Anda di halaman 1dari 7

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO.

2, AGUSTUS 2004: 83-89

SENI GERAK DALAM PERTUNJUKAN WAYANG


TINJAUAN ESTETIKA
Darmoko
Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Abstrak
Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan. Dalam seni gerak wayang dikandung aturan-
aturan, norma-norma atau wewaton yang merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang ketika
menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam pertunjukan wayang yakni udanagara.
Udanegara yakni tatacara bertutur kata, bersikap, dan bertingkahlaku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang
di dalamnya dikandung etika dan estetika. Yang dimaksud gerak wayang meliputi, antara lain: menyembah, berjalan,
berlari, menari, terbang, dan perang. Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua-muda (usia), klasifikasi,
dan wanda tokoh-tokoh wayang. Dalam seni gerak wayang memperhatikan pula prinsip wiraga (benar dan tepatnya
action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama
dalam gerak). Langkah kerja penelitian ini dilakukan secara bertahap, yakni: pengumpulan data (menyaksikan
pergelaran wayang langsung, baik di televisi, live, wawancara kepada para dalang: studi kepustakaan; pengolahan data;
dan laporan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan: gerak wayang terdiri dari dua pengertian, “luas” (totalitas gerak
tokoh) dan “sempit” (perang); gerak wayang dibatasi oleh konvensi (norma) yang disepakati para dalang (udanegara);
prinsip gerak wayang mengacu pada status sosial, usia (tua-muda), klasifikasi, dan wanda tokoh wayang; gerak wayang
dewasa ini telah banyak penggarapan, dinamis (tidak terlihat kendor). Perkembangan gerak wayang tersebut seiring
dengan pola pikir masyarakat yang semakin maju, kritis, dan dinamis.

Abstract
Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules,
norms, guidance (orientation) is convention that is observed and referred to guidance the dalang artists when they move
the puppets. One of the convention of movement in the puppet performance is udanagara. Udanegara, that contains
ethics and aesthetic, is the rules of speaking, attitude, and action for actors in the puppet performance. Puppet
movement include among others paying homage, walking, running, dancing, flying and fighting. That puppet
movement is based on social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet.
Therefore, the movement art of the puppet adopts basic wiraga (true or false action in the puppet movement), wirasa
(true or false feeling of puppet movement), and wirama (true or false rhythm in the puppet movement). Method in this
research will be conducted step by step: collection data (to watch of puppet performance on television, live
performance, dialogue with dalang artist), analysis of data, literary research, conclusion and reporting of the research.
This research concludes: puppet movement has of two meanings, large (totality of puppet movement) and narrow
(fighting); puppet movement refers to the conventions (norms), oriented by dalang artists (udanegara); basic of puppet
movement refers to social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet; now,
puppet movement becomes more and more creative and dynamic. The development of puppet movement in line with
the way of thinking of society that is more improved, critical, and dynamic.

Keywords: movement, rules, convention, social class, age

1. Pendahuluan Penelitian ini menitikberatkan pada pengertian wayang


yang mengacu pada seni pertunjukan. Pertunjukan
Berbicara tentang wayang dikandung sejumlah wayang dapat disebut teater total; di dalamnya
pengertian, yakni: wayang mengacu pada boneka dikandung sejumlah jenis seni yang diramu menjadi
(sejenisnya), wayang mengacu pada pertunjukan satu kesatuan, yakni: seni drama (sanggit), musik (vokal
(performance), wayang mengacu pada kisah (lakon), – instrumen), rupa, gerak (tari), dan seni sastra. Di
dan wayang mengacu pada orang-orang yang menari. samping itu dalam pertunjukan wayang dikandung pula

83
84 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89

efek-efek yang terdengar dan terlihat (audio-visual Gerakan ini memberikan wujud yang menjadikan
effect) dan artis pendukung – perlengapan (dramatis gerakan tersebut hidup. Gerakan ini bisa dengan
personae dan equipment). Efek-efek yang terdengar dan ketidakgerakan; seperti hentakan dengan tempo yang
terlihat dalam pertunjukan wayang yakni: janturan, tepat dalam dunia teater musik, puisi, maupun tari
carita, pocapan (narasi), kepyakan (bunyi yang (Sutrisno, 1994: 138-139). Sedangkan metode atau
dihasilkan kepyak dengan tumpuan kotak wayang), langkah-langkah penelitian yang dilakukan, yakni
dhodhogan (bunyi yang dihasilkan cempala yang pengumpulan data dengan melakukan aktivitas
dipukulkan pada kotak wayang), sindhenan (alunan pendokumentasian dan menyaksikan pertunjukan
bunyi indah yang dilantunkan oleh pesindhen), wayang di Jakarta dan sekitarnya; data yang telah
gerongan (alunan bunyi indah yang dilantunkan oleh terkumpul diklasifikasikan, diolah, dan dianalisis.
wiraswara), sulukan (nyanyian yang dihasikan dalang Dalam menganalisis data tersebut diperlukan
untuk menciptakan nuansa tertentu), tembang (nyanyian kepustakaan yang memadai; dalam penelitian ini
yang dilantunkan oleh dalang, pesinden, niyaga, atau diperlukan studi kepustakaan. Kesimpulan, sebagai
wiraswara), antawecana (percakapan antar tokoh dalam intisari penelitian ini, disajikan setelah dilakukan
pertunjukan) dan gendhing (melodi, komposisi musik analisis.
yang mengandung aspek nada dan irama tertentu). Satu
efek yang tampak dalam pertunjukan wayang yakni 3. Analisis dan Interpretasi Data
gerak wayang. Untuk menghasilkan efek-efek tersebut
diperlukan perlengkapan, yakni: boneka wayang, batang Sabetan (gerak wayang) berasal dari kata sabet, yang
pisang, blencong (lampu), kotak wayang, kepyak artinya pengembat, sebat; disabet berarti diembat,
(lempengan logam), cempala (pemukul kotak), gamelan disekat, dibingkah; disabeti berarti dibelasah; nyabet
(instrumen), dan kelir (layar). Yang dimaksud artinya menjatuhkan kartu, melakukan wayang kulit;
pendukung pertunjukan yakni: dalang, niyaga, dan sabet dalam krama inggil berarti pedang
swarawati, dan wiraswara. Satu efek yang terlihat dalam (Prawiroatmojo, 1981: 155). Pengertian sabetan,
pertunjukan wayang yakni: sabetan. Terdapat dua nyabet yang diacu yakni melakukan wayang kulit –
pengertian sabetan atau puppet movement; yakni menggerakkan, menjalankan, memainkan boneka
pengertian “luas” (gerak wayang secara keseluruhan) wayang. Gerak wayang menyangkut bagaimana tokoh
dan “sempit” (perang atau fighting), intensitas gerak berbicara, bersikap, dan bertindak dalam hubungannnya
dinamis. dengan tokoh yang lainnya. Dalam suatu gerakan
wayang terjadi perpindahan atau perubahan pada tubuh
Anggota badan boneka wayang (tangan) hampir semua atau sebagaian kecil anggota tubuh boneka-boneka
dapat digerakkan – kedua tangannya atau hanya satu wayang. Djelantik mengatakan bahwa gerak merupakan
tangannya saja; gerak satu tangan biasanya tokoh yang suatu unsur penunjang yang paling sangat berperan
tangan bagian depan (Durna) ditatah menyatu dengan dalam seni tari. Dengan gerak terjadi perubahan atau
badan tokoh (raksasa Jurang Grawah, Rambut-geni). perpindahan pada tubuh atau pada anggota tubuh atau
Terdapat pula bentuk-bentuk wayang, seperti: pada sebagian yang kecil dari anggota tubuh. Gerak
gunungan, senjata, pogon, ampyak (rampogan), dan (Inggris: movement), melibatkan dua dimensi, yakni
hewan, yang hanya dapat digerakkan dengan dimensi ruang dan dimenasi waktu. Karena keterlibatan
menggetarkan boneka wayang. dua dimensi ini gerak mempunyai kecepatan. Ini dapat
diukur. Karena keterlibatan dimensi ruang terbawalah
2. Teori dan Metode unsur-unsur dalam seni tari unsur-unsur estetika, seperti
simetri, asimetri, keseimbangan, variasi, kontras, dan
Dalam penelitian ini digunakan teori estetika. Teori ini penonjolan. Karena keterlibatan dimensi waktu dalam
berpandangan bahwa setiap karya seni memiliki struktur seni tari terbawalah unsur-unsur estetika lain, seperti
yang secara umum dapat diterima secara ekuivalen, ritme, aritme, tempo dan juga keseimbangan, variasi,
yakni struktur harmoni dan struktur ritme. Fungsi kontras, dan penonjolan. Dimensi waktu juga telah
harmoni dalam suatu karya seni yakni memberikan mengundang seni karawitan ikut serta dalam mengiringi
tekanan dan mengelompokkan unsur-unsur bahasa seni tari, dengan peran yang sangat menentukan. Di
estetik, sehingga karya seni tersebut bersifat unik. samping menunjang seni geraknya dalam tari dengan
Unsur-unsur tersebut menjadi suatu perbandingan menentukan ritme dan tempo, seni karawitan sangat
(spektrum) kemungkinan-kemungkinan. Seperti, membantu mewujudkan suasana yang sesuai dengan
perbandingan tangga nada terjadi dengan ditemukannya apa yang ditarikan (1990: 23).
relasi-relasi yang ada di dalamnya. Struktur
keharmonisan memberi titik berat dan menggariskan Dalam petunjukan wayang boneka wayang digerakkan
unsur-unsur perbandingan tersebut. Seperti, tekanan- sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang
tekanan memberikan sumbangan daya tarik tertentu mencakup berapa lebar dan panjang layar, jangkauan
yang bersifat unik. Struktur ritme karya seni dan jarak antara gunungan sebagai pembatas simpingan
menentukan unsur yang diarahkan pada suatu gerak. kanan dan kiri, dan jarak antara blencong (lampu)
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89 85

dengan layar. Sedangkan dimensi waktu mengacu dikandung suatu makna; tokoh-tokoh yang ditancapkan
kepada gending-gending yang disajikan yang turut serta pada batang pisang bagian atas lebih terhormat (status
dalam membangun suasana gerakan. Gending-gending sosialnya lebih tinggi), atau yang dituakan (sesepuh),
tersebut disajikan dengan tempo dan irama tertentu, atau sebaliknya. Duryudana dan Baladewa ditancapkan
sesuai dengan kebutuhan gerakan wayang. Gending- pada batang pisang bagian atas, karena mereka seorang
gending yang disajikan dalam pertunjukan wayang raja, dan memiliki derajad setara. Karna dan Durna juga
besifat melayani adegan atau gerakan apa yang sedang demikian meskipun ditancapkan di batang pisang bagian
dilakukan oleh seorang tokoh. Penyajian gending- atas, namun kedua tangannya ngapurancang, karena
gending secara khusus termasuk dalam seni karawitan. yang dihadapi raja besar, sedangkan jabatannya dia
Seni karawitan dapat berdiri sendiri dan dapat pula hanya sebagai adipati (Awangga, termasuk kekuasaan
digunakan sebagai pengiring beberapa bentuk seni raja Astina). Durna lebih cenderung sebagai tokoh yang
pertunjukan, seperti: wayang kulit, ketoprak, ludruk, dituakan, sebagai brahmana, penasihat, dan guru
dan sendratari. Adapun yang dimaksud karawitan yakni Duryudana. Sedangkan Sangkuni, walaupun ia lebih
bentuk seni musik tradisional yang menampilkan tua, namun karena jabatannya patih, maka ia
komposisi nada dan irama tertentu secara harmoni ditancapkan pada batang pisang bagian bawah.
dengan menggunakan gamelan sebagai instrumennya Kartamarma sebagai prajurit, usia dan jabatan di bawah
(Darmoko, 1996: xxv). Duryudana, oleh karena itu sikapnya ngapurancang dan
ditancapkan pada batang pisang bagian bawah.
Unsur seni karawitan juga termasuk yang memegang
peranan penting sebagai pembentuk, pencipta, dan Jelas bahwa udanegara juga memegang peranan penting
pembawa suasana atau nuansa, seperti: percintaan, terutama dalam hal menentukan bagaimana seorang
kesedihan, kemarahan, semangat, ketakutan, kemuakan, tokoh wayang harus bergerak. Contoh: dalam
keheranan, dan ketenangan atau ketentraman batin menghaturkan sembah; pada adegan kerajaan Astina,
seorang tokoh di dalam pertunjukan wayang. tokoh Karna, Durna, dan Sangkuni menghaturkan
sembah karna (telinga) - tangan kanan menempel pada
a. Pengertian Udanegara dan Penerapannya. telinga - kepada Duryudana, sedangkan parekan (dua
abdi perempuan), menghaturkan sembah dengan kedua
Di dalam pertunjukan wayang terdapat pengertian yang telapak tangan menyatu menempel ke hidung. “Sembah
erat hubungannya dengan sabetan, yang sering disebut karna” (sembah telinga) dilakukan oleh suatu tokoh
dengan udanegara, yakni cara seorang tokoh bertutur kepada tokoh lain biasanya yang sama atau hampir sama
kata, bersikap, dan bertingkah laku dalam kaitan status sosialnya. Seperti halnya juga raja Yudhistira
aktivitas komunikasinya dengan tokoh yang lain di kepada raja Kresna atau sebaliknya, mereka
dalam suatu adegan. Udanegara mengikat tokoh-tokoh menerapkan sembah karna. Sedangkan sembah yang
dalam pertunjukan wayang dan sebagai tolok ukur menempelkan kedua telapak tangan pada hidung,
seorang tokoh wayang melakukan tata cara beretika atau dilakukan, misalnya: samba kepada Kresna, ayahnya,
tata krama jika sedang bertutur kata, bersikap, dan atau Rukmarata kepada Salya (ayahnya).
bertingkah laku ketika menghadapi tokoh yang lainnya.
Kaitannya dengan sabetan, yang termasuk ke dalam b. Tutur Kata Tokoh
lingkup wujud udanegara yakni sikap dan tingkah laku
seorang tokoh wayang, yang merupakan bentuk gerakan Yang dimaksud tutur kata yakni perkataan yang
atau perpindahan tokoh tersebut dari suatu tempat ke diucapkan seorang tokoh ketika ia berbicara dengan
tempat yang lainnya; atau paling tidak gerakan anggota tokoh yang lain dalam suatu situasi tertentu dan adegan
badan yang dapat digerakkan. tertentu pula. Situasi bertutur kata didasarkan pada
aspek status sosial dan usia tokoh-tokoh yang saling
Sebagai contoh: adegan pertama (jejeran), di negara berbicara. Dalam pertunjukan wayang percakapan dua
Astina, menampilkan tokoh raja Duryudana menerima tokoh atau lebih sering disebut antawecana, yaitu
tamu prabu Baladewa, dihadap oleh patih Sangkuni, penempatan (penerapan) tutur kata setiap tokoh wayang.
adipati Karna, pendeta Durna dan Katamarma. Dalang apabila “mengucapkan” wayang, tentu
Bagaimanakah sikap dan perilaku tokoh-tokoh tersebut? memperhatikan pada muka wayang mata liyepan:
Duryudana dan Baladewa, masing-masing tangan liyepan menunduk, suaranya besar dan ringan; liyepan
belakang malang kerik, sedangkan tangan yang sedang, suaranya ringan; liyepan mendongak, itu
bergerak ketika berbicara yakni yang depan. Sedangkan suaranya kecil ringan; bentuk kedelai, bentuk kedelai
patih Sangkuni kedua tangannya sikap ngapurancang, menunduk, itu suaranya besar dan sedang; kedelai
demikian pula adipati Karna dan Kartamarma, mereka sedang, suaranya besar dan sedang; kedelai mendongak,
ditancapkan pada batang pisang bagian bawah. Tokoh- suaranya kecil dan sedang; mata thelengan, thelengan
tokoh wayang yang ditancapkan pada batang pisang sedang, suaranya tengah dan sedang; suaranya tengah
bagian bawah berbeda dengan yang ditancapkan pada dan sedang; thelengan mendongak, suaranya kecil dan
bagian atas. Atas dan bawah dalam konteks ini berat (Sulardi, 1953: 8).
86 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89

Secara garis besar tentang proses penyuaraan suatu teknik kembangan atau variasi gerak); dan “perang
tokoh dalam pertunjukan wayang oleh seorang dalang brubuh“, peperangan antara dua kelompok yang saling
terbagi atas dua bagian, yaitu tinggi-rendah nada dan mengamuk atau “perang amuk-amukan”). Norma-
berat-ringan suara. Tinggi-rendah suara dapat diukur norma gerak yang digunakan dalam masing-masing
dari sikap roman atau raut mukanya. Jika tokoh wayang perang tersebut berbeda-beda. Dalam “perang ampyak”,
bermuka mendongak, maka suaranya tinggi, yang dilukiskan prajurit suatu kerajaan yang banyak
bermuka sedang (posisi ke depan), suaranya “tengah” jumlahnya sedang memperbaiki jalan yang rusak;
(sedang), dan yang menunduk suaranya rendah. kerusakan jalan dilukiskan dengan gunungan atau
Sedangkan berat-ringannya suara diukur dari besar atau kayon. Ketika prajurit beramai-ramai memperbaiki
kecilnya tubuh suatu tokoh. Suatu tokoh yang berbadan jalan, gerakan ampyak seolah-olah didorong oleh tangan
kecil maka suaranya ringan, yang berbadan sedang, kanan, digerakkan ke atas (diungkit) oleh dalang dan
suaranya sedang, dan yang berbadan besar suaranya selalu digetarkan agar terkesan hidup, demikian pula
berat. Contoh tokoh wayang yang bermuka mendongak untuk gunungan. Hampir semua wayang untuk
seperti: Samba, Rukmarata, dan Citraksi; yang bermuka memperoleh efek bayangan agar lebih hidup, maka
sedang: Setyaki dan Antasena; dan yang bermuka seniman dalang harus menggetarkannya. Dalam perang
menunduk: Arjuna, Abimanyu, dan Yudhistira. Adapun gagal, norma yang populer yakni: ulat-ulatan (saling
tokoh wayang yang berbadan kecil, seperti: Wisanggeni memandang dengan ketajaman mata, prapatan
dan Irawan, yang berbadan sedang, seperti: Parikesit (memukul bagian kanan dan kiri badan tokoh wayang,
dan Anoman; dan yang berbadan besar, seperti: Bima, gerakan tersebut belum mengenai tubuh lawan), jeblos
Kumbakarna, dan Dursasana. (proses pemukulan atau menghantam tokoh wayang
terhadap lawan, namun tidak mengenai tubuh lawannya
c. Sikap dan Tingkah Laku Tokoh itu, karena lawan menghindar atau meloncat, dan
ngantem (memukul tubuh lawan dan mengenainya.
Tokoh wayang berbicara sesuai dengan tabiat atau
Dalam perang kembang, tokoh ksatria (Arjuna,
watak dasar yang dimilikinya. Di samping itu tokoh
Abimanyu) yang bermuka menunduk, berbudi halus
wayang mempunyai etika dalam bersikap dan
berperang melawan Cakil, ia bersikap tenang ketika
berperilaku terhadap tokoh yang lainnya di dalam
melakukan gendiran (pemukulan). Sebelum ksatria
pertunjukan wayang. Sikap dan perilaku suatu tokoh
melakukan pemukulan, melakukan prapatan, jeblos
wayang tampak ketika ia bertutur kata dengan tokoh
dan ngantem. Pada gerak prapatan, terakhir Cakil
yang lain, siapa yang diajak bicara dan dalam situasi
dipegang kepala dan rambutnya dan dihantamkan ke
apa. Contoh: sikap dan perilaku Anoman menghadapi
tanah (gendiran – pemukulan ksatria terhadap Cakil
Kurawa (lakon Wahyu Makutharama). Sebelum
menggunakan tuding, pegangan untuk menggerakkan
Anoman timbul kemarahan, ia menghadapi Karna dan
tangan terbuat dari tanduk atau bambu). Gerakan Cakil
Sangkuni dengan sangat hormat, tertancap di batang
yakni nggero (bersuara seram, menakut-nakuti), nyawur
pisang bagian bawah dan menggunakan bahasa ragam
(melemparkan pasir) dan mbalik jungkir (berguling-
Krama. Namun ketika ia timbul amarah (karena Kurawa
guling). Posisi ksatria ketika menghadapi Cakil sikap
akan memboyong begawan Kesawasidhi), kemudian
siaga. Pada perang brubuh, pembagian gerak tidak
tidak menggunakan bahasa krama (njangkar, nungkak
begitu ketat, tergantung kebutuhan, bisa langsung
krama) dan ditancapkan di batang pisang bagian atas
memukul atau prapatan dulu. Salah satu prajurit kalah
dengan “tangan belakang” bertolak pinggang. Hal ini
dan kembali ke negaranya. Contoh: perang Bima
menunjukkan betapa gerakan wayang, baik “gerakan
melawan Dursasana. Susunan perang tersebut
kecil” maupun “gerakan besar” tergantung suasana dan
berdasarkan urutan peristiwanya, yaitu awal (perang
siapa yang dihadapi.
ampyak dan perang gagal), tengah (perang kembang)
dan akhir (perang brubuh).
d. Perang (Fighting)
Gerak wayang, perang memerlukan “ruang besar” e. Kondisi Fisik Tokoh
(berjalan, berlari, menendang, berguling-guling,
memukul, masuk bumi dan ke dalam air, dan terbang. Gerak wayang ditentukan pula pada keadaan fisik suatu
Gerak wayang pada waktu perang didasarkan pada tokoh. Gerak tokoh wayang yang sakit dan yang sehat
wewaton (norma). Terdapat beberapa jenis perang, tentu berbeda. Tokoh wayang yang cacat tubuh, seperti
yakni: “perang ampyak”, perang sekelompok prajurit Gareng, pincang, gerak ketika berjalan harus
atau ampyak secara bersama-sama membereskan menunjukkan orang pincang. Di samping itu, cacat fisik
rintangan atau jalan rusak – digambarkan dengan tokoh wayang jangkahan (posisi kaki melangkah) dan
gunungan - yang ada di hadapannya ketika menjaga bokongan (kain ksatria mengalami stilisasi menyerupai
keamanan perbatasan; “perang gagal”, perang dua pantat), memiliki perbedaan dalam gerak. Tokoh
kelompok prajurit, salah satu dari mereka menyimpang wayang jangkahan terkesan gagah (Bima, Gathutkaca,
jalan; “perang kembang”, perang antara bambangan Antareja, Baladewa, Dursasana) dan yang bokongan
atau ksatria dengan raksasa Cakil yang memerlukan terkesan halus (Arjuna, Yudhistira, Kresna, Pandu).
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89 87

f. Aspek-aspek yang Diperhatikan Dalam Gerak ketika marah), Sembadra (putren) berjalan, dan lain-
Wayang. lain.

Udanegara sebagai aspek yang diperhatikan dalam - Wanda


menggerakkan wayang; bagaimana tutur kata, sikap dan Wanda pada seni kriya wayang (kulit maupun kayu)
perilaku tokoh. Aspek-aspek tersebut yakni, status yakni pengejawantahan wujud dari prejengan dan
sosial, usia, klasifikasi, dan wanda tokoh wayang. karakter dasar pada kondisi mental dan lingkungan
tertentu. Wanda merupakan menifestasi dari
- Status sosial kecanggihan seni rupa wayang sebagai unsur
Tutur kata tokoh dapat dilihat pada bahasa yang pendukung utama dari drama pementasan (Guritno,
digunakan, sikap dapat tampak pada gerak anggota 1989: 14). Wujud visual boneka wayang merupakan
tubuh yang membentuk posisi tertentu, dan perilaku aspek yang diperhatikan oleh seniman dalang dalam
dapat terlihat pada “gerak besar”, seperti perang. memainkan (menggerakkannya), contoh: muka
Komunikasi tokoh wayang memperhatikan status sosial, mendongak – menunduk, badan tinggi – rendah, besar –
siapa yang dihadapi dan bagaimana harus menghadapi. kecil, demikian pula untuk situasi batin tokoh, misalnya:
Tokoh wayang yang berstatus sosial rendah selalu kasmaran, semedi, ragu-ragu, agung atau berwibawa,
bersikap dan berperilaku hormat kepada tokoh yang dan lain-lain. Sehubungan dengan itu para seniman
memiliki status sosial lebih tinggi. dalang selalu belajar untuk memahami tentang wanda
wayang ini. Misalnya: Gathutkaca, memiliki wanda
- Usia guntur (guruh, mempunyai suara dan kekuatan yang
Usia menentukan bagaimana tokoh bersikap dan dahsyat, ditandai muka menunduk, leher rebah/rubuh),
berperilaku. Tokoh yang usianya lebih muda bahu belakang lebih tinggi, badan agak gemuk, lambung
menunjukkan sikap hormat terhadap tokoh yang lebih agak condong, berdiri datar/adeg pajeg), gelap
tua. Contoh: Sikap hormat yang dilakukan oleh. (halilintar, bila membentak suaranya keras seperti
Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima terhadap Yudhistira, halilintar menyambar, ditandai muka agak mendongak,
kakak mereka. Sadewa menghormati Nakula, Nakula bahu agak tinggi belakang, leher kekar, badan kencang,
menghormati Arjuna, Arjuna menghormati Bima, dan berdiri datar), kilat (cahaya, jika terbang kecepatannya
Bima menghormati Yudhistira. Penghormatan itu bagaikan kilat, ditandai muka mendongak, leher
ditunjukkan dengan gerakan anggota tubuh, sehingga melongok, bahu rata, badan langsing, lambung tegak,
membentuk sikap tertentu. Sadewa, Nakula, dan Arjuna berdiri tegap), dan thathit (kilat bersamaan dengan
menghaturkan sembah dengan menundukkan kepala, halilintar, cekatan, kecepatannya luar biasa, ditandai
menyondongkan tubuh, menyatukan kedua telapak muka sangat mendongak, leher melongok ke depan,
tangan dan menempelkan ke hidung, dan berbicara bahu agak rendah ke depan, badan singset, dan dada
dengan menggunakan ragam bahasa krama. Sedangkan busung ke depan). Sedyawati juga membicarakan
cara menghormat Bima terhadap Yudhistira, tangan tentang wanda, yaitu keadaan batin tertentu dari
depan menyentuh kaki Yudhistira, menunduk, dan beberapa tokoh utama wayang digambarkan dalam
tubuh condong, namun menggunakan ragam bahasa wujud-wujud dengan nuansa yang berbeda-beda;
Ngoko. terdapat kesejajaran wujud dan ide, wujud dan watak;
orang akan menertawakan dan masyarakat menolak
- Klasifikasi seandainya ada seniman yang mengadakan eksperimen
Gerak wayang didasarkan pula pada klasifikasi tokoh misalnya dengan menggambarkan Janaka dengan badan
wayang. Penggolongan wayang menurut Sulardi terdiri besar dan muka mendongak (1981: 15). Agar dapat
dari 16 kelompok, yakni: dewa, pendeta, raja, dugangan menghayati tentang wanda wayang, seseorang biasanya
besar, dugangan kecil, putran, putren, prajurit, raksasa, menonton dari balik layar. Bayang-bayang yang
kera, dagelan, setanan, hewan, senjata, rampogan, dan ditonton dapat membawa para penonton ke suasana
gunungan (1953: 9-10). Pada lakon tertentu penampilan “alam khayalannya” atau “dunia lain”, seperti yang
tokoh-tokoh wayang diseleksi. Kadang-kadang tidak dikatakan oleh Pandam Guritno, bahwa sebagai
semua kelompok wayang itu ditampilkan, namun hanya pertunjukan bayang-bayang, sebaiknya pertunjukan ini
kelompok tertentu, misalnya: tidak menampilkan dilihat dari balik kelir, karena dengan demikian
hewan, kera, dan setanan. Tokoh-tokoh wayang dalam penonton dapat benar-benar dibawa ke alam wayang
klasifikasi tersebut, memiliki perwatakan yang purwa dengan segala nilai-nilai, pandangan hidup dan
berlainan. Gerak yang ditampilkan kera berbeda dengan keindahannya, yang dibantu pemahamannya oleh
raksasa maupun pendeta. Misalnya, kelompok dewa berbagai watak tokoh-tokoh wayang yang terpancar dari
-dapat terbang-, dalang memiliki acuan bahwa dewa- berbagai wanda yang bayangannya nampak pada kelir.
dewa tersebut dapat terbang; demikian pula untuk tokoh Masing-masing digambarkan dengan wanda, gerak dan
Gathutkaca (dugangan ageng) menampilkan gerakan suaranya yang khas, dengan iringan suara gendhing
terbang, Limbuk (dagelan) menari, Bima (dugangan yang memadai dan membawa kita ke alam lain yang
ageng) melompat, Anoman (kera) untuk mere (bersuara indah dan agung (1988: 67). Seseorang yang menonton
88 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89

dari balik kelir, sebetulnya lebih dapat merasakan semuanya ditampilkan dengan mengulang-ulang
suasana batin masing-masing tokoh. Seorang seniman masing-masing sekaran. Hal ini menunjukkan bahwa
dalang memang dituntut agar dapat menampilkan dan dalam pakeliran pamer kekayaan vokabuler merupakan
memperagakan dalam situasi batin apa dan bagaimana salah satu unsur yang dominan. Yang perlu diketahui
wayang-wayang yang ditampilkan itu. Misalnya: kemantapan sabet tidak bergantung pada ruwetnya
seseorang tokoh wayang sedang menangis sedih, hal ini gerak, tetapi terungkapnya rasa gerak (1997: 17-18).
biasanya penonton akan ikut menangis. Demikian pula Dalam perang pun para seniman dalang juga cenderung
untuk suasana-suasana batin yang lain, seperti: terharu mengulang-ulang sekaran yang ada. Sehingga kesan
dan marah. yang timbul bahwa dalam perang itu terlalu ngambra-
ambra. Dalam perang biasanya sangat diperhatikan
g. Kreativitas puppet movement perihal berapa jumlah tokoh yang akan berperang,
berapa kali peristiwa perang berulang, lama waktu
Djelantik mengatakan, bahwa kreativitas menyangkut terjadinya perang, dan beragamnya model-model
penemuan sesuatu yang “seni”nya belum pernah perang. Contoh lain menghantam, bagaimana cara dan
terwujud sebelumnya. Apa yang dimaksudkan dengan sikap yang saling memukul itu, kesan pukulannya terasa
“seni”nya tidak mudah ditangkap, karena ini mantap serta yang dipukul tampak merasakan beratnya
menyangkut yang prinsipiil, yang secara konseptual. pukulan. Dengan demikian sabet yang dipentingkan
Yang dimaksudkan bukan hanya “wujud” yang baru, adalah perwujudannya, bukan peristiwanya (Ibid, 1997:
tetapi pembaharuan dalam konsep-konsep estetikanya 18). Ini memberikan keterangan bahwa cara
sendiri (1990: 61). Perubahan yang tidak mendasar, menggerakkan suatu tokoh wayang pada dasarnya
yang tidak prinsipiil atau tidak konseptual, misalnya tergantung penampilan dan wujud dalam pertunjukan
hanya bersifat mengubah bentuk, suara, warna, kata- dan bukan peristiwanya. Misalnya, tokoh gagahan,
kata, ucapan ceritanya dan sebagainya bukan kreasi Bima; ia dalam keadaan sedih atau sakit, tentu berbeda
baru, tetapi “variasi” baru atau kalau yang diubah gerakannya ketika ia marah atau emosi. Cara
banyak jumlahnya “produksi” atau “versi” baru. menampilkan gerakan pun juga tergantung dari teknik
Memang lebih mudah untuk membuat variasi atau pendramaan, yang erat hubungannya dengan bagaimana
produksi baru dari pada kreasi baru (ibid, 63-64). seorang dalang menerapkan sanggit. Contoh: seorang
tokoh Bima dalam situasi kesakitan pahanya, ini dapat
Pada dasarnya untuk membuat variasi atau produksi diperagakan dan ditampilkan dengan gerakan-gerakan
baru akan terasa lebih mudah apabila dibandingkan serius dan membanyol, lucu (dhagel).
dengan membuat kreasi baru. Puppet movement dengan
pola-pola yang sudah ada (konvensi) berusaha untuk Di antara seniman dalang terdapat pro dan kontra
ditambah dengan pencahayaan yang bagus, gerakan terhadap pengolahan puppet movement seperti ini,
yang dinamis tokoh-tokoh tertentu, seperti prajurit seperti gerakan yang diperagakan oleh Bima. Bima
koprol, hentakan-hentakan instrumen musik tertentu, merupakan tokoh jangkahan (posisi kaki melangkah),
seperti bedhug atau bass drum, ditambah penyajian gagah, luruh (menunduk), perkasa, tinggi besar;
suara beberapa pesinden yang kompak dan dinamis. sebagian dalang menampilkan Bima dengan koprol
Dalang biasanya lebih menghayati hal rasa. Oleh karena (jungkir balik), seperti yang dikatakan Anom Suroto,
aspek hiburan menonjol, akhirnya penghayatan terhadap dalam kesempatan lain, sang dalang begitu trampil
rasa tidak dapat tergambar di dalam pertunjukan dalam olah sabet, hingga sang Bima pun ikut koprol. Di
wayang. tangan sang dalang tersebut sang Bima mungkin merasa
girang karena lengkaplah pengalamannya sebagai
h. Aspek-Aspek Kreativitas puppet movement wayang (yang dari dulu hingga sekarang belum pernah
koprol). Tapi yang jelas tangan trampil tersebut
Seni gerak wayang meliputi antara lain: kiprahan, bukanlah tangan pak Manteb si dalang setan sabetan,
perang gagal, perang kembang, dan lain-lain. Seni apalagi penulis yang tak bisa mengkoprolkan wayang
gerak tersebut disajikan agar mendapatkan harmoni (1997: 3). Seniman dalang semestinya memiliki
perihal gerak, rasa maupun irama. Misalnya musik yang penghayatan yang sama, namun kenyataannya selalu
digunakan mengiringi kiprahan, tokoh wayang tidak sama. Seorang dalang kadang-kadang mengikuti
Dursasana; irama yang disajikan kadang-kadang para penoton yang hanya menekankan aspek hiburan,
menghentak, lembut, dan kadang pula harus keras, hal sementara dalang yang lainnya masih berpatokan pada
ini untuk memberikan nuansa yang bersifat “hidup” konvensi yang ada, yakni patuh terhadap stereotip watak
(dinamis). Gerak kiprahan kadang-kadang merupakan tokoh wayang. Dewasa ini para dalang terlihat antusias
gerakan yang berulang-ulang seperti yang diungkapkan melayani para penonton yang haus akan hiburan, oleh
oleh Subono, dalam gerak kiprahan yang sedikitnya karena itu kecenderungan dalang-dalang muda selalu
terdiri dari tujuh jenis sekaran: (1) ogekan pacak gulu, ingin menyajikan puppet movement yang benar-benar
(2) ogekan tawing, (3) trap jamang, (4) ngudhal rikma, memukau. Hanya saja kadang-kadang karena terlampau
(5) nimbang, (6) tumpang tali dan (7) nebak bumi, berat pada segi hiburannya justru segi moralnya sering
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 83-89 89

diabaikan. Harus diakui bahwa pesatnya dunia seni -----------, 1998. Wahyu dalam Lakon Wayang Kulit
pertunjukan wayang adalah perkembangan masyarakat Purwa. Depok: FSUI.
yang modern yang kuat dalam orientasi pasar. Wayang
-----------, 1999. Wayang: Bentuk Isi dan Nilainya.
menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan secara
Depok: FSUI.
komersial dan dikelola secara profesional. Orientasi
pasar inilah yang ikut memacu kreativitas seniman, baik Djelantik, A.A.M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu
para dalang maupun pendukung seni pedalangan lainnya Estetika: Estetika Instrumental. Denpasar: STSI.
(Singgih Wibisono, 1997: 4). Jadi jelaslah bahwa
orientasi (pengaruh) pasarlah yang menentukan seorang Guritno, Pandam. 1988. Wayang Kepribadian Indonesia
seniman dalang berusaha untuk mengolah unsur-unsur dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
yang terdapat di dalam seni pertunjukan wayang, Guritno, Haryono H. 1989. “Wanda Sebagai Watak
termasuk puppet movement, diolah atau digarap Dasar Kondisi Mental dan Lingkungan” dalam Gatra:
sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat memukau Majalah Warta Wayang. No.19.I. Jakarta: Senawangi.
dan menghibur.
-----------, 1993. “Wayang Purwa Gagrak Surakarta
Ditinjau dari Aspek Seni Rupanya” dalam Rupa
4. Kesimpulan Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia.
Jakarta: Senawangi-IKJ/LPKJ.
Puppet movement “sabetan”, mengandung dua
pengertian, yakni: pengertian luas yang berarti semua Sedyawati Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan.
gerakan wayang, baik makhluk hidup maupun mati dan Jakarta: Sinar Harapan.
pengertian sempit, yakni peperangan atau fighting antar
Soeroto, Anom H. 1997. “Kreativitas Pagelaran
tokoh wayang.
Wayang” dalam Hasil Sarasehan Dalang Indonesia dan
Temu Wartawan. Jakarta: Panitia Penyelenggara
Para seniman dalang memiliki pijakan norma-norma
Sarasehan Dalang Indonesia dan Temu Wartawan.
atau konvensi-konvensi dalam menampilkan tokoh-
tokoh wayang. Konvensi-konvensi tersebut terwujud Subono, B. 1997. “Garap Pakeliran” dalam Hasil
biasanya dari hasil kesepakatan bersama di antara para Sarasehan Dalang Indonesia dan Temu Wartawan.
seniman dalang yang telah mentradisi sejak lama. Jakarta: Panitia Penyelenggara Sarasehan Dalang
Konvensi-konvensi yang mengikatnya itu dipandang Indonesia dan Temu Wartawan.
sebagai wewaton, yang disebut udanegara, yakni tata
Sulardi, R.M. 1953. Gambar Princening Ringgit Purwa.
cara, unggah-ungguh, tata krama, atau etika tokoh
Jakarta: Balai Pustaka.
wayang (bagaimana seorang tokoh bertutur kata,
bersikap, dan bertindak ketika mengadakan komunikasi Sutrisno, Mudji dan Verhaak, Christ. 1994. Estetika:
dengan tokoh yang lainnya). Di samping itu seniman Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.
dalang memperhatikan pula aspek wiraga, wirasa, dan
Wibisono, Singgih. 1997. “Sejarah dan Wayang” dalam
wirama, yakni kesatuan harmoni antara harmoni antara
Hasil Sarasehan Dalang Indonesia dan temu
gerak tubuh, rasa, dan irama.
Wartawan. Jakarta: Panitia Penyelenggara Sarasehan
Dalang Indonesia dan Temu Wartawan.
Di samping para dalang telah mengakrabi norma-norma
puppet movement, juga memperhatikan status sosial,
usia, klasifikasi dan wanda tokoh wayang. Daftar Kamus
Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna – Indonesia.
Penyajian puppet movement dalam pertunjukan wayang Ende Flores: Nusa Indah.
menunjukkan pengolahan yang serius. Hal itu
ditunjukkan banyaknya kembangan sehingga terlihat Poerwadarminta, W.J.S. 1929. Baoesastra Djawa.
dinamis. Hal ini disebabkan perkembangan pola pikir Groningen, Batavia: J.B. Wolters Uitgevers
masyarakat yang semakin maju, kritis, dan dinamis. Maatschappij.
Penampilan puppet movement yang diharapkan Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia.
penonton, di samping bersifat dinamis juga memiliki Jakarta: Gunung Agung.
greget atau semangat.
Daftar Lakon
Daftar Acuan
Siswoharsojo, Ki. 1954. Makuta Rama. Yogyakarta:
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Pesat.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Delapan Pepadi Pusat. 1995. Semar mBabar
Darmoko, 1996. Gending-Gending Jawa. Jakarta: FSUI. Jatidiri. Jakarta: Humas Pepadi Pusat.

Anda mungkin juga menyukai