggu, lebih dari
400 karyawan JAL membantu para keluarga korban dari mengadakan upacara pemakaman
hingga mengisi form asuransi. Seluruh iklan ditangguhkan. Jika JAL tidak melakukannya,
perusahaan ini akan dituntut karena tidak berperi kemanusiaan dan tidak bertanggung
jawab.
Pada upacara pemakaman korban, pimpinan perusahaan JAL, Yasumoto Takagi,
membungkuk dalam dan lama terhadap keluarga korban dan terhadap papan yang
membawa nama-nama korban. Ia meminta maaf dan merasa bertanggungjawab terhadap
tragedi tersebut, serta menawarkan pengunduran dirinya. Bahkan kepala bagian mesin JAL
melakukan harakiri.
Dari hari terjadinya kecelakaan, JAL telah memobilisasi karyawannya, dari pimpinan
hingga yang terbawah, untuk memperlihatkan gerakan tubuh meminta maaf dan menyesal.
Ketika ada anggota keluarga yang harus mengadakan perjalanan ke desa kecil di gunung
tempat kecelakaan terjadi untuk mengidentifikasi korban, staff maskapai penerbangan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
9

diharuskan menyertai mereka, membayar seluruh biaya yang dikeluarkan serta mewakilkan
seorang eksekutif untuk hadir pada upacara pemakaman. JAL juga memberikan beasiswa
bagi anak-anak yang orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat mereka.
JAL juga sangat cepat dalam memberitahu keluarga korban. Hanya butuh satu
malam saja mereka sudah dapat mengeluarkan daftar nama penumpang pesawat naas
tersebut.
Meskipun JAL juga sempat mendapat cacian media massa dan kehilangan pangsa
pasarnya untuk sementara waktu, JAL bisa bangkit dari krisis yang menderanya dan pulih
kembali karena responnya yang manusiawi, penuh perhatian dan pertanggungjawaban
terhadap para korban.

IV. KASUS PROMOSI YANG MERUGIKAN KONSUMEN


Kegiatan promosi atau periklanan yang kurang hati-hati dalam perencanaan dan
pelaksanaannya dapat menjadi salah satu penyebab krisis di perusahaan. Contohnya adalah
kasus promosi Keju Kraft yang terjadi di Amerika Serikat dan Hoover di Inggris. Akibat
kecerobohan manajemen dalam merancang promosi, konsumen merasa ditipu dan sangat
dirugikan. Perusahaan pun harus menanggung kerugian yang sangat besar serta cacian dari
berbagai media massa serta konsumennya sendiri.

1. Kasus Promosi Keju Kraft di Amerika Serikat (Putra, 1999:87)


Dalam kasus keju Kraft ini tak ada yang meninggal, tak ada lingkungan yang rusak,
tak ada yang luka dan tak ada skandal yang terjadi, tetapi Hakim Kenneth Gills dari
pengadilan di Illinois memutuskan bahwa sekitar 20.000 orang berhak atas ‘santunan’ akibat
kecerobohan keju Kraft dalam melakukan promosinya. Ini berawal dari sebuah acara
promosi penjualan berhadiah atas hadiah yang merupakan pencocokan antara yang dicetak
di flyer dengan apa yang ada dalam kemasan keju yang dibeli. Rincian hadiah yang tersedia
adalah: hadiah utama uang tunai sebesar 17.000 dollar Amerika, sebuah mobil van merk
Dodge, 100 buah sepeda roadmaster, 500 skateboard 8000 paket keju Kraft.
Sehari setelah peluncuran program promosi ini, kantor perusahaan keju Kraft di
Glenview, Illinois dibanjiri telepon yang mengklaim hadiah sebuah mobil van. Sampai akhir
kontes, ada 20.000 klaim atas hadiah, lebih banyak dibanding total hadiah yang dijanjikan
yaitu sebanyak 8.600. Di antara 20.000 klaim itu, 10.000 di antaranya mengajukan klaim
untuk hadiah sebuah mobil van merk Dodge. Semua ini terjadi akibat kecerobohan pihak
Kraft dalam menyusun aturan main dalam kontes tersebut dan ketidaktelitian dalam
pencetakan flyer serta kemasannya.

2. Kasus promosi Hoover di Inggris (White & Mazur, 1995:209-210)

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
10

Hal yang hampir sama terjadi pada perusahaan perkakas Hoover di Inggris. Bermula
dari ide para eksekutif pemasaran untuk memberikan hadiah penerbangan gratis ke Eropa
atau Amerika Serikat jika konsumen membeli lebih dari £100,- produk Hoover. Ide ini semula
tampaknya inovatif dan tampak seperti promosi yang dapat membawa keluar perusahaan
dari resesi. Namun promosi yang kurang pertimbangan mendalam, kurang terorganisir serta
gagal dalam pengukuran berapa besar respon yang didapat, telah mengubah promosi
tersebut menjadi mimpi buruk dari suatu program komunikasi. Promosi ini mengakibatkan
pemberhentian beberapa eksekutif senior, menghabiskan biaya sebesar US$ 30 juta untuk
menutupi biaya tak terduga yang serta gelombang publisitas yang mengkritik habis-habisan
perlakuan perusahaan terhadap konsumennya.
Hoover tidak melakukan perhitungan yang baik terhadap penawaran promosinya.
Kesalahan terbesarnya adalah penawaran yang terlalu heboh: kesempatan mendapatkan
tiket pesawat terbang seharga £400,- dengan hanya membeli perkakas Hoover seharga
£119,-. Ternyata banyak sekali orang yang membeli perkakas tersebut hanya untuk
mendapatkan tiket penerbangan gratis. Di sinilah letak kesalahan Hoover yang tidak
menjelas dengan baik kepada konsumennya bahwa tiket penerbangan gratis tersebut
terbatas hanya untuk tanggal serta tujuan tertentu. Hoover tidak pernah mengira bahwa
respon masyarakat terhadap promosinya begitu besar. Yang memperburuk masalah ini
adalah kelambanan respon perusahaan serta anehnya pendekatan mereka terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya berapa banyak orang yang akan mengikuti promosi
tersebut.

DAFTAR REFERENSI

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.


Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas


Atma Jaya Yogyakarta, 1999.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR
11

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public
Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi
Krisis dan Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public


Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Artikel-artikel dari internet.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.
MANAJEMEN KRISIS PR

Anda mungkin juga menyukai